Hubungan Kadar High-Sensitivity C-Reactive Protein Dengan Gangguan Tidur Dan Depresi Pada Penderita Nyeri Punggung Bawah

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1. NYERI PUNGGUNG BAWAH
II.1.1. Definisi
Nyeri punggung bawah adalah nyeri yang dirasakan di daerah
punggung bawah, dapat merupakan nyeri lokal maupun nyeri radikuler
atau keduanya. Nyeri ini terasa diantara sudut iga terbawah dan lipat
bokong bawah yaitu di daerah lumbal atau lumbo-sakral dan sering
disertai dengan penjalaran nyeri ke arah tungkai dan kaki. Nyeri yang
berasal dari daerah punggung bawah dapat dirujuk ke daerah lain atau
sebaliknya nyeri yang berasal dari daerah lain dirasakan di daerah
punggung bawah (referred pain) (Sadeli dkk, 2001).
Nyeri punggung bawah umumnya dikategorikan ke dalam akut,
subakut, dan kronik. Nyeri punggung bawah akut biasanya didefinisikan
sebagai suatu periode nyeri kurang dari 6 minggu, nyeri punggung bawah
subakut adalah suatu periode nyeri antara 6-12 minggu dan nyeri
punggung bawah kronik merupakan suatu periode nyeri lebih dari 12
minggu (van Tulder dkk, 2006).

Universitas Sumatera Utara


Gambar 1. Kondisi pathoanatomical yang umum dijumpai pada lumbal
Dikutip dari: Deyo, R.A. and Weinstein, J.N. 2001. Low Back Pain. The
New England Journal of Medicine. 344(5): 363-370.

II.1.2. Epidemiologi
Penelitian menunjukkan bahwa diperkirakan 80% dari populasi
akan menderita nyeri punggung bawah yang dapat terjadi sewaktu-waktu
dalam hidup mereka. Banyak dari orang-orang ini kemungkinan akan

Universitas Sumatera Utara

menderita nyeri punggung bawah pada banyak kesempatan, dan nyeri
punggung bawah kronik merupakan faktor terbesar yang menyebabkan
keterbatasan aktivitas pada dewasa muda dibawah usia 45 tahun.
Investigasi epidemiologi di Amerika Serikat menunjukkan perkiraan
prevalensi kejadian nyeri punggung bawah sebanyak 5-20% pertahunnya.
Nyeri punggung bawah mengganggu keseharian kehidupan dari penderita
nyeri punggung bawah, bahkan menurunkan kualitas kehidupan mereka.
Biaya yang berkaitan dengan kondisi ini adalah sangat besar, termasuk

biaya langsung pada tindakan medis dan biaya tidak langsung, seperti
penurunan produktivitas di tempat kerja. Oleh karena itu, nyeri punggung
bawah bukan hanya merupakan masalah kesehatan, tetapi juga
merupakan masalah sosio-ekonomi (Zhang dkk, 2009).

II.1.3. Faktor Resiko
Dari data epidemiologik faktor resiko untuk nyeri pinggang bawah
adalah usia/ bertambahnya usia, kebugaran yang buruk, kondisi
kesehatan yang jelek, masalah psikososial, merokok, kelebihan berat
badan, serta faktor fisik yang berhubungan dengan pekerjaan seperti
duduk dan mengemudi, mengangkat, membawa beban, menarik beban
dan membungkuk (Sadeli dkk, 2001; Miranda dkk, 2008).

Universitas Sumatera Utara

Tabel 1. Faktor resiko nyeri punggung bawah

Dikutip dari: Walsh, N.E. 2000. Back Pain Matters. Available from:
http://www.karger.com/gazette/65/walsh/index.htm
II.1.4. Etiologi

Etiologi nyeri punggung bawah banyak dan meliputi kongenital,
metabolik, infeksi, inflamasi, neoplastik, trauma, degenereatif, toksik,
vaskular, visceral dan psikososial.
Etiologi nyeri punggung bawah dapat dilihat pada Tabel 2.

Universitas Sumatera Utara

Tabel 2. Etiologi nyeri punggung bawah

Dikutip dari: Vukmir R.D. 1991. Low Back Pain: Review of Diagnosis and
Therapy. Am J Emerg Med. 9:328-335.

II.1.5. Patofisiologi
Tulang belakang merupakan struktur yang kompleks, dibagi ke
dalam bagian anterior dan bagian posterior. Bentuknya terdiri dari
serangkaian badan silindris vertebra, yang terartikulasi oleh diskus
intervertebral dan diikat bersamaan oleh ligamen longitudinal anterior dan
posterior (Ropper A.H dan Brown R.H, 2005).

Universitas Sumatera Utara


Berbagai bangunan peka nyeri terdapat di punggung bawah.
Bangunan tersebut adalah periosteum, 1/3 bangunan luar anulus fibrosus,
ligamentum, kapsula artikularis, fasia dan otot. Semua bangunan tersebut
mengandung

nosiseptor

yang

peka

terhadap

berbagai

stimulus

(mekanikal, termal, kimiawi). Bila reseptor dirangsang oleh berbagai
stimulus lokal, akan dijawab dengan pengeluran berbagai mediator

inflamasi dan substansi lainnya, yang menyebabkan timbulnya persepsi
nyeri, hiperalgesia maupun alodinia yang bertujuan mencegah pergerakan
untuk memungkinkan perlangsungan proses penyembuhan. Salah satu
mekanisme untuk mencegah kerusakan atau lesi yang lebih berat ialah
spasme otot yang membatasi pergerakan. Spasme otot ini menyebabkan
iskemia dan sekaligus menyebabkan munculnya titik picu (trigger points),
yang merupakan salah satu kondisi nyeri (Meliala dkk, 2003).

II.2. TIDUR
II.2.1. Definisi
Tidur adalah keadaan hilangnya persepsi dan responsi yang
reversible terhadap lingkungan luar (Dodick dkk, 2003).

II.2.2. Arsitektur Tidur
Rekaman electroencephalography (EEG) dan rekaman fisiologis
lainnya yang dilakukan sewaktu tidur mendefenisikan dua tahap tidur yang

Universitas Sumatera Utara

nyata, yaitu stadium Rapid Eye Movement (REM) Sleep dan Non-Rapid

Eye Movement Sleep (NREM).
Tidur Non-REM dibagi lagi atas 4 tingkat (stadium), yaitu:
Tingkat 1: Tidur ringan
Tingkat 2: Tidur konsolidasi (consolidated sleep)
Tingkat 3 dan 4: Tidur dalam atau tidur gelombang lambat

Stadium atau tingkat 1: keadaan mengantuk, tidur ringan, dapat
terlihat

perlambatan

reaksi

terhadap

rangsangan

dan

ketajaman


intelektual menurun. Stadium ini ditandai oleh aktivitas theta dengan
amplitudo yang relatif rendah bercampuran (intermixed) dengan episode
aktivitas alpha.
Stadium 2: Pada stadium ini gerakan badan berkurang dan
ambang-bangun terhadap rangsang taktil dan bicara lebih tinggi. Stadium
ini ditandai oleh K-kompleks dan sleep-spindles.
Stadium 3 dan 4: Slow wave sleep (SWS), tidur gelombang lambat.
Stadium ini merupakan tingkat tidur yang paling dalam, ditandai oleh
imobilitas dan lebih sulit dibangunkan, dan terdapat gelombang lambat
pada rekaman EEG. Fase tidur ini sering disebut juga sebagai tidurgelombang-delta atau tidur-dalam. Stadium tidur-gelombang-lambat ini
bervariasi berkaitan dengan usia.

Universitas Sumatera Utara

Tidur REM berasosiasi dengan bermimpi. Pada tidur REM ditandai
oleh aktivitas simpatetik yang intens dan didapatkan gambaran EEG yang
serupa dengan keadaan bangun, dengan aktivitas cepat dan amplitudo
rendah, dan gerakan bola mata serupa dengan keadaan bangun
(Lumbantobing, 2004).


II.2.3. Siklus Tidur
Waktu tidur normal, stadium ini cenderung terjadi berurutan,
membentuk arsitektur tidur. Umumnya, dari keadaan bangun seseorang
jatuh ke tingkat 1, diikuti tingkat 2, 3 dan 4 dan tidur REM. Urutan stadium
tidur, yang berakumulasi pada tidur REM, membentuk satu ”siklus tidur”.
Lama serta isi siklus tidur (sleep cycle) berubah sepanjang malam dan
usia. Persentase tidur-dalam paling tinggi pada siklus tidur pertama dan
kemudian mengurang dengan berlanjutnya malam dan lamanya tidur.
Rapid Eye Movement meningkat selama sepanjang malam. Pada orang
dewasa normal, tidur malam hari terdiri atas 4-6 siklus tidur yang masingmasing siklus berlangsung 90 menit yang terdiri atas tidur NREM dan tidur
REM (Sjahrir, 2008; Lumbantobing, 2004).
Bila dijumlahkan stadium tidur pada dewasa muda yang normal,
tingkat 1 mengambil 5% dari malam, tingkat 2: 50 %, tidur REM dan tidur
gelombang-lambat masing-masing 20-25%. Persentase stadium tidur ini
berubah pada berbagai keadaan, seperti perubahan usia, setelah

Universitas Sumatera Utara

deprivasi tidur, stres, olahraga, perubahan suasana hati dan berbagai

penyakit (Lumbantobing, 2004).

II.2.4. Kebutuhan Tidur
Tiap makhluk hidup membutuhkan tidur. Dengan demikian tidur
merupakan kebutuhan hidup. Bila dilakukan deprivasi tidur secara
eksperimental pada hewan, hal ini dapat mengakibatkan kematian dalam
beberapa hari atau minggu (Lumbantobing, 2004).

Tabel 3. Kebutuhan tidur, lama tidur dan stadium tidur dengan usia

Dikutip dari: Lumbantobing, S.M. 2004. Gangguan Tidur. Balai Penerbit
FK-UI. Jakarta.

II.2.5. Gangguan Tidur
International Classification of Sleep Disorder: Diagnosis and Coding
Manual, edisi kedua (ICSD-2) mendaftarkan lebih dari 80 gangguan tidur.
Ganguan tidur yang sangat banyak ini diklasifikasikan kedalam enam
kategori (Lumbantobing, 2004; Thorpy, 2012; Compton, 2012; Purnomo,
2014)


Universitas Sumatera Utara

1. Insomnia
Merupakan masalah tidur yang paling umum yang secara sederhana
didefinisikan sebagai kesulitan untuk memulai tidur (jatuh tidur), sulit
mempertahankan keadaan tidur, dan bangun terlalu pagi.
2. Sleep Related Breathing Disorders
Sleep Related Breathing Disorders dikarakteristikkan oleh adanya
pernafasan abnormal selama tidur. Gangguan ini diklasifikasikan pada
ICSD-2 seperti central sleep apnea (CSA) syndrome, obstructive sleep
apnea (OSA) syndrome, sleep-related hypoventilation and hypoxemic
syndrome, dan sleep-related hypoventilation and/or hypoxemia caused by
a medical condition. Gangguan tidur ini kebanyakan umum dijumpai pada
fasilitas pengujian tidur atau sleep testing facility.
3. Hipersomnia of Central Origin
Merupakan suatu keadaan dimana pasien biasanya tetap mengantuk,
walaupun jumlah jam tidurnya adekuat. Gangguan tidur ini tidak
disebabkan oleh gangguan tidur malam hari atau gangguan ritme
sirkadian.
4. Circadian Rhythm Disorders

Gangguan siklus tidur-bangun yang disebut juga sebagai gangguan ritme
sirkadian (circadian rhtyhm disorders) menggambarkan keadaan pasien
yang pola irama tidurnya terganggu, waktu tidur dan bangunnya tidak
sebagaimana lazimnya. Mungkin ia menjadi mengantuk dan tidur di siang
hari, sedang di malam hari ia bangun dan sulit tidur.

Universitas Sumatera Utara

5. Parasomnia
Menggambarkan keadaan-keadaan yang tidak diinginkan yang terjadi
waktu sedang tidur.
6. Sleep Related Movement Disorders
Sleep Related Movement Disorders merupakan kondisi dimana gerakan
tubuh menyebabkan penundaan onset tidur atau mengganggu tidur.
Gangguan tidur atau mengantuk yang berlebihan pada siang hari
merupakan syarat untuk penegakan diagnosis sleep related movement
disorders.

II.2.6. Prevalensi Gangguan Tidur
Prevalensi masalah tidur ini mungkin mencapai setinggi 30% pada
anak dan dewasa, dan lebih tinggi lagi pada kelompok usia-lanjut (usila)
(Lumbantobing, 2004).

II.2.7. Siklus Tidur Bangun
Siklus tidur bangun pada manusia berkisar 24 jam setiap harinya.
Beberapa eksperimen menunjukkan bahwa siklus tidur bangun ini diatur
oleh jam biologis yang terletak pada suprachiasmatic nucleus (SCN) dari
hipotalamus. Apabila neuron-neuron generator tidur yang terletak di area
preoptik ventrolateral diaktivasi maka neurotransmiter gamma amino
butyric acid (GABA) dan galanin akan dilepas yang berperan dalam
proses tidur. Dari berbagai neurotransmiter yang terlibat dalam SCN,

Universitas Sumatera Utara

melatonin mempunyai peranan yang lebih spesifik. Melatonin berperan
memodulasi aktivitas neuron jam sirkadian dan terus menerus mengikuti
irama sirkadian(Cohen cit Sjahrir, 2008; Dodick dkk, 2003).

Gambar 2. Sistem ascending arousal mengirimkan sinyal dari batang otak
dan hipotalamus posterior menuju seluruh forebrain
Dikutip dari: Sjahrir, H. 2008. Nyeri Kepala dan Vertigo. Pustaka
Cendekia Press. Yogyakarta.

Universitas Sumatera Utara

Sistem ascending arousal memancar dari batang otak dan
hipotalamus posterior ke arah forebrain. Sel-sel saraf pada laterodorsal
tegmental nuclei (LDT) dan pedunculopontine tegmental nuclei (PPT)
membawa serabut kolinergik (acetylcholine) ke semua target di forebrain,
termasuk juga di talamus, dan kemudian mengatur aktivitas kortikal. Selsel saraf pada tuberomammilary nucleus (TMN) berisi histamin, sel-sel
saraf daripada raphe nuclei berisi 5 hydroxytripthamine (5-HT) dan neuron
daripada locus ceruleus (LC) berisi noradrenalin, sedang sleep promoting
neuron daripada ventrolateral preoptic nucleus (VLPO) berisi GABA
(Gamma amino butryric acid) disebut Gaba-ergic neuron dan galanin.
Nukleus-nukleus aminergik memancar difus kearah forebrain, yang
mengatur aktifitas target di kortikal dan hipotalamus secara langsung.
Sinyal dari SCN menimbulkan bangun waspada pada siang hari dan juga
menginduksi tidur pada malam hari via proyeksi eferen ke area
dorsomedial hipotalamus dan area preoptic kemudian memancar ke area
lain yang terlibat dalam regulasi tidur, seperti area VLPO dan wakepromoting centres di batang otak dan hipotalamus posterior. VLPO
memancar ke area lainnya di hipotalamus, memodulasi arousal area di
batang otak, pons, dan hipotalamus posterior (Sjahrir, 2008; Brennan dan
Charles, 2009).

Universitas Sumatera Utara

II.3. DEPRESI
II.3.1. Definisi
Gangguan depresi, dalam buku Synopsis of Psychiatry berada
dibawah naungan gangguan mood. Mood merupakan subjektivitas
peresapan emosi yang dialami dan dapat diutarakan oleh pasien dan
terpantau oleh orang lain; termasuk sebagai contoh adalah depresi.
Kepustakaan lain, mengungkapkan mood, merupakan perasaan, atau
nada ”perasaan hati” seseorang, khususnya yang dihayati secara batiniah.
Pasien

dalam

keadaan

mood

terdepresi

memperlihatkan

kehilangan energi dan minat, merasa bersalah, sulit berkonsentrasi,
hilangnya nafsu makan, berpikir mati atau bunuh diri. Tanda dan gejala
lain termasuk perubahan dalam tingkat aktivitas, kemampuan kognitif,
bicara dan fungsi vegetatif (Ismail dan Siste, 2010).

II.3.2. Epidemiologi
Gangguan depresi berat, paling sering terjadi, dengan prevalensi
seumur hidup sekitar 15 persen. Perempuan dapat mencapai 25 persen.
Sekitar 10 persen di perawatan primer dan 15 persen dirawat rumah sakit.
Pada anak sekolah didapatkan prevalensi sekitar 2 persen. Pada usia
remaja didapatkan prevalensi 5 persen dari komunitas memiliki gangguan
depresif berat (Ismail dan Siste, 2010).

Universitas Sumatera Utara

II.3.3. Etiologi
Etiologi

depresi

dapat

berupa

faktor

organobiologi,

faktor

kepribadian, faktor psikodinamik, faktor psikososial dan faktor genetik
(Ismail dan Siste, 2010; Barroso, 2003).

II.3.4. Tanda dan Gejala
Mood terdepresi, kehilangan minat dan berkurangnya energi adalah
gejala utama dari depresi. Pasien mungkin mengatakan perasaannya
sedih, tidak mempunyai harapan, dicampakkan, atau tidak berharga.
Pikiran untuk melakukan bunuh diri dapat timbul pada sekitar dua
pertiga pasien depresi, dan 10 sampai 15 persen diantaranya melakukan
bunuh diri. Mereka yang dirawat di rumah sakit dengan percobaan bunuh
diri dan ide bunuh diri mempunyai umur hidup lebih panjang dibanding
yang tidak dirawat. Beberapa pasien depresi terkadang tidak menyadari ia
mengalami depresi dan tidak mengeluh tentang gangguan mood
meskipun mereka menarik diri dari keluarga, teman dan aktivitas yang
sebelumnya menarik bagi dirinya. Hampir semua pasien depresi (97
persen) mengeluh tentang penurunan energi dimana mereka mengalami
kesulitan menyelesaikan tugas, mengalami hendaya di sekolah dan
pekerjaan, dan menurunnya motivasi untuk terlibat dalam kegiatan baru.
Sekitar 80 persen pasien mengeluh masalah tidur, khususnya terjaga dini
hari (insomnia) dan sering terbangun di malam hari karena memikirkan

Universitas Sumatera Utara

masalah yang dihadapi. Kebanyakan pasien mengalami perubahan pada
nafsu makan dan berat badan (Ismail dan Siste, 2010).

II.3.5. Kriteria Diagnosis Depresi
Kriteria

diagnosis

depresi

menurut

Tenth

Revision

of

the

International Classification of Diseases (ICD-10).
Kriteria diagnosis depresi dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Kriteria Diagnosis Gangguan Depresi

menurut Tenth

Revision of the International Classification of Diseases (ICD-10)

Dikutip dari: Gelder dkk. 2006. Mood disorders. In: Shorter Oxford
Textbook of Psychiatry 5th ed. Oxford University Press. USA. Page 218

Universitas Sumatera Utara

II.3.6. Patofisiologi Depresi
Patofisiologi gangguan depresi melibatkan sistem HypothalamicPituitary-Adrenal Axis (HPA-Axis). Dimana sistem HPA Axis terlibat pada
proses adaptasi terhadap keadaan-keadaan stres/ yang penuh tekanan
pada lingkungan eksternal atau internal. Sebagai contoh, sebagai respons
terhadap

ketakutan,

kemarahan,

kecemasan,

dan

kekecewaan,

hipotalamus melepaskan corticotropin releasing factor (CRF); dimana hal
ini

dapat

mengaktivasi

adenohipofisis,

yang

mensekresi

adrenocorticotropic hormone (ACTH), yang menstimulasi korteks adrenal,
yang kemudian mensekresi kortisol. Dimana, peningkatan kadar kortisol
dapat menginduksi timbulnya simptom depresi (Joseph, 1996; Gelder dkk,
2006; Kiecolt and Glaser, 2002; Howren dkk, 2009).

II.4. C-Reactive Protein
C-reactive protein (CRP) merupakan suatu protein plasma yang
terlibat pada respons fase akut terhadap reaksi infeksi, inflamasi, dan
kerusakan jaringan. C-reactive protein pertama sekali ditemukan pada
tahun 1930 oleh Tillett dan Francis, sebagai suatu protein yang dapat
mempresipitasi

polisakarida

”C”

yang

berasal

dari

dinding

sel

pneumokokus. Empat puluh tahun kemudian, Volanakis dan Kaplan
mengidentifikasi ligan spesifik untuk CRP pada pneumococcal C
polysaccharide

sebagai

phosphocholine.

Walaupun

phosphocholine

merupakan ligan pertama yang ditetapkan untuk CRP, sejumlah besar

Universitas Sumatera Utara

ligan lainnya telah teridentifikasi sejak saat itu (Black dkk, 2004; Faraj and
Salem, 2012; Pepys and Hirschfield, 2003).
C-Reactive Protein merupakan bagian dari protein pentraxin family,
dinamakan demikian dikarenakan CRP membentuk suatu cyclic pentamer
yang terdiri dari 5 subunit nonglycosylated polypeptida yang identik,
dengan ikatan non-kovalen, dimana masing-masing mengandung 206
residu asam amino. Anggota utama yang lain dari pentraxin family ini
adalah serum amyloid P component. Dimana protein-protein ini terdapat
selama evolusi vertebra, yang memberi kesan bahwa CRP memiliki peran
pokok pada respon imun (Povoa, 2002; Pepys and Hirschfield, 2003).

Gambar 3. Struktur dari C-Reactive Protein (CRP)
Dikutip dari: Black, S., Kushner, I. and Samols, D. 2004. C-reactive
Protein. The Journal of Biological Chemistry. 279(47): 48487-48490 .

Universitas Sumatera Utara

Tempat sintesis dari CRP adalah hepatosit. Monomer CRP terdapat
didalam struktur cyclic homopentameric didalam reticulum endoplasmik,
sebelum disekresikan kedalam plasma. Sintesis CRP diregulasi sebagai
bagian dari respon fase akut terhadap reaksi infeksi, inflamasi atau
kerusakan jaringan. C-Reactive Protein disintesis oleh hati, terutama
sebagai respons terhadap interleukin-6 (IL-6). Ditemukan adanya
hubungan yang baik antara CRP dan kadar IL-6. Tumor necrosis factor-α
(TNF-α) dan interleukin-1 (IL-1) juga merupakan mediator regulasi pada
sintesis CRP (Rhodes dkk, 2011; Povoa, 2002).
Konsentrasi normal serum CRP pada manusia yang sehat adalah
dibawah 4,9 mg/l. Sekresi CRP mulai meningkat dalam waktu 4-6 jam
setelah stimulus, sekresinya meningkat dua kali lipat setiap 8 jam dan
mencapai puncak dalam 36-50 jam. Dengan adanya stimulus yang sangat
hebat, kadar CRP dapat meningkat diatas 500 mg/l. Setelah hilangnya
stimulus, kadar CRP turun secara drastis, sebanyak setengahnya dalam
19 jam. Bagaimanapun, kadar CRP dapat tetap meningkat, bahkan dalam
waktu periode yang lama, jika penyebab yang mendasarinya tetap ada
(Rhodes dkk, 2011; Husain and Kim, 2002; Povoa, 2002; Pancer dkk,
2011).
C-Reactive Protein (CRP) merupakan suatu pengukuran kuantitatif
dan langsung terhadap reaksi fase akut. Pengukuran CRP serial dapat
digunakan sebagai alat diagnostik untuk infeksi, memonitor efek terhadap

Universitas Sumatera Utara

pengobatan,

atau

deteksi

awal

terhadap

kekambuhan/

rekurensi

(Hirschfield and Pepys, 2003; Husain and Kim, 2002).
Terdapat ada 2 tes yang berbeda untuk CRP. Tes standar
mengukur batas atau jarak yang lebih luas dari kadar CRP tetapi kurang
sensitif pada kadar yang lebih rendah. Tes high-sensitivity CRP (hs-CRP)
dapat mendeteksi secara lebih akurat konsentrasi yang lebih rendah dari
protein

tersebut

(lebih

sensitif).

Penentuan

kadar

CRP

dengan

menggunakan pengujian yang sangat tinggi sensitivitasnya selanjutnya
disebut sebagai high-sensitivity CRP (hs-CRP). Tes ini memberi hasil
dalam waktu 25 menit dengan sensitivitas sampai 0,04 mg/L (Faraj and
Salem, 2012; Sahoo dkk, 2009).

II.5. Hubungan high-sensitivity C-Reactive Protein dengan Gangguan
Tidur pada Nyeri Punggung Bawah
Pada penderita nyeri punggung bawah didapati adanya kualitas
tidur yang buruk, disertai dengan tingginya keluhan gangguan tidur dan
insomnia (Donoghue dkk, 2009).
Nyeri punggung bawah apakah itu yang disebabkan oleh trauma,
inflamasi, tumor ataupun akibat iskemik akan mengakibatkan sekresi dari
beberapa

mediator

yang

tujuan

utamanya

sebenarnya

untuk

mempertahankan homeostasis fungsi susunan saraf pusat (SSP). Sitokin
merupakan salah satu mediator penting yang keluar akibat inflamasi atau
infeksi. Jika sekresi ini tidak bisa disesuaikan dengan tujuan utamanya,

Universitas Sumatera Utara

atau jika tidak ada reaksi perbaikan kerusakan jaringan maka mediator
yang secara terus menerus diproduksi menyebabkan kerusakan jaringan
(Meliala dkk, 2003).
Jika makrofag bersentuhan dengan antigen seperti yang ditemukan
pada serabut yang rusak oleh penyebab apapun maka mediator sitokin
seperti interleukin-1 (IL-1) dan interleukin-6 (IL-6) akan keluar dari sel
(Meliala dkk, 2003; Morrison dkk, 2011; Nystrom, 2007).
C-Reactive Protein (CRP) merupakan suatu protein fase akut, yang
dilepaskan kedalam sirkulasi sebagai respons terhadap inflamasi dan
kerusakan jaringan. C-Reactive Protein disintesis oleh hepatosit dibawah
regulasi/ kontrol sitokin, termasuk IL-1, IL-6 dan Tumor Necrosis Factor-α
(TNF-α). Dimana sintesis CRP terutama dikontrol oleh interleukin-6 (IL-6)
(Nakou dkk, 2010; Nystom, 2007).
Peningkatan

kadar

CRP

ini

akan

dikoordinasikan

melalui

hipotalamus dimana sebagai reaksi sitokin antara lain bisa menyebabkan
demam, menurunkan aktivitas tubuh dan mengganggu pola tidur (Meliala
dkk, 2003).

Universitas Sumatera Utara

II.6. Hubungan high-sensitivity C-Reactive Protein dengan Depresi
pada Nyeri Punggung Bawah
Pada nyeri punggung bawah, akibat kerusakan jaringan akan
mengakibatkan pelepasan sel-sel inflamasi, terutama makrofag. Dimana
makrofag ini memproduksi mediator-mediator inflamasi secara spontan,
seperti interleukin-1 (IL-1), interleukin-6 (IL-6) dan tumor necrosis factor-α
(TNF-α) (Sugimori dkk, 2003; Messay dkk, 2012; Dogan dkk, 2011).
Sitokin-sitokin ini menginduksi pelepasan protein fase akut, seperti
CRP kedalam plasma. Dimana, C-Reactive Protein (CRP) diproduksi
terutama oleh hati. Interleukin-6 (IL-6) merupakan sitokin utama yang
menginduksi sintesis CRP (Scrandis dkk, 2008; Danner dkk, 2003).
Depresi dikaitkan dengan disregulasi pada hypothalamic-pituitaryadrenal (HPA) axis. Dimana, proinflamasi sitokin, seperti IL-6, merupakan
stimulator yang poten dari HPA axis (Elovainio dkk, 2009). Hypothalamicpituitary-adrenal (HPA) axis akan menstimulasi produksi corticotropinreleasing hormone (CRH). Corticotropin-releasing hormone (CRH) akan
menstimulasi sintesis dan pelepasan adrenocorticotropin hormone (ACTH)
yang diikuti peningkatan kadar kortisol. Dimana, peningkatan kadar
kortisol dapat menginduksi timbulnya simptom depresi (Kiecolt and Glaser,
2002; Howren dkk, 2009).

Universitas Sumatera Utara

II.7. KERANGKA TEORI

Universitas Sumatera Utara

II.8. KERANGKA KONSEP

Universitas Sumatera Utara