Penilaian Kadar High Sensitivity C-Reactive Protein Pada Subjek Sindrom Metabolik dan Obesitas

(1)

PENILAIAN KADAR HIGH SENSITIVITY C-REACTIVE

PROTEIN PADA SUBJEK SINDROM METABOLIK

DAN OBESITAS

TESIS

TRIANA NORVIA SILALAHI 080152003/PK

PROGRAM MAGISTER KLINIK-SPESIALIS PATOLOGI KLINIK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA /

RSUP H. ADAM MALIK MEDAN 2013


(2)

PENILAIAN KADAR HIGH SENSITIVITY C-REACTIVE

PROTEIN PADA SUBJEK SINDROM METABOLIK

DAN OBESITAS

TESIS

Untuk memperoleh gelar Magister Kedokteran Klinik di Bidang Ilmu Patologi Klinik / M.Ked ( Clin. Path. ) pada Fakultas Kedokteran

Universitas Sumatera Utara

TRIANA NORVIA SILALAHI 080152003/PK

PROGRAM MAGISTER KLINIK-SPESIALIS PATOLOGI KLINIK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA/


(3)

Judul Penelitian : Penilaian Kadar High Sensitivity C-Reactive Protein Pada Subjek Sindrom Metabolik

dan Obesitas

Nama Mahasiswa : Triana Norvia Silalahi Nomor Induk Mahasiswa : 080152003

Program Magister : Magister Kedokteran Klinik Konsentrasi : Patologi Klinik

Menyetujui Komisi Pembimbing :

Prof .DR.dr.Ratna Akbari Ganie,SpPK-KH Pembimbing I

DR.dr.Dharma Lindarto,SpPD-KEMD Pembimbing II

Disahkan oleh: Ketua Departemen Patologi Klinik

FK-USU/RSUP H.Adam malik Medan

Ketua Program Studi Departemen Patologi Klinik FK-USU/ RSUP H.Adam malik Medan

Prof.dr.Adi Koesoema Aman,SpPK-KH NIP. 194910111979011001

Prof.DR.dr.Ratna Akbari Ganie, SpPK-KH NIP. 19487111979032001


(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 24 April 2013

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof.dr.Adi Koesoema Aman,SpPK-KH ( ) Anggota : 1. Prof .DR.dr.Ratna Akbari Ganie,SpPK-KH ( ) 2. DR.dr.Dharma Lindarto,SpPD-KEMD ( ) 3. Prof.dr.Burhanuddin Nasution, SpPK-KN ( )


(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur atas segala Kasih dan Anugerah Allah Yang Maha Kuasa, sehingga saya dapat mengikuti dan menyelesaikan Program Pendidikan Dokter Spesialis Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara dan dapat menyelesaikan karya tulis (tesis) ini yang berjudul Penilaian Kadar hs-CRP Pada Subjek Sindrom Metabolik dan Obesitas.

Selama saya mengikuti pendidikan dan selama proses penyelesaian penelitian untuk karya tulis ini, saya telah mendapat bimbingan, petunjuk, bantuan dan pengarahan serta dorongan baik materil dan moril dari berbagai pihak sehingga saya dapat menyelesaikan pendidikan dan karya tulis ini. Untuk semua itu perkenankanlah saya menyampaikan rasa hormat dan terimakasih saya yang tidak terhingga kepada :

Yth, Prof. Dr. Adi Koesoema Aman SpPK-KH, Ketua Departemen Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/RSUP H. Adam Malik Medan, yang telah menerima dan memberikan kesempatan kepada saya sebagai peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis Patologi Klinik dan telah memberikan bimbingan dan pengarahan selama saya mengikuti pendidikan.

Yth, Prof. DR. Dr. Ratna Akbari Ganie SpPK-KH, sebagai Ketua Program Studi di Departemen Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara dan juga sebagai pembimbing saya yang


(6)

telah banyak memberikan bimbingan, petunjuk, pengarahan, bantuan dan dorongan selama dalam pendidikan dan proses penyusunan sampai selesainya tesis ini. Hormat dan terimakasih yang tak terhingga saya ucapkan.

Yth, DR.dr. Darma Lindarto, SpPd-KEMD, sebagai pembimbing II saya dari Departemen Penyakit Dalam subdivisi Endokrinologi yang sudah memberikan petunjuk, pengarahan dan bantuan, mulai dari penyusunan proposal, selama dilaksanakannya penelitian, sampai selesainya tesis ini.

Yth, Dr. Ricke Loesnihari,M.Ked.(Clin.Path.),SpPK-K, sebagai Sekretaris Program Studi di Departemen Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, yang telah banyak memberikan bimbingan dan petunjuk selama saya mengikuti pendidikan.

Yth, Dr.Zulfikar Lubis SpPK-K, sebagai Kepala Instalasi Departemen Patologi Klinik RSUP HAM, Medan, yang sudah memberikan bimbingan dan dorongan selama saya menjalani pendidikan. Hormat dan terimakasih yang tak terhingga saya ucapkan.

Yth, seluruh guru-guru saya, Prof. Dr. Burhanuddin Nasution SpPK-KN, Prof. Dr. Herman Hariman PhD, SpPK-KH, Dr. Muzahar DMM, SpPK, Dr. Ozar Sanuddin SpPK-K, Dr.Tapisari Tambunan SpPK-KH, Dr.Farida Siregar SpPK Dr. Ulfah Mahidin SpPK, Dr. Lina SpPK dan Dr. Nelly Elfrida Samosir SpPK, yang telah banyak memberikan bimbingan, nasehat, arahan dan dukungan selama saya mengikuti pendidikan dan hingga selesainya tesis ini. Hormat dan


(7)

terimakasih saya ucapkan . Begitu juga kepada guru-guru yang telah mendahului kita yaitu Alm.Prof. Dr. Iman Sukiman SpPK-KH, Alm. Dr. R. Ardjuna M. Burhan DMM, K, Alm. Dr. Irfan Abdullah SpPK-KH, Alm. Dr. Paulus Sembiring SpPK-K, Alm. Dr. Hendra Lumanauw SpPK-K, saya tidak melupakan semua jasanya dalam pendidikan ini.

Yth, DR. Arlinda Sriwahyuni, yang telah memberikan bantuan pengolahan data statistik selama penelitian hingga selesainya tesis ini.

Yth. Siti Rodyah S.si kepala ruangan Kimia Klinik RSUP H. Adam Malik yang telah bekerjasama dengan baik selama saya mengadakan penelitian.

Yth. Seluruh teman sejawat peserta PPDS Patologi Klinik FK-USU/RSUP H. Adam Malik Medan, para analis, karyawan / karyawati di Departemen Patologi Klinik RSUP H. Adam Malik Medan, serta semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu-persatu yang telah memberikan bantuan dan kerjasama yang baik selama saya mengikuti pendidikan.

Terimakasih yang setulus-tulusnya saya sampaikan kepada kedua orangtua saya, Ayahanda Alm. M. Silalahi dan Ibunda tercinta N.P. Sihotang yang telah melahirkan, mengasuh, mendidik dan setiap saat selalu bersedia memberikan dukungan moril maupun materil. Kiranya Allah Yang Maha Kuasa membalas semua budi baik dan kasih sayangnya. Begitu juga kepada Bapak dan Ibu mertua saya yang juga telah banyak memberikan bantuan moril maupun materil kepada saya dan


(8)

keluarga. Juga kepada Kakak dan Adik saya yang tidak henti-hentinya memberikan semangat selama saya mengikuti pendidikan.

Akhirnya terimakasih yang tak terhingga saya sampaikan kepada suami tercinta Ir. Irwan Benedictus Situmorang yang telah mendampingi saya dengan penuh pengertian, perhatian, memberikan dorongan dan pengorbanan selama saya mengikuti pendidikan sampai saya dapat menyelesaikan pendidikan ini. Juga kepada anak-anakku terkasih Beatrix Situmorang, Bernadette Situmorang dan Gabriel Situmorang yang telah banyak kehilangan perhatian dan kasih sayang dari saya selama saya mengikuti pendidikan, semoga ini semua dapat menjadi motivasi dalam mencapai cita-cita kalian.

Akhir kata, semoga kiranya tesis ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Mei 2013 Penulis,


(9)

DAFTAR ISI

Lembar Persetujuan Pembimbing... i

UcapanTerima Kasih... iii

Daftar Isi ... vii

Daftar Tabel... x

Daftar Gambar ... xi

Daftar Lampiran ... xii

Daftar Singkatan ... xiii

Abstrak... xv

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang... 1

1.2. Perumusan Masalah... 5

1.3. Hipotesa Penelitian... 5

1.4. Tujuan Penelitian... 5

1.5. Manfaat Penelitian... 6

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. C-Reaktive Protein... 7

2.1.1. Sintesis dan Struktur CRP... 7

2.1.2. Fungsi Biologis CRP... 9

2.1.3. Inflamasi dan Respon Fase Akut... 10


(10)

2.2. Sindrom Metabolik... 16

2.2.1. Sejarah... 16

2.2.2. Definisi... 16

2.2.3. Epidemiologi... 20

2.2.4. Etiologi... 21

2.2.5. Patofisiologi Sindrom Metabolik... 26

2.2.6. Inflamasi, hs-CRP, SM dan CVD... 28

2.3. Kerangka Konsep... ... 35

BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1. Desain Penelitian... 36

3.2. Tempat dan Waktu ... 36

3.3. Populasi dan Subjek... 37

3.4. Perkiraan Besar Sampel... 39

3.5. Analisa Data... 40

3.6. Bahan dan Cara Kerja... 40

3.7. Pemantapan Mutu... 45


(11)

3.9. Alur Kerja... 49

BAB 4 HASIL PENELITIAN... 50

BAB 5 PEMBAHASAN... 54

BAB 6 KESIMPULAN dan SARAN... 57

BAB 7 RINGKASAN... 58

Daftar Pustaka... 63


(12)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Kriteria Diagnosa Sindrom Metabolik... 18

Tabel 2.2. Kriteria Diagnosa SM menurut IDF 2005... 19

Tabel 2.3. Klasifikasi BMI untuk dewasa Asia... 23

Tabel 3.1. Kontrol hs-CRP ... 47

Tabel 4.1. Karakteristik dan perbedaan subjek dan kontrol ... 50

Tabel 4.2. Perbedaan hs-CRP subjek dan kontrol ... 51

Tabel 4.3. Karakteristik pasien pada level kadar hs-CRP dalam risiko CVD... 51

Tabel 4.4. Perbedaan hs-CRP menurut jenis kelamin ... 52


(13)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Prinsip Pemeriksaan hs-CRP... 14

Gambar 2.2. Perubahan bentuk CRP sebagai proatherosklerotik.... 29

Gambar 2.3. Peran CRP pada inflamasi vaskular ... 30

Gambar 2.4. Proses pembentukan sel foam pada aterosklerosis .... 31

Gambar 2.5. Penyakit kardiovaskular pada SM ... 34


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Lembar Penjelasan Kepada Calon Subjek

Lampiran 2. Formulir Persetujuan setelah Penjelasan

Lampiran 3. Status Pasien

Lampiran 4. Health Research Ethical Comittee

Lampiran 5. Data hasil penelitian

Lampiran 6. Tabel kontrol pemeriksaan Laboratorium


(15)

DAFTAR SINGKATAN

1. ACE = American College of Endocrinology

2. ACR = Albumin Creatinin Ratio

3. AHA = American Heart Association

4. C1q = Complement 1 q

5. C3b = Complement 3 b

6. CHD = Coronary Heart Disease

7. CRP = C-Reaktif Protein

8. CVD = CardioVascular Disease

9. DM = Diabetes Mellitus

10. DMT2 = Diabetes Mellitus Tipe 2

11. EGIR = The European Group for the Study of Insulin Resistance

12. ELISA = Enzyme Linked Immunosorbent Assay

13. FFA = Free Fatty Acid

14. HDL-C = High Density Lipoprotein Cholesterol

15. hs-CRP = High Sensitivity C-Reaktive Protein

16. IDF = International Diabetes Federation

17. IGT = Intoleransi Glukosa Terganggu 18. IL-1 = Interleukin 1

19. IL-6 = Interleukin 6

20. IMT = Indeks Massa Tubuh 21. KGDP = Kadar Gula Darah Puasa


(16)

22. LDL-C = Low Density Lipoprotein-Colesterol

23. NCEP:ATP III = National Cholesterol Education Program Adult Treatment Panel III

24. NHLBI = National Heart, Lung and Blood Institute

25. NO = Nitrite Oxide

26. SM = Sindroma Metabolik 27. TD = Tekanan Darah 28. TG = Trigliserida

29. TNF-α = Tumor Necroting Factor α 30. VLDL = Very Low Density Lipoprotein

31. WC = Waist Circumference


(17)

PENILAIAN KADAR hs-CRP PADA SUBJEK SINDROM METABOLIK DAN OBESITAS

Triana Silalahi 1, Ratna Akbari Ganie 1, Dharma Lindarto 2

1Departemen Patologi Klinik, Fakultas Kedokteran

Universitas Sumatera Utara/RSUP.H. Adam Malik Medan

2

Departemen Ilmu Penyakit Dalam Divisi Endokrinologi, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/RSUP H. Adam Malik Medan

ABSTRAK

Latar belakang penelitian: C-Reactive Protein adalah salah satu protein fase akut yang terdapat dalam serum normal dalam konsentrasi yang sangat sedikit. Dalam keadaan tertentu pada reaksi inflamasi dapat meningkat. Kadar hs-CRP dapat diukur secara kuantitatif sampai dengan kadar < 0,2-0,3 mg/L yang disebut dengan high sensitivity C-Reactive

Protein. Sindrom Metabolik memiliki beberapa unsur kelainan, yaitu

resistensi insulin, adiposity organ visceral, penurunan kadar HDL-C, peningkatan kadar Trigliserida,hipertensi dan status pro-inflammatory

sistemik memberikan kontribusi yang besar terhadap risiko kejadian penyakit Jantung dan Pembuluh Darah serta risiko penyakit DM.

Tujuan penelitian:Untuk mengetahui perbedaan kadar hs-CRP pada subjek SM dengan Obsitas.

Metode dan cara penelitian:Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat analitik observasional dengan pendekatan potong lintang,dilakukan di Departemen Patologi Klinik RSUP H.Adam Malik Medan mulai bulan Agustus sampai dengan Oktober 2012. Sampel penderita SM sebanyak 33 orang dan 33 orang obesitas sebagai kontrol. Diagnosa SM ditegakkan berdasarkan kriteria IDF tahun 2005.

Hasil : Dari 33 orang pasien SM dijumpai rata-rata umur 40,4(SD5,6) tahun; wanita 19 orang (57,6%) dan pria 14 orang (42,4%). Kontrol obesitas 33 orang yang sudah disesuaikan umur dan jenis kelamin dengan pasien. Semua variabel komponen SM berbeda signifikan antara kelompok pasien SM dan obesitas. Rata-rata kadar hs-CRP pada kelompok SM adalah 3,3(SD2,2)mg/L dengan range 0,8-9,0 mg/L, sedangkan kontrol 1,1(SD0,6) mg/L dengan range 0,1-2,9 mg/L dan perbedaan ini bermakna secara statistik (p<0,001). Terdapat hubungan yang lemah antara masing-masing komponen SM dengan hs-CRP.

Kesimpulan : Kadar hs-CRP berbeda signifikan antara SM dengan obesitas dan terdapat hubungan yang lemah antara komponen SM dengan hs-CRP.


(18)

LEVEL OF hs-CRP IN SUBJECT METABOLIC SYNDROME AND SUBJECT WITH OBESITY

Triana Silalahi 1, Ratna Akbari Ganie 1, Dharma Lindarto 2 Clinical Pathology Department, Medicine Faculty

1

University of Sumatera Utara/H. Adam Malik Central Hospital Medan

2

Department of Internal Medicine, School of Medicine, University of Sumatera Utara/ H.Adam Malik Medan Hospital

ABSTRACT

Background: C-Reactive Protein (CRP) is one of the acute phase protein included in normal serum with small quantities. In the particular condition, such as inflamation, the amount of C-reactive protein could increase. The concentration of the protein can be measured quantitavely with less than 0.2-0.3 mg/L which is called high sensitivity C-reactive protein (hs-CRP). Metabolic syndrome (MS) with some disorder signs, for instance insulin resistance, adiposity organ visceral, low HDL-C levels, hypertriglyceridemia, hypertension, and the pro-inflammatory state, contribute to the risk of CardioVascular Disease, and Diabetes Mellitus.

The aim of study: This study intends to compare the concentration of hs-CRP between MS subjects and obese.

Methods: This study is analytically observation with cross sectional approach conducted in Clinical Pathology Department at H. Adam Malik Central Hospital in Medan started from August to October 2012. Is was taken 33 of MS patients and 33 of obese as controls. The obese MS diagnosis was made based on IDF criterion in 2005.

Results: There were 33 MS patients that the average age was 40,4(SD5,6) year old with 19 women (57,6%) and 14 men (42,4%). The number of control was 33 people which was comparable to age and gender of patients. In MS group, the concentration of hs-CRP in average was 3,3(SD2,2)mg/L while in control, it was 1,1(SD0,6) mg/L. The difference was statistically significant (p<0,0001). There is a low correlation between MS component and hs-CRP.

Conclusion: It was found that there was the difference of hs-CRP in MS group and obese group.There is a low correlation between MS component and hs-CRP.


(19)

PENILAIAN KADAR hs-CRP PADA SUBJEK SINDROM METABOLIK DAN OBESITAS

Triana Silalahi 1, Ratna Akbari Ganie 1, Dharma Lindarto 2

1Departemen Patologi Klinik, Fakultas Kedokteran

Universitas Sumatera Utara/RSUP.H. Adam Malik Medan

2

Departemen Ilmu Penyakit Dalam Divisi Endokrinologi, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/RSUP H. Adam Malik Medan

ABSTRAK

Latar belakang penelitian: C-Reactive Protein adalah salah satu protein fase akut yang terdapat dalam serum normal dalam konsentrasi yang sangat sedikit. Dalam keadaan tertentu pada reaksi inflamasi dapat meningkat. Kadar hs-CRP dapat diukur secara kuantitatif sampai dengan kadar < 0,2-0,3 mg/L yang disebut dengan high sensitivity C-Reactive

Protein. Sindrom Metabolik memiliki beberapa unsur kelainan, yaitu

resistensi insulin, adiposity organ visceral, penurunan kadar HDL-C, peningkatan kadar Trigliserida,hipertensi dan status pro-inflammatory

sistemik memberikan kontribusi yang besar terhadap risiko kejadian penyakit Jantung dan Pembuluh Darah serta risiko penyakit DM.

Tujuan penelitian:Untuk mengetahui perbedaan kadar hs-CRP pada subjek SM dengan Obsitas.

Metode dan cara penelitian:Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat analitik observasional dengan pendekatan potong lintang,dilakukan di Departemen Patologi Klinik RSUP H.Adam Malik Medan mulai bulan Agustus sampai dengan Oktober 2012. Sampel penderita SM sebanyak 33 orang dan 33 orang obesitas sebagai kontrol. Diagnosa SM ditegakkan berdasarkan kriteria IDF tahun 2005.

Hasil : Dari 33 orang pasien SM dijumpai rata-rata umur 40,4(SD5,6) tahun; wanita 19 orang (57,6%) dan pria 14 orang (42,4%). Kontrol obesitas 33 orang yang sudah disesuaikan umur dan jenis kelamin dengan pasien. Semua variabel komponen SM berbeda signifikan antara kelompok pasien SM dan obesitas. Rata-rata kadar hs-CRP pada kelompok SM adalah 3,3(SD2,2)mg/L dengan range 0,8-9,0 mg/L, sedangkan kontrol 1,1(SD0,6) mg/L dengan range 0,1-2,9 mg/L dan perbedaan ini bermakna secara statistik (p<0,001). Terdapat hubungan yang lemah antara masing-masing komponen SM dengan hs-CRP.

Kesimpulan : Kadar hs-CRP berbeda signifikan antara SM dengan obesitas dan terdapat hubungan yang lemah antara komponen SM dengan hs-CRP.


(20)

LEVEL OF hs-CRP IN SUBJECT METABOLIC SYNDROME AND SUBJECT WITH OBESITY

Triana Silalahi 1, Ratna Akbari Ganie 1, Dharma Lindarto 2 Clinical Pathology Department, Medicine Faculty

1

University of Sumatera Utara/H. Adam Malik Central Hospital Medan

2

Department of Internal Medicine, School of Medicine, University of Sumatera Utara/ H.Adam Malik Medan Hospital

ABSTRACT

Background: C-Reactive Protein (CRP) is one of the acute phase protein included in normal serum with small quantities. In the particular condition, such as inflamation, the amount of C-reactive protein could increase. The concentration of the protein can be measured quantitavely with less than 0.2-0.3 mg/L which is called high sensitivity C-reactive protein (hs-CRP). Metabolic syndrome (MS) with some disorder signs, for instance insulin resistance, adiposity organ visceral, low HDL-C levels, hypertriglyceridemia, hypertension, and the pro-inflammatory state, contribute to the risk of CardioVascular Disease, and Diabetes Mellitus.

The aim of study: This study intends to compare the concentration of hs-CRP between MS subjects and obese.

Methods: This study is analytically observation with cross sectional approach conducted in Clinical Pathology Department at H. Adam Malik Central Hospital in Medan started from August to October 2012. Is was taken 33 of MS patients and 33 of obese as controls. The obese MS diagnosis was made based on IDF criterion in 2005.

Results: There were 33 MS patients that the average age was 40,4(SD5,6) year old with 19 women (57,6%) and 14 men (42,4%). The number of control was 33 people which was comparable to age and gender of patients. In MS group, the concentration of hs-CRP in average was 3,3(SD2,2)mg/L while in control, it was 1,1(SD0,6) mg/L. The difference was statistically significant (p<0,0001). There is a low correlation between MS component and hs-CRP.

Conclusion: It was found that there was the difference of hs-CRP in MS group and obese group.There is a low correlation between MS component and hs-CRP.


(21)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Penelitian

C-Reactive Protein ( CRP ) adalah salah satu protein fase akut

yang terdapat dalam serum normal dalam jumlah yang sangat sedikit (1ng/L). Dalam keadaan tertentu dengan reaksi inflamasi atau kerusakan jaringan baik yang disebabkan oleh penyakit infeksi maupun yang bukan infeksi, kadar CRP dapat meningkat sampai 100 kali1,5. Pada kelompok Sindrom Metabolik yang berisiko atherosklerosis, proses peradangan yang terjadi bersifat menahun, dan umumnya tanpa gejala, sehingga kadar CRP-nya juga relatif rendah.2,3 Oleh karena itu diperlukan suatu pemeriksaan laboratorium yang sensitif dapat mengukur kadar CRP.

High sensitivity C-Reactive Protein ( hs-CRP) adalah pengukuran konsentrasi CRP secara kuantitatif dimana dapat mengukur kadar sampai < 0,2 – 0,3 mg/L.5

Sintesa CRP dan protein fase akut lainnya di hati dimodulasi oleh sitokin Interleukin-1 (IL-1), Interleukin-6 (IL-6) dan Tumor Necroting Factor

α(TNF-α), yang merupakan regulator yang sangat penting pada sintesa CRP. 2,3,4

Sindrom Metabolik (Syndrome X, insulin resistance syndrome) adalah kumpulan keadaan metabolisme yang tidak normal yang saling mempengaruhi dan memberi risiko dengan timbulnya penyakit jantung


(22)

dan pembuluh darah (CardioVascular Disease / CVD) dan Diabetes Melitus (DM). 6,7,8,9

Sindrom Metabolik (SM) dengan beberapa unsur kelainan, yaitu Resistensi Insulin, adiposity organ visceral, penurunan kadar High Density

Lipoprotein-Cholesterol (HDL-C), Hipertensi, Peningkatan kadar

trigliserida darah, peningkatan kadar kolesterol darah, dan status pro-inflammatory sistemik yang berkontribusi besar terhadap risiko kejadian berbagai jenis penyakit yang berat seperti penyakit Jantung dan Pembuluh darah dan risiko Penyakit DM. Proses inflamasi ini berlangsung perlahan-lahan dengan jangka waktu lama 6,7,8,9.

Peningkatan prevalensi obesitas secara langsung juga meningkatkan prevalensi SM.4 Prevalensi SM bervariasi di seluruh dunia yang sebagian menggambarkan umur dan etnis dari populasi yang diteliti dan kriteria penegakan diagnosa SM yang digunakan.4,6 Tercatat prevalensi tertinggi di dunia adalah penduduk asli Amerika, sekitar 60% pada wanita berusia 45-49 tahun dan 45% pada laki-laki berusia 45-49 tahun dengan memakai kriteria NCEP:ATP III6. Anand dkk (2003) dalam penelitiannya di Asia Selatan ditemukan prevalensi SM dewasa dengan memakai NCEP:ATP III sebagai kriteria diagnosa SM adalah 25,9%.4

Dalam penelitian Soegondo yang dilakukan di Depok (2001), dengan memakai kriteria NCEP:ATP III didapat prevalensi SM sebesar 25,7% pada pria dan 25% pada wanita . Penelitian Soegondo (2004)


(23)

menunjukkan prevalensi SM di Indonesia adalah 13,13% berdasarkan survey kesehatan rumah tangga. Tjokroprawiro dkk (2005) dalam penelitiannya di Surabaya didapat prevalensi SM 34% dimana 17,64% pada wanita dan 82,35% pada pria dengan menggunakan NCEP-ATP III sebagai kriteria SM dan melakukan penyesuaian untuk kriteria Indeks Massa Tubuh (IMT) dan lingkar pinggang yang dipakai adalah berdasarkan IMT yang disesuaikan untuk orang Asia yaitu disebut obesitas jika IMT >25kg/m2 dan lingkar pinggang wanita >80cm atau pria >90cm. Soewondo dkk (2006) meneliti prevalensi SM dengan menggunakan NCEP:ATP III yang dimodifikasi dengan kriteria Asian sebagai kriteria SM di Jakarta. Diantara 1591 subjek yang diteliti 30,4% SM pada pria dan 25,4% pada wanita, prevalensi cenderung meningkat sesuai dengan kenaikan umur. Sudijanto Kamso dalam penelitiannya di Jakarta (2007) menyimpulkan bahwa prevalensi SM pada wanita usia lanjut adalah 18,2% dan pada pria usia lanjut adalah 6,6%. Pada usia lanjut yang mempunyai berat badan lebih,resiko untuk SM hampir empat kali lebih tinggi dibanding dengan usia lanjut dengan IMT yang normal.11,12,13,14

Paul dkk dalam penelitiannya pada tahun 2003 melihat hubungan CRP, SM dengan kejadian CVD diantara 14.719 orang wanita sehat di Amerika yang diikuti selama 8 tahun. Di dapat hasil 24,4% SM, dan kadar CRP dijumpai 3,38 (1,76-6,01)mg/L dengan 3,4-5,9 per 1000 kelompok SM yang menderita CVD dengan kadar CRP≥3mg/L. Mereka juga


(24)

membagi kelompok berisiko rendah, sedang, dan tinggi terhadap CVD dengan kadar CRP<1mg/L, 1-3mg/L, dan >3mg/L. Paul dkk (2004) menyatakan bahwa sudah waktunya mempertimbangkan pengukuran kadar hs-CRP sebagai kriteria klinik pada SM dan digunakan sebagai prediksi risiko Coronary Heart Disease ( CHD ) pada laki-laki dan wanita.15,16

Antonio dkk (2008) meneliti hubungan antara SM (komponen-komponennya) dengan kadar CRP pada obesitas usia muda (11,3±3,2 tahun) di Brazil. Dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa kadar CRP lebih tinggi pada kelompok SM (1,41mg/L). Kenaikan kadar CRP berhubungan signifikan dengan kenaikan komponen SM (BMI,hipertensi,hipertrigliseridemia).17

Dalam penelitian Fatma dkk (2009), didapat bahwa prevalensi SM tinggi pada populasi Cuban Amerika. Dari 161 Cuban Amerika yang berusia ≥30 tahun dijumpai 41% SM dan tidak ada perbedaan signifikan berdasarkan jenis kelamin. Memiliki kadar CRP yang lebih tinggi pada SM (≥3mg/L). Kadar CRP meningkat sejalan dengan peningkatan komponen SM, dan dari semua komponen SM hanya obesitas sentral yang mempunyai hubungan signifikan dengan kenaikan kadar CRP.18

Hatem dkk (2010) meneliti anak-anak obesitas berusia 6-16 tahun di Saudi Arabia menyimpulkan bahwa prevalensi SM adalah 24% dan kadar hs-CRP lebih tinggi pada kelompok SM. Diantara kelompok SM


(25)

35% memiliki kadar hs-CRP diatas 3,0mg/L (konsentrasi yang berisiko tinggi dengan penyakit KardioVaskular).19

Noora dkk (2010) di Finland meneliti hubungan SM dengan penebalan carotid intima media pada dewasa muda (24-39 tahun) dengan melihat kadar hs-CRP sebagai marker proinflamatori. Disimpulkan bahwa kelompok penderita SM memiliki kadar hs-CRP (2,22±1,93 mg/L) yang lebih tinggi dibanding kelompok bukan SM (1,16±1,53 mg/L). Diantara komponen-komponen SM (obesitas, hipertrigliserida, hiperinsulinemia, hipertensi) berhubungan signifikan dengan kenaikan kadar hs-CRP.20

Sehubungan dengan latar belakang, data-data, dan hasil penelitian diatas, peneliti ingin mengetahui kadar hs-CRP penderita SM pada kelompok pasien yang melakukan pemeriksaan rutin di laboratorium Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Haji Adam Malik Medan.

I.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

Apakah ada perbedaan kadar hs-CRP pada subjek Sindrom Metabolik dengan Obesitas

I.3. Hipotesa Penelitian

Ada perbedaan kadar hs-CRP pada subjek Sindrom Metabolik dengan Obesitas .


(26)

I.4. Tujuan Penelitian

I.4.1.Tujuan Umum:

Untuk mengetahui perbedaan kadar hs-CRP pada subjek Sindrom Metabolik dengan Obesitas.

I.4.2.Tujuan Khusus:

1. Untuk mengetahui kadar hs-CRP pada kelompok Sindrom Metabolik dan Obesitas

2. Untuk mengetahui karakteristik kelompok Sindrom Metabolik dan Obesitas.

3. Untuk mengetahui hubungan komponen sindrom metabolik dengan hs-CRP

I.5. Manfaat Penelitian.

Diharapkan penelitian ini dapat memberi masukan mengenai pentingnya pemeriksaan kadar hs-CRP pada Sindrom Metabolik sebagai

predictor dalam menentukan kemungkinan terjadinya penyakit

Kardiovaskular, dengan demikian angka kesakitan dan kematian penyakit Kardiovaskular berkurang.

Dengan dilakukannya penelitian ini, diharapkan bisa memberikan tambahan wawasan dan pengetahuan mengenai Sindrom Metabolik serta risiko penyakit yang ditimbulkannya.


(27)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 C-Reactive Protein (CRP)

2.1.1. Sintesis dan struktur dari CRP

C-Reactive Protein (CRP) adalah salah satu protein fase akut yang terdapat dalam serum normal walaupun dalam konsentrasi yang amat kecil. Dalam keadaan tertentu dengan reaksi inflamasi atau kerusakan jaringan baik yang disebabkan oleh penyakit infeksi maupun yang bukan infeksi, konsentrasi CRP dapat meningkat sampai 100 kali. Sehingga diperlukan suatu pemeriksaan yang dapat mengukur kadar CRP.1

High sensitivity C-Reactive Protein ( hs-CRP) adalah pengukuran konsentrasi CRP secara kuantitatif dimana dapat mengukur kadar sampai < 0,2 – 0,3 mg/L.5

Pada tahun 1930 William Tillet dan Thomas Francis di Institut Rockefeller mengobservasi substansi dalam serum penderita Pneumonia pneumokokkus. Serum penderita membentuk presipitasi ketika dicampur dengan Capsular (C) Polisakarida dari dinding sel Pneumococcus. Aktivitas ‘C-reactive’ ini tidak dijumpai pada orang yang sehat. MacLeod dan Avery kemudian menemukan substansi ini suatu protein dan menambahkan nama ‘acute phase’ di akhir . Lofstrom menemukan respon fase akut yang mirip pada keadaan inflamasi akut dan kronik, dan kemudian diakui menjadi CRP yaitu protein fase akut yang nonspesifik.2,4,21


(28)

CRP dalam plasma diproduksi oleh sel hepatosit hati terutama dipengaruhi oleh Interleukin 6 (IL-6).22,23 CRP merupakan marker inflamasi yang diproduksi dan dilepas oleh hati dibawah rangsangan sitokin-sitokin seperti IL-6,Interleukin 1 (IL-1), dan Tumor Necroting Factor

α (TNF-α).9,22 Beberapa obat seperti colchicine dapat menghambat produksi CRP sedangkan obat immunosupresif saperti cortikosteroid dan yang lainnya atau obat anti radang (Non Steroid Anti Inflamation Drug) tidak dapat menghambat sekresinya.22

Sintesa CRP di hati berlangsung sangat cepat setelah ada sedikit rangsangan, konsentrasi serum meningkat diatas 5mg/L selama 6-8 jam dan mencapai puncak sekitar 24-48 jam. Waktu paruh dalam plasma adalah 19 jam dan menetap pada semua keadaan sehat dan sakit, sehingga satu-satunya penentu konsentrasi CRP di sirkulasi adalah menghitung sintesa IL-6 dengan demikian menggambarkan secara langsung intensitas proses patologi yang merangsang produksi CRP. Kadar CRP akan menurun tajam bila proses peradangan atau kerusakan jaringan mereda dan dalam waktu sekitar 24-48 jam telah mencapai nilai normal kembali .Kadar CRP stabil dalam plasma dan tidak dipengaruhi variasi diurnal.2,5,22

CRP adalah anggota keluarga dari protein pentraksin, suatu protein pengikat kalsium dengan sifat pertahanan imunologis. Molekul CRP terdiri dari 5-6 subunit polipeptida non glikosilat yang identik, terdiri


(29)

dari 206 residu asam amino, dan berikatan satu sama lain secara non kovalen, membentuk satu molekul berbentuk cakram (disc) dengan berat molekul 110 – 140 kDa, setiap unit mempunyai berat molekul 23 kDa.22

Eisenhardt dkk pada tahun 2009 menemukan bahwa C-Reactive Protein terdapat dalam 2 bentuk, yaitu bentuk pentamer (pCRP) dan monomer (mCRP). Bentuk pentamer dihasilkan oleh sel hepatosit sebagai reaksi fase akut dalam respon terhadap infeksi, inflamasi dan kerusakan jaringan. Bentuk monomer berasal dari pentamer CRP yang mengalami dissosiasi dan mungkin dihasilkan juga oleh sel-sel ekstrahepatik seperti otot polos dinding arteri, jaringan adiposa dan makrofag.47

2.1.2 Fungsi Biologis CRP

Fungsi dan peranan CRP di dalam tubuh ( in vivo ) belum diketahui seluruhnya, banyak hal yang masih merupakan hipotesis. Meskipun CRP bukan suatu antibodi, tetapi CRP mempunyai berbagai fungsi biologis yang menunjukkan peranannya pada proses peradangan dan mekanisme daya tahan tubuh terhadap infeksi.5

Beberapa hal yang diketahui tentang fungsi biologis CRP ialah 3,5,23,28 :

1. CRP dapat mengikat C-polisakarida (CPS) dari berbagai bakteri melalui reaksi presipitasi/aglutinasi.

2. CRP dapat meningkatkan aktivitas dan motilitas sel fagosit seperti granulosit dan monosit/makrofag.


(30)

3. CRP dapat mengaktifkan komplemen baik melalui jalur klasik mulai dengan C1q maupun jalur alternatif.

4. CRP mempunyai daya ikat selektif terhadap limfosit T. Dalam hal ini diduga CRP memegang peranan dalam pengaturan beberapa fungsi tertentu selama proses keradangan.

5. CRP mengenal residu fosforilkolin dari fosfolipid, lipoprotein membran sel rusak, kromatin inti dan kompleks DNA-histon.

6. CRP dapat mengikat dan mendetoksikasi bahan toksin endogen yang terbentuk sebagai hasil kerusakan jaringan.

2.1.3 Inflamasi dan Respon Fase Akut

Inflamasi merupakan mekanisme proteksi yang terbatas terhadap trauma atau invasi mikroba dengan reaksi yang menghancurkan atau membatasi bahan yang berbahaya dan merusak jaringan. Inflamasi diperlukan tubuh untuk mempertahankan diri dari berbagai bahaya yang mengganggu keseimbangan tetapi juga dapt memperbaiki kerusakan struktur serta gangguan fungsi jaringan. Reaksi inflamasi termasuk dalam respons imun nonspesifik. Bila terjadi inflamasi, sel-sel sistem imun yang tersebar di seluruh tubuh akan bergerak ke lokasi infeksi beserta produk-produk yang dihasilkannya24.

Selama respon ini berlangsung terjadi 3 proses yang penting yaitu24,25:  Peningkatan aliran darah ke daerah infeksi


(31)

 Peningkatan permeabilitas kapiler akibat retraksi sel-sel endotel yang mengakibatkan molekul-molekul besar dapat menembus dinding vaskuler.

 Migrasi leukosit ke vaskuler

Gejala inflamasi dini ditandai oleh pelepasan berbagai mediator sel mast setempat seperti histamin dan bradikinin. Kejadian ini disertai dengan aktivasi komplemen, sistem koagulasi, sel-sel inflamasi dan sel endotel yang masing-masing melepas mediator yang menimbulkan efek sistemik seperti panas, neutrofilia dan protein fase akut. Proses inflamasi akan berjalan terus sampai antigen dapat disingkirkan1.

Sejumlah protein plasma secara bersama disebut protein-protein fase akut. Protein-protein ini menunjukkan peningkatan dramatis dalam menanggapi mediator-mediator yang bertindak sebagai tanda bahaya dini1

Suatu sifat utama dari CRP adalah kemampuannya mengikat ( dengan pola yang bergantung dengan kalsium ) sejumlah mikroorganisme yang mengandung fosforilkolin dalam membran mereka, kompleks yang berguna untuk mengaktifkan komplemen ( melalui jalur klasik ). Ini mengakibatkan deposisi C3b diatas permukaan mikroba yang kemudian diopsonisasi untuk perlekatan pada fagosit. Aktivasi komplemen berikutnya adalah terjadinya penarikan dan pemacuan neutrofil, fagosit yang telah aktif terikat pada mikroba yang telah diselaputi oleh C3b melalui permukaan reseptor C3b dan kemudian menelan mereka. CRP


(32)

juga diikat C1q dan karenanya dapat mengaktifkan komplemen atau bekerja sebagai opsonin melalui interaksi dengan reseptor C1q pada fagosit.25,26,27.

Peningkatan sintesis CRP akan meningkatkan viskositas plasma sehingga laju endap darah juga akan meningkat. Adanya CRP yang tetap tinggi menunjukkan infeksi yang tetap persisten1,26.

2.1.4. Pemeriksaan Kadar C-Reactive Protein

2.1.4.1.Prinsip dan Metode Pemeriksaan

Pada penentuan CRP, maka CRP dianggap sebagai antigen yang akan ditentukan dengan menggunakan suatu antibodi spesifik yang diketahui (antibodi anti-CRP). Dengan suatu antisera yang spesifik, CRP (merupakan antigen yang larut) dalam serum mudah dipresipitasikan.5 Jadi pada dasarnya, penentuan CRP dapat dilakukan dengan cara, yaitu:

Tes presipitasi: Sebagai antigen ialah CRP yang akan ditentukan, dan sebagai antibodi adalah anti-CRP yang telah diketahui.

Tes aglutinasi pasif: Antibodi disalutkan pada partikel untuk menentukan adanya antigen di dalam serum.

Uji ELISA: Dipakai teknik Double Antibody Sandwich ELISA. Antibodi pertama (antibodi pelapis) dilapiskan pada fase padat, kemudian ditambahkan serum penderita. Selanjutnya ditambahkan antibodi kedua (antibodi pelacak) yang berlabel enzim. Akhirnya


(33)

ditambahkan substrat, dan reagen penghenti reaksi. Hasilnya dinyatakan secara kuantitatif.

Imunokromatografi: Merupakan uji Sandwich imunometrik. Pada tes ini, antibodi monoklonal terhadap CRP diimobilisasi pada membran selulosa nitrat di garis pengikat. Bila ditambahkan serum yang diencerkan sampai ambang atas titer rujukannya pada bantalan sampel maka CRP dalam sampel akan diisap oleh bantalan absorban menuju bantalan konjugat, dan akan diikat oleh konjugat (antibodi monoklonal) pertama, berlabel emas koloidal. Selanjutnya CRP yang telah mengikat konjugat akan diisap oleh bantalan absorban menuju ke garis pengikat yang mengandung antibodi monoklonal kedua terhadap CRP (imobile) sehingga berubah warna menjadi merah. Sisanya yang tidak terikat pada garis pengikat akan bergerak menuju garis kontrol yang mengandung antibodi anti tikus yang mengikat sisa konjugat yang tidak terikat pada garis pengikat. Konjugat yang tidak terikat dibersihkan dari membran dengan larutan pencuci yang selanjutnya diisap oleh membran absorban. Bila kadar CRP lebih tinggi daripada ambang atas titer rujukannya, akan terbentuk warna merah coklat pada garis pengikat di membran yang intensitasnya berbanding lurus dengan kadar CRP dalam serum. Pembacaan hasil secara kuantitatif.


(34)

Imunoturbidimetri: Merupakan cara penentuan yang kualitatif. CRP dalam serum akan mengikat antibodi spesifik terhadap CRP membentuk suatu kompleks immun. Kekeruhan (turbidity) yang terjadi sebagai akibat ikatan tersebut diukur secara fotometris. Konsentrasi dari CRP ditentukan secara kuantitatif dengan pengukuran turbidimetrik.

Gambar 2.1. Prinsip pemeriksaan hs-CRP dengan metode Particle Enhanced Immunoturbidimetry

CRP CRP

2.1.4.2.Cara Pemeriksaan C-Reactive Protein

Ada banyak cara yang dapat dipakai untuk penentuan CRP. Beberapa cara yang sering dikerjakan di Indonesia yaitu:

Cara presipitasi tabung kapiler Cara Aglutinasi Latex

CRP Antigen

Anti-CRP Antibodi (berikatan dengan latex)

Kompleks Antigen- Antibodi


(35)

Uji Imunodifusi Radial

Uji Imunokromatografik dari CRP (Nycocard)High Sensitivity C-Reactif Protein

Konsentrasi dari CRP ditentukan secara kuantitatif dimana dapat mengukur kadar sampai < 0,2 – 0,3 mg/L sehingga disebut dengan high

sensitivity C-Reactive Protein ( hs-CRP). Metode berdasarkan reaksi

antara antigen dan antibodi dalam larutan buffer dan diikuti dengan pengukuran intensitas sinar dari suatu sumber cahaya yang diteruskan melalui proses imuno presipitasi yang terbentuk dalam fase cair. Dalam penelitian ini memakai metode imunoturbidimetri menggunakan reagen

Cardiac C-Reactive Protein (latex) High Sensitive-Roche.

Sampel yang berisi CRP (sebagai antigen) ditambah dengan R1 ( buffer ) kemudian ditambah R2 ( latex antibodi anti CRP ) dan dimulai reaksi dimana antibodi anti CRP yang berikatan dengan mikropartikel latex akan bereaksi dengan antigen dalam sampel untuk membentuk kompleks Ag-Ab. Presipitasi dari kompleks Ag-Ab ini diukur secara turbidimetrik.

2.1.4.3.Hal-hal yang dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan CRP

CRP meningkat pada penyakit Demam rematik akut, Rheumatoid arthritis, Infark Miokard Akut, Infeksi pasca operasi, Infeksi bakteri, Infeksi virus, Penyakit Chron’s, Sindrom Reiter’s, Sindrom vaskulitis, Lupus Eritematosus, Nekrosis jaringan atau trauma.1,5 Obat-obatan yang dapat menurunkan kadar CRP seperti colchicines dan statin.5


(36)

2.2. SINDROM METABOLIK

2.2.1. Sejarah

Pada tahun 1920, Kylin dari Swedia orang yang pertama kali menjelaskan mengenai kumpulan gangguan metabolik, yang melibatkan faktor-faktor risiko penyakit kardiovaskular, atherosclerotic cardiovascular

disease (ASCVD),hipertensi,hiperglikemia, dan gout. Pada tahun 1988,

Reaven membuat postulat beberapa faktor rIsiko seperti

dyslipidemia,hiperglikemia,dan hipertensi yang dinamakan sebagai

multiple risk factors terhadap CVD yang disebut dengan sindrom X. Pada tahun 1998, Reaven memperkenalkan lagi hipotesa bahwa resistensi insulin juga menjadi penyebab faktor-faktor resiko asal mula gangguan metabolik. Pada tahun 1989 Kaplan menamai kembali sindroma tersebut menjadi “ The Deadly Quartet” (kuartet yang mematikan) atau sindroma dismetabolik dan pada tahun 1992 kembali dinamai ulang menjadi Sindroma Resistensi Insulin. Pada tahun 1998 oleh World Health Organization diresmikan istilah “ Sindrom Metabolik” yang sekarang telah dikenal luas dan tetap menjadi deskripsi yang paling umum dari sekelompok kelainan metabolik ini.8,9,30

2.2.2. Definisi

Sindrom Metabolik (Syndrome X, insulin resistance syndrome) adalah kumpulan keadaan metabolisme yang tidak normal yang saling mempengaruhi dan memberi resiko tinggi dengan timbulnya penyakit


(37)

jantung dan pembuluh darah (CardioVascular Disease / CVD) dan Diabetes Mellitus. SM bukan merupakan suatu penyakit.6

Kriteria SM berkembang sejak WHO membuat definisi pada tahun 1998, mencerminkan pertumbuhan bukti klinis dan analisa dari beragam konferensi-konferensi konsensus dan organisasi profesional, diantaranya adalah:6,7,8,9,31

1. National Cholesterol Education Program Adult Treatment Panel III (NCEP:ATP III).

2. The European Group for the Study of Insulin Resistance Definition (EGIR).

3. American College of Endocrinology Criteria (ACE) 4. International Diabetes Federation Criteria (IDF).

5. American Heart Assiciation/National Heart,Lung and Blood Institute Criteria (AHA/NHLBI).


(38)

Tabel 2.1. Kriteria Diagnosa Sindrom Metabolik8

Komponen sindrom metabolik

WHO NCEP:ATPIII EGIR ACE AHA/NHLBI

Hipertensi TD≥140/90 mmHg TD≥130/85 mmHg atau sedang terapi antihipertensi TD≥140/90 mmHg atau sedang terapi antihiperten si TD≥130/85 mmHg atau sedang terapi antihipertensi TD≥130/85 mmHg atau sedang terapi antihipertensi Dislipidemi a TG≥150mg/dL HDL<35mg/dL (pria) HDL<39mg/dL (wanita) TG≥150mg/dL atau sedang terapi menurunkan TG HDL<40mg/dL (pria) HDL<50mg/dL (wanita) atau sedang terapi menaikkan HDL TG>190 mg/dL atau HDL<40 mg/dL TG≥150mg/dL atau sedang terapi menurunkan TG HDL<40mg/dL (pria) HDL<50mg/dL (wanita) atau sedang terapi menaikkan HDL TG≥150mg/dL atau sedang terapi menurunkan TG HDL<40mg/dL (pria) HDL<50mg/dL (wanita) atau sedang terapi menaikkan HDL

Obesitas IMT>30kg/m2 atau WHR>0,90 (pria) WHR>0,85 (wanita) WC>102cm(pria) WC>88cm (wanita) WC≥94cm (pria) WC≥80cm (wanita)

≥ 102 cm(≥ 40 in ) pada pria ≥ 88 cm(≥ 35 in) pada wanita

Gangguan metabolism e glukosa

DMT2 atau IGT KGDP≥110mg/dL atau sedang terapi hiperglikemia KGDP≥110 mg/dL KGDP 110-125mg/dL KGD2jamPP 140-200mg/dL KGDP≥100mg /dL atau dinyatakan DM sebelumnya

Lain-lain Mikroalbuminuri atau Laju ekskresi

albumin urin≥20μg/min

atau ACR≥30mg/dL

- Resisten Insulin atau hiperinsulin

emia

Kriteria Diagnosa

DMT2 atau IGT ditambah 2 dari kriteria lain

Dijumpai 3 dari komponen SM Resisten insulin diikuti dengan 2 atau lebih komponen SM Dijumpai minimal 3 dari

komponen

Keterangan: TD: Tekanan Darah, HDL: High Density Lipoprotein, TG: Trigliserida, WC: Weist Circumference, DMT2: Diabetes Melitus Tipe 2, KGDP: Kadar Gula Darah Puasa, ACR: Albumin Creatinin Ratio


(39)

Tabel 2.2. Kriteria Diagnosa SM menurut IDF 20058

Komponen SM Cutt points kategori

Obesitas WC≥94cm (pria Eropa)

WC≥90cm (Pria Asia Selatan,Cina dan Jepang) WC≥80cm (wanita)

Trigliserida meningkat ≥ 150 mg/dl (1,7 mmol/l) atau

dalam pengobatan untuk trigliserida

Kolesterol HDL rendah Pria < 40 mg/dl ; wanita < 50 mg/dl atau Dalam pengobatan untuk kolesterol HDL

Tekanan darah meningkat TDS ≥ 130 mmHg atau TDD ≥ 85 mmHg atau dalam pengobatan hipertensi

Kadar gula darah puasa meningkat ≥ 100 mg/dl atau dalam pengobatan untuk

kadar gula darah

Diagnosa Obesitas ditambah 2 komponen lain

Keterangan: WC: Weist Circumference, HDL: High Density Lipoprotein, TDS: Tekanan Darah Sistol, TDD: Tekanan Darah Diastol

Kriteria yang dibuat WHO berdasar pada hipotesa Reaven dengan

syndrome x ditambah dengan obesitas dan mikroalbuminuria yang

belakangan ini sebagai faktor risiko penting terhadap CVD,terutama pada pasien DMT2 sebagaimana dihubungkan dengan resistensi insulin. Perhatian utama NCEP:ATP III adalah mengenal orang-orang yang berisiko tinggi terhadap CVD sabagai tambahan terhadap faktor resiko konvensional yang sudah ada saperti LDL-C, merokok dan riwayat keluarga. IDF lebih menyukai kriteria NCEP:ATP III karena sederhana dan bermakna secara klinis. Kriteria IDF hampir mirip dengan NCEP:ATPIII. Secara umum prevalensi SM lebih tinggi berdasar kriteria IDF karena perbedaan WC. AHA/NHLBI merevisi kriteria yang dibuat oleh NCEP:ATPIII. Sindrom ini terutama digunakan dalam praktek klinis untuk


(40)

memberi perhatian lebih dalam menetapkan risiko CVD dan DM dengan memberikan intervensi dini sehingga menurunkan risiko kematian CVD dan DM.6,8

2.2.3. Epidemiologi

Prevalensi SM sangat bervariasi dikarenakan banyak hal yang antara lain adalah ketidakseragaman kriteria yang digunakan, perbedaan ras atau etnis, jenis kelamin, dan umur. Peningkatan prevalensi obesitas secara langsung juga meningkatkan prevalensi SM.18 Prevalensi SM bervariasi di seluruh dunia yang sebagian menggambarkan umur dan etnis dari populasi yang diteliti dan kriteria penegakan diagnosa SM yang digunakan.6

Tercatat prevalensi tertinggi di dunia adalah penduduk asli Amerika, sekitar 60% pada wanita berusia 45-49 tahun dan 45% pada laki-laki berusia 45-49 tahun dengan memakai kriteria NCEP:ATP III. Anand dkk (2003) dalam penelitiannya ditemukan prevalensi SM dewasa dengan memakai NCEP:ATP III sebagai kriteria diagnosa SM di Asia Selatan adalah 25,9%.7

Di Amerika Serikat, SM lebih sedikit pada pria African-Amerika, lebih banyak pada wanita Mexican-Amerika. Berdasar data National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES) III, prevalensi SM di Amerika Serikat adalah 34% pada pria dan 35% pada wanita. Di Prancis, SM pada usia 30-64 tahun <10% pada pria dan wanita, sedangkan pada


(41)

Di Indonesia sendiri telah dilakukan beberapa penelitian SM. Diantaranya, Soewondo dkk (2006) meneliti prevalensi SM dengan menggunakan NCEP:ATP III yang dimodifikasi dengan kriteria Asian sebagai kriteria SM di Jakarta. Diantara 1591 subjek yang diteliti 30,4% SM pada pria dan 25,4% pada wanita, prevalensi cenderung meningkat sesuai dengan kenaikan umur. Penelitian Soegondo (2004) menunjukkan prevalensi SM di Indonesia adalah 13,13% berdasarkan Survey Kesehatan Rumah Tangga. Dalam penelitiannya yang dilakukan di Depok (2001) dengan memakai NCEP:ATP III sebagai kategori SM didapat prevalensi SM sebesar 25,7% pada pria dan 25% pada wanita.Tjokroprawiro dkk (2005) dalam penelitiannya di Surabaya didapat prevalensi SM 34% dimana 17,64% pada wanita dan 82,35% pada pria dengan menggunakan NCEP-ATP III sebagai kriteria SM dan melakukan penyesuaian untuk kriteria Indeks Massa Tubuh (IMT) dan lingkar pinggang yang dipakai adalah berdasarkan IMT yang disesuaikan untuk orang Asia yaitu disebut obesitas jika IMT >25kg/m2 dan lingkar pinggang wanita >80cm atau pria >90cm.11,12,13

2.2.4. Etiologi Sindroma Metabolik

2.2.4.1.Resistensi Insulin

Definisi singkat resistensi insulin adalah keadaan dimana respon insulin berkurang dari normal. Hipotesa yang paling bisa diterima untuk menjelaskan patofisiologi SM adalah resistensi insulin. Awal resistensi


(42)

insulin ini adalah hiperinsulinemia postprandial, diikuti dengan hiperinsulinemia puasa dan akhirnya hiperglikemia.6,32

Kontributor dini yang utama terhadap berkembangnya resistensi insulin adalah asam-asam lemak yang beredar di sirkulasi dalam jumlah yang berlebih-lebih. Hipotesa Stress Oksidatif merupakan teori sepihak pada umur dan predisposisi SM. Dari penelitian-penelitian yang dilakukan didapat gangguan posporilasi oksidatif mitokondria dengan penumpukan trigliserida dan hubungan molekul-molekul lemak. Penumpukan lemak yang di otot ini dihubungkan dengan resistensi insulin.6,37

Mekanisme lain menyatakan ketika sel-sel yang dipenuhi dengan bahan bakar yang berlebih seperti karbohidrat atau lemak menyebabkan jaringan ini menjadi resisten terhadap insulin. Dimana di dalam sel-sel akan muncul proses metabolik bersifat kritikal seperti penumpukan Uridine

diphosphate (UDP), glukosamine yang ketika tersaturasi mengakibatkan

perubahan kompleks aktivitas enzyme dan merubah respon insulin jadi berhenti.32

2.2.4.2.Obesitas

Peningkatan angka kejadian SM salah satunya disebabkan oleh peningkatan populasi dan prevalensi obesitas. Obesitas dan SM memiliki keterkaitan yang erat dan merupakan suatu hubungan kausal. WHO mendefinisikan obesitas berdasar IMT (kg/m2), dinyatakan obesitas jika IMT=30,0-39,9. Definisi WHO ini memiliki batasan dimana morbiditas


(43)

obesitas berhubungan dengan jumlah jaringan lemak di visceral dan bukan berdasar berat badan. Penilaian persentase lemak tubuh lebih baik daripada IMT. Di Asia Selatan morbiditas obesitas lebih berhubungan dengan adipositas jaringan dibanding dengan IMT, sehingga WHO menyarankan cuts-off IMT diturunkan menjadi 25kg/m2 pada kelompok Asia Pasifik.32,33

Tabel 2.3. Klasifikasi BMI untuk dewasa Asia.33

Klasifikasi IMT (kg/m2) Resiko Co-morbidities

Underweight < 18,5 Rendah (Resiko tinggi masalah klinik lain)

Normal range 18,5-22,9 Sedang

Overwight At risk Obese I Obese II

>23 23 – 24,9 25 – 29,9 ≥30

Rendah Sedang Berat Keterangan : IMT: Indeks Massa Tubuh

Jaringan adiposa merupakan organ aktif yang berkontribusi terhadap regulasi homeostatis energi tubuh. Terdiri dari White Adipose Tissue (WAT) dan Brown Adipose Tissue (BAT). Dikatakan aktif karena organ ini dialiri sistem syaraf dan vaskularisasi dan mengatur keseimbangan energi tubuh. WAT merupakan depot energi tinggi yang bisa menutupi kebutuhan energi selama selang sampai makan. BAT memiliki energi tinggi untuk menghasilkan panas yang difungsikan oleh UCP1 (Uncoupling Protein1).34


(44)

Sejumlah faktor baik genetik maupun lingkungan mempengaruhi perkembangan obesitas, antara lain tingginya konsumsi makanan luar rumah, tingginya porsi makanan, kebiasaan minum soft drink , kebiasaan mengkonsumsi makanan restoran, kebiasaan menonton TV, penggunaan komputer, berkurangnya aktivitas fisik baik di sekolah maupun tempat kerja.3

Dalam populasi umum, obesitas merupakan penyebab utama kenaikan penyakit Kardiovaskular(Garrison dkk,1996). Obesitas juga menjadi penyebab utama DMT2 dan morbiditas lain, dan diduga obesitas memberi dampak penyakit Kardiovaskular di populasi umum kira-kira sama dengan penyebab merokok dan kenaikan LDL-C.32

Manifestasi klinis obesitas dengan penyakit Kardiovaskular antara lain penyakit aterosklerotik koroner, kardiomiopati dan gagal jantung, arritmia dan kematian tiba-tiba, penyakit tromboemboli vena, dan stroke.8,38

Obesitas juga jadi penyebab resistensi insulin. Kerja insulin sebagai hormon antilipolitik gagal sehingga terjadi penumpukan Non Esterify Fatty

Acid (NEFA) di sirkulasi dan terjadi penumpukan lemak di hati dan

mengganggu metabolisme VLDL. Kerja enzyme Lipoprotein Lipase (LPL) sabagai clearance trigliserida dan juga transfer interpartikel apolipoprotein A-1 dan kolesterol menurun pada obesitas, yang berkontribusi secara langsung pembentukan aterogenik.6,40


(45)

2.2.4.3.Intoleransi Glukosa Terganggu

Gangguan kerja insulin menimbulkan kegagalan penekanan produksi glukosa oleh hati dan ginjal dan menurunkan uptake glukosa dan metabolisme di dalam jaringan yang sensitif dengan insulin, misalnya otot dan jaringan adiposa. Untuk mengkompensasi gangguan kerja insulin, sekresi dan atau clearance insulin harus dimodifikasi untuk menahan

euglycemia. Akhirnya mekanisme kompensasi gagal, biasanya karena

gangguan sekresi insulin, sehingga kegagalan glukosa puasa atau intoleransi glukosa terganggu jatuh ke DM.6,39

2.2.4.4.Hipertensi

Hubungan antara resistensi insulin dengan hipertensi ditetapkan dengan baik. Pada keadaan fisiologi normal, insulin adalah vasodilator yang mereabsorbsi natrium di ginjal. Pada obesitas, efek vasodilator insulin ini hilang tetapi efek reabsorbsi natrium menetap. Efek insulin untuk meningkatkan aktivitas sistem syaraf simpatis juga menetap. Di endothelium terjadi ketidakseimbangan produksi NO dan sekresi endothelin-1, sehingga terjadi penurunan aliran darah.6,40

Aspek lain termasuk hiperinsulinemia yang diprovokasi oleh hiperglikemia menyebabkan peningkatan aktivitas sistem syaraf simpatis dan aktivasi Hypothalamo-Pituitary Adrenal Axis (HPAA) yang berkontribusi dengan hipertensi.32


(46)

2.2.4.5.Adiponektin

Adiponektin adalah sitokin antiinflamasi yang dihasilkan adiposit. Adiponektin meningkatkan sensitivitas insulin dan menghambat proses inflamasi. Di hati, adiponektin menghambat ekspresi enzyme glukoneogen dan laju produksi glukosa. Di otot, adiponektin meningkatkan transport glukosa dan meningkatkan oksidasi asam lemak. Adiponektin ini berkurang pada SM.6,36

2.2.4.6.Dislipidemia

Secara umum, peningkatan asam lemak bebas di hati dihubungkan dengan peningkatan produksi apoB yang berisi trigliserida yang kaya VLDL. Proses ini sangat kompleks, tetapi hipertrigliseridemia adalah penanda yang tepat dari keadaan resistensi insulin.6

Gangguan yang lain berupa penurunan HDL-C, merupakan konsekuensi dari perubahan komposisi dan metabolisme HDL. Hipertrigliseridemia dan penurunan HDL-C adalah konsekuensi dari penurunan ester kolesterol dari core lipoprotein dalam penggabungannya dengan protein pemindah ester kolesterol melalui perubahan dalam trigliserida membuat partikel kecil dan padat.6,41

2.2.4.7. Sitokin-sitokin proinflamasi

Peningkatan sitokin-sitokin proinflamasi seperti IL-1,IL-6, IL-18, resistin, TNF-α, dan CRP merupakan gambaran produksi yang berlebihan


(47)

dari massa jaringan adiposa. Subjek dengan obesitas sebenarnya berada dalam keadaan proinflamasi, hal ini ditandai dengan adanya peningkatan kadar high sensitivity C- reactive protein (CRP) serum. Peningkatan hs-CRP secara tidak langsung mencerminkan tingginya kadar sitokin dalam serum.6,9

2.2.5. Patofisiologi Sindrom Metabolik

Asam lemak bebas (FFA) dilepas dalam jumlah yang banyak dari massa jaringan lemak yang berkembang. Di dalam hati,asam lemak bebas yang meninggi diproduksi dari glukosa dan trigliserida dan sekresi dari VLDL. Hubungan abnormalitas lipid atau lipoprotein termasuk penurunan kolesterol HDL dan peningkatan densitas LDL. Asam lemak bebas juga menurunkan sensitifitas insulin dalam otot melalui penghambatan

insulin-mediated glucose uptake. Hubungan gangguan ini termasuk penurunan

pembentukan glukosa menjadi glikogen dan peningkatan akumulasi lipid dalam trigliserida. Peningkatan glukosa,asam lemak bebas,sekresi insulin di sirkulasi membuat suatu keadaan hiperinsulinemia. Hiperinsulinemia mungkin menyebabkan peningkatan reabsorbsi natrium dan meningkatkan aktifitas sistem saraf simpatis yang berkontribusi ke hipertensi karena peningkatan kadar asam lemak bebas di sirkulasi.6

Status proinflamatori adalah superimposed dan merupakan kontribusi resistensi insulin yang sebagai produk dari asam lemak bebas yang berlebih. Peningkatan sekresi interleukin-6 (IL-6) dan Tumor


(48)

Necroting Factor α (TNF-α) yang dihasilkan adiposit dan monosit turunan makrophag menghasilkan keadaan resistensi insulin yang berlebih dan lipolisis simpanan trigliserida jaringan lemak menjadi asam lemak bebas di sirkulasi. IL-6 dan sitokin-sitokin yang lain juga meningkatkan produksi glukosa dan VLDL di hati dan resistensi insulin di otot. Sitokin dan asam lemak bebas juga meningkatkan produksi fibrinogen dari hati dan

Plasminogen Activator Inhibitor 1 (PAI-1) dari sel adiposa membuat suatu keadaan prothrombotic state. Kadar sitokin yang lebih tinggi juga merangsang hati untuk mengeluarkan CRP.6,9,30

2.2.6. Inflamasi, hs-CRP, Sindrom Metabolik dan Penyakit Kardiovaskular

Hotamisligil dkk yang pertama kali menjelaskan hubungan antara inflamasi dan obesitas dan menjadi fundasi pertama konsep ini. Mereka mendukung hubungan kuat antara obesitas dan proses inflamasi, seperti mereka tunjukkan bahwa jaringan adiposa mengekspresikan mediator-mediator inflamasi ( TNF-α, IL-6, CRP, MIF/Migration Inhibitor Factor ). Mereka juga menunjukkan bahwa mekanisme inflamasi berperan pada resistensi insulin dan ahli patologi juga menghubungkannya dengan peningkatan risiko kardiovaskular. Insulin berefek sebagai antiinflamatori di endotel dan sel-sel mononuklear dengan melalui kenaikan kadar I-κB, sehingga kadar sitokin-sitokin proinflamasi (TNF-α,IL-6, adhesion

molecule, intercellular adhesion molecule dan kemokin seperti CRP)

berkurang. Efek inilah yang dihambat resistensi insulin dan sitokin-sitokin


(49)

Menurut Khreiss dkk, CRP berbentuk pentamer mengalami dissosiasi menjadi monomer sebelum dapat merangsang terjadinya inflamasi.46

Gambar 2.2. Perubahan bentuk CRP sebagai proatherosklerotik46

C-reactive protein yang ada dalam sirkulasi berbentuk sebagai disc shaped pentamer dan mengalami dissosiasi (terurai) melalui terpaparnya terhadap lemak bioaktif membran sel dari platelet-platelet yang diaktifkan dan sel-sel yang nekrosis dan apoptosis. Sebagai hasilnya yaitu mCRP (monomer CRP) kemudian memberi efek proinflamasi seperti digambarkan dibawah ini.47


(50)

Gambar 2.3. Peran CRP pada inflamasi vaskular47

Protein fase akut CRP mendatangkan efek proatherogenik dan proinflamatori secara langsung dan bekerja sebagai mediator langsung pada gangguan fungsi endothel. CRP pada kadar yang bisa diterima umum sebagai prediktor terjadinya risiko penyakit kardiovaskular secara langsung menurunkan produksi NO sabagai relaksan di sel endotelial melalui sintesa endothelial NO (eNOS). Dengan berkurangnya kadar NO, CRP menghambat angiogenesis dan merangsang apoptosis sel endothel. CRP juga mengawali pelepasan endothelium-derived contracting factor

endothelin-1 (ET-1) dan IL-6 dari sel-sel endotel, menginduksi

upregulation adhesion molecule seperti InterCellular Adhesion Molecule (ICAM-1) dan Vascular Cell Adhesion Molecule (VCAM) dan E-selectin.


(51)

CRP juga merangsang pelepasan MCP-1 yang memfasilitasi transmigrasi leukosit. Bukti juga menunjukkan bahwa CRP juga meningkatkan upregulasi NF-κB yang memfasilitasi transkripsi sejumlah gen proatherosklerotik. Dalam proses atherogenik, CRP secara langsung menaikkan uptake LDL alami ke dalam makrofag.9,42,43,47

Gambar 2.3. Proses pembentukan sel foam pada aterosklerosis49

Low Density Lipoprotein (LDL) dapat lewat masuk dan keluar dari Intima, tetapi ketika dijumpai jumlahnya berlebih, cenderung terperangkap di dalam matriks melalui ikatan dengan Proteoglycan. Pada saat jumlah antioksidan terbatas, lemak-lemak dan protein LDL adalah subjek oksidasi melalui turunan produk-produk oksidatif dari sisa sel-sel dalam dinding pembuluh darah, protein LDL sebagai subjek juga mengalami proses glikasi. Sehingga terjadi kenaikan Minimally Modified – LDL (MM-LDL) dimana akan mengalami oksidasi lanjut menjadi Oxidized-LDL.49


(52)

Masuknya sel-sel Monosit dan Limfosit T sebagai respon inflamasi terhadap Modified-LDL adalah tahap awal pembentukan lesi aterosklerosis. Adhesion Molecules Spesific seperti Von Willebrand Factor, Selectin, dan VCAM-1, ditampilkan di permukaan sel-sel endotel pembuluh darah yang diaktifkan Mediated Leukocyte Adhesion. Sel-sel mononukleus masuk secara langsung ke dinding arteri melalui

Chemoattractant Chemokine seperti Monocyte Chemoattractant Protein-1

(MCP-1). Partikel-partikel LDL yang terperangkap di intima cenderung mengalami oksidasi yang progresif, membuat mereka dapat dikenal oleh reseptor-reseptor scavenger makrofag sehingga Modified-LDL menjadi target-target internalisasi oleh sel-sel ini.49

Pada pengambilan ekstensive Modified LDL melalui reseptor-reseptor scavenger (CD36 dan SR-A), makrofag akhirnya masuk ke dalam sel foam. Proses differensiasi ini kemungkinn dipercepat oleh MCSF (Macrophage Colony Stimulating Factor), Lipopolisakarida (LPS) melalui rseptor CD14 dalam hubungannya dengan Toll-Like Receptor 4 (TLR-4) oleh HSP-60 (Heat Shock Protein) melalui CD14, dan oleh Platelet Activity

Factor (PAF) dan sitokin-sitokin yang di lepas dari makrofag secara

autokrin.49

Peroxisome Proliferator-Activated Receptor-γ (PPAR-γ) diaktifkan oleh LDL, penting untuk upregulasi CD36 dan downregulation pelepasan sitokin-sitokin. Dalam proses pembentukan sel foam, sitokin-sitokin


(53)

sel endotel. Mobilisasi sel Limfosit T dan interferon-γ (IFN-γ) aktivasinya mensekresikan sitokin-sitokin dimana peran utama makrofag yang membuat mereka lebih mudah kena dengan TLR. Sel Limfosit T juga mengekspresikan ligand CD40 dalam makrofag. Chemoattractant yang dilepas dari LDL, makrofag, dan sel-sel foam (MCP-1) mempercepat pengambilan monosit lebih banyak lagi ke tunika intima.49

Pada Januari 2003 The Centers for Disease Control and Prevention

(CDC) dan AHA mempublikasikan petunjuk awal untuk mengesahkan pemakaian hs-CRP sebagai tambahan screening faktor risiko tradisional penyakit Kardiovaskular.43

Ridker PM dkk dalam penelitiannya tahun 2003 menyimpulkan bahwa pengukuran CRP merupakan tambahan klinis yang penting untuk memberikan informasi prognostik SM.16

Dalam penelitian Framingham Offspring oleh Ruter MK dkk

menyimpulkan bahwa proses inflamasi yang diukur dengan memakai CRP berhubungan kuat dengan semua komponen SM baik pada pria maupun wanita. Dan keduanya merupakan faktor resiko terhadap CVD. Keduanya juga bisa digunakan sebagai prediktor risiko CVD.44


(54)

Nilai cut-off points yang direkomendasikan oleh CDC/AHA terhadap risiko penyakit CVD adalah44,50:

Risiko rendah jika hs-CRP < 1,0 mg/L. Risiko sedang jika hs-CRP 1,0-3,0 mg/L Risiko tinggi jika hs-CRP > 3,0 mg/L


(55)

2.3. Kerangka Konsep

Hipertensi

TG↑ Obesitas

HDL-C↓

Gangguan Metabolisme Glukosa

Sindrom Metabolik

Peradangan yang bersifat perlahan-lahan

dan menahun

Atherosclerosis

Penyakit Jantung dan Pembuluh

hs-CRP

Inhibitor : gangguan fungsi

hati, mengkonsumsi obat statin, colchitin

Enhancer : Infeksi, artritis,

merokok aktif

Hati

IL-1 IL-6 TNα


(56)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1. Desain Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan adalah observasional analitik dengan metode pengukuran data secara cross-sectional (potong lintang). Pengambilan sampel dengan cara consecutive sampling, jumlah sampel dibatasi minimal sesuai perkiraan jumlah sampel atau sampai batas waktu pengumpulan sampel yang ditetapkan dimana pengukuran hanya dilakukan satu kali dan kepada subjek yang diteliti tidak diberi perlakuan.

3.2. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Departemen Patologi Klinik dan bekerja sama dengan Divisi Endokrinologi Departemen Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara / RSUP Haji Adam Malik Medan.

Penelitian dilakukan pada bulan Agustus 2012 sampai dengan Oktober 2012. Penelitian dihentikan bila jumlah sampel minimal tercapai atau waktu pengambilan sampel telah mencapai tiga bulan.


(57)

3.3. Populasi dan Subjek Penelitian

3.3.1. Populasi Penelitian

Populasi penelitian adalah pasien yang berkunjung ke RSUP Haji Adam Malik Medan untuk melakukan pemeriksaan laboratorium rutin di Departemen Patologi Klinik RSUP Haji Adam Malik Medan.

3.3.2. Subjek Penelitian

Subjek penelitian adalah pasien dengan sindroma metabolik dan memenuhi kriteria subjek penelitian yang datang melakukan pemeriksaan laboratorium rutin di Departemen Patologi Klinik RSUP H. Adam Malik Medan. Subjek penelitian ini akan dipilih dengan cara consecutive sampling.

3.3.3. Kriteria Inklusi Subjek Penelitian

1. Bersedia ikut dalam penelitian

2. Individu dengan Sindrom Metabolik sesuai dengan kriteria IDF 2005.


(58)

3.3.4 Kriteria Eksklusi Subjek Penelitian

1. Perokok aktif

2. Orang yang sedang infeksi selama 2 minggu sebelum penelitian.

3. Obesitas sekunder 4. Penderita artritis 5. Gangguan fungsi hati.

3.3.5. Batasan Operasional

3.3.5.1. Sindrom Metabolik

Menggunakan kriteria IDF 2005, yaitu jika dijumpai obesitas ditambah 2 dari komponen berikut ini :

• Hipertensi : TD≥130/85 mmHg atau sedang terapi anti hipertensi

• Hipertrigliserida: TG≥150 mg/dL atau sedang terapi menurunkan TG.

• Penurunan HDL-C: HDL-C<40mg/dL (pria); HDL-C<50mg/dL (wanita) atau sedang terapi menaikkan HDL-C.

• Obesitas: WC≥90 cm (pria); WC≥80cm (wanita)


(59)

3.3.5.2. Kadar hs-CRP

Diukur memakai alat Cobas C 501 analyzer dengan metode immunoturbidimetri menggunakan reagen CRPHS (Cardiac C-Reactive Protein (latex) High Sensitive) dari Roche, dengan satuan mg/L.

3.4. Perkiraan Besar Sampel

Sampel dipilih secara consecutive sampling dengan perkiraan besar sampel dari subjek yang diteliti dipakai rumus:

n1= n2 = 33

Keterangan: n = Besar sampel .

Z1-α/2 = Nilai distribusi normal baku (tabel Z) pada α tertentu.

= 1,96

Z1-β = Nilai distribusi normal baku (tabel Z) pada β tertentu.

= 0,841

σ2

= Harga varians di populasi20 = 2,3409

2σ2(Z1-α/2 + Z1-β)2 (μ0-μa)2


(60)

μo-μа = Perkiraan selisih nilai mean yang diteliti dengan mean di populasi.

= 1,06

3.5. Analisa Data

Analisa data dilakukan dengan menggunakan perhitungan statistik komputerisasi program SPSS 17 for windows. Gambaran karakteristik kelompok SM dan Obesitas disajikan dalam bentuk tabulasi dan dideskripsikan. Kemaknaan perbedaan konsentrasi hs-CRP diantara kelompok SM dengan Obesitas dilakukan uji independent sample t test.

Untuk melihat korelasi komponen sindrom metabolik dengan hs-CRP dipakai uji korelasi Pearson. Untuk melihat hubungan komponen sindrom metabolik dengan hs-CRP digunakan uji korelasi pearson. 4

3.6. Bahan dan Cara Kerja 3.6.1. Bahan yang diperlukan

Bahan yang diperlukan pada penelitian ini adalah darah EDTA dan darah tanpa antikoagulan.

3.6.2. Anamnese dan Pemeriksaan Fisik

Anamnesa dilakukan pada kedua kelompok yang akan diteliti dengan cara wawancara berpedoman pada daftar pertanyaan dan keterangan yang ada pada status. Pemeriksaan fisik dilakukan pada kedua kelompok yang diteliti. Pengukuran tekanan darah diukur dengan alat


(61)

sphygmomanometer (nova), dimana pasien dibaringkan selama 5 menit kemudian dipasang manset pada lengan kanan dan dilakukan pengukuran sebanyak 2 kali dan diambil nilai reratanya. Seluruh data dan hasil pemeriksaan dicatat dalam status khusus penelitian.

3.6.3. Pengukuran Antropometrik

Pengukuran berat badan (kg) dilakukan dengan menggunakan timbangan berat badan merk Camry, dimana pasien berpakaian minimal tanpa memakai alas kaki. Pengukuran tinggi badan (m) dilakukan dengan memakai alat pengukur tinggi badan Microtoise dengan kapasitas ukur 2 meter dengan ketelitian 0,1 cm. Subjek dalam posisi berdiri tegak tanpa memakai alas kaki dan topi.

Lingkar pinggang diukur ( tanpa ada penghalang seperti tali pinggang, korset) dalam keadaan akhir ekspirasi dengan posisi berdiri tegak tanpa alas kaki dengan jarak kedua tungkai 25-30 cm. Pengukuran dilakukan melingkar secara horizontal dari titik tengah antara puncak krista iliaca dan tepi bawah kosta terakhir pada garis axilaris medialis. Hasil pengukuran dinyatakan dengan sentimeter.

3.6.4. Pengambilan dan Pengolahan Sampel

Subjek yang akan diambil darahnya telah berpuasa (tidak makan dan minum) selama 10 - 12 jam. Sampel darah diambil melalui vena punksi dari vena mediana cubiti tanpa stasis vena yang berlebihan. Tempat vena punksi terlebih dahulu dibersihkan dengan alkohol 70% dan dibiarkan kering. Darah diambil dengan menggunakan venoject sebanyak


(62)

5cc darah, kemudian dimasukkan 2cc ke dalam tabung plastik EDTA untuk pemeriksaan darah lengkap dan 3cc ke dalam tabung plastik tanpa antikoagulan.

Untuk pemeriksaan darah lengkap segera diperiksa dengan memakai alat Sysmex XT 2000i. Sampel darah beku setelah dibiarkan membeku selama 20 menit pada suhu ruangan, dilakukan sentrifugasi dengan kecepatan 3000 rpm selama 20 menit, serum dipisahkan dan dimasukkan ke dalam tabung plastik (microtube) masing-masing 1 ml. Tabung microtube pertama untuk pengukuran kadar hs-CRP disimpan dalam freezer -38º C sampai waktu pemeriksaan yang telah ditentukan (maksimum 6 bulan)2. Tabung aliquot kedua untuk pemeriksaan KGDP, HDL-C, TG, SGOT, SGPT.

3.6.5. Pemeriksaan laboratorium

Untuk pengukuran KGDP, TG, HDL-C, SGOT, SGPT, dilakukan segera setelah sampel terkumpul. Sedangkan untuk pengukuran kadar hs-CRP dilakukan serentak setelah sejumlah sampel terkumpul.

3.6.5.1. Pemeriksaan darah lengkap

Untuk mengukur jumlah leukosit subjek dipakai alat Sysmex XT 2000i, dengan metode flowcitometri.

3.6.5.2. Pemeriksaan KGDP

Menggunakan alat Cobas C 501 Analyzer , dengan metode enzimatik kolorimetrik berdasarkan reaksi:


(63)

D-Glukosa-6-pospat + NADP+ G6PDH D-6-Phosphoglukonat + NADPH + H+

Konsentrasi NADPH yang dibentuk secara langsung menjadi konsentrasi glukosa, absorbsinya diukur pada panjang gelombang 340 nm.

3.6.5.3. Pemeriksaan Trigliserida

Menggunakan alat Cobas C 501 Analyzer dengan metode enzimatik kolorimetrik, dengan reaksi :

Trigliserida lipoprotein lipase Gliserol + Asam lemak Gliserol + ATP Gliserolkinase Gliserol-3-pospat + ADP Gliserol-3-pospat + O2

Gliserol pospat oxidase

Dihidroksiaseton pospat + H2O2

2H2O2 + 4-aminophenazon + 4-kloropenol

Peroxidase

quinoneimine dye + 4H2O

Absorbsi warna merah quinoneimine dye diukur pada panjang gelombang 512 nm.

3.6.5.4. Pemeriksaan HDL-C

Menggunakan alat Cobas C 501 Analyzer dengan metode enzimatik kolorimetrik, dengan reaksi :

HDL-C ester + H2O

detergent cholesterol esterase

kolesterol + Asam lemak bebas HDL-C + O2

Cholesterol oxidase

4-cholestenone + H2O2

2H2O2 + 4-aminoantipyrine + HSDA + H +

+ H2O

Peroxidase

Purple blue pigment + 5H2O

Absorbsi warna Purple blue diukur pada panjang gelombang 583 nm.

3.6.5.5. Pemeriksaan SGOT

Menggunakan alat Cobas C 501 Analyzer dengan metode enzimatik kolorimetrik, dengan reaksi :

L-aspartate + 2-oxoglutarae aspartate aminotransferase oksaloasetat+ L-glutamat


(64)

Laju oksidasi NADH secara langsung merupakan proporsi aktivitas aspartat aminotransferase yang absorbsinya diukur pada panjang gelombang 340 nm

3.6.5.6. Pemeriksaan SGPT

Menggunakan alat Cobas C501 Analyzer dengan metode enzimatik kolorimetrik, dengan reaksi :

L-alanine + 2-oxoglutarate alanin aminotransferase pyruvat + L-glutamat

Pyruvat + NADH + H+ lactate dehydrogenase L-laktat + NAD+

Laju oksidasi NADH secara langsung merupakan proporsi aktivitas alanin aminotransferase, absorbsinya diukur pada panjang gelombang 340 nm.

3.6.5.7. Pemeriksaan hs-CRP

Prinsip pemeriksaan: particle-enhanced immuno turbidimetric assay.

CRP pasien akan beraglutinasi dengan partikel latex yang dilapisi dengan antibodi monoklonal. Presipitasinya diukur secara turbidimetri.

Reagent-working solutions:

R1: TRIS (tris hydroxymethyl-aminomethane) buffer dengan serum bovine albumin dan imunoglobulin (tikus); bahan pengawet; stabilizers

R2: Partikel latex yang dilapisi dengan anti-CRP (tikus) dalam buffer glycine ; bahan pengawet; stabilizers

Penyimpanan dan stabilitas:

CRPHS dan diluent NaCl 9% disimpan pada temperatur 2-80C, stabil hingga sampai batasan waktu di pack label.


(65)

Sampel: Serum dan plasma (Li-heparin dan K2-EDTA)

Kalibrator: Kalibrasi menggunakan larutan Calibrator for Automated System (c.f.a.s) protein Cat. No. 11355279 216 kode 656.

Kontrol: Larutan kontrol menggunakan Precinorm protein (3x1mL) Cat. No. 10557897 122 kode 302.29

Cara kerja: Sampel yang beku dicairkan pada suhu ruang, kemudian disamaratakan dengan vortex. Larutan kontrol juga disamakan dengan suhu ruang (20-25̊ C). Sampel ditambah dengan Reagen R1( buffer) kemudian ditambah R2 ( latex Antibodi Anti CRP ).Reaksi dimana antibody anti CRP yang berikatan dengan micropartikel latex akan bereaksi dengan antigen dalam sampel untuk membentuk kompleks Ag-Ab. Presipitasi dari kompleks Ag-Ab ini diukur secara turbidimetrik.

Batasan pengukuran: 0,15-20,0 mg/L. Pada sampel dengan kadar yang tinggi, dilakukan pengenceran secara otomatis dengan perbandingan 1:15. Hasilnya kemudian secara otomatis dikalikan dengan 15.

3.7. Pemantapan Mutu

Pemantapan mutu dilakukan setiap kali pada saat awal dilakukan pemeriksaan untuk menjamin ketepatan hasil pemeriksaan yang dikerjakan. Sebelum dilakukan pemeriksaan harus dilakukan kalibrasi dan


(66)

kontrol terhadap alat-alat yang digunakan, agar penentuan konsentrasi zat yang belum diketahui dapat dipercaya (valid).

3.7.1 Kalibrasi Pemeriksaan Laboratorium

Kalibrasi pengukuran konsentrasi hs-CRP digunakan C.f.a.s. protein Lot No. 646954. Kalibratornya dalam bentuk cair dan sudah dalam keadaan siap pakai. Kalibrasi ini berguna untuk menilai protein-protein kalibrator oleh 6 faktor (S2: 0,0125; S3: 0,0250; S4: 0,0500; S5: 0,100; S6: 0,200) untuk menentukan konsentrasi standart pada kurva kalibrasi sehingga didapat kurva kalibrasi yang bersifat linier. Untuk titik nol digunakan aquadest sebagai zero calibrator. Selama penelitian kalibrasi dilakukan 1 kali pada waktu membuka reagen baru.

Gambar 3.1. Grafik kalibrasi hs-CRP

Kalibrasi alat Cobas C 501 Analyzer untuk pemeriksaan SGOT digunakan C.f.a.s Lot No. 666928 , SGPT digunakan C.f.a.s Lot No. 666679, KGDP digunakan C.f.a.s Lot No. 667583, dan TG digunakan C.f.a.s Lot No. 671262. Kalibrator dalam bentuk serbuk kemudian


(67)

diencerkan dengan 3 mL aquadest, larutan dihomogenkan dengan membola-balikkan botol 5-10 kali secara hati-hati agar tidak terbentuk gelembung, kemudian dibiarkan selama 30 menit, kemudian dilakukan kalibrasi. Kalibrasi dilakukan 1 kali sewaktu membuka reagen baru.

Untuk pemeriksaan HDL-C digunakan c.f.a.s lipid Lot No. 668383. Kalibrator dalam bentuk serbuk kemudian diencerkan dengan 3 mL aquadest, larutan dihomogenkan dengan membola-balikkan botol 5-10 kali secara hati-hati agar tidak terbentuk gelembung, kemudian dibiarkan selama 30 menit, kemudian dilakukan kalibrasi. Kalibrasi dilakukan 1 kali pada waktu membuka reagen baru.

Kalibrasi alat sysmex XT2000i dilakukan langsung oleh teknisi.

3.7.2 Kontrol kualitas pemeriksaan laboratorium

Untuk pemeriksaan hs-CRP digunakan kontrol Precinorm protein

Lot No. 16164300. Selama penelitian, kontrol kualitas pemeriksaan hs-CRP dilakukan sebanyak 7 kali bersamaan dengan pemeriksaan sampel, dengan nilai target yang akan dicapai.

Tabel 3.1. Kontrol hs-CRP lot no. 16164300

No Tanggal Jumlah sampel Hasil (mg/L) Nilai target (mg/L)

1 9-8-2012 N=8 10,9 10,2-13,8

2 17-8-2012 N=12 12,63 10,2-13,8

3 28-8-2012 N=12 12,57 10,2-13,8

4 4-9-2012 N=6 11,32 10,2-13,8

5 25-9-2012 N=12 11,8 10,2-13,8

6 2-10-2012 N=10 12,67 10,2-13,8


(68)

Kontrol kualitas pemeriksaan SGOT, SGPT , KGDP, HDL-C dan TG digunakan precinorm Lot No. 16177400. Kontrol dilakukan setiap kali ada pemeriksaan sampel.

Kontrol pemeriksaan darah lengkap dilakukan setiap hari dengan memakai kontrol normal, kontrol rendah dan tinggi.

3.8. Ethical Clearance dan Informed Concent

Ethical Clearance diperoleh dari Komite Penelitian Bidang

Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara dengan Nomor: 326/KOMET/FK USU/2012. Informed Concent diminta secara tertulis dari subjek penelitian atau diwakili oleh keluarganya yang ikut bersedia dalam penelitian setelah mendapat penjelasan mengenai maksud dan tujuan penelitian.


(69)

3.9.Alur Kerja

Subjek:

Poliklinik Endokrin, Departemen Penyakit Dalam RSUP HAM

Anamnesa, pemeriksaan fisik dan pengukuran BB, TB, IMT dan lingkar pinggang, pemeriksaan Laboratorium DL,KGDP,TG,HDL,SGOT, SGPT

Kriteria IDF 2005

SM Obesitas

(Kontrol)

hs-CRP hs-CRP

A N A L I S A

Eksklusi:

1. Perokok aktif 2. Terinfeksi

±2minggu sebelum penelitian 3. Obesitas sekunder 4. Penderita artritis 5. Gangguan fungsi

hati Inklusi:

1. Bersedia ikut dalam penelitian 2. Umur 20 sd 60

tahun 3. SM sesuai

dengan kriteria IDF 2005


(1)

8. Alberti KGM, Zimmet PZ. Metabolic Syndrome: Nomenclatur, Definition, and Diagnosis. In: Krentz AJ and Wong ND (Ed.): Metabolic Syndrome and Cardiovascular Disease. Informa Healthcare USA: New York, 2007,p. 1-16.

9. Mittal S: The Metabolic Syndrome in Clinical Practice. Springer: London, 2008, P.1-16; 36-56.

10. Forouchi NG. Ethnicity and The Metabolic Syndrome. In: Byrne CD, Wild SH (Ed.): The Metabolic Syndrome. Wiley: West Sussex, 2005, P. 43-76.

11. Soegondo S: Obesitas pada Sindroma Metabolik : Penyebab atau Akibat. Editor: Setiati S, Alwi I, Simadibrata M, Sari NK, Chen K. Dalam : Naskah Lengkap Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) Ilmu Penyakit Dalam 2005. Departemen Penyakit Dalam UI: Jakarta, 2005, p. 83-86

12. Pranoto A, Kholili U, Tjoktoprawiro A dkk: Metabolic Syndrome as Observed in Surabaya.

13. Soewondo P, Purnamasari D, Oemardi M, Waspadji S, Soegondo S: Prevalence of Metabolic Syndrome Using NCEP/ATP III Criteria in Jakarta, Indonesia: The Jakarta Primary Non-communicable Disease Risk Factors Surveillance 2006. Acta Med Indones-Indones J Intern Med. : 2010, p. 199-203.


(2)

14. Kamso S: Body Mass Index, Total Cholesterol, and Ratio Total to HDL Cholesterol were Determinants af Metabolic Syndrome in the Indonesian elderly. Med J Indones: 2007,p. 195-200.

15. Ridker PM, Buring JE, Cook NR, Rifai N: C-Reaktive Protein, the Metabolic Syndrome, and Risk of Incident Cardiovascular Events. Circulation: 2003,p. 391-397.

16. Ridker PM, Wilson PWF, Grundy SM: Should C-Reaktive Protein be added to Metabolic Syndrome and to Assessment of Global Cardiovascular Risk. Circulation: 2004,p. 2818-2825.

17. Oliveira AC, Oliveira AM, Adan LF et all: C-Reactive Protein and Metabolic Syndrome in Youth: A Strong Relationship. Nature Publishing Group: 2008, p. 1094-1098.

18. Huffman FG, Gomez GP, Zarini GG: Metabolic Syndrome and High-Sensitivity C-Reactive Protein in Cubans. Spring Ethnicity and Disease: Vol.19, 2009, p. 115-120.

19. El-shorbagy HH, Ghoname IA: High-sensitivity C-Reaktive Protein as a marker of Cardivascular risk in obese children and adolescents. Health: 2010,p. 1078-1084.

20. Mattsson N, Magnussen CG, Ronnemaa T et all: Metabolic Syndrome and Carotid Intima-Media Thickness in Young Adults:Roles of Apolipiprotein B, Apolipoprotein A1, C-Reaktive Protein, and Secretory Phospholipase A2:the Cardiovascular Risk


(3)

in Young Finns Study. 2010,p. 1861-1866.

21. Capuzzi DM, Freeman JS: C-Reactive Protein and Cardiovascular Risk in the Metabolic Syndrome and Type 2 Diabetes. Clinical Diabetes: Vol.25, 2007, p. 16-22.

22. Pepys MB, Hirschfield GM: C-Reactive Protein:a Critical Update. The Journal of Clinical Investigation: Vol.111, 2003,p. 1805-1811. 23. Kresno SB: Diagnosis dan Prosedur Laboratorium. Edisi 4. Balai

Penerbit FK-UI: Jakarta, 2001, Hal. 60-63.

24. Ivan Roit: Protein-protein fase akut dalam Essential Imunologi. Edisi 8. Penerbit Widya Medika: Jakarta, 2003, Hal. 16-22.

25. Tietz: Clinical Chemistry and Molecular Diagnostics. 4th edition. Saunders: Missouri, 2006, P. 543-546.

26. J.B.Henry. Clinical Diagnosis and Management by Laboratory Methods. 20th Edition. Saunders, Philadelphia, 2001, P. 259-262. 27. Verma S, Szmitko PE, Yeh ET: C-Reactive Protein: Structure and

Function. Circulation: 2004, Vol.109,p. 1914-1917.

28. Roche Diagnostic GmbH.: CRPHS Roche diagnostics. Indianapolis: 2011. P.1-4.

29. Opie LH: Metabolic Syndrome.Circulation: 2007,p. e32-e35

30. International Diabetes Federation. The IDF consensus worldwide definition of the metabolic syndrome. Belgium.


(4)

31. Coppack S, Ali VM, Karpe F. Metabolic Syndrome: Insulin resistance, obesity, Diabetes Mellitus, Hypertension, Phisical Activity and Genetic Factors. In: Stanner S (Ed.). Cardiovascular Disease. Blackwell Publishin:, Australia, 2005, P. 22-49

32. Jidi C, Cockram C, Gin HK et all: The Asia-Pasific Perspective: Redefining Obesity and its treatment. Health Communications Australia: Australia, 2000, P. 9-20.

33. Cinti Saverio. The Adipose Organ. In: Fantuzzi G, Mazzone T (Ed.). Nutrition and Health: Adipose tissue and adipokines in Health and disease. Humana Pres: New Jerssey, 2005, P.3-17 34. Diewald L, Dolan MS, Faith MS. Environmental Aspects of Obesity.

In: Fantuzzi G, Mazzone T (Ed.). Nutrition and Health: Adipose tissue and Adipokines in Health and Disease. Humana Press: New Jerssey, 2005, P. 197-204

35. Matsuzawa Y. Adiponectin and inflammation.In: Fantuzzi G, Mazzone T (Ed.). Nutrition and Health: Adipose tissue and Adipokines in Health and Disease. Humana Press: New Jerssey, 2005,P. 111-116

36. Jawa A and Fonseca V. Metabolic Syndrome and Type 2 Diabetes Mellitus. In: Krentz AJ and Wong ND (Ed.): Metabolic Syndrome and Cardiovascular Disease. Informa Healthcare: USA, New York, 2007, P. 41-78


(5)

37. Hu G, Lakka TA, Lakka HM, Tuomilehto J. Obesity, Physical Activity, and Nutrition in the Metabolic Syndrome. In: Krentz AJ and Wong ND (Ed.): Metabolic Syndrome and Cardiovascular Disease. Informa Healthcare: USA, New York, 2007, P. 241-278

38. Gerich JE and Dodis R. Glycemic Control and the Metabolic Syndrome. In: Krentz AJ and Wong ND (Ed.): Metabolic Syndrome and Cardiovascular Disease. Informa Healthcare: USA, New York, 2007, P. 145-190

39. Franklin SS. Hypertension in the Metabolic Syndrome. In: Krentz AJ and Wong ND (Ed.): Metabolic Syndrome and Cardiovascular Disease. Informa Healthcare: USA, New York, 2007,P. 219-240 40. Volkava NB and Deedwania. Dyslipidemia in the Metabolic

Syndrome. In: Krentz AJ and Wong ND (Ed.): Metabolic Syndrome and Cardiovascular Disease. Informa Healthcare: USA, New York, 2007, P. 191-218

41. Reilly MP and Rader DJ: The Metabolic Syndrome: More Than the Sum of Its Parts? Circulation: 2003, p.108: 1546-1551

42. Haffner SM: The Metabolic Syndrome: Inflammation, Diabetes Mellitus, and Cardiovascular Disease. Saunders: 2006,p. 3A-11A 43. Rutter MK, Meigs JB, Sullivan LM, D’Agostino RB and Wilson

PWF: C-Reactive Protein, the Metabolic Syndrome, and Prediction of Cardiovascular Events in the Framingham Offspring Study.


(6)

44. Wahyuni AS: Statistika Kedokteran. Bamboedoea Communication: Jakarta Timur, 2010, Hal.120-121; 137-144.

45. Abbas AK,Lichtman AH,Pillai S: Cellular and Molecular Immunology. 7th Ed. Saunders: Philadelphia,2009;p: 55-88.

46. Verma Subodh, Szmitko PE and Yeh E.T: C-Reactive Protein : Structure affect Function. Circulation: 2004, p.109 :1914-1917

47. Vinayak Hegde and Ishmael Ching (2012). Vascular Inflammation: A New Horizon in Cardiovascular Risk Assessment. In: Gasparyan A (Ed.). Cardiovascular Risk Factors. In Tech: Ohio,2012, P. 103-140.

48. Filep JG: Platelets Affect the Structure and Function of C-Reactive Protein. American Heart Association: Dallas,2009, p. 105:109-111.

49. Osterud B, Bjorklid E: Role of Monocytes in Atherogenesis. American Physiological Society: 2003, p. 83:1069-1112.

50. Hage FG, Szalai AJ: Reactive Protein Gene Polymorphisms, C-Reactive Protein Blood Levels, and Cardiovascular Disease Risk. American College of Cardiology Foundation: Saunders, 2007, p. 1115-1122.