SASTRA LISAN SEBAGAI WARISAN SENI DAN BU

Sastra Lisan(Oral Literature) Sebagai Warisan Seni dan Budaya
Helmina Kastanya
[email protected]
Kantor Bahasa Provinsi Maluku
PENDAHULUAN
Membicarakan tentang sastra berati berbicara kebiasaan-kebiasaan, adat, dan
kondisi suatu masyarakat. Djamaris (1993:1) sastra merupakan pencerminan situasi,
kondisi, dan adat-istiadat suatu masyarakat. Perkembangan dan pertumbuhan sastra di
suatu masyarakat, merupakan gambaran perkembangan dan pertumbuhan bahasa dan
budaya masyarakat tersebut. Sastra secara keseluruan tidak terlepas dari persoalan
kesusastraan lisan, khususnya sastra lisan.
Sastra lisan adalah kesusastraan yang mencangkup ekspresi kesusastraan warga.
Suatu kebudayaan yang disebar luaskan secara turun-temurun atau dari mulut ke mulut
(Hutomo, 1990:1). Setiap daerah biasanya memiliki sastra lisan yang terus dijaga. Sastra
lisan ini adalah salah satu bagian budaya yang dipelihara oleh masyarakat pendukungnya
secara turun-temurun. Hal ini berarti, sastra lisan merupakan bagian dari kebudayaan
masyarakat yang harus dipelihara dan dilestarikan.
Sastra lisan lisan memunyai nilai-nilai luhur yang perlu dikembangkan dan
dimanfaatkan dalam hubungan usaha pembinaan serta penciptaan sastra. Pelestarian
sastra lisan ini dirasa sangat penting, karena sastra lisan hanya tersimpan dalam ingatan
orang tua atau sesepuh yang kian hari berkurang. Sastra lisan berfungsi sebagai

penunjang perkembangan bahasa lisan, dan sebagai pengungkap alam fikiran serta sikap
dan nilai-nilai kebudayaan masyarakat pendukungnya. Sastra lisan juga merupakan
budaya yang menjadikan bahasa sebagai media, dan erat ikatannya dengan kemajuan
bahasa masyarakat pendukungnya, sehingga perlu adanya penyelamatan agar tidak
hilang, dan generasi ke generasi dapat mengenal serta menikmati kekayaan budaya lisan
tersebut.
Provinsi Maluku merupakan salah satu wilayah yang banyak memiliki warisan
budaya lokal berupa sastra lisan. Pemerintah perlu memberikan perhatian terhadap hal ini

sebagai wujud upaya pengembangan dan pelindungan budaya lokal agar tidak punah.
Perlu disadari bahwa salah satu upaya untuk membina karakter bangsa dapat dilakukan
melalui pemahaman nilai-nilai kesastraan terutama terhadap sastra lisan yang diwariskan
secara turun temurun dari generasi ke generasi.
Berdasarkan uraian di atas, jelas bahwa sastra lisan memunyai kedudukan dan
fungsi yang penting, sehingga sastra lisan perlu diselamatkan untuk dipelihara, dan
dikembangkan. Usaha menyelamatkan semacam ini bukan saja penting dan berguna bagi
masyarakat pendukungnya, maupun sastra lisan yang bersangkutan, melainkan juga
bermanfaat bagi kepentingan nasional. Hal ini relevan dengan kebijakan pemerintah
dalam bidang kebudayaan yang antara lain bertujuan meningkatkan pembinaan dan
pemeliharaan kebudayaan nasional.


1. Tujuan
Tujuan mengkaji sastra lisan yaitu:


Mempelajari nilai – nilai kedaerahan sebagai wujud kebinekaan Indonesia.



Untuk menggali ajaran dan petuah peradatan dan etika.



Untuk mendekati dan menghayati pikiran dan cita – cita nenek moyang yang telah
mewariskan budaya.



Untuk melestarikan dan mempertahankan budaya daerah sebagai wujud kecintaan
terhadap budaya daerah dan budaya nasional.




Untuk memacu konstribusi sastra daerah dalam upaya dinamika sastra Indonesia.

2. Manfaat
Sastra lisan perlu dilestarikan dan dipertahankan agar tidak punah. Hal ini penting karena
jika produk sastra di suatu lisan tempat dia dilahirkan punah, maka hakikatnya kebudayaan
lisan itu sendiri telah ikut punah. Jika produk sastra di suatu daerah punah, maka daerah
tersebut telah kehilangan rekaman penggunaan bahasa lisan yang telah diwariskan oleh para

pendahulunya. Jika sastra lisan punah, maka sebagian dari kebudayaan suatu daerah pun
punah, dan akan berimplikasi terhadap eksistensi kebudayaan nasional.

KERANGKA TEORI

PEMBAHASAN
1. Sastra Lisan Sebagai Bagian dari Seni
Sastra juga disebut sebagai seni berbahasa dengan posisi yang sama dengan bentuk
kesenian lainnya. Dalam proses penelitian kesusastraan kita acap kali menggunakan aliranaliran seperti naturalisme, surelisme, ekspesivisme dan sebagainya yang tidak hanya

diaplikasikan pada karya sastra tetapi juga dalam bentuk seni lain seperti seni lukis, drama,
dan sebaginya. Sastra tidak hanya sebagai alat untuk menghibur, tetapi sebagi bentuk
pengekspresian perasaan penghargaannya dengan menggunakan seni kebahasaan yang indah.
Sastra dipertimbangkan sebagai karya seni karena pada pembangunan badan karya itu sendiri
para pengarang tidak bebas memilih kata namun setiap kata yang dipilih mengandung nilai
keindahan yang akhirnya menjadi bagian wajib pada karya sastra. Para ahli mengemukakan
bahwa melihat karya sastra sebagai seni tidak hanya pada bahasanya, tetapi juga pada tiap
unsur kesusastraan mengandung nilai-nilai keindahan. Keindahan yang terdapat pada karya
sastra menjadi aspek kesenian yang menonjol dan sering menjadi bahan perbincangan para
kritikus sastra. Keindahan yang dimaksud meliputi tiga hal yaitu:
1) Keindahan yang terlihat dengan penafsiran luas dan general pada umumnya yang
berisikan nilai-nilai kebenaran yang nyata.
2) Keindahan estetik murni meliputi segala bentuk keindahan yang terdapat dalam
pengalaman pengarang dan terpancar pada karya sastra yang dihasilkan.
3) Keindahan sederhana di mana keindahan-keindahan yang meliputinya hanya
sebatas keindahan yang tertangkap pada panca indera kita.
Selain tiga hal tersebut, terdapat aspek-aspek keindahan yang menjadi pokok pembicaraan
pada penelitian kesusastraan. Ketiga aspek tersebut sebagai berikut:

1) Aspek ontologis: melihat karya sastra sebagai pembayangan kekayaan dan kekuasaan

Tuhan
2) Aspek imanen: nilai-nilai keindahan yang terungkap dalam kata-kata yang digunakan
dalam mebangun karya sastra.
3) Aspek psikologis: nilai seni yang berefek langsung kepada pembacanya, apakah dengan
membuat pembaca merasa heran, birahi, suka, lupa, dan sebagainya.
Dengan nilai-nilai keindahan yang terdapat didalamnya, menjadikan sastra sebagai salah satu
objek penelitian sastra yang tidak hanya mencakup pada keindahan bahasanya saja, tetapi
unsur-unsur pembangunnya.
2.

Sastra Lisan Sebagai Bagian dari Budaya

Menurut Taum(2011:6) fenomena munculnya sastra ke dunia kebudayaan manusia. Ada dua
alasan manusia menjadi penggiat sastra. Pertama, karena manusia memiliki insting meniru.
Sejak masa kanak-kanaknya, manusia suka meniru. Bahkan sifat meniru manuisa ini yang
mebedakannya dari binatang. Melalui tindakan meniru inilah manusia mempelajari berbagai
hal yang telah dilewatinya. Kedua, fakta adanya sebuah gejala universal bahwa ketika
melakukan peniruan tersebut, manusia merasakan sensasi-sensasi yang indah dan
menyenangkan. Ada banyak bukti yang membenarkan hal ini. Ketika seorang penutur
mengisahkan asal-mula terjadinya gempa bumi, hujan, guntur, pasang surut laut, dan

berbagai kisah genealogis lainnya, dia mencoba memberikan struktur pada sebuah keadaan
tanpa struktur. Hal ini mendatangkan kegembiraan tersendiri bagi sang penutur maupun bagi
pendengarnya karena mereka mendapatkan pemahaman (insight) dan peta persepsi yang
menjadi pedoman bagi arah hidupnya. Misalnya ada sebagian komunitas budaya yang
mengembangkan kepercayaan bahwa gempa bumi terjadi karena seekor kumbang raksasa
mengoyang-goyangkan bumi ini untuk memastikan bahwa manusia masih berada di
dalamnya. Untuk mengingatkan sang kumbang bahwa manusia masih hidup di dalamnya,
mereka memukul berbagai objek seperti lonceng, besi, kayu, batu yang mendatangkan suara
yang keras untuk memberitahukan kehadirannya pada sang kumbang. Setiap komunitas suku
memiliki khazanah sastra lisan yang amat kaya yang sesungguhnya mengandung berbagai
kearifan lokal.

Tuloli dalam Hasan (2011) mengungkapkan bahwa sastra lisan mempunyai
kedudukan sebagai berikut :


Sastra lisan adalah ciptaan masyarakat pada masa lampau atau mendahului penciptaan
sastra Indonesia modern.




Sastra lisan daerah dapat dimasukkan sebagai satu aspek budaya Indonesia yang perlu
digali untuk memperkaya budaya nasional dan menjadi alternatif kedua yang perlu di
pertimbangkan dan dikembangkan selain sastra Indonesia.



Sastra lisan melekat pada jiwa, rohani, kepercayaan, dan adat istiadat masyarakat suatu
suku bangsa dan yang mereka pakai untuk menyampaikan nilai – nilai luhur bagi
generasi muda.



Sastra lisan mempunyai kedudukan yang strategis dalam kerangka pembangunan sumber
daya manusia,yaitu memperkuat kepribadian keindonesiaan yang bhineka tunggal ika.

3. Bentuk-bentuk sastra lisan
Sastra lisan (oral literature) adalah bagian dari tradisi lisan (oral tradition) yang biasanya
dkembangkan dalam kebudayaan lisan (oral culture) berupa pesan-pesan, cerita-cerita, atau
keasksian-kesaksian ataupun yang diwariskan secara lisan dari satu generasi ke generasi

lainnya (Vansina, 1985:27-28)
Bentuk dari sastra lisan sendiri dapat berupa prosa (seperti mite, dongeng, dan legenda),
puisi rakyat (seperti syair, dan pantun), seni pertunjukan seperti wayang, ungkapan
tradisional (seperti pepatah dan peribahasa), nyanyian rakyat, pertanyaan tradisional, mantra
dan masih banyak lagi. Perkembangana sastra lisan dalam kesusastraan Indonesia
diperngaruhi oleh beberapa budaya lain, seperti budaya Cina, Hindu-Budha, India, dan Arab.
Sastra lisan yang dipengaruhi oleh budaya-budaya tersebut dibawa dengan cara
perdangangan, perkawinan, dan agama.
4. Ciri-ciri sastra lisan
Ciri – ciri sastra lisan yaitu sebagai berikut :



penyebaran dari mulut ke mulut.



Lahir di dalam masyarakat yang masih bercorak desa atau belum mengenal huruf.




Menggambarkan ciri budaya suatau masyarakat.



Tidak deketahui siapa pengarangnya.



Bercorak puitis,teratur dan berulang-ulang.



Tidak mementingkan fakta dan kebenaran.



Terdiri dari beberapa versi.




Bahasa umumnya menggunakan bahasa lisan ( sehari – hari),mengandung dialek,
bahkan kadang – kadang diucapkan tidak lengkap (Hutomo, 1991 : 3-4).

5. Fungsi Kesusastraan lisan
Fungsi dari sastra lisan sendiri tidak hanya sekedar untuk kebutuhan seni,
melainkan terdapat pula unsur pendidikan yang hendak disampaikan didalamnya, seperti
nilai moral dan nilai agama dalam masyarakat. Menurut Bascom (Hasan, 2011), sastra
lisan mempunyai empat fungsi sebagai berikut :


Sebagai sebuah bentuk hiburan.



Sebagai pengesahan pranata – pranata dan lembaga – lembaga kebudayaan.



Sebagai alat pendidikan anak – anak.




Sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma – norma masyarakat akan selalu
dipatuhi anggota kolektifnya.

6. Upaya Pelindungan Sastra Lisan

Dididpu (Hasan, 2011) mengatakan upaya dalam membina dan mengembangkan sastra
daerah sebagai berikut :
1. Melakukan inventarisasi dan eksplorasi terhadap ragam sastra daerah (baik lisan
atau tulis) yang masih tersebar luas di masyarakat.
2. Ragam sastra daerah yang terwujud lisan perlu segera ditraskripsi ke dalam
bentuk tertulis sehingga tidak punah seiring dengan berkurangnya penutur sastra
lisan.
3. Ragam sastra daerah tertulis yang berwujud naskah – naskah di dokumentasikan.
4. Dilakukan pengkajian atau penelitian.
5. Hasil penelitian atau pengkajian di sosialisasikan kepada masyarakat.
6. Sastra daerah yang menggunakan bahasa daerah diterjemahkan kedalam bahasa
Indonesia agar dapat dibaca dan dipahami masyarakat di daerah lain.
7. Sosialisasi dapat dilakukan melalui publikasi penerbitan sastra daerah,sosialisasi
melalui seminar,dan siaran – siaran radio atau televisi lokal sehingga dapat
dikonsumsi oleh publik.
8. Pembelajaran sastra dalam dunia pendidikan.
9. Menggalakkan kembali kegiatan – kegiatan adat yang di dalamnya terdapat
penuturan sastra.
10. Mengadakan perlombaan atau kompetisi dikalangan masyarakat pemilik sastra itu
sendiri.
11. Pemerintah perlu merumuskan Peraturan Daerah yang berisi mengenai pembinaan
dan pengembangan sastra daerah.

12. Adanya kerja sama antara pemerintah daerah,masyarakat, akademis dan tokoh –
tokoh adat.
Penutup
Sastra lisan merupakan bentuk kesusastraan yang memegang kunci kesejarahan sastra yang
akan menuntun kita pada masa-masa sebelum prasejarah, dimana para pendahulu kita belum
mengenal aksara. Sastra lisan sering dianggap sebagai bentuk awal kesusastraan dunia yang
berkembang dari waktu ke waktu, karena perekmbangannya memerlukan waktu yang lama dan
tidak tercatat oleh sejarah dunia.
Pada era kemajuan teknologi saat ini sastra lisan makin tergerus oleh jaman, dan cenderung
terlupakan. Hanya sebagian saja sastra lisan yang sanggup bertahan dan dipertahankan oleh
masyarakat. Indonesia adalah negara dengan budaya yang beranekaragam. Masih banyak sastra
lisan yang ada di pedalaman tanah Nusantara ini yang mungkin belum kita ketahui. Seperti
halnya karya sastra, dalam sastra lisan pun terdapat makna, fungsi, dan pesan yang dikandung.
Sudah seharusnya dan menjadi tugas kita menjaga dan melestarikannya sebagai warisan budaya
Indonesia khususnya di wilayah Maluku.

Daftar Pustaka
Aminuddin. 2004. Pengantar Apresiasi Sastra. Bandung;Sinar Baru.
Djanandjaja, James. 1997. Folklor Indonesia, Dongeng, dan Lain-lain. Jakarta;Grafiti
Press.
Djamaris, Edwar. 1993. Nilai Budaya dalam Beberapa Karya Sastra Nusantara;Sastra Daerah
di Sumatra. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa; Depdikbud.
Hasan, Nurhijrianti. 2011. Konsep Dasar Sastra. Diunduh tanggal 9 Oktober 2014 dari
http://hizracute.blogspot.com
Hutomo, Saripan Sadi. 1991. Mutiara Yang Terlupakan: Pengantar Studi Lisan.
Jatim:Hiski.
Nort, Winfried. 2006. Semiotik. Surabaya;Airlangga University Perss.

Taum, Yoseph. 2011. Sudi Sastra lisan. Yogyakarta: Lamalera.
Vansina, Jan. 1965. Oral Tradition as History. Madison: The University of Wisconis Perss.