Dampak Tarif Impor Uni Eropa Terhadap Ki
Dampak Tarif Impor Uni Eropa Terhadap
Kinerja Ekspor Tuna Indonesia
Faurani Santi
I. Latar Belakang
Perekonomian dunia mengalami proses liberalisasi perdagangan ditandai dengan mulai terbentuknya General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) pada tahun 1947 yang perannya sekarang telah digantikan oleh World Trade Organisation (WTO). Perdagangan yang lebih liberal tampaknya menjadi tujuan hampir sebagian besar negara di dunia dengan harapan adanya liberalisasi dapat meningkatkan volume dan nilai perdagangan yang pada akhirnya dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
Liberalisasi ditandai salah satunya dengan penurunan atau bahkan penghapusan hambatan perdagangan berupa tarif maupun non tarif. Hambatan perdagangan penting untuk dihapuskan karena tanpa hambatan dapat mendorong arus pergerakan barang dan jasa (flow of goods and services). Berdasarkan salah satu putaran perundingan di WTO yaitu Putaran Uruguay, negara maju memotong besaran tarif sampai sepertiga sedangkan negara berkembang memotong tarif sampai paling besar hanya 40%. Sebelum Putaran Uruguay, rata-rata tarif produk manufaktur di negara maju adalah 6,2% dan negara berkembang adalah 20,5%. Sesudah Putaran Uruguay, rata-rata tarif di negara maju 3,7% dan di negara berkembang 14,4%. Hambatan non tarif seperti kuota, perijinan dan spesifikasi teknis juga secara bertahap dihapuskan tetapi tidak secepat penurunan tarif (www.wto.org).
Kebijakan perdagangan Indonesia mengalami masa-masa proteksi dan juga masa liberalisasi. Pada awal 1970-an sampai awal 1980-an, tingkat proteksi di Indonesia masih cukup tinggi. Gencarnya proses liberalisasi perdagangan yang dilakukan tentunya berkaitan dengan tujuan Indonesia untuk mendapatkan gains from trade yang statis maupun dinamis yaitu meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui surplus neraca perdagangan. Liberalisasi perdagangan berhubungan dengan pembukaan akses pasar produk ekspor Indonesia ke dunia.
Perdebatan akhir-akhir ini mengenai daya saing produk yang berkaitan dengan adanya keunggulan kompetitif dari produk-produk yang dihasilkan suatu Negara sehingga mampu memberikan nilai tambah yang tinggi dengan cara memperhitungkan semua factor pokok yang mampu mempengaruhi daya saing suatu industry.
Seperti kita ketahui bahwa, Indonesia memiliki luas wilayah perairan yang mencapai 5,8 juta km² menjadikan Indonesia memiliki potensi perikanan dan kelautan yang luar biasa baik kualitas maupun diversitas. Namun potensi ini belum dapat dikembangkan secara optimal karena industri yang berbasiskan perikanan dan kelautan saat ini belum berkembang pesat. Pengembangan usaha perikanan dan kelautan Indonesia masih memiliki peluang yang sangat besar. Potensi sumber daya kelautan dan perikanan yang dapat dimanfaatkan untuk mendorong pemulihan ekonomi dan diperkirakan sebesar US$ 82 miliar per tahun, dengan rincian potensi perikanan tangkap sebesar US$ 15,1 miliar per tahun, potensi budidaya laut sebesar US$ 46,7 miliar per tahun, potensi perairan umum sebesar US$ 1,1 miliar per tahun, potensi budidaya tambak sebesar US$ 10 miliar per tahun, potensi budidaya air tawar sebesar US$ 5,2 miliar per tahun, dan potensi bioteknologi kelautan sebesar US$ 4 miliar pertahun (Dahuri 2004).
Berdasarkan hasil perhitungan yang dilakukan oleh BPS (2009), perdagangan ekspor non-migas Indonesia terus mengalami peningkatan dari US$ 18.247,5 juta pada tahun 1991 menjadi sebesar US$ 89.589,1 juta pada tahun 2009. Ekspor non migas Indonesia terdiri dari beberapa sektor yaitu sektor pertanian, sektor industri, sektor pertambangan, dan komoditi sektor lainnya.
Berdasarkan data Departemen Perikanan dan Kelautan dan BPS (2006), perdagangan hasil perikanan Indonesia yang terjadi di pasar dunia terus mengalami peningkatan yang cukup berarti. Selama periode 1997-2006, ekspor hasil perikanan Indonesia mengalami kenaikan yang cukup tinggi dari 574.419 ton pada 1997 menjadi 926.478 ton pada tahun 2006 dengan besar persentase rata-rata kenaikan sebesar 7,29 % dengan komoditas ekspor utama seperti udang, tuna/cakalang/tongkol, ikan lainnya (laut dan darat), kepiting, dan lainnya.
Perkembangan ekspor hasil perikanan Indonesia menurut komoditas utama dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1: Perkembangan Ekspor Hasil Perikanan Indonesia Menurut Komoditas Utama, 1997-2006 (dalam ribuan ton)
Berdasarkan hasil kajian yang dilakukan oleh Badan Riset Kelautan dan Perikanan (BRKP) tahun 2003, potensi sumberdaya ikan pelagis besar (termasuk tuna) di perairan Indonesia mencapai 1,165 juta ton, akan tetapi tidak dapat diimbangi dengan dengan kapasitas produksi yang dihasilkannya yang hanya mencapai sekitar 54 %. Dengan demikian masih terdapat peluang untuk meningkatkan produksi, kecuali di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) Selat Malaka dan WPP Laut Jawa dimana telah terjadi overfishing (DKP 2006b).
Tuna merupakan salah satu komoditas perikanan yang digemari oleh hampir semua bangsa di dunia, sehingga komoditas tersebut memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi. Oleh karena itu, produksi dan pemasaran tuna di dunia (termasuk Indonesia) sangat berpengaruh terhadap perkembangan bisnis perikanan secara keseluruhan (Dahuri, 2004). Ekspor tuna yang dilakukan Indonesia pada tahun 1997 sebanyak 82.868 ton dan meningkat menjadi sebesar 117.092 ton pada tahun 2003 dapat dilihat pada Tabel 1. Penurunan ekspor tuna Indonesia mulai terjadi pada tahun 2004 sekitar 20 % atau sebesar 22.871 ton menjadi sebesar 94.221 ton dan pada tahun 2006 ekspor tuna Indonesia hanya sebesar 91.822 ton atau menurun 2,5% dari tahun sebelumnya. Penurunan ini diduga karena adanya pembatasan yang dilakukan negara tujuan ekspor.
Tujuan utama pemasaran ikan tuna Indonesia ke luar negeri terdiri dari Amerika Serikat, Jepang dan Uni Eropa dimana ketiga negara tersebut sangat berpengaruh terhadap kinerja ekspor tuna Indonesia. Pada tahun 2004, urutan pertama tujuan ekspor tuna Indonesia adalah Jepang sebesar 36,84 % dari volume ekspor tuna Indonesia, disusul Amerika Serikat sebesar 20,45 % dari volume ekspor tuna Indonesia dan Uni Eropa sebesar 12,69 % dari volume ekspor tuna Indonesia. Berikut perkembangan ekspor tuna Indonesia menurut negara tujuan pada tahun 2004 yang disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2: Perkembangan Ekspor Tuna Menurut Negara Tujuan, Tahun 2004 (dalam ribuan ton)
Perkembangan perekonomian yang terjadi pada saat ini mendorong berkembangnya pasar dan mengubah orientasi dunia usaha tidak terbatas pada lingkup nasional tetapi telah bersifat internasional atau global. Dalam The Wealth of Nations, Adam Smith berpendapat bahwa suatu negara akan mengekspor barang ke negara lain jika negara itu lebih efisien dalam memproduksi barang dan itu disebut keunggulan absolut.
Semakin berkembangnya kegiatan perdagangan antar negara, menjadikan banyak negara yang melakukan kegiatan proteksi guna melindungi produsen dan konsumen negara yang bersangkutan. Hampir setiap negara menerapkan pembatasan perdagangan atau pembebanan dalam bentuk biaya untuk menaungi negaranya dalam bentuk kebijakan perdagangan atau regulasi. Pembatasan-pembatasan yang dilakukan ini merupakan hambatan dalam kegiatan perdagangan sehingga sangat berpengaruh kepada negara-negara berkembang yang melakukan kerjasama dengan negara tesebut.
Uni Eropa merupakan pasar potensial bagi Indonesia. Jika dibandingkan dengan Jepang dan Amerika Serikat, Uni Eropa berada pada urutan ketiga Negara tujuan ekspor tuna Indonesia namun Uni Eropa sebagai organisasi antar pemerintahan negara-negara Eropa merupakan pasar yang terus berkembang dan memberikan peluang yang besar bagi Indonesia untuk dapat meningkatkan volume ekspor tunanya. Uni Eropa sangat melindungi produsen dan konsumen dalam negerinya. Proteksi yang dilakukan Uni Eropa berupa penetapan kebijakan perdagangan yang menjadi hambatan bagi Indonesia yang selama ini mengekspor tuna ke Uni Eropa. Hambatan yang diterapkan berbentuk hambatan tarif dan nontariff terhadap produk yang masuk ke negara-negara anggotanya dimana dinilai cukup ketat dibandingkan negara-negara pengimpor lainnya. Oleh karena itu, guna memajukan ekspor tuna Indonesia perlu dilakukan analisis sejauh mana pengaruh kebijakan perdagangan Uni Eropa terhadap perkembangan ekspor tuna Indonesia ke Uni Eropa, khususnya yangberkaitan dengan masalah tariff yang diberlakukan oleh Negara-negara Uni Eropa terhadap komoditas tuna.
II. Permasalahan
Berbagai Negara di dunia menerapkan kebijakan pembatasan (restriction) terhadap perdagangan luar negeri nya, seperti pembatasan jenis dan jumlah barang impor yang masuk, ataupun dengan menerapkan tariff impor untuk komoditas tertentu. Semua itu dilakukan oleh berbagai Negara dengan tujuan untuk melindungi komoditas dan produk dalam negerinya dalam rangka meningkatkan daya saing produk dalam negeri nya terhadap masuknya komoditas atau produk luar. Langkah ini bagi suatu Negara pengekspor merupakan suatu distorsi perdagangan yang dapat menghambat peningkatan atau laju transaksi ekspor suatu Negara dalam rangka meningkatkan devisa Negara.
Salah satu kasus yang dalam penelitian ini adalah bagaimana tindakan pemerintah Negara-negara Uni Eropa memberlakukan berbagai tariff impor terhadap produk-produk perikanan khususnya komoditas tuna (baik tuna segar maupun tuna kaleng). Penerapan tariff impor (bea masuk) yang diberlakukan oleh pasar Eropa dilakukan secara diskriminatif berdasarkan skema generalized system of preferences (GSP) Uni eropa terhadap negera-negara berkembang dan Indonesia merupakan salah satu Negara penerima GSP.
Dari uraian diatas berdasarkan fakta dan juga menunjuk pada latar belakang, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
-
Kebijakan tarif impor (bea masuk) apa saja yang diberlakukan oleh Uni eropa untuk produk tuna Indonesia?
-
Bagaimana dampak penerapan kebijakan Uni eropa terhadap ekspor tuna Indonesia?
-
Bagaimana prospek dan ramalan ekspor tuna Indonesia ke Negara-negara Uni Eropa?
IIII. Tujuan Penelitian
-
Mengidentifikasi kebijakan tarif yang dikeluarkan oleh Uni Eropa terhadap ekspor tuna Indonesia
-
Mengukur pengaruh/dampak kebijakan tarif Uni Eropa terhadap ekspor tuna Indonesia
-
Mengkaji prospek perdagangan ekspor tuna Indonesia di Uni Eropa dengan cara meramalkan besarnya volume ekspor tuna Indonesia ke Uni Eropa
IIII. Tinjauan Pustaka
1. Teori Perdagangan Internasional
Perdagangan internasional dapat diartikan perdagangan antar atau lintas negara yang mencakup ekspor dan impor. Ada beberapa faktor yang mendorong timbulnya perdagangan internasional (ekspor-impor) suatu negara dengan Negara lain, yakni keinginan untuk memperluas pemasaran komoditi ekspor, memperbesar penerimaan bagi kegiatan pembangunan, adanya perbedaan penawaran permintaan antar negara, tidak semua negara menyediakan kebutuhan masyarakatnya serta akibat adanya perbedaan biaya relative dalam menghasilkan komoditi tertentu (Gonarsyah 1987).
Perdagangan internasional juga seringkali disebut sebagai mesin pertumbuhan ekonomi (trade is an engine of growth) artinya tanpa perdagangan internasional, maka pertumbuhan ekonomi akan menjadi sangat lamban, karena barang dan jasa akan menjadi sangat mahal bila dihasilkan sendiri oleh masingmasing negara. Oleh karena itu perdagangan antarbangsa itu hendaknya didorong, agar dapat berlangsung dengan lancar dan semakin meningkat.
Dalam kegiatan ekspor suatu komoditi, volume ekspor suatu komoditi tertentu dari suatu negara ke negara lain merupakan selisih antara penawaran domestik dan permintaan domestik yang disebut sebagai kelebihan penawaran (excess supply). Di lain pihak kelebihan penawaran dari negara tersebut merupakan permintaan impor bagi negara lain atau merupakan kelebihan permintaan (excess demand). Selain dipengaruhi oleh permintaan dan penawaran domestik, ekspor juga dipengaruhi oleh faktor-faktor pasar dunia seperti harga komoditas itu sendiri dan komoditas substitusinya di pasar Internasional serta hal-hal yang dapat mempengaruhi harga baik secara langsung maupun tidak langsung.
Secara teoritis, suatu negara (misalkan negara A) akan mengekspor komoditi tuna ke negara lain (misalkan negara B) apabila harga domestik di negara A relatif lebih rendah bila dibandingkan dengan harga domestik negara B sebelum terjadinya perdagangan internasional. Struktur harga yang terjadi di negara A lebih rendah karena produksi domestiknya lebih besar dari pada konsumsi domestiknya sehingga di negara A telah terjadi excess supply (memiliki kelebihan produksi). Dengan demikian negara A mempunyai kesempatan menjual kelebihan produksinya ke negara lain. Sementara itu, di negara B terjadi kekurangan suplay karena konsumsi domestiknya lebih besar dari produksinya atau terjadi excess demand sehingga harga yang terjadi di negara B lebih tinggi. Oleh karena itu, negara B berkeinginan untuk membeli komoditi tuna di Negara lain yang harganya relatif lebih murah. Jika kemudian terjadi komunikasi antara negara A dan negara B, maka akan terjadi perdagangan antar keduanya dengan harga yang diterima oleh kedua negara adalah sama. Untuk lebih jelasnya ilustrasi terjadinya mekanisme perdagangan internasional dapat dilihat pada Gambar 1.
Negara A (Eksporter) Perdagangan Internasional Negara B (Importer)
Keterangan:
PA : harga domestik di negara A tanpa perdagangan international
OQA : jumlah produk domestik yang diperdagangkan di negara A tanpa perdagangan internasional
A : kelebihan penawaran (excess supply) di negara A tanpa perdagangan internasional
x : jumlah komoditi yang diekspor oleh negara A
PB : harga domestik di negara B tanpa perdagangan internasional
OQB : jumlah produk domestik yang diperdagangkan di negara B tanpa perdagangan internasional
B : kelebihan permintaan (excess demand) di negara B tanpa perdagangan internasional
M : jumlah komoditi yang diimpor oleh negara B
P* : harga keseimbangan di kedua negara setelah perdagangan internasional
OQ* : keseimbangan penawaran dan permintaan antar kedua negara dimana jumlah yang diekspor (x) sama dengan jumlah yang di impor (M)
Selain itu juga, motivasi utama untuk melakukan perdagangan internasional adalah mendapatkan gains from trade—meningkatkan pendapatan dan menurunkan biaya (cost). Perdagangan internasional memberikan akses terhadap barang yang lebih murah bagi konsumen dan pemilik sumber daya (resources) memperoleh peningkatan pendapatan karena menurunnya biaya produksi (Appleyard et. all, 2006). Adanya perdagangan luar negeri akan memberikan dampak positif pada suatu negara berupa:
(i) sarana meningkatkan kemakmuran masyarakat melalui proses pertukaran;
(ii) dengan adanya spesialisasi dan pembagian kerja, suatu negara dapat mengekspor komoditi yang diproduksi lebih murah untuk dipertukarkan dengan barang yang dihasilkan negara lain, yang jika diproduksi sendiri biayanya mahal;
(iii) akibat adanya perluasan pasar produk dan pergeseran kegiatan, suatu negara mendapat keuntungan berupa naiknya tingkat pendapatan nasional, yang pada gilirannya dapat meningkatkan output dan laju pertumbuhan ekonomi;
(iv) dapat mendorong kenaikan investasi dan tabungan melalui alokasi sumber-sumber yang lebih efisien;
Manfaat-manfaat tidak langsung lainnya seperti keinginan memproduksi barang dengan kualitas yang lebih baik, terciptanya iklim persaingan yang sehat, sarana pemasukan modal asing, meningkatkan teknologi dan sebagainya.
Landasan teori perdagangan internasional yang melatarbelakangi terjadinya liberalisasi antara lain teori keunggulan komparatif dan teori factor endowments. David Ricardo menyempurnakan teori keunggulan absolut dari Adam Smith dengan mengemukakan teori keunggulan komparatif. Teori keunggulan komparatif menyatakan dalam keadaan free trade, apabila salah satu negara kurang efisien dibandingkan negara lainnya dalam memproduksi kedua barang tersebut, kedua negara masih dimungkinkan melakukan perdagangan dan menguntungkan kedua belah pihak. Negara yang pertama harus melakukan spesialisasi dalam produksi komoditas yang absolute disadvantage-nya lebih kecil (komoditas inilah yang disebut sebagai keunggulan komparatifnya) dan mengimpor komoditas yang absolute disadvantage-nya lebih besar (komoditas ini sebagai ketidakunggulan komparatifnya) (Salvatore, 2004). Heckser-Ohlin mengemukakan bahwa suatu negara melakukan perdagangan internasional karena adanya perbedaan endowment. Perbedaan opportunity cost suatu produk antara suatu negara dengan negara lain dapat terjadi karena adanya perbedaan jumlah atau proporsi faktor produksi yang dimiliki (endowment factors) masing-masing negara. Perbedaan tersebut menimbulkan terjadinya perdagangan internasional. Negara-negara yang memiliki faktor produksi relatif lebih banyak dan murah dalam memproduksinya akan melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor barangnya. Sebaliknya, masing-masing negara akan mengimpor barang tertentu jika negara tersebut memiliki faktor produksi yang relatif langka dan mahal dalam memproduksinya (Salvatore, 2004).
2. Konsep Liberalisasi
Pengertian dari kebijakan liberalisasi adalah kebijakan perdagangan yang diambil suatu negara yang mencerminkan pergerakan ke arah yang lebih netral, liberal atau terbuka. Secara khusus, perubahan ke arah yang semakin netral tersebut meliputi penyamaan insentif (rata-rata) diantara sektor-sektor perdagangan. Suatu rezim kebijakan dianggap menjalankan kebijakan liberalisasi bila tingkat intervensi secara keseluruhan semakin berkurang. Selain itu, kebijakan yang liberal juga dapat ditandai melalui semakin pentingnya peranan perdagangan dalam perekonomian. Kebijakan liberalisasi dapat tercapai melalui beberapa cara seperti pengurangan hambatan-hambatan dalam perdagangan atau pemberlakuan subsidi ekspor (Santos-Paulino, 2005). Penelitian yang dilakukan oleh Krueger (1978) dan Bhagwati (1978) merupakan studi terorganisir pertama untuk menformalkan klasifikasi dari kebijakan. Mereka mengartikan kebijakan liberalisasi perdagangan sebagai kebijakan yang mengurangi tingkat anti-export bias yang menitikberatkan terhadap pengurangan import licences premium (PR). Orientasi kebijakan perdagangan suatu negara diukur berdasarkan tingkat struktur proteksi dan sistem insentif yang diberlakukan. Pada tahun 1987, World Bank melakukan studi tentang orientasi kebijakan perdagangan negara-negara di dunia. World Bank mengklasifikasi negara-negara dalam kelompok berdasarkan orientasi perdagangan untuk melihat performa ekspor menjadi empat kelompok yaitu strongly outward oriented countries, moderately outward oriented countries moderately inward oriented countries, strongly inward oriented countries. Indonesia pada periode tahun 1963-1973 masuk dalam kelompok moderately outward oriented sedangkan pada tahun 1973-1985 menjadi moderately inward oriented. World Bank menyimpulkan bahwa negara yang tergolong outward oriented memiliki performa lebih baik daripada negara yang tergolong inward oriented. Dilihat dari sudut pandang teori kebijakan, teori tentang kebijakan menyatakan bahwa hambatan perdagangan menyebabkan distorsi bagi perekonomian yang menyebabkan pada misalokasi sumber daya di dunia. Distorsi semakin besar jika negara yang menerapkannya adalah negara kecil yaitu negara yang tidak dapat mempengaruhi perilaku negara lain melalui kebijakan-kebijakannya. Dibalik alasan untuk memproteksi industri-industri baru di dalam negeri, hambatan dalam perdagangan tetap mendatangkan distorsi.
Berkaitan dengan kebijakan yang diambil oleh negara maka dapat dibagi dalam dua kelompok yaitu kebijakan substitusi impor atau ekspansi ekspor. Substitusi impor sering dikaitkan dengan kebijakan proteksi dan ekspansi ekspor berhubungan dengan kebijakan liberalisasi. Pada prakteknya, kebijakan proteksi dengan meningkatkan tarif misalnya sulit dilakukan. Suatu negara yang berencana untuk memberlakukan hambatan perdagangan seperti tarif misalnya harus mempertimbangkan efek timbal balik jika negara lain melakukan hal yang sama (Nenci dan Pietrobelli, 2007). Kebijakan dalam rangka liberalisasi dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu yang dilakukan secara global dan unilateral, dan yang dilakukan secara bilateral atau regional. Kebijakan yang berlaku global berkaitan dengan kesepakatan yang diputuskan di WTO dan yang unilateral adalah kebijakan yang secara sepihak dilaksanakan oleh negara tersebut. Kebijakan regional atau bilateral adalah kebijakan yang dilaksanakan berdasarkan pada kesepakatan secara bilateral atau regional yang biasanya berada dalam suatu perjanjian perdagangan baik bilateral maupun regional.
Motivasi utama untuk melakukan perdagangan internasional adalah mendapatkan gains from trade—meningkatkan pendapatan dan menurunkan biaya (cost). Perdagangan internasional memberikan akses terhadap barang yang lebih murah bagi konsumen dan pemilik sumber daya (resources) memperoleh peningkatan pendapatan karena menurunnya biaya produksi. Adanya perdagangan luar negeri akan memberikan dampak positif pada suatu negara berupa:
(i) sarana meningkatkan kemakmuran masyarakat melalui proses pertukaran;
(ii) dengan adanya spesialisasi dan pembagian kerja, suatu negara dapat mengekspor komoditi yang diproduksi lebih murah untuk dipertukarkan dengan barang yang dihasilkan negara lain, yang jika diproduksi sendiri biayanya mahal;
(iii) akibat adanya perluasan pasar produk dan pergeseran kegiatan, suatu negara mendapat keuntungan berupa naiknya tingkat pendapatan nasional, yang pada gilirannya dapat meningkatkan output dan laju pertumbuhan ekonomi;
(iv) dapat mendorong kenaikan investasi dan tabungan melalui alokasi sumber-sumber yang lebih efisien;
Manfaat-manfaat tidak langsung lainnya seperti keinginan memproduksi barang dengan kualitas yang lebih baik, terciptanya iklim persaingan yang sehat, sarana pemasukan modal asing, meningkatkan teknologi dan sebagainya
Landasan teori perdagangan internasional yang melatarbelakangi terjadinya liberalisasi antara lain teori keunggulan komparatif dan teori factor endowments. David Ricardo menyempurnakan teori keunggulan absolut dari Adam Smith dengan mengemukakan teori keunggulan komparatif. Teori keunggulan komparatif menyatakan dalam keadaan free trade, apabila salah satu negara kurang efisien dibandingkan negara lainnya dalam memproduksi kedua barang tersebut, kedua negara masih dimungkinkan melakukan perdagangan dan menguntungkan kedua belah pihak. Negara yang pertama harus melakukan spesialisasi dalam produksi komoditas yang absolute disadvantage-nya lebih kecil (komoditas inilah yang disebut sebagai keunggulan komparatifnya) dan mengimpor komoditas yang absolute disadvantage-nya lebih besar (komoditas ini sebagai ketidakunggulan komparatifnya) (Salvatore, 2004). Heckser-Ohlin mengemukakan bahwa suatu negara melakukan perdagangan internasional karena adanya perbedaan endowment. Perbedaan opportunity cost suatu produk antara suatu negara dengan negara lain dapat terjadi karena adanya perbedaan jumlah atau proporsi faktor produksi yang dimiliki (endowment factors) masing-masing negara. Perbedaan tersebut menimbulkan terjadinya perdagangan internasional. Negara-negara yang memiliki faktor produksi relatif lebih banyak dan murah dalam memproduksinya akan melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor barangnya. Sebaliknya, masing-masing negara akan mengimpor barang tertentu jika negara tersebut memiliki faktor produksi yang relatif langka dan mahal dalam memproduksinya (Salvatore, 2004).
3. Kebijakan Perdagangan
Kebijakan pada dasarnya merupakan ketentuan-ketentuan yang harus dijadikan pedoman, pegangan atau petunjuk bagi setiap usaha dan kegiatan aparatur pemerintah sehingga tercapai kelancaran dan keterpaduan dalam upaya mencapai tujuan (Lembaga Administrasi Negara,1996).
Titmuss mendefinisikan kebijakan sebagai prinsip-prinsip yang mengatur tindakan yang diarahkan kepada tujuan-tujuan tertentu. Kebijakan, menurut Titmuss, senantiasa berorientasi kepada masalah (problem-oriented) dan berorientasi kepada tindakan (action-oriented). Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa kebijakan adalah suatu ketetapan yang memuat prinsip-prinsip untuk mengarahkan cara-cara bertindak yang dibuat secara terencana dan konsisten dalam mencapai tujuan tertentu. Jones dalam Julianingsih, 2003 mengatakan bahwa kebijakan terdiri dari komponen-komponen 1) Goal atau tujuan yang diinginkan, 2) Plans atau proposal yaitu pengertian yang spesifik untuk mencapai tujuan, 3) Program yaitu usaha yang berwenang untuk mencapai tujuan, 4) Decision atau keputusan yaitu tindakan-tindakan untuk menentukan tujuan membuat rencana melaksanakan dan mengevaluasi program dan efek yaitu akibat-akibat dari program (baik disengaja atau tidak, primer atau sekunder).
Teori dan kebijakan perdagangan internasional merupakan aspek mikro ekonomi ilmu ekonomi sebab berhubungan dengan masing-masing negara sebagai individu yang diperlakukan sebagai unit tunggal, serta berhubungan dengan harga relatif suatu komoditi. Dalam arti luas kebijaksanaan ekonomi internasional adalah tindakan atau kebijaksanaan ekonomi pemerintah, yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi konposisi, arah serta bentuk daripada perdagangan dan pembayaran internasional. Kebijakan ini tidak hanya berupa tarif, quota, dan sebagainya, tetapi juga meliputi kebijaksanaan pemerintah di dalam negeri yang secara tidak langsung mempunyai pengaruh terhadap perdagangan serta pembayaran internasional seperti misalnya kebijaksanaan moneter dan fiskal. Sedangkan definisi yang lebih sempit kebijaksanaan ekonomi internasional adalah tindakan atau kebijaksanaan ekonomi pemerintah yang secara langsung mempengaruhi perdagangan dan pembayaran internasional (Nopirin, 1999).
Kebijakan perdagangan dikatakan pula sebagai bentuk regulasi atau peraturan pemerintah yang membatasi perdagangan bebas. Bentuk-bentuk kebijakan perdangangan antara lain adalah tarif, kuota, subsidi, muatan lokal, peraturan administrasi, dan peraturan anti dumping. Kebijakan perdagangan yang dilakukan sebagai proses proteksi terhadap produk dianggap sebagai penghambat dalam proses perdagangan bebas. Hambatan perdagangan dinilai mengurangi efisiensi ekonomi, karena masyarakat tidak dapat mengambil keuntungan dari produktivitas negara lain. Pihak yang diuntungkan dari adanya hambatan perdagangan adalah produsen dan pemerintah. Produsen mendapatkan proteksi dari hambatan perdagangan, sementara pemerintah mendapatkan penghasilan dari bea-bea (www.wikimedia.org).
Hambatan dalam arus perdagangan ada dua macam, yaitu hambatan yang bersifat tarif (tariff barrier) dan hambatan yang bersifat non tarif (non tariff barriers). Hambatan yang bersifat tarif (tariff barrier) merupakan hambatan terhadap terhadap arus barang ke dalam suatu negara yang disebabkan oleh diberlakukannya tarif bea masuk dan tarif lainnya, sedangkan yang dimaksud dengan hambatan yang bersifat non tarif (non tariff barriers) merupakan hambatan terhadap arus barang ke dalam suatu negara yang disebabkan oleh tindakan-tindakan selain penerapan pengenaan tarif atas suatu barang.
4. Kebijakan Tarif (Hambatan Tarif)
Hambatan perdagangan yang paling nyata secara historis adalah tarif. Tarif adalah pajak yang dikenakan atas barang yang diperdagangkan lintas batas teritorial. Ditinjau dari aspek asal komoditi ada 2 macam tarif yakni tarif ekspor (export tariff) dan tarif impor (import tariff). Tarif impor adalah pungutan bea masuk yang dikenakan atas barang impor yang masuk untuk dipakai atau dikonsumsi habis di dalam negeri. Tarif impor berdampak pada penurunan konsumsi domestik dan kenaikan produksi domestik. Berkurangnya volume impor akibat tarif impor tercipta pendapatan tambahan bagi pemerintah dalam bentuk pajak, serta terjadinya retribusi pendapatan dari konsumen domestik. Sebaliknya ekspor merupakan pajak untuk suatu komoditi yang di ekspor (Salvatore 2004).
Tarif yang diberlakukan pada barang-barang impor bertujuan untuk dapat meningkatkan harga domestik produksi impor yang membuat produk domestic bisa berkompetisi. Tarif impor akan dibebankan pada harga jual barang atau jasa yang akan dibeli konsumen, sehingga menyebabkan harga barang atau jasa bertambah tinggi. Di pasar domestik harga yang berada di pasar adalah harga ekspor ditambah tarif. Jadi tarif atau bea masuk adalah salah satu cara untuk memberi proteksi terhadap industri dalam negeri. Secara grafik pengenaan tarif bisa digunakan sebagai berikut :
Gambar 2. Pengaruh Tarif Terhadap Kuota Impor
Sumber : Nopirin, 1999
Sebelum adanya pembebanan tarif, OP1 merupakan harga konstan yang ditetapkan oleh produsen pengimpor, sehingga produsen di dalam negeri pun harus menjual pada harga yang sama sebagai akibat persaingan dengan produsen pengimpor. Produksi dalam negeri OQ1 dan konsumsi OQ4 sehingga Q1Q4 adalah impornya. Terhadap impornya ini kemudian negara A membebani tarif sebesar P1- P2, maka efeknya adalah :
- harga barang tersebut di dalam negeri naik dari OP1 menjadi OP2.
- jumlah barang yang diminta berkurang dari OQ4 menjadi OQ3 (consumption effect).
- produksi di dalam negeri naik dari OQ1 menjadi OQ2 (import substitution effect).
- adanya pendapatan yang diterima oleh pemerintah dari tarif tersebut sebesar BCEF (revenue effect).
- adanya ekstra pendapatna yang dibayarkan oleh konsumen di dalam negeri kepada produsen di dalam negeri sebesar ABP1P2.
Jenis-jenis tarif ditinjau dari mekanisme perhitungannya ialah :
1. bea ad valorem (bea harga), pajak yang dikenakan berdasarkan angka presentase tertentu dari nilai barang-barang yang diimpor, misalnya suatu negara memungut tarif 25% atas nilai atau harga dari setiap unit mobil diimpor.
2. bea specific, pungutan bea masuk yang didasarkan pada ukuran atau satuan tertentu dari barang impor.
3. bea compound (bea specific ad valorem), pajak yamh merupakan kombinasi antara sistem bea ad valorem dan bea specifik.
Sistem tarif yang umum dilakukan oleh tiap negara dan sudah disepakati
dalam pengenaan tarif adalah:
1. Tarif Tunggal (Singgle column tariff), yaitu suatu tarif untuk satu jenis komoditi yang besarnya (prosentasenya) berlaku sama untuk impor komoditi tersebut dari negara mana saja, tanpa kecuali.
2. Tarif Umum/Konvensional (General/Conventional Tariff), yaitu satu tariff untuk satu komoditi yang besar persentase tarifnya berbeda antara satu negara dengan negara lain, lazim juga dekenal sebagai tarif berkolom-ganda (two-column tariff).
3. Tarif Preferensi (Preferential Tariff), yaitu salahs atu tarif yang merupakan pengecualian dari prinsip non-diskriminatif. Yang dimaksud dengan tariff preferensi adalah tarif GATT yang persentasinya diturunkan, bahkan untuk beberapa komoditi sampai menjadi nol persen (zero) yang diberlalukan olehh negara terhadap komoditi yang diimpor dari negara-negara lain tertentu karena adanya hubungan khusus antara negara pengimpor dengan Negara pengekspor.
Kebijakan tariff barrier dalam bentuk bea masuk adalah sebagai berikut:
1. Tarif rendah antara 0%-5%. Tarif ini dikenakan untuk bahan kebutuhan pokok dan vital, seperti beras, mesin-mesin vital, dan alat-alat militer;
2. Tarif sedang antara 5%-20%. Tarif ini dikenakan untuk barang setngah jadi dan barang-barang lain yang belum cukup produksi di dalam negeri; dan
3. Tarif tinggi di atas 20%. Tarif ini dikenakan untuk barang-barang mewah dan barang-barang lain yang sudah cukup diproduksi di dalam negeri dan bukan barang kebutuhan pokok.
Tarif dan bea masuk pada hakekatnya merupakan tindakan diskriminatif yang digunakan untuk mencapai berbagai tujuan, antara lain melindungi produk dalam negeri dari persaingan dengan produk sejenis asal impor, meningkatkan penerimaan negara, mengendalikan konsumsi barang tertentu, dan lain-lain. Penggunaan tarif bea masuk yang ditujukan untuk melindungi produk dalam negeri sangat besar pengaruhnya terhadap globalisasi ekonomi
5. Gambaran Umum Pasar Eropa
Uni Eropa merupakan kelompok negara-negara independen dan berdiri pada akhir masa Perang Dunia Kedua. Pembentukan kelompok ini dilatarbelakangi ketika para anggota pendirinya memutuskan bahwa cara terbaik untuk mencegah konflik adalah dengan mengelola secara bersama produksi batu bara dan baja, dua bahan utama yang diperlukan untuk berperang. Pemerkarsa Uni Eropa yaitu negara Belgia, Jerman, Perancis, Italia, Luxembourg dan Belanda.
Negara yang tergabung dalam Uni Eropa terikat dengan serangkaian traktat yang telah ditandatangani. Semua traktat itu harus disepakati oleh masing-masing negara anggota dan kemudian diratifikasi baik oleh parlemen nasional atau melalui referendum. Negara anggota Uni Eropa terus bertambah mulai tahun 1973 dan sejak tanggal 1 Mei 2004 jumlah negara anggota Uni Eropa menjadi 25 negara anggota. Jumlah penduduk Uni Eropa pada tahun 2004 meningkat dari 379 juta jiwa menjadi 455 juta jiwa (7.3% total dunia) dan pada tahun 2006 telah mencapai 461.092.000 jiwa. Perluasan ini merubah kontribusi GDP Uni Eropa dari 1,2 % per tahun pada tahun 2003 menjadi 2,3 % per tahun pada tahun 2004 atau sebesar 12.957.756 juta US$ terhadap GDP dunia. Uni Eropa juga merupakan pelaku ekonomi terbuka yang sangat baik dengan perdagangan internasional, pada tahun 2004 total perdagangan mencapai € 1.990,5 miliar atau 18 % dari total perdagangan dunia yang mencapai € 11.029 milyar.
6. Perdagangan Barang dan Jasa Uni Eropa
Uni Eropa merupakan pasar terbesar di dunia. Pada tahun 2005, share ekspor barang Uni Eropa dalam pasar dunia sebesar 18,3 % dan untuk impor sebesar 19,1 %. Perdagangan Uni Eropa selama periode 2001-2006 mengalami fluktuasi. Pada tahun 2001 besar persentase kenaikan nilai ekspor barang dan jasa sebesar 1 % dan 3 % dan volume ekspornya sebesar 2,5 % dan 6 %. Sedangkan persentase kenaikan nilai impor kedua jenis tersebut pada periode tahun yang sama sebesar -2 % dan 3 %. Peningkatan yang cukup tinggi terjadi pada tahun 2004 dengan persentase kenaikan nilai ekspor barang dan jasa masing-masing sebesar 20 % dan 19 %. Persentase kenaikan nilai impor Uni Eropa sebesar 20 % dan 17 %. Pada tahun 2005 persentase kenaikan ekspor dan impor barang mengalami penurunan yang tinggi dan kembali meningkat pada tahun 2006 menjadi sebesar 13 % dan 14%. Perkembangan perdagangan barang dan jasa Uni Eropa dapat dilihat pada Tabel 3
Tabel 3: Perkembangan barang dan Jasa Uni Eropa Thaun 2000-2006 (dalam persentase)
Jenis barang utama yang diekspor dan diimpor oleh Uni Eropa antara lain produk pertanian, lahan bakar dan produk pertambangan, serta produk-produk pabrik seperti besi dan baja, bahan-bahan kimia, produk kantor dan telekomunikasi, produk-produk otomotif, tekstil dan pakaian. Sedangkan jenis jasanya berupa jasa transportasi dan jasa perjalanan. Persentase kontribusi (share) barang dan jasa dalam ekspor dan impor Uni Eropa tahun 2006 dapat dilihat pada Tabel 4 sebagai berikut:
Tabel 4. Persentase Kontribusi (share) komoditi Utama Barang dan Jasa Uni Eropa dalam Ekspor dan Impor Uni Eropa Tahun 2006
Persentase kontribusi (share) jasa transportasi Uni Eropa dalam kegiatan ekspor dan impor Uni Eropa pada tahun 2006 masing-masing sebesar 25,5 % dan 25,7 %. Persentase kontribusi (share) ekspor dan impor Uni Eropa produk pabrik masing-masing sebesar 83,3 % dan 60,4 %. Produk bahan bakar dan produk pertambangan memiliki persentase kontribusi (share) dalam ekspor dan impor Uni Eropa masing-masing sebesar 7 % dan 30,2 %. Persentasi kontribusi (share) terkecil dalam kegiatan ekspor dan impor Uni Eropa pada tahun yang sama dimiliki oleh produk pertanian dengan persentase masing-masing sebesar 6,4 % dan 7,3 %. Kondisi ini dikarenakan Uni Eropa merupakan negara industri yang sangat maju sehingga jenis barang yang lebih dominan diekspor dan diimpor berupa produk-produk pabrik. Jika hanya dibandingkan antara ekspor dan impor produk pertanian, Uni Eropa lebih banyak melakukan impor daripada ekspor. Kontribusi (share) Uni Eropa untuk barang (merchandise) dalam perdagangan dunia pada tahun 2003 mencapai 42,4 % dan mengalami penurunan menjadi 38,5 % pada tahun 2006. Share Uni Eropa dalam perdagangan dunia untuk barang (merchandise) pada periode tahun 1963-2006 dapat dilihat pada Gambar 1
Gambar 1: Grafik share Uni eropa dalam Perdagangan Dunia untuk barang periode tahun 1963-2006
Sumber: World Trade report, 2008
7. Perdagangan Produk Perikanan Uni Eropa
Konsumsi masyarakat Uni Eropa untuk produk perikanan terus meningkatsejak tahun 1980an. Produk hasil perikanan yang dikonsumsi oleh masyarakat Uni Eropa lebih banyak berasal dari negara berkembang yang melakukan perdagangan bilateral dengan Uni Eropa. Pasar Uni Eropa merupakan pasar yang cukup variatif karena merupakan kawasan ekonomi beberapa negara yang memiliki preferensi yang bervariasi terhadap produk konsumsi salah satunya terhadap jenis seafood. Sejak tahun 2000, Komisi Eropa lebih meningkatkan ketergantungannya pada impor untuk mensupplai kebutuhan akan seafood hingga 10 %. Impor produk hasil perikanan Uni Eropa pada tahun 2002 hingga 2006 terus mengalami peningkatan dengan rata-rata kenaikan per tahun sebesar 3,3 % untuk volume dan sekitar 14 % untuk nilai. Produk perikanan yang paling dominan diimpor oleh Uni Eropa dengan kode HS 03 (ikan, crustacea, moluska, dan invertebrata perairan lainnya) dan 16 (bentuk kemasan dari ikan, crustace, moluska dan invertebrate lainnya). Perkembangan ekspor dan impor produk perikanan Uni Eropa dapat dilihat pada Tabel 5
Tabel 5: Perkembangan Ekspor dan Impor Produk Perikanan Thn 1994-2008
8. Perdagangan Produk Tuna Uni Eropa
Sebagian besar tuna yang ada dipasar Uni Eropa berasal dari ACP (AfricanCaribean Pacific) countries yaitu Peru, Bolivia, Ekuador dan Kolombia. Uni Eropa banyak melakukan impor karena hasil tangkapan yang dilakukan Uni Eropa belum bisa memenuhi permintaan. Besar ekspor, impor dan neraca perdagangan Tuna Uni Eropa dapat dilihat pada Tabel 6.
Impor produk tuna yang lakukan Uni Eropa lebih besar dibandingkan ekspor. Pada tahun 1992, volume ekspor tuna Uni Eropa sebesar 233.964 ton dengan nilai 283.473.000 US$ sedangkan impor tuna Uni Eropa sebesar 442.856 ton atau senilai 918.728.000 US$. Kondisi ekspor dan impor tuna Uni Eropa pada tahun 1992-2006 memiliki rata-rata kenaikan sebesar 6,33 % dan 4,91 %
Tabel 6. Besar Ekspor, Impor dan Neraca Perdagangan Tuna Uni Eropa Tahun 1994-2008
9. Kebijakan Perdagangan Tarif (Hambatan Tariff) Perdagangan Tuna di Pasar Uni Eropa
Kegiatan ekspor tuna ke pasar Uni Eropa masih sering mengalami banyak hambatan, baik hambatan tarif maupun non tarif. Sejak ditetapkannya Uni Eropa sebagai negara kawasan ekonomi, besar tarif di seluruh negara anggota diharmonisasikan. Tarif yang berlaku di pasar Uni Eropa terhadap produk tuna tergolong tinggi dibandingkan negara lain berkisar 0-22 %. Pemberlakuan tariff bea masuk untuk produk-produk olahan seperti tuna olahan (tuna kaleng) lebih besar dibandingkan jenis produk tuna lainnya sekitar 12-24 % dan masih mengacu pada Most Favoured Nations (MFN).
Besar tarif yang dikenai pada produk impor tergantung dari negara mana asal dan jenis produk. Pada tahun 1987 telah dikeluarkan Council Regulation (EEC) No. 2658/87 mengenai tarif bea masuk umum sebagai dasar pengenaan tarif untuk produk yang masuk ke Uni Eropa termasuk didalamnya produk perikanan (tuna). Kemudian diamandemen pada tahun 1989 dan dikeluarkan dalam bentuk Council Decisions No. 2886/89. Regulasi ini mengatur kembali besar tarif yang dikenakan pada tuna bentuk segar (fresh) dan beku (frozen).Pada tahun 1996, Council Decisions No. 2886/89 diamandemen dan dikeluarkan dalam Decisions No. 1734/96 yang mengatur kembali besarnya tariff tuna kemasan, dan pada tahun 1999 dikeluarkan kembali EC No. 2204/1999 yang mengamandemen lembaran tambahan I (Annex I) EC No. 2658/87. Amandemen yang dilakukan Komisi Eropa terhadap EC No. 2658/87 tidak merubah tarif bea masuk tuna ke Uni Eropa yang berasal dari negara dunia ketiga. Besarnya tarif bea masuk produk tuna negara dunia ketiga yang masuk ke Uni Eropa sampai tahun 2002 yang diatur oleh regulasi-regulasi diatas dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Besarnya Tarif Bea Masuk Produk Tuna Negara Dunia Ketiga yang Masuk ke Uni Eropa Sampai Tahun 2002
Beberapa instrumen tarif yang diberlakukan oleh Uni Eropa, bertujuan untuk mengatur mekanisme input demi memenuhi kebutuhan domestik bagi negaranya. Generalized System of Preferences (GSP) merupakan suatu kebijaksanaan perdagangan yang diberikan oleh negara-negara maju kepada negara-negara berkembang dalam bentuk penurunan bea masuk atas produk-produk yang berasal dari negara-negara berkembang yang memenuhi syarat (Departemen Perdagangan dan Perindustrian 1996). Skema GSP diberlakukan oleh Uni Eropa sudah sejak tahun 1971 dan terus mengalami perkembangan setiap sepuluh tahun sekali. Pemberlakuan GSP bertujuan untuk menunjang pembangunan negara-negara berkembang melalui pemberian konsesi tarif yang lebih besar dibandingkan dengan negara-negara maju agar dapat memasuki pasaran negara-negara maju (Departemen Perdagangan dan Perindustrian 1996). Tarif bea masuk ini tidak sama atau mengikuti persetujuan Most Favoured Nations (MFN). Pada tahun 2002, Uni Eropa menerapkan skema GSP baru EC nomor: 2211/2002 yang berlaku dimulai tanggal 1 Januari 2002-31 Desember 2005. Tahun 2003 Uni Eropa kembali mengeluarkan regulasi yang mengatur tarif kuota UE khusus produk tuna kaleng (canned tuna) impor asal Indonesia, Thailand, Filiphina yang diatur dalam Council Regulation (EC) No.975/2003. Penurunan tarif bea masuk sebesar 50 % dari tarif yang diatur pada peraturan sebelumnya yaitu sebesar 24 %. Masa berlaku pemberian fasilitas tarif kuota adalah 5 tahun seperti yang termuat dalam artikel 1 Council Regulation (EC) No.975/2003, yaitu terhitung sejak 1 Juli 2003 sampai 30 Juni 2008.
Pada 2005, dikeluarkan kembali peraturan EC No. 980/2005 yang dilaksanakan mulai tanggal 1 Januari 2006-31 Desember 2008. Besar tarif yang diberlakukan Uni Eropa terhadap produk perikanan (khususnya tuna) yang berasal dari negara kelompok SGPL (termasuk Indonesia) yang diatur dalam regulasi tersebut mengalami penurunan beberapa persen, sehingga nilai tarif yang berlaku mulai tahun 2006 lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya. Berikut daftar tarif bea masuk produk tuna asal negara SGPL berdasarkan EC No. 980/2003 yang berpengaruh terhadap ekspor tuna asal negara SGPL dan daftar inventarisasi kebijakan tarif Uni Eropa secara berurutan ditampilkan pada Tabel 8 dibawah berikut:
Tabel 8: Inventarisasi Kebijakan Tarif Uni Eropa yang Berpengaruh Terhadap
Produk Tuna Impor Uni Eropa
10. Perkembangan Perdagangan Bilateral antara Indonesia dan Uni Eropa
Perdagangan bilateral yang terjalin antara Indonesia dengan Uni Eropa (RI-EU) masih berada dibawah payung kerjasama ASEAN-EU. Hubungan antara Indonesia dan Uni Eropa sudah terjalin selama lebih dari tiga dekade. Uni Eropa mengangap hubungan perdagangannya dengan Indonesia lebih penting dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya. Hal ini disebabkan oleh kebijakan diversifikasi ekspor yang ditetapkan Indonesia untuk produk yang ditujukan ke Uni Eropa. Produk-produk ekspor Indonesia yang ditujukan ke Uni Eropa antara lain produk-produk pertanian, alat-alat berat, kulit dan tekstil.
Pada tahun 2003 penyerapan produk ekspor Uni Eropa dari negara dunia ketiga sebesar 57.7% lebih besar bila dibandingkan dengan yang diserap oleh 4 negara yaitu Amerika (32%), Jepang (4,2%), Kanada (2,1%) dan China (4,1%). Kondisi ini merupakan peluang besar bagi Indonesia untuk meningkatkan hubungan perdagangan dengan Uni Eropa karena Indonesia. Menurut data IMF (2006) dalam neraca perdagangan Indonesia, ekspor Indonesia ke Uni Eropa menduduki peringkat kedua setelah Jepang dengan peran sebesar 12,4 % dan impor Indonesia dari Uni Eropa menduduki peringkat ke empat setelah Singapore, Cina dan Jepang dengan peran sebasar 7,8 %.
Pada tahun 2002 besar ekspor Indonesia ke Uni Eropa berdasarkan Gambar 10. diatas sebesar 4,161 mio Euro dan terus mengalami peningkatan. Peningkatan ekspor pada tahun 2006 sebesar 16,9 % dari tahun sebelumnya. Rata-rata kenaikan impor dan ekspor antara Indonesia dan Uni Eropa dari tahun 2002 hingga 2006 masing-masing sebesar 7,1 % dan 6,0 %. Hingga tahun 2006 Indonesia masih belum bisa menjadi mitra dagang utama Uni Eropa. Hal ini digambarkan dengan pangsa pasar produk impor dari Indonesia di pasar Uni Eropa masih relatif rendah yaitu sekitar 0,9 % dari impor ekstra-UE dengan posisi ke 25. Namun, hubungan bilateral masih terus dapat ditingkatkan karena ada usaha diantara kedua belah pihak untuk terus mengembangkan kerjasama perdagangan melalui berbagai dialog perdagangan dan peningkatan standar produk yang harus dilakukan Indonesia. Pangsa pasar produk impor di Uni Eropa menurut negara asal dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9: Pangsa Pasar Produk Impor di Uni Eropa Menurut Negara Asal
11. Perkembangan Perdagangan Bilateral Indonesia – Uni Eropa Perdangan antara Indonesia-Uni Eropa
Perdagangan bilateral yang terjalin antara Indonesia dengan Uni Eropa (RI-EU) sudah terjalin selama lebih dari tiga decade dan masih berada dibawah payung kerjasama Uni Eropa yang mengangap hubungan perdagangannya dengan Indonesia lebih penting dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya. Hal ini disebabkan oleh kebijakan diversifikasi ekspor yang ditetapkan Indonesia untuk produk yang ditujukan ke Uni Eropa. Produk-produk ekspor Indonesia yang ditujukan ke Uni Eropa antara lain produk-produk pertanian, alat-alat berat, kulit dan tekstil. Pada tahun 2003 penyerapan produk ekspor Uni Eropa dari negara dunia ketiga sebesar 57.7% lebih besar bila dibandingkan dengan yang diserap oleh 4 negara yaitu Amerika (32%), Jepang (4,2%), Kanada (2,1%) dan China (4,1%). Kondisi ini merupakan peluang besar bagi Indonesia untuk meningkatkan hubungan perdagangan dengan Uni Eropa karena Indonesia. Menurut data IMF (2008) dalam neraca perdagangan Indonesia, ekspor Indonesia ke Uni Eropa menduduki peringkat kedua setelah Jepang dengan peran sebesar 12,4 % dan impor Indonesia dari Uni Eropa menduduki peringkat ke empat setelah Singapore, Cina dan Jepang dengan peran sebasar 7,8 %. Pada tahun 2004 besar ekspor Indonesia ke Uni Eropa diketahui sebesar 4,161 mio Euro dan terus mengalami peningkatan. Peningkatan ekspor pada tahun 2008 sebesar 16,9 % dari tahun sebelumnya. Rata-rata kenaikan impor dan ekspor antara Indonesia dan Uni Eropa dari tahun 2004 hingga 2008 masing-masing sebesar 7,1 % dan 6,0 % EUROSTAT (Comext, Statistical regime 4), 2009.
Hingga tahun 2008 Indonesia masih belum bisa menjadi mitra dagang utama Uni Eropa. Hal ini digambarkan dengan pangsa pasar produk impor dari Indonesia di pasar Uni Eropa masih relatif rendah yaitu sekitar 0,9 % dari impor ekstra-UE dengan posisi ke 25. Namun, hubungan bilateral masih terus dapat ditingkatkan karena ada usaha diantara kedua belah pihak untuk terus mengembangkan kerjasama perdagangan melalui berbagai dialog perdagangan dan peningkatan standar produk yang harus dilakukan Indonesia. Pangsa pasar produk impor di Uni Eropa menurut negara asal dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Pangsa Pasar Produk Impor di Uni Eropa Menurut Negara Asal
Dalam kegiatan perdagangan bilateral ini komoditi yang yang menjadi barang yang diperdagangkan adalah produk pertanian, enegri, mesin-mesin, alat transportasi, bahan-bahan kimia, tekstil dan pakaian (EUROSTAT (Comext, Statistical regime 4), 2009).
Persentase ekspor produk pertanian Indonesia ke Uni Eropa berdasarkan Laporan EUROSTAT (2009) terus mengalami peningkatan dan berfluktuasi. Pada tahun 2004, persentase ekspor produk pertanian sebesar 18.6 % meningkat menjadi 21.8 % pada tahun 2006 dan meningkat kembali menjadi 22.6 % pada tahun 2008. Persentase impor Indonesia dari Uni Eropa dalam perdagangan bilateral yang dilakukan juga mengalami peningkatan mulai sebesar 5,4 % pada tahun 2004, meningkat menjadi 5,6 % pada tahun 2006 dan meningkat kembali menjadi 6,0 % pada tahun 2008.
Pada tahun 2008, Indonesia berada pada posisi ke 7 sebagai pengekspor produk pertanian. Nilai impor produk pertanian Uni Eropa dari Indoneseia sebesar 2.750 mio Euro atau sebesar 22,6% dari total ekspor Indonesia ke Uni Eropa. Jenis produk pertanian yang diimpor Uni Eropa berupa semua hasil pertanian secara umum termasuk produk hasil perikanan.
12. Ekspor Hasil Perikanan Indonesia ke Uni Eropa
Posisi Indonesia yang berada pada peringkat ke-10 menurut volume dan peringkat ke-14 menurut nilai sebagai pengekspor produk perikanan di dunia sejak tahun 1994 sangat berperan sebagai pemasok tuna ke Uni Eropa. Pada tahun 2002, ekspor hasil perikanan Indonesia ke Uni Eropa sebagai salah satu pasar potensial Indonesia sebesar 42.668 ton atau senilai 115.780.000 US$ dan kemudian meningkat sebesar 28 % pada tahun berikutnya menjadi sebesar 54.783 ton. Pada tahun 2006, Indonesia sudah mampu mengekspor sebesar 82.069 ton atau senilai 303.440.000 US$ dengan peningkatan sebesar 14 % dari tahun sebelumnya. Rata-rata kenaikan yang terjadi dalam kegiatan perdagangan ini adalah sebesar 19,66 % untuk volume ekspor. Berikut dalam Tabel 10 ditampilkan perkembangan ekspor hasil perikanan Indonesia ke Uni Eropa pada tahun 2004-2008.
Tabel 10. Perkembangan Ekspor Hasil Perikanan Indonesia ke Uni Eropa, Tahun 2004-2008
Kenaikan tertinggi pada periode 2004-2008 terjadi pada tahun 2006 dengan persentase 46,72 % atau bertambah sebesar 25.592 ton menjadi 80.375 ton. Kondisi ini dikarenakan adanya penambahan anggota Uni Eropa menjadi 25 dari sebelumnya hanya 15 negara. Penambahan ini menjadi peluang bagi Indonesia untuk dapat memperluas akses pasar di Uni Eropa. Uni Eropa terkenal sebagai pasar yang sangat mendominasi baik dalam hal standar mutu dan harga. Sebagai kawasan ekonomi negara-negara maju, Uni Eropa telah memiliki ketentuan khusus apabila ada negara atau perusahaan eksportir yang ingin memasuki pasar Uni Eropa. Bagi negara atau perusahaan perikanan yang ingin mengekspor produk harus telah memiliki approval number yang diperoleh dari hasil penelitian atau survei langsung Komisi Eropa ke perusahan perikanan tersebut.
13. Ekspor Tuna Indonesia ke Uni Eropa