MAKALAH PENIMBUNAN BARANG DAN DAMPAK NEG

MAKALAH
PENIMBUNAN BARANG DAN DAMPAK
NEGATIFNYA PADA MASYARAKAT

Oleh :
Kelompok …….
1. Dondi Eko Prasetyo Nugroho
2. Dimas Kurniawan
3. Muhammad Thohir

MTs. MATHOLI’UL FALAH
SUMANDING
2014

KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas karunianya
dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah pelajaran fiqih pokok bahasan tentang “
PENIMBUNAN BARANG DAN DAMPAK NEGATIFNYA PADA MASYARAKAT “.
Makalah ini diharapkan dapat mmenunjang kuallitas kegiatan belajar mengajar, sehingga
harapan untuk mencetak dan memperoleh SDM yang berkualitas tinggi melalui jalur formal

pendidikan ( pendidikan disekolah ) dapat segera terpenuhi.
Sebagai manusia biasa, tentu saja penulis tidak luput dari kesalahan dan kekurangan oleh
karena itu penulis mengharapkan saran dan kritikyang membangun guna kesempurnaan makalah
ini.

Sumanding, 23 September 2014
Penulis

BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Inflasi ialah suatu kondisi dimana kuantitas uang yang beredar lebih tinggi dibanding
kuantitas barang. Inflasi dapat pula diartikan sebagai kondisi dimana volume permintaan
(demand) lebih tinggi dari volume penawaran (supply). Pada gilirannya kondisi ini menyebabkan
menurunnya nilai mata uang sekaligus meningkatkan harga barang. Sebab, secara teoritis, jika
kuantitas uang beredar lebih tinggi dari tingkat produksi barang, atau volume permintaan lebih
tinggi dari volume penawaran, maka berarti dunia ekonomi sedang mengalami kelangkaan
barang yang pada gilirannya menaikkan harga barang.
Di indonesia kelangkaan barang lumayan sering terjadi. Misalnya kelangkaan bahan bakar
minyak (BBM), pupuk, sembakau dan produk-produk sejenis yang menjadi kebutuhan khlayak

umum (public goods). Dan biasanya, jika demikian, harga barang yang dimaksud melonjak naik.
Pada saat yang sama kondisi ini menjadi momentum yang sangat menguntungkan bagi produsen.
Bahkan, bisa jadi, kondisi ini menjadi moment idola sekaligus yang difavoritkan oleh para
produsen.
Namun masalahnya, ketika kondisi ekonomi sedang mengalami inflasi yang secara otomatis
harga barang melonjak tinggi, ada oknum-oknum tertentu yang mencoba bermain curang dangan
cara melakukan “makar ekonomi”. Pihak ini, dengan sengaja, memborong dan kemudian
menimbun barang yang pada saat itu menjadi incaran publik. Sehingga, ketika barang yang pada
awalnya sudah langka berubah status menjadi “sangat langka”, dan barangpun menjadi sangat
mahal. Selanjutnya, ketika harga barang mencapai puncak ketinggiannya, mereka melepaskan
barang-barang yang sudah ditimbun guna meraup keuntungan yang lebih besar.
Sebagai agama yang universal, yang memberlakukan kemaslahatan tidak hanya bagi satu
pihak, Islam memiliki aturan tersendiri dalam hal penimbunan barang. Dalam Islam penimbunan
barang untuk kepentingan kelompok tertentu, dengan mengabaikan kepentingan kelompok lain
yang juga membutuhkan, hukumnya adalah haram oleh karena tindakan tersebut dipandang
sebagai suatu kezaliman dan kecurangan. Islam menyebut praktek seperti ini dengan
istilah ihtikâr.
2. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalahnya adalah sebagai berikut :
1. Apa yang dimaksud dengan ihtikar ?

2. Apa saja barang yang haram ditimbun ?
3. Bagaimana dampak terhadap Stabilitas ekonomi ?

BAB II

PEMBAHASAN
A. Pengertian Ihtikar
Secara

etomologi ihtikâr berarti

menimbun,

sedangkan

menurut

pengertian

termenologis ihtikâr adalah “menimbun barang yang public goods (menjadi kebutuhan umum)

yang dibeli pada saat harga barang tersebut naik, untuk dijual denga harga tinggi melebihi harga
pasar.” Dan, seperti telah disinggung di atas, hukum ihtikâr sendiri adalah haram.
Namun demikian keharaman ihtikâr harus memenuhi beberapa ketentuan berikut, antara
lain: (1) harus diperoleh dengan cara membeli, bukan hasil panen atau menerima hibah dari
orang lain, (2) barang yang ditimbun harus dibutuhkan oleh masyarakat umum, bukan barang
yang dibutuhkan dalam keadaan tertentu atau yang menjadi konsumsi masyarakat tertentu, 3)
barang tersebut dibeli ketika harganya melonjak tinggi (melebihi harga normal di pasaran),
bukan ketika harganya sedang stabil, dan (4) ada tujuan untuk dijual kembali dengan harga yang
lebih tinggi dari harga pasar, bukan untuk konsumsi pribagi atau dijual kembali dengan harga
normal.[3] Dengan melihat definisi dan beberapa ketentuan ini, maka praktek penimbunan yang
sering terjadi di tanah air adalah tepat untuk diharamkan oleh karena penimbunan tersebut
dilakukan ketika kondisi ekonomi tengah mengalami infalasi.
Berbeda halnya jika salah satu dari beberapa elemen ini tidak terpenuhi, maka
hukum ihtikâr tidak diharamkan. Misalnya seseorang menimbun barang yang ia peroleh dari
hasil panen, atau menimbun barang yang menjadi konsumsi masyarakat tertentu atau dalam
keadaan tertentu, atau barang yang ditimbun dibeli ketiga harga pasar sedang stabil, dan atau
barang yang ditimbun ditujukan untuk konsumsi pribadi atau dijual kembali dengan harga yang
tidak lebih tinggi dari harga pasar. Untuk itu Nabi SAW bersabda mengenai masalah penimbunan
ini :


‫من احتكر على المسلمين طعامهم ضربه الله بافلس أو يحدام )رواه المام احمد‬
“Barang siapa yang melakukan penimbunan terhadap makanan kaum muslimin, Allah akan
menimpanya dengan kerugian atau akan terkena penyakit lepra (Hadits riwayat Imam Ahmad)”.
B. Barang Yang Haram Ditimbun
Ulama sepakat bahwa ihtikâr hukumnya haram. Namun demikian ulama memberikan ramburambu tertentu menyangkut masalah barang yang haram untuk ditimbun. Menurut madzhab
Hanafi, asy-Syafi'i dan Hanbali, barang yang haram ditimbun adalah makanan pokok yang
menjadi kebutuhan umum, baik itu berupa makanan pokok manusia atau makanan pokok untuk
hewan ternak. Sedangkan untuk selain makanan pokok, hukum menimbunnya tidaklah
diharamkan.

Jika mengikuti pendapat tiga ulama ini, penimbunan pupuk, minyak, gula dll. yang tidak
termasuk makanan pokok, hukumnya tidak haram. Sementara, kebutuhan masyarakat terhadap

barang-barang tersebut juga sangat tinggi dikarenakan barang-barang yang dimaksud sudah
menjadi elemen penting dalam kehidupan mereka. Maka barangkali, untuk menyikapi masalah
penimbunan barang-barang yang tidak termasuk makanan pokok seperti BBM dll., kita perlu
merujuk pada madzhab Maliki. Dalam madzhab Maliki keharaman penimbunan tidak
dikhusukan pada makanan pokok saja. Menurut madzhab ini semua jenis barang yang menjadi
kebutuhan umum (public goods), baik berupa makanan pokok atau bukan, hukumnya haram
ditimbun. Sehingga, dengan mengikuti madzhab ini, penimbun (muhtakîr) tidak bisa terhindar

dari jeratan hukum haram. Di samping itu pendapat ini juga akan memudahkan pemerintah untuk
memberi sanksi pada mereka yang melakukan kelicikan berupa ihtikâr.
C. Dampak Terhadap Stabilitas Ekonomi
Seperti

yang

telah

disinngung

di

atas,

bahwa ihtikâr hukumnya

haram.

Sebab


praktek ihtikâr ini mengandung kecurangan, ketidak-adilan dan sangat membahayakan terhadap
stabilitas ekonomi. Dengan adanya ihtikâr, itu berarti hanya ada satu pihak yang sangat
diuntungkan (dan pihak ini termasuk minoritas) degan mengorbankan pihak mayoritas. Dan ini
adalah masalah ketidak-adilan dalam masalah ekonomi, padahal Islam memberikan porsi yang
seimbang antara kepentingan umum (mayoritas) dan kepentingan pribadi (minoritas). Disamping
mengandung ketidak-adilan, ihtikâr juga menyebabkan krisis yang sangat fatal dan sangat
mengancam stabilitas ekonomi. Ihtikâr juga menyebabkan kesulitan bagi orang lain serta
menyempitkan ruang gerak mereka untuk memeperoleh kebutuhannya.
D. Tindakan Pemerintah
Pihak pemerintah memiliki peranan yang sangat penting untuk menghentikan aktivitas
penimbunan. Dalam hal ini pemerintah harus merekomendasikan pelakuihtikâr untuk menjual
barang yang ditimbun yang melibihi kadar kebutuhannya dan keluarganya. Jika rekomendasi ini
tidak diindahkan, maka pemerintah harus memberikan terguran. Jika tindakan kedua ini juga
tidak

diindahkan,

maka


pemerintah

berhak

untuk

menahan

dan

memberi

sanksi

kepada muhtakir(penimbun) sesuai dengan kebijakan pemerintah. Tindakan ini diupayakan untuk
membuat jera si muhtakir. Di samping itu, pemerintah juga harus memaksamuhtakir untuk
menjual barang timbunannya. Jika perintah ini juga tidak dilaksanakan, maka hakim
(pemerintah) boleh menjual barang timbunan secara paksa dengan harga standar pasar. Bahkan,
jika pemerintah khawatir terhadap terjadinya kelaparan bagi masyarakat, pemerintah boleh
mengambil secara paksa barang yang ditimbun untuk kemudian didistribusikan kepada

masyarakat sampai keadaan menjadi stabil. Dengan catatan, ketika kondisi masyarakat sudah
kembali stabil, pihak pemerintah mengganti barang timbunan milik muhtakir tadi. Sebab, kondisi
darurat hanya memperbolehkan untuk mengambil barang, tetapi tidak menggugurkan kewajiban
untuk dhâman. Sehingga dalam hal ini pemerintah tetap wajib mengganti barang yang
diambilnya.

E. Ancaman Bagi Penimbun

Ketika itu Sayyidina Umar menjabat sebagai Khalifah. Saat keluar menuju masjid, beliau
mendapati makanan-makanan digelar di depan masjid. “Untuk apa makanan ini?” tanya Umaar.
Rakyatnya menjawab: “Ini adalah makanan yang diimpor untuk kita.” “Mudah-mudahan
Allah memberkahi makanan ini serta orang yang mengimpornya.” Lanjut Umar . Setelah itu,
sebagian dari rakyat Umar bercerita bahwa makanan-makanan tersebut adalah barang yang
sebelumnya telah ditimbun oleh seseorang bernama Furukh dan seorang budak. Ketika dua lakilaki itu akhirnya dipanggil dan diklarifikasi oleh Umar , dua laki-laki tersebut menjawab: “Kami
membeli barang-barang itu dengan harta kami kemudian kami menjualnya.” Umar menukas:
“Aku mendengar Rasulullah bersabda, “Barangsiapa menimbun makanan orang Islam, maka
Allah akan mengujinya dengan penyakit kusta dan kebangkrutan.” (HR. Ibnu Majah)
Dalam Hadis yang lain Rasulullah bersabda: ”Orang yang mendatangkan (mengimpor)
barang dari daerah lain, maka ia akan mendapatkan rizki. Sementara orang yang menimbun
barang akan mendapatkan laknat (dari Allah)." (HR. Ibnu Majah)

Cukuplah dua Hadis ini sebagai ancaman bagi mereka yang lebih mementingkan
kebutuhannya sendiri dengan cara mengabaikan kepentingan saudaranya yang juga
membutuhkan.

BAB III

PENUTUP
A. KESIMPULAN
Ihtikar merupakan suatu upaya seseorang atau lembaga untuk menimbun barang, manfaat
atau jasa sehingga menjadi langka di pasaran dan dapat diperkirakan harganya melonjak naik.
Perbuatan ihtikar merupakan sebuah penganiayaan terhadap orang lain yang dilakukan secara
sengaja untuk memperoleh keuntungan pribadi. Namun apabila menimbun barang ( komoditi )
manfaat atau jasa tersebut tidak memberi mudharat, dalam artian tidak menimbulkan keresahan
di tengah masyarakat serta tidak untuk tujuan memonopoli dan meraih keuntungan yang besar,
maka hal tersebut tidak di larang.
Para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa ihtikar yang menyebabkan kelangkaan barang
dan merusak mekanisme pasar hukumnya haram dan untuk mengatasi hal ini pemerintah harus
campur tangan untuk mengawasi harga dan pengaturan perantara perdagangan.
B. SARAN
Sebagai umat islam,kita harus bisa menjaga diri, agar tidak terpengaruh pada hal-hal yang

negative dan tidak mementingkan kebutuhann pribadi mengambil keuntungan diatas penderitaan
orang lain, dengan cara mengabaikan kepentingan saudaranya yang juga membutuhkan.

Daftar Pustaka

[1] ___, Al-Mufashshal fi Ahkamir Riba, juz 1, hal. 40 (maktabah asy-Syamilah edisi kedua)
[2] Al-Jamal, Syaikh Sulaiman, Hasyiah al-Jamal 'ala al-Manhaj, juz 5, hal. 537 (maktabah asySyamilah edisi kedua)
[3] Zuhaili, Wahbah, Al-Fiqh al-Islâmy wa Adillatuhu, juz 4, hal. 238 (maktabah asy-Syamilah
edisi kedua)
[4] Asy-Syarwani, Abdul Hamid Makky, Al-Ubbadiy, Ahmad bin Qasim, Hawâsyi asy-Syarwani
wa al-Ubbâdiy, juz 4, hal. 317 (maktabah asy-Syamilah edisi kedua)
[5] Opcit, Al-Fiqh al-Islâmy wa Adillatuhu, juz 4, hal. 238
[6] Ibid.
[7] Ar-Ramli,

Syamsuddin

Muhammad

Abi

al-Abbas

Ahmad

bin

Hamzah

Ibnu

Syihabuddin,Nihâyah al-Muhtâj ilâ Syarh al-Minhâj, juz 3, hal. 472 (maktabah asy-Syamilah
edisi kedua)
[8] Opcit, Al-Fiqh al-Islâmy wa Adillatuhu, juz 4, hal. 239, lihat juga dalam Ad-Darru alMukhtâr, juz 6, hal. 399