KEUTAMAAN SEBAGAI RAHMAT ALLAH DAN USAHA
KEUTAMAAN SEBAGAI RAHMAT ALLAH DAN USAHA MANUSIA:
BELAJAR DARI ARISTOTELES DAN AGUSTINUS DARI HIPPO
Disusun sebagai Makalah untuk Ujian Tengah Semester
Mata Kuliah Etika Keutamaan
Dosen Pengampu: Dr. Dionisius Bismoko Mahamboro, Pr
Oleh:
Oleh:
Alb. Irawan Dwiatmaja
NIM: 176312001
PROGRAM STUDI MAGISTER TEOLOGI
FAKULTAS TEOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
T.A 2017-2018
0
1. PENGANTAR
Beberapa kali saya mendengar obrolan orangtua yang menceritakan anaknya dengan
memuji bahwa anaknya baik, rajin beribadah, mengikuti kegiatan di organisasi, berprestasi di
sekolah, dikenal banyak orang, menjadi pemuka agama, dan masih banyak lagi. Mendengar
obrolan kebanyakan orangtua yang demikian, timbul pertanyaan dalam benak saya, apa
maksud para orangtua menceritakan berbagai macam prestasi anaknya? Ada banyak jawaban
yang bisa menjawab pertanyaan ini tetapi hal yang menarik bagi saya ialah mereka ingin anak
menjadi manusia yang berkeutamaan. Orangtua menginginkan anak-anaknya memiliki
keutamaan. Orangtua mengusahakan berbagai macam cara supaya anaknya memiliki
keutamaan.
Dari deskripsi singkat di atas, kita melihat bahwa kebanyakan orangtua ingin anaknya
memiliki keutamaan. Orangtua mengusahakan berbagai macam cara supaya anaknya
memiliki keutamaan. Kita bisa membuat suatu kesimpulan, siapa yang tidak ingin memiliki
keutamaan? Semua orang, siapa saja ingin menjadi manusia yang berkeutamaan. Namun,
pertanyaan berikutnya yang timbul, bagaimana kita menjadi manusia yang utama?
Aristoteles dan Agustinus memiliki pandangan cara menjadi manusia yang
berkeutamaan. Aristoteles dan Agustinus mendeskripsikan bagaimana rahmat Allah bekerja
dalam hidup manusia dan bagaimana juga hal yang kodrati ada dalam diri manusia dilatih
agar memiliki keutamaan. Dalam paper ini, penulis mencoba menjelaskan keutamaan
menurut Aristoteles dan Agustinus. Dari mereka, kita akan melihat bagaimana kedua
pemikiran itu saling melengkapi dan memberi petunjuk untuk hidup kita menjadi manusia
yang utuh dan pada akhirnya menghantar kita sampai pada tujuan hidup yaitu kebahagiaan.
2. HAKEKAT KEUTAMAAN
Secara etimologis kata ‘keutamaan’ merupakan terjemahan dari kata arête dalam
bahasa Yunani dan virtus dalam bahasa Latin dan virtue dalam bahasa Inggris. Kata virtus
berakar dari vir yang berarti laki-laki dewasa dan juga vis yang berarti kekuatan yang dimiliki
oleh laki-laki dewasa. Virtus dalam budaya Latin dan arête dalam budaya Yunani dipakai
untuk menunjukkan keadaan manusia yang terlatih dan unggul dalam memenuhi tugas dan
tujuan hidupnya, misalnya keistimewaan atau keunggulan pisau ada pada ketajamannya,
keunggulan seekor kuda pelari terletak pada kecepatannya berlari; pisau menjadi tajam
karena diasah dan kuda berlari dengan cepat karena dilatih.1
1
Peter Kreft, Back to Virtue, San Francisco: Ignatius Press, 1992, 9-10, 25.
1
Aktivitas manusia mempunyai tujuan dan tujuan yang satu memiliki tujuan lain.
Misalnya, tujuan seorang mahasiswa belajar ialah untuk memiliki pengetahuan. Tujuan
pengetahuan tersebut guna mudah dalam memperoleh pekerjaan dan dengan memiliki
pekerjaan, dia akan memperoleh uang. Kalau deretan tujuan ini diteruskan, akhirnya yang
disasar aktivitas manusia ialah kebahagiaan. Manusia utama adalah orang berjiwa luhur,
tangguh. Pertimbangannya ialah kematangan dan tanggung jawab yang diembannya dengan
setia sehingga dai mencapai kebahagian dengan cara yang bernar.2
Menurut Magnis-Suseno, keutamaan merupakan terjemahan yang cocok untuk kata
virtue dalam arti sebagai kekuatan dan kemampuan. Kata ‘utama’ juga menunjuk kepada
kemampuan manusia untuk membawa diri sebagai manusia utuh, jadi tidak dipersempit
secara moralistik pada kesalehan. Manusia utama adalah manusia yang luhur, kuat, kuasa
untuk menjalankan apa yang baik dan tepat, untuk melakukan tanggung jawabnya.3
3. KEUTAMAAN MENURUT ARISTOTELES
Dunia menawarkan banyak hal seperti kenikmatan, kehormatan, harta, kekayaan, dan
sebagainya. Di antara semua tawaran-tawaran tersebut, setidaknya timbul pertanyaan retoris
dalam diri kita, untuk apa semua yang kita usahakan di dunia ini? Tentunya, kita ingin hidup
bahagia. Hidup bahagia merupakan keinginan semua manusia. Segala macam cara
diusahakan agar kebahagiaan itu bisa tercapai. Kajian mengenai cara memperoleh
kebahagiaan sudah banyak dibahas oleh filsuf-filsuf awal. Dari sekian banyak kajian,
pemikiran Aristoteles mengenai tata cara dalam memperoleh kebahagiaan sangat terkenal dan
menjadi rujukan hingga saat ini. Pemikiran Aristoteles tentang cara memperoleh kebahagiaan
itu tertuang dalam Nikomacheia Ethics (Etika Nikomacheia). Dalam Etika Nikomacheia,
Aristoteles mengajarkan kepada manusia untuk menjadi manusia utuh. Dalam penjelasan di
bawah ini, kita akan melihat bagaimana Aristoteles menjelaskan menjadi manusia utuh dalam
Etika Nikomacheia.
3.1 Kebahagiaan sebagai Tujuan Hidup Manusia
Dalam Etika Nikomacheia, Aristoteles menuliskan, “Setiap ketrampilan adalah ajaran,
begitu pula tindakan dan keputusan tampaknya mengejar salah satu nilai”. Apabila manusia
melakukan sesuatu, ia selalu melakukannya karena suatu tujuan yaitu sebuah nilai. Apabila
2
Largus Nadeak, Topik-topik Teologi Moral Fundamental: Memahami Tindakan Manusiawi dengan Rasio dan
Iman, Medan: Bina Media Perintis, 2015, 146.
3
Franz Magnis-Suseno, 12 Tokoh Etika Abad ke-20, Yogyakarta: Kanisius, 2000, 199.
2
manusia mengatur kehidupannya secara nalar, maka pertanyaan kunci baginya adalah apakah
tujuan hidup manusia.4
Setiap tindakan yang mengarah ke pencapaian tujuan itu masuk akal, dan setiap
tindakan yang tidak menunjang tercapainya tujuan manusia, itu tidak masuk akal. Itulah
prinsip etika Aristoteles. Pendekatan moralitas yang diajarkan oleh Aristoteles tidak
bertentangan dengan ajaran agama, bahkan kita akan melihat dengan lebih baik tentang
ajaran agama apabila memahami pertimbangan Aristoteles. Aristoteles selalu menunjukkan
bahwa manusia sebagai mahluk yang dapat berpikir dapat mengetahui bagaimana ia
seharusnya hidup. Aristoteles mendekati pertanyaan tentang tujuan manusia secara analitis
melalui langkah-langkah logis yang bertolak dari sebuah fakta bahwa apapun yang dilakukan
manusia selalu dilakukannya demi sebuah tujuan.
Ada dua macam tujuan manusia yaitu tujuan sementara dan tujuan akhir. Tujuan
sementara merupakan sarana untuk tujuan lebih lanjut sedangkan tujuan terakhir yaitu
sesuatu yang jika tercapai maka tidak ada lagi minat untuk menggapainya atau mencarinya.
Bagi Aristoteles, tujuan akhir manusia ialah kebahagiaan. Kita semua menginginkan
kebahagiaan, sehingga apapun tujuan manusia apabila tidak tercapai, maka akan tidak
membahagiakan. Untuk mencapai kebahagiaan tersebut, kita dituntut memiliki moral yang
bertujuan mengantar manusia menuju tujuan kebahagiaan. Ada 3 (tiga) hal yang perlu
diperhatikan.5
Pertama, kebahagiaan sebagai tujuan terakhir manusia tidak perlu dipertentangkan
dengan tujuan akhir yang disebutkan oleh agama. Agama justru menegaskan bahwa tujuan
akhir itu menghasilkan kebahagiaan yaitu surga atau nirwana. Hal ini selaras dengan
pandangan Aristoteles bahwa tuijuan akhir manusia adalah kebahagiaan karena menurut
agama manapun, penghormatan (pemujaan) terhadap Tuhan merupakan kebahagiaan tertinggi
bagi manusia.
Kedua, kalau kebahagiaan merupakan tujuan akhir manusia, maka menjadi semakin
jelas bahwa beberapa hal yang umumnya dianggap menjadi tujuan hidup dianggap tidak
memadai lagi. Aristoteles menyebut dua tujuan hidup yang salah yaitu uang dan
ketersohoran. Ketiga, perlu diperhatikan bahwa kebahagiaan tidak bisa langsung diusahakan.
Kebahagiaan itu bukan semacam sasaran yang bisa langsung kita bidik. Kebahagiaan adalah
4
Michael Pakaluk, Aristotles`: Nicomachean Ethics an Introduction, United States: Cambridge University
Press, 2005, 47.
5
Michael Pakaluk, Aristotles`: Nicomachean Ethics an Introduction, 58-67.
3
sesuatu yang lebih bersifat ‘diberikan’ daripada ‘direbut’. Kita akan menerima kebahagiaan
apabila kita menjalani hidup yang menunjang kebahagiaan tersebut.
3.2 Membiasakan Perbuatan yang Bermakna
Mencari nikmat jasmani dan menghindari perasaan sakit bukan saja khas manusia
karena binatang juga memiliki sifat demikian. Kalau kita fokus pada kecenderungan alami ini
maka kita akan mengalami kegagalan dalam usaha menjadi manusia utuh. Aristoteles
menjelaskan bahwa hanya orang yang mampu menguasai hawa nafsunya bisa bahagia. Kita
harus bisa mengendalikan kelakuan (hawa nafsu) yang bisa menghasilkan kebahagiaan. Salah
satu jawaban yang berulangkali diberikan dalam filsafat sederhana dan sepintas sangat masuk
diakal yaitu “kalau ingin bahagia, hindari perasaan sakit dan usahakan rasa nikmat”.
Aristoteles menolak hedonisme. Etika Nikomacheia menyebutkan 3 (tiga) pola hidup yang
membawa kepuasan dalam dirinya sendiri; hidup mengejar nikmat, hidup berpolitik dan
berfilsafat. Namun, yang pertama langsung disebutnya sebagai ‘pola hidup ternak’. Binatang
melakukan apapun semata-mata demi pencapaian nikamt (misalnya makan dan seksualitas).
Menurut Aristoteles, hedonisme merupakan cara penerapan hidup hewani kepada manusia.6
Aristoteles tidak menolak pencarian terhadap nikmat tetapi nikmat yang dimaksud
tidak menjadi tujuan pada dirinya sendiri. Aristoteles menggarisi tiga hal tentang ini.
Pertama, nikmat dan perasaan sakit bukan sesuatu yang diabaikan. Perasaan nikmat dan sakit
harus dimanfaatkan agar orang dapat mengembangkan diri. Orang semakin menikmati
bertindak menurut keutamaan dan merasa semakin tidak enak dan sakit apabila ia mengikuti
dorongan-dorongan naluriah. Kedua, nikmat dan rasa sakit bentuknya bermacam-macam
tergantung dari tindakan yang menghasilkannya. Nikmat bukanlah sesuatu yang berdiri
sendiri melainkan sesuatu yang mengikuti dalam arti bahwa nikmat selalu berkaitan dengan
suatu perbuatan. Setiap perbuatan yang berhasil dengan sendirinya kita nikmati, sedangkan
perbuatan yang gagal atau pengalaman yang bertentangan dengan keterarahan kita membuat
kita sakit. Kualitas perbuatan menentukan kualitas nikmat. Perbuatan yang luhur memberikan
nikmat yang luhur dan perbuatan yang buruk akan memberikan nikmat yang buruk.7
3.3 Pengembangan Diri
Manusia menjadi bahagia melalui aktivitasnya dengan menggerakkan diri untuk
mencapai sesuatu, dengan bertindak. Manusia menjadi bahagia dengan mengembangkan diri,
dengan membuat nyata kemampuan dan bakatnya. Misalnya, apabila seseorang berbakat
6
7
Michael Pakaluk, Aristotles`: Nicomachean Ethics an Introduction, 119-122.
Michael Pakaluk, Aristotles`: Nicomachean Ethics an Introduction, 123-126.
4
musik, dia harus melatihnya dengan latihan keras dan tertib maka akan berhasil menjadi
pemain musik yang andal.8
Pengembangan diri sampai hari ini merupakan tujuan penting dari pendidikan yang
bermutu. Mengembangkan diri berarti dengan menghadapi tantangan yang membuat diri
seseorang menjadi nyata, dari sesuatu yang mungkin hanya mungkin kita menjadi nyata.
Suatu tantangan merangsang kemampuan kita yang masih tersembunyi, yang perlu kita
kembangkan secara aktif. Orang tidak berkembang dengan memandang, merenungkan, dan
merefleksikan diri, melainkan dengan melihat keluar, dengan menjawab apa yang dalam
situasi tertentu diharapka dari kita. Mengembangkan diri juga berarti menerima diri. Manusia
kana mengalami bhawa dia mempunyai keterbatasan. Ia akan berusaha untuk meningkatkan
kemampuan diri tetapi dia juga perlu menerima bahwa ada kemungkinan dia dibatasi baik
oleh situasi di luar diri kita maupun oleh keterbatasan kita sendiri.9
3.4 Kebijaksanaan dan Rasionalitas
Aristoteles menegaskan bahwa manusia yang mau menjadi utuh, mantap dalam
dirinya dan mengalami kehidupannya sebagai bermakna harus mengembangkan keutamaan
intelektual dan etis. Orang yang mempunyai keutamaan menjadi manusia yang berbudi luhur.
Aristoteles membedakan keutamaan menjadi dua macam, yaitu keutamaan dalam berfikir dan
keutamaan dalam bertindak.
Kebijaksanaan dalam arti phronesis amat penting bagi kita. Kalau ‘bijaksana’, kita
menjadi biasa bertindak dengan tepat dalam berbagai macam situasi. Phronesis tahu
bagaimana harus membawa diri dan bagaimana menghadapi orang lain. Phronesis tumbuh
berkembang melalui pengalaman dan lebih penting dari sekedar episteme (ketajaman
pengetahuan ilmiah). Meskipun diperlukan pengetahuan episteme untuk pemecahan masalahmasalah spesifik dan detail profesi, namun phronesis membawa manusia untuk lebih pandai
dan benar dalam membawa diri melalui kemampuan bertindak maupun komunikasi yang
tepat dan etis.10
3.5 Manusia Utama
8
Michael Pakaluk, Aristotles`: Nicomachean Ethics an Introduction, 126-127.
Michael Pakaluk, Aristotles`: Nicomachean Ethics an Introduction, 127-129.
10
Dorothea Frede, “Aristotles` Virtue Ethics”, dalam Lorraine Besser-Jones and Michael Slote (ed.), The
Routledge Companion to Virtue Ethics, New York: Routledge, 2015, 18-19.
9
5
Kebijaksanaan (phronesis) merupakan wawasan intelektual yang akan berguna
apabila didukung oleh keutamaan etis. Hanya orang yang mantap dalam bertindak secara etis
akan tetap bijaksana dalam arti yang sesungguhnya. Kebijaksanaan yang tidak tertanam
dalam kepribadian etis, lama kelamaan akan merosot menjadi kepintaran dan oportunisme
belaka. Kepintaran tidak cukup untuk mendukung terwujudnya kepribadian yang mantap,
kuat dan dapat diandalkan. Ketertanaman sikap etis dalam kepribadian seseorang itulah yang
dimaksud oleh Aristoteles dengan keutamaan. Manusia utama harus mantap dan gembira
karena baginya bertindak secara etis menjadi gampang dan apabila bertindak dengan tidak
etis justru susah dan menyengsarakannya. 11
Kita bisa mengambil contoh masalah kejujuran. Orang yang betul-betul jujur,
bertindak jujur merupakan sesuatu yang ringan dan tidak berat demikian sebaliknya. Contoh
kejujuran memperlihatkan mengapa Aristoteles menghubungkan kehidupan bermoral dengan
rasa nikmat-gembira dan rasa sedih-sakit. Menjadi orang berkeutamaan berarti belajar merasa
gembira apabila ia bertindak sesuai dengan keutamaan etis, dan merasa sedih atau resah
apabila bertindak tidak etis. Aristoteles menegaskan bahwa keutamaan bukan suatu nafsu
maupun sudah bakat alami, melainkan sesuatu yang harus kita pelajari.
Bagi Aristoteles, keutamaan bisa diperoleh melalui kebiasaan. Orang yang ingin
mengembangkan keutamaan harus membiasakan diri untuk bertindak menurut keutamaan itu.
Semakin keutamaan dibiasakan maka akan semakin mudah keutamaan diperoleh hingga
akhirnya tindakan menurut keutamaan itu akan menjadi kodratnya. Pembiasaan untuk
bertindak jujur, adil, menepati janji, tidak berkeras hati dan berbagai jenis keutamaan lain
juga didukung oleh pendidikan yang kita terima, baik formal maupun informal. Pendidikan
yang dimengerti bukan semacam pengkondisian tetapi pembiasaan dengan belajar melakukan
sesuatu secara rutin, gampang dan seakan-akan dengan sendirinya (otomatis) merupakan
unsur penting dalam pembangunan karakter. Dalam kaitan itu, Aristoteles menegaskan suatu
yang kontroversial yaitu tanggung jawab atas perbuatan kita, tetapi bahkan juga atas
perkembangan kita menjadi manusia seutuhnya. Manusia dituntut untuk belajar mengetahui
diri kita sendiri untuk lebih sadar akan kekuatan dan kelemahan.12
3.6 Persahabatan
11
12
Dorothea Frede, “Aristotles` Virtue Ethics”, 19.
Franz Magnis Suseno, Menjadi Manusia: Belajar dari Aristoteles, Yogyakarta: Kanisius, 2009, 50.
6
Manusia mencapai puncak keutamaan dalam persahabatan sejati. Persahabatan sejati
bukan kebahagiaan diri sendiri, melainkan kebahagiaan sahabat yang membuat kita bahagia.
Persahabatan merupakan hal yang sangat perlu dan penting dalam kehidupan manusia.
Persahabatan dalam arti sebenarnya adalah persahabatan antara dua manusia yang saling
mencintai. Aristoteles menuliskan bahwa keutamaan diantara para sahabat adalah ‘cinta’.
Persahabatan dua insan (pria dan wanita), bukan semata-mata demi kelangsungan keturunan,
namun demi persatuan hidup kedua orang tersebut.13
Aristoteles menegaskan bahwa manusia tidak mungkin bahagia sendirian namun perlu
sahabat untuk kebersamaan dan berkomunikasi untuk menemukan hakekat “diri sendiri’
melalui cinta. Cinta itu yang nampaknya membuat kita terikat, namun justru membebaskan
kita dari keterikatan pada diri sendiri, sehingga dengan demikian kita justru semakin menjadi
diri sendiri.14
4. KEUTAMAAN MENURUT AGUSTINUS DARI HIPPO
Setiap masa memiliki ciri khas dalam memahami etika. Aristoteles memahami etika
sebagai hal yang kodrati, sudah ada di dalam diri manusia. Manusia memiliki tanggung jawab
untuk melatihnya agar keutamaan itu menjadi bagian dari dirinya dalam memperoleh
kebahagiaan. Kebahagian yang dicari bukan berarti mencari nikmat sebanyak-banyaknya
melainkan melalui latihan-latihan. Agustinus setuju dengan pandangan Aristoteles bahwa
tujuan manusia ialah mencari kebahagiaan. Agustinus mengingatkan bahwa kebahagiaan
yang dicari bukan pertama-tama kerja keras manusia melainkan rahmat Allah. Dalam bagian
ini, kita akan melihat bagaimana penjelasan Agustinus tentang etika keutamaan.
4.1 Keutamaan sebagai Rahmat Allah
Agustinus tidak menegasi pendapat tokoh sebelumnya seperti Aristoteles mengenai
arti dan tujuan hidup manusia yaitu mencari kebahagiaan. Agustinus memberi catatan bahwa
kebahagiaan yang dituju bukan karena usaha manusia semata melainkan karena rahmat Allah
yang bekerja dan berlandaskan kasih. Rahmat Allah dan kasih menjadi tolok ukur dalam
memperoleh kebahagiaan karena manusia memiliki kecenderungan jatuh ke dalam dosa.
Manusia tidak dapat memperoleh kebahagiaan tanpa bantuan Ilahi.15
4.2 True Imperpect Virtue
13
Michael Pakaluk, Aristotles`: Nicomachean Ethics an Introduction, 257-258.
Michael Pakaluk, Aristotles`: Nicomachean Ethics an Introduction, 259-261.
15
Bonnie Kant, “Agustine`s Ethics”, dalam E. Stump and N. Kretzmann, The Cambridge Companion to
Augustine, Cambrigde: Cambridge University Press, 2001, 205.
14
7
Agustinus memahami keutamaan sebagai rahmat Allah dan berlandaskan atas kasih.
Manusia tidak bisa memiliki keutamaan tanpa bantuan Ilahi. Manusia pertama-tama
tergantung pada rahmat Allah sehingga tidak ada satu pun keutamaan yang sempurna di
dalam dirinya dan bisa dimiliki oleh manusia. Keutamaan yang disebutkan oleh Aristoteles
seperti keberanian, pengendalian diri, keadilan, kebijaksanaan bisa dicapai dengan bantuan
rahmat Ilahi. Apabila keutamaan kardinal terlepas dari saluran rahmat Allah, keutamaankeutamaan tersebut dapat menyebabkan kesombongan karena kodrat manusia memiliki
kecenderungan untuk berbuat dosa. Agustinus setuju dengan para filsuf sebelumnya bahwa
tidak ada manusia yang bisa memiliki keutamaan secara sempurna dan untuk memperoleh
keutamaan bukan hal yang mudah tetapi memerlukan pembiasaan.16
4.3 Etika Keutamaan dalam Perkawinan: Sebuah Jalan Menuju Persahabatan Sejati
Pada masa Agustinus, hidup selibat dipandang sebagai hidup yang lebih baik daripada
hidup perkawinan. Hidup selibat memiliki level lebih tinggi daripada hidup perkawinan.
Pandagan bahwa hidup selibat lebih mulia daripada hidup perkawinan dipengaruhi oleh aliran
Pelagianisme. Melihat fenomena tersebut, Agustinus mengatakan bahwa hidup perkawinan
dan hidup selibat itu sama, sederajat, selevel. Terlebih, hidup perkawinan merupakan seseuatu
yang luhur dan mulia sama seperti hidup selibat.17
Agustinus mengakui bahwa setelah kejatuhan pertama, manusia memiliki keretakan
yaitu kecenderungan untuk berdosa. Salah satu penyebab kecenderungan untuk berdosa
(konkupisensia) ialah hasrat seksual yang tidak bisa diprediksi. Tindakan seks bukan
merupakan dosa apabila hanya dilakukan dalam perkawinan. Tindakan seks bukan sematamata untuk prokreasi atau kepuasan seksual. Perkawinan bukan untuk melegalkan tindakan
seksual. Perkawinan dipandang sebagai sarana untuk mewujudkan tujuan yang lebih besar
yaitu persahabatan. Hal yang ingin diperlihatkan oleh Agustinus bahwa ada persatuan yang
lebih nyata di antara laki-laki dan perempuan tanpa hubungan seksual yaitu persahabatan.
Agustinus menyimpulkan tiga kebaikan dari perkawinan yaitu keturunan, ketaatan, sakramen.
Perkawinan merupakan media untuk saling melayani antara suami dan istri. Agustinus
menggunakan ketaatan untuk menunjukkan bahwa hubungan suami-istri sesuatu yg mulia.
Sakramen berhubungan erat dengan dimensi eskatologi fides dan perkawinan itu sekali
seumur hidup. Namun, apabila seseorang memilih untuk tidak menikah bukan merupakan
sesuatu yang tidak baik.18
16
17
Bonnie Kant, “Agustine`s Ethics”, 226.
Bonnie Kant, “Agustine`s Ethics”, 226-227.
8
5. REFLEKSI KRITIS: KEUTAMAAN SEBAGAI RAHMAT ALLAH DAN USAHA
MANUSIA
Hidup secara moral membuat manusia bahagia. Kebahagiaan diperoleh dengan secara
aktif mengembangkan diri dalam dimensi yang hakiki bukan dengan malas-malasan. Manusia
yang bahagia adalah manusia yang mantap sebagai sosok etis dan yang dapat diandalkan
dalam melaksanakan kewajibannya sebagai manusia. Kewajiban moral bukan sekedar sesuatu
yang menekan melainkan membawa rasa bahagia yang semakin mendalam.
Watak moral seseorang ditentukan oleh keutamaan yang dimilikinya. Memiliki
keutamaan berarti mantap dengan dirinya sendiri karena ia mantap dalam memilih apa yang
sungguh bernilai daripada apa yang sekedar naluriah. Dengan tegas bertindak menurut apa
yang kita sadari benar, kita menjadi semakin mampu untuk bertindak demikian, kita semakin
gampang bertindak etis; dan bertindak etis memberi rasa kuat dan bahagia. Melalui
pembiasaan dan tekad, kita dapat mewujudkan sosok moral kita. Kita sama sekali tidak
tergantung dari bakat yang kita warisi dan dari lingkungan. Kita dapat mewujudkan diri
sendiri. Keutamaan intelektual merupakan kunci phronsesis, kebijaksanaan praktis dapat kita
bangun lewat pengalaman dan kesediaan untuk berpikir dan berefleksi setiap kali kita harus
mengambil suatu keputusan. Keutamaan etis kita bangun dengan bertindak etis. Aristoteles
menjamin bahwa semakin kita berusaha, makin kita akan maju, artinya kita makin gampang
bertindak sesuai dengan apa yang benar.19
Untuk menjadi sosok etis, kita tidak bisa mengandalkan diri sendiri. Kita harus
menyadari bahwa segala sesuatu yang ada adalam diri kita berasal dari Allah. Allah sebagai
sumber kebijaksanaan memberikannya secara cuma-cuma berkat-Nya kepada kita. Rahmat
yang berasal dari-Nya memampukan kita dalam menyadari diri bahwa ada kekuatan lain dari
luar diri manusia. Kita dapat mewujudkan diri menjadi sosok etis dengan menyadari rahmat
Allah yang senantiasa bekerja dalam diri manusia dan manusia harus mengusahakannya
dengan membiasakan tindakan-tindakan etis.
DAFTAR BACAAN
Frede, Dorothea. “Aristotles` Virtue Ethics”, dalam Lorraine Besser-Jones and Michael Slote
(ed.), The Routledge Companion to Virtue Ethics. New York: Routledge, 2015.
18
Lisa Fullam, “Toward a Virtue Ethics of Marriage: Augustine and Aquinas on Friendship of Marriage”,
Theological Studies, Vol. 73, 2012, 675.
19
Franz Magnis Suseno, Menjadi Manusia: Belajar dari Aristoteles, 64-65.
9
Fullam, Lisa. “Toward a Virtue Ethics of Marriage: Augustine and Aquinas on Friendship of
Marriage”, Theological Studies, Vol. 73, 2012.
Kant, Bonnie. “Agustine`s Ethics”, dalam E. Stump and N. Kretzmann, The Cambridge
Companion to Augustine. Cambrigde: Cambridge University Press, 2001.
Kreft, Peter. Back to Virtue. San Francisco: Ignatius Press, 1992.
Magnis Suseno, Franz. Menjadi Manusia: Belajar dari Aristoteles. Yogyakarta: Kanisius,
2009.
-------. 12 Tokoh Etika Abad ke-20. Yogyakarta: Kanisius, 2000.
Nadeak, Largus. Topik-topik Teologi Moral Fundamental: Memahami Tindakan Manusiawi
dengan Rasio dan Iman. Medan: Bina Media Perintis, 2015.
Pakaluk, Michael. Aristotles`: Nicomachean Ethics an Introduction. United States:
Cambridge University Press, 2005.
10
BELAJAR DARI ARISTOTELES DAN AGUSTINUS DARI HIPPO
Disusun sebagai Makalah untuk Ujian Tengah Semester
Mata Kuliah Etika Keutamaan
Dosen Pengampu: Dr. Dionisius Bismoko Mahamboro, Pr
Oleh:
Oleh:
Alb. Irawan Dwiatmaja
NIM: 176312001
PROGRAM STUDI MAGISTER TEOLOGI
FAKULTAS TEOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
T.A 2017-2018
0
1. PENGANTAR
Beberapa kali saya mendengar obrolan orangtua yang menceritakan anaknya dengan
memuji bahwa anaknya baik, rajin beribadah, mengikuti kegiatan di organisasi, berprestasi di
sekolah, dikenal banyak orang, menjadi pemuka agama, dan masih banyak lagi. Mendengar
obrolan kebanyakan orangtua yang demikian, timbul pertanyaan dalam benak saya, apa
maksud para orangtua menceritakan berbagai macam prestasi anaknya? Ada banyak jawaban
yang bisa menjawab pertanyaan ini tetapi hal yang menarik bagi saya ialah mereka ingin anak
menjadi manusia yang berkeutamaan. Orangtua menginginkan anak-anaknya memiliki
keutamaan. Orangtua mengusahakan berbagai macam cara supaya anaknya memiliki
keutamaan.
Dari deskripsi singkat di atas, kita melihat bahwa kebanyakan orangtua ingin anaknya
memiliki keutamaan. Orangtua mengusahakan berbagai macam cara supaya anaknya
memiliki keutamaan. Kita bisa membuat suatu kesimpulan, siapa yang tidak ingin memiliki
keutamaan? Semua orang, siapa saja ingin menjadi manusia yang berkeutamaan. Namun,
pertanyaan berikutnya yang timbul, bagaimana kita menjadi manusia yang utama?
Aristoteles dan Agustinus memiliki pandangan cara menjadi manusia yang
berkeutamaan. Aristoteles dan Agustinus mendeskripsikan bagaimana rahmat Allah bekerja
dalam hidup manusia dan bagaimana juga hal yang kodrati ada dalam diri manusia dilatih
agar memiliki keutamaan. Dalam paper ini, penulis mencoba menjelaskan keutamaan
menurut Aristoteles dan Agustinus. Dari mereka, kita akan melihat bagaimana kedua
pemikiran itu saling melengkapi dan memberi petunjuk untuk hidup kita menjadi manusia
yang utuh dan pada akhirnya menghantar kita sampai pada tujuan hidup yaitu kebahagiaan.
2. HAKEKAT KEUTAMAAN
Secara etimologis kata ‘keutamaan’ merupakan terjemahan dari kata arête dalam
bahasa Yunani dan virtus dalam bahasa Latin dan virtue dalam bahasa Inggris. Kata virtus
berakar dari vir yang berarti laki-laki dewasa dan juga vis yang berarti kekuatan yang dimiliki
oleh laki-laki dewasa. Virtus dalam budaya Latin dan arête dalam budaya Yunani dipakai
untuk menunjukkan keadaan manusia yang terlatih dan unggul dalam memenuhi tugas dan
tujuan hidupnya, misalnya keistimewaan atau keunggulan pisau ada pada ketajamannya,
keunggulan seekor kuda pelari terletak pada kecepatannya berlari; pisau menjadi tajam
karena diasah dan kuda berlari dengan cepat karena dilatih.1
1
Peter Kreft, Back to Virtue, San Francisco: Ignatius Press, 1992, 9-10, 25.
1
Aktivitas manusia mempunyai tujuan dan tujuan yang satu memiliki tujuan lain.
Misalnya, tujuan seorang mahasiswa belajar ialah untuk memiliki pengetahuan. Tujuan
pengetahuan tersebut guna mudah dalam memperoleh pekerjaan dan dengan memiliki
pekerjaan, dia akan memperoleh uang. Kalau deretan tujuan ini diteruskan, akhirnya yang
disasar aktivitas manusia ialah kebahagiaan. Manusia utama adalah orang berjiwa luhur,
tangguh. Pertimbangannya ialah kematangan dan tanggung jawab yang diembannya dengan
setia sehingga dai mencapai kebahagian dengan cara yang bernar.2
Menurut Magnis-Suseno, keutamaan merupakan terjemahan yang cocok untuk kata
virtue dalam arti sebagai kekuatan dan kemampuan. Kata ‘utama’ juga menunjuk kepada
kemampuan manusia untuk membawa diri sebagai manusia utuh, jadi tidak dipersempit
secara moralistik pada kesalehan. Manusia utama adalah manusia yang luhur, kuat, kuasa
untuk menjalankan apa yang baik dan tepat, untuk melakukan tanggung jawabnya.3
3. KEUTAMAAN MENURUT ARISTOTELES
Dunia menawarkan banyak hal seperti kenikmatan, kehormatan, harta, kekayaan, dan
sebagainya. Di antara semua tawaran-tawaran tersebut, setidaknya timbul pertanyaan retoris
dalam diri kita, untuk apa semua yang kita usahakan di dunia ini? Tentunya, kita ingin hidup
bahagia. Hidup bahagia merupakan keinginan semua manusia. Segala macam cara
diusahakan agar kebahagiaan itu bisa tercapai. Kajian mengenai cara memperoleh
kebahagiaan sudah banyak dibahas oleh filsuf-filsuf awal. Dari sekian banyak kajian,
pemikiran Aristoteles mengenai tata cara dalam memperoleh kebahagiaan sangat terkenal dan
menjadi rujukan hingga saat ini. Pemikiran Aristoteles tentang cara memperoleh kebahagiaan
itu tertuang dalam Nikomacheia Ethics (Etika Nikomacheia). Dalam Etika Nikomacheia,
Aristoteles mengajarkan kepada manusia untuk menjadi manusia utuh. Dalam penjelasan di
bawah ini, kita akan melihat bagaimana Aristoteles menjelaskan menjadi manusia utuh dalam
Etika Nikomacheia.
3.1 Kebahagiaan sebagai Tujuan Hidup Manusia
Dalam Etika Nikomacheia, Aristoteles menuliskan, “Setiap ketrampilan adalah ajaran,
begitu pula tindakan dan keputusan tampaknya mengejar salah satu nilai”. Apabila manusia
melakukan sesuatu, ia selalu melakukannya karena suatu tujuan yaitu sebuah nilai. Apabila
2
Largus Nadeak, Topik-topik Teologi Moral Fundamental: Memahami Tindakan Manusiawi dengan Rasio dan
Iman, Medan: Bina Media Perintis, 2015, 146.
3
Franz Magnis-Suseno, 12 Tokoh Etika Abad ke-20, Yogyakarta: Kanisius, 2000, 199.
2
manusia mengatur kehidupannya secara nalar, maka pertanyaan kunci baginya adalah apakah
tujuan hidup manusia.4
Setiap tindakan yang mengarah ke pencapaian tujuan itu masuk akal, dan setiap
tindakan yang tidak menunjang tercapainya tujuan manusia, itu tidak masuk akal. Itulah
prinsip etika Aristoteles. Pendekatan moralitas yang diajarkan oleh Aristoteles tidak
bertentangan dengan ajaran agama, bahkan kita akan melihat dengan lebih baik tentang
ajaran agama apabila memahami pertimbangan Aristoteles. Aristoteles selalu menunjukkan
bahwa manusia sebagai mahluk yang dapat berpikir dapat mengetahui bagaimana ia
seharusnya hidup. Aristoteles mendekati pertanyaan tentang tujuan manusia secara analitis
melalui langkah-langkah logis yang bertolak dari sebuah fakta bahwa apapun yang dilakukan
manusia selalu dilakukannya demi sebuah tujuan.
Ada dua macam tujuan manusia yaitu tujuan sementara dan tujuan akhir. Tujuan
sementara merupakan sarana untuk tujuan lebih lanjut sedangkan tujuan terakhir yaitu
sesuatu yang jika tercapai maka tidak ada lagi minat untuk menggapainya atau mencarinya.
Bagi Aristoteles, tujuan akhir manusia ialah kebahagiaan. Kita semua menginginkan
kebahagiaan, sehingga apapun tujuan manusia apabila tidak tercapai, maka akan tidak
membahagiakan. Untuk mencapai kebahagiaan tersebut, kita dituntut memiliki moral yang
bertujuan mengantar manusia menuju tujuan kebahagiaan. Ada 3 (tiga) hal yang perlu
diperhatikan.5
Pertama, kebahagiaan sebagai tujuan terakhir manusia tidak perlu dipertentangkan
dengan tujuan akhir yang disebutkan oleh agama. Agama justru menegaskan bahwa tujuan
akhir itu menghasilkan kebahagiaan yaitu surga atau nirwana. Hal ini selaras dengan
pandangan Aristoteles bahwa tuijuan akhir manusia adalah kebahagiaan karena menurut
agama manapun, penghormatan (pemujaan) terhadap Tuhan merupakan kebahagiaan tertinggi
bagi manusia.
Kedua, kalau kebahagiaan merupakan tujuan akhir manusia, maka menjadi semakin
jelas bahwa beberapa hal yang umumnya dianggap menjadi tujuan hidup dianggap tidak
memadai lagi. Aristoteles menyebut dua tujuan hidup yang salah yaitu uang dan
ketersohoran. Ketiga, perlu diperhatikan bahwa kebahagiaan tidak bisa langsung diusahakan.
Kebahagiaan itu bukan semacam sasaran yang bisa langsung kita bidik. Kebahagiaan adalah
4
Michael Pakaluk, Aristotles`: Nicomachean Ethics an Introduction, United States: Cambridge University
Press, 2005, 47.
5
Michael Pakaluk, Aristotles`: Nicomachean Ethics an Introduction, 58-67.
3
sesuatu yang lebih bersifat ‘diberikan’ daripada ‘direbut’. Kita akan menerima kebahagiaan
apabila kita menjalani hidup yang menunjang kebahagiaan tersebut.
3.2 Membiasakan Perbuatan yang Bermakna
Mencari nikmat jasmani dan menghindari perasaan sakit bukan saja khas manusia
karena binatang juga memiliki sifat demikian. Kalau kita fokus pada kecenderungan alami ini
maka kita akan mengalami kegagalan dalam usaha menjadi manusia utuh. Aristoteles
menjelaskan bahwa hanya orang yang mampu menguasai hawa nafsunya bisa bahagia. Kita
harus bisa mengendalikan kelakuan (hawa nafsu) yang bisa menghasilkan kebahagiaan. Salah
satu jawaban yang berulangkali diberikan dalam filsafat sederhana dan sepintas sangat masuk
diakal yaitu “kalau ingin bahagia, hindari perasaan sakit dan usahakan rasa nikmat”.
Aristoteles menolak hedonisme. Etika Nikomacheia menyebutkan 3 (tiga) pola hidup yang
membawa kepuasan dalam dirinya sendiri; hidup mengejar nikmat, hidup berpolitik dan
berfilsafat. Namun, yang pertama langsung disebutnya sebagai ‘pola hidup ternak’. Binatang
melakukan apapun semata-mata demi pencapaian nikamt (misalnya makan dan seksualitas).
Menurut Aristoteles, hedonisme merupakan cara penerapan hidup hewani kepada manusia.6
Aristoteles tidak menolak pencarian terhadap nikmat tetapi nikmat yang dimaksud
tidak menjadi tujuan pada dirinya sendiri. Aristoteles menggarisi tiga hal tentang ini.
Pertama, nikmat dan perasaan sakit bukan sesuatu yang diabaikan. Perasaan nikmat dan sakit
harus dimanfaatkan agar orang dapat mengembangkan diri. Orang semakin menikmati
bertindak menurut keutamaan dan merasa semakin tidak enak dan sakit apabila ia mengikuti
dorongan-dorongan naluriah. Kedua, nikmat dan rasa sakit bentuknya bermacam-macam
tergantung dari tindakan yang menghasilkannya. Nikmat bukanlah sesuatu yang berdiri
sendiri melainkan sesuatu yang mengikuti dalam arti bahwa nikmat selalu berkaitan dengan
suatu perbuatan. Setiap perbuatan yang berhasil dengan sendirinya kita nikmati, sedangkan
perbuatan yang gagal atau pengalaman yang bertentangan dengan keterarahan kita membuat
kita sakit. Kualitas perbuatan menentukan kualitas nikmat. Perbuatan yang luhur memberikan
nikmat yang luhur dan perbuatan yang buruk akan memberikan nikmat yang buruk.7
3.3 Pengembangan Diri
Manusia menjadi bahagia melalui aktivitasnya dengan menggerakkan diri untuk
mencapai sesuatu, dengan bertindak. Manusia menjadi bahagia dengan mengembangkan diri,
dengan membuat nyata kemampuan dan bakatnya. Misalnya, apabila seseorang berbakat
6
7
Michael Pakaluk, Aristotles`: Nicomachean Ethics an Introduction, 119-122.
Michael Pakaluk, Aristotles`: Nicomachean Ethics an Introduction, 123-126.
4
musik, dia harus melatihnya dengan latihan keras dan tertib maka akan berhasil menjadi
pemain musik yang andal.8
Pengembangan diri sampai hari ini merupakan tujuan penting dari pendidikan yang
bermutu. Mengembangkan diri berarti dengan menghadapi tantangan yang membuat diri
seseorang menjadi nyata, dari sesuatu yang mungkin hanya mungkin kita menjadi nyata.
Suatu tantangan merangsang kemampuan kita yang masih tersembunyi, yang perlu kita
kembangkan secara aktif. Orang tidak berkembang dengan memandang, merenungkan, dan
merefleksikan diri, melainkan dengan melihat keluar, dengan menjawab apa yang dalam
situasi tertentu diharapka dari kita. Mengembangkan diri juga berarti menerima diri. Manusia
kana mengalami bhawa dia mempunyai keterbatasan. Ia akan berusaha untuk meningkatkan
kemampuan diri tetapi dia juga perlu menerima bahwa ada kemungkinan dia dibatasi baik
oleh situasi di luar diri kita maupun oleh keterbatasan kita sendiri.9
3.4 Kebijaksanaan dan Rasionalitas
Aristoteles menegaskan bahwa manusia yang mau menjadi utuh, mantap dalam
dirinya dan mengalami kehidupannya sebagai bermakna harus mengembangkan keutamaan
intelektual dan etis. Orang yang mempunyai keutamaan menjadi manusia yang berbudi luhur.
Aristoteles membedakan keutamaan menjadi dua macam, yaitu keutamaan dalam berfikir dan
keutamaan dalam bertindak.
Kebijaksanaan dalam arti phronesis amat penting bagi kita. Kalau ‘bijaksana’, kita
menjadi biasa bertindak dengan tepat dalam berbagai macam situasi. Phronesis tahu
bagaimana harus membawa diri dan bagaimana menghadapi orang lain. Phronesis tumbuh
berkembang melalui pengalaman dan lebih penting dari sekedar episteme (ketajaman
pengetahuan ilmiah). Meskipun diperlukan pengetahuan episteme untuk pemecahan masalahmasalah spesifik dan detail profesi, namun phronesis membawa manusia untuk lebih pandai
dan benar dalam membawa diri melalui kemampuan bertindak maupun komunikasi yang
tepat dan etis.10
3.5 Manusia Utama
8
Michael Pakaluk, Aristotles`: Nicomachean Ethics an Introduction, 126-127.
Michael Pakaluk, Aristotles`: Nicomachean Ethics an Introduction, 127-129.
10
Dorothea Frede, “Aristotles` Virtue Ethics”, dalam Lorraine Besser-Jones and Michael Slote (ed.), The
Routledge Companion to Virtue Ethics, New York: Routledge, 2015, 18-19.
9
5
Kebijaksanaan (phronesis) merupakan wawasan intelektual yang akan berguna
apabila didukung oleh keutamaan etis. Hanya orang yang mantap dalam bertindak secara etis
akan tetap bijaksana dalam arti yang sesungguhnya. Kebijaksanaan yang tidak tertanam
dalam kepribadian etis, lama kelamaan akan merosot menjadi kepintaran dan oportunisme
belaka. Kepintaran tidak cukup untuk mendukung terwujudnya kepribadian yang mantap,
kuat dan dapat diandalkan. Ketertanaman sikap etis dalam kepribadian seseorang itulah yang
dimaksud oleh Aristoteles dengan keutamaan. Manusia utama harus mantap dan gembira
karena baginya bertindak secara etis menjadi gampang dan apabila bertindak dengan tidak
etis justru susah dan menyengsarakannya. 11
Kita bisa mengambil contoh masalah kejujuran. Orang yang betul-betul jujur,
bertindak jujur merupakan sesuatu yang ringan dan tidak berat demikian sebaliknya. Contoh
kejujuran memperlihatkan mengapa Aristoteles menghubungkan kehidupan bermoral dengan
rasa nikmat-gembira dan rasa sedih-sakit. Menjadi orang berkeutamaan berarti belajar merasa
gembira apabila ia bertindak sesuai dengan keutamaan etis, dan merasa sedih atau resah
apabila bertindak tidak etis. Aristoteles menegaskan bahwa keutamaan bukan suatu nafsu
maupun sudah bakat alami, melainkan sesuatu yang harus kita pelajari.
Bagi Aristoteles, keutamaan bisa diperoleh melalui kebiasaan. Orang yang ingin
mengembangkan keutamaan harus membiasakan diri untuk bertindak menurut keutamaan itu.
Semakin keutamaan dibiasakan maka akan semakin mudah keutamaan diperoleh hingga
akhirnya tindakan menurut keutamaan itu akan menjadi kodratnya. Pembiasaan untuk
bertindak jujur, adil, menepati janji, tidak berkeras hati dan berbagai jenis keutamaan lain
juga didukung oleh pendidikan yang kita terima, baik formal maupun informal. Pendidikan
yang dimengerti bukan semacam pengkondisian tetapi pembiasaan dengan belajar melakukan
sesuatu secara rutin, gampang dan seakan-akan dengan sendirinya (otomatis) merupakan
unsur penting dalam pembangunan karakter. Dalam kaitan itu, Aristoteles menegaskan suatu
yang kontroversial yaitu tanggung jawab atas perbuatan kita, tetapi bahkan juga atas
perkembangan kita menjadi manusia seutuhnya. Manusia dituntut untuk belajar mengetahui
diri kita sendiri untuk lebih sadar akan kekuatan dan kelemahan.12
3.6 Persahabatan
11
12
Dorothea Frede, “Aristotles` Virtue Ethics”, 19.
Franz Magnis Suseno, Menjadi Manusia: Belajar dari Aristoteles, Yogyakarta: Kanisius, 2009, 50.
6
Manusia mencapai puncak keutamaan dalam persahabatan sejati. Persahabatan sejati
bukan kebahagiaan diri sendiri, melainkan kebahagiaan sahabat yang membuat kita bahagia.
Persahabatan merupakan hal yang sangat perlu dan penting dalam kehidupan manusia.
Persahabatan dalam arti sebenarnya adalah persahabatan antara dua manusia yang saling
mencintai. Aristoteles menuliskan bahwa keutamaan diantara para sahabat adalah ‘cinta’.
Persahabatan dua insan (pria dan wanita), bukan semata-mata demi kelangsungan keturunan,
namun demi persatuan hidup kedua orang tersebut.13
Aristoteles menegaskan bahwa manusia tidak mungkin bahagia sendirian namun perlu
sahabat untuk kebersamaan dan berkomunikasi untuk menemukan hakekat “diri sendiri’
melalui cinta. Cinta itu yang nampaknya membuat kita terikat, namun justru membebaskan
kita dari keterikatan pada diri sendiri, sehingga dengan demikian kita justru semakin menjadi
diri sendiri.14
4. KEUTAMAAN MENURUT AGUSTINUS DARI HIPPO
Setiap masa memiliki ciri khas dalam memahami etika. Aristoteles memahami etika
sebagai hal yang kodrati, sudah ada di dalam diri manusia. Manusia memiliki tanggung jawab
untuk melatihnya agar keutamaan itu menjadi bagian dari dirinya dalam memperoleh
kebahagiaan. Kebahagian yang dicari bukan berarti mencari nikmat sebanyak-banyaknya
melainkan melalui latihan-latihan. Agustinus setuju dengan pandangan Aristoteles bahwa
tujuan manusia ialah mencari kebahagiaan. Agustinus mengingatkan bahwa kebahagiaan
yang dicari bukan pertama-tama kerja keras manusia melainkan rahmat Allah. Dalam bagian
ini, kita akan melihat bagaimana penjelasan Agustinus tentang etika keutamaan.
4.1 Keutamaan sebagai Rahmat Allah
Agustinus tidak menegasi pendapat tokoh sebelumnya seperti Aristoteles mengenai
arti dan tujuan hidup manusia yaitu mencari kebahagiaan. Agustinus memberi catatan bahwa
kebahagiaan yang dituju bukan karena usaha manusia semata melainkan karena rahmat Allah
yang bekerja dan berlandaskan kasih. Rahmat Allah dan kasih menjadi tolok ukur dalam
memperoleh kebahagiaan karena manusia memiliki kecenderungan jatuh ke dalam dosa.
Manusia tidak dapat memperoleh kebahagiaan tanpa bantuan Ilahi.15
4.2 True Imperpect Virtue
13
Michael Pakaluk, Aristotles`: Nicomachean Ethics an Introduction, 257-258.
Michael Pakaluk, Aristotles`: Nicomachean Ethics an Introduction, 259-261.
15
Bonnie Kant, “Agustine`s Ethics”, dalam E. Stump and N. Kretzmann, The Cambridge Companion to
Augustine, Cambrigde: Cambridge University Press, 2001, 205.
14
7
Agustinus memahami keutamaan sebagai rahmat Allah dan berlandaskan atas kasih.
Manusia tidak bisa memiliki keutamaan tanpa bantuan Ilahi. Manusia pertama-tama
tergantung pada rahmat Allah sehingga tidak ada satu pun keutamaan yang sempurna di
dalam dirinya dan bisa dimiliki oleh manusia. Keutamaan yang disebutkan oleh Aristoteles
seperti keberanian, pengendalian diri, keadilan, kebijaksanaan bisa dicapai dengan bantuan
rahmat Ilahi. Apabila keutamaan kardinal terlepas dari saluran rahmat Allah, keutamaankeutamaan tersebut dapat menyebabkan kesombongan karena kodrat manusia memiliki
kecenderungan untuk berbuat dosa. Agustinus setuju dengan para filsuf sebelumnya bahwa
tidak ada manusia yang bisa memiliki keutamaan secara sempurna dan untuk memperoleh
keutamaan bukan hal yang mudah tetapi memerlukan pembiasaan.16
4.3 Etika Keutamaan dalam Perkawinan: Sebuah Jalan Menuju Persahabatan Sejati
Pada masa Agustinus, hidup selibat dipandang sebagai hidup yang lebih baik daripada
hidup perkawinan. Hidup selibat memiliki level lebih tinggi daripada hidup perkawinan.
Pandagan bahwa hidup selibat lebih mulia daripada hidup perkawinan dipengaruhi oleh aliran
Pelagianisme. Melihat fenomena tersebut, Agustinus mengatakan bahwa hidup perkawinan
dan hidup selibat itu sama, sederajat, selevel. Terlebih, hidup perkawinan merupakan seseuatu
yang luhur dan mulia sama seperti hidup selibat.17
Agustinus mengakui bahwa setelah kejatuhan pertama, manusia memiliki keretakan
yaitu kecenderungan untuk berdosa. Salah satu penyebab kecenderungan untuk berdosa
(konkupisensia) ialah hasrat seksual yang tidak bisa diprediksi. Tindakan seks bukan
merupakan dosa apabila hanya dilakukan dalam perkawinan. Tindakan seks bukan sematamata untuk prokreasi atau kepuasan seksual. Perkawinan bukan untuk melegalkan tindakan
seksual. Perkawinan dipandang sebagai sarana untuk mewujudkan tujuan yang lebih besar
yaitu persahabatan. Hal yang ingin diperlihatkan oleh Agustinus bahwa ada persatuan yang
lebih nyata di antara laki-laki dan perempuan tanpa hubungan seksual yaitu persahabatan.
Agustinus menyimpulkan tiga kebaikan dari perkawinan yaitu keturunan, ketaatan, sakramen.
Perkawinan merupakan media untuk saling melayani antara suami dan istri. Agustinus
menggunakan ketaatan untuk menunjukkan bahwa hubungan suami-istri sesuatu yg mulia.
Sakramen berhubungan erat dengan dimensi eskatologi fides dan perkawinan itu sekali
seumur hidup. Namun, apabila seseorang memilih untuk tidak menikah bukan merupakan
sesuatu yang tidak baik.18
16
17
Bonnie Kant, “Agustine`s Ethics”, 226.
Bonnie Kant, “Agustine`s Ethics”, 226-227.
8
5. REFLEKSI KRITIS: KEUTAMAAN SEBAGAI RAHMAT ALLAH DAN USAHA
MANUSIA
Hidup secara moral membuat manusia bahagia. Kebahagiaan diperoleh dengan secara
aktif mengembangkan diri dalam dimensi yang hakiki bukan dengan malas-malasan. Manusia
yang bahagia adalah manusia yang mantap sebagai sosok etis dan yang dapat diandalkan
dalam melaksanakan kewajibannya sebagai manusia. Kewajiban moral bukan sekedar sesuatu
yang menekan melainkan membawa rasa bahagia yang semakin mendalam.
Watak moral seseorang ditentukan oleh keutamaan yang dimilikinya. Memiliki
keutamaan berarti mantap dengan dirinya sendiri karena ia mantap dalam memilih apa yang
sungguh bernilai daripada apa yang sekedar naluriah. Dengan tegas bertindak menurut apa
yang kita sadari benar, kita menjadi semakin mampu untuk bertindak demikian, kita semakin
gampang bertindak etis; dan bertindak etis memberi rasa kuat dan bahagia. Melalui
pembiasaan dan tekad, kita dapat mewujudkan sosok moral kita. Kita sama sekali tidak
tergantung dari bakat yang kita warisi dan dari lingkungan. Kita dapat mewujudkan diri
sendiri. Keutamaan intelektual merupakan kunci phronsesis, kebijaksanaan praktis dapat kita
bangun lewat pengalaman dan kesediaan untuk berpikir dan berefleksi setiap kali kita harus
mengambil suatu keputusan. Keutamaan etis kita bangun dengan bertindak etis. Aristoteles
menjamin bahwa semakin kita berusaha, makin kita akan maju, artinya kita makin gampang
bertindak sesuai dengan apa yang benar.19
Untuk menjadi sosok etis, kita tidak bisa mengandalkan diri sendiri. Kita harus
menyadari bahwa segala sesuatu yang ada adalam diri kita berasal dari Allah. Allah sebagai
sumber kebijaksanaan memberikannya secara cuma-cuma berkat-Nya kepada kita. Rahmat
yang berasal dari-Nya memampukan kita dalam menyadari diri bahwa ada kekuatan lain dari
luar diri manusia. Kita dapat mewujudkan diri menjadi sosok etis dengan menyadari rahmat
Allah yang senantiasa bekerja dalam diri manusia dan manusia harus mengusahakannya
dengan membiasakan tindakan-tindakan etis.
DAFTAR BACAAN
Frede, Dorothea. “Aristotles` Virtue Ethics”, dalam Lorraine Besser-Jones and Michael Slote
(ed.), The Routledge Companion to Virtue Ethics. New York: Routledge, 2015.
18
Lisa Fullam, “Toward a Virtue Ethics of Marriage: Augustine and Aquinas on Friendship of Marriage”,
Theological Studies, Vol. 73, 2012, 675.
19
Franz Magnis Suseno, Menjadi Manusia: Belajar dari Aristoteles, 64-65.
9
Fullam, Lisa. “Toward a Virtue Ethics of Marriage: Augustine and Aquinas on Friendship of
Marriage”, Theological Studies, Vol. 73, 2012.
Kant, Bonnie. “Agustine`s Ethics”, dalam E. Stump and N. Kretzmann, The Cambridge
Companion to Augustine. Cambrigde: Cambridge University Press, 2001.
Kreft, Peter. Back to Virtue. San Francisco: Ignatius Press, 1992.
Magnis Suseno, Franz. Menjadi Manusia: Belajar dari Aristoteles. Yogyakarta: Kanisius,
2009.
-------. 12 Tokoh Etika Abad ke-20. Yogyakarta: Kanisius, 2000.
Nadeak, Largus. Topik-topik Teologi Moral Fundamental: Memahami Tindakan Manusiawi
dengan Rasio dan Iman. Medan: Bina Media Perintis, 2015.
Pakaluk, Michael. Aristotles`: Nicomachean Ethics an Introduction. United States:
Cambridge University Press, 2005.
10