EVALUASI PEMBELAJARAN FIQIH DALAM MENGEMBANGKAN SIKAP TOLERANSI MAHASISIWA UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PONTIANAK
Jurnal’ Tarbawi Khatulistiwa’ Vol.2 No. 2 2016
ISSN : 2442-756X
EVALUASI PEMBELAJARAN FIQIH DALAM MENGEMBANGKAN
SIKAP TOLERANSI MAHASISIWA UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
PONTIANAK
Oleh
Heriansyah
Dosen PAI UM Pontianak
ABSTRAK
Tulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan mengevaluasi efektifitas pembelajaran
Shalat di Universitas Muhammadiyah (UM) Pontianak dalam mengembangkan sikap
toleransi. Fiqih Shalat adalah salah satu materi wajib pada mata kuliah Shalat dan
Ibadah Mahdhah yang diselenggarakan di seluruh program studi UM Pontianak yang
memuat tentang prinsip-prinsip dan tatacara pelaksanaan Shalat sebagai ibadah dengan
benar dan baik. Jenis penelitian yang digunakan adalah evaluasi dengan model CIPP
(Context, Input, Process dan Product) dari Stufflebeam. Hasil penelitian ditemukan:
Pertama, konteks pembelajaran shalat dalam mengembangkan sikap toleransi
mahasiswa di Universitas Muhammadiyah (UM) Pontianak masih relevan dengan visi
dan tujuan pendidikan Al Islam Kemuhammadiyahan. Kedua, kualitas input
pembelajaran shalat dalam mengembangkan sikap toleransi mahasiswa di UM
Pontianak kategori cukup. Ketiga, kualitas proses pembelajaran shalat dalam
mengembangkan sikap toleransi mahasiswa di UM Pontianak masih rendah. Keempat,
dampak kualitas proses pembelajaran shalat dalam mengembangkan sikap toleransi
yang rendah adalah rendahnya tingkat sikap toleransi mahasiswa
Kata Kunci: Evaluasi, Pembelajaran Shalat, Toleransi
A. Pendahuluan
yang essensial dalam hidup dan
kehidupan manusia. Salah satu aspek
pendidikan
terpenting
dalam
pembelajaran di UM Pontianak adalah
pengintegrasian mata kuliah Al Islam
Kemuhammadiyahan (AIK) dalam
semua kurikulum program studi. Tujuan
pembelajaran AIK di Perguruan Tinggi
Muhammadiyah (PTM) termasuk UM
Pontianak adalah terbentuknya manusia
pembelajar yang bertaqwa, berakhlak
mulia, berkemajuan dan unggul dalam
IPTEKS sebagai perwujudan tajdid
Mahasiswa
Universitas
Muhammadiyah
(UM)
Pontianak
memiliki latar belakang yang majemuk.
Hal
ini
ditandai
dengan
keanekaragaman suku, agama, budaya
dan bahasa yang dimiliki. Dalam
kehidupan beragama, kerukunan antar
suku, agama dan budaya harus selalu
dijaga dan dibina diantaranya dengan
mengembangkan sikap toleransi.
Salah satu pranata penting dalam
pengembangan sikap toleransi adalah
pendidikan. Pendidikan merupakan hal
44
Jurnal’ Tarbawi Khatulistiwa’ Vol.2 No. 2 2016
ISSN : 2442-756X
dakwah amar makruf nahi mungkar.
(Pedoman AIK 2014)
Salah satu mata kuliah AIK di
UM Pontianak adalah Shalat dan Ibadah
Mahdhah. Pembelajaran Shalat adalah
termasuk pembelajaran Fiqh yang
menekankan pada kemampuan cara
melaksanakan ibadah yang benar dan
baik. Hanya saja dalam proses
pembelajaran fiqih termasuk fiqih
Shalat masih terdapat berbagai kendala.
Pembelajaran fiqih kadang belum
berperan
semestinya
dalam
pengembangan manusia seutuhnya
khususnya dalam mengembangkan
sikap
saling
menghargai
antar
perbedaan. Sikap saling menghargai
antar perbedaan tercermin dalam
keragaman pendapat ahli fiqih dalam
memutuskan suatu perkara ibadah.
1. Pembelajaran Fiqih
B. Tinjauan Pustaka
Fiqih adalah pengetahuan tentang
hukum-hukum syariat Islam mengenai
perbuatan manusia, yang diambil dari
dalil secara terperinci (Khallaf, 2001:2)
Artinya fiqih adalah ilmu yang
menjelaskan tentang hukum syari’ah
yang berhubungan dengan segala
perbuatan manusia termasuk ucapan
yang diambil atau disimpulkan dari
dalil-dalil atau nash-nash syariat Islam.
Pembelajaran Fiqih merupakan
bagian dari pendidikan agama Islam
yang bertujuan untuk menumbuhkan
dan meningkatkan keimanan, melalui
pemberian
dan
pemupukan
pengetahuan, penghayatan, pengamalan
serta pengalaman peserta didik dalam
aspek hukum baik yang berupa ajaran
ibadah maupun muamalah sehingga
menjadi manusia muslim yang terus
berkembang dalam hal keimanan,
ketaqwaannya kepada Allah SWT serta
berakhlak mulia dalam kehidupan.
Dari definisi yang dijelaskan di
atas
dapat
disimpulkan
bahwa
pembelajaran Fiqih itu tidak hanya
dilakukan di dalam kelas, akan
tetapiseluruh kegiatan yang dirancang
untuk mencapai tujuan Fiqih. Selain
itu,pembelajaran Fiqih juga banyak
mengandung
aspek
nilai,
maka
pembelajaranyang hanya mengarah
pada aspek kognitif saja merupakan
suatu kesalahanbesar. Oleh karena itu,
pembelajarannya harus mengarah pada
tiga aspek,yaitu kognitif, afektif, dan
psikomotorik.
Mengacu kepada pengertian di
atas, maka materi Fiqih perlu
dikembangkan
dalam
suasana
pembelajaran yang terpadu, meliputi:
Keimanan, Pengamalan, Pembiasaan,
Rasional, Emosional, Fungsional, dan
Keteladanan.
2. Fiqih Shalat
kepada
Allah,
secara
yang
mendatangkan takut kepada-Nya serta
menumbuhkan di dalam jiwa rasa
kebesarannya
dan
kesempurnaan
kekuasaan-Nya” atau “mendahirkan
hajat dan keperluan kita kepada Allah
yang kita sembah dengan perkataan dan
pekerjaan atau dengan kedua – duanya”
(Ash-Shiddieqy, 1986: 59). Dalam
pengertian lain shalat ialah salah satu
sarana komunikasi antara hamba dengan
Secara etimologi (bahasa) shalat
adalah do’a. Secara terminologi
(istilah), para ahli fiqih mengartikan
secara lahir dan hakiki. Secara lahiriah
shalat berarti beberapa ucapan dan
perbuatan yang dimulai dengan takbir
dan diakhiri dengan salam, yang
dengannya kita beribadah kepada Allah
menurut syarat – syarat yang telah
ditentukan (Gazalba, 2005: 88). Secara
hakikinya ialah “berhadapan hati (jiwa)
45
Jurnal’ Tarbawi Khatulistiwa’ Vol.2 No. 2 2016
ISSN : 2442-756X
Tuhannya sebagai bentuk, ibadah yang
di dalamnya merupakan amalan yang
tersusun dari beberapa perkataan dan
perbuatan yang dimulai dengan
takbiratul ikhram dan diakhiri dengan
salam, serta sesuai dengan syarat dan
rukun yang telah ditentukan syara’.
Dari beberapa pengertian di atas
dapat disimpulkan bahwa shalat adalah
3. Pengembangan Sikap Toleransi
Toleransi secara bahasa adalah
terjemahan dari kata “tolerantie”
(bahasa Belanda) atau “tolerance”
(bahasa
Inggris)
yang
artinya
mendiamkan diri. Dalam kamus bahasa
Indonesia, toleransi diartikan “sifat atau
sikap menenggang (yaitu menghargai,
membiarkan, membolehkan) pendirian
(pendapat, pandangan, kepercayaan,
kebiasaan,
kelakuan
dan
lain
sebagainya) yang lain bertentangan
dengan
pendiriannya
sendiri
(Poerwadarminta, 2002: 225). Dalam
bahasa
Arab,
toleransi
adalah
terjemahan kata “tasamuh” atau
“ikhtimal”
yang
artinya
sikap
membiarkan atau lapang dada (Achmad,
2003: 72).
Peterson
(2003)
memaknai
toleransi sebagai penghargaan atas
keanekaragaman dan kemampuan untuk
tinggal dan hidup bersama. Walzer
(2007: 2) memahami toleransi sebagai
koeksistensi
damai
(paeceful
coexistence) kelompok masyarakat yang
memiliki sejarah, budaya dan identitas
berbeda.
Ia
lebih
cenderung
menggunakan istilah “tolerantion”
dibandingkan “tolerance” sebagai objek
kajiannya.
Dalam piagam deklarasi toleransi,
UNESCO (1995) mengartikan toleransi
dalam empat hal yaitu: Pertama,
toleransi adalah adalah rasa hormat,
penerimaan dan penghargaan terhadap
keanekaragaman
kultur
dunia,
kebebasan ekspresi dan pilihan hidup
merupakan ibadah kepada Tuhan,
berupa perkataan denga perbuatan yang
diawali dengan takbir dan diakhiri
dengan salam menurut syarat dan rukun
yang telah ditentukan syara”. Juga
shalat merupakan penyerahan diri (lahir
dan bathin) kepada Allah dalam rangka
ibadah dan memohon ridho-Nya.
manusia. Toleransi adalah keselarasan
di dalam perbedaan, ia tidak hanya
urusan moral, tetapi juga kepentingan
politis dan ketentuan hukum. Kedua,
toleransi bukanlah pemberian atau
hadiah, toleransi adalah suatu sikap
yang aktif yang diinspirasikan oleh
penegakan hak asasi manusia dan asas
kebebasan yang universal untuk yang
lain. Toleransi adalah untuk dan oleh
individu, kelompok dan negara.Ketiga,
toleransi adalah tanggung jawab dalam
menegakkan hak asasi manusia,
pluralisme
(termasuk
pluralisme
budaya), demokrasi dan kepastian
hukum. Keempat, selaras untuk
menghormati hak asasi manusia,
praktek dari toleransi tidak berarti
pentoleransian terhadap ketidakadilan
sosial
atau
keterpinggiran,
atau
perlemahan keyakinan.
Dalam Islam, tema toleransi
bukanlah hal baru. Al-Quran sebagai
sumber moral Islam sudah menegaskan
prinsip-prinsip toleransi antara lain:
prinsip kemulian manusia, prinsip
kemanusiaan, prinsip kerelaan, prinsip
saling menghormati, saling menghargai
dan mengakui perbedaan. Prinsipprinsip ini oleh nabi Muhammad SAW.
menjadi spirit yang disusun dalam
pasal-pasal piagam Madinah ketika
membentuk masyarakat politik Islam
(Sadjali, 1993: 13-14). Prinsip-prinsip
tersebut pula oleh Misrawi (2007: 170190) dapat ditafsirkan bahwa toleransi
dalam Islam tidak sekadar toleransi
pasif yaitu sekedar menghormati orang
46
Jurnal’ Tarbawi Khatulistiwa’ Vol.2 No. 2 2016
ISSN : 2442-756X
lain dengan sikap inklusif melainkan
juga menekankan pentingnya pluralisme
dan multikulturalisme. Menurutnya
toleransi adalah kesedian untuk hidup
berdamai (peaceful coexistance) dan
mengakui perbedaan.
model
evaluasi
yang
dipeloporiolehStufflebeam di Ohio
State University, yaitu CIPP evaluation
model. Model evaluasi ini merupakan
model yang cukup komperhensif dan
dapat menjangkau kegiatan yang luas.
CIPP merupakan kepanjangan dari
Context, Input, process dan Product
(Stufflebeamdan J. Shinkfield, 153179). Model CIPP disusun dengan
tujuan
untuk
melengkapi
dasar
pembuatan keputusan dalam evaluasi
sistem dengan analisis yang berorientasi
pada perubahan terencana. Batasan
tersebut mempunyai tiga asumsi
mendasar, yaitu: (1) menyatakan
pertanyaan yang berorientasi untuk
mendapatkan informasi spesifik, (2)
memerlukan data yang relevan, untuk
mendukung identifikasi tercapainya
masing-masing komponen dan (3)
menyediakan informasi yang diperlukan
oleh
para
pembuat
keputusan
peningkatan program (Sukardi: 2008,
63).
Model CIPP ini merupakan model
evaluasi yang memandang program
yang dievaluasi sebagai sebuah sistem.
Keunikan model ini adalah pada setiap
tipe evaluasi terkait pada perangkat
pengambil keputusan (decission) yang
menyangkut
perencanaan
dan
operasional
sebuah
program.Keunggulan
model
CIPP
memberikan suatu format evaluasi yang
komprehensif pada setiap tahapan
evaluasi.
C. Metode Evaluasi
Penelitian
evaluasi
juga
merupakan
penelitian
yang
menggunakan pendekatan kualitatif.
Metode kualitatif dapat memberikan
keluluasaan kepada peneliti untuk
menggali isu-isu atau kejadian secara
mendalam dan rinci tentang sebuah
fakta (Patton, 2006: 6). Penelitian
kualitatif adalah sebagai prosedur
4. Evaluasi Program
Sanders (2004: 3) mendefinisikan
evaluasi sebagai kegiatan investigasi
yang sistimatis tentang kebenaran atau
keberhasilan suatu tujuan. Kufman and
Thomas, (1980:4) menyatakan bahwa
evaluasi adalah proses yang digunakan
untuk menilai.Hal senada dikemukakan
oleh (Djaali, Mulyono dan Ramly,
2000:3)
mendefinisikan
evaluasi
sebagai
proses
menilai
sesuatu
berdasarkan kriteria atau standar
objektif yang dievaluasi.
Evaluasi program menurut Joint
Commite yang dikutip oleh Brinkerhof
(1986:xv) adalah aktivitas investigasi
yang sistematis tentang sesuatu yang
berharga dan bernilai dari suatu obyek.
Pendapat lain, Denzin dan Lincoln
(2000:983) mengatakan bahwa evaluasi
program berorientasi sekitar perhatian
dari penentu kebijakan dari penyandang
dana secara karakteristik memasukkan
pertanyaan penyebab tentang tingkat
terhadap mana program telah mencapai
tujuan yang diinginkan. Selanjutnya
McNamara
(2008:3)
mengatakan
evaluasi
program
mengumpulkan
informasi tentang suatu program atau
beberapa aspek dari suatu program guna
membuat keputusan penting tentang
program tersebut. Keputusan-keputusan
yang diambil
dijadikan
sebagai
indikator-indikator penilaian kinerja
atau assessment performance pada
setiap tahapan evaluasi dalam tiga
kategori yaitu rendah, moderat dan
tinggi (Issac and Michael, 1982:22).
Model riset evaluasi yang
digunakan dalam penelitian ini adalah
47
Jurnal’ Tarbawi Khatulistiwa’ Vol.2 No. 2 2016
ISSN : 2442-756X
penelitian yang menghasilkan data
deskriptif berupa kata-kata tertulis atau
lisan dari orang-orang dan perilaku
yang dapat diamati (Moleong, 2000; 3).
Metode kualitatif dimaksudkan agar
dapat diperoleh pemahaman dan
penafsiran yang relatif mendalam
tentang makna dari fenomena yang ada
di lapangan.
Penelitian ini akan dilakukan di
semua program studi yang ada di
Universitas Muhammadiyah Pontianak.
Pengumpulan data dilakukan dengan
menghimpun data-data, baik berupa
data primer maupun data sekunder. Data
primer adalah data yang akan dihimpun
melalui kuisioner dan wawancara.
Sumber data primer antara lain: Dosen
Mata Kuliah Shalat dan Ibadah
Mahdhah dari masing-masing program
studi, dan mahasiswa dari tiap-tiap
program
studi.
Data
sekunder
didapatkan dari data atau dokumendokumen yang sudah ada.
D. Hasil Penelitian & Pembahasan
1. Hasil Evaluasi Konteks
Tabel Hasil Evaluasi Pada Komponen Konteks
Aspek yang
Dievaluasi
Latar belakang &
Profil
Landasan
Kebijakan
Hasil
Pembelajaran AIK bersifat teo-antroposentrisme yang
memadukan orientasi habl min Allah dan habl min an-nas
sehingga menjadi kebutuhan manusia
Memiliki visi, misi&tujuan serta telah disosialisasikan dan
dapat memberi motivasi pada pihak yang terlibat
Pembelajaran Shalat sebagai bagian dari pendidikan AIK
harus dipahami sebagai petunjuk yang dapat dipahami
secara cerdas, kritis dan kontekstual oleh mahasiswa.
Program diselenggarakan berdasarkan kepada kebijakan
mulai dari tingkat pusat sampai dengan PTM
Seluruh
kebijakan
merumuskan
secara
tersirat
pengembangan kepribadian mahasiswa termasuk sikap
toleransi
2. Hasil Evaluasi Komponen Input
Hasil Evaluasi Komponen Input
Komponen
Evaluasi
Hasil
Mahasiswa
Latarbelakang
pendidikan
mayoritas
SMA,
kemampuan baca Al Quran beragam, motivasi kuliah
48
Jurnal’ Tarbawi Khatulistiwa’ Vol.2 No. 2 2016
ISSN : 2442-756X
karena tidak lulus PTN dan diajak teman.
Pola rekruitmen dengan standar penilaian yang rendah
Semua magister tetapi mayoritas bukan bidang
keahlian Hukum Islam.
Direkrut dari prodi PAI tanpa seleksi kemampuan AIK
Mengacu pedoman AIK yang berlaku
Rujukan utama materi Himpunan Putusan Tarjih
Evaluasi kurikulum terus menerus
Materi didomonasi aspek kognitif (hafalan) dan
psikomotorik (gerakan) shalat
Dosen
Kurikuklum
3. Hasil Evaluasi Komponen Proses
Tabel Hasil Evaluasi Komponen Proses
Komponen
Evaluasi
Perencanaan
pembelajaran
Kegiatan
pembelajaran
Evaluasi
Pembelajaran
Hasil
Memiliki silabus & SAP tetapi tidak berwawasan
karakter
Tidak ada rumusan sikap toleransi
Kegiatan dosen cenderung belum maksimal
teruatama pada aspek memfasilitasi terjadinya
interaksi diantara mahasiswa.
Metode pembelajaran yang digunakan masih
konvensional.
Bentuk tes yang digunakan tes tulisan, lisan dan
perbuatan.
Belum dikembangkan teknik non-tes
Aplikasi sikap toleransi dalam penilaian
diwujudkan melalui kebebasan mahasiswa
memperagakan bacaan dan gerakan shalat
4. Hasil Evaluasi Komponen Produk
Tabel Hasil Evaluasi pada Komponen Produk
Komponen
Hasil
Evaluasi
Sikap Toleransi
Mayoritas di bawah nilai rata-rata
49
Jurnal’ Tarbawi Khatulistiwa’ Vol.2 No. 2 2016
ISSN : 2442-756X
Pengamalan Ibadah Shalat
Beragam dan dibiarkan
Beberapa mahasiswa tidak siap dan mau
berubah
Hasil evaluasi secara umum
menunjukan pada tingkat kesesuaian
cukup dan rendah, hanya pada evaluasi
konteks yang menunjukan pada
kesesuaian baik. Untuk lebih jelas
disajikan dalam gambar di bawah ini:
PETA HASIL PENELITIAN
Pe nge m banga n
Sik a p Tole ra nsi
da la m
Pe m be la ja ra n
Sha lat
EVALUASI
KONTEKS
EVALUASI
INPUT
EVALUASI
PROSES
EVALUASI
PRODUK
Latar Belakang
dan Kebijakan
program
Mahasiswa, Dosen,
Kurikulum
Perencanaan,
Pelaksanaan, Metode
dan Evaluasi
Pembelajaran
Sikap Toleransi &
Pengamalan
Baik
Cukup
Kurang
Kurang
Gambar 4.2
Keterangan:
menunjukan
tingkat kesesuaian
cukup
&
PetaWarna
Hasilmerah
Evaluasi
Pengembangan
Sikap
Toleransi
rendah
Evaluasi pengembangan sikap
toleransi dalam pembelajaran shalat
pada komponen konteks difokuskan
pada aspek latar belakang dan kebijakan
program. Informasi yang diperoleh
bahwa latar belakang program dan
kebijakan program secara umum telah
menunjukan tingkat kesesuaian baik.
Selama ini arus utama pemikiran
keagamaan termasuk pembelajaran
shalat masih bercorak teosentrisme
(berpusat kepada Tuhan) yang kadang
mengabaikan sisi kemanusiaan. Dalam
paradigma bahwa pendidikan AIK
mengandung
perspektif
teoantroposentrisme yang memadukan
antara orientasi “habl min Allah” dan
“habl min al-nas” sehingga utuh dan
seimbang. Dalam pengamalan ibadah,
Muhammadiyah berlandaskan prinsip
kembali kepada Al Quran dan AsSunnah Al Maqbulah. Kata AlMaqbulah menunjukkan bahwa haditshadits yang memiliki derajat hasan dan
ahad dapat dijadikan sebagai rujukan
ibadah. Oleh karena itu, gerakan dan
bacaan bisa saja berbeda dan diterima
selama masih memiliki sumber naqli
yang dapat dipertanggunjawabkan.
Oleh
karena
itu,
dalam
Musyawarah Nasional (Munas) Tarjih
Muhammadiyah di Malang dikenalkan
prinsip ibadah “At-Tanawwu’. Prinsip
At Tanawwu’ mengandung arti bahwa
50
Jurnal’ Tarbawi Khatulistiwa’ Vol.2 No. 2 2016
ISSN : 2442-756X
gerakan dan bacaan dalam ibadah
mahdhah
memungkinkan
berbeda
selama masih berlandaskan Al Quran
dan As-Sunnah. Disinilah, prinsip
menghargai perbedaan dalam beribadah
sebagai bagian dari nilai-nilai toleransi
yang harus dimuat dalam pembelajaran
ibadah di PTM termasuk UM
Pontianak.
Kesesuaian
evaluasi
pada
komponen konteks harus direspon
dengan kemampuan sistem yang akan
digunakan dalam program, strategi
untuk mencapai tujuan-tujuan program
dan rancangan implementasi strategi
yang dipilih sehingga program dapat
berjalan sesuai dengan tujuan. Namun
hasil evaluasi pada komponen input
yang difokuskan pada
aspek
mahasiswa, dosen dan kurikulum secara
umum masih berada di kriteria cukup.
Pembelajaran shalat diselenggarakan
atas dasar keragaman pengamalan
ibadah mahasiswa yang masih tinggi,
bukan karena menghargai perbedaan
tetapi karena latar belakang pendidikan
dan motivasi yang beragam.
Pada aspek dosen, dengan latar
belakang pendidikan Islam, dosen akan
lebih banyak memiliki kemampuan
dalam metodologi perubahan sikap
khususnya dalam memahami Islam,
tetapi disisi lain, dosen memiliki
keterbatasan dalam memahami sumbersumber hukum Islam kaitanyya dengan
sikap toleransi dan pembelajaran shalat.
Keterbatasan ini dapat diatasi dengan
kemauan dosen untuk mempelajari
hukum Islam secara komprehensif
melalui membaca buku dan lain-lain.
Sebagaimana yang diungkapkan salah
satu dosen AIK bahwa untuk
memperkuat pemahamannya dalam
praktek ibadah shalat, ia selalu
membaca buku-buku baru yang
diterbitkan oleh Muhammadiyah dan
mengakses internet.
Dilihat dari aspek bidang ilmu,
tidak ada satupun dosen yang
mengambil konsentrasi di bidang
hukum Islam. Padahal shalat merupakan
salah satu bagian dari hukum Islam.
Tidak heran kemudian kemampuan
pedagogis
dosen
lebih
kuat
dibandingkan kemampuan akademik
terkait pembelajaran shalat. Hal ini
tentu dapat diatasi kemauan dosen
untuk memperdalm keilmuannya di
bidang
hukum
Islam
(shalat)
sebagaimana di attas. Akan tetatapi
disisi
lain,
dengan
kemampuan
pedagogis yang baik, dosen akan lebih
mudah menanamkan nilai-nilai toleransi
yang baik kepada mahasiswa.
Pada
aspek
kurikulum,
Himpunan Putusan Tarjih menjadi
pedoman utama dalam menyusun
materi. Tarjih (menyimpulkan hukum)
yang dianut Muhammadiyah adalah
kegiatan intelektual untuk merespon
berbagai persoalan termasuk ibadah dari
sudut syairha tidak sekedar bertumpu
pada sejumlah prosedur dan teknik an
such, melainkan dilandasi semangat
pemahaman agama yang menjadi
karakteristik
pemikiran
Islam
Muhammadiyah.
Semangat
yang
dimaksud adalah tajdid, toleran, terbuka
dan tidak berafiliasi mazhab tertentu.
Pemurniaan
ibadah
yang selalu
didengungkan Muhammadiyah dengan
tajdidnya berarti menemukan bentuk
iabdah yang paling sesuai atau
mendekati sunnah dengan tidak
mengurangi
adanya
“Tanawwu’”
(keanekaragaman) dalam kaifiat ibadah.
Dalam prakteknya dosen AIK tidak mau
menggali kaifiat shalat yang ada di luar
putusan
HPT,
padahal
tarjih
memberikan peluang tersebut.
Selain itu, kurikulum shalat
yang digunakan lebih mengutamakan
aspek kognitif dan psikomotorik
dibandingkan aspek afektif. Sikap
51
Jurnal’ Tarbawi Khatulistiwa’ Vol.2 No. 2 2016
ISSN : 2442-756X
toleransi adalah wilayah atau ranah
afektf. Faktor utama aspek afektif
diabaikan adalah ketidakmampuan
dosen dalam mengembangkan materi
shalat pada ranah afektif dan kesulitan
dosen dalam menentukan metode dan
teknik evaluasi aspek afektif shalat.
Berdasarkan hasil wawancara misalnya,
dosen
tidak
mungkin
mampu
mengontrol dan mengawasi seluruh
ibadah shalat lima waktu yang
dilakukan oleh seluruh mahasiswa. Pada
aspek kurikulum juga, ditemukan
bahwa baik silabus maupun SAP yang
digunakan tidak merumuskan secara
konkrit dan jelas pengembangan sikap
toleransi mahasiswa.
Ketidakefektifan pada komponen
input tersebut di atas berpengaruh
terhadap kualitas kegiatan pembelajaran
yang merupakan inti dari pembelajaran
shalat. Artinya bahwa keberhasilan
pembelajaran
shalat
dalam
mengembangkan
sikap
toleransi
ditentukan oleh kualitas dosen dan
kurikulum.
Dilihat
dari
aspek
proses
(kegiatan pembelajaran) menunjukan
bahwa kegiatan pembelajaran yang
dilakukan oleh dosen cenderung belum
maksimal, yakni rata-rata sebesar 3.1
dari skala 5 atau sebesar 63%. Aspek
yang paling tinggi penilaiannya pada
aspek dosen memberikan kebebasan
mahasiswa untuk mengikuti salah satu
bacaan dan memotivasi mahasiswa
secara aktif untuk mendalami sumbersumber yang berbeda sebesar 80%.
Sedangkan aspek yang paling rendah
pada aspek dosen memfasilitasi
terjadinya interaksi diantara mahasiswa
dengan rata-rata 2.3 dari skala 5 atau
sebesar 45%.
Berdasarkan
evaluasi
pada
komponen
produk/output
yang
difokuskan kepada sikap toleransi
mahasiswa secara umum. Dari distribusi
data sikap tolernasi diperoleh bahwa
3,33% mahasiswa yang memiliki sikap
toleransi sekitar rerata, kemudian
sebanyak 45% di atas rerata dan 51,67%
di bawah rerata. Rerata skor (89,05)
yang lebih tingi dari nilai median (88)
juga menunjukkan bahwa sebagian
besar mahasiswa memiliki skor di
bawah rerata.
Temuan evaluasi pada komponen
input, proses dan produk yang telah
diuraikan di atas dapat berdampak pada
sikap toleransi sebagaimana yang
diharapkan. Kondisi ini pada akhirnya
akan bermuara kepada sikap mahasiswa
yang belum siap menerima perbedaan.
Jika disajikan dalam bentuk gambar
dapat dilihat sebagaimana di bawah ini:
52
Jurnal’ Tarbawi Khatulistiwa’ Vol.2 No. 2 2016
ISSN : 2442-756X
KETERKAITAN
KOMPONEN EVALUASI
EVALUASI
KONTEKS
EVALUASI
INPUT
EVALUASI
PROSES
EVALUASI
PRODUK
Sikap Toleransi
dalam
Pembelajaran
Shalat
LULUSAN BELUM SIAP MENERIMA
PERBEDAAN
Gambar 4.3
Keterkaitan Komponen Evaluasi
E. Penutup
Berdasarkan pembahasan di atas,
dapat disimpulkan sebagai berikut:
Pertama, konteks pembelajaran shalat
dalam mengembangkan sikap toleransi
mahasiswa
di
Universitas
Muhammadiyah (UM) Pontianak masih
relevan dengan visi dan tujuan
pendidikan
Al
Islam
Kemuhammadiyahan. Kedua, kualitas
input pembelajaran shalat dalam
mengembangkan
sikap
toleransi
mahasiswa di UM Pontianak kategori
cukup.
Ketiga,
kualitas
proses
pembelajaran
shalat
dalam
mengembangkan
sikap
toleransi
mahasiswa di UM Pontianak masih
rendah. Keempat, dampak kualitas
proses pembelajaran shalat dalam
mengembangkan sikap toleransi yang
rendah adalah rendahnya tingkat sikap
toleransi mahasiswa.
DAFTAR PUSTAKA
Achmad. 2003. Kamus Al Munawwar.
Semarang: Balai Pustaka.
Achmad Patoni. 2004. Metodologi
Pendidikan
Agama
Islam.
Jakarta: PT. Bina Ilmu
Anwar, Syamsul. 2012. Manhaj Tarjih
dan Metode Penetapan Hukum
dalam Tarjih Muhammadiyah.
(Makalah) Yogyakarta.
Bachtiar, Effendi. 2001. Menumbuhkan
Sikap Menghargai Pluralisme
Agama
di
Indonesia,”
Pluralisme,
Konflik
dan
Pendidikan Agama di Indoensia,
Th. Sumartana. Yogyakarta:
Dian Interfedei.
53
Jurnal’ Tarbawi Khatulistiwa’ Vol.2 No. 2 2016
ISSN : 2442-756X
Djaali
dan Pudji Mulyono. 2004.
Pengukuran
dalam
Bidang
Pendidikan. Jakarta: PPs UNJ.
Gronlund, Norman E. and Robert L.
Linn. 1990. Measurement and
Evaluation Teaching. New York
:
MacMillan
Publishing
Company.
Hasbi Ash Shiddieqi. 1986. Pedoman
Shalat. Jakarta: Bulan Bintang.
Lexy J. Moleong. 2000. Metodologi
Penelitian Kualitatif. Bandung:
PT Remaja Rosdakarya.
Lumpkin, A. 2008. Teacher as Role
Models Teaching Character and
MoralVirtues.
Journal
of
Physical Education Recreation
and Dance.
M. Furqon Hidayatullah. 2010. Guru
Sejati:
Membangun
Insan
Berkarakter Kuat & Cerdas.
Surakarta: Yuma Pustaka.
Majelis Pendidikan Tinggi Pimpinan
Pusat Muhammadiyah. Pedoman
Pendidikan
Al
Islam
Kemuhammadiyahan Perguruan
Tinggi
Muhammadiyah.
Yogyakarta.
Michael Quinn Patton. 2006. Metode
Evaluasi Kualitatif. Yogyakarta,
PustakaPelajar.
Misrawi, Zuhairi. 2007. Al Qur’an
Kitab
Toleransi.
Jakarta:
Cendekia.
Paterson, Sarah. 2003. Tolerence,
Beyond Intractability. Eds.Guy
Burgess and Heidi Burgess,
Conflict Research Consortium,
University of Colorado,. diakses
2008
di
www.beyondintractability.org/es
say/tolerance.
Pimpinan Pusat Muhammadiyah. 2013.
Himpunan
Putusan
Tarjih
Muhammadiyah, Edisi Khusus.
Yogyakarta:
Suara
Muhammadiyah.
Poerwadarminta, W.J.S. 2002. Kamus
Umum
Bahasa
Indonesia.
Jakarta:
Pusat
Bahasa
Depdiknas, Balai Pustaka.
Sadjali, Munawir. 1993. Islam dan Tata
Negara: Ajaran, sejarah dan
Pemikiran. Jakarta: UI Press.
Sidi Gazalba. 2005. Asas Agama Islam,
Bulan Bintang. Jakarta: Bulan
Bintang.
Syakir Jamaluddin, MA. 2009. Shalat
Seuai Tuntunan Nabi Saw,
Mengupas Kontroversi Hadis
Sekitar Shalat. Yoyakarta, LPPI
UMY
UNESCO. 1995. .Declaration of
Principline on Tolerance. Paris:,
Cultute of Peace program
Walzer, Michael. 1997.On Toleration.
New Haven and London: Yale
University Press.
54
ISSN : 2442-756X
EVALUASI PEMBELAJARAN FIQIH DALAM MENGEMBANGKAN
SIKAP TOLERANSI MAHASISIWA UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
PONTIANAK
Oleh
Heriansyah
Dosen PAI UM Pontianak
ABSTRAK
Tulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan mengevaluasi efektifitas pembelajaran
Shalat di Universitas Muhammadiyah (UM) Pontianak dalam mengembangkan sikap
toleransi. Fiqih Shalat adalah salah satu materi wajib pada mata kuliah Shalat dan
Ibadah Mahdhah yang diselenggarakan di seluruh program studi UM Pontianak yang
memuat tentang prinsip-prinsip dan tatacara pelaksanaan Shalat sebagai ibadah dengan
benar dan baik. Jenis penelitian yang digunakan adalah evaluasi dengan model CIPP
(Context, Input, Process dan Product) dari Stufflebeam. Hasil penelitian ditemukan:
Pertama, konteks pembelajaran shalat dalam mengembangkan sikap toleransi
mahasiswa di Universitas Muhammadiyah (UM) Pontianak masih relevan dengan visi
dan tujuan pendidikan Al Islam Kemuhammadiyahan. Kedua, kualitas input
pembelajaran shalat dalam mengembangkan sikap toleransi mahasiswa di UM
Pontianak kategori cukup. Ketiga, kualitas proses pembelajaran shalat dalam
mengembangkan sikap toleransi mahasiswa di UM Pontianak masih rendah. Keempat,
dampak kualitas proses pembelajaran shalat dalam mengembangkan sikap toleransi
yang rendah adalah rendahnya tingkat sikap toleransi mahasiswa
Kata Kunci: Evaluasi, Pembelajaran Shalat, Toleransi
A. Pendahuluan
yang essensial dalam hidup dan
kehidupan manusia. Salah satu aspek
pendidikan
terpenting
dalam
pembelajaran di UM Pontianak adalah
pengintegrasian mata kuliah Al Islam
Kemuhammadiyahan (AIK) dalam
semua kurikulum program studi. Tujuan
pembelajaran AIK di Perguruan Tinggi
Muhammadiyah (PTM) termasuk UM
Pontianak adalah terbentuknya manusia
pembelajar yang bertaqwa, berakhlak
mulia, berkemajuan dan unggul dalam
IPTEKS sebagai perwujudan tajdid
Mahasiswa
Universitas
Muhammadiyah
(UM)
Pontianak
memiliki latar belakang yang majemuk.
Hal
ini
ditandai
dengan
keanekaragaman suku, agama, budaya
dan bahasa yang dimiliki. Dalam
kehidupan beragama, kerukunan antar
suku, agama dan budaya harus selalu
dijaga dan dibina diantaranya dengan
mengembangkan sikap toleransi.
Salah satu pranata penting dalam
pengembangan sikap toleransi adalah
pendidikan. Pendidikan merupakan hal
44
Jurnal’ Tarbawi Khatulistiwa’ Vol.2 No. 2 2016
ISSN : 2442-756X
dakwah amar makruf nahi mungkar.
(Pedoman AIK 2014)
Salah satu mata kuliah AIK di
UM Pontianak adalah Shalat dan Ibadah
Mahdhah. Pembelajaran Shalat adalah
termasuk pembelajaran Fiqh yang
menekankan pada kemampuan cara
melaksanakan ibadah yang benar dan
baik. Hanya saja dalam proses
pembelajaran fiqih termasuk fiqih
Shalat masih terdapat berbagai kendala.
Pembelajaran fiqih kadang belum
berperan
semestinya
dalam
pengembangan manusia seutuhnya
khususnya dalam mengembangkan
sikap
saling
menghargai
antar
perbedaan. Sikap saling menghargai
antar perbedaan tercermin dalam
keragaman pendapat ahli fiqih dalam
memutuskan suatu perkara ibadah.
1. Pembelajaran Fiqih
B. Tinjauan Pustaka
Fiqih adalah pengetahuan tentang
hukum-hukum syariat Islam mengenai
perbuatan manusia, yang diambil dari
dalil secara terperinci (Khallaf, 2001:2)
Artinya fiqih adalah ilmu yang
menjelaskan tentang hukum syari’ah
yang berhubungan dengan segala
perbuatan manusia termasuk ucapan
yang diambil atau disimpulkan dari
dalil-dalil atau nash-nash syariat Islam.
Pembelajaran Fiqih merupakan
bagian dari pendidikan agama Islam
yang bertujuan untuk menumbuhkan
dan meningkatkan keimanan, melalui
pemberian
dan
pemupukan
pengetahuan, penghayatan, pengamalan
serta pengalaman peserta didik dalam
aspek hukum baik yang berupa ajaran
ibadah maupun muamalah sehingga
menjadi manusia muslim yang terus
berkembang dalam hal keimanan,
ketaqwaannya kepada Allah SWT serta
berakhlak mulia dalam kehidupan.
Dari definisi yang dijelaskan di
atas
dapat
disimpulkan
bahwa
pembelajaran Fiqih itu tidak hanya
dilakukan di dalam kelas, akan
tetapiseluruh kegiatan yang dirancang
untuk mencapai tujuan Fiqih. Selain
itu,pembelajaran Fiqih juga banyak
mengandung
aspek
nilai,
maka
pembelajaranyang hanya mengarah
pada aspek kognitif saja merupakan
suatu kesalahanbesar. Oleh karena itu,
pembelajarannya harus mengarah pada
tiga aspek,yaitu kognitif, afektif, dan
psikomotorik.
Mengacu kepada pengertian di
atas, maka materi Fiqih perlu
dikembangkan
dalam
suasana
pembelajaran yang terpadu, meliputi:
Keimanan, Pengamalan, Pembiasaan,
Rasional, Emosional, Fungsional, dan
Keteladanan.
2. Fiqih Shalat
kepada
Allah,
secara
yang
mendatangkan takut kepada-Nya serta
menumbuhkan di dalam jiwa rasa
kebesarannya
dan
kesempurnaan
kekuasaan-Nya” atau “mendahirkan
hajat dan keperluan kita kepada Allah
yang kita sembah dengan perkataan dan
pekerjaan atau dengan kedua – duanya”
(Ash-Shiddieqy, 1986: 59). Dalam
pengertian lain shalat ialah salah satu
sarana komunikasi antara hamba dengan
Secara etimologi (bahasa) shalat
adalah do’a. Secara terminologi
(istilah), para ahli fiqih mengartikan
secara lahir dan hakiki. Secara lahiriah
shalat berarti beberapa ucapan dan
perbuatan yang dimulai dengan takbir
dan diakhiri dengan salam, yang
dengannya kita beribadah kepada Allah
menurut syarat – syarat yang telah
ditentukan (Gazalba, 2005: 88). Secara
hakikinya ialah “berhadapan hati (jiwa)
45
Jurnal’ Tarbawi Khatulistiwa’ Vol.2 No. 2 2016
ISSN : 2442-756X
Tuhannya sebagai bentuk, ibadah yang
di dalamnya merupakan amalan yang
tersusun dari beberapa perkataan dan
perbuatan yang dimulai dengan
takbiratul ikhram dan diakhiri dengan
salam, serta sesuai dengan syarat dan
rukun yang telah ditentukan syara’.
Dari beberapa pengertian di atas
dapat disimpulkan bahwa shalat adalah
3. Pengembangan Sikap Toleransi
Toleransi secara bahasa adalah
terjemahan dari kata “tolerantie”
(bahasa Belanda) atau “tolerance”
(bahasa
Inggris)
yang
artinya
mendiamkan diri. Dalam kamus bahasa
Indonesia, toleransi diartikan “sifat atau
sikap menenggang (yaitu menghargai,
membiarkan, membolehkan) pendirian
(pendapat, pandangan, kepercayaan,
kebiasaan,
kelakuan
dan
lain
sebagainya) yang lain bertentangan
dengan
pendiriannya
sendiri
(Poerwadarminta, 2002: 225). Dalam
bahasa
Arab,
toleransi
adalah
terjemahan kata “tasamuh” atau
“ikhtimal”
yang
artinya
sikap
membiarkan atau lapang dada (Achmad,
2003: 72).
Peterson
(2003)
memaknai
toleransi sebagai penghargaan atas
keanekaragaman dan kemampuan untuk
tinggal dan hidup bersama. Walzer
(2007: 2) memahami toleransi sebagai
koeksistensi
damai
(paeceful
coexistence) kelompok masyarakat yang
memiliki sejarah, budaya dan identitas
berbeda.
Ia
lebih
cenderung
menggunakan istilah “tolerantion”
dibandingkan “tolerance” sebagai objek
kajiannya.
Dalam piagam deklarasi toleransi,
UNESCO (1995) mengartikan toleransi
dalam empat hal yaitu: Pertama,
toleransi adalah adalah rasa hormat,
penerimaan dan penghargaan terhadap
keanekaragaman
kultur
dunia,
kebebasan ekspresi dan pilihan hidup
merupakan ibadah kepada Tuhan,
berupa perkataan denga perbuatan yang
diawali dengan takbir dan diakhiri
dengan salam menurut syarat dan rukun
yang telah ditentukan syara”. Juga
shalat merupakan penyerahan diri (lahir
dan bathin) kepada Allah dalam rangka
ibadah dan memohon ridho-Nya.
manusia. Toleransi adalah keselarasan
di dalam perbedaan, ia tidak hanya
urusan moral, tetapi juga kepentingan
politis dan ketentuan hukum. Kedua,
toleransi bukanlah pemberian atau
hadiah, toleransi adalah suatu sikap
yang aktif yang diinspirasikan oleh
penegakan hak asasi manusia dan asas
kebebasan yang universal untuk yang
lain. Toleransi adalah untuk dan oleh
individu, kelompok dan negara.Ketiga,
toleransi adalah tanggung jawab dalam
menegakkan hak asasi manusia,
pluralisme
(termasuk
pluralisme
budaya), demokrasi dan kepastian
hukum. Keempat, selaras untuk
menghormati hak asasi manusia,
praktek dari toleransi tidak berarti
pentoleransian terhadap ketidakadilan
sosial
atau
keterpinggiran,
atau
perlemahan keyakinan.
Dalam Islam, tema toleransi
bukanlah hal baru. Al-Quran sebagai
sumber moral Islam sudah menegaskan
prinsip-prinsip toleransi antara lain:
prinsip kemulian manusia, prinsip
kemanusiaan, prinsip kerelaan, prinsip
saling menghormati, saling menghargai
dan mengakui perbedaan. Prinsipprinsip ini oleh nabi Muhammad SAW.
menjadi spirit yang disusun dalam
pasal-pasal piagam Madinah ketika
membentuk masyarakat politik Islam
(Sadjali, 1993: 13-14). Prinsip-prinsip
tersebut pula oleh Misrawi (2007: 170190) dapat ditafsirkan bahwa toleransi
dalam Islam tidak sekadar toleransi
pasif yaitu sekedar menghormati orang
46
Jurnal’ Tarbawi Khatulistiwa’ Vol.2 No. 2 2016
ISSN : 2442-756X
lain dengan sikap inklusif melainkan
juga menekankan pentingnya pluralisme
dan multikulturalisme. Menurutnya
toleransi adalah kesedian untuk hidup
berdamai (peaceful coexistance) dan
mengakui perbedaan.
model
evaluasi
yang
dipeloporiolehStufflebeam di Ohio
State University, yaitu CIPP evaluation
model. Model evaluasi ini merupakan
model yang cukup komperhensif dan
dapat menjangkau kegiatan yang luas.
CIPP merupakan kepanjangan dari
Context, Input, process dan Product
(Stufflebeamdan J. Shinkfield, 153179). Model CIPP disusun dengan
tujuan
untuk
melengkapi
dasar
pembuatan keputusan dalam evaluasi
sistem dengan analisis yang berorientasi
pada perubahan terencana. Batasan
tersebut mempunyai tiga asumsi
mendasar, yaitu: (1) menyatakan
pertanyaan yang berorientasi untuk
mendapatkan informasi spesifik, (2)
memerlukan data yang relevan, untuk
mendukung identifikasi tercapainya
masing-masing komponen dan (3)
menyediakan informasi yang diperlukan
oleh
para
pembuat
keputusan
peningkatan program (Sukardi: 2008,
63).
Model CIPP ini merupakan model
evaluasi yang memandang program
yang dievaluasi sebagai sebuah sistem.
Keunikan model ini adalah pada setiap
tipe evaluasi terkait pada perangkat
pengambil keputusan (decission) yang
menyangkut
perencanaan
dan
operasional
sebuah
program.Keunggulan
model
CIPP
memberikan suatu format evaluasi yang
komprehensif pada setiap tahapan
evaluasi.
C. Metode Evaluasi
Penelitian
evaluasi
juga
merupakan
penelitian
yang
menggunakan pendekatan kualitatif.
Metode kualitatif dapat memberikan
keluluasaan kepada peneliti untuk
menggali isu-isu atau kejadian secara
mendalam dan rinci tentang sebuah
fakta (Patton, 2006: 6). Penelitian
kualitatif adalah sebagai prosedur
4. Evaluasi Program
Sanders (2004: 3) mendefinisikan
evaluasi sebagai kegiatan investigasi
yang sistimatis tentang kebenaran atau
keberhasilan suatu tujuan. Kufman and
Thomas, (1980:4) menyatakan bahwa
evaluasi adalah proses yang digunakan
untuk menilai.Hal senada dikemukakan
oleh (Djaali, Mulyono dan Ramly,
2000:3)
mendefinisikan
evaluasi
sebagai
proses
menilai
sesuatu
berdasarkan kriteria atau standar
objektif yang dievaluasi.
Evaluasi program menurut Joint
Commite yang dikutip oleh Brinkerhof
(1986:xv) adalah aktivitas investigasi
yang sistematis tentang sesuatu yang
berharga dan bernilai dari suatu obyek.
Pendapat lain, Denzin dan Lincoln
(2000:983) mengatakan bahwa evaluasi
program berorientasi sekitar perhatian
dari penentu kebijakan dari penyandang
dana secara karakteristik memasukkan
pertanyaan penyebab tentang tingkat
terhadap mana program telah mencapai
tujuan yang diinginkan. Selanjutnya
McNamara
(2008:3)
mengatakan
evaluasi
program
mengumpulkan
informasi tentang suatu program atau
beberapa aspek dari suatu program guna
membuat keputusan penting tentang
program tersebut. Keputusan-keputusan
yang diambil
dijadikan
sebagai
indikator-indikator penilaian kinerja
atau assessment performance pada
setiap tahapan evaluasi dalam tiga
kategori yaitu rendah, moderat dan
tinggi (Issac and Michael, 1982:22).
Model riset evaluasi yang
digunakan dalam penelitian ini adalah
47
Jurnal’ Tarbawi Khatulistiwa’ Vol.2 No. 2 2016
ISSN : 2442-756X
penelitian yang menghasilkan data
deskriptif berupa kata-kata tertulis atau
lisan dari orang-orang dan perilaku
yang dapat diamati (Moleong, 2000; 3).
Metode kualitatif dimaksudkan agar
dapat diperoleh pemahaman dan
penafsiran yang relatif mendalam
tentang makna dari fenomena yang ada
di lapangan.
Penelitian ini akan dilakukan di
semua program studi yang ada di
Universitas Muhammadiyah Pontianak.
Pengumpulan data dilakukan dengan
menghimpun data-data, baik berupa
data primer maupun data sekunder. Data
primer adalah data yang akan dihimpun
melalui kuisioner dan wawancara.
Sumber data primer antara lain: Dosen
Mata Kuliah Shalat dan Ibadah
Mahdhah dari masing-masing program
studi, dan mahasiswa dari tiap-tiap
program
studi.
Data
sekunder
didapatkan dari data atau dokumendokumen yang sudah ada.
D. Hasil Penelitian & Pembahasan
1. Hasil Evaluasi Konteks
Tabel Hasil Evaluasi Pada Komponen Konteks
Aspek yang
Dievaluasi
Latar belakang &
Profil
Landasan
Kebijakan
Hasil
Pembelajaran AIK bersifat teo-antroposentrisme yang
memadukan orientasi habl min Allah dan habl min an-nas
sehingga menjadi kebutuhan manusia
Memiliki visi, misi&tujuan serta telah disosialisasikan dan
dapat memberi motivasi pada pihak yang terlibat
Pembelajaran Shalat sebagai bagian dari pendidikan AIK
harus dipahami sebagai petunjuk yang dapat dipahami
secara cerdas, kritis dan kontekstual oleh mahasiswa.
Program diselenggarakan berdasarkan kepada kebijakan
mulai dari tingkat pusat sampai dengan PTM
Seluruh
kebijakan
merumuskan
secara
tersirat
pengembangan kepribadian mahasiswa termasuk sikap
toleransi
2. Hasil Evaluasi Komponen Input
Hasil Evaluasi Komponen Input
Komponen
Evaluasi
Hasil
Mahasiswa
Latarbelakang
pendidikan
mayoritas
SMA,
kemampuan baca Al Quran beragam, motivasi kuliah
48
Jurnal’ Tarbawi Khatulistiwa’ Vol.2 No. 2 2016
ISSN : 2442-756X
karena tidak lulus PTN dan diajak teman.
Pola rekruitmen dengan standar penilaian yang rendah
Semua magister tetapi mayoritas bukan bidang
keahlian Hukum Islam.
Direkrut dari prodi PAI tanpa seleksi kemampuan AIK
Mengacu pedoman AIK yang berlaku
Rujukan utama materi Himpunan Putusan Tarjih
Evaluasi kurikulum terus menerus
Materi didomonasi aspek kognitif (hafalan) dan
psikomotorik (gerakan) shalat
Dosen
Kurikuklum
3. Hasil Evaluasi Komponen Proses
Tabel Hasil Evaluasi Komponen Proses
Komponen
Evaluasi
Perencanaan
pembelajaran
Kegiatan
pembelajaran
Evaluasi
Pembelajaran
Hasil
Memiliki silabus & SAP tetapi tidak berwawasan
karakter
Tidak ada rumusan sikap toleransi
Kegiatan dosen cenderung belum maksimal
teruatama pada aspek memfasilitasi terjadinya
interaksi diantara mahasiswa.
Metode pembelajaran yang digunakan masih
konvensional.
Bentuk tes yang digunakan tes tulisan, lisan dan
perbuatan.
Belum dikembangkan teknik non-tes
Aplikasi sikap toleransi dalam penilaian
diwujudkan melalui kebebasan mahasiswa
memperagakan bacaan dan gerakan shalat
4. Hasil Evaluasi Komponen Produk
Tabel Hasil Evaluasi pada Komponen Produk
Komponen
Hasil
Evaluasi
Sikap Toleransi
Mayoritas di bawah nilai rata-rata
49
Jurnal’ Tarbawi Khatulistiwa’ Vol.2 No. 2 2016
ISSN : 2442-756X
Pengamalan Ibadah Shalat
Beragam dan dibiarkan
Beberapa mahasiswa tidak siap dan mau
berubah
Hasil evaluasi secara umum
menunjukan pada tingkat kesesuaian
cukup dan rendah, hanya pada evaluasi
konteks yang menunjukan pada
kesesuaian baik. Untuk lebih jelas
disajikan dalam gambar di bawah ini:
PETA HASIL PENELITIAN
Pe nge m banga n
Sik a p Tole ra nsi
da la m
Pe m be la ja ra n
Sha lat
EVALUASI
KONTEKS
EVALUASI
INPUT
EVALUASI
PROSES
EVALUASI
PRODUK
Latar Belakang
dan Kebijakan
program
Mahasiswa, Dosen,
Kurikulum
Perencanaan,
Pelaksanaan, Metode
dan Evaluasi
Pembelajaran
Sikap Toleransi &
Pengamalan
Baik
Cukup
Kurang
Kurang
Gambar 4.2
Keterangan:
menunjukan
tingkat kesesuaian
cukup
&
PetaWarna
Hasilmerah
Evaluasi
Pengembangan
Sikap
Toleransi
rendah
Evaluasi pengembangan sikap
toleransi dalam pembelajaran shalat
pada komponen konteks difokuskan
pada aspek latar belakang dan kebijakan
program. Informasi yang diperoleh
bahwa latar belakang program dan
kebijakan program secara umum telah
menunjukan tingkat kesesuaian baik.
Selama ini arus utama pemikiran
keagamaan termasuk pembelajaran
shalat masih bercorak teosentrisme
(berpusat kepada Tuhan) yang kadang
mengabaikan sisi kemanusiaan. Dalam
paradigma bahwa pendidikan AIK
mengandung
perspektif
teoantroposentrisme yang memadukan
antara orientasi “habl min Allah” dan
“habl min al-nas” sehingga utuh dan
seimbang. Dalam pengamalan ibadah,
Muhammadiyah berlandaskan prinsip
kembali kepada Al Quran dan AsSunnah Al Maqbulah. Kata AlMaqbulah menunjukkan bahwa haditshadits yang memiliki derajat hasan dan
ahad dapat dijadikan sebagai rujukan
ibadah. Oleh karena itu, gerakan dan
bacaan bisa saja berbeda dan diterima
selama masih memiliki sumber naqli
yang dapat dipertanggunjawabkan.
Oleh
karena
itu,
dalam
Musyawarah Nasional (Munas) Tarjih
Muhammadiyah di Malang dikenalkan
prinsip ibadah “At-Tanawwu’. Prinsip
At Tanawwu’ mengandung arti bahwa
50
Jurnal’ Tarbawi Khatulistiwa’ Vol.2 No. 2 2016
ISSN : 2442-756X
gerakan dan bacaan dalam ibadah
mahdhah
memungkinkan
berbeda
selama masih berlandaskan Al Quran
dan As-Sunnah. Disinilah, prinsip
menghargai perbedaan dalam beribadah
sebagai bagian dari nilai-nilai toleransi
yang harus dimuat dalam pembelajaran
ibadah di PTM termasuk UM
Pontianak.
Kesesuaian
evaluasi
pada
komponen konteks harus direspon
dengan kemampuan sistem yang akan
digunakan dalam program, strategi
untuk mencapai tujuan-tujuan program
dan rancangan implementasi strategi
yang dipilih sehingga program dapat
berjalan sesuai dengan tujuan. Namun
hasil evaluasi pada komponen input
yang difokuskan pada
aspek
mahasiswa, dosen dan kurikulum secara
umum masih berada di kriteria cukup.
Pembelajaran shalat diselenggarakan
atas dasar keragaman pengamalan
ibadah mahasiswa yang masih tinggi,
bukan karena menghargai perbedaan
tetapi karena latar belakang pendidikan
dan motivasi yang beragam.
Pada aspek dosen, dengan latar
belakang pendidikan Islam, dosen akan
lebih banyak memiliki kemampuan
dalam metodologi perubahan sikap
khususnya dalam memahami Islam,
tetapi disisi lain, dosen memiliki
keterbatasan dalam memahami sumbersumber hukum Islam kaitanyya dengan
sikap toleransi dan pembelajaran shalat.
Keterbatasan ini dapat diatasi dengan
kemauan dosen untuk mempelajari
hukum Islam secara komprehensif
melalui membaca buku dan lain-lain.
Sebagaimana yang diungkapkan salah
satu dosen AIK bahwa untuk
memperkuat pemahamannya dalam
praktek ibadah shalat, ia selalu
membaca buku-buku baru yang
diterbitkan oleh Muhammadiyah dan
mengakses internet.
Dilihat dari aspek bidang ilmu,
tidak ada satupun dosen yang
mengambil konsentrasi di bidang
hukum Islam. Padahal shalat merupakan
salah satu bagian dari hukum Islam.
Tidak heran kemudian kemampuan
pedagogis
dosen
lebih
kuat
dibandingkan kemampuan akademik
terkait pembelajaran shalat. Hal ini
tentu dapat diatasi kemauan dosen
untuk memperdalm keilmuannya di
bidang
hukum
Islam
(shalat)
sebagaimana di attas. Akan tetatapi
disisi
lain,
dengan
kemampuan
pedagogis yang baik, dosen akan lebih
mudah menanamkan nilai-nilai toleransi
yang baik kepada mahasiswa.
Pada
aspek
kurikulum,
Himpunan Putusan Tarjih menjadi
pedoman utama dalam menyusun
materi. Tarjih (menyimpulkan hukum)
yang dianut Muhammadiyah adalah
kegiatan intelektual untuk merespon
berbagai persoalan termasuk ibadah dari
sudut syairha tidak sekedar bertumpu
pada sejumlah prosedur dan teknik an
such, melainkan dilandasi semangat
pemahaman agama yang menjadi
karakteristik
pemikiran
Islam
Muhammadiyah.
Semangat
yang
dimaksud adalah tajdid, toleran, terbuka
dan tidak berafiliasi mazhab tertentu.
Pemurniaan
ibadah
yang selalu
didengungkan Muhammadiyah dengan
tajdidnya berarti menemukan bentuk
iabdah yang paling sesuai atau
mendekati sunnah dengan tidak
mengurangi
adanya
“Tanawwu’”
(keanekaragaman) dalam kaifiat ibadah.
Dalam prakteknya dosen AIK tidak mau
menggali kaifiat shalat yang ada di luar
putusan
HPT,
padahal
tarjih
memberikan peluang tersebut.
Selain itu, kurikulum shalat
yang digunakan lebih mengutamakan
aspek kognitif dan psikomotorik
dibandingkan aspek afektif. Sikap
51
Jurnal’ Tarbawi Khatulistiwa’ Vol.2 No. 2 2016
ISSN : 2442-756X
toleransi adalah wilayah atau ranah
afektf. Faktor utama aspek afektif
diabaikan adalah ketidakmampuan
dosen dalam mengembangkan materi
shalat pada ranah afektif dan kesulitan
dosen dalam menentukan metode dan
teknik evaluasi aspek afektif shalat.
Berdasarkan hasil wawancara misalnya,
dosen
tidak
mungkin
mampu
mengontrol dan mengawasi seluruh
ibadah shalat lima waktu yang
dilakukan oleh seluruh mahasiswa. Pada
aspek kurikulum juga, ditemukan
bahwa baik silabus maupun SAP yang
digunakan tidak merumuskan secara
konkrit dan jelas pengembangan sikap
toleransi mahasiswa.
Ketidakefektifan pada komponen
input tersebut di atas berpengaruh
terhadap kualitas kegiatan pembelajaran
yang merupakan inti dari pembelajaran
shalat. Artinya bahwa keberhasilan
pembelajaran
shalat
dalam
mengembangkan
sikap
toleransi
ditentukan oleh kualitas dosen dan
kurikulum.
Dilihat
dari
aspek
proses
(kegiatan pembelajaran) menunjukan
bahwa kegiatan pembelajaran yang
dilakukan oleh dosen cenderung belum
maksimal, yakni rata-rata sebesar 3.1
dari skala 5 atau sebesar 63%. Aspek
yang paling tinggi penilaiannya pada
aspek dosen memberikan kebebasan
mahasiswa untuk mengikuti salah satu
bacaan dan memotivasi mahasiswa
secara aktif untuk mendalami sumbersumber yang berbeda sebesar 80%.
Sedangkan aspek yang paling rendah
pada aspek dosen memfasilitasi
terjadinya interaksi diantara mahasiswa
dengan rata-rata 2.3 dari skala 5 atau
sebesar 45%.
Berdasarkan
evaluasi
pada
komponen
produk/output
yang
difokuskan kepada sikap toleransi
mahasiswa secara umum. Dari distribusi
data sikap tolernasi diperoleh bahwa
3,33% mahasiswa yang memiliki sikap
toleransi sekitar rerata, kemudian
sebanyak 45% di atas rerata dan 51,67%
di bawah rerata. Rerata skor (89,05)
yang lebih tingi dari nilai median (88)
juga menunjukkan bahwa sebagian
besar mahasiswa memiliki skor di
bawah rerata.
Temuan evaluasi pada komponen
input, proses dan produk yang telah
diuraikan di atas dapat berdampak pada
sikap toleransi sebagaimana yang
diharapkan. Kondisi ini pada akhirnya
akan bermuara kepada sikap mahasiswa
yang belum siap menerima perbedaan.
Jika disajikan dalam bentuk gambar
dapat dilihat sebagaimana di bawah ini:
52
Jurnal’ Tarbawi Khatulistiwa’ Vol.2 No. 2 2016
ISSN : 2442-756X
KETERKAITAN
KOMPONEN EVALUASI
EVALUASI
KONTEKS
EVALUASI
INPUT
EVALUASI
PROSES
EVALUASI
PRODUK
Sikap Toleransi
dalam
Pembelajaran
Shalat
LULUSAN BELUM SIAP MENERIMA
PERBEDAAN
Gambar 4.3
Keterkaitan Komponen Evaluasi
E. Penutup
Berdasarkan pembahasan di atas,
dapat disimpulkan sebagai berikut:
Pertama, konteks pembelajaran shalat
dalam mengembangkan sikap toleransi
mahasiswa
di
Universitas
Muhammadiyah (UM) Pontianak masih
relevan dengan visi dan tujuan
pendidikan
Al
Islam
Kemuhammadiyahan. Kedua, kualitas
input pembelajaran shalat dalam
mengembangkan
sikap
toleransi
mahasiswa di UM Pontianak kategori
cukup.
Ketiga,
kualitas
proses
pembelajaran
shalat
dalam
mengembangkan
sikap
toleransi
mahasiswa di UM Pontianak masih
rendah. Keempat, dampak kualitas
proses pembelajaran shalat dalam
mengembangkan sikap toleransi yang
rendah adalah rendahnya tingkat sikap
toleransi mahasiswa.
DAFTAR PUSTAKA
Achmad. 2003. Kamus Al Munawwar.
Semarang: Balai Pustaka.
Achmad Patoni. 2004. Metodologi
Pendidikan
Agama
Islam.
Jakarta: PT. Bina Ilmu
Anwar, Syamsul. 2012. Manhaj Tarjih
dan Metode Penetapan Hukum
dalam Tarjih Muhammadiyah.
(Makalah) Yogyakarta.
Bachtiar, Effendi. 2001. Menumbuhkan
Sikap Menghargai Pluralisme
Agama
di
Indonesia,”
Pluralisme,
Konflik
dan
Pendidikan Agama di Indoensia,
Th. Sumartana. Yogyakarta:
Dian Interfedei.
53
Jurnal’ Tarbawi Khatulistiwa’ Vol.2 No. 2 2016
ISSN : 2442-756X
Djaali
dan Pudji Mulyono. 2004.
Pengukuran
dalam
Bidang
Pendidikan. Jakarta: PPs UNJ.
Gronlund, Norman E. and Robert L.
Linn. 1990. Measurement and
Evaluation Teaching. New York
:
MacMillan
Publishing
Company.
Hasbi Ash Shiddieqi. 1986. Pedoman
Shalat. Jakarta: Bulan Bintang.
Lexy J. Moleong. 2000. Metodologi
Penelitian Kualitatif. Bandung:
PT Remaja Rosdakarya.
Lumpkin, A. 2008. Teacher as Role
Models Teaching Character and
MoralVirtues.
Journal
of
Physical Education Recreation
and Dance.
M. Furqon Hidayatullah. 2010. Guru
Sejati:
Membangun
Insan
Berkarakter Kuat & Cerdas.
Surakarta: Yuma Pustaka.
Majelis Pendidikan Tinggi Pimpinan
Pusat Muhammadiyah. Pedoman
Pendidikan
Al
Islam
Kemuhammadiyahan Perguruan
Tinggi
Muhammadiyah.
Yogyakarta.
Michael Quinn Patton. 2006. Metode
Evaluasi Kualitatif. Yogyakarta,
PustakaPelajar.
Misrawi, Zuhairi. 2007. Al Qur’an
Kitab
Toleransi.
Jakarta:
Cendekia.
Paterson, Sarah. 2003. Tolerence,
Beyond Intractability. Eds.Guy
Burgess and Heidi Burgess,
Conflict Research Consortium,
University of Colorado,. diakses
2008
di
www.beyondintractability.org/es
say/tolerance.
Pimpinan Pusat Muhammadiyah. 2013.
Himpunan
Putusan
Tarjih
Muhammadiyah, Edisi Khusus.
Yogyakarta:
Suara
Muhammadiyah.
Poerwadarminta, W.J.S. 2002. Kamus
Umum
Bahasa
Indonesia.
Jakarta:
Pusat
Bahasa
Depdiknas, Balai Pustaka.
Sadjali, Munawir. 1993. Islam dan Tata
Negara: Ajaran, sejarah dan
Pemikiran. Jakarta: UI Press.
Sidi Gazalba. 2005. Asas Agama Islam,
Bulan Bintang. Jakarta: Bulan
Bintang.
Syakir Jamaluddin, MA. 2009. Shalat
Seuai Tuntunan Nabi Saw,
Mengupas Kontroversi Hadis
Sekitar Shalat. Yoyakarta, LPPI
UMY
UNESCO. 1995. .Declaration of
Principline on Tolerance. Paris:,
Cultute of Peace program
Walzer, Michael. 1997.On Toleration.
New Haven and London: Yale
University Press.
54