Rumah Aspirasi Untuk Rakyat dari
RUMAH (ASPIRASI) UNTUK RAKYAT INDONESIA
Terlepas dari keberlanjutan babak baru kisruh yang terjadi antara Polri vs KPK, dan
perseteruan Ahok dengan DPRD DKI Jakarta, yang cukup menyita perhatian publik beberapa
pekan lalu, ada satu wacana yang menurut penulis sangat krusial dalam kaitannya dengan
pelaksanaan demokratisasi di Indonesia. Akan tetapi wacana ini tidak muncul ke permukaan
publik, sehingga kurang mendapat perhatian dari masyarakat, yaitu pengadaan Dana Rumah
Aspirasi bagi Anggota DPR, yang kedepannya menurut penulis dapat berpotensi menjadi
“lumbung” baru untuk melalukan tindak korupsi. Wacana ini justru baru muncul ketika anggaran
sudah disahkan. Dalam perumusan APBN-P 2015, dimana Badan Urusan Rumah Tangga DPR
telah merinci pembagian anggaran tambahan Rp 12,5 juta/bulan untuk 560 anggota DPR.
Perlu diketahui sebagaimana tertera pada Tata Tertib DPR dalam Pasal 1 Ayat (18)
dikatakan bahwa rumah aspirasi merupakan kantor setiap Anggota sebagai tempat penyerapan
aspirasi rakyat yang berada di daerah pemilihan Anggota yang bersangkutan. Jadi dapat
dikatakan bahwa rumah aspirasi merupakan ruang yang menjadi penguhubung untuk menyerap,
menampung, dan menyalurkan aspirasi rakyat pada wakilnya yang duduk di parlemen yang
kemudian diharapkan untuk segera ditindaklanjuti.
Oleh karena itu, bagi para Anggota DPR pengadaan dana untuk rumah aspirasi dianggap
cukup beralasan, karena rumah aspirasi dibutuhkan Anggota DPR untuk mendekatkan diri
dengan konstituen dan menyerap aspirasi. Karena tujuannya untuk kepentingan rakyat jadi tidak
mengapa menggunakan uang Negara.
Terkait penyerapan aspirasi rakyat dalam sistem demokrasi, penulis memandang bahwa
memang, penyerapan aspirasi rakyat merupakan hal yang sangat penting dan fundamental dalam
proses pelaksanaan demokrasi, karena aspirasilah yang menjadi peran penting rakyat dalam
keterlibatannya sebagai aktor dan poros penting dari pelaksanaan proses demokrasi itu sendiri
dan juga yang menghubungan antara rakyat dan negara.
Tetapi yang menjadi pertanyaan apakah pengadaan rumah aspirasi bagi para Anggota
Dewan disetiap daerah pemilihannya dengan menggelontorkan uang negara yang terbilang cukup
besar merupakan satu-satunya upaya yang dapat dilakukan oleh Anggota DPR dalam menyerap
aspirasi rakyat? Mengingat rakyat Indonesia tersebar luas hingga keseluruh pelosok negeri di
Indonesia. Bagi penulis sendiri upaya ini dipandang kurang efektif dan efisien dalam proses
penyerapan aspirasi, dan juga terbilang pemborosan dalam menggunakan uang negara hanya
untuk membuat ruang aspirasi bagi rakyat.
Perlu diketahui dalam skala demokrasi yang besar (luas) seperti Indonesia, sebagaimana
diungkapkan oleh Dahl (1998) bahwa semakin besar skala demokrasi suatu wilayah maka
kecenderungan demokrasi perwakilan lebih besar digunakan daripada demokrasi secara langsung
mengingat efektifitas dan efesiensi pelaksanaan demokratisasi. Oleh karena itu, menurut penulis
tidak cukup memungkinkan bagi Anggota DPR secara efektif dan efisien dalam menyerap
aspirasi rakyat secara langsung mengingat skala demokrasi Indonesia yang sangat luas, untuk itu
dibutuhkan “corong” penyalur aspirasi sebagai aktor intermediary yang menghubungkan antara
rakyat dan negara dalam menyalurkan aspirasi.
Parpol sebagai aktor Intermediary
Sebagaimana diketahui dalam sistem politik yang demokratis, partai politik (parpol)
merupakan instrumen yang sangat penting bagi pelaksanaan demokratisasi di sebuah negara,
karena pada prinsipnya parpol merupakan wajah demokrasi itu sendiri. Tidak dapat dikatakan
sebuah negara menganut sistem demokrasi jika tidak ada parpol didalamnya, karena parpol lah
yang memegang peranan penting dalam sistem demokrasi.
Dengan kehadiran parpol masyarakat memiliki ruang untuk dapat berpartisipasi dan
terlibat dalam pelaksanaan penyelenggaraan negara baik melalui aspirasi ataupun turut dalam
kontestasi politik sebagai wujud partisipasi dalam proses demokrasi.
Oleh karena itu bagi penulis, parpol memiliki peranan yang sangat penting dalam
pelaksanaan demokratisasi, selain itu juga parpol merupakan aktor intermediary yang efektif
sebagai penghubung antara rakyat dan negara dalam menyalurkan aspirasi, sehingga Anggota
DPR tidak harus menggelontorkan uang negara dengan membuat ruang aspirasi baru.
Ada beberapa beberapa hal yang patut dipertimbangkan, kenapa parpol menjadi rumah
aspirasi yang efektif dalam proses pelaksanaan demokrasi di Indonesia.
Pertama, semua Anggota DPR yang terdapat di parlemen merupakan anggota parpol,
sehingga akses partai sebagai penghubung dalam menyalurkan aspirasi rakyat ke wakil rakyat di
parlemen lebih mudah dan terarah. Hal ini dikarenakan antara parpol dan anggota parpol yang
menduduki jabatan publik di parlemen memiliki relasi yang kuat.
Kedua, parpol merupakan satu-satunya diantara kelompok kepentingan yang ada, yang
memiliki peran dan berkaitan langsung dalam pengelolaan negara. Hal ini menunjukan bahwa,
parpol sebagai aktor intermediary memiliki akses yang sangat baik dalam menyambung aspirasi
rakyat langsung kepada negara.
Ketiga, parpol dapat mempengaruhi jalannya pemerintahan baik, dalam baik dalam tahap
perumusan maupun tahapan penerapan kebijakan, karena dapat dikatakan hampir semua orangorang yang menduduki jabat publik di eksekutif dan legislatif adalah anggota parpol. Sehingga
parpol dipandang sebagai aktor intermediari yang efektif dalam penyaluran aspirasi rakyat.
Keempat, kantor partai tersebar hingga ke satuan wilayah kecil di Indonesia, sehingga
lebih memungkinkan bagi parpol sebagai aktor intermediary yang terdapat disetiap pelosok
daerah di Indonesia untuk menyerap aspirasi rakyat secara langsung tanpa perlu mengeluarkan
anggara besar hanya untuk membuat ruang aspirasi baru.
Oleh karena itu bagi penulis, pengadaan rumah aspirasi bagi para Anggota DPR di daerah
pemilihan masing-masing dipandang tidak terlalu dibutuhkan, karena secara fungsional masih
ada parpol yang dapat dimaksimalkan fungsi dan perannya dalam menyerap aspirasi sebagai
upaya peningkatan partisipasi dalam proses pelaksanaan demokrasi di Indonesia.
Penguatan Peran Parpol
Dalam proses pelaksanaan demokrasi di Indonesia sekarang ini kepercayaan publik
terhadap parpol sangat rendah, bahkan tidak jarang dari masyarakat skeptis dan tidak percaya
lagi terhadap partai sebagai penghubung dalam menyerap dan menyalurkan aspirasi rakyat. Hal
ini dapat dilihat dengan tingginya angka golput yang terjadi dalam setiap perhelatan demokrasi
(pemilu) yang diadakan lima tahun sekali.
Sikap skeptis yang ditunjukan sebagian besar masyarakat indonesia terhadap kinerja
parpol dewasa ini tidak terlepas dari perilaku politik parpol itu sendiri, yang cenderung pragmatis
dalam melihat kekuasaan, dimana kita dapat lihat beberapa diantaranya banyaknya kader parpol
yang terjerat kasus korupsi kemudian konflik yang terjadi internal partai yang dikarenakan
perebutan kekuasaan diantara elit partai.
Padahal
sejatinya
parpol
merupakan
instrumen
perjuangan
untuk
mengentas
permasalahan bangsa berdasarkan konsep ideologi yang dianut oleh partai, melalui struktur
kekuasaan (kebijakan pemerintah) demi kepentingan dan masa depan bangsa. Untuk itu, perlu
adanya pembenahan di internal setiap parpol di Indonesia untuk penguatan kembali peran parpol
yang telah tergerus oleh pragmatisme perilaku politik partai itu sendiri.
Selain itu juga tidak dapat dipungkiri, perumusan dan penerapan kebijakan yang
dilakukan oleh legislatif dan eksekutif haruslah sesuai dengan aspirasi atau kebutuhan rakyat,
karena pada prinsipnya kekuasaan politik yang dimiliki oleh legislatif dan eksekutif lahir dari
legitimasi rakyat melalui proses pemilu dan parpol berperan sebagai penguhubung dianatara
keduanya.
La Ode Muhammad Amin
Mahasiswa Pascasarjana Jurusan Politik dan Pemerintahan FISIPOL UGM
Terlepas dari keberlanjutan babak baru kisruh yang terjadi antara Polri vs KPK, dan
perseteruan Ahok dengan DPRD DKI Jakarta, yang cukup menyita perhatian publik beberapa
pekan lalu, ada satu wacana yang menurut penulis sangat krusial dalam kaitannya dengan
pelaksanaan demokratisasi di Indonesia. Akan tetapi wacana ini tidak muncul ke permukaan
publik, sehingga kurang mendapat perhatian dari masyarakat, yaitu pengadaan Dana Rumah
Aspirasi bagi Anggota DPR, yang kedepannya menurut penulis dapat berpotensi menjadi
“lumbung” baru untuk melalukan tindak korupsi. Wacana ini justru baru muncul ketika anggaran
sudah disahkan. Dalam perumusan APBN-P 2015, dimana Badan Urusan Rumah Tangga DPR
telah merinci pembagian anggaran tambahan Rp 12,5 juta/bulan untuk 560 anggota DPR.
Perlu diketahui sebagaimana tertera pada Tata Tertib DPR dalam Pasal 1 Ayat (18)
dikatakan bahwa rumah aspirasi merupakan kantor setiap Anggota sebagai tempat penyerapan
aspirasi rakyat yang berada di daerah pemilihan Anggota yang bersangkutan. Jadi dapat
dikatakan bahwa rumah aspirasi merupakan ruang yang menjadi penguhubung untuk menyerap,
menampung, dan menyalurkan aspirasi rakyat pada wakilnya yang duduk di parlemen yang
kemudian diharapkan untuk segera ditindaklanjuti.
Oleh karena itu, bagi para Anggota DPR pengadaan dana untuk rumah aspirasi dianggap
cukup beralasan, karena rumah aspirasi dibutuhkan Anggota DPR untuk mendekatkan diri
dengan konstituen dan menyerap aspirasi. Karena tujuannya untuk kepentingan rakyat jadi tidak
mengapa menggunakan uang Negara.
Terkait penyerapan aspirasi rakyat dalam sistem demokrasi, penulis memandang bahwa
memang, penyerapan aspirasi rakyat merupakan hal yang sangat penting dan fundamental dalam
proses pelaksanaan demokrasi, karena aspirasilah yang menjadi peran penting rakyat dalam
keterlibatannya sebagai aktor dan poros penting dari pelaksanaan proses demokrasi itu sendiri
dan juga yang menghubungan antara rakyat dan negara.
Tetapi yang menjadi pertanyaan apakah pengadaan rumah aspirasi bagi para Anggota
Dewan disetiap daerah pemilihannya dengan menggelontorkan uang negara yang terbilang cukup
besar merupakan satu-satunya upaya yang dapat dilakukan oleh Anggota DPR dalam menyerap
aspirasi rakyat? Mengingat rakyat Indonesia tersebar luas hingga keseluruh pelosok negeri di
Indonesia. Bagi penulis sendiri upaya ini dipandang kurang efektif dan efisien dalam proses
penyerapan aspirasi, dan juga terbilang pemborosan dalam menggunakan uang negara hanya
untuk membuat ruang aspirasi bagi rakyat.
Perlu diketahui dalam skala demokrasi yang besar (luas) seperti Indonesia, sebagaimana
diungkapkan oleh Dahl (1998) bahwa semakin besar skala demokrasi suatu wilayah maka
kecenderungan demokrasi perwakilan lebih besar digunakan daripada demokrasi secara langsung
mengingat efektifitas dan efesiensi pelaksanaan demokratisasi. Oleh karena itu, menurut penulis
tidak cukup memungkinkan bagi Anggota DPR secara efektif dan efisien dalam menyerap
aspirasi rakyat secara langsung mengingat skala demokrasi Indonesia yang sangat luas, untuk itu
dibutuhkan “corong” penyalur aspirasi sebagai aktor intermediary yang menghubungkan antara
rakyat dan negara dalam menyalurkan aspirasi.
Parpol sebagai aktor Intermediary
Sebagaimana diketahui dalam sistem politik yang demokratis, partai politik (parpol)
merupakan instrumen yang sangat penting bagi pelaksanaan demokratisasi di sebuah negara,
karena pada prinsipnya parpol merupakan wajah demokrasi itu sendiri. Tidak dapat dikatakan
sebuah negara menganut sistem demokrasi jika tidak ada parpol didalamnya, karena parpol lah
yang memegang peranan penting dalam sistem demokrasi.
Dengan kehadiran parpol masyarakat memiliki ruang untuk dapat berpartisipasi dan
terlibat dalam pelaksanaan penyelenggaraan negara baik melalui aspirasi ataupun turut dalam
kontestasi politik sebagai wujud partisipasi dalam proses demokrasi.
Oleh karena itu bagi penulis, parpol memiliki peranan yang sangat penting dalam
pelaksanaan demokratisasi, selain itu juga parpol merupakan aktor intermediary yang efektif
sebagai penghubung antara rakyat dan negara dalam menyalurkan aspirasi, sehingga Anggota
DPR tidak harus menggelontorkan uang negara dengan membuat ruang aspirasi baru.
Ada beberapa beberapa hal yang patut dipertimbangkan, kenapa parpol menjadi rumah
aspirasi yang efektif dalam proses pelaksanaan demokrasi di Indonesia.
Pertama, semua Anggota DPR yang terdapat di parlemen merupakan anggota parpol,
sehingga akses partai sebagai penghubung dalam menyalurkan aspirasi rakyat ke wakil rakyat di
parlemen lebih mudah dan terarah. Hal ini dikarenakan antara parpol dan anggota parpol yang
menduduki jabatan publik di parlemen memiliki relasi yang kuat.
Kedua, parpol merupakan satu-satunya diantara kelompok kepentingan yang ada, yang
memiliki peran dan berkaitan langsung dalam pengelolaan negara. Hal ini menunjukan bahwa,
parpol sebagai aktor intermediary memiliki akses yang sangat baik dalam menyambung aspirasi
rakyat langsung kepada negara.
Ketiga, parpol dapat mempengaruhi jalannya pemerintahan baik, dalam baik dalam tahap
perumusan maupun tahapan penerapan kebijakan, karena dapat dikatakan hampir semua orangorang yang menduduki jabat publik di eksekutif dan legislatif adalah anggota parpol. Sehingga
parpol dipandang sebagai aktor intermediari yang efektif dalam penyaluran aspirasi rakyat.
Keempat, kantor partai tersebar hingga ke satuan wilayah kecil di Indonesia, sehingga
lebih memungkinkan bagi parpol sebagai aktor intermediary yang terdapat disetiap pelosok
daerah di Indonesia untuk menyerap aspirasi rakyat secara langsung tanpa perlu mengeluarkan
anggara besar hanya untuk membuat ruang aspirasi baru.
Oleh karena itu bagi penulis, pengadaan rumah aspirasi bagi para Anggota DPR di daerah
pemilihan masing-masing dipandang tidak terlalu dibutuhkan, karena secara fungsional masih
ada parpol yang dapat dimaksimalkan fungsi dan perannya dalam menyerap aspirasi sebagai
upaya peningkatan partisipasi dalam proses pelaksanaan demokrasi di Indonesia.
Penguatan Peran Parpol
Dalam proses pelaksanaan demokrasi di Indonesia sekarang ini kepercayaan publik
terhadap parpol sangat rendah, bahkan tidak jarang dari masyarakat skeptis dan tidak percaya
lagi terhadap partai sebagai penghubung dalam menyerap dan menyalurkan aspirasi rakyat. Hal
ini dapat dilihat dengan tingginya angka golput yang terjadi dalam setiap perhelatan demokrasi
(pemilu) yang diadakan lima tahun sekali.
Sikap skeptis yang ditunjukan sebagian besar masyarakat indonesia terhadap kinerja
parpol dewasa ini tidak terlepas dari perilaku politik parpol itu sendiri, yang cenderung pragmatis
dalam melihat kekuasaan, dimana kita dapat lihat beberapa diantaranya banyaknya kader parpol
yang terjerat kasus korupsi kemudian konflik yang terjadi internal partai yang dikarenakan
perebutan kekuasaan diantara elit partai.
Padahal
sejatinya
parpol
merupakan
instrumen
perjuangan
untuk
mengentas
permasalahan bangsa berdasarkan konsep ideologi yang dianut oleh partai, melalui struktur
kekuasaan (kebijakan pemerintah) demi kepentingan dan masa depan bangsa. Untuk itu, perlu
adanya pembenahan di internal setiap parpol di Indonesia untuk penguatan kembali peran parpol
yang telah tergerus oleh pragmatisme perilaku politik partai itu sendiri.
Selain itu juga tidak dapat dipungkiri, perumusan dan penerapan kebijakan yang
dilakukan oleh legislatif dan eksekutif haruslah sesuai dengan aspirasi atau kebutuhan rakyat,
karena pada prinsipnya kekuasaan politik yang dimiliki oleh legislatif dan eksekutif lahir dari
legitimasi rakyat melalui proses pemilu dan parpol berperan sebagai penguhubung dianatara
keduanya.
La Ode Muhammad Amin
Mahasiswa Pascasarjana Jurusan Politik dan Pemerintahan FISIPOL UGM