METODE HERMENEUTIKA DALAM PEMAHAMAN AL Q
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Al-Quran merupakan petunjuk dan rahmat bagi sekalian alam, serta mampu
membimbing umat Islam dimanapun dan kapanpun.1[1] Namun kenyataannya, untuk
mendapatkan petunjuk dan rahmat Al-Qur’an bukan pekerjaan mudah dan membutuhkan
segala upaya intelektual dan metodologi penafsiran yang cocok. Dengan metodologi yang
sesuai Al-Qur’an baru dapat diajak berdialog dalam suasana bagaimanapun dan di
manapun.
Metodologi2[2] adalah bagian epistemologi yang mengkaji perihal urutan langahlangkah yang ditempuh supaya pengetahuan yang diperoleh memenuhi ciri-ciri ilmiah.
Prinsip metodologi dalam hal ini bukan maksud sekedar langkah-langkah metodis,
melainkan asumsi-asumsi yang melatarbelakangi munculnya sebuah metode.3[3] Dalam
pembahasan epistemologi tafsir, hendaknya kita memahami mengenai konteks metodologi
tafsir (metode penafsiran Al-Qur’an).4[4]
Pada dasarnya metodologi penafsiran telah dibentuk oleh ulama-ulama salaf sebagai
upaya mereka mendialogkan Al-Qur’an dengan konteks mereka. Ketika metodologi itu
dibawa ke konteks yang berbeda, maka tidak mampu lagi mendialogkan Al-Qur’an
sebagaimana kebutuhan konteks yang baru. Jadi untuk menjadikan Al-Qur’an terus
berbicara maka membutuhkan metodologi baru yang bisa mengakomodasi perkembangan
zaman sehingga Al-Qur’an menjadi elastis dan fleksibel.5[5]
1[1]Kurdi, dkk. Hermeneutika Al-Quran dan Hadis. (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2010), hlm. 59
2[2] Metodologi berasal dari kata method dan logos. Dalam bahasa indonesia, method, dikenal dengan
metode yang artinya, cara yang teratur dan terpikirkan baik-baik untuk mencapai maksud (dalam ilmu
pengetahuan dsb); cara kerja yan bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai
tujuan yang ditentukan. Dalam bahasa Arab istilah metode dikenal sebagai manhaj. Sedangkan logos diartikan
sebagai ilmu pengetahuan. (lihat M. Alfatih Suryadilaga, dkk, Metodologi Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Teras,
2005) hlm. 37
3[3]Muhammad Shahrur, al-Kitab wa al-Quran: Qira’ah Mu’ashirah/Prinsip dan Dasar Hermeneutika AlQuran Kontemporer. Diterjemahkan oleh Sahiron Syamsuddin dan Burhanudin Dzikri (Yogyakarta: eLSAQ
Press, 2008) hlm. xvii
4[4] Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an, (Jakarta: Rajawali Press, 2013) hlm. 379
5[5] Kurdi, dkk. Hermeneutika Al-Quran dan Hadis. (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2010), hlm. 59
Munculnya tafsir kontemporer dengan epistem yang berbeda dari tafsir-tafsir
sebelumnya, merupakan keniscayaan sejarah. Kemunculannya tidak bisa dilepaskan dari
perkembangan problem sosial keagamaan masyarakat kontemporer yang semakin kompleks
dan juga perkembangan ilmu pengetahuan yang semakin pesat. Ia muncul untuk
memberikan solusi alternatif bagi problem sosial keagamaan yang dihadapi masyarakat
kontemporer.6[6]
Fazlur Rahman merupakan seorang intelektual muslim, ia menawarkan sebuah
metodologi hermeneutika double movement, yakni upaya “membaca” al-quran sebagai teks
masa lalu dengan memperhatikan konteks sosio-historis untuk mencari nilai-nilai ideal
moral, dan kemudian kembali ke masa sekarang untuk melakukan kontekstualisasi terhadap
pesan-pesan eternal-universal Al-Qur’an yang hendak diaplikasikan di era kekinian. 7[7]
Dengan metodologi tersebut Al-Qur’an yang rasional, sistematis dan komprehensif
sehingga bisa terwujud Al-Qur’anshalih li kulli zaman wa makan. Metodologi tersebut bisa
dikatakan sebagai upaya menjadikan Al-Qur’an untuk mampu menjawab persoalanpersoalan kekinian dan mampu mengakomodasi perubahan dan perkembangan zaman.
B.
RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana metodologi yang ditawarkan oleh Fazlur Rahman?
2. Apakah metodologi tersebut original dari pemikiran Fazlur Rahman?
3. Bagaimana tahapan perkembangan pemikiran dan hasil karya Fazlur Rahman?
6[6] Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer. (Yogyakarta: LkiS, 2010) hlm. ix
7[7]Ibid, hlm. xi
BAB II
PEMBAHASAN
Sebelum melangkah pada ide-ide Rahman tentang metodologi penafsiran dalam
model hermeneutika, pengertian tentang hermeneutika secara sederhana dirasa penting
untuk dijelaskan. Bagi sebagian besar masyarakat Muslim, khususnya di Indonesia, istilah
hermeneutika mungkin masih asing. Hal itu disebabkan hermeneutika merupakan barang
impor yang bukan milik asli keilmuan Islam.
A. PENGERTIAN DAN SEJARAH HERMENEUTIKA
Kata hermeneutika (hermeneutic) berasal dari kata Yunani, hermeneuein, yang
berarti menerjemahkan atau menafsirkan.8[8]Integrasi hermeneutika (hermeneutic) yang
dalam arti luas mencakup hermeneuse (praktik penafsiran), hermeneutics (hermeneutika
dalam arti sempit, yakni ilmu tentang metode-metode penafsiran).9[9]Pada awalnya
hermeneutika digunakan oleh kalangan agamawan. Melihat hermeneutika dapat
menyuguhkan makna dalam teks klasik, maka pada abad ke-17 kalangan gereja
menerapkan telaah hermeneutis untuk membongkar makna teks Injil. Ketika menemukan
kesulitan dalam memahami bahasa dan pesan kitab suci iru, mereka berkesimpulan bahwa
kesulitan itu akan terbantu pemecahannya oleh hermeneutika. Fakta ini dinisbatkan sebagai
langkah awal pertumbuhan hermeneutika menjadi sebuah gerakan interpretasi atau
eksegesis di awal perkembangannya.
Memasuki abad ke-20, kajian hermeneutika semakin berkembang. Sebagai metode
interpretasi, hermeneutika sangat besar artinya bagi keilmuan dan bisa diadopsi oleh semua
kalangan. Selanjutnya hingga abad ke-20, paling tidak hermeneutika dapat dipilah dalam
tiga kategori: sebagai filsafat, sebagai kritik, dan sebagai teori.10[10]
B.
HERMENEUTIKA, ILMU TAFSIR DAN AL-QUR’AN
8[8]Sibawaihi, Hermeneutika Al-Qur’an Fazlur Rahman. (Yogyakarta: Jalasutra, 2007) hlm. 6
9[9]Kurdi, dkk. Hermeneutika Al-Quran dan Hadis. (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2010), hlm. i
10[10]Sibawaihi, Hermeneutika Al-Qur’an Fazlur Rahman. (Yogyakarta: Jalasutra, 2007) hlm. 7
Hermeneutika tidak hanya berkembang di dunia Barat, ia meluas dan menembus
sekat-sekat agama dan budaya. Islam yang selama ini memiliki cara penafsiran tersendiri,
yang disebut ilmu tafsir, juga ditembus hermeneutika. 11[11] Beberapa pakar Muslim
modern melihat signifikansi hermeneutika, khususnya untuk memahami Al-Qur’an. Mereka
menilai bahwa ilmu tafsir yang selama ini dijadikan acuan dalam memahami Al-Qur’an
ternyata memiliki berbagai keterbatasan.12[12] Akibat dari keterbatasan itu, implikasinya,
teks akan diperlakukan hanya sebagai teks pasif yang semata-mata digunakan sebagai
postulat bagi pembenaran ide-ide penafsir tanpa memperhatikan konteks. Aspek keutuhan
dan integralitas pesan yang disampaikan menjadi sulit untuk dilihat, bahkan sering
melahirkan distorsi. Ini terlihat jelas terutama dalam metode tafsir ijmali (global), tahlili
(analitis), dan muqarin (komparatif), bahkan dalam metode mutakhirnya maudhu’i
(tematis).13[13]
Para pemikir kontemporer kemudian melihat bahwa jika keterbatasan-keterbatasan
ini dibiarkan terus-menerus, selamanya umat Islam tidak akan mampu menembus lautan
makna yang dibentangkan di balik ayat-ayat Al-Qur’an. 14[14] Umat Islam akan selamanya
terjebak dalam pagar intelektualitas tafsir dengan batas-batasnya yang sempit. Karena itu,
harus diusahakan sebuah rekonstruksi atas metodologi penafsiran. Tidak heran,
hermeneutika kemudian menjadi alternatif baru dalam upaya rekonstruksi keilmuan tafsir
itu.
Dengan asumsi bahwa teks apapun dapat ditafsirkan dalam hermeneutika, AlQur’an diperlakukan sebagai sebuah teks yang bisa dipahami pesan-pesannya dengan cara
menelusuri tidak hanya teks itu sendiri, tetapi menjelaskan secara rinci tentang proses
penerimaan wahyu sejak dari tingkat perkataan sampai ke tingkat dunia.15[15]
Hermeneutika merupakan suatu perangkat disiplin yang netral, elastis dan berkembang,
dimana pemahaman orang terhadapnya tidak harus mengikuti alur yang dimiliki orang lain,
11[11]Ibid, hlm 11
12[12]Keterbatasan yang dimaksud bahwa penafsiran selama ini hanya menekankan pada pemahaman teks
semata tanpa mau mendialogkannya dengan realitas yang tumbuh ketika teks itu dikeluarkan dan dipahami
oleh pembacanya.
13[13]Abd al-Hayyi al-Farmawi, Al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhu’iy, (Dirasah Manhajiyyah
Maudhu’iyyah: Mathba’ah al-Hadarah al-Arabiyyah, 1997), hlm 21
14[14]Sibawaihi, Hermeneutika Al-Qur’an Fazlur Rahman. (Yogyakarta: Jalasutra, 2007) hlm. 13
15[15]Ibid, hlm. 14
tak heran jika semua disiplin ilmu merasa memerlukannya. Tak terkecuali keilmuan Islam.
Kesadaran hermeneutis ini telah mengakar di benak pemikir-pemikir kontemporer,
khususnya Fazlur Rahman dari Pakistan yang menerapkan hermeneutika dalam kerangka
interpretasi sistematis dan sintetis-logis. Teori hermeneutika Al-Qur’an inilah yang ingin
diuraikan dalam pembahasan selanjutnya.
C. BIOGRAFI FAZLUR RAHMAN
Fazlur Rahman lahir di Hazara -kini menjadi bagian dari Pakistan- pada 21
September 1919. Situasi ketika ia dilahirkan memberi pengaruh bagi perkembangan
pemikirannya di kemudian hari. Perdebatan publik16[16] di antara berbagai golongan
Muslim yang terjadi sebelum kelahirannya mewarnai kehidupan sosial negerinya.
Perdebatan ini mulai menanjak ketika Pakistan dinyatakan berpisah dari India dan menjadi
sebuah negara yang berdaulat dan merdeka pada tanggal 14 Agustus 1947. 17[17] Di tengah
perdebatan inilah yang menjadi pemicu baginya untuk mendalami seluk-beluk keilmuan
Islam dan menguasai berbagai arus metodologi pemikiran.
Rahman lahir dan dibesarkan dari keluarga yang mementingkan pendidikan.
Ayahnya, Maulana Syahab al-Din adalah seorang ulama tradisional yang bermazhab
Hanafi.18[18] Meskipun ayahnya seorang tradisionalis, namun ia tak seperti kebanyakan
ulama di zamannya yang menentang dan menganggap pendidikan modern dapat meracuni
keimanan dan moral. Menurutnya, Islam harus menghadapi realitas kehidupan modern,
tidak hanya sebagai sebuah tantangan (challenge) tetapi juga merupakan kesempatan
(opportunity).19[19] Keyakinan sang ayah inilah yang kelak dipatrikan pada Fazlur
Rahman.
Sekolah modern dimasukinya di Lahore tahun 1933. Pendidikan tingginya ditempuh
di Punjab University jurusan Bahasa Arab, dan selesai dengan gelar BA tahun 1940. Gelar
Master untuk jurusan ketimuran juga diraihnya di universitas yang sama tahun 1942. 20[20]
16[16]Ada tiga kubu yang berseteru: kaum modernis, kaum tradisionalis, dan kaum funamentalis. Kaum
modernis merumuskan konsep kenegaraan Islam dalam bingkai term ideologi modern, kaum tradisionalis
menawarkan konsep kenegaraan yang didasarkan atas teori-teori politik tradisionalis Islam: khalifah dan
imamah, sedangkan kaum fundamentais mengusulkan konsep kenegaraan “kerajaan Tuhan”.
17[17]Sibawaihi, Hermeneutika Al-Qur’an Fazlur Rahman. (Yogyakarta: Jalasutra, 2007) hlm. 17
18[18]Sebuah mazhab Sunni yang lebih rasionalis dibanding mazhab lain (Syafi’i, Maliki, dan Hanbali).
19[19]Kurdi, dkk. Hermeneutika Al-Quran dan Hadis. (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2010), hlm. 61
20[20]Sibawaihi, Hermeneutika Al-Qur’an Fazlur Rahman. (Yogyakarta: Jalasutra, 2007) hlm. 18
Menyadari bahwa mutu pendidikan di India saat itu masih rendah, Rahman memutuskan
untuk memperdalam ilmunya di Inggris.21[21] Pada tahun 1946, ia masuk Oxford
University dan kemudian menyandang gelar doktor di bidang sastra pada tahun 1950.
Setamat dari Oxford University, Rahman tidak langsung pulang ke Pakistan, selama
beberapa tahun, ia memilih mengajar di Eropa. Hingga tiga tahun kemudian, semangat
patriotik kenegaraannya mengalahkan segalanya. Hal itu karena, setelah pemerintahan
Pakistan bergulir di tangan Ayyub Khan yang berpikiran modern, Rahman terpanggil untuk
membenahi negeri asalnya dan rela meninggalkan karier akademiknya demi sebuah
tantangan yang menghadang di negeri sendiri. Ia lalu ditunjuk menjadi direktur Pusat
Lembaga Riset Islam selama satu periode (1961-1968).22[22] Di masa ini, ia tercatat
memprakarsai terbitnya Journal of Islamic Studies, tempat ia menampungkan gagasangagasannya.
Rahman bekerja sangat serius, langkah yang diambilnya adalah strategi ganda,
yakni mengangkat orang tamatan madrasah yang memiliki pengetahuan bahasa inggris dan
memberikan pelatihan teknik-teknik riset modern juga mengirim beberapa orang ke luar
negeri untuk memperoleh pelatihan dan gelar dalam kajian-kajian Islam. Akan tetapi, usaha
ini tidak berlangsung lama. Penunjukan dirinya sebagai direktur sebenarnya tidak direstui
oleh kalangan ulama tradisionalis.23[23]Karenanya, wajar bila selama kepemimpinannya
lembaga riset kerap menuai kecaman dan serangan dari kaum tradisionalis dan
fundamentalis. Puncaknya meletus ketika dua bab pertama dari bukunya, Islam,
dipublikasikan Fikr-u-Nazr. Masalah sentralnya adalah seputar hakikat wahyu Al-Qur’an.
Rahman menulis bahwa “Al-Qur’an secara keseluruhannya adalah Kalam Allah, dan dalam
pengertian biasa, juga seluruhnya adalah perkataan Muhammad”.24[24]
Fenomena tersebut memaksa Rahman untuk kembali meninggalkan tanah
kelahirannya. Ia melihat negaranya belum siap menyediakan lingkungan akademik yang
bebas dan bertanggung jawab. Pada tahun 1970 Rahman berangkat ke Chicago, dan
21[21]Keputusan yang dinilai berani, sebab terdapat anggapan bahwa sangat aneh jika seorang Muslim
belajar Islam di Eropa. Kalaupun berhasil, orang tersebut sangat sulit diterima kembali oleh masyarakatnya,
tak jarang juga mereka mengalami penindasan.
22[22]Sibawaihi, Hermeneutika Al-Qur’an Fazlur Rahman. (Yogyakarta: Jalasutra, 2007) hlm. 19
23[23]Ibid, hlm. 20
24[24]Ibid, hlm. 20
langsung dinobatkan menjadi guru besar untuk pemikiran Islam di Universitas Chicago.
Universitas tersebut merupakan tempatnya menelurkan banyak karyanya. Tempat ini pula
yang menjadi tempat persinggahan terakhirnya, hingga wafatnya pada 26 Juli 1988. Selama
8 tahun terakhirnya, selain mengajar di Universitas Chicago, ia kerap diminta memberikan
kuliah di universitas lain. Rahman menjadi Muslim pertama penerima medali Giorgio Levi
della Vida, yang melambangkan puncak prestasidalam bidang studi peradaban Islam dari
UCLA.25[25]
D. RESPON RAHMAN TERHADAP GERAKAN PEMBAHARUAN
Kepindahan Rahman ke Chicago adalah akibat dari fakta bahwa negaranya belum
siap menampung ide-ide pembaharuannya. Sekalipun di India atau Pakistan telah terjadi
pembaharuan, namun sifatnya masih dalam lingkup yang sangat terbatas. Seperti
pembaharuan yang berkembang pada abad pertengahan, mereka mendesakkan pembebasan
ijtihad (kebebasan berpikir) dan menyingkirkan segala bentuk taqlid kepada ulama-ulama
abad pertengahan dengan mengambil posisi dari yang keras sejauh mereka menerima AlQur’an dan hadis sebagai sumber materi agama. Bahkan menolak qiyas, metode alasan
analogis, untuk menafsirkan Al-Qur’an dan sunnah. Implikasinya mereka terjebak dalam
penafsiran menurut yang tertulis dalam Al-Qur’an dan sunnah. 26[26]Rahman belum melihat
perkembangan signifikan yang benar-benar selaras dengan harapannya. Fenomena tersebut
sebagai salah satu alasan yang membuat kegelisahan Rahman untuk mendefinisikan
kembali Islam dalam konteks modernitas dalam gerakan neo-modernis.27[27]Pembaharuan
ini memiliki tingkatan dan perkembangan. Rahman membagi sifat pembaharuan ini secara
umum menjadi empat kelompok gerakan, yaitu: pertama, revivalisme pramodernis; kedua,
modernisme klasik; ketiga, neo-revivalisme; dan keempat, neo-modernisme.28[28]
25[25]Kurdi, dkk. Hermeneutika Al-Quran dan Hadis. (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2010), hlm. 64
26[26]Fazlur Rahman, Islam, terj. Sinoaji Saleh (Jakarta: Bina Aksara, 1987), hlm. 315
27[27]Neomodernis adalah penamaan aliran/gerakan. Istilah ini secara sederhana dapat diartikan dengan
“paham modernisme baru”, Neomodernisme digunakan untuk memberi identitas pada kecenderungan pemikir
Islam yang muncul dalam dekade terakhir yang berusaha menjembatani bahkan mengatasi pemikiran
tradisionalisme dan modernisme. Artinya, jika modernisme sangat perhatian terhadap rasionalisme,
modernisme mencoba mengambil apa yang ditinggal oleh gerakan modernisme. di samping kemunculan
Neomodernis karena tuntutan zaman yang kurang mendapat antisipasi oleh pemikiran keislaman yang sudah
mapan secara historis. Lihat Ahmad Amir Aziz, Neo-Modernisme Islam di Indonesia (Jakarta: Rineka Cipta,
1999) hlm. 15-16
28[28]Sibawaihi, Hermeneutika Al-Qur’an Fazlur Rahman. (Yogyakarta: Jalasutra, 2007) hlm. 25
Kelompok neo-modernisme. Pada posisi inilah Rahman berdiri, bahkan mengklaim
dirinya
sebagai
juru
bicaranya.29[29]
Karenanya,
dalam
konteks
ini,
Rahman
mencanangkan suatu penyusunan metodologi yang tepat dan logis untuk mengkaji AlQur’an, yaitu -hermeneutika Al-Qur’an- sebuah metode yang mengkaji Al-Qur’an secara
komprehensif dan mampu menjawab persoalan-persoalan umat di zaman sekarang. 30[30]
Metodologi ini diharapkan dapat melakukan rekonstruksi sistematis atas Islam namun tetap
berpegang pada akar-akar spiritualnya.
E.
AL-QUR’AN DALAM PERSPEKTIF RAHMAN
Sebelum membicarakan tentang hermeneutika Al-Qur’an Fazlur Rahman, menarik
untuk dieksplorasi konsep Rahman tentang Al-Qur’an. Konsep Rahman tentang Al-Qur’an,
sebagaimana yang dapat disimpulkan dalam bukunya Islam, adalah:
Al-Qur’an secara keseluruhan adalah kata-kata (kalam) Allah, dan dalam pengertian
biasa, juga keseluruhannya merupakan kata-kata Muhammad. Jadi, Al-Qur’an murni katakata Ilahi, namun tentu saja, ia sama-sama secara intim berkaitan dengan personalitas
paling dalam Nabi Muhammad yang hubungannya dengan kata-kata (kalam) Ilahi itu tidak
dapat dipahami secara mekanis seperti hubungan sebuah rekaman. Kata-kata (kalam)
Ilahi mengalir melalui hati Nabi.31[31]
Definisi Rahman di atas, mengasumsikan bahwa pola hubungan atau model
pewahyuan yang dibangun antara Al-Qur’an (sebagai sebuah teks; The Text), Allah adalah
pengarang (The Author) dan Muhammad (The Reader and the author). Pengasumsian
Muhammad sebagai penerima sekaligus pembicara ini menegaskan bahwa secara psikologi
Muhammad berpartisipasi baik mental maupun intelektual dalam penerimaan wahyu itu. 32
[32] Oleh karena itu, Al-Qur’an harus dipahami dalam konteks yang tepat yakni perjuangan
Nabi dan latar belakang dari perjuangan tersebut.33[33]
F.
GAGASAN HERMENEUTIKA DALAM MENGINTERPRETASIKAN AL-
QUR’AN
Gagasan untuk menjadikan Al-Qur’an universalitas dan fleksibilitas, Al-Qur’an
tidak bisa dipahami secara atomistik, melainkan harus sebagai kesatupaduan yang terjalin
29[29]Ibid, hlm. 25
30[30]Kurdi, dkk. Hermeneutika Al-Quran dan Hadis. (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2010), hlm. 68
31[31]Fazlur Rahman, Islam. hlm. 32-35
32[32]Ibid, hlm. 32-33
33[33]Fazlur Rahman, Interpreting the al-Qur’an, Inquiri, May (1998), hlm. 46
sehingga menghasilkan suatu weltanschauung yang pasti.34[34] Pemahaman seperti ini
yang tidak didapatkan dalam penafsiran-penafsiran klasik, mereka terlalu asyik bermain
dengan kata-kata yang menyebabkan mereka terjebak dalam penafsiran literal-tekstual.
Bagi Rahman fenomena ini terjadi dikarenakan ketidaktepatan dan ketidaksempurnaan alatalat yang disebabkan kegersangan metode penafsiran.
Untuk mengantisipasi persoalan tersebut, Rahman menawarkan suatu metode yang
logis, kritis, dan komprehensif, yaitu hermeneutika double movement (gerak ganda
interpretasi).35[35] Metode ini memberikan pemahaman yang sistematis dan kontekstualis,
sehingga menghasilkan suatu penafsiran yang tidak atomistik, literalis dan tekstualis,
melainkan penafsiran yang mampu menjawab persoalan-persoalan kekinian.
Persoalan mengapa harus mengetahui masa Al-Qur’an diturunkan, sedangkan masa
dahulu dengan masa sekarang tidak mempunyai kesamaan, Rahman mengatakan: AlQur’an adalah respon Ilahi melalui pikiran dan ingatan Nabi, kepada situasi moral-sosial
masyarakat Arab pada masa Nabi.36[36] Artinya, signifikansi pemahaman setting-social
Arab pada masa Al-Qur’an diturunkan disebabkan adanya proses dialektika antara AlQur’an dengan realitas, baik itu dalam bentuk tahmil (menerima dan melanjutkan), tahrim
(melarang keberadaannya), dan taghiyyur (menerima dan merekonstruksi tradisi).37[37]
Adapun mekanisme hermeneutika double movement yang ditawarkan Fazlur
Rahman dalam menginterpretasi Al-Qur’an adalah:
1. Gerak Pertama
Gerakan pertama, yakni dari situasi sekarang ke masa Al-Qur’an diturunkan, terdiri
dari dua langkah:
Langkah Pertama, merupakan tahap pemahaman arti atau makna dari suatu pernyataan
dengan mengkaji situasi atau problem historis dimana pernyataan Al-Qur’an tersebut
merupakan jawabannya. Tentu saja, sebelum mengkaji ayat-ayat spesifik dalam sinaran
34[34]Kurdi, dkk. Hermeneutika Al-Quran dan Hadis. (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2010), hlm. 70
35[35]Adapun yang dimaksud gerakan ganda adalah: dimulai dari situasi sekarang ke masa Al-Qur’an
diturunkan dan kembali lagi ke masa kini. Lihat Fazlur Rahman, Islam and Modernitas; Transformation of an
Intellectual Tradition (Chicago and London: University Press, 1982), hlm. 6
36[36]Ibid, hlm. 6
37[37]Ali Shodiqin, Antropologi al-Qur’an; Model Dialektika Wahyu dan Realitas (Yogyakarta: ar-Ruzz
Media, 2008), hlm. 116-117
situasi-situasi spesifiknya, suatu kajian mengenai situasi makro dalam batasan-batasan
masyarakat agama, adat-istiadat, lembaga-lembaga bahkan mengenai kehidupan secara
menyeluruh di Arabia pada saat turunnya Islam dan khususnya di Makkah akan dilakukan.
Jadi, langkah pertama dari gerakan yang pertama adalah memahami makna Al-Qur’an
sebagai suatu keseluruhan di samping dalam batas-batas ajaran yang khusus yang
merupakan respon terhadap situasi-situasi khusus.38[38]
Langkah Kedua, menggeneralisasikan jawaban-jawaban spesifik itu dan menyatakan
sebagai pernyataan-pernyataan yang memiliki tujuan-tujuan moral-sosial umum yang dapat
“disaring” dari teks-teks spesifik dalam sinaran latarbelakang sosio-historis dan ratio-legis
(illat hokum) yang sering dinyatakan. Sesungguhnya langkah pertama itu -pemahaman teks
spesifik- sendiri mengimplikasikan langkah kedua dan akan mengantar ke arah itu.39[39]
2. Gerak Kedua
Gerakan kedua merupakan proses yang berangkat dari pandangan umum ke pandangan
khusus yang harus dirumuskan dan direalisasikan sekarang, yakni yang umum harus
diwujudkan dalam konteks sosio-historis konkret sekarang. Dengan demikian, metodologi
yang diintrodusir oleh Rahman adalah metode berpikir yang bersifat reflektif, mondarmandir antara deduksi dan induksi secara timbal balik.40[40]
Jika dicermati teori double movement Fazlur Rahman, tampaknya mencoba
mendialektikakan text, author, dan reader.41[41] Sebagai author, Rahman tidak memaksa
teks berbicara sesuai dengan keinginan author, melainkan membiarkan teks berbicara
sendiri. Untuk mengajak teks berbicara, Rahman menelaah historisitas teks. Historis yang
dimaksudkan disini bukanlah semata-mata asbab al-nuzul sebagaimana yang dipahami oleh
ulama konvensional, yaitu peristiwa yang menyebabkan Al-Qur’an diturunkan,42[42]
melainkan lebih luas dari itu, yaitu setting-sosial masyarakat Arab dimana Al-Qur’an
diturunkan atau lebih tepat disebut qira’ah al-tarikhiyyah.
38[38]Fazlur Rahman, Islam and Modernitas, hlm. 7
39[39]Ibid, hlm. 7
40[40]Kurdi, dkk. Hermeneutika Al-Quran dan Hadis. (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2010), hlm. 72
41[41]Ibid
42[42]Muhammad Abdul ‘Azim al-Zarqani, Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an (Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiah, 2003), hlm. 63
Di samping itu, menurut Birt sebagaimana yang dikutip Abd A’la, historisisme Rahman
terdiri dari tiga tahap yang saling berhubungan. Pertama, pemahaman terhadap proses
sejarah yang dengan itu Islam mengambil bentuknya. Kedua, analisis terhadap proses
tersebut untuk membedakan prinsip-prinsipnya yang esensial dari formasi-formasi umat
Islam yang bersifat partikular sebagai hasil kebutuhan mereka yang bersifat khusus. Ketiga,
pertimbangan terhadap cara yang terbaik untuk mengaplikasikan prinsip-prinsip esensial
tersebut.43[43] Berkaitan dengan ketiga tahapan historisisme Rahman, penulis berasumsi
bahwa itulah yang disebut dengan origin, change, dan development.
Selain teori double movement, Rahman juga menggunakan teori lain dalam
menginterpretasikan Al-Qur’an, khususnya ayat-ayat metafisika. Metode tersebut adalah
metode sintetis-logis. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Rahman sendiri:
Kecuali dalam penggarapan beberapa tema penting semisal aneka ragam komunitas
agama, kemungkinan dan aktualitas mu’jizat, serta jihad, yang kesemuanya menunjukkan
evolusi melalui Al-Qur’an, prosedur yang digunakan dalam mensintetis-kan tema-tema,
lebih bersifat logis ketimbang kronologis.44[44]
G. MELACAK AKAR TEORI DOUBLE MOVEMENT
Sebagai sebuah teori dan sistem interpretasi, hermeneutika jelas sangat diperlukan
dalam memahami Al-Qur’an, yakni dalam rangka memberi makna dan memproduksi
makna sehingga teks menjadi hidup dalam konteks apa pun. Terkait dengan hermeneutika
ini, paling tidak ada dua aliran utama, yakni aliran objektivis dan aliran subjektivis. Dalam
hal ini, Rahman dapat dikategorikan sebagai pemikir aliran objektivis. Ia tampaknya
terpengaruh oleh hermeneutika model Emelio Betti yang masih mengakui original meaning
(makna otentik), ketimbang hermeneutika Hans-Georg Gadamer (penganut aliran
subjektivis) yang sudah tidak percaya lagi pada original meaning.45[45]
Meskipun Fazlur Rahman sealiran dengan Betti yang masih percaya pada makna
objektif dan juga masih mengakui adanya original meaning, namun ada perbedaan
mengenai konsep the original meaning antara Betti dan Rahman. Jika Betti berkeyakinan
bahwa makna asli suatu teks terletak pada akal pengarang, di mana dalam proses
43[43]Abd A’la, Dari Neomodernisme ke Islam Liberal (Jakarta: Paramadina, 2003), hlm. 71
44[44]Fazlur Rahman, Major Themes of The al-Qur’an (Chicago: Minneapolis-Bibliotheca Islamica, 1980),
hlm. xi
45[45]Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer. (Yogyakarta: LkiS, 2010), hlm. 175
interpretasinya, teks harus dibawa kepada pikiran pengarang,46[46] maka tidak demikian
halnya dengan Rahman yang menganggap makna asli teks dapat dipahami melalui konteks
sejarah ketika teks itu ditulis atau diturunkan.47[47]
Menurut Rahman, Al-Qur’an adalah respon Tuhan terhadap realitas yang muncul
sehingga setiap ayat yang turun bukanlah kalimat yang berdiri sendiri, melainkan ia terkait
dengan konteks sosio-historis, budaya, dan problem yang dihadapi saat itu. Dengan kata
lain, Al-Qur’an dan asal-usul komunitas Islam muncul dalam sinaran sejarah dan
berhadapan dengan latar belakang sosio-historis.48[48]
Langkah pertama dari gerakan ganda adalah upaya sungguh-sungguh memahami
konteks mikro dan makro di saat Al-Qur’an diturunkan. Setelah itu, mufassir mencoba
menangkap makna asli (original meaning) dari ayat Al-Qur’an dalam konteks sosio-historis
era kenabian. Dari situ maka akan ditemukan ajaran universal Al-Qur’an yang melandasi
berbagai perintah normatif Al-Qur’an. Kedua, melakukan generalisasi jawaban-jawaban
spesifik tersebut dan menyatakannya sebagai pernyataan-pernyataan yang memiliki tujuan
moral-sosial yang disaring dari ayat-ayat spesifik dalam sinaran latar belakang sosiohistoris dan ratio legis yang sering dinyatakan.49[49]
Struktur hermeneutika double movement secara skematis dapat diilustrasikan
sebagai berikut:
46[46] Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, hlm. 465
47[47] Fazlur Rahman, Islam and Modernity, hlm. 8-9
48[48]Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer. (Yogyakarta: LkiS, 2010), hlm. 179
49[49]Ibid, hlm. 181
Gambar 1. Struktur hermeneutika Double Movement
H. HERMENEUTIKA AL-QUR’AN DAN PERSOALAN KONTEMPORER
Gagasan hermeneutika Al-Qur’an Rahman merupakan suatu tawaran yang menarik,
ketika kita mencoba mencermati dan mengaitkannya dengan persoalan kontemporer.
Sebagai contohnya adalah ayat yang membicarakan tentang poligami.
QS. An-Nisa’ (4): 3
Ayat tersebut turun sebagai respon terhadap perilaku para wali dari anak-anak
yatim, baik laki-laki maupun perempuan yang sering menyelewengkan harta kekayaan
mereka.50[50] Kemudian Al-Qur’an menyerukan agar mereka (para wali) tidak
menyelewengkan harta itu, dan mereka boleh mengawini (perempuan yatim) sampai empat
orang diantara mereka, asalkan mereka dapat berlaku adil. Seruan ini juga didukung oleh
QS. An-Nisa’ (4): 127.51[51]
Pernyataan diatas dengan melihat asbab al-nuzul-nya menunjukkan bahwa masalah
ini muncul dalam konteks perempuan –perempuan yatim. Tapi kemudian Al-Qur’an
memperingatkan bahwa “betapapun mereka (para wali) itu berupaya (berkeinginan
50[50] Abdul Fatah Abdul Ghani al-Qadhi, Asbab al-Nuzul ‘an al Shahabah wa al-Mufassirin (Mesir: Dar
al-Salam, 2005), hlm. 64
51[51] Dan mereka minta fatwa kepadamu tentang para wanita. Katakanlah: “Allah memberi fatwa
kepadamu tentang mereka, dan apa yang dibacakan kepadamu dalam al-Qur’an (juga memfatwakan) tentang
para wanita yatim yang kamu tidak memberikan kepada mereka apa yang ditetapkan untk mereka, sedang
kamu ingin mengawini mereka dan tentang anak-anak yang masih dipandah lemah. Dan (Allah menyuruh
kamu) supaya kamu mengurus anak-anak yatim secara adil, dan kebajikan apa saja yang kamu kerjakan.
Maka sesungguhnya Allah maha Mengetahuinya. (Lihat Tafsir Kementerian Agama QS. An-Nisa’ (4): 129)
mengawini sampai empat), namun kalian, kata Allah, tidak akan dapat berlaku adil kepada
perempuan-perempuan tersebut. (QS. An-Nisa’ (4): 129).
Pandangan-pandangan Al-Qur’an diatas, menurut Fazlur Rahman terdapat distingsi
(antara aspek legal dan ajaran moral Al-Qur’an), yaitu: izin untuk beristri empat orang, dan
keharusan untuk berlaku adil kepada mereka. Berdasarkan atas distingsi ini, Rahman
kemudian berkesimpulan bahwa:
Yang benar nampaknya bahwa diizinkan poligami adalah pada taraf legal, sementara
sanksi-sanksi yang diberikan kepadanya pada hakekatnya adalah sebuah cita-cita moral
yang mana masyarakat diharapkan bergerak kearahnya, karena tidak mungkin untuk
menghapuskan poligami secara legal sekaligus.52[52]
Dari alasan tersebut dapat disimpulkan bahwa, kebolehan berpoligami pada
dasarnya lahir sebagai jawaban bagi wali yang tidak berlaku adil bagi anak yatim, baik lakilaki maupun perempuan. Dan Al-Qur’an membolehkan mereka (para wali) mengawini
perempuan yatim itu dijadikan istri sampai batas empat orang. Tujuan Al-Qur’an disini
adalah untuk menguatkan bagian-bagian masyarakat yang lemah (seperti orang-orang
miskin, anak yatim kaum wanita, budak-budak, dan orang yang terjerat hutang) 53[53]
sehingga tercipta sebuah tatanan masyarakat yang etis dan legaliter. Karena sebab turunnya
ayat ini berkaitan dengan perempuan yatim, dan kebutuhan berpoligami dengan syarat
berleku adil tidak mungkin (mustahil), maka proses poligami ke monogami ini
membutuhkan pentahapan-pentahapan perubahan legislasi Islam seperti fenomena yang
sama terjadi dalam kasus perbudakan. Jadi monogami lebih kontekstual dalam legislasi
Islam.54[54]
I.
PERKEMBANGAN PEMIKIRAN DAN HASIL KARYA FAZLUR RAHMAN
Perkembangan pemikiran dan karya-karya Fazlur Rahman dapat diklasifikasikan ke
dalam tiga periode, yaitu periode pembentukan (formasi), periode perkembangan, dan
periode kematangan.
Periode pertama disebut periode pembentukan karena pada periode ini Fazlur
Rahman mulai meletakkan dasar-dasar pemikirannya dan mulai berkarya. Periode ini
dimulai sejak Fazlur Rahman belajar sampai dengan menjelang pulang ke negerinya,
52[52] Fazlur Rahman, Major Themes of The Qur’an, hlm. 70
53[53]Ibid, hlm. 68
54[54]Ibid, hlm. 71
Pakistan.Pada periode ini, Fazlur Rahman berhasil menulis tiga karya intelektualnya, yaitu:
(1) Avecinna’s Psychology, berisikan kajian dari pemikiran Ibn Sina yang terdapat dalam
kitab Kitab al-Najat; (2) Avecinna’s De Anima, being the Psychologycal Part of Kitab alShifa’ merupakan suntingan dari kitab al-Nafs yang merupakan bagian dari Kitab al-Shifa’ ;
(3) Prophecy in Islam: Philosophi and Orthodoxy, merupakan karya orisinal Fazlur Rahman
yang paling penting pada periode ini. Karya ini dilandasi oleh rasa keprihatinannya atas
kenyataan bahwa sarjana-sarjana Muslim modern kurang menaruh minat dan perhatian
terhadap dokrin-dokrin kenabian.
Periode kedua disebut periode perkembangan karena pada periode ini Fazlur
Rahman mengalami proses menjadi, yaitu proses berkembang dari pertumbuhan menuju
kematangan. Periode ini dimulai sejak kepulangan Fazlur Rahman dari Inggris ke Pakistan
sampai menjelang keberangkatannya ke Amerika.
Periode ini ditandai dengan suatu perubahan yang radikal. Fazlur Rahman secara
intens terlibat dalam upaya-upaya untuk merumuskan kembali Islam dalam rangka
menjawab tantangan-tantangan dan kebutuhan-kebutuhan masyarakat muslim kontemporer,
bagi Pakistan khususnya. Keterlibatan Fazlur Rahman dalam arus pemikiran Islam
menghasilkan karya berupa artikel-artikel dia yang diterbitkan dalam bentuk buku, yang
berjudul Islamic Methodology in History. Karya ini membahas konsep sunnah, ijtihad, dan
ijma’. Inti sari dari buku tersebut adalah pemikiran bahwa dalam perjalanan sejarah telah
terjadi pergeseran dari otoritas sunnah Nabi menjadi sunnah yang hidup dan akhirnya
menjadi hadis. Sunnah Nabi merupakan sunnah yang ideal, sunnah yang hidup merupakan
interpretasi dan implementasi kreatif para sahabat dan tabi’in terhadap sunnah ideal
tersebut, sedangkan hadis merupakan upaya penuturan sunnah dalam suatu catatan. Dari
sunnah tersebut, ia ingin membangun kembali mekanisme “Sunnah-Ijtihad-Ijma”.
Buku kedua yang dihasilkan Fazlur Rahman dalam periode ini adalah berjudul
“Islam”. Buku ini merupakan upaya Fazlur Rahman dalam menyajikan sejarah
perkembangan Islam secara umum, yaitu kira-kira selama empat belas abad keberadaan
Islam. Dalam buku ini, Fazlur Rahman lebih dominan mengemukakan kritik historis,
disamping sedikit memberikan harapan dan saran-saran.
Secara epistemologis Fazlur Rahman berhasil menggabungkan pendekatan historis
dan normatif menjadi metode yang sistematis dan komprehensif untuk memahami AlQur’an, yang pada akhirnya disempurnakan menjadi metode suatu gerakan ganda (a double
movement).
Periode ketiga disebut dengan periode Kematangan, karya-karya intelektual Fazlur
Rahman sejak kepindahannya ke Chicago (1970) mencakup hampir seluruh kajian Islam
normatif maupun historis. Dalam periode ini ia berhasil menyelesaikan beberapa buku;
pertama, Philosophy of Mulla Sadra Shirazi. Buku ini merupakan kajian historis Fazlur
Rahman terhadap pemikiran Shadr al-Din al-Shirazi (Mulla Sadra). Didalamnya
mengungkapkan tentang sanggahan bahwa tradisi filsafat Islam telah mati setelah diserang
bertubi-tubi oleh al-Ghazali, untuk membantah pandangan sarjana barat modern yang keliru
tentang hal tersebut. Disamping itu, didalamnya punmembahas tentang hasil penelusuran
terhadap pemikiran Shadra. Fazlur Rahman sampaipada kesimpulan bahwa sistem filsafat
Shadra sangat kompleks dan orisinal.
Buku kedua adalah “Mayor Themes of Qur’an”. Buku ini berisi delapan tema pokok
al-Qur’an, yaitu; Tuhan, Manusia sebagai Individu, Manusia sebagai anggota Masyarakat,
alam semesta, kenabian dan wahyu, eskatologi, setan dan kejahatan, serta lahirnya
masyarakat muslim. Melalui karya ini Fazlur Rahman berhasil membangun suatu landasan
filosofis yang tegar untuk perenungan kembali makna dan pesan al-Qur’an bagi kaum
muslimin komtemporer.
Buku ketiga yang dihasilkan Fazlur Rahman adalah “Islam and Modernity:
Transformation of an Intelektual Tradition”. Dalam buku ini Fazlur Rahman berbicara
tentang pendidikan Islam dalam perspektif sejarah dengan Al-Qur’an sebagai kriterium
penilai. Menurut perspektif Fazlur Rahman bahwa yang dimaksud pendidikan bukanlah
suatu perlengkapan, peralatan-peralatan fisik ataupun struktur eksternal pendidikan,
melainkan intelektualisme Islam, sebab itu merupakan esensi dari pendidikan tinggi Islam.
Ia adalah suatu pertumbuhan pemikiran Islam yang asli dan memadai, yang harus
memberikan kriteria untuk menilai keberhasilan atau kegagalan suatu sistem pendidikan
Islam.
Buku terakhir yang dihasilkan oleh Fazlur Rahman adalah “Health and Medicine in
Islamic Tradition”. Buku ini berusaha memotret kaitan antar organis antara Islam sebagai
sistem kepercayaan dan Islam sebagai sebuah tradisi pengobatan manusia. Dengan
menjelajahi teks-teks al-Qur’an dan Hadis Nabi serta sejarah kaum muslim, Fazlur Rahman
memperlihatkan bahwa perkembangan ilmu pengobatan dalam tradisi Islam digerakkan
oleh motivasi etika agama dan keyakinan bahwa mengobati orang sakit adalah bentuk
pengabdian kepada Allah. Disamping itu, Fazlur Rahman juga menunjukan bahwa
tergesernya ilmu pengobatan Islam oleh ilmu pengobatan Barat telah memunculkan
problem etis, yaitu hilangnya dimensi religius-spiritual dalam pengobatan manusia.
BAB III
PENUTUP
A. SIMPULAN
Teori double movement Fazlur Rahman merupakan teori yang terdiri dari dua
gerakan. Pertama, dari yang khusus (partikular) kepada yang umum (general). Artinya,
sebelum seorang mufassir mengambil kesimpulan hukum, ia harus mengetahui terlebih
dahulu arti yang dikehendaki secara tekstual dalam suatu ayat dengan meneliti alasanalasan hukumnya (ratio legis-‘illat), baik yang disebutkan secara eksplisit maupun implisit.
Gambaran setting sosial masyarakat Arab baik yang berkenaan dengan adat kebiasaan,
pranata sosial, maupun kehidupan keagamaan saat Al-Qur’an diturunkan, juga harus
diperhatikan secara serius oleh seorang mufassir. Baru setelah itu, dilakukan generalisasi
terhadap pesan yang ingin disampaikan oleh Al-Qur’an.
Adapun mengenai ayat-ayat telogis-metafisis, Rahman menawarkan pendekatan
sintetis logis, yaitu pendekatan dengan cara mengevaluasi ayat-ayat yang berhubungan
dengan tema yang akan dibahas dan yang berhubungan tidak harus berbicara tentang tema
yang sama.
B.
SARAN
Demikian yang disampaikan oleh penulis, kritik saran dan masukan sangat
diharapkan untuk perbaikan di masa yang akan datang.
http://cucumashaikalhikam.blogspot.co.id/2016/04/makalah-hermeneutika-alquran.html
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Al-Quran merupakan petunjuk dan rahmat bagi sekalian alam, serta mampu
membimbing umat Islam dimanapun dan kapanpun.1[1] Namun kenyataannya, untuk
mendapatkan petunjuk dan rahmat Al-Qur’an bukan pekerjaan mudah dan membutuhkan
segala upaya intelektual dan metodologi penafsiran yang cocok. Dengan metodologi yang
sesuai Al-Qur’an baru dapat diajak berdialog dalam suasana bagaimanapun dan di
manapun.
Metodologi2[2] adalah bagian epistemologi yang mengkaji perihal urutan langahlangkah yang ditempuh supaya pengetahuan yang diperoleh memenuhi ciri-ciri ilmiah.
Prinsip metodologi dalam hal ini bukan maksud sekedar langkah-langkah metodis,
melainkan asumsi-asumsi yang melatarbelakangi munculnya sebuah metode.3[3] Dalam
pembahasan epistemologi tafsir, hendaknya kita memahami mengenai konteks metodologi
tafsir (metode penafsiran Al-Qur’an).4[4]
Pada dasarnya metodologi penafsiran telah dibentuk oleh ulama-ulama salaf sebagai
upaya mereka mendialogkan Al-Qur’an dengan konteks mereka. Ketika metodologi itu
dibawa ke konteks yang berbeda, maka tidak mampu lagi mendialogkan Al-Qur’an
sebagaimana kebutuhan konteks yang baru. Jadi untuk menjadikan Al-Qur’an terus
berbicara maka membutuhkan metodologi baru yang bisa mengakomodasi perkembangan
zaman sehingga Al-Qur’an menjadi elastis dan fleksibel.5[5]
1[1]Kurdi, dkk. Hermeneutika Al-Quran dan Hadis. (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2010), hlm. 59
2[2] Metodologi berasal dari kata method dan logos. Dalam bahasa indonesia, method, dikenal dengan
metode yang artinya, cara yang teratur dan terpikirkan baik-baik untuk mencapai maksud (dalam ilmu
pengetahuan dsb); cara kerja yan bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai
tujuan yang ditentukan. Dalam bahasa Arab istilah metode dikenal sebagai manhaj. Sedangkan logos diartikan
sebagai ilmu pengetahuan. (lihat M. Alfatih Suryadilaga, dkk, Metodologi Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Teras,
2005) hlm. 37
3[3]Muhammad Shahrur, al-Kitab wa al-Quran: Qira’ah Mu’ashirah/Prinsip dan Dasar Hermeneutika AlQuran Kontemporer. Diterjemahkan oleh Sahiron Syamsuddin dan Burhanudin Dzikri (Yogyakarta: eLSAQ
Press, 2008) hlm. xvii
4[4] Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an, (Jakarta: Rajawali Press, 2013) hlm. 379
5[5] Kurdi, dkk. Hermeneutika Al-Quran dan Hadis. (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2010), hlm. 59
Munculnya tafsir kontemporer dengan epistem yang berbeda dari tafsir-tafsir
sebelumnya, merupakan keniscayaan sejarah. Kemunculannya tidak bisa dilepaskan dari
perkembangan problem sosial keagamaan masyarakat kontemporer yang semakin kompleks
dan juga perkembangan ilmu pengetahuan yang semakin pesat. Ia muncul untuk
memberikan solusi alternatif bagi problem sosial keagamaan yang dihadapi masyarakat
kontemporer.6[6]
Fazlur Rahman merupakan seorang intelektual muslim, ia menawarkan sebuah
metodologi hermeneutika double movement, yakni upaya “membaca” al-quran sebagai teks
masa lalu dengan memperhatikan konteks sosio-historis untuk mencari nilai-nilai ideal
moral, dan kemudian kembali ke masa sekarang untuk melakukan kontekstualisasi terhadap
pesan-pesan eternal-universal Al-Qur’an yang hendak diaplikasikan di era kekinian. 7[7]
Dengan metodologi tersebut Al-Qur’an yang rasional, sistematis dan komprehensif
sehingga bisa terwujud Al-Qur’anshalih li kulli zaman wa makan. Metodologi tersebut bisa
dikatakan sebagai upaya menjadikan Al-Qur’an untuk mampu menjawab persoalanpersoalan kekinian dan mampu mengakomodasi perubahan dan perkembangan zaman.
B.
RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana metodologi yang ditawarkan oleh Fazlur Rahman?
2. Apakah metodologi tersebut original dari pemikiran Fazlur Rahman?
3. Bagaimana tahapan perkembangan pemikiran dan hasil karya Fazlur Rahman?
6[6] Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer. (Yogyakarta: LkiS, 2010) hlm. ix
7[7]Ibid, hlm. xi
BAB II
PEMBAHASAN
Sebelum melangkah pada ide-ide Rahman tentang metodologi penafsiran dalam
model hermeneutika, pengertian tentang hermeneutika secara sederhana dirasa penting
untuk dijelaskan. Bagi sebagian besar masyarakat Muslim, khususnya di Indonesia, istilah
hermeneutika mungkin masih asing. Hal itu disebabkan hermeneutika merupakan barang
impor yang bukan milik asli keilmuan Islam.
A. PENGERTIAN DAN SEJARAH HERMENEUTIKA
Kata hermeneutika (hermeneutic) berasal dari kata Yunani, hermeneuein, yang
berarti menerjemahkan atau menafsirkan.8[8]Integrasi hermeneutika (hermeneutic) yang
dalam arti luas mencakup hermeneuse (praktik penafsiran), hermeneutics (hermeneutika
dalam arti sempit, yakni ilmu tentang metode-metode penafsiran).9[9]Pada awalnya
hermeneutika digunakan oleh kalangan agamawan. Melihat hermeneutika dapat
menyuguhkan makna dalam teks klasik, maka pada abad ke-17 kalangan gereja
menerapkan telaah hermeneutis untuk membongkar makna teks Injil. Ketika menemukan
kesulitan dalam memahami bahasa dan pesan kitab suci iru, mereka berkesimpulan bahwa
kesulitan itu akan terbantu pemecahannya oleh hermeneutika. Fakta ini dinisbatkan sebagai
langkah awal pertumbuhan hermeneutika menjadi sebuah gerakan interpretasi atau
eksegesis di awal perkembangannya.
Memasuki abad ke-20, kajian hermeneutika semakin berkembang. Sebagai metode
interpretasi, hermeneutika sangat besar artinya bagi keilmuan dan bisa diadopsi oleh semua
kalangan. Selanjutnya hingga abad ke-20, paling tidak hermeneutika dapat dipilah dalam
tiga kategori: sebagai filsafat, sebagai kritik, dan sebagai teori.10[10]
B.
HERMENEUTIKA, ILMU TAFSIR DAN AL-QUR’AN
8[8]Sibawaihi, Hermeneutika Al-Qur’an Fazlur Rahman. (Yogyakarta: Jalasutra, 2007) hlm. 6
9[9]Kurdi, dkk. Hermeneutika Al-Quran dan Hadis. (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2010), hlm. i
10[10]Sibawaihi, Hermeneutika Al-Qur’an Fazlur Rahman. (Yogyakarta: Jalasutra, 2007) hlm. 7
Hermeneutika tidak hanya berkembang di dunia Barat, ia meluas dan menembus
sekat-sekat agama dan budaya. Islam yang selama ini memiliki cara penafsiran tersendiri,
yang disebut ilmu tafsir, juga ditembus hermeneutika. 11[11] Beberapa pakar Muslim
modern melihat signifikansi hermeneutika, khususnya untuk memahami Al-Qur’an. Mereka
menilai bahwa ilmu tafsir yang selama ini dijadikan acuan dalam memahami Al-Qur’an
ternyata memiliki berbagai keterbatasan.12[12] Akibat dari keterbatasan itu, implikasinya,
teks akan diperlakukan hanya sebagai teks pasif yang semata-mata digunakan sebagai
postulat bagi pembenaran ide-ide penafsir tanpa memperhatikan konteks. Aspek keutuhan
dan integralitas pesan yang disampaikan menjadi sulit untuk dilihat, bahkan sering
melahirkan distorsi. Ini terlihat jelas terutama dalam metode tafsir ijmali (global), tahlili
(analitis), dan muqarin (komparatif), bahkan dalam metode mutakhirnya maudhu’i
(tematis).13[13]
Para pemikir kontemporer kemudian melihat bahwa jika keterbatasan-keterbatasan
ini dibiarkan terus-menerus, selamanya umat Islam tidak akan mampu menembus lautan
makna yang dibentangkan di balik ayat-ayat Al-Qur’an. 14[14] Umat Islam akan selamanya
terjebak dalam pagar intelektualitas tafsir dengan batas-batasnya yang sempit. Karena itu,
harus diusahakan sebuah rekonstruksi atas metodologi penafsiran. Tidak heran,
hermeneutika kemudian menjadi alternatif baru dalam upaya rekonstruksi keilmuan tafsir
itu.
Dengan asumsi bahwa teks apapun dapat ditafsirkan dalam hermeneutika, AlQur’an diperlakukan sebagai sebuah teks yang bisa dipahami pesan-pesannya dengan cara
menelusuri tidak hanya teks itu sendiri, tetapi menjelaskan secara rinci tentang proses
penerimaan wahyu sejak dari tingkat perkataan sampai ke tingkat dunia.15[15]
Hermeneutika merupakan suatu perangkat disiplin yang netral, elastis dan berkembang,
dimana pemahaman orang terhadapnya tidak harus mengikuti alur yang dimiliki orang lain,
11[11]Ibid, hlm 11
12[12]Keterbatasan yang dimaksud bahwa penafsiran selama ini hanya menekankan pada pemahaman teks
semata tanpa mau mendialogkannya dengan realitas yang tumbuh ketika teks itu dikeluarkan dan dipahami
oleh pembacanya.
13[13]Abd al-Hayyi al-Farmawi, Al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhu’iy, (Dirasah Manhajiyyah
Maudhu’iyyah: Mathba’ah al-Hadarah al-Arabiyyah, 1997), hlm 21
14[14]Sibawaihi, Hermeneutika Al-Qur’an Fazlur Rahman. (Yogyakarta: Jalasutra, 2007) hlm. 13
15[15]Ibid, hlm. 14
tak heran jika semua disiplin ilmu merasa memerlukannya. Tak terkecuali keilmuan Islam.
Kesadaran hermeneutis ini telah mengakar di benak pemikir-pemikir kontemporer,
khususnya Fazlur Rahman dari Pakistan yang menerapkan hermeneutika dalam kerangka
interpretasi sistematis dan sintetis-logis. Teori hermeneutika Al-Qur’an inilah yang ingin
diuraikan dalam pembahasan selanjutnya.
C. BIOGRAFI FAZLUR RAHMAN
Fazlur Rahman lahir di Hazara -kini menjadi bagian dari Pakistan- pada 21
September 1919. Situasi ketika ia dilahirkan memberi pengaruh bagi perkembangan
pemikirannya di kemudian hari. Perdebatan publik16[16] di antara berbagai golongan
Muslim yang terjadi sebelum kelahirannya mewarnai kehidupan sosial negerinya.
Perdebatan ini mulai menanjak ketika Pakistan dinyatakan berpisah dari India dan menjadi
sebuah negara yang berdaulat dan merdeka pada tanggal 14 Agustus 1947. 17[17] Di tengah
perdebatan inilah yang menjadi pemicu baginya untuk mendalami seluk-beluk keilmuan
Islam dan menguasai berbagai arus metodologi pemikiran.
Rahman lahir dan dibesarkan dari keluarga yang mementingkan pendidikan.
Ayahnya, Maulana Syahab al-Din adalah seorang ulama tradisional yang bermazhab
Hanafi.18[18] Meskipun ayahnya seorang tradisionalis, namun ia tak seperti kebanyakan
ulama di zamannya yang menentang dan menganggap pendidikan modern dapat meracuni
keimanan dan moral. Menurutnya, Islam harus menghadapi realitas kehidupan modern,
tidak hanya sebagai sebuah tantangan (challenge) tetapi juga merupakan kesempatan
(opportunity).19[19] Keyakinan sang ayah inilah yang kelak dipatrikan pada Fazlur
Rahman.
Sekolah modern dimasukinya di Lahore tahun 1933. Pendidikan tingginya ditempuh
di Punjab University jurusan Bahasa Arab, dan selesai dengan gelar BA tahun 1940. Gelar
Master untuk jurusan ketimuran juga diraihnya di universitas yang sama tahun 1942. 20[20]
16[16]Ada tiga kubu yang berseteru: kaum modernis, kaum tradisionalis, dan kaum funamentalis. Kaum
modernis merumuskan konsep kenegaraan Islam dalam bingkai term ideologi modern, kaum tradisionalis
menawarkan konsep kenegaraan yang didasarkan atas teori-teori politik tradisionalis Islam: khalifah dan
imamah, sedangkan kaum fundamentais mengusulkan konsep kenegaraan “kerajaan Tuhan”.
17[17]Sibawaihi, Hermeneutika Al-Qur’an Fazlur Rahman. (Yogyakarta: Jalasutra, 2007) hlm. 17
18[18]Sebuah mazhab Sunni yang lebih rasionalis dibanding mazhab lain (Syafi’i, Maliki, dan Hanbali).
19[19]Kurdi, dkk. Hermeneutika Al-Quran dan Hadis. (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2010), hlm. 61
20[20]Sibawaihi, Hermeneutika Al-Qur’an Fazlur Rahman. (Yogyakarta: Jalasutra, 2007) hlm. 18
Menyadari bahwa mutu pendidikan di India saat itu masih rendah, Rahman memutuskan
untuk memperdalam ilmunya di Inggris.21[21] Pada tahun 1946, ia masuk Oxford
University dan kemudian menyandang gelar doktor di bidang sastra pada tahun 1950.
Setamat dari Oxford University, Rahman tidak langsung pulang ke Pakistan, selama
beberapa tahun, ia memilih mengajar di Eropa. Hingga tiga tahun kemudian, semangat
patriotik kenegaraannya mengalahkan segalanya. Hal itu karena, setelah pemerintahan
Pakistan bergulir di tangan Ayyub Khan yang berpikiran modern, Rahman terpanggil untuk
membenahi negeri asalnya dan rela meninggalkan karier akademiknya demi sebuah
tantangan yang menghadang di negeri sendiri. Ia lalu ditunjuk menjadi direktur Pusat
Lembaga Riset Islam selama satu periode (1961-1968).22[22] Di masa ini, ia tercatat
memprakarsai terbitnya Journal of Islamic Studies, tempat ia menampungkan gagasangagasannya.
Rahman bekerja sangat serius, langkah yang diambilnya adalah strategi ganda,
yakni mengangkat orang tamatan madrasah yang memiliki pengetahuan bahasa inggris dan
memberikan pelatihan teknik-teknik riset modern juga mengirim beberapa orang ke luar
negeri untuk memperoleh pelatihan dan gelar dalam kajian-kajian Islam. Akan tetapi, usaha
ini tidak berlangsung lama. Penunjukan dirinya sebagai direktur sebenarnya tidak direstui
oleh kalangan ulama tradisionalis.23[23]Karenanya, wajar bila selama kepemimpinannya
lembaga riset kerap menuai kecaman dan serangan dari kaum tradisionalis dan
fundamentalis. Puncaknya meletus ketika dua bab pertama dari bukunya, Islam,
dipublikasikan Fikr-u-Nazr. Masalah sentralnya adalah seputar hakikat wahyu Al-Qur’an.
Rahman menulis bahwa “Al-Qur’an secara keseluruhannya adalah Kalam Allah, dan dalam
pengertian biasa, juga seluruhnya adalah perkataan Muhammad”.24[24]
Fenomena tersebut memaksa Rahman untuk kembali meninggalkan tanah
kelahirannya. Ia melihat negaranya belum siap menyediakan lingkungan akademik yang
bebas dan bertanggung jawab. Pada tahun 1970 Rahman berangkat ke Chicago, dan
21[21]Keputusan yang dinilai berani, sebab terdapat anggapan bahwa sangat aneh jika seorang Muslim
belajar Islam di Eropa. Kalaupun berhasil, orang tersebut sangat sulit diterima kembali oleh masyarakatnya,
tak jarang juga mereka mengalami penindasan.
22[22]Sibawaihi, Hermeneutika Al-Qur’an Fazlur Rahman. (Yogyakarta: Jalasutra, 2007) hlm. 19
23[23]Ibid, hlm. 20
24[24]Ibid, hlm. 20
langsung dinobatkan menjadi guru besar untuk pemikiran Islam di Universitas Chicago.
Universitas tersebut merupakan tempatnya menelurkan banyak karyanya. Tempat ini pula
yang menjadi tempat persinggahan terakhirnya, hingga wafatnya pada 26 Juli 1988. Selama
8 tahun terakhirnya, selain mengajar di Universitas Chicago, ia kerap diminta memberikan
kuliah di universitas lain. Rahman menjadi Muslim pertama penerima medali Giorgio Levi
della Vida, yang melambangkan puncak prestasidalam bidang studi peradaban Islam dari
UCLA.25[25]
D. RESPON RAHMAN TERHADAP GERAKAN PEMBAHARUAN
Kepindahan Rahman ke Chicago adalah akibat dari fakta bahwa negaranya belum
siap menampung ide-ide pembaharuannya. Sekalipun di India atau Pakistan telah terjadi
pembaharuan, namun sifatnya masih dalam lingkup yang sangat terbatas. Seperti
pembaharuan yang berkembang pada abad pertengahan, mereka mendesakkan pembebasan
ijtihad (kebebasan berpikir) dan menyingkirkan segala bentuk taqlid kepada ulama-ulama
abad pertengahan dengan mengambil posisi dari yang keras sejauh mereka menerima AlQur’an dan hadis sebagai sumber materi agama. Bahkan menolak qiyas, metode alasan
analogis, untuk menafsirkan Al-Qur’an dan sunnah. Implikasinya mereka terjebak dalam
penafsiran menurut yang tertulis dalam Al-Qur’an dan sunnah. 26[26]Rahman belum melihat
perkembangan signifikan yang benar-benar selaras dengan harapannya. Fenomena tersebut
sebagai salah satu alasan yang membuat kegelisahan Rahman untuk mendefinisikan
kembali Islam dalam konteks modernitas dalam gerakan neo-modernis.27[27]Pembaharuan
ini memiliki tingkatan dan perkembangan. Rahman membagi sifat pembaharuan ini secara
umum menjadi empat kelompok gerakan, yaitu: pertama, revivalisme pramodernis; kedua,
modernisme klasik; ketiga, neo-revivalisme; dan keempat, neo-modernisme.28[28]
25[25]Kurdi, dkk. Hermeneutika Al-Quran dan Hadis. (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2010), hlm. 64
26[26]Fazlur Rahman, Islam, terj. Sinoaji Saleh (Jakarta: Bina Aksara, 1987), hlm. 315
27[27]Neomodernis adalah penamaan aliran/gerakan. Istilah ini secara sederhana dapat diartikan dengan
“paham modernisme baru”, Neomodernisme digunakan untuk memberi identitas pada kecenderungan pemikir
Islam yang muncul dalam dekade terakhir yang berusaha menjembatani bahkan mengatasi pemikiran
tradisionalisme dan modernisme. Artinya, jika modernisme sangat perhatian terhadap rasionalisme,
modernisme mencoba mengambil apa yang ditinggal oleh gerakan modernisme. di samping kemunculan
Neomodernis karena tuntutan zaman yang kurang mendapat antisipasi oleh pemikiran keislaman yang sudah
mapan secara historis. Lihat Ahmad Amir Aziz, Neo-Modernisme Islam di Indonesia (Jakarta: Rineka Cipta,
1999) hlm. 15-16
28[28]Sibawaihi, Hermeneutika Al-Qur’an Fazlur Rahman. (Yogyakarta: Jalasutra, 2007) hlm. 25
Kelompok neo-modernisme. Pada posisi inilah Rahman berdiri, bahkan mengklaim
dirinya
sebagai
juru
bicaranya.29[29]
Karenanya,
dalam
konteks
ini,
Rahman
mencanangkan suatu penyusunan metodologi yang tepat dan logis untuk mengkaji AlQur’an, yaitu -hermeneutika Al-Qur’an- sebuah metode yang mengkaji Al-Qur’an secara
komprehensif dan mampu menjawab persoalan-persoalan umat di zaman sekarang. 30[30]
Metodologi ini diharapkan dapat melakukan rekonstruksi sistematis atas Islam namun tetap
berpegang pada akar-akar spiritualnya.
E.
AL-QUR’AN DALAM PERSPEKTIF RAHMAN
Sebelum membicarakan tentang hermeneutika Al-Qur’an Fazlur Rahman, menarik
untuk dieksplorasi konsep Rahman tentang Al-Qur’an. Konsep Rahman tentang Al-Qur’an,
sebagaimana yang dapat disimpulkan dalam bukunya Islam, adalah:
Al-Qur’an secara keseluruhan adalah kata-kata (kalam) Allah, dan dalam pengertian
biasa, juga keseluruhannya merupakan kata-kata Muhammad. Jadi, Al-Qur’an murni katakata Ilahi, namun tentu saja, ia sama-sama secara intim berkaitan dengan personalitas
paling dalam Nabi Muhammad yang hubungannya dengan kata-kata (kalam) Ilahi itu tidak
dapat dipahami secara mekanis seperti hubungan sebuah rekaman. Kata-kata (kalam)
Ilahi mengalir melalui hati Nabi.31[31]
Definisi Rahman di atas, mengasumsikan bahwa pola hubungan atau model
pewahyuan yang dibangun antara Al-Qur’an (sebagai sebuah teks; The Text), Allah adalah
pengarang (The Author) dan Muhammad (The Reader and the author). Pengasumsian
Muhammad sebagai penerima sekaligus pembicara ini menegaskan bahwa secara psikologi
Muhammad berpartisipasi baik mental maupun intelektual dalam penerimaan wahyu itu. 32
[32] Oleh karena itu, Al-Qur’an harus dipahami dalam konteks yang tepat yakni perjuangan
Nabi dan latar belakang dari perjuangan tersebut.33[33]
F.
GAGASAN HERMENEUTIKA DALAM MENGINTERPRETASIKAN AL-
QUR’AN
Gagasan untuk menjadikan Al-Qur’an universalitas dan fleksibilitas, Al-Qur’an
tidak bisa dipahami secara atomistik, melainkan harus sebagai kesatupaduan yang terjalin
29[29]Ibid, hlm. 25
30[30]Kurdi, dkk. Hermeneutika Al-Quran dan Hadis. (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2010), hlm. 68
31[31]Fazlur Rahman, Islam. hlm. 32-35
32[32]Ibid, hlm. 32-33
33[33]Fazlur Rahman, Interpreting the al-Qur’an, Inquiri, May (1998), hlm. 46
sehingga menghasilkan suatu weltanschauung yang pasti.34[34] Pemahaman seperti ini
yang tidak didapatkan dalam penafsiran-penafsiran klasik, mereka terlalu asyik bermain
dengan kata-kata yang menyebabkan mereka terjebak dalam penafsiran literal-tekstual.
Bagi Rahman fenomena ini terjadi dikarenakan ketidaktepatan dan ketidaksempurnaan alatalat yang disebabkan kegersangan metode penafsiran.
Untuk mengantisipasi persoalan tersebut, Rahman menawarkan suatu metode yang
logis, kritis, dan komprehensif, yaitu hermeneutika double movement (gerak ganda
interpretasi).35[35] Metode ini memberikan pemahaman yang sistematis dan kontekstualis,
sehingga menghasilkan suatu penafsiran yang tidak atomistik, literalis dan tekstualis,
melainkan penafsiran yang mampu menjawab persoalan-persoalan kekinian.
Persoalan mengapa harus mengetahui masa Al-Qur’an diturunkan, sedangkan masa
dahulu dengan masa sekarang tidak mempunyai kesamaan, Rahman mengatakan: AlQur’an adalah respon Ilahi melalui pikiran dan ingatan Nabi, kepada situasi moral-sosial
masyarakat Arab pada masa Nabi.36[36] Artinya, signifikansi pemahaman setting-social
Arab pada masa Al-Qur’an diturunkan disebabkan adanya proses dialektika antara AlQur’an dengan realitas, baik itu dalam bentuk tahmil (menerima dan melanjutkan), tahrim
(melarang keberadaannya), dan taghiyyur (menerima dan merekonstruksi tradisi).37[37]
Adapun mekanisme hermeneutika double movement yang ditawarkan Fazlur
Rahman dalam menginterpretasi Al-Qur’an adalah:
1. Gerak Pertama
Gerakan pertama, yakni dari situasi sekarang ke masa Al-Qur’an diturunkan, terdiri
dari dua langkah:
Langkah Pertama, merupakan tahap pemahaman arti atau makna dari suatu pernyataan
dengan mengkaji situasi atau problem historis dimana pernyataan Al-Qur’an tersebut
merupakan jawabannya. Tentu saja, sebelum mengkaji ayat-ayat spesifik dalam sinaran
34[34]Kurdi, dkk. Hermeneutika Al-Quran dan Hadis. (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2010), hlm. 70
35[35]Adapun yang dimaksud gerakan ganda adalah: dimulai dari situasi sekarang ke masa Al-Qur’an
diturunkan dan kembali lagi ke masa kini. Lihat Fazlur Rahman, Islam and Modernitas; Transformation of an
Intellectual Tradition (Chicago and London: University Press, 1982), hlm. 6
36[36]Ibid, hlm. 6
37[37]Ali Shodiqin, Antropologi al-Qur’an; Model Dialektika Wahyu dan Realitas (Yogyakarta: ar-Ruzz
Media, 2008), hlm. 116-117
situasi-situasi spesifiknya, suatu kajian mengenai situasi makro dalam batasan-batasan
masyarakat agama, adat-istiadat, lembaga-lembaga bahkan mengenai kehidupan secara
menyeluruh di Arabia pada saat turunnya Islam dan khususnya di Makkah akan dilakukan.
Jadi, langkah pertama dari gerakan yang pertama adalah memahami makna Al-Qur’an
sebagai suatu keseluruhan di samping dalam batas-batas ajaran yang khusus yang
merupakan respon terhadap situasi-situasi khusus.38[38]
Langkah Kedua, menggeneralisasikan jawaban-jawaban spesifik itu dan menyatakan
sebagai pernyataan-pernyataan yang memiliki tujuan-tujuan moral-sosial umum yang dapat
“disaring” dari teks-teks spesifik dalam sinaran latarbelakang sosio-historis dan ratio-legis
(illat hokum) yang sering dinyatakan. Sesungguhnya langkah pertama itu -pemahaman teks
spesifik- sendiri mengimplikasikan langkah kedua dan akan mengantar ke arah itu.39[39]
2. Gerak Kedua
Gerakan kedua merupakan proses yang berangkat dari pandangan umum ke pandangan
khusus yang harus dirumuskan dan direalisasikan sekarang, yakni yang umum harus
diwujudkan dalam konteks sosio-historis konkret sekarang. Dengan demikian, metodologi
yang diintrodusir oleh Rahman adalah metode berpikir yang bersifat reflektif, mondarmandir antara deduksi dan induksi secara timbal balik.40[40]
Jika dicermati teori double movement Fazlur Rahman, tampaknya mencoba
mendialektikakan text, author, dan reader.41[41] Sebagai author, Rahman tidak memaksa
teks berbicara sesuai dengan keinginan author, melainkan membiarkan teks berbicara
sendiri. Untuk mengajak teks berbicara, Rahman menelaah historisitas teks. Historis yang
dimaksudkan disini bukanlah semata-mata asbab al-nuzul sebagaimana yang dipahami oleh
ulama konvensional, yaitu peristiwa yang menyebabkan Al-Qur’an diturunkan,42[42]
melainkan lebih luas dari itu, yaitu setting-sosial masyarakat Arab dimana Al-Qur’an
diturunkan atau lebih tepat disebut qira’ah al-tarikhiyyah.
38[38]Fazlur Rahman, Islam and Modernitas, hlm. 7
39[39]Ibid, hlm. 7
40[40]Kurdi, dkk. Hermeneutika Al-Quran dan Hadis. (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2010), hlm. 72
41[41]Ibid
42[42]Muhammad Abdul ‘Azim al-Zarqani, Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an (Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiah, 2003), hlm. 63
Di samping itu, menurut Birt sebagaimana yang dikutip Abd A’la, historisisme Rahman
terdiri dari tiga tahap yang saling berhubungan. Pertama, pemahaman terhadap proses
sejarah yang dengan itu Islam mengambil bentuknya. Kedua, analisis terhadap proses
tersebut untuk membedakan prinsip-prinsipnya yang esensial dari formasi-formasi umat
Islam yang bersifat partikular sebagai hasil kebutuhan mereka yang bersifat khusus. Ketiga,
pertimbangan terhadap cara yang terbaik untuk mengaplikasikan prinsip-prinsip esensial
tersebut.43[43] Berkaitan dengan ketiga tahapan historisisme Rahman, penulis berasumsi
bahwa itulah yang disebut dengan origin, change, dan development.
Selain teori double movement, Rahman juga menggunakan teori lain dalam
menginterpretasikan Al-Qur’an, khususnya ayat-ayat metafisika. Metode tersebut adalah
metode sintetis-logis. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Rahman sendiri:
Kecuali dalam penggarapan beberapa tema penting semisal aneka ragam komunitas
agama, kemungkinan dan aktualitas mu’jizat, serta jihad, yang kesemuanya menunjukkan
evolusi melalui Al-Qur’an, prosedur yang digunakan dalam mensintetis-kan tema-tema,
lebih bersifat logis ketimbang kronologis.44[44]
G. MELACAK AKAR TEORI DOUBLE MOVEMENT
Sebagai sebuah teori dan sistem interpretasi, hermeneutika jelas sangat diperlukan
dalam memahami Al-Qur’an, yakni dalam rangka memberi makna dan memproduksi
makna sehingga teks menjadi hidup dalam konteks apa pun. Terkait dengan hermeneutika
ini, paling tidak ada dua aliran utama, yakni aliran objektivis dan aliran subjektivis. Dalam
hal ini, Rahman dapat dikategorikan sebagai pemikir aliran objektivis. Ia tampaknya
terpengaruh oleh hermeneutika model Emelio Betti yang masih mengakui original meaning
(makna otentik), ketimbang hermeneutika Hans-Georg Gadamer (penganut aliran
subjektivis) yang sudah tidak percaya lagi pada original meaning.45[45]
Meskipun Fazlur Rahman sealiran dengan Betti yang masih percaya pada makna
objektif dan juga masih mengakui adanya original meaning, namun ada perbedaan
mengenai konsep the original meaning antara Betti dan Rahman. Jika Betti berkeyakinan
bahwa makna asli suatu teks terletak pada akal pengarang, di mana dalam proses
43[43]Abd A’la, Dari Neomodernisme ke Islam Liberal (Jakarta: Paramadina, 2003), hlm. 71
44[44]Fazlur Rahman, Major Themes of The al-Qur’an (Chicago: Minneapolis-Bibliotheca Islamica, 1980),
hlm. xi
45[45]Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer. (Yogyakarta: LkiS, 2010), hlm. 175
interpretasinya, teks harus dibawa kepada pikiran pengarang,46[46] maka tidak demikian
halnya dengan Rahman yang menganggap makna asli teks dapat dipahami melalui konteks
sejarah ketika teks itu ditulis atau diturunkan.47[47]
Menurut Rahman, Al-Qur’an adalah respon Tuhan terhadap realitas yang muncul
sehingga setiap ayat yang turun bukanlah kalimat yang berdiri sendiri, melainkan ia terkait
dengan konteks sosio-historis, budaya, dan problem yang dihadapi saat itu. Dengan kata
lain, Al-Qur’an dan asal-usul komunitas Islam muncul dalam sinaran sejarah dan
berhadapan dengan latar belakang sosio-historis.48[48]
Langkah pertama dari gerakan ganda adalah upaya sungguh-sungguh memahami
konteks mikro dan makro di saat Al-Qur’an diturunkan. Setelah itu, mufassir mencoba
menangkap makna asli (original meaning) dari ayat Al-Qur’an dalam konteks sosio-historis
era kenabian. Dari situ maka akan ditemukan ajaran universal Al-Qur’an yang melandasi
berbagai perintah normatif Al-Qur’an. Kedua, melakukan generalisasi jawaban-jawaban
spesifik tersebut dan menyatakannya sebagai pernyataan-pernyataan yang memiliki tujuan
moral-sosial yang disaring dari ayat-ayat spesifik dalam sinaran latar belakang sosiohistoris dan ratio legis yang sering dinyatakan.49[49]
Struktur hermeneutika double movement secara skematis dapat diilustrasikan
sebagai berikut:
46[46] Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, hlm. 465
47[47] Fazlur Rahman, Islam and Modernity, hlm. 8-9
48[48]Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer. (Yogyakarta: LkiS, 2010), hlm. 179
49[49]Ibid, hlm. 181
Gambar 1. Struktur hermeneutika Double Movement
H. HERMENEUTIKA AL-QUR’AN DAN PERSOALAN KONTEMPORER
Gagasan hermeneutika Al-Qur’an Rahman merupakan suatu tawaran yang menarik,
ketika kita mencoba mencermati dan mengaitkannya dengan persoalan kontemporer.
Sebagai contohnya adalah ayat yang membicarakan tentang poligami.
QS. An-Nisa’ (4): 3
Ayat tersebut turun sebagai respon terhadap perilaku para wali dari anak-anak
yatim, baik laki-laki maupun perempuan yang sering menyelewengkan harta kekayaan
mereka.50[50] Kemudian Al-Qur’an menyerukan agar mereka (para wali) tidak
menyelewengkan harta itu, dan mereka boleh mengawini (perempuan yatim) sampai empat
orang diantara mereka, asalkan mereka dapat berlaku adil. Seruan ini juga didukung oleh
QS. An-Nisa’ (4): 127.51[51]
Pernyataan diatas dengan melihat asbab al-nuzul-nya menunjukkan bahwa masalah
ini muncul dalam konteks perempuan –perempuan yatim. Tapi kemudian Al-Qur’an
memperingatkan bahwa “betapapun mereka (para wali) itu berupaya (berkeinginan
50[50] Abdul Fatah Abdul Ghani al-Qadhi, Asbab al-Nuzul ‘an al Shahabah wa al-Mufassirin (Mesir: Dar
al-Salam, 2005), hlm. 64
51[51] Dan mereka minta fatwa kepadamu tentang para wanita. Katakanlah: “Allah memberi fatwa
kepadamu tentang mereka, dan apa yang dibacakan kepadamu dalam al-Qur’an (juga memfatwakan) tentang
para wanita yatim yang kamu tidak memberikan kepada mereka apa yang ditetapkan untk mereka, sedang
kamu ingin mengawini mereka dan tentang anak-anak yang masih dipandah lemah. Dan (Allah menyuruh
kamu) supaya kamu mengurus anak-anak yatim secara adil, dan kebajikan apa saja yang kamu kerjakan.
Maka sesungguhnya Allah maha Mengetahuinya. (Lihat Tafsir Kementerian Agama QS. An-Nisa’ (4): 129)
mengawini sampai empat), namun kalian, kata Allah, tidak akan dapat berlaku adil kepada
perempuan-perempuan tersebut. (QS. An-Nisa’ (4): 129).
Pandangan-pandangan Al-Qur’an diatas, menurut Fazlur Rahman terdapat distingsi
(antara aspek legal dan ajaran moral Al-Qur’an), yaitu: izin untuk beristri empat orang, dan
keharusan untuk berlaku adil kepada mereka. Berdasarkan atas distingsi ini, Rahman
kemudian berkesimpulan bahwa:
Yang benar nampaknya bahwa diizinkan poligami adalah pada taraf legal, sementara
sanksi-sanksi yang diberikan kepadanya pada hakekatnya adalah sebuah cita-cita moral
yang mana masyarakat diharapkan bergerak kearahnya, karena tidak mungkin untuk
menghapuskan poligami secara legal sekaligus.52[52]
Dari alasan tersebut dapat disimpulkan bahwa, kebolehan berpoligami pada
dasarnya lahir sebagai jawaban bagi wali yang tidak berlaku adil bagi anak yatim, baik lakilaki maupun perempuan. Dan Al-Qur’an membolehkan mereka (para wali) mengawini
perempuan yatim itu dijadikan istri sampai batas empat orang. Tujuan Al-Qur’an disini
adalah untuk menguatkan bagian-bagian masyarakat yang lemah (seperti orang-orang
miskin, anak yatim kaum wanita, budak-budak, dan orang yang terjerat hutang) 53[53]
sehingga tercipta sebuah tatanan masyarakat yang etis dan legaliter. Karena sebab turunnya
ayat ini berkaitan dengan perempuan yatim, dan kebutuhan berpoligami dengan syarat
berleku adil tidak mungkin (mustahil), maka proses poligami ke monogami ini
membutuhkan pentahapan-pentahapan perubahan legislasi Islam seperti fenomena yang
sama terjadi dalam kasus perbudakan. Jadi monogami lebih kontekstual dalam legislasi
Islam.54[54]
I.
PERKEMBANGAN PEMIKIRAN DAN HASIL KARYA FAZLUR RAHMAN
Perkembangan pemikiran dan karya-karya Fazlur Rahman dapat diklasifikasikan ke
dalam tiga periode, yaitu periode pembentukan (formasi), periode perkembangan, dan
periode kematangan.
Periode pertama disebut periode pembentukan karena pada periode ini Fazlur
Rahman mulai meletakkan dasar-dasar pemikirannya dan mulai berkarya. Periode ini
dimulai sejak Fazlur Rahman belajar sampai dengan menjelang pulang ke negerinya,
52[52] Fazlur Rahman, Major Themes of The Qur’an, hlm. 70
53[53]Ibid, hlm. 68
54[54]Ibid, hlm. 71
Pakistan.Pada periode ini, Fazlur Rahman berhasil menulis tiga karya intelektualnya, yaitu:
(1) Avecinna’s Psychology, berisikan kajian dari pemikiran Ibn Sina yang terdapat dalam
kitab Kitab al-Najat; (2) Avecinna’s De Anima, being the Psychologycal Part of Kitab alShifa’ merupakan suntingan dari kitab al-Nafs yang merupakan bagian dari Kitab al-Shifa’ ;
(3) Prophecy in Islam: Philosophi and Orthodoxy, merupakan karya orisinal Fazlur Rahman
yang paling penting pada periode ini. Karya ini dilandasi oleh rasa keprihatinannya atas
kenyataan bahwa sarjana-sarjana Muslim modern kurang menaruh minat dan perhatian
terhadap dokrin-dokrin kenabian.
Periode kedua disebut periode perkembangan karena pada periode ini Fazlur
Rahman mengalami proses menjadi, yaitu proses berkembang dari pertumbuhan menuju
kematangan. Periode ini dimulai sejak kepulangan Fazlur Rahman dari Inggris ke Pakistan
sampai menjelang keberangkatannya ke Amerika.
Periode ini ditandai dengan suatu perubahan yang radikal. Fazlur Rahman secara
intens terlibat dalam upaya-upaya untuk merumuskan kembali Islam dalam rangka
menjawab tantangan-tantangan dan kebutuhan-kebutuhan masyarakat muslim kontemporer,
bagi Pakistan khususnya. Keterlibatan Fazlur Rahman dalam arus pemikiran Islam
menghasilkan karya berupa artikel-artikel dia yang diterbitkan dalam bentuk buku, yang
berjudul Islamic Methodology in History. Karya ini membahas konsep sunnah, ijtihad, dan
ijma’. Inti sari dari buku tersebut adalah pemikiran bahwa dalam perjalanan sejarah telah
terjadi pergeseran dari otoritas sunnah Nabi menjadi sunnah yang hidup dan akhirnya
menjadi hadis. Sunnah Nabi merupakan sunnah yang ideal, sunnah yang hidup merupakan
interpretasi dan implementasi kreatif para sahabat dan tabi’in terhadap sunnah ideal
tersebut, sedangkan hadis merupakan upaya penuturan sunnah dalam suatu catatan. Dari
sunnah tersebut, ia ingin membangun kembali mekanisme “Sunnah-Ijtihad-Ijma”.
Buku kedua yang dihasilkan Fazlur Rahman dalam periode ini adalah berjudul
“Islam”. Buku ini merupakan upaya Fazlur Rahman dalam menyajikan sejarah
perkembangan Islam secara umum, yaitu kira-kira selama empat belas abad keberadaan
Islam. Dalam buku ini, Fazlur Rahman lebih dominan mengemukakan kritik historis,
disamping sedikit memberikan harapan dan saran-saran.
Secara epistemologis Fazlur Rahman berhasil menggabungkan pendekatan historis
dan normatif menjadi metode yang sistematis dan komprehensif untuk memahami AlQur’an, yang pada akhirnya disempurnakan menjadi metode suatu gerakan ganda (a double
movement).
Periode ketiga disebut dengan periode Kematangan, karya-karya intelektual Fazlur
Rahman sejak kepindahannya ke Chicago (1970) mencakup hampir seluruh kajian Islam
normatif maupun historis. Dalam periode ini ia berhasil menyelesaikan beberapa buku;
pertama, Philosophy of Mulla Sadra Shirazi. Buku ini merupakan kajian historis Fazlur
Rahman terhadap pemikiran Shadr al-Din al-Shirazi (Mulla Sadra). Didalamnya
mengungkapkan tentang sanggahan bahwa tradisi filsafat Islam telah mati setelah diserang
bertubi-tubi oleh al-Ghazali, untuk membantah pandangan sarjana barat modern yang keliru
tentang hal tersebut. Disamping itu, didalamnya punmembahas tentang hasil penelusuran
terhadap pemikiran Shadra. Fazlur Rahman sampaipada kesimpulan bahwa sistem filsafat
Shadra sangat kompleks dan orisinal.
Buku kedua adalah “Mayor Themes of Qur’an”. Buku ini berisi delapan tema pokok
al-Qur’an, yaitu; Tuhan, Manusia sebagai Individu, Manusia sebagai anggota Masyarakat,
alam semesta, kenabian dan wahyu, eskatologi, setan dan kejahatan, serta lahirnya
masyarakat muslim. Melalui karya ini Fazlur Rahman berhasil membangun suatu landasan
filosofis yang tegar untuk perenungan kembali makna dan pesan al-Qur’an bagi kaum
muslimin komtemporer.
Buku ketiga yang dihasilkan Fazlur Rahman adalah “Islam and Modernity:
Transformation of an Intelektual Tradition”. Dalam buku ini Fazlur Rahman berbicara
tentang pendidikan Islam dalam perspektif sejarah dengan Al-Qur’an sebagai kriterium
penilai. Menurut perspektif Fazlur Rahman bahwa yang dimaksud pendidikan bukanlah
suatu perlengkapan, peralatan-peralatan fisik ataupun struktur eksternal pendidikan,
melainkan intelektualisme Islam, sebab itu merupakan esensi dari pendidikan tinggi Islam.
Ia adalah suatu pertumbuhan pemikiran Islam yang asli dan memadai, yang harus
memberikan kriteria untuk menilai keberhasilan atau kegagalan suatu sistem pendidikan
Islam.
Buku terakhir yang dihasilkan oleh Fazlur Rahman adalah “Health and Medicine in
Islamic Tradition”. Buku ini berusaha memotret kaitan antar organis antara Islam sebagai
sistem kepercayaan dan Islam sebagai sebuah tradisi pengobatan manusia. Dengan
menjelajahi teks-teks al-Qur’an dan Hadis Nabi serta sejarah kaum muslim, Fazlur Rahman
memperlihatkan bahwa perkembangan ilmu pengobatan dalam tradisi Islam digerakkan
oleh motivasi etika agama dan keyakinan bahwa mengobati orang sakit adalah bentuk
pengabdian kepada Allah. Disamping itu, Fazlur Rahman juga menunjukan bahwa
tergesernya ilmu pengobatan Islam oleh ilmu pengobatan Barat telah memunculkan
problem etis, yaitu hilangnya dimensi religius-spiritual dalam pengobatan manusia.
BAB III
PENUTUP
A. SIMPULAN
Teori double movement Fazlur Rahman merupakan teori yang terdiri dari dua
gerakan. Pertama, dari yang khusus (partikular) kepada yang umum (general). Artinya,
sebelum seorang mufassir mengambil kesimpulan hukum, ia harus mengetahui terlebih
dahulu arti yang dikehendaki secara tekstual dalam suatu ayat dengan meneliti alasanalasan hukumnya (ratio legis-‘illat), baik yang disebutkan secara eksplisit maupun implisit.
Gambaran setting sosial masyarakat Arab baik yang berkenaan dengan adat kebiasaan,
pranata sosial, maupun kehidupan keagamaan saat Al-Qur’an diturunkan, juga harus
diperhatikan secara serius oleh seorang mufassir. Baru setelah itu, dilakukan generalisasi
terhadap pesan yang ingin disampaikan oleh Al-Qur’an.
Adapun mengenai ayat-ayat telogis-metafisis, Rahman menawarkan pendekatan
sintetis logis, yaitu pendekatan dengan cara mengevaluasi ayat-ayat yang berhubungan
dengan tema yang akan dibahas dan yang berhubungan tidak harus berbicara tentang tema
yang sama.
B.
SARAN
Demikian yang disampaikan oleh penulis, kritik saran dan masukan sangat
diharapkan untuk perbaikan di masa yang akan datang.
http://cucumashaikalhikam.blogspot.co.id/2016/04/makalah-hermeneutika-alquran.html