AHOK DAN ISU KE BHINEKA AN

AHOK DAN ISU KE-BHINEKA-AN
Oleh: Mutawally
“Orang menjadi radikal bukan karena alasan ideologi sebagai variabel signifikan, tetapi
marjinalisasi ekstrem yang mereka alami, baik secara ekonomi, hukum, maupun
psikologis.”
Akhir-akhir ini Negara kita disibukkan dengan berbagai persoalan kebangsaan, yang
salah satunya adalah isu kebhinekaan. Isu ini manjadi viral setelah adanya dugaan penodaan
agama yang dilakukan oleh Gubernur DKI Jakarta, Basuki Thahja Purnama (Ahok) di
Kepulauan Seribu, Oktober 2016 lalu. Tak tinggal diam, umat Islam yang merasa tersinggung
dengan ucapan Ahok langsung mengecam hingga berbondong-bondong melaporkannya ke
pihak berwajib. Aksi kecaman itu berlanjut dengan berbagai aksi demonstrasi besar-besaran,
bahkan tercatat sebagai demonstrasi dengan jumlah terbesar sepanjang sejarah di Indonesia.
Seolah tak mau kalah, pihak-pihak yang dinilai pro-Ahok menggelar serupa yang dinamai
sebagai “gerakan kebhinekaan” dan “gerakan kita Indonesia.”
Sikap pro-kontra bermunculan di berbagai kalangan, baik di kalangan ulama, politisi,
aktivis, birokrat, dan masyarakat luas lainnya. Ada yang mendukung penegakkan keadilan
dan ada sebaliknya, meminta agar kasus dugaan penodaan agama dihentikan karena bersifat
multitafsir, politis, dan tidak adanya niat jahat oleh terdakwa Ahok. Kasus ini menjadi bola
panas yang masif diperbincangkan di berbagai media masa, baik lokal maupun nasional,
bahkan adegan silang pendapat antar ulama dipertontonkan secara luas tanpa batas di
berbagai program acara televisi. Buntut dari kejadian ini, salah satu media TV swasta

nasional mendapatkan sanksi keras, pencabutan izin mengudara selama beberapa pekan.
Tidak bisa dimungkiri, bahwa kasus ini telah membuat kegaduhan sosial
berkepanjangan di tengah-tengah masyarakat. Fenomena hujat menghujat yang begitu masif
dan ekstrem telah memunculkan keretakan sosial antar bangsa sendiri. Media sosial yang
hakekatnya digunakan sebagai media informasi dan komunikasi, justru disalahgunakan oleh
oknum-oknum tidak bertanggungjawab untuk saling memecahbelah, saling memprovokasi,
dan saling menyebar berita kebencian yang tidak jelas sumber informasinya alis hoax. bahkan
sentimen terhadap golongan dan etnis tertentu pun menjadi meningkat. Akibatnya, kini
berselancar di dunia maya jadi tak sehat dan seramah dulu, karena diwabahi penyakitpenyakit sosial yang begitu amat dahsyat.
Lalu bagaimana dengan kasus Ahok?
Kasus ahok adalah domain hukum, bukan wilayah kebinekaan sebagaimana yang
gaungkan oleh beberapa kelompok orang, sehingga bermunculanlah gerakan-gerakan
kebhinekaan yang seakan menjudge bahwa bangsa Indonesia yang mayoritas Islam itu mulai
anti kebhinekaan. Kasus Ahok murni wilayah hukum karena ucapannya yang telah
menyinggung salah satu surah dalam kitab suci umat Islam, al-Maidah 51. Terlepas apa

penafsiran para ulama mengenai ayat ini, yang jelas secara etika dan moral agama yang
diajarkan, tidak sepantasnya seseorang mencampuri keyakinan orang lain yang berbeda
dengannya. Apalagi sampai masuk kedalam konteks dogma agama yang wajib diimani oleh
setiap Muslim. Lakum dinukum waliyadin.

Agama dan kesakralannnya diatur dalam UUD hukum pidana. Pasal 156 a mengatur
larangan mengeluarkan perasaan atau perbuatan penodaan terhadap suatu agama yang dianut
di Indonesia, tidak main-main pelaku atas penodaan agama dipidana penjara selama-lamanya
lima tahun. UUD ini jelas menegaskan bahwa tidak seorangpun diperbolehkan dengan
sengaja menodai dan melecehkan agama, ajaran, dan keyakinan orang lain. apapun agama itu,
Islam, Kriten, Hindu, Budha, dan agama lainnya di muka bumi ini.
Namun, beberapa kelompok mengecam penegakkan hukum atas perkara ini. Mereka
berdalih bahwa kasus ini bersifat politis akibat penekanan masa dengan jumlah besar. Akan
tetapi menurut Mahfud MD, kasus ahok tak ada relevansinya dengan pengerahan dan
penekanan oleh masa, sebab undang-undang telah dibuat jauh sebelum adanya demonstrasi
dan pengerahan masa. Maka sudah seharusnya, biarlah perkara ini menjadi domain hukum
yang harus ditegakkan seadil-adilnya, tanpa ada penekanan dan tidak bertendensi ke arah
manapun.
Apakah spirit kebhinekaan kita telah luntur?
Negara ini lahir dengan pilar dan pondasi yang kuat, yaitu Pancasila, Bhineka Tunggal
Ika, UUD 1945, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Salah satu pondasi negara
yang teramat penting untuk diramu dalam merespon keberagaman yang tinggi ini adalah pilar
Bhineka Tunggal Ika. Semboyan ini sejak lama telah mengakar kuat dalam jiwa masyarakat
Indonesia, jauh sebelum Negara ini terbentuk. Bhinika Tunggal Ika memiliki falsafah penting
yang mengiringi perjalanan bangsa Indonesia yang majemuk. Dalam kemajemukan itulah,

Bhineka Tunggal Ika memainkan perannya sebagai semboyan pemersatu dan perekat
kerukunan beragama.
Spirit kebhinekaan telah merekat kuat dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia,
tidak perlu diisukan bahwa masyarakat dan kelompok tertentu intoleran, itu jelas keliru.
Bangsa ini atau umat Islam Indonesia adalah umat yang inklusif-toleran. Berpuluh-puluh
tahun bangsa ini telah berhasil mempraktekkan dan meramu perbedaan dengan cara yang
baik, hidup rukun dan tidak mempersoalkan perbedaan yang merupakan anugrah yang telah
digariskan oleh Allah SWT. Aksi 411 dan 212 yang dituding sebagai aksi anti-kebhinekaan
dan bermuatan politis tidaklah mendasar, sebab aksi tersebut murni aksi solidaritas umat
muslim yang menuntut penegakkan keadilan atas Gubernur Basuki Tjahja Purnama (Ahok)
tanpa tebang pilih. Kebinekaan kita tidak luntur, hanya saja keadilan yang terkadang belum
maksimal ditegakkan. Hukum yang tajam ke bawah, tumpul ke atas adalah fenomena yang
seringkali dipertontonkan secara frontal. Akibatnya, ketika hukum tidak ditegakkan, maka

akan muncul public distrust, ketidakpercayaan publik atas penegakkan hukum. Justru bukan
soal kebhinekaan, tapi keadilan kita yang luntur!
Kita prihatin atas berbagai perkembangan sosial yang menyelimuti masyarakat kita
akhir-akir ini yang berpotensi menimbulkan disintegrasi sosial yang luas. Sangatlah penting
menjaga spirit kebhinekaan, tanpa harus melepaskan pesan keadilan. Negara ini adalah
negara hukum, maka semua masalah yang melanggar hukum harus diproses dengan seadiladilnya tanpa tebang pilih. Francis Fukuyama mengatakan, “Orang menjadi radikal bukan

karena alasan ideologi sebagai variabel signifikan, tetapi marjinalisasi ekstrem yang mereka
alami, baik secara ekonomi, hukum, maupun psikologis.”
Itulah sebabnya keadilan harus tegakkan setegak-tegaknya guna meredam aksi-aksi
radikal akibat ketidakadilan ditengah-tengah masyarakat. Tapi lagi-lagi, spirit untuk hidup
rukun

dan damai tak boleh berhenti digelorakan, dan tidak boleh dikalahkan oleh

sekelompok orang yang ingin memecahbelah persatuan bangsa ini. Hidup dalam kebinekaan
adalah rahmat Tuhan yang patut disyukuri, sebab negara ini hadir dari semangat para leluhur
yang pluralis. Olehnya, marilah saling berharmoni dan berkedamaian dalam hidup.