FILSAFAT PENDIDIKAN DAN NILAI NILAI DALA

Fi l s a f a t Pe n d i d i k a n | 1

FILSAFAT PENDIDIKAN DAN NILAI-NILAI DALAM
FILSAFAT
Oleh: Anzas Swara, Didi Irmansyah dan Romi
Wirdianata*
Kembalilah kepada dirimu sendiri: alihkan
perhatianmu dari segala sesuatu yang ada di
sekitarmu dan arahkan pada kehidupan batinmu; ini
adalah syarat pertama yang dituntut filsafat kepada
muridnya(Johan Gottlieb Ficht, 1762-1814)1
Bahasa itu bukanlah pada diirinya akan tetapi pada
benda yang besangkutan. Bahasa itu berasal dari
hasil kesepakatan.
A. Pendahuluan
Nilai Moral adalah seseuatu yang sering
dipertanyakan. Apabila kita menempatkan kasih di
atas segala-galanya, yang menjadi persoalan
adalah apakah kita dapat mengasihi seorang
pemerkosa, perampok dan pembunuh sadis? Dalam
pandangan agama Islam memang harus saling

mengasihi sesama ummat manusia., terutama
orang-orang seperti anak yatim piatu, fakir miskin,
orang tua jompo, orang dalam perjalanan dan orang
yang sedang menuntut ilmu, bahkan harus
memperlakukan tumbuh-tumbuhan dan hewan
sebagaimana ditunjuk Allah dan Rasul, jadi kasih itu
ditujukan kepada kebaikan itu sendiri bukan
melindungi kejahatan dan dekadensi moral.
Keberadaan budi pekerti, moral atau akhlak,
adalah berusaha mencari kebaikan sesuai dengan
1*Penulis merupakan mahasiswa Strata Satu di Universitas
Islam Negeri sultan Syarif Kasim Riau, Fakultas Tarbiyah dan
Keguruan, Jurusan Pendidikan Agama Islam konsentrasi SLTP/SLTA.
Muhammad Erwin, Filsafat hukum, (Jakarta: Raja grafindo,
2011), h. 265

Fi l s a f a t Pe n d i d i k a n | 2

nilai-nilai luhur agama, adat istiadat atau bahkan
lahir dari kata hati yang sucidan nurani yang jujur.

Hal ini akan menimbulkan etika yang menjadikan
kita seorang moralis (budiman), karena dapat
membedakan antara mana perbuatan yang baik
mana perbuatan yang buruk.2
Akal
dipergunakan
dengan
mengoperasionalkan
otak,
berusaha
mencari
kebenaran sesuai dengan kemampuan ilmu
pengetahuan kita masing-masing. Hal ini akan
menimbulkan logika yang menjadikan kita seorang
yang intelektual (pada puncak kepakaran akal
dikenal sebagai manusia yang ilmuwan) karena
dapat membedakan antara yang benar dan yang
salah secara tepat.3
Dengan rasa, cipta dan karsa, seseorang
berusaha menemukan keindahan sesuai selera

masing-masing. Hal ini akan menimbulkan estetika
yang menjadikan seseorang tersebut menjadi
seorang seniman ataupun pencipta karya seni,
dengan kemampuan membedakan antara yang
indah dan yang jelek.
Banyak sekali ilmuwan yang mengatakan
bahwa disiplin ilmu itu adalah bebas nilai, bahkan
ditemui para ilmuan meneliti dan menulis tentang
rekayasa politik dalam pemerintahan dengan
menghalalkan segala cara, dan yang bersangkutan
menyetujuinya, secara logika ini memang benar
tetapi secara moral atau etika ini tidak baik.4
Apabila ilmu itu bebas nilai disebut sebagai
sekular, maka akan terjadi ketiranian karena nilai
adalah gagasan berharga yang indah dan baik.
Seorang ilmuwan sekular dapat saja berkata benar
tetapi tidak baik dan tidak indah. Misalnya ketika
22Inu kencana syafiie, Pengantar Filsafat, (Bandung: PT Refika,
Aditama, 2004), h.16
3Inu kencana syafiie, Pengantar Filsafat, h. 29

4Inu kencana syafiie, Pengantar Filsafat, h. 15

Fi l s a f a t Pe n d i d i k a n | 3

yang bersangkutan mengucapkan untuk tidak
terkena penyakit kelamin maka pakailah kondom
untuk
bersetubuh
dengan
seorang
pelacur.
Perkataan ini benar secara logika tetapi tidak baik
secara etika dan tidak indah dalam seni bergaul.
Kata-kata tersebut lebih tidak bernilai secara moral
bila diucapkan oleh Menteri kesehatan atau pakar
seksologi populer, sebab di antara logika, etika dan
estetikaharus berdialektika.5
B. Logika, Etika, dan Estetika
1. Logika
a. Pengertian Logika

Logika adalah proses berfikir selangkah demi
selangkah, seperti yang di pakai oleh ilmuan
yang baik. Maksudnya, bila kita bepikir haruslah
logis, “berpikir selangkah demi selangkah”, yang
mensyaratkan langkah-langkah yang harus
diikuti menurut satu tatanan tertentu, tentu saja
merupakan salah satu ciri utama segala sesuatu
yang logis. Kata “tatanan” menyiratkan pertalian
tertentu yang ada antara langkah-langkah
berlainan yang kita ikuti dalam proses berpikir.6
Logika menurut bahasa berasal dari bahasa
Yunani logikos, yang berasal dari kata benda
logos. Yang berarti sesuatu yang diutarakan,
sudah dipertimbangkan akal
(pikiran), kata,
7
percakapan, dan bahasa. Dengan demikian,
secara etimologis, logika merupakan suatu
pertimbangan akal atau pikiran yang diutarakan
lewat kata dan dinyatakan dalam bahasa.8

5Inu kencana syafiie, Pengantar Filsafat, h.29
6Prof. Dr. Nina W. Syam, M.S,”Filsafat Sebagai Akar Ilmu

Komunikasi”(Bandung: Simbiosa Rekatama Media), cet. ke-2, 2013, h.
188.
7Jan Hendrik Rapar, “Pengantar Filsafat(Yogyakarta: Kanisius
1996), h. 52.
8Telah banyak defenisi logika yang dikemukakan oleh para ahli
yang pada umumnya memiliki persamaan, selain juga perbedaan.

Fi l s a f a t Pe n d i d i k a n | 4

Logika pertama-tama disusun oleh Aristoteles
(384-322 SM), yang dikenal sebagai Bapak
logika, sebagaisebuah ilmu tentang hukumhukum berpikir guna memelihara jalan pikiran
darisetiap kekeliruan.9Dengan demikian, logika
dalam filsafat Barat pertama-tama dikemukakan
oleh Aristoteles, filosof Yunani kuno, murid Plato.
Pemikiran Aristoteles ini kemudian dikenal
dengan nama logika Aristoteles dan dapat

disebut sebagai logika dasar, atau dasar logika,
juga logika klasik..10
Logika sebagai ilmu baru pada waktu itu,
disebut
dengan
nama
“analitika”
dan
11
“dialektika”. Namun, Istilah logika pertama kali
Dari sekian banyak defenisi itu dapatlah dikatakan bahwa logika
adalah cabang filsafat yang menyusun, mengembangkan dan
membahas asas-asas, aturan-aturan formal dan prosedur-prosedur
normatif, serta kriteria yang shahih bagi penalaran dan penyimpulan
demi mencapai kebenaran yang dapat dipertanggungjawabka secara
rasional
9Jan Hendrik, Pengantar Filsafat, h. 52
10Prof. Dr. Sutardjo A. Wiramihardja, Psi, “Pengantar Filsafat”
(PT. Refika Aditama: Bandung), cet.ke-3 2009, hlm. 106.
11Kumpulan karya tulis Aristoteles mengenai logika diberi

nama Organon. Karya Aristoteles tentang logika dalam buku Organon
dikenal di dunia Barat selengkapnya ialah sesudah berlangsung
penyalinan-penyalinan yang sangat luas dari sekian banyak ahli pikir
Islam ke dalam bahasa Latin.
Penyalinan penyalinan yang luas itu membukakan masa dunia Barat k
embali akan alampikiran Grik Tua. Petrus Hispanus (meninggal 1277
M) menyusun pelajaran logika berbentuksajak, seperti All-Akhdari
dalam dunia Islam, dan bukunya itu menjadi buku dasar bagi
pelajaran logika sampai abad ke-17. Francis Bacon (1561-1626 M)
melancarkan serangan sengketa terhadap logika dan menganjurkan
penggunaan sistem induksi secara lebih luas. SeranganBacon
terhadap logika ini memperoleh sambutan hangat dari berbagai
kalangan di Barat, kemudian perhatian lebih ditujukan kepada
penggunaan sisteminduksi. Pembaruan logika di Barat berikutnya
disusul oleh lain-lain penulis di antaranya adalah Gottfried Wilhem
von Leibniz. Ia menganjurkan penggantian pernyataan-pernyataan
dengan simbol-simbol agar lebih umum sifatnya dan lebih mudah
melakukan
analisis.John
Stuart

Mill
pada
tahun
1843
mempertemukan sistem induksi dengansistem deduksi. Setiap
pangkal-pikir besar di dalam deduksi memerlukaninduksi dan

Fi l s a f a t Pe n d i d i k a n | 5

digunakan oleh Zeno dari Citium (334-262 SM)
pendiri Stiosisme.12
Logika sebagai disiplin akademik berbeda
dengan disiplin lain, dengankenyataan bahwa
logikawan
tidak
sekedar
menggunakan
pemikiran yang tertata; mereka berpikir dengan
cara yang tertata mengenai berpikir secara
tertata. Barangkali defenisi yang paling umum

adalah “ilmu tentang hukum pikir”.Defenisi
tersebut pada istilah khas yang dimanfaatkan
dalam memaparkan pola-pola yang terpasang
tetap pada benak manusia.Ia menyamakan
filusuf
yang
baik
dengan
arsitek
yang
membangun sistem (bangunan konseptual)
menurut rencana yang sebelumnya.13
b. Dasar Hukum Logika
1. Hukum identitas (Principium Identitatis/Low of
Identity) yang menegaskan bahwa segala
sesuatu itu adalah sama dengan dirinya
sendiri.
2. Hukum
kontradiksi
(Principium

Contradictionis/Low
of
Contradiction)yang
menyatakan bahwa sesuatu itu pada yang
sama tidak dapat sekaligus memiliki sifat
tertentu dan juga tidak memiliki sifat tertentu
itu.
3. Hukum tiada jalan tengah (Principium Exclusi
Tertii/Low
of
Excluded
Middle)
yang
mengungkapkan bahwa sesuatu itu pasti
memiliki suatu sifat tertentu atau tidak
sebaliknya
induksi
memerlukan
deduksi
bagi
penyusunan
pikiranmengenai hasil-hasil eksperimen dan penyelidikan.
Lihat http://bazz75catur.wordpress.com/2011/12/05/sejarahperkembanganlogika//
12Jan Hendrik Rapar, “Pengantar Filsafat, h. 52.
13Prof. Dr. Nina W. Syam, M.S,Filsafat Sebagai Akar Ilmu
Komunikasi, h. 187.

Fi l s a f a t Pe n d i d i k a n | 6

memiliki sifat tertentu itu dan tidak ada
kemungkinan lain.
4. Hukum Cukup Alasan (Principium Rationis
Sufficientis/Low of Sufficient Reason) yang
menjelaskan bahwa jika terjadi perubahan
pada sesuatu, perubahan itu haruslah
berdasarkan alasan yang cukup. Itu berarti
tidak ada perubahan yang terjado dengan
tiba-tiba
tanpa
alasan
yang
dapat
dipertanggung jawabkan secara rasional.
Hukum ini merupakan pelengkap hukum
identitas.14
Berkata lurus atau benar telah ada sejak
orang pertama dilahirkan, yakni sejak Nabi Adam
AS turun ke bumi. Namun, logika yang di
maksudkan adalah logika sederhana yang hanya
dapat digunakan untuk mengemukakan dan
membedakan masalah yang tidak terlalu
kompleks atau tidak tersembunyi. Logika ini
disebut logika biasa, logika natural. Hal ini
berbeda dengan logika buatan atau logika
artifisial,
ialah
logika
yang
direkayasa
sedemikian
rupa
sehingga
dapat
mengungkapkan dan membedakan hal yang
berbeda, tetapi perbedaannya demikian sulit dan
tersembunyi.15
Logikaartifisial,
terbagi
kedalam
dua
golongan, yaitu logika formal dan logika material.
Logika formal membicarakan hakikat susunan
berfikir yang tertib. Meskipun logika formal tidak
berkaitan dengan masalah kebenaran isi
pernyataan, namun perannya dinilai penting
dalam filsafat ilmu, karena kebenaran hanya
tercapai dalam kualitas atau karena kebetulan.
14Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat, h. 53
15Prof. Dr. Sutardjo A. Wiramihardja, Psi, Pengantar Filsafat,

(Bandung: Refika Aditama,t.t) h. 106

Fi l s a f a t Pe n d i d i k a n | 7

Oleh karen itu, masalah-masalah logika formal
selain perlu diketahui keberadaannya, juga perlu
disadari
jalan
berfungsinya.Logika
formal
menyelidiki cara-cara menyusun pikiran, dan
bukan cara berpikir. Cara berpikir merupakan
masalah psikologis, pikiran adalah hasil berpikir
yang wujudnya dinyatakan dalam bahasa yang
berlambang. Oleh karena itu, antara piikiran dan
bahasa yang berlambang terdapat persesuaian.
Karena itu pula cara kita menyusun pikiran dapat
ditelaah dari cara kita menyusun bahasa.16
c. Pembagian Logika
Berdasarkan poses dan arah, logika dibedakan
menjadi dua macam: yaitu Logika Deduktif dan
Logika Induktif.
1. Logika deduktif
Logika deduktif bermula sejak zaman yunani
kuno, sekitar abad ketiga sebelum Masehi
(SM). Logika ini memproses pikiran baik
secara langsung atau tidak langsung. 17Dalam
logika deduktif, arah pikiran bergerak dari
pernyatan-pernyataan
umumkepada
kesimpulan yang lebih khusus. Logiks deduktif
modern lebih bersifat matematis, lazim
disebut logika simbolis.18
2. Logika Induktif
Berbeda dengan logika Deduktif, logika
induktif
memproses
pengetahuan
berdasarkan
fakta-fakta
khusus
yang
diperoleh dari pengetahuan indriawi atau
yang diperoleh dari pengamatan. Dari
sejumlah fakta atau gejala khusus itu ditarik
kesimpulan umum berupa pengetahuan yang
107

16Prof. Dr. Sutardjo A. Wiramihardja, Psi, Pengantar Filsafat, h.

17Aceng Rahmat, dkk, Filsafat Ilmu Lanjutan, (Jakarta:
Kencana), 2011, h. 210
18Rahmat, Aceng, dkk, Filsafat Ilmu Lanjutan, h. 210

Fi l s a f a t Pe n d i d i k a n | 8

baru yang berlaku untuk sebagian atau
keseluruhan gejala tersebut. Jadi, arah
pemikiran bergerak dari data yang bersifat
khusus kepada kesimpulan yang bersifat lebih
umum.19
2. Etika
a. Pengertian Etika
Etika sering kali disebut sebagaifilsafat
kesusilaan
ataufilsafat
moral.Terdapat
dua
peredaan antara etika dan kesusilaan.Pertama,
moralitas bersangkutan dengan apa yang
seyogiyanya
dilakukan
dan
apa
yang
seyogiyanya tidak dilakukan karena berkaitan
dengan prinsip moralitas yang ditegakkan. Etika
adalah
wacana
yang
memperbincangkan
landasan-landasan moralitas.Kedua, bahwa etka
berkaitan dengan landasan filsafiah norma dan
nilai dalam kehiudpan kemasyarakatan atau
budaya,20 sedangkan kesusilaan atau moral,
secara khusus berkaitan dengan nilai perbuatan
yang berhubungan dengan kebaikan dan
keburukan perilaku yang bersangkutan dengan
agama. Dengan demikian, kesusilaan sering pua
berkaitan
dengan
norma
agama
yang
selanjutnya berhubungan masalah dosa dan
pahala.
Istilah etika berasal dari dua kata dalam
bahasa yunani ethos dan ethikos.Ethos berarti
sifat,
watak,
kebiasaan,
tempat
yang
biasa.Ethikos berarti susila, keadaban, atau
kelakuan dan perbuatan baik. Istilah moral
berasal dari kata Latin mores, yang merupakan
bentuk jamak dari mos yang berarti adat istiadat
19Rahmat, Aceng, dkk, Filsafat Ilmu Lanjutan, h. 211
20Prof. Dr. Sutardjo A. Wiramihardja, Psi, “Pengantar Filsafat,

hlm. 171.

Fi l s a f a t Pe n d i d i k a n | 9

atau kebiasan, watak, kelakuan, tabiat, dan cara
hidup.21
Dalam sejarah filsafat Barat, etika adalah
cabang filsafat yang amat berpengaruh sejak
zaman Sokretes (470-399 SM) etika membahas
baik-buruk atau benar-tidaknya tingkah laku dan
tindakan manusia serta sekaligus menyoroti
kewajiban-kewajiban
manusia.
Etika
tidak
mempersoalkan apaatau siapa manusia itu,
tetapi bagaimana manusia seharusnya berbuat
atau bertindak.
b. Pembagian Etika

21Pada dasarnya apa yang di maksud dengan etika meliputi
meliputi empat pengertian.Pertama, sistem nilai kebiasaan yang
penting dalam kehidupan kelompok khusus manusia yang
digambarkan sebagai etika kelompok.Para filosof mempedulikan
dengan mengemukakan sistem-sistem ini.
Kedua, istilah etika digunakan pada salah satu diantara sistemsistem khusus tersebut, yaitu ‘moralitas’ yang melibatkan makna dari
kebenaran dan kesalahan, seperti salah dan malu. Pertanyaan sentral
dalam hal ini, apa yang terbaik untuk memberikan karakter pada
sistem ini? Apakah suatu moral tertentu mengemukakan fungsi
tertentu, seperti apa yang kemungkinan seseorang dapat bekerja
sama dengan orang lain? Kenudian dalam bekerja sama, mestikah
melibatkan perasaan tertentu, atau bahkan dengan hujatan?
Ketiga, etika dalam sistem moralitas itu sendiri dapat mengacu
pada prinsip-prinsip moral aktual.Misalnya, “mengapa anda
mengembalikan buku pinjaman itu?” hal seperti itu hanyalah masalah
etis dalam suatu lingkungan.
Keenpat, etika adalah suatu daerah dalam filsafat yang
membincangkan telaahan etika dalam pengertian-pengertian lain.
Penting untuk diingat bahwa etika filosofis tidak bebas dari area
filsafiah lainnya. Jawaban terhadap masalah etika bergantung pada
jawaban terhadap banyaknya pertanyaan metafisika dan area lain
pemikiran manusia.

F i l s a f a t P e n d i d i k a n | 10

Etika terbagi kedalam tiga22 bagian atau tiga
bidang studi, yaitu etika deskriptif, etika
normatif, dan metaetika,23
1. Etika Deskriptif
Etika deskriptif menguraikan dan menjelaskan
kesadaran dan pengalaman moral secara
deskriptif. Oleh karena itu, etika deskriptif
digolongkan kedalam ilmu pengetahuan empiris
dan berhubungan erat dengan sosiologi. Dalam
hubungannya dengan sosiologi, etika deskriptif
berupaya
menemukan
dan
menjelaskan
kesadaran, keyakinan, dan pengalaman moral
dalam suatu kultur tertentu. 24
Etika deksriptif melukiskan tingkah laku moral
dalam arti luas, misalnya, adat kebiasaan,
anggapan-anggapan tenatng baik dan buruk,
tindakan-tindakan yang diperbolehkan atau tidak
diperbolehkan.Etika
deskriptif
mempelajari
moralitas yang dapat pada individu-individu
tertentu, dalam kebudayaan-kebudayaan atau
subkultur-subkultur yang tertentu, dalam suatu
periode sejarah, dan sebagainya.25
Etika deskriptif dapat dibagi ke dalam dua
bagian: pertama, sejarah moral, yang meneliti
cita-cita, uturan-aturan, dan norma-norma moral
yang pernah diberlakukan dalam kehidupan
manusia pada kurun waktu dan suatu tempat
tertentu atau dalam suatu lingkungan besar yang
mencakup beberapa bangsa. Kedua, fenomologi
22Ada berbagai pembagian etika yang dibuat oleh para ahli
etika.Beberapa ahli etika membagi etika kedalam dua bagian, yakni
etika deskriptip dan etika normatif.Adapula yang membagi kedalam
etika normatif dan metaetika.Ahli lain membagi membagi kedalam
tiga bagian atau tiga bidang studi, yaitu etika deskriptip, etika
normatif, dan metaetika.
23Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat, hlm. 62.
24Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat, hlm. 62-63.
25Dr. Zaprulkhan, M.Si. Filsafat Umum Sebagai Pendekatan
Tematik” (PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta, t.t), h. 176-177.

F i l s a f a t P e n d i d i k a n | 11

moral, yang berupaya menemukan arti dan
makna moralitas dari berbagai fenomena moral
yang ada.26
2. Etika Normatif
Etika normatif kerap kali juga disebut filsafat
moral (moral philosophy) atau juga disebut etika
filsafati (philosophical ethis). Etika normatif
dapat dibagai ke dalam dua teori, yaiut: teoriteoti nilai mempersoalkan sifat kebaikan
sedangkan teori-teori keharusan membahas
tingkah laku.27
Bagi para formalis, yang paling penting
menentukan ialah motivasi. Motivasi yang baik
akan membuat tindakan atau perbuatan pasti
benar kendati akibat perbuatan itu sendiri
ternyata buruk.28
Etika normatif merupakan bagian terpenting
dari etika dan dibidang di mana berlangsung
diskusi-diskusi yang paling menarik tentang
masalah moral.Disini ahli bersangkutan tidak lagi
membatasi diri dengan memandang fungsi
prostitusi
sebagai
suatu
lembaga
yang
bertentengan dengan martabat wanita, biarpun
dalam praktek belum tentu dapat diberantas
samapai tuntas. Penilaian itu dibentuk atas dasar
norma-norma29
3. Mateatika
26Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat, hlm. 63.
27Ada pula yang membagi etika normatif ke dalam dua
golongan sebagai berikut: konsekuensialis(teologikal) dan
nonkonsekuensialis
(deontologikal).Konsekuensilalis
(teologikal) berpendapat bahwa moralitas suatu tindakan
ditentukan oleh konsekuensinya. Adapun nonkonsekuensialis
(deontologikal) berpendapat bahwa moralitas suatu tindakan
ditentukan oleh sebab-sebab yang menjadi dorongan dari
tindakan itu, atau ditentukan oleh sifat-sifat hakikinya atau
oleh keberadaannya yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan
dan prinsip-prinsip tertentu
28Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat, hlm. 64

F i l s a f a t P e n d i d i k a n | 12

Mateatika merupakan satu studi analistis
terhadap disiplin etika.Mateatika baru muncul
pada
abad
ke-20,
yang
secara
khusus
menyelidiki dan menetapkan arti serta makanmakna istilah normatif yang diungkapkan lewat
pertanyaan-pertanyaaan yang membernarkan
atau menyalahkan suatu tindakan.Isitiah-isitilah
normatif yanf sering mendapat perhatian khusus,
antara lain, keharusan, baik, buruk, benar, salah,
yang terpuji, yang tidak terpuji, yang adil, yang
semestinya, dan sebagainya.
Ada beberapa teori yang disodorkan oleh
aliran-aliran
yang
cukup
terkenal
dalam
metaeka.Teori-teori
tersebut
ialah
teori
naturalistis dari naturalisme, teori teori intuitif
dari intuisionisme, teori emotif dari emosivisme,
teori imperatif dari imperativisme, dan teori
skeptis dari skeptisisme.
Teori naturalistis mengatakan bahwa istilahistilah moral sesungguhnya menamai hal-hal
atau fakta-fakta yang pelik dan rumit.
Teori
kognitvis
mengatakan
bahwa
pertimbangan-pertimbangan moral tidak selalu
benar, sewaktu-waktu bisa keliru.Itu berarti
keputusan moral bisa benar dan bisa salah.Selain
itu, pada prinsipnya pertimbangan-pertimbangan
moral dapat menjadi subjek pengetahuan atau
kognisi.Teori kognitivis dapat bersifat naturalistis
dan dapat juga bersifat non-naturalistis.
Teori intuitif berpendapat bahwa pengetahuan
manusia tentang yang baik dan yang salah
diperoleh secara intuitif.
Teori
subjektif
menekankan
bahwa
pertimbangan-pertimbangan
moral
sesungguhnya hanya dapat mengungkapkan
29Dr. Zaprulkhan, M.Si. Filsafat Umum Sebagai Pendekatan
Tematik, h. 177.

F i l s a f a t P e n d i d i k a n | 13

fakta-fakta subjektif tentang sikap dan tingkah
laku manusia.
Teori
emotif
mengatakan
bahwa
pertimbangan-pertimbangan
moral
tidak
mengungkapkan sesuatu apapun yang dapat
disebut salah atau benar kendati hanya secara
subjektif.
Teori
imperatif
mengatakan
bahwa
pertimbangan-pertimbangan moral sesungguhnya
bukanlah ungkapan dari sesuatu yang dapat dinilai
salah satu benar.30
Pada dasarnya etika berhubungan dengan nilai
dan penilaian terhadap perilaku.Pertanyaan yang
mendasarinya adalah perilaku seperti apakah yang
dianggap baik ataupun jahat?Atau lebih tepat
wacana apakah yang menentukan suatu perilaku
dinilai baik atau jahat. Istilah ‘jahat’ digunakan
untuk
perbuatan
buruk
manusia
karena
memberikan akibat kerusakan pada manusia lain
atau pada manusia umumnya.31
Etika dapat membantu kita berpikir lebih jelas
tentang prinsip-prinsip tindakan dan memcahkan
secara logis masalah-masalah etis.32
Filsafat etis merupakan usaha untuk memberi
landsan bagi usaha menyelesaikan konflik-konflik
secara rasional, jika respons otomatis kita dan
aturan implisit tindakan berbelit dengan respons
dan aturan yang bertentangan. Jika oposisi dari
orang lain atau kesadaran kita membuat kita
menyadari argumen yang melawan tindakan dan
kebijakan kita, menjadi penting bagi kita untuk
menyediakan alasan bagi mereka, dan menjadi
terkait kedalam diskusi filosofis.33
30Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat, hlm. 64-66.
31https://af008.wordpress.com/etika-etiket-dan-moral/
32Muhammd Erwin, filsafat Hukum,
33Prof. Dr. Sutardjo A. Wiramihardja, Psi, Pengantar

Filsafat,hlm. 172.

F i l s a f a t P e n d i d i k a n | 14

Ada beberapa etika filsafiah yang bersifat luas
dan umum, serta berupaya untuk mendapatkan
prinsip-prinsip umum atau keterangan-keterangan
mengenai moralitas, cenderung memfokuskan pada
analisis atas masalah sentral pada etika itu sendiri.
Misalnya pada masalah etonomi. Perhatian terhadap
pemerintah sejajar dengan masalah-masalah yang
menyangkut diri, hakikat moral dan relasi etis
dengan masalah lain.34
Pertanyaan apa yang dibuat untuk kehidupan
kemanusian yang baik abgi kehidupan pribadi
merupakan inti dari etika sejak para filosof Yunani
mendalaminya ke dalam kebahagiaan. Teori para
filosof mengenai kebaikan secara erat menyatu
dengan pandangan-pandangan mereka mengenai
masalah lain. Misalnya, beberapa dari mereka
memberikan penekanan pada makna pengalaman
dalam pengertian kita mengenai dunia, terganggu
oleh pandangan bahwa kebaikan berisi seluruhnya
di dalam suatu jenis pengalaman khusus, ialah
kenikmata. Pandangan lain menganggap, di
samping kesenangan, di samping kesenangan,
terdapat hal lain bahwa kebaikan hidup berisikan
hakikat.35
c. Aliran Etika
1. Hedonisme
Dalam bahasa Yunani, kata untuk kenikmatan
adalah hedone.dari kata itu terbentuklah istilah
hedonisme. Sebagai ajaran etis, hedonismei
ajaran
etis,
hedonisme
pendirian
bahwa
kenikmatan, khususnya kenikamatan pribadi,
merupakan nilai-nilai hidup tertinggi dan tujuan
utama serta terakhir hidup manusia.
34Prof. Dr. Sutardjo A. Wiramihardja, Psi, “Pengantar Filsafat,
hlm. 173.
35Prof. Dr. Sutardjo A. Wiramihardja, Psi, Pengantar Filsafat,
hlm. 174.

F i l s a f a t P e n d i d i k a n | 15

Kenikmatan merupakan kenyataan hidup.
Dengan frekuensi, kadar, dan bentuk yang
berbeda orang yang merasakan kenikamtan.
Yang satu dapat lebih kerap dari yang lain. Yang
satu lebih cenderung pada kenikmatan dalam
kadar yang sederhana. Yang lain lebih pada
kenikmatan yang mewah. Yang satu lebih suka
pada bentuk kenikmatan inderawi. Yang lain
pada kenikmatan estetis, etis-moral, atau
religius.36Namun, apakah kenikmatan dapat
dijadikan prinsip dan pegangan untuk menilai
hal, perkara, dan peerbuatan secara etis,
sebagaimana dianut oleh hedonisme.Kata nikmat
ada
beberapa
macam
dan
tingkatannya
sehingga isi dan artinya juga ada beberapa
macam dan tingkat.
Kenikmatan, secara teoretis kenikmatan itu
ada berbagai tingkat dari yang inderawi sampai
yang religius. Semakin tinggi kenikmatan
semakin susah dicapai, dan semakin menunutut
dari
banyak
orang
mau
menikmatinya.
Contohnya dari kejujuran, kejujuran itu baik dan
orang yang mampu menghayatinya mengalami
kenikmatan etis tinggi.Namun untuk menghayati
kejujuran, orang harus berkorban banyak, seperti
siap untuk hidup berdasarkan penghasilan yang
sebenarnya
dengan
akibat
melarat
atau
kekurangan.Siap untuk diejek sebagai manusia
yang “sok” jujur, dan dikucilkan dilingkungan
kerjanya, karena tidak mau terlibat dalam
gerakan
bersama
yang
disebut
“korupsi
37
kolektif”.
Bila
sikap
hedonistis
berlanjut,
sikap
konsemeristis mengikut karena bagaimana
36Dr. Zaprulkhan, M.Si. Filsafat Umum Sebagai Pendekatan
Tematik, h. 181.
37Dr. Zaprulkhan, M.Si. Filsafat Umum Sebagai Pendekatan
Tematik, h. 182.

F i l s a f a t P e n d i d i k a n | 16

mungkin orang dapat memperoleh kenikmatan
inderawi bila tidak dengan mengonsumsi sambil
tanpa susah payah mengusahakan hal yang
dikonsumsi ala mental konsumeristis.38
2. Epikurianisme
Epikurianisme adalah ajaran etika yang
berasal dari seorang filusuf Yunani kuno bernama
Epikurus.Epikurianisme kemudian berkembang
menjadi suatu aliran etika tersendiri.Pada
pokoknya epikurianisme merupakan etika yang
mengejar kesenangan.Dalam hal ini mirip
dengan
hedonisme,
seperti
hedonisme,
epikurianisme
memuja
kesenangan.Baginya
kesenangan merupakan kebaikan yang pertama
dan utama.Kesenangan dipandang awal dan
akhir, A-Z hidup bahagia dan berbakti.
Namun, berbeda dengan hedonisme yang
membatasi kesenangan dan menjadi kesenangan
sensual dan inderawi, epikuarisme mengartikan
kesenangan sebagai ketiadaan rasa sakit pada
tubuh dan kekacaauan dalam jiwa. Oleh karena
itu, para penganut epikuarisme menghindari
kesenangan yang membawa akibat sakit dan
penderitaan batin.39Secara khusus kesenangan
dinilai paling puncak adalah kesenangan yajg
mendalam manakala jiwa ada dalam keadaan
damai dan tenang.Dalam keadaan itulah
kebahagiaan hidup yang sejati tercapai.Salah
satu unsur penting untuk hidup bahagia adalah
keutamaan. Bagi Epikuros, yang baik adalah
yang menghasilkan kenikmatan. Dan yang buruk
menghasikan perasaan tidak enak.40
38Dr. Zaprulkhan, M.Si. Filsafat Umum Sebagai Pendekatan
Tematik, h. 183.
39Dr. Zaprulkhan, M.Si. Filsafat Umum Sebagai Pendekatan
Tematik , h. 184.
40Dr. Zaprulkhan, M.Si. Filsafat Umum Sebagai Pendekatan
Tematik , h. 185.

F i l s a f a t P e n d i d i k a n | 17

Epikurianisme ingin menawarkan cita-cita
kehidupan
pribadi
yang
tenang,
yang
mewujudkan ruang kebebasan dari gangguan
dunia bagi dirinya.41
Epikurianisme menjadikan dirinya sendiri
sebagai norma hidup. Namun, karena nilai yang
paling tinggi adalah kesenangan.42Secara praktis,
epikurianisme
dapat
berubah
menjadi
sensualisme dan hedonisme yang mendewakan
kesenangan
inderawi.Benar
epikurianisme
mengartikan kesenangan sebagai ketiadaan rasa
sakit dan kekacauan jiwa.Namun, belum tentu
pemahaman itu dimengerti benar dan diikuti
secara
konsekuen.Akibatnya,
kesenangan
dibatasi menjadi kesenangan fisik dan perilaku
manusia
terpusat
pada
usaha
mencari
kesenangan fisik pula. Ketidak pahaman tentang
kesenangan
sebagaimana
dimaksud
dan
kecondongan manusia untuk hidup enak dapat
mengubah praktik hidup epikurianistis menjadi
sensualistis dan hedonistis. Adapun terhadap
hidup sederhana dan berkeutamaan yang
menuntut terlalau banyak dari manusia, orang
mudah tergoda untuk meninggalakannya.43
3. Utilitarianisme
Istilah Utilitarianismedi turunkan dari kata
latinutilis, yang berati ‘berguna, berfaedah
menguntungkan’.
Utilitarianisme
merupakan
suatu paham etis yang berpendapat bahwa yang
baik
adalah
yang
berguna,
berfaedah,
menguntungkan.Sebaliknya, yang jahat atau
yang buruk adalah yang tak bermanfaat, tak
41Dr. Zaprulkhan, M.Si. Filsafat Umum Sebagai Pendekatan
Tematik , h. 187.
42Dr. Zaprulkhan, M.Si. Filsafat Umum Sebagai Pendekatan
Tematik , h. 188.
43Dr. Zaprulkhan, M.Si. “ Filsafat Umum Sebagai Pendekatan
Tematik, h. 189.

F i l s a f a t P e n d i d i k a n | 18

berfaedah, merugikan.Karena itu, baik buruknya
prilaku dan perbuatan ditetapkan dari segi
berguna, berfaedah, dan menguntungkan atau
tidak.Dari prinsip ini, tersusunlah teori tujuan
perbuatan.44
Menurut
kaum
utilitarianisme,
tujuan
perbuatan sekurang-kurangnya, menghindari
atau mengurangi kerugian yang diakibatkan oleh
perbuatan yang dilakukan, baik dari diri sendiri
maupun orang lain. Adapun maksimalnya adalah
memperbesar kegunaan, manfaat, keuntungan
yang dihasilkan perbuatan yangakandilakukan,
baik untuk diri sendiri maunpun orang lain.
Perbuatan harus diusahakan agar mendatangkan
kebahagiaan dari pada penderitaan, bagi
sebagian besar orang. Hanya dengan demikian,
perbuatan manusia berarti secara etis dan
membawa dampak sebaik-baiknya bagi diri
sendiri dan orang lain.
Utilitarianisme sebagai pendiri etis terasa
masuk akal, tidak dipersoalkan karena memang
jelas yang disikapi.Apa arti berbuat bila tidak
mendatangkan kegunaan, manfaat, keuntungan
apapun macam dan tingkatnya. Menurut
utilitarianisme semua perbuatan baru dapat
dinilai jika akibat dan tujuannya sudah
dipertimbangkan.Sebelum itu netral, semua
peraturan tidak dengan sendirinya harus
ditaati.Sebelum diataati, peraturan itu harus
dapat dipertanggungjawabkan akibatnya bagi
mereka yang terkena.Prinsip utilitsarianisme ini
sadar atau tidak sadar sudah umum ditetapkan
diseluruh
dunia.Sebagai
prinsip
etis,
utilitarianisme mengajarjan tanggung jawab atas
perilaku dan perbuatan manusia. Manusia tidak
44Dr. Zaprulkhan, M.Si. “ Filsafat Umum Sebagai Pendekatan
Tematik, h. 189.

F i l s a f a t P e n d i d i k a n | 19

hisup sendirian, tetapi bersama-sama orang lain
dan harus memperhitungkan mereka dalam
perilaku dan tindakannya.45
Utilitariansi sebagai perinsip etis bernada
logis dan universal. Akan tetapi, cara berpikir
bukan berpangkal dari moralitas dan etika,
melainkan dari keenakan dan kelayakan,
kegunaan,
ekspediensi.
Karena
itu,
bila
dilaksanakan
secara
konsekuen,
mudah
melanggar hak asasi manusia, prinsip moral dan
etis, serta berdimensi dangkal.46
4. Edomonisme/Aristotelianisme
Etika edomonisme secara sederhana berawal
dengan
mengajukan
sebuah
pertanyaan
fundamental: Apa yang menjadi tujuan manusia
yang menjadi dirinya sendiri? Apa yang dicari
oleh setiap manusai hanya untuk sesuatu itu
sendiri, bukan untuk yang lainnya? Pertanyaan
inilah yang dijawab oleh Aristoteles dengan
eudaimonia,
yaitu
kebahagiaan.Kebahagian
itulah
yang
baik
pada
dirinya
sendiri.Kebahagiaan bernilai bukan demi suatu
nilai lebih tinggi lainnya, melainkan demi dirinya
sendiri.
Namun untuk menanggapi pemahamannya
tersebut.Aristoteles
mensyaratkan
tiga
unsur.Pertama, theoria.Konsep theoria Aristoteles
ini jangan disamakan dalam istilah modern
‘teori’, sebagai pemikiran rasional terhadap salah
satu masalah.Sebab theori berarti bahwa jiwa
memandang realitas-realitas rohani.Karena itu,
kata theori dapat diartikan dengan ‘renungan’,
dalam arti memandang sesuatu dalam-dalam,
dengan mata jiwa.
45Dr. Zaprulkhan, M.Si. “ Filsafat Umum Sebagai Pendekatan
Tematik, h. 191.
46Dr. Zaprulkhan, M.Si. “ Filsafat Umum Sebagai Pendekatan
Tematik, h. 193.

F i l s a f a t P e n d i d i k a n | 20

Kedua, praxis, untuk menjelaskan apa yang
dimaksud dengan praxis, tindakan Aristoteles
membedakannya dengan tajam dari poiesi,
perbuatn. “Bertindak” tidak sama dengan
“membuat”. Poiesis adalah perbuatan demi
sesuatu hasil di luar perbuatan it sendiri.Lain
halnya dengan praxis atau tindakan Aristoteles
membandingkan praxis dengan orang yang main
seruling. Orang main seruling karena ia senang
main seruling, bukan karena ia mau mencapai
sesuatu diluar permainan itu.47
Ketiga, phronesis.Bahasa Yunani mempunyai
dua kata untuk apa yang dalam bahasa Indonesi
disebut “kebijaksanaan, yaitu sophia dan
phronesis. Sophia, dalam bahasa Inggris wisdom,
adalah kebijaksanaan orang yang hatinya
terangkat ketingkat alam adiduniawi, jadi
kebijaksanaan orang ber-theoria.Itulah orang
yang bijaksana karena tahu tentang realitas yang
mendalam.48
Dengan tiga komponen tersebut, Aristoteles
dengan tegas menyatakan bahwa etika bukanlah
episteme, bukanlah ilmu pengetahuan. Tujuan
etika bukan pengetahuan lebih tajam (meskipun
unsur pengetahuan tentu terdapat juga),
melainkan praxis, bukan mengetahuiapa itu
hidup yang baik, melainkan membuat orang
hidup
dengan
baik.
Aristoteles
membandingkannya dengan ilmu kedokteran
yang tujuannya pun bukan pengetahuan tentang
kesehatan, melainkan membuat orang menjadi
sehat.49
47Dr. Zaprulkhan, M.Si. “ Filsafat Umum Sebagai Pendekatan
Tematik, h. 196-197.
48Dr. Zaprulkhan, M.Si. “ Filsafat Umum Sebagai Pendekatan
Tematik, h. 198.
49Dr. Zaprulkhan, M.Si. “ Filsafat Umum Sebagai Pendekatan
Tematik, h. 199.

F i l s a f a t P e n d i d i k a n | 21

Dapatkah nilai-nilai moral itu diajarkan seperti
mengajarkan pengetahuan aktual? Socrates
berusaha menjawab soal ini. Asumsi bahwa nilai
moral itu laten bagi tiap orang ia menyebutkan
bahwa guru dapat membaa nilai-nilai ke dalam
kesadaran subjek didik. Nilai etika atau moral
dapat diajarkan apabila pengajaran nilai moral
itu kita artikan membantu subjek didik menjadi
sadar akan nilai-nilai moral itu.50
d. Estetika
a. Pengertian Estetika
Estetika
adalah
cabang
filsafat
yang
mempersolakan seni (art) dan keindahan
(beauty).Istilah estetika berasal dari kata Yunani
aisthesis, yang berarti pencerapan indarawi,
pemahaman
intlektual
(intelectual
understanding),
atau
bisa
juga
berarti
pengamatan spiritual.Istilah art (seni) berasal
dari kat Latin ars, yang berarti seni,
keterampilan ilmu, atau kecakapan.
Sejak zaman Yunani Purba, estetika filsafati
sering disebut dengan berbagai nama, seperti,
filsafat seni (philosophy art), filsafat keindahan
(philosophu of beauty), filsafat cita rasa
(philosophy of taste), dan filsafat kristisme
(philosophy of criticism). Akan tetapi, seja abad
XVIII, istilah estetika mulai menggantikan namanama tersebut.
Istilah estetika diperkenalkan oleh seorang
filusuf Jerman bernama Alexander Gottlibe
Baumgarten (17 Juli 1714–26 Mei 1762) lewat
karyanya Meditationes philosophicae de nonullis
ad
poema
pertinentibus
(1735),
yang
diterjemahkan ke dalam bahsa Inggris dengan
50Muhmidayeli,
Aditama), 2011, h. 116

Filsafat

Pendidikan,(Bandung:

Refika

F i l s a f a t P e n d i d i k a n | 22

judul Reflections on poetry (1954). Baumgarten
mengembangkan
filsafat
estetika
yang
didefenisikannya sebagai ilmu pengetahuan
tentang keindahan
lewat karyanya yang
berjudul Aesthetica acromatica (1750-1758).
Estetika dapat di bagi kedalam dua bagian,
yaitu estetika deskriptif dan estetika normatif,
estetika deskiptif menguaraikan fenomenafenomena
pengalaman
keindahan.Estetika
normatif
mempersoalkan
dan
menyelidiki
hakikat,
dasar
dan
ukuran
pengalaman
keindahan.51Ada pula yang membagi estetika
kedalam filsafat seni (phylosophy of art) dan
filsafat keindahan (philosophy of beauty).Filsafat
seni mempersoalkan status ontologis, dari karyakarya seni dan mempertanyakan pengetahuan
apakah yang dihasilkan oleh seni dan apakah
yang
dapat
diberikan
oleh
seni
untuk
menghubungkan
manusia
dengan
realitas.Filsafat keindahan membahas apakah
keindahan itu dan apakah nilai indah itu objek
atau subjektif.52
Sepanjang sejarah filsafat, pandangan dan
pendapat Para filusuf tentang masalah estetis
amat bervariasi.Plato berpendapat bahwa seni
(art)
itu
adalah
keterampilan
untuk
memperoduksi sesuatu. Bagi Plato, apa yang
disebut hasil seni tidak lain dari tiruan
(imitation). Sebagai contoh, pelukis yang melukis
suatu panorama alam yang indah sesungguhnya
meniru panorama alam yang pernah dilihatnya.
Karya-karya seni hanyalah
tiruan dari meja,
burung, kucing, dan sebagainya, sedangkan
meja, burung, dan kucing yang sditiru itu
hanayalah tiruan dari bentuk ideal meja, burung,
51Jan Hendrik Rapar, “Pengantar Filsafat, hlm. 67.
52Sutrisno, Mudji, Kisi-kisi Estestika, (Yogyakarta:Penerbit

Kanisius, 2000), h. 106

F i l s a f a t P e n d i d i k a n | 23

dan kucing, yang ada di dalam dunia ide. Dengan
demikian, karya-karya seni itu merupakan tiruan
yang kedua dan oleh karena itu tidak sempurna
aslinya.
Estetika pada abad petengahan tidak begitu
mendapat perhatian dari para filusuf, itu karena
gereja Kristen semula bersikap memusuhi seni
karena dianggap duniawi dan merupakan produk
bangsa
kafir
Yunani
dan
Romawi.Ia
mengembangkan suatu filsafat Platonisme
Kristen dengan mengajarkan bentuk-bentuk
paltonis. Iamengatakan bahwa bentuk-bentuk
platonis juga berada dalam pimikiran Allah.
Menurut Augustinus, keindahan merupakan salah
satu bentuk yang ada dalam pemikiran Allah,
oleh sebab itu, keindahan dalam seni dan
keindahan dalam alam haruslah memiliki
pertalian yang erat dengan agama. Kendati
Augustinus mengikuti ajaran Plato tentang
keindahan, ia tidak sependapat dengan Plato
yang mengatakan bahwa seni hanyalah tiruan,
tetapi tidak dapat menghasilkan karya seni.53
Filusuf Italia, Benedetto Croce (1866-1952)
mengembangkan teori estetika lewat alam pikir
filsafat idealisme. Croce menyamakan seni
dengan intuisi, dan menurut Croce intuisi adalah
gambar
yang
berada
di
dalam
alam
pikiran.Dengan demikian, seni itu berada dalam
alam pikir seniman. Karya seniman dalam bentuk
fisik sesungguhnya bukan seni, melainkan
semata-mata alat bantu untuk menolong
penciptaan kembali seni yang sebenarnya
berada di alam pikir seniman. Croce juga
menyamakan intuisi dengan eksperesi. Karena
seni sama dengan intuisi dan intuisi sama
dengan ekspresi, berarti seni sama dengan
53Jan Hendrik Rapar, “Pengantar Filsafat, hlm. 68.

F i l s a f a t P e n d i d i k a n | 24

ekpresi.Apa yang diekpresikan itu tidak lain dari
perasaan si seniman. Croce mengatakan bahwa
seni adalah ekspresi dari kesan-kesan (art is
expression ofimpressions).
Clive
Bell
(1851-1964)
mempopulerkan
gagasannya leawat ungkapan bentuk yang
berarti (signifikant form) dan perasaan estetis
(aesthetic emotion).Yang dimaksudkan dengan
bentuk yang berarti ialah hal yang membuat
karya-karya
seni
itu
benar-benar
bernilai.Perasaan etis berbeda dengan perasaanperasaan biasa. Perasaan etis hanya dapat
dialami pada saat seseorang sungguh-sungguh
menyadari akan bentuk yang berarti. Apakah
bentuk yang berarti itu? Bell tidak menjelaskan
apa yang dimaksudkannya dengan bentuk yang
berarti itu. Ia hanya mengatakan bahwa yang
berarti ialah bentuk hasil karya seni yang
menggugah perasaan seni seseorang.54
b. Prinsip Estetika
Prinsip
estetika
yang
menjadi
bahan
pertimbangan ditemukan pada antikualitas
Hellenistiksecara
umum.Prinsip
ini
dapat
diberikna sebagai prinsip bahwa keindahan
mengundang espkpresi imajinatif dan sensuous
mengnai kesatuan dalam kemajemukan.Apakah
hakikat keindahan merupakan karakterisitik
presentasi
yang
dialami?Pikiran
Hellenik
menjawab secara formal.Alasannya, menurut
kaum hellenistik bahwa seni pertama kali muncul
sebagai reproduksi dar realitas. Hal tersebut
merupakan alasan yang ditentang analisis
estetik karen berpegang teguh pada signifikan
konkret mengenai keindahan dalam diri manusia
dan alam.55
54Jan Hendrik Rapar, “Pengantar Filsafat, hlm. 69-70.
55Prof. Dr. Sutardjo A. Wiramihardjo, hlm. 177.

F i l s a f a t P e n d i d i k a n | 25

Objek persepsi umumnya dinaggap sebagai
standar seni.Dalam objek persepsi terdapat
suatu baris yang tidak mungkin diatasi dalam
mengahadapi identifikasi keindahan dengan
ekspresi spritual yang hanya dapat ditangkap
oleh persepsi tingkat tinggi. Dengan kata lain,
untuk menerima imitasi atas alam dengan
penegertin yang paling luas sebagai fungsi seni,
sangat mudah untuk menyatakan bahwa
masalah
keindahan
adalah
nyata
dalam
kemungkinana yang paling kasar sehingga
menghendaki ketidak mampuan total untuk
memecahkannya.
Artinya
bahwa
materi
presentasi keindahan merupakan sesuatu yang
diangkat dari objek persepsi, indera tidak
menyentuh pertanyaan, “Apa yang dapat seni
perbuat, lebih yang dapat dilakukan alam?”
timbul pertanyaan lain, “Dalam segi apakah?”
jawabannya adalah dalam hal kondisi dan
karakter umum.Apakah suatu realitas dapat
ditampilkan kembali sebagai keindahan, untuk
menjawabnya kita telah mengangkat pertanyaan
spesifik mengenai ilmu estetika.Terhadap teori
kepandaian meniru timbul pertanyaan baru,” bila
mana suatu realitas menimbulkan diri?” hal
tersebut merupakan kebaikan suatu model
seperti yang lainnya memiliki exhipotesis yang
tidak berjawab.56
c. Konsep Estetika
Konsep estetika merupakan konsep-konsep
yang berasosiasi dengan istilah-istilah yang
mengangkat
kelengkapan
estetika
yang
mengacu pada deskripsi dan evaluasi mengenai
pengalaman-pengalaman yang melibatkan objek,
satu kejadian artisitik dan estetik.Pertanyaan178.

56Prof. Dr. Sutardjo A. Wiramihardjo,Pengantar Filsafat, hlm.

F i l s a f a t P e n d i d i k a n | 26

pertanyaan epistemologis, psikologis, logis, dan
metafisik, telah diangkat sebagai perlengkapan
analog dengan hal yang telah diangkat mengenai
konsep-konsep itu.
Pada abad ke-18, filsof seperti Edmund
Burke dan Davit Hume berusaha menerangkan
konsep estetik. Misalnya, keindahan secara
empiris,
dengan
cara
menghubungkannya
dengan respons-respons fisik dan psikologs serta
mengelompokkan
ke
dalam
tipe-tipe
penghayatan individual atas objek-objek dan
kejadian-kejadian yang berbeda. Jadi mereka
melihat suatu dasar untuk objektivitas reaksireaksi pribadi.57Kant menyatakan bahwa konsep
estetik secara esensial bersifat subjektif, ialah
berakar pada perasaan pribadi mengenai rsa
senang da sakit.Juga menyatakan bahwa konsepkonsep itu memiliki objektivitas tertentu dengan
dasar bahwa pada taraf estetik murni, perasaan
sakit dan senang merupakan respons universal.
Pada abad ke-20, para filosof kembali
mengacu pada analisis Humean mengenai
konsep-konsep
estetik
patokan
cita
rasa
kemanusiaan,
dan
telah
mengembangkan
pertimbangan
psikologis
untuk
mencoba
melahirkan keunikan epistemologis dan logis
mengenai konsep estetika. Banyak orang
berpendapat bahwa meskipun tidak ada hukumhukum estetika, seperti semua bunga mawar
adlah indah, atau bahwa msik simfoni mwmiliki
empat gerakan dan dikontruksikan dengan
aturan
harmoni
Barok,akan
menjadi
menyenangkan. Konsep-konsep estetika tidak
memainkan peran penting dalam diskusi atau
perdebatan. Dalam hal ini, beberapa filosof
178.

57Prof. Dr. Sutardjo A. Wiramihardjo,Pengantar Filsafat, hlm.

F i l s a f a t P e n d i d i k a n | 27

berargumentasi lain bahwa konsep-konsep
estetik tidak secara esensial berbeda dengan
tipe-tipe konsep lainnya.
Teori-teori masa kini menarik, bahwa konsep
estetik
merupakan
context-dependentdikontruksi di luar pendapat dan kebiasaan.Teoriteori mereka biasanya menolak pendapat bahwa
konsep-konsep estetik dapat bersifat universal.
Misalnya, tidak hanya tidak ada jaminan bahwa
istilah harmoni akan memiliki arti yang sama
pada kultur yang berbeda, sama sekali tidak
dapat digunakan.58
C. Penutup
Kebenaran (logika), apakah kebenaran itu
sebenarnya?Plato pernah mempertanyakan hai ini
sebelumnya. Dalam waktu yang cukup lama seakan
menjawab bahwa kebenaran itu adalah kenyataan.
Jadi untuk membuktikan hari benar-benar hujan,
kita harus membedakan dengan melihat kenyataan
yang terjadi di luar rumah. Tetapi, kenyataan yang
terjadi
sekarang
tidak
seluruhnya
berupa
kebenaran, bahkan yang tidak seharusnya terjadi
akhirnya terjadi juga. Aristoteles menjawab
pertanyaan ini dengan pendapat bahwa kebenaran
itu subjektif sifatnya. Artinya kebenaran bagi
seseorang adalah tidak benar bagi yang lain,
sehingga kemudian lahirlah kebenaran relatif dan
kebenaran mutlak. Bahkan terkadang dalam kurun
waktu tertentu kebenaran itu berubah sesuai corak
berfikir manusia.59

179.

58Prof. Dr. Sutardjo A. Wiramihardjo,Pengantar Filsafat, hlm.
59Inu Kencana Syafii, pengantar filsafat, h. 31

F i l s a f a t P e n d i d i k a n | 28

Puncak kebenaran itu sendiri sebenarnya adalah
Allah Yang Maha Benar (Al Haq), itulah sebabnya
para
penzikir
senantiasa
mengucapkan
“Alhamdulillah”
pada
setiap
penyelesaian
penemuan ilmiahnya, ataupun ketika selesai shalat
fardu sebanyak tiga puluh kali.60
Kebaikan
(Etika),
Etika sebagai
filsafat, berarti mencari keterangan yang benar,
mencari ukuran-ukuran yang baik dan yang buruk
bagi tingkah laku manusia. Serta mencari normanorma, ukuran-ukuran mana susial itu, tindakan
manakah yang paling dianggap baik.Dalam filsafat,
masalah baik dan buruk (good and evil) dibicarakan
dalam etika. Tugas etikatidak lain berusaha untuk
hal
yang
baik
dan
yang
dikatakan
61
buruk. Sedangkan tujuan
etika,
agar
setiap
manusia mengetahui dan menjalankan perilaku,
sebab perilaku yang baik bukan saja bagi dirinya
saja, tetapi juga penting bagi orang lain,
masyarakat, bangsa dan Negara, dan yang
terpenting bagi Tuhan yang Maha Esa.
Etika dapat dibedakan menjadi tiga macam:
1. Etika sebagai
ilmu,
yang
merupakan
kumpulan tentang kebajikan, tentang penilaian
perbuatan seseorang.
2. Etika dalam arti perbuatan, yaitu perbuatan
kebajikan.
Misalnya,
seseorang
dikatakan etis apabila
orang
tersebut telah
berbuat kebajikan.

60Inu Kencana Syafii, pengantar filsafat, h. 35

61http//lifidasimahtuah.blogspot//makalahetika//

F i l s a f a t P e n d i d i k a n | 29

3. Etika sebagai filsafat, yang mempelajari
pandangan-pandangan,
persoalan-persoalan
yang berhubungan dengan masalah kesusilaan.62
Secara umum segala perbuatan menolong orang
lain dianggap baik, tetapi apabila yang ditolong itu
adalah penjahat sudah tentu tidak benar walaupun
baik.63 Dan puncak kebaikan itu sendiri adalah Allah
Yang Maha Suci (Al Qudus). 64
Keindahan (estetika), jadi estetika berbicara
tentang rasa (seni) yang mencakup penyerapan
perhatian dalam pengalaman persepsi. Rasa
estetika itu dibangkitkan dari hasil seni ketika
berusaha meninmbulkan respon atau tanggapan
dari becacam objek dan pengalaman.seseorang
dapat
saa
mengatakan
dia
lebih
senang
mendengarkan lagu dangdut dari lagu lain,
seseorang dapat pla mengatakan dia lebih
menyenangi merah ketimbang hijau. Walaupun ada
orang lain menganggap mrah itu kampungan. Ini
lah seni, inilah stetika, karna orang memang
berbeda rasa. 65
Ada dua kategori perasaan, ada Negatif dan ada
yang Poitif. Khusus untuk yang negatif tidak perlu
dihilangkan dalam keindahan kehidupan tetapi
ditujukan kepada pemilik keindahan itu sendiri yaitu
susah melihat ketidak adilan, hiba melihat
penderitaan, dengan apa yang disampaikan ini
maka yang terwujud adalah senang menuntut ilmu
dan senang membantu orang lain.66
Puncak keindahan itu sendiri tidak dapat
disebut salah satu nama Allah, tetapi karena di
62https://af008.wordpress.com/etika-etiket-dan-moral//
63https://id.wikipedia.org/wiki/Etika//
64Inu Kencana Syafii, pengantar filsafat, h. 21
65Inu Kencana Syafii, pengantar filsafat, h. 40

66http://312174//makalah estetika//

F i l s a f a t P e n d i d i k a n | 30

dalam seni orang-orang berbeda rasa, maka kita
tidk meneyebut salah satu nama Allah, tetapi
semua nama indah Allah (Asmaul Husna)67

DAFTAR KEPUSTAKAAN
Gazalba, Sidi Sistematika Filsafat Buku IV, Jakarta:
Bulan Bintang, 1978
Zaprulkhan,
M.Si.
Filsafat
Umum
Sebagai
Pendekatan Tematik, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada
Wiramihardja,
Sutardjo
A.
Psi,
Filsafat,Bandung: PT. Refika Aditama
Hendrik Rapar,
Yogyakarta, 1996

Jan,Pengantar

Pengantar

FilsafatKanisius:

W. Syam, Nina,Filsafat Sebagai Akar Ilmu
Komunikasi,Bandung: Simbiosa Rekatama Media,
2013
Syafi’i, Inu Kencana. Pengantar Filsafat, PT Refika
Aditama: Bandung, 2004
Sutrisno,
Mudji,
Kisi-kisi
Yogyakarta:Penerbit Kanisius, 2000

Estestika,

Erwin, Muhammad, Filsafat hukum, Jakarta: Raja
grafindo, 2011
Rahmat, Aceng, dkk, Filsafat Ilmu Lanjutan, Jakarta:
Kencana, 2011

67Inu Kencana Syafii, pengantar filsafat, h. 43

F i l s a f a t P e n d i d i k a n | 31

Suriasumantri, Jujun S, Filsafat Ilmu Sebuah
Pengantar Populer, Jakarta: Grafika Indonesia, 2003
Muhmidayeli, Filsafat Pendidikan, Bandung: Refika
Aditama, 2011
Herimantu, dan Winarno, Ilmu Sosial dan Budaya
Dasar, Jakarta: Bumi Aksara, 2011
http://bazz75catur.wordpress.com/2011/12/05/sejar
ah-perkembangan-logika//
https://id.wikipedia.org/wiki/Etika/
https://af008.wordpress.com/etika-etiket-dan-moral/
http://312174//makalah estetika//
http//lifidasimahtuah.blogspot//makalahetika//