HUKUM PERNIKAHAN BEDA AGAMA DALAM ISLAM

HUKUM PERNIKAHAN BEDA AGAMA DALAM ISLAM
Hukum pernikahan beda agama, atau biasa juga dikenal dengan pernikahan lintas agama.
Selalu menjadi polemik yang cukup kontroversial dalam masyarakat, khususnya negara yang
memiliki
berbagai
macam
penduduk
dengan
agama
yang
berbeda-beda.
Indonesia merupakan negara mayoritas muslim terbanyak di seluruh dunia, namun tetap saja
sering muncul pertanyaan menyangkut perihal pernikahan. Bolehkah seorang muslim
menikahi seorang yang non muslim jika boleh, bagaimana islam menyikapi hal tersebut?
Mari kita lihat dari dua sudut pandang pada hukum pernikahan berbeda agama ini terlebih
dahulu. Pernikahan beda agama, dapat dibedakan menjadi dua berdasarkan pasangan yang
menikah,
yaitu:
seorang laki-laki muslim menikahi perempuan dan sebaliknya, seorang muslim perempuan
yang menikahi seorang laki-laki yang non muslim, pembagian ini dilakukan karena hukum di
antaranya masing-masing berbeda. Bagaimanakah hukumnya dalam islam?


Hukum seorang laki-laki muslim menikahi perempuan non muslim (beda agama)
Pernikahan seorang lelaki muslim menikahi seorang yang non muslim dapat diperbolehkan,
tapi di sisi lain juga dilarang dalam islam, untuk itu terlebih dahulu sebaiknya kita memahami
terlebih
dahulu
sudut
pandang
dari
non
muslim
itu
sendiri.
1. laki-laki yang menikah dengan perempuan ahli kitab (Agama Samawi), yang dimaksud

agama samawi atau ahli kitab disini yaitu orang-orang (non muslim) yang telah diturunkan
padanya kitab sebelum al quran. Dalam hal ini para ulama sepakat dengan agama Injil dan
Taurat, begitu juga dengan nasrani dan yahudi yang sumbernya sama. Untuk hal seperti ini
pernikahannya diperbolehkan dalam islam. Adapun dasar dari penetapan hukum pernikahan
ini,

yaitu
mengacu
pada
al
quran,
Surat
Al
Maidah(5):5,
“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang
diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan
mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman
dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab
sebelum kamu, bila kamu telah membayar maskawin mereka dengan maksud menikahinya,
tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barang siapa
yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya
dan
ia
di
hari
akhirat

termasuk
orang-orang
merugi.”
2. Lelaki muslim menikah dengan perempuan bukan ahli kitab. Yang dimaksud dengan non
muslim yang bukan ahli kitab disini yaitu kebalikan dari agama samawi (langit), yaitu agama
ardhiy (bumi). Agama Ardhiy (bumi), yaitu agama yang kitabnya bukan diturunkan dari Allah
swt, melainkan dibuat di bumi oleh manusia itu sendiri. Untuk kasus yang seperti ini, maka
diakatakan haram. Adapun dasar hukumnya yaitu al quran al Baqarah(2):222
“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia
menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanitawanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik
dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah
mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya
(perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.”
Perempuan
Dari

al

muslim

quran

menikah
al

dengan

Baqarah(2):221

sudah

laki-laki
jelas

non
tertulis

muslim.
bahwa:


"...Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin)
sebelum
mereka
beriman..."
Pernikahan seorang muslim perempuan sudah menjadi hal mutlak diharamkan dalam islam,
jika seorang perempuan tetap memaksakan diri untuk menikahi lelaki yang tidak segama
dengannya, maka apapun yang mereka lakukan selama bersama sebagai suami istri dianggap
sebagai
perbuatan
zina.
Kesimpulannya:
Seorang laki-laki muslim boleh menikahi perempuan yang bukan non muslim selama
perempuan itu menganut agama samawi, apabila lelaki muslim menikahi perempuan non

muslim
yang
bukan
agama
samawi,
maka

hukumnya
haram.
Sedangkan bagi perempuan muslim diharamkan baginya untuk menikah dengan laki-laki
yang tidak seiman.
http://www.islamnyamuslim.com/2012/12/hukum-pernikahan-beda-agama-islam-dan.html

Ustadz Ahmad Yani: Tidak Sah Menikah Beda Agama
JAKARTA (voa-islam.com) - Dalam Islam, pernikahan merupakan salah satu pelaksanaan
dari syariat Islam, menjalankan sunnah nabi dan sebagai tahap awal pembentukan keluarga
Islami untuk selanjutnya membentuk masyarakat yang Islami. Dengan demikian, pernikahan
tidak semata-mata mempertemukan seorang laki-laki dengan seorang wanita, tapi memiliki
tujuan jangka panjang, tidak hanya di dunia ini saja, tapi sampai ke akhirat nanti.
“Karena visi besar pernikahan begitu agung, maka diperlukan lelaki dan wanita yang kelak
menjadi suami dan isteri yang satu visi dengannya. Karena itu, ketika seseorang masih
memiliki komitmen keislaman, rasanya tidak mungkin ia menikah dengan non muslim, sebab
dalam Islam, jangankan memilih non muslim, memilih yang muslim saja harus yang shaleh
atau shalehah.” Demikian dikatakan Ketua Lembaga Dakwah Khairu Ummah, Drs. H.
Ahmad Yani kepada voa-islam di Jakarta.
Rasulullah saw bersabda: Wanita dinikahi karena empat hal, yaitu karena hartanya,
kemuliaannya, kecantikannya, dan agamanya. Maka, pilihlah karena agamanya maka

engkau akan beruntung.“ ( HR Bukhari dan Muslim ).
Berdasarkan hadits tersebut, faktor yang amat mendasar dalam Islam adalah aqidah atau
tauhid (yakni mengakui Allah swt sebagai Tuhan, beriman dan taat kepada-Nya). Bila
seseorang menikah dengan orang kafir, musyrik atau non muslim, bagaimana hal ini bisa
berjalan menurut syariat Islam. Sebab, tidak mungkin ada titik temu antara akidah tauhid
murni dan akidah musyrik, penyembah berhala, atau yang tidak mempercayai adanya Tuhan
sama sekali. Karena itu, Allah swt tidak membenarkan adanya pernikahan antara muslim dan
non muslim sehingga bila itu tetap dilakukan menjadi tidak sah.
Allah swt berfirman: “Dan, janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik sebelum
mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang Mukmin lebih baik dari wanita musyrik
walaupun dia menarik hatimu. Dan, janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik
(dengan wanita-wanita Mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang
Mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke
neraka sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan, Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka
mengambil pelajaran.“ ( QS al-Baqarah [2]: 221) .
Namun muncul pertanyaan berikutnya, bagaimana dengan dibolehkannya menikah dengan
wanita ahli kitab? Allah swt berfirman: “Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik.
Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Alkitab itu halal bagimu dan makanan kamu
halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan di

antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara
orang-orang yang diberi Alkitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin
mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak ( pula)
menjadikannya gundik-gundik. Barang siapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima
hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang
merugi.“ (QS al-Maidah [5]: 5).
Dikatakan Ahmad Yani, pada dasarnya laki-laki muslim memang dibolehkan menikah dengan
wanita Ahli Kitab yang memang beriman kepada Allah swt sebagai Tuhan. Namun, itupun

harus memperhatikan syarat-syarat yang mesti dipenuhi agar ia dapat menikahi. Ia harus
perempuan baik-baik yang menjaga kehormatannya bukan perempuan yang memerangi dan
memusuhi Islam dan tidak ada fitnah.
Dalam konteks sekarang, kata Ahmad Yani, menjadi perdebatan besar apakah orang kristen
yang sekarang benar-benar ahli kitab yang tidak kafir kepada Allah swt, ataukah mereka itu
memang kafir dari kalangan ahli kitab. Maka, agar selamat dan demi kehati-hatian, lebih
baik seorang Muslim tidak menikahi perempuan ahli kitab karena sulitnya untuk memenuhi
syarat-syaratnya dan karena banyaknya mudarat yang akan timbul karena perkawinan beda
keyakinan tersebut. Karena itu, Rasulullah saw dalam hadits di atas menekankan menikahi
Muslimah saja yang baik agamanya dan shalihah.
“Karena itu, pernikahan orang yang berbeda agama haram hukumnya dan tidak sah. Hal itu

juga sesuai dengan fatwa MUI dalam Musyawarah Nasional II pada 1980 yang
mengharamkan pernikahan beda agama karena mafsadah (keburukan) nya lebih besar dari
manfaatnya.”
Bila orang kafir mau menikah dengan orang Islam, hendaknya didahului dengan masuk Islam
terlebih dahulu, maka nikahnya sah yang memang dilakukan secara Islam, namun bila
ternyata ia murtad, pernikahannya itupun menjadi batal demi hukum, sebagaimana anak yang
murtad tidak mendapat hak waris dari ayah muslim yang meninggal. Begitu juga suami yang
wafat otomatis pernikahannya menjadi cerai dan sang janda boleh menikah dengan lelaki lain
sesudah habis masa iddahnya, meskipun suaminya tidak menceraikannya. Wallahu a’lam
bish shawab
http://www.voa-islam.com/news/undercover/2013/03/12/23564/ustadz-ahmad-yani-tidak-sahmenikah-beda-agama/

Hukum
Nikah
oleh Abdul Moqsith Ghazali

Beda

Agama


Memilih pasangan hidup makin tak mungkin dibatasi sekat geografis, etnis, warna kulit,
bahkan agama. Jika dahulu orang-orang di Indonesia menikah dengan orang yang paling jauh
beda kabupaten, sekarang sudah kerap dengan orang beda provinsi bahkan negara. Dahulu,
biasanya orang menikah dengan yang satu etnis, kini menikah dengan yang beda etnis sudah
jamak terjadi. Orang Jawa tak masalah menikah dengan orang Minang. Orang Sunda pun tak
pantang menikah dengan orang Bugis. Tak sedikit orang berkulit sawo matang menikah
dengan yang berkulit putih, juga hitam. Orang Arab menikah dengan yang non-Arab. Bule
Amerika
menikah
dengan
perempuan
Batak.

Memilih pasangan hidup makin tak mungkin dibatasi sekat geografis, etnis, warna kulit,
bahkan agama. Jika dahulu orang-orang di Indonesia menikah dengan orang yang paling jauh
beda kabupaten, sekarang sudah kerap dengan orang beda provinsi bahkan negara. Dahulu,
biasanya orang menikah dengan yang satu etnis, kini menikah dengan yang beda etnis sudah
jamak terjadi. Orang Jawa tak masalah menikah dengan orang Minang. Orang Sunda pun tak
pantang menikah dengan orang Bugis. Tak sedikit orang berkulit sawo matang menikah
dengan yang berkulit putih, juga hitam. Orang Arab menikah dengan yang non-Arab. Bule

Amerika
menikah
dengan
perempuan
Batak.
Pernikahan beda agama pun tak terhindarkan. Globalisasi meniscayakan perjumpaan tak
hanya terjadi antar orang-orang yang satu agama, melainkan juga yang beda agama. Tunas
cinta bisa bersemi di kantor-kantor modern yang dihuni para karyawan beragam agama.
Ruang-ruang publik seperti mall, kafe, dan lain-lain membuat perjumpaan kian tak tersekat
agama. Sekat primordial agama terus lumer dan luluh diterjang media sosial seperti facebook
dan twitter. Orang tua tak mungkin membatasi agar anaknya hanya bergaul dengan yang
segama.
Mengahadapi kenyataan itu, para agamawan memiliki pandangan berbeda. Ada yang
bersikukuh bahwa pernikahan beda agama tak direstusi Tuhan. Sebab, agama dirinya adalah
terang, sementara agama orang lain adalah gelap. Terang dan gelap tak mungkin dipersatukan
dalam satu ikatan perkawinan. Para agamawan yang galau ini coba menepiskan fakta, dan
terus merujuk Sabda bahwa nikah beda agama adalah haram. Menurut mereka, bukan hukum
Tuhan yang harus disesuaikan dengan kenyataan, tapi kenyataan lah yang harus ditundukkan
pada kehendak harafiah teks Qur’an. Analogi yang sering disampaikan, bukan kepala yang
harus dicocokkan dengan ukuran kopiah, tapi peci lah yang mesti mengikuti besar-kecilnya
kepala.
Ada juga agamawan yang pasrah pada kenyataan. Menurut mereka, nikah beda agama tak
mungkin untuk dilawan. Agama tak boleh mengharamkan begitu saja. Sebab manusia bebas
dalam memilih agama, maka ia juga bebas menentukan pilihan pasangan dalam keluarga.
”Dalam dunia yang terus mengarah pada kesederajatan agama-agama, kita tak mungkin

memandang agama orang lain sebagai gelap”, tandas mereka. Dengan demikian, menurut
mereka, agama harus terus ditafsirkan untuk diadaptasikan dengan kondisi zaman yang selalu
berubah.

Agumen

Teologis

Islam

Tentang nikah beda agama, para ulama Islam terbelah ke dalam tiga kelompok. Pertama,
ulama yang mengharamkan secara mutlak. Dasarnya adalah al-Qur’an (al-Baqarah [2]: 221)
yang mengharamkan orang Islam menikah dengan laki-laki dan perempuan musyrik. Juga,
QS al-Mumtahanah [60]: 10 yang melarang orang Islam menikah dengan orang kafir.
Sementara QS, al-Ma’idah ayat 5 yang membolehkan laki-laki Muslim menikah dengan
perempuan Ahli Kitab, menurut kelompok ini, sudah dibatalkan dua ayat sebelumnya itu.
Secara statistik, menurut mereka, tak mungkin dua ayat yang mengharamkan bisa dikalahkan
oleh satu ayat yang menghalalkan nikah beda agama. Bagi mereka, kata ”musyrik”, ”kafir”
dan ”Ahli Kitab” adalah sinonim (satu makna), sehingga yang satu bisa membatalkan yang
lain.
Ulama pertama ini pun mengacu pada tindakan Umar ibn Khattab. Ibn Katsir menceritakan
bahwa ketika QS, al-Mumtahanah: 10 turun, Umar ibn Khattab langsung menceraikan dua
isterinya yang masih kafir, yaitu Binti Abi Umayyah ibn Mughirah dari Bani Makhzum dan
Ummu Kultsum binti Amr bin Jarwal dari Khuza’ah. Umar pernah hendak mencambuk orang
yang menikah dengan Ahli Kitab. Umar marah karena ia khawatir tindakan beberapa orang
yang menikahi perempuan-perempuan Ahli Kitab itu akan diikuti umat Islam lain, sehingga
perempuan-perempuan Islam tak menjadi pilihan laki-laki Islam. Namun, kemarahan Umar
tak mengubah pendirian sebagian Sahabat Nabi yang tetap menikahi perempuan Ahli Kitab.
Dikisahkan, Umar pernah berkirim surat pada Khudzaifah agar yang bersangkutan
menceraikan istrinya yang Ahli Kitab itu. Khudzaifah bertanya kepada Umar, ”apakah anda
menyangka bahwa pernikahan dengan perempuan Ahli Kitab haram?”. Umar menjawab,
”tidak. Saya hanya khawatir”. Menurut saya, jawaban Umar ini menunjukkan bahwa ketidaksetujuan Umar itu tak didasarkan secara sungguh-sungguh pada teks al-Qur’an, melainkan
pada
kehati-hatian
dan
kewaspadaan.
Kedua, ulama yang berpendapat bahwa keharaman menikahi orang Musyrik dan Kafir sudah
dibatalkan QS, al-Maidah [5]: 5 yang membolehkan laki-laki Muslim menikahi perempuan
Ahli Kitab. Para ulama berpendapat bahwa tiga ayat tersebut memang sama-sama turun di
Madinah. Akan tetapi, ayat pertama (al-Mumtahanah ayat 10 dan al-Baqarah ayat 221) lebih
awal turun, sehingga dimungkinkan untuk dianulir ayat ketiga (al-Ma'idah ayat 5). Ibn Katsir
mengutip pernyataan Ibnu Abbas melalui Ali bin Abi Thalhah berkata bahwa perempuanperempuan Ahli Kitab dikecualikan dari al-Baqarah ayat 221. Dengan perkataan lain,
keharaman menikahi orang musyrik dan orang kafir seperti tertera dalam al-Baaqarah: 221
dan al-Mumtahanah: 10 telah ditakhshish (dispesifikasi) oleh al-Maidah:5.

Pendapat ini juga didukung oleh Mujahid, Ikrimah, Said bin Jubair, Makhul, al-Hasan, alDhahhak,
Zaid
bin
Aslam, dan Rabi’ bin Anas. Thabathabai berpendirian bahwa pengharaman itu hanya terbatas
pada orang-orang Watsani (para penyembah berhala), dan tidak termasuk di dalamnya orangorang Ahli Kitab. Beberapa buku tarikh mendaftar para sahabat Nabi yang melakukan nikah
beda agama, di antaranya adalah Utsman bin ‘Affan, Thalhah bin Abdullah, Khudzaifah ibn
Yaman, Sa’ad ibn Abi Waqash, dan sebagainya. Menurut Ibnu Qudamah, Hudzaifah menikah
dengan perempuan Majusi. Sementara menurut Muhammad Rasyid Ridla, Khudzaifah
menikah bukan dengan perempuan Majusi, melainkan dengan perempuan Yahudi
Ketiga, ulama yang membolehkan secara mutlak. Ulama terakhir ini melanjutkan argumen
ulama kedua yang tak tuntas. Jika ulama kedua hanya membolehkan laki-laki Muslim
menikah dengan perempuan Ahli Kitab, maka ulama terakhir ini membolehkan hukum
sebaliknya; perempuan muslimah menikah dengan laki-laki Ahli Kitab. Bagi mereka, tak ada
beda antara pernikahan laki-laki muslim-perempuan Ahli Kitab dan pernikahan perempuan
muslimah-laki-laki Ahli Kitab. Menurut kelompok terakhir ini, tak ada teks dalam al-Qur’an
yang secara eksplisit melarang pernikahan perempuan muslimah dengan laki-laki Ahli Kitab.
Bagi mereka, tidak adanya larangan itu adalah dalil bagi bolehnya pernikahan perempuaan
muslimah
dengan
laki-laki
Ahli
Kitab.
Kekhawatiran sebagian pihak bahwa pernikahan perempuan muslimah dengan laki-laki Ahli
Kitab hanya akan melahirkan generasi non-muslim tak terbukti dalam kenyataan. Berbagai
penelitian tentang pasangan nikah beda agama justru menunjukkan bahwa jika seorang ibu
beragama Islam, 70 % lebih agama anak mengikuti agama si ibu. Temuan penelitian ini tak
mengejutkan bagi saya. Sebab, peranan ibu dalam keluarga memang amat sentral, termasuk
dalam soal agama. Tentang agama apa yang dianut oleh seorang anak biasanya tak jauh dari
agama si ibu, bukan agama si ayah. Dengan demikian, tak keliru sebuah pepatah Arab
berkata, ”ibu adalah sekolah pertama” (al-umm hiya al-madrasah al-ula).
Apa yang dikemukakan ulama ketiga itu biasanya diacukan pada alasan kesejarahan. Alkisah,
Zainab binti Muhammad SAW menikah dengan Abu al-Ash. Pernikahan tak dilakukan
berdasarkan syariat Islam karena ia dilangsungkan sebelum Islam. Namun, yang menarik,
setelah Nabi Muhammad diangkat menjadi nabi, Abu al-Ash pun tak segera masuk Islam. Ia
tetap memilih menjadi orang musyrik, seperti umumnya penduduk Mekah saat itu. Bahkan,
ketika Nabi Muhammad dan umat Islam lain hijrah ke Madinah, Abu al-Ash bersama sang
istri (Zainab puteri Nabi) masih bertahan di Mekah. Alih-alih ikut hijrah, Abu al-Ash justru
bersekongkol dengan orang-orang kafir Musyrik Mekah memeperangi umat Islam.
Dikisahkan bahwa Abu al-Ash pernah ditangkap di Madinah atas keterlibatannya dalam
perang Badar dan Uhud. Ia kemudian diminta uang tebusan dan Nabi meminta agar Zainab
dihijrahkan
ke
Madinah.
Berbagai buku sejarah menceritakan bahwa dengan hijrahnya itu, Zainab hidup terpisah
dengan Abu al-Ash selama bertahun-tahun. Mereka kembali hidup serumah, setelah Abu alAsh masuk Islam. Ibn Katsir menuturkan bahwa kembalinya Abu al-Ash ke pangkuan Zainab
binti Muhammad SAW tak disertai dengan akad nikah baru. Menurut ulama ketiga itu, ini

mengisyaratkan bahwa pernikahan Zainab dan Abu al-Ash yang dilangsungkan sebelum
Islam adalah sah sehingga tak perlu ada pernikahan baru. Pernikahan Zainab dengan Abu alAsh ini melahirkan dua orang anak, yaitu Umamah dan Ali. Jika Ali meninggal dalam usia
belia, maka Umamah kelak menikah dengan Ali ibn Abi Thalib setelah istrinya (Fathimah
binti Muhammad SAW) meninggal dunia. Ketika Ali ibn Abi Thalib meninggal, Umamah
menikah dengan al-Mughirah bin Naufal bin al-Harits ibn Abd al-Muththalib.
Nabi juga pernah mengawinkan anak perempuannya, Ruqayyah dengan Utbah ibn Abi
Lahab. Setelah Islam datang, Nabi tak meminta sang puteri untuk berpisah dengan Utbah.
Perceraian terjadi bukan atas kehendak Ruqayyah atau Nabi Muhammad, melainkan atas
perintah ayahanda Utbah, yaitu Abu Lahab. Abu Lahab, musuh bebuyutan Islam, yang
keberatan jika anak laki-lakinya menikah dengan Ruqayyah yang beragama Islam. Dengan
perkataan lain, seandainya Abu Lahab tak menyuruh Utbah menceraikan Ruqayyah, niscaya
pernikahan itu akan tetap berlangsung sekalipun si suami Musyrik dan si perempuan
beragama Islam seperti yang dialami Zainab binti al-Rasul Muhammad SAW.

Bagaimana

di

Indonesia?

Fakta historis tersebut tampaknya tak mengubah pendirian sejumlah ulama Indonesia untuk
melarang pernikahan antara orang Islam dan bukan Islam. Pernikahan beda agama dalam
pandangan mereka adalah haram. Per tanggal 1 Juni 1980, MUI Pusat mengeluarkan fatwa
tentang haramnya pernikahan tersebut. Banyak ulama yang khawatir, seorang istri yang Islam
akan tunduk dan ikut agama si suami yang bukan Islam. Sebagian ulama di Indonesia
mewaspadai kemungkinan tendensi politis dari kalangan non-Islam untuk menaklukkan umat
Islam melalui pernikahan beda agama. Bagi saya, kekhawatiran ini terlampau jauh, karena
banyak pernikahan beda agama yang berlangsung lama dan bertahan dengan agamanya
masing-masing.
Para ulama yang pro-pengharaman nikah beda agama itu mendapatkan sokongan dari negara.
Melalui Inpres No. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang berisi hukum
perkawinan, kewarisan, dan perwakafan, pemerintah melarang umat Islam menikah dengan
orang yang bukan Islam. Dalam pasal 44 KHI dinyatakan “seorang wanita Islam dilarang
melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam”. Dalam pasal
40 disebutkan, “dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang
wanita karena keadaan tertentu; ….(c) seorang wanita yang tidak beragama Islam”. Dengan
dua ayat ini tampak jelas bahwa orang Islam, baik laki maupun perempuan, dilarang
melangsungkan
pernikahan
dengan
orang
yang
tak
beragama
Islam.
KHI memang bukan Undang-Undang (UU), melainkan hanya sebuah Inpres. Tapi, faktanya,
KHI lah yang menjadi rujukan para pegawai KUA dalam menikahkan para laki-laki dan
perempuan Islam di Indonesia. KHI juga dipakai para hakim agama dalam mengatasi
persoalan-persoalan perceraian di Indonesia. Dengan kenyataan ini, para pelaku nikah beda
agama tak mendapatkan payung hukum yang menjamin dan melindungi pernikahan mereka.

Ini karena negara melalui KHI telah ikut terlibat dalam penentuan calon pasangan bagi warga
negara yang mau menikah. Para aktivis HAM berkata bahwa negara tak boleh
mengintervensi dan merampas hak privat setiap warga negara, termasuk dalam soal
menentukan suami atau istri. Negara hanya memfasilitasi dan mencatatkan suatu pernikahan
bukan menentukan pasangan dalam pernikahan. []
http://islamlib.com/?site=1&aid=1743&cat=content&title=kolom

Pernikahan beda agama semakin lama menjadi gejala yang semakin umum di
dalam kehidupan masyarakat di negeri ini … Dengan semakin banyak dan
semakin diterimanya pernikahan beda agama di negara yang konon katanya
merupakan negara dengan jumlah penganut agama Islam terbesar di dunia …
dan adanya fakta bahwa terjadi pro kontra di dalam kalangan umat Islam
sendiri dalam menyikapi masalah pernikahan beda agama ini … maka
pertanyaan yang muncul kemudian adalah … apakah ajaran Islam mengatur
tentang pernikahan beda agama ini … ? … Dan jika ada … bagaimana aturannya
… ??? … Hal ini yang akan akan dibahas di dalam tulisan berikut ini …

Sebagai umat yang mengaku beragama Islam … beriman kepada Allah … dan
juga beriman kepada kitab suci Al Qur'an … maka sudah selayaknya Al Qur'an
yang dijadikan sebagai referensi utama … Sebelum membahas lebih jauh …
berikut saya kutip ayat-ayat Al Qur'an yang membahas tentang pernikahan beda
agama ini … :

QS. 2:221

Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya wanita budak yang mumin lebih baik dari wanita musyrik,
walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang
musyrik
(dengan
wanita-wanita
mumin)
sebelum
mereka
beriman.
Sesungguhnya budak yang mumin lebih baik dari orang-orang musyrik
walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah
mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan
ayat-ayat-Nya (perintah-perintahnya) kepada manusia supaya mereka
mengambil pelajaran.

Dalam ayat di atas jelas … bahwa haram hukumnya bagi seorang yang mengaku
beriman kepada Allah itu menikah dengan orang-orang dari golongan musyrik
… tidak ada pengecualian … Secara sederhana dapat dikatakan bahwa … yang
dimaksud sebagai golongan orang-orang musyrik adalah … orang-orang nonmuslim yang tidak termasuk ke dalam golongan ahli kitab (Yahudi dan Nasrani)


Dengan pengertian seperti di atas … maka konsekuensi logis yang dapat
ditafsirkan adalah … tidak ada larangan bagi seorang laki-laki muslim untuk
menikah dengan wanita dari golongan Yahudi atau Nasrani … Selain itu juga …
tidak ada larangan untuk menikahkan seorang muslimah dengan laki-laki dari
kedua golongan tersebut … Bukankah larangan dalam QS 2:221 itu adalah

larangan menikah dengan golongan musyrikin … ? … Benarkah demikian … ? …
Jawabannya dapat dilihat pada QS 5:5 yang terjemahannya begini … :

QS. 5:5

Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orangorang yang diberikan Al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula
bagi mereka. (Dan dihalalkan menikahi) wanita-wanita yang menjaga
kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu, bila
kamu telah membayar maskawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak
dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikan gundik-gundik.
Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam),
maka hapuslah amalannya dan ia di hari akhirat termasuk orang-orang merugi.

Namun sebelum membahas QS 5:5 … ada baiknya juga kita mengetahui
bagaimana pandangan para ulama tentang yang dimaksud sebagai golongan
musyrikin terkait dengan QS 2:221 … Dalam persoalan ini … para ulama
mempunyai pandangan yang berbeda … Sebagian di antara mereka
mengharamkan semua pernikahan beda agama … termasuk juga dengan umat
Yahudi atau Nasrani … Argumen yang digunakan adalah bahwa umat Yahudi
dan Nasrani dapat digolongkan sebagai musyrik … karena aqidah Ketuhanan
sudah berbeda (dengan menganggap Uzair dan Yesus sebagai Tuhan/anak
Tuhan) … Di sisi lain … sebagian ulama berpendapat bahwa umat Yahudi dan
Nasrani masih tetap digolongkan sebagai ahli kitab meskipun mereka termasuk
kafir dan aqidah Ketuhanan ajarannya sudah tidak sama lagi dengan aqidah
Islam … Para ulama yang mempunyai pandangan seperti ini berpedoman pada
ayat ini … :

QS. 98:1

Orang-orang kafir yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan
bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada
mereka bukti yang nyata

Dengan demikian … maka para ulama ini berpandangan bahwa sesuai dengan
QS 5:5 … seorang laki-laki muslim diperbolehkan menikahi wanita dari
kalangan ahli kitab … Sedangkan bagi wanita muslim … hukumnya tetap haram
dinikahkan dengan laki-laki dari kalangan ahli kitab … Jadi … perbedaan
pandangan para ulama itu hanya pada boleh tidaknya seorang laki-laki muslim

menikahi wanita dari kalangan ahli kitab … dan tidak ada perbedaan
pandangan mengenai haramnya menikahkan seorang wanita muslimah dengan
laki-laki dari kalangan ahli kitab … Jika pada kelompok ulama yang disebutkan
pertama dasar argumennya adalah QS 2:221 dengan menganggap bahwa umat
Yahudi dan Nasrani itu juga termasuk golongan musyrik karena aqidah
Ketuhanannya sudah berbeda …

maka kelompok ulama yang disebutkan belakangan berpandangan bahwa QS
5:5 hanya berbicara tentang bolehnya laki-laki muslim menikahi wanita dari
kalangan ahli kitab … dan sama sekali tidak menyinggung hal yang sebaliknya
… Seandainya pernikahan antara seorang wanita muslimah dengan laki-laki
dari kalangan ahli kitab itu diperbolehkan … maka tentunya ayat tersebut akan
menegaskannya … sebagaimana QS 2:221 menegaskan larangannya menikah
dan menikahkan laki-laki dan wanita muslim dengan orang-orang musyrik …
Pandangan mana yang akan diambil … terserah saja … Namun yang jelas …
sebagai umat muslim … sebaiknya diperhatikan juga dampaknya bagi
kehidupan keluarga … karena kita diwajibkan menjaga keluarga kita dari api
neraka … :

QS. 66:6

Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api
neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikatmalaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa
ang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang
diperintahkan.

Salah satu bentuk usaha menjaga keluarga dari siksa api neraka adalah …
dengan melakukan upaya sungguh-sungguh agar tidak ada anggota keluarga
yang meninggal dalam keadaan bukan Islam … Biar bagaimana pun … menikah
dengan wanita yang tidak seiman akan meningkatkan kemungkinan lahirnya
keturunannya yang mengikuti agama yang dibawa ibunya yang non-muslim …
padahal Allah telah memperingatkan kepada orang yang mau beriman kepadaNya bahwa jangan sekali-sekali mati melainkan dalam keadaan beragama Islam
… Mungkin ayat-ayat yang saya kutip di bawah ini bisa menjadi gambarannya …
:

QS. 3:85

Barangsiapa mencari agama selain dari agama Islam, maka sekali-kali tidaklah
akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orangorang yang rugi.

QS. 3:102

Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah sebenar-benar taqwa
kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan
beragama Islam.

QS. 39:22

Maka apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya (untuk) menerima
agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Rabbnya (sama dengan orang yang
membatu hatinya)? Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang membatu
hatinya untuk mengingat Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata.

Jika itu sampai terjadi … bagaimana pertanggung-jawaban kita kepada Allah
nantinya … ??? … Jangan hanya karena ada kisah yang menunjukkan bahwa
Nabi dan/atau sahabat Nabi pun pernah menikah dengan wanita yang
beragama Yahudi dan/atau Nasrani … maka secara tergesa-gesa itu dijadikan
sebagai pembenaran untuk melakukan pernikahan beda agama … Nabi dan
sahabat Nabi itu jelas mempunyai level keimanan yang berbeda dengan kita …
Keimanan dan komitmen mereka dalam menjalankan ajaran Islam telah teruji …
dan tidak akan goyah keimanannya kepada Allah hanya karena istri yang
berbeda agama … Nah … bagaimana dengan kita … ? … Dengan alasan
toleransi atau untuk menyenangkan hati istri dan keluarga istri saja … bisa jadi
malah suami yang mestinya membimbing istrinya … malah ikut-ikutan
berpartisipasi ketika sang istri tercinta merayakan atau melakukan kegiatan
ritual agamanya … Dengan kondisi seperti itu … tentu mendidik anak agar mau
menjadikan Islam sebagai agama dan pedoman hidupnya akan menjadi lebih
sulit … iya kan … ??? …

Jadi … jika kita memang mau menjadikan Al Qur'an sebagai pedoman untuk
mencari keselamatan dunia dan akhirat… maka walaupun masih dimungkinkan
bagi seorang pria muslim untuk menikah dengan wanita dari kalangan Yahudi
atau Nasrani … mungkin kita harus berpikir panjang untuk melakukannya …
Seberapa kuat keteguhan iman dan kemampuan dalam mendidik anak-anaknya

nanti agar menjadi Islam … sebaiknya dipertimbangkan dengan penuh
perhitungan

Sumber: Hukum Pernikahan Beda Agama dalam Ajaran Islam - Yafi Blog
http://yafi20.blogspot.com/2012/07/hukum-pernikahan-beda-agama-dalam.html#ixzz2VV708zd8

Pernikahan Beda Agama dalam Islam
Perkawinan Beda Agama dalam Islam
Pernikahan Beda Agama dalam Islam Secara umum, Allah melarang perkawinan campur
antar dua orang yang berbeda agama sebagaimana tersurat dalam QS 2:221
Oleh
A.
Fatih
Syuhud
Ditulis
untuk
Buletin
Al-Khoirot
Pondok Pesantren Al-Khoirot Malang
Perkawinan merupakan salah satu institusi sosial yang dianggap sangat penting dalam Islam.
Melalui perkawinan keberlanjutan generasi akan berjalan. Dan lewat lembaga perkawinan
pendidikan dan penanaman keimanan Islam terhadap generasi muda akan ditanamkan. Oleh
karena itu, Al-Quran dan hadits Nabi membuat petunjuk yang sangat jelas bagaimana sebuah
perkawinan itu hendaknya dilakukan. Salah satu yang terpenting adalah bahwa seorang pria
muslim hendaknya memilih calon pasangan yang seiman dan seagama. Tujuannya adalah
untuk mencapai kesamaan dalam banyak hal termasuk dalam mendidik anak-anak kelak.
Namun demikian, dalam kondisi tertentu Islam membolehkan seorang laki-laki muslim
menikahi
wanita
non-muslim.
Pria Muslim dan Wanita Non-Muslim (Yahudi Nasrani)

Secara umum, Allah melarang perkawinan campur antar dua orang yang berbeda agama.
Dalam QS 2:221 Allah berfirman “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik,
sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita
musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang
musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak
yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka
mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan
Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka
mengambil pelajaran.” [1]
Namun dalam ayat lain Allah membuat suatu pengecualian di mana Islam mengijinkan
seorang laki-laki muslim menikahi wanita Yahudi atau Nasrani yang salihah menurut standar
agamanya. Dalam QS Al Maidah 5:5 Allah berfirman: “(Dan dihalalkan mangawini) wanita
yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang
menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu.”[2] Orang
Nasrani dan Yahudi dikecualikan dari orang musyrik yang lain karena masih ada kesamaan
kedua agama tersebut dengan Islam.
Al Husain bin Mas’ud Al-Baghawi dalam Tafsir Al Baghawi saat menafsiri QS 5:5
menerangkan kesepakatan ulama atas bolehnya pria muslim menikahi wanita Yahudi dan
Nasrani walaupun terjadi ikhtilaf atau perbedaan pendapat tentang apakah kebolehan tersebut
khusus wanita nonmuslim yang shalihah saja atau umum.[3] Namun demikian, perlu diingat
bahwa anak-anak hasil perkawinan campur harus dididik secara Islam. Dan bahwa wanita
nonmuslim yang boleh dinikah hanyalah yang beragama Nasrani atau Yahudi sedang wanita
nonmuslim yang lain tidak boleh dinikah sebagaimana dengan tegas disebutkan dalam QS
2:221.
Abu Zakariya Yahya bin Syaraf An-Nawawi (Imam Nawawi), salah satu ulama paling
otoritatif dalam fiqih madzhab Syafi’i, dalam kitab Raudhatut Talibin (Kitab NIkah) VII/136
membagi non-muslim menjadi 3 (tiga) dan perbedaan hukum terhadap ketiganya dalam soal
nikah sebagai berikut:
‫ الكفار ثلثة أصناف‬.
‫ وكذا‬، ‫ لكن تكره الحربية‬، ‫ سواء كانت الكتابية ذمية أو حربية‬، ‫ فيجوز للمسلم مناكحتهم‬، ‫ الكتابيون‬: ‫أحدها‬
‫ فأما المتمسكون‬. ‫ اليهود والنصارى‬: ‫ والمراد بالكتابيين‬. ‫ لكن أخف من كراهة الحربية‬، ‫الذمية على الصحيح‬
‫ فل تحل‬، ‫ كصحف شيث وإدريس وإبراهيم وزبور داود صلوات ال وسلمه عليهم‬، ‫بكتب سائر النبياء الولين‬
‫ مناكحتهم على الصحيح‬.
‫ كعبدة الوثان والشمس والنجوم والمعطلة والزنادقة والباطنية‬، ‫ من ل كتاب له ول شبهة كتاب‬: ‫الصنف الثاني‬
‫ فل تحل مناكحتهم‬، ‫ والمعتقدين مذهب الباحة وكل مذهب كفر معتقده‬.
. ‫ وهل كان لهم كتاب ؟ فيه قولن‬. ‫ لكن لهم شبهة كتاب وهم المجوس‬، ‫ من ل كتاب لهم‬: ‫الصنف الثالث‬
‫ وقال أبو‬. ‫ فنحتاط‬، ‫ ول نتيقنه من قبل‬، ‫ لنه ل كتاب بأيديهم‬، ‫ وعلى القولين ل تحل مناكحتهم‬، ‫ نعم‬: ‫أشبههما‬
‫ وهذا ضعيف عند الصحاب‬، ‫ كان لهم كتاب‬: ‫ يحل إن قلنا‬: ‫ إسحاق وأبو عبيد بن حربويه‬.
Artinya: Orang kafir ada tiga macam. Satu, ahli kitab. Maka boleh bagi pria muslim menikahi
mereka. Baik ahli kitab dzimmi atau harbi. Akan tetapi makruh menikahi wanita ahli kitab
harbi. Menurut qaul sahih, menikahi wanita ahli kitab dzimmi juga makruh akan tetapi
makruhnya lebih ringan daripada makruhnya harbi. Yang dimaksud dengan ahli kitab adalah

Yahudi dan Nasrani. Adapun mereka yang menganut agama dan berpedoman pada kitab nabinabi yang lain seperti kitab nabi Sith, Idris, Ibrahim, Daud, maka tidak halal menikahi mereka
menurut pendapat yang sahih.
Kedua, orang kafir yang tidak memiliki kitab yaitu penyembah berhala, matahari, bintang, dll
maka tidak boleh menikahi mereka.
Ketiga, nonmuslim yang tidak punya kitab. Tapi mempunyai keserupaan dengan kitab seperti
kaum Majusi. Ada dua pendapat tentang boleh tidaknya menikahi wanitanya. Yang sahih
haram menikahi mereka.
Pernyataan dari Imam Nawawi di atas jelas menegaskan bolehnya menikahi wanita Nasrani
dan Yahudi tanpa syarat apapun. Artinya, baik wanita Nasrani yang dulu atau yang sekarang.
Baik kitabnya masih asli atau tidak.
Perlu juga diketahui, bahwa kitab Yahudi dan Nasrani sudah tidak asli lagi sejak dahulu jauh
sebelum turunnya Al-Qur’an. Hal itu disebut secara terang benderang dalam Al-Quran. Lihat
misalnya QS Al-Baqarah 2:79; Ali Imran 3:71, 78, 79, 187, ; An-Nisa’ 4:44, 46; Al-Maidah
5:13, 41.
Wanita Muslimah dengan Laki-laki Non-Muslim
Berbeda dengan pria muslim yang boleh menikahi wanita nonmuslim, wanita muslimah
dilarang menikahi laki-laki nonmuslim secara mutlak apapun agamanya baik Yahudi, Nasrani
apalagi pemeluk agama yang selain kedua agama samawi tersebut. Hal itu jelas tersurat
dalam QS 2:221 dan menurut Al-Baghawi larangan wanita muslimah menikahi laki-laki
nonmuslim adalah ijmak (kesepakatan) seluruh ulama.[4] Dengan demikian maka apabila
terjadi perkawinan campur semacam itu, hukumnya tidak sah.
Alasan pelarangan tidak dijelaskan secara detail di dalam Al-Quran kecuali bahwa hal itu
akan menciptakan lingkungan yang tidak kondusif bagi keluarga. Di samping itu, dalam
Islam maupun dalam agama lain suami adalah pemimpin rumah tangga sehingga apabila
kendali rumah tangga diserahkan kepada nonmuslim, maka tentunya seluruh keluarga, anak
dan istri, akan mengikuti kendali suami. Itu juga yang menjadi salah satu alasan mengapa
kawin beda agama itu dibolehkan bagi pria muslim, tidak bagi wanita muslimah.
Wali Nikah Wanita Non-Muslim
Dalam Islam salah satu hal yang sangat prinsip dalam perkawinan adalah adanya wali nikah
bagi calon pengantin perempuan. Dalam perkawinan antar agama, maka wali nikah yang
berhak menikahkan mempelai adalah sama dengan wali nikah yang muslim yaitu ayah, kakek
dan saudara kandung atau seayah, keponakan, paman, dan seterusnya sebagaimana disebut
dalam urutan laki-laki kerabat yang berhak menjadi wali nikah.[5]
Apabila tidak ada wali kerabat atau yang ada tidak bersedia menikahkan maka wali hakim
berhak menikahkan. Hal ini berdasar kaidah umum yang bersumber dari sebuah hadits Nabi
yang mengatakan bahwa “penguasa adalah wali nikah dari orang yang tidak punya wali”.[6]
Wali hakim yang dimaksud dalam konteks Indonesia adalah pejabat pemerintah yang
membidangi masalah perkawinan yaitu pejabat KUA, modin desa, dan lain-lain. Termasuk
dalam wali hakim juga adalah imam masjid, ahli agama yang dipercaya.

‫‪Dalam hal perkawinan antar sesama muslim namun wali nikahnya nonmuslim, maka hak‬‬
‫‪menikahkan berpindah ke wali hakim karena orang kafir tidak berhak menikahkan‬‬
‫‪kerabatnya yang muslim.[7] Al Mawardi mengungkapkan argumennya mengapa laki-laki‬‬
‫‪non-muslim tidak boleh menjadi wali nikah perempuan muslimah sbb:‬‬
‫وأصل ذلك أن اتفاق الدين شرط في ثبوت الولية على المنكوحة ‪ ،‬فل يكون الكافر وليا لمسلمة ول المسلم وليا‬
‫لكافرة ‪ :‬لقوله تعالى ‪ :‬ولن يجعل الله للكافرين على المؤمنين سبيل ] النساء ‪ [ 141 :‬وقوله أيضا ‪:‬ل تتخذوا اليهود‬
‫والنصارى أولياء بعضهم أولياء بعض ] المائدة ‪ [ 51 :‬فدلت هاتان اليتان على أن ل ولية لكافر على مسلمة ‪ ،‬وقال‬
‫تعالى ‪ :‬والمؤمنون والمؤمنات بعضهم أولياء بعض ] التوبة ‪ [ 71 :‬فدل على أن ل ولية لمسلم على كافرة ‪ ،‬ولن النبي‬
‫صلى الله عليه وسلم لما أراد أن يتزوج أم حبيبة بنت أبي سفيان ‪ ،‬وكان أبوها وإخوتها كفارا ‪ ،‬وهي مسلمة مهاجرة‬
‫بأرض الحبشة ‪ ،‬تزوجها من أقرب عصباتها من المسلمين ‪ ،‬وهو خالد بن سعيد بن العاص ‪ ،‬فدل على انتقال الولية‬
‫بالكفر عمن هو أقرب إلى من ساواها في السلم ‪ ،‬وإن كان أبعد ‪ ،‬فلن الله تعالى قد قطع الموالة باختلف الدين ‪،‬‬
‫فلم تثبت الولية معه كما لم يثبت الميراث‬

‫‪Dari uraian singkat ini dapat disimpulkan bahwa pernikahan beda agama dalam Islam‬‬
‫‪walaupun dibolehkan dalam kasus yang khusus tapi hendaknya menjadi pilihan terakhir‬‬
‫‪karena berpotensi memiliki resiko sosial yang dapat mengancam keutuhan, keharmonisan dan‬‬
‫‪kesinambungan rumah tangga. Karena, Islam lebih menyukai terjalinnya sebuah pernikahan‬‬
‫][ ‪berdasarkan pada kesamaan iman.‬‬
‫حواا ال ؤنمؤشمرك ى م‬
‫حواا ال ؤنمؤشمرمكيتن تحت تىى ي نؤؤممننواا ]‪[1‬‬
‫جبتتؤك نؤم توتلا نتنمك ن‬
‫ت تحت تىى ي نؤؤمم تن تول تأ تتمرة تنمؤؤممن ترة تخي ؤرر متمن تنمؤشمرك تةة تول تؤو أ ت ؤ‬
‫توتلا تتنمك ن‬
‫ع ت‬
‫ن‬
‫ت‬
‫جن تمة توال ؤتمؤغمفترمة مبمإؤذمنمهۦ توي نبت مي تنن‬
‫عوتن مإتلى ال تنامر توال تلـنه ي تؤد ن‬
‫جبتك نؤم أوا ول ىمئتك ي تؤد ن‬
‫تول تتعبؤرد تنمؤؤممرن تخي ؤرر متمن تنمؤشمرةك تول تؤو أ ؤ‬
‫عوواا مإتلى ال ؤ ت‬
‫ع ت‬
‫تءاي ىمتمهۦ ملل تنامس ل تتعل تنهؤم ي تتتتذك تنروتن‬
‫ن‬
‫ت ممتن ال ؤنمؤؤممن ى م‬
‫ب ممن تقبؤلمك نؤم ]‪[2‬‬
‫حتصن ى ن‬
‫حتصن ى ن‬
‫ت توال ؤنم ؤ‬
‫توال ؤنم ؤ‬
‫ت ممتن ال تمذيتن أونتواا ال ؤمكتى ت‬
‫ختلفوا في معنى ” المحصنات ” فذهب أكثر العلماء إلى أن المراد منهن الحرائر ‪ ،‬وأجازوا نكاح كل حرة ‪ ،‬مؤمنة ]‪[3‬‬
‫كانت أو كتابية ‪ ،‬فاجرة كانت أو عفيفة ‪ ،‬وهو قول مجاهد‬
‫قوله تعالى ‪ ) :‬ول تنكحوا المشركين حتى ‪[4] Al Husain bin Masud Al Baghawi, Tafsir Al Baghawi,‬‬
‫يؤمنوا ( هذا إجماع ‪:‬ل يجوز للمسلمة أن تنكح المشرك‬
‫لطرف الثاني ‪ :‬في ترتيب الولياء ‪ ،‬فتقدم ‪[5] Imam Nawawi dalam Raudatut Talibin menerangkan:‬‬
‫جهة القرابة ‪ ،‬ثم الولء ‪ ،‬ثم السلطنة ‪ .‬ويقدم من القرابة الب ‪ ،‬ثم أبوه ‪ ،‬ثم أبوه ‪ ،‬إلى حيث ينتهي ‪ ،‬ثم الخ من‬
‫البوين ‪ ،‬أو من الب ‪ ،‬ثم ابنه وإن سفل ‪ ،‬ثم العم من البوين ‪ ،‬أو من الب ‪ ،‬ثم ابنه وإن سفل ‪ ،‬ثم سائر العصبات ‪.‬‬
‫والترتيب في التزويج ‪ ،‬كالترتيب في الرث ‪ ،‬إل في مسائل‬
‫السلطان ولي من لولي له ‪[6] Hadits riwayat Abu Daud dari Ummu Habibah:‬‬
‫ا ‪[7] Al Mawardi dalam Al Hawi al Kabir fi Fiqhi Madzhabil Imam as-Syafi’I mengatakan:‬‬
‫فل يكون الكافر وليا لمسلمة ول المسلم وليا لكافرة‬
‫‪59 52‬‬

PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Di dalam kondisi masyarakat Indonesia yang beragam, dari segi suku, agama, dan ras,
terdapat berbagai macam masalah yang timbul di dalamnya. Salah satu masalah yang menjadi
sorotan dalam konflik-konflik yang timbul dalam masyarakat sekarang ini ialah dimana kita
sering jumpai terjadinya perlangsungan pernikahan beda agama. Kontak antar masyarakat
yang berbeda latar belakang ini pada kemudian hari menimbulkan adanya suatu fenomena
dalam masyarakat yaitu berupa perkawinan campuran. Salah satu perkawinan campuran yang
paling banyak mengundang perdebatan adalah perkawinan campuran antara pasangan yang
memiliki agama yang berbeda. Masalahnya, dengan perkawinan beda agama akan terjadi
suatu perbedaan prinsipil dalam perkawinan itu sehingga dikhawatirkan akan menimbulkan
berbagai masalah yang rumit untuk diselesaikan dikemudian hari. Oleh karena itu, kemudian
hal itu banyak mendapat tantangan dari masyarakat luas, tetapi juga oleh hukum positif di
Negara kita serta hukum agama yang mereka anut. Walau tidak dapat dipungkiri ada saja
pihak yang pro terhadap keberadaan perkawinan beda agama ini.
Dengan adanya berbagai perbedaan pandangan perkawinan beda agama ini, maka tim
penyusun makalah ini tertarik untuk membahas lebih dalam mengenai perkawinan beda
agama di Indonesia, terutama dilihat dari perspektif hokum Islam. Hal ini dikarenakan tidak
dapat kita pungkiri, sebagian besar masyarakat Indonesia menganut agama Islam sehingga
sudah barang tentu hokum Islam diperhitungkan sebagai salah satu sistem hukum yang
banyak hidup di tengah masyarakat Indonesia. Dengan begitu hukum Islam dapat menjadi
salah satu tolak ukur dalam menilai masalah perkawinan beda agama ini.
PERNIKAHAN BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF
HUKUM ISLAM
1. Konsep dan Pengertian Nikah Beda Agama
Secara etimologi, pernikahan berarti “persetubuhan”. Ada pula yang mengartikannya
“perjanjian” (al-Aqdu). Secara terminology pernikahan menurut Abu Hanifah adalah
“Aqad yang dikukuhkan untuk memperoleh kenikmatan dari seorang wanita yang
dilakukan dengan sengaja”.
Pengukuhan disini maksudnya adalah sesuatu pengukuhan yang sesuai dengan
ketapatan pembuatan syari’ah, bukan sekedar pengukuhan yang dilakukan oleh dua
orang yang saling membuat aqad (perjanjian) yang bertujuan hanya sekedar untuk
mendapatkan kenikmatan semata.

Menurut mazhab Maliki, pernikahan adalah “Aqad yang dilakukan untuk
mendapatkan kenikmatan dari wanita”. Dengan aqad tersebut seseorang akan terhindar
dari perbuatan haram (zina). Menurut mazhab Syafi’i pernikahan adalah “Aqad yang
menjamin diperbolehkan persetubuhan”. Sedang menurut mazhab Hambali adalah “Aqad
yang di dalamnya terdapat lafazh pernikahan secara jelas, agar diperbolehkan
bercampur”.1
Menikah dengan pasangan yang se-agama tentu tidak akan susah-susah mengurus
segala sesuatu mulai dari restu keluaga, juga dalam berhubungan dengan pemuka agama
yang menikahkan hingga pegawai pencatat nikah. Akan tetapi ceritanya akan lain kalau
Anda sudah berketetapan hati untuk menikah dengan seseorang yang merupakan
pasangan hidup anda. Bukan sekedar karena sudah bilang mencintai, tapi juga niat tulus
untuk berbuat baik dan membangun keluarga bersama dalam sebuah ikatan. Tetapi niat
baik itu akan terbentur tembok agama dan juga birokrasi hukum.
Pernikahan beda agama pada dasarnya berarti pernikahan yang dilangsungkan antar
pasangan yang berbeda agama satu sama lain. Pernikahan bernuansa keragaman ini
banyak terjadi dan kita jumpai didalam kehidupan bermasyarakat.2
Persoalan nikah beda agama dalam konteks Negara Indonesia adalah persoalan
hukum. Sementara tafsiran agama-agama tentang pernikahan antara penganut agama
bersangkutan dengan penganut agama lain adalah persoalan teologis dan tafsir-tafsir
keagamaan.3
2. Hukum pernikahan beda agama
Ketika membicarakan tentang orang-orang yang boleh dan haram untuk dinikahi,
maka kita tidak bisa melepaskan pembicaraan lebih jauh mengenai hukum menikah
dengan ahli kitab, kita harus memberi batasan terlebih dahulu apa yang dimaksud ahli
kitab, karena banyak orang yang mengira bahwa setiap non muslim atau orang kafir itu
adalah ahli kitab.
Ada banyak pendapat mengenai siapa ahli kitab. Jika kita mengacu pada beberapa
ayat al-Qur’an yang menyebutkan ahli kitab biasanya ayat tersebut menunjuk pada
komunikasi nasrani dan yahudi. Akan tetapi Imam Syafi’i membatasi pengertian ahli
kitab hanya kepada orang-orang yahudi dan nasrani dari keturunan Bani Israil.
Abu Hanifah dan beberapa ahli fiqih lain, salah satunya Imam Abu Saur menyatakan
bahwa ahli kitab adalah seluruh komunitas yang mempercayai salah seorang nabi atau
kitab suci yang diturunkan Allah SWT. Jadi ahli kitab menurut mereka bukan hanya
menunjuk kepada komunitas yahudi dan nasrani.

Sementara itu, setelah meneliti beberapa pendapat ulama, Quraish shihab dalam
bukunya wawasan al-Qur’an mengemukakan kecenderungannya memahami ahli kitab
sebagai semua penganut agama yahudi dan nasrani, kapanpun, dimanapun dan dari
keturunan siapapun mereka. Pendapat ini berdasarkan pada penggunaan al-Qur’an
terhadap istilah tersebut yang hanya terbatas pada kedua golongan tersebut (yahudi dan
nasrani). Pendapat Quraish Shihab di atas termasuk pendapat yang moderat dan banyak
dipegang para ulama’. Maka pengertian ahli kitab lebih menunjuk kepada pengertian
komunitas yahudi dan nasrani pada umumnya.
Adapun hukum pernikahan beda agama, yaitu:
1. Muslimah menikah dengan laki-laki lain
Permpuan muslimah tidak boleh nikah dengan laki-laki lain, baik dia itu ahli
kitab ataupun lainnya dalam situasi dan keadaan apapun. Seperti firman Allah:
“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.”
(Q.S. al-Baqarah: 221)4
Selain hukum pernikahan beda agama di atas, para tokoh Islam juga berpendapat
mengenai hukum nikah beda aga