MENGGALI ESENSI SPIRITUALITAS DALAM ISLA (1)

1

MENGGALI ESENSI SPIRITUALITAS DALAM ISLAM:
TASAWUF DAN ASKETISME DALAM DINAMIKA
KEHIDUPAN KONTEMPORER
Oleh Fauzan Saleh1
From our very first days on the Sufi path, what intrigued us was the quality
of human beings we met—their humanity, their capacity for friendship, service and love.
Sufism is not about aiming for extraordinary mystical or supernatural experiences;
it is about the transformation of character and the realization of spiritual maturity.

Kabir Helminski, the Threshold Society, 2012.
Hukum Islam hanya bisa mengatur tingkahlaku lahiriah saja
dan tidak bisa menguasai nilai kesadaran batin.

Fauzlur Rahman (1965).
Again, one must beware of the common notion that nineteenth-century Islam was dominated
by a widespread attack from Muslim reformists upon a cult of saints in Sufism.

Julian Baldick (1989).


Pengantar
Sepanjang abad kedelapan dan kesembilan, suatu penekarnan baru dalam
menjalankan ajaran agama mulai dikembangkan di kalangan umat Islam. Penekanan
ini merupakan reaksi terhadap watak ajaran Islam yang dirasakan terlalu formal dan
kurang menyentuh rasa kemanusiaan. Bagi sebagian besar umat Islam, Syari’ah,
meski dipandang sebagai suatu kewajiban, dirasakan telah gagal memberi kepuasan
yang lebih dalam terhadap kerinduan dan cita-cita spiritual yang mendalam. Upaya
menemukan makna yang lebih mendalam dari kesadaran beragama tersebut dimulai
dengan perilaku asketik atau zuhud, suatu terminologi yang sudah sangat lekat dengan
pengalaman sehari-hari mereka, bahkan bersumber dari tauladan yang diajarkan oleh
Nabi Muhammad SAW sendiri. Hal itu selanjutnya berkembang menjadi tradisi
populer yang banyak menyedot perhatian umat Islam, dan memunculkan gerakan
yang kemudian berkembang menjadi tasawuf atau mistisisme Islam.2

1 Guru Besar dan Direktur Program Pascasarjana STAIN Kediri
Materi dipresentasikan dalam acara “Madrasah Ramadhan 1433 H dan Halaqah Ulama’
Muhammadiyah Jawa Timur,” di Universitas Muhammadiyah Malang, Sabtu, tanggal 28 Juli 2012.
2 Lihat “Sufism: The Mystical Side of Islam,” http://www.rim.org/muslim/sufism/htm, diakses tanggal
25 Juli 2012.


2

Sebagai fenomena yang terus berkembang sepanjang sejarah peradaban Islam,
Sufism banyak mewarnai sisi-sisi kehidupan umat Islam di seluruh dunia. Dewasa ini
dorongan pada pencarian makna hidup yang bersumber dari nilai-nilai spiritual
semakin banyak diminati manusia modern. Kecenderungan yang telah muncul pada
abad kedelapan dan kesembilan seperti tersebut di atas kiranya tidak pernah berhenti
berkembang. Kehidupan modern yang serba rasional dan mekanistis berdampak pada
kegersangan jiwa manusia yang berujung pada kehampaan makna hidup. Manusia
menjadi kehilangan orientasi, sehingga mudah terombang-ambing oleh gejolak
kehidupan yang semakin keras dan liar. Tidak heran jika kalangan Sufi, dalam rangka
membela keabsahan atau legitimasi gerakan mereka, berdalih bahwa dewasa ini
kalangan umat Islam pun telah banyak terjebak dalam budaya materialisme yang
semakin kuat mendominasi perilaku dan pola hidup mereka. Dalam paper ini penulis
akan mengangkat persoalan Sufisme dari aspek pencarain makna spiritualitas dalam
Islam dan bagaimana perilaku asketis—sebagai wujud utama dari kegiatan tasawuf—
memiliki makna dalam kehidupan kontemporer. Kajian ini juga mencoba memberikan
tinjauan sekilas tentang perkembangan tasawuf dalam sejarah Islam.
Pendahuluan: Dasar-dasar Perkembangan Sufisme
Sufisme (dalam bahasa yang lebih umum sering disebut mysticism) sebagai

bagian dari pengalaman keagamaan bersifat universal, terdapat pada semua agama di
dunia ini. Tidak ada agama yang tidak mengajarkan spiritualitas atau tidak memiliki
kecenderungan pada asketisme yang bisa mendorong terwujudnya pengalaman batin
yang mendalam dalam beragama. Dalam Islam sendiri, pengalaman spiritual yang
kuat ini telah diperoleh oleh Nabi Muhammad SAW sendiri ketika beliau memulai
masa-masa awal kenabiannya. Hal itu tercermin dari beberapa ayat yang beliau terima
sewaktu masih berdakwah di Makkah, seperti dapat kita baca pada Q.S. 17:1, 53: 112, 81:19-25. Namun semua pengalaman batin yang mendalam ini setelah beliau
berhijrah ke Madinah tidak lagi disampaikan secara cukup tegas, diganti dengan
ungkapan-ungkapan yang lebih progresif, menunjuk pada cita religio-moral untuk
membangun tatanan kemasyarakatan di kota yang baru beliau bangun bersama para
sahabatnya. Hal ini, menurut Fazlur Rahman, terkait dengan orientasi kesadaran
kenabian yang lebih dinamis, di mana pengalaman spiritual tidak untuk dijadikan

3

tujuan akhir atau dinikmati demi pengalaman itu sendiri, tetapi untuk memberi arti
pada tindakan dalam sejarah.3
Sudah banyak kajian tasawuf dalam Islam, baik yang disajikan untuk
keperntingan akademik maupun untuk memenuhi kebutuhan praktis sebagai
pembimbing ke arah pendalaman pengalaman spiritual bagi para pelaku tarekat,

sampai pada upaya-upaya hipno-terapi.4 Dalam kesempatan ini penulis hanya akan
melihat kajian tasawuf sebagai fenomena keagamaan yang cukup besar pengaruhnya
pada perkembangan pemikiran Islam, baik pada tataran teologis, norma moral/akhlaq,
maupun filosofis. Memang tasawuf memiliki pengaruh yang amat luas dalam
perkembangan Islam di berbagai wilayah penyebaran Islam, baik di Timur Tengah,
Asia Selatan, Asia Tenggara, maupun di wilayah-wilayah di mana masyarakat Muslim
berdomisili sebagai kelompok minoritas, seperti di negara-negara Barat dewasa ini. Di
masing-masing wilayah ini tasawuf telah berkembang dengan berbagai corak
pemikiran, memunculkan tokoh-tokoh penting dan juga mempengaruhi berbagai
dimensi kehidupan. Tidak heran jika tasawuf tidak hanya memiliki pengaruh dalam
kehidupan keagamaan saja tetapi juga dalam kehidupan sosial budaya, politik,
ekonomi dan juga pendidikan.
Apa yang mendorong tasawuf terus berkembang hampir sepanjang perjalanan
sejarah Islam hingga dewasa ini? Pertanyaan penting ini tampaknya perlu
dikemukakan lebih dahulu, sebelum terlalu jauh kita masuk pada pemaparan materi
lebih lanjut. Menurut Sholihin (2001), dalam era kemajuan teknologi modern dewasa
ini, orang cenderung lari ke pencarian spiritual untuk menemukan basis yang paling
fundamental dalam kehidupannya. Mengutip pandangan Hussein Nasr yang menilai
bahwa peradaban modern bisa menyebabkan manusia teralienasi, Solihin menegaskan
3 Fazlur Rahman, Islam, terj. Ahsin Mohammad (Bandung: Pustaka, 1984), h. 183.

4 Sudah cukup banyak buku yang ditulis terkait dengan kajian tasawuf dari perpektif akademik, baik
dalam bahasa Ingris, Arab maupun Indonesia sendiri. Dalam bahasa Indonesia, untuk memenuhi
kebutuhan kajian akademik baik di fakultas maupun jurusan, telah terbit berbagai buku seperti Alwi
Shihab, Islam Sufistik ((2001) yang merupakan hasil kajian disertasinya di Universitas Ain Syams,
Kairo Mesir; M. Solihin, Sejarah dan Pemikiran Tasawuf di Indonesia (2001). Sebelum itu Hamka
sudah mempelopori kajian tentang tasawuf dalam dua bukunya yang penting, Tasawuf Perkembangan
dan Pemurniannya (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1993) dan Tasauf Modern (Jakarta: Pustaka Panjimas,
1987). Di Barat kajian tentang tasawuf juga terus dikembangkan. Banyak sekali karya-karya tentang
tasawuf yang ditulis para ilmuan Barat, seperti Annemarie Schimmel, Deciphering the Signs of God: A
Phenomenological Approach to Islam (Albany: State University of New York Press, 1994); Julian
Baldick, Mystical Islam: An Introduction to Sufism (New York and London: New York University
Press, 1989); Jamil Abun-Nasr, Muslim Communities of Grace: The Sufi Brotherhoods in Islamic
Religious Life (London: Hurst, 2007); A.J. Arberry, Mystical Poems of Rumi (Chicago: University of
Chicago Press, 1991); R.W.J. Austin, Sufis of Andalusia (Glousteshire: Beshara Publications, 1988),
dan masih banyak lagi.

4

hal itu terjadi karena peradaban modern telah menafikan dimensi spiritual dalam
kehidupan manusia, sehingga berakibat pada terlupakannya hakekat manusia sebagai

hamba Tuhan. Hal ini bisa berdampak pada ketidak mampuan manusia dalam
menjawab persoalan hidupnya dan kemudian terperangkap dalam kehampaan dan dan
hilangnya makna kehidupan pada diri manusia.5 Di sinilah tasawuf merupakan basis
yang bersifat fitri, bersumber dari pancaran nur Ilahi yang telah mendesain corak
sejarah dan peradaban dunia. Di samping itu, tasawuf juga diyakini telah berfungsi
sebagai alat pengendali pada diri manusia agar dimensi kemanusiaannya tidak larut
dalam gerusan budaya modern yang konsumeristik dan merapuhkan jiwanya.6
Di samping itu, pada masa awal perkembangannya, tasawuf pernah berperan
sebagai bentuk protes atas berbagai penyimpangan moral seperti dipertontonkan oleh
para penguasa yang cenderung menjalani kehidupan penuh kemewahan dan semakin
melupakan Tuhan. Ketika kesetabilan politik dan kemapanan ekonomi dpat
diwujudkan oleh para penguasa Bani Umaiyah yang otoriter, para penguasa tersebut
semakin jauh terlena dalam kehidupan hedonis, berperilaku menyimpang dari
ketentuan Syari’ah, dan melalaikan tanggung jawabnya dalam mengayomi kehidupan
rakyat.7 Pada masa itulah sekelompok ulama yang merasa sudah tidak mampu lagi
memperingatkan berbagai penyimpangan dan kebobrokan moral para penguasa
tersebut menyisih dan mengasingkan diri dengan membentuk kelompok-kelompok
kecil untuk mendalami ilmu-ilmu agama secara lebih serius dan mempraktikkan
kehidupan asketis atau zuhud, menjauhi semua bentuk kemewahan duniawi. Tindakan
ini merupakan bentuk protes dari para ulama’ yang masih memiliki kepedulian

terhadap norma-norma agama, dilakukan secara pasif dengan menunjukkan peri
kehidupan yang sama sekali kontras dengan praktik kehidupan yang dipertontonkan
oleh para penguasa saat itu.
5 Seperti dikutip oleh M. Solihin dalam Sejarah dan Pemikiran Tasawuf di Indonesia (Bandung:
Pustaka Setia, 2001), h. 11.
6 M. Solihin, ibid., h. 13.
7 Fazlur Rahman, Islam, h. 185. Menurut Rahman, di masa pemerintahan dinasti Umaiyah, para
penguasa telah menampakkan kehidupan yang mewah dan cenderung pada kehidupan sekuler yang
sangat berseberangan dengan perilaku para khalifah sebelumnya. Di sini para ulama dan kelompok
zuhud (asketis) melakukan protes agar para penguasa mau menerima dan mentaati hukum Syari’ah dan
tidak memberlakukan kehendak dan kepentingan sendiri sebagai hukum yang harus ditaati oleh
masyarakat. Kelompok zuhud atau asketis ini kemudian menampakkan perilaku yang kontras dengan
perilaku para penguasa dengan menjalani kehidupan asketis, menjauhi semua bentuk kemewahan
duniawi, seperti ditunjukkan oleh al-Hasan al-Basri (w. 728M). Pandangan kritis terhadap perilaku
menyimpang para penguasa Bani Umaiyah juga ditulis oleh Abul A’la Maududi dalam bukunya
Khilafah dan Kerajaan: Konsep Pemerintahan Islam serta Studi Kritis terhadap “Kerajaan” Bani
Umaiyah dan Bani Abbas, terj. Muhammad al-Baqir (Bandung: Karisma, 2007).

5


Sebetulnya, kehidupan asketis bukan suatu hal yang asing dalam Islam. Nabi
sendiri sudah banyak menunjukkan perilaku tersebut. Fazlur Rahman dalam buku
yang dikutip di atas menyebutkan bahwa kehidupan asketis itu beliau lakukan
didorong oleh upaya menjalani kehidupan spiritual yang mendalam. Ibadah shalat dan
bangun tengah malam untuk beribadah adalah bagian dari kehidupan sehari-hari
beliau. Hal ini tentu memberikan kesan sangat mendalam pada perilaku keagamaan
para sahabat dan pengikut beliau. Mungkin hal itu juga berpengaruh pada
kecenderungan hidup membujang (celibacy) pada sebagian sahabat, yang mulai
dipraktikkan oleh kaum Sufi pada abad kedua Hijriyah, meskipun secara tegas beliau
menyatakan kecenderungan seperti itu bukan dari tradisi yang beliau ajarkan. AlQur’an dengan tegas pula mendorong dilakukannya perkawinan, sesuai dengan tabiat
alami manusia (lihat Q.S. 51: 49). Hidup berumah tangga yang didasari perkawinan
yang sah adalah sesuatu yang terpuji dalam pandangan Islam, baik untuk melindungi
kaum wanita maupun untuk tujuan menjaga kesucian dan kehormatan diri manusia.
Dengan merujuk pada Q.S. 57: 27, Fazlur Rahman menegaskan bahwa Islam
menentang hidup membujang sebagai lembaga. Hal itu juga terkait dengan kritikan alQur’an terhadap lembaga kependetaan yang dinilai sebagai lembaga yang gagal
mencapai tujuannya.8
Walaupun memiliki akar yang cukup kokoh dalam tradisi Islam untuk
berkembang, khususnya terkait dengan doktrin asketisme seperti diuraikan di atas,
perkembangan Sufisme dalam Islam ternyata tidak bisa lepas dari berbagai pengaruh
yang berasal dari luar Islam. Dalam kajian Rahman, perkembangan Sufisme dalam

Islam ikut dipengaruhi oleh unsur-unsur yang bersumber dari tradsisi Kristen dan
filsafat Gnostik, bahkan dari ajaran Buda dan Zoroaster. Hampir senafas dengan
pandangan di atas, Annemarie Schimmel menulis:
The early ascetics knew their Christian neighbours, hermits in the
mountains of Lebanon or Syria, or in the deserts of Egypt, and among these
ascetics as well as in later, institutionalized Sufism, practices similar to
those in other monastic communities occurred, the most important one
being poverty and total obedience to the spiritual leader. The Prophet’s
word faqri fakhri, ‘My poverty is my pride’ was their guiding principle.9
Dari kutipan di atas tampak begitu jelas betapa kehidupan asketik yang berkembang
di dunia Islam ikut diwarnai oleh kesan-kesan yang diperoleh sebagian umat Islam
8 Rahman, Islam, h. 189.
9 Annemarie Schimmel, Deciphering the Signs of God: A Phenomenological Approach to Islam
(Albany: State University of New York Press, 1994), p. 192.

6

dari kehidupan para pendeta Krsiten yang mendiami berbagai lembah dan gurun, baik
di Libanon, Siria maupun Mesir. Belajar dari kehidupan para biarawan dan pendeta
itulah selanjutnya praktik-praktik Sufisme yang terorganisir dan melembaga semakin

berkembang di kalangan umat Islam.
Pengaruh luar tersebut selanjutnya ditangkap oleh para pengkhotbah atau
penceramah agama yang menyampaikan pandangan-pandangannya secara pesuasif
dengan memasukkan unsur apa saja yang dapat digunakan untuk mempengaruhi
pandangan massa. Kehidupan asketik yang juga sangat dikenal dalam tradisi agamaagama di luar Islam tersebut memberikan inspirasi bagi para pengkhotbah tersebut
untuk memperluas uraian-uraiannya, tanpa mempedulikan apakah materi itu sejalan
dengan doktrin dasar Islam atau tidak. Selain itu, perkembangan tasawuf juga banyak
dipengaruhi oleh tradisi kalangan Syi’ah yang oleh Rahman disebut berasal dari
pengaruh Kristen. Salah satu bentuk pengaruh itu ialah doktrin eskatologis tentang
kedatangan al-Mahdi (yang dibimbing Tuhan). Al-Mahdi diyakini merupakan figur
spiritual yang (diharapkan) akan muncul di akhir zaman untuk menegakkan kembali
supremasi Islam dan keadilan dengan mengalahkan semua kekuatan penentang Tuhan.
Ide ini muncul pada paruh kedua abad pertama Hijriyah setelah kalangan Syi’ah gagal
dalam usaha mereka merebut supremasi politik di kalangan umat Islam. Bersamaan
dengan itu cara hidup kaum Sufi yang menunjukkan trend tersendiri dengan pola
asketisme mereka semakin diakui keberadaannya, sehingga istilah Sufi dapat
menggantikan sebutan yang telah dikenal sebelumnya bagi kelompok pengamal
tradisi itu, yaitu zuhhad dan nussak,10 para pelaku kehidupan asketis dan kelompok
masyarakat yang banyak menghabiskan waktu untuk beribadah pada Tuhan.
Sementara seluruh umat Islam meyakini bahwa mereka telah berada di jalan

Allah dan berharap untuk mendapatkan surga di akhirat kelak, kaum Sufi juga
meyakini bahwa mereka bisa menjadi lebih dekat dengan Tuhan dan berusaha untuk
bisa merengkuh pengalaman spiritual yang lebih dalam lagi dengan menghayati atau
merasakan kehadiran Ilahi dalam hidup di dunia saat ini. Tujuan utama yang ingin
dicapai oleh kaum Sufi ialah memperoleh ridlo Ilahi dengan melakukan segala amalan
10 Ibid, h. 190. Dalam kajian Rahman lebih lanjut disebutkan bahwa istilah Sufi dan Tasawwuf
mempunyai akar kata yang sama, yaitu shuf, atau wol kasar yang biasa mereka pakai sehari-hari untuk
menyimbolkan kesederhanaan dan penolakan terhadap kemewahan hidup duniawi. Namun ada juga
yang menyebutkan kata-kata Sufi dan Tasawwuf berasal dari kata shafa’ (kesucian, kemurnian),
menunjuk pada cita-cita menggapai hidup suci, serta shuffah, yaitu bagian dari masjid Nabi di Madinah
yang ditinggikan di mana kalangan miskin dari umat Islam saat itu biasa duduk-duduk dan
melaksanakan ibadah mereka.

7

untuk memperbaiki fitrah primordial manusia. Dalam keadaan seperti itu manusia
hanya dapat digerakkan oleh satu motivasi, yaitu rasa cinta pada Tuhannya. Hal itu
membawa konsekwensi lebih lanjut berupa hilangnya dualisme atau bahkan
keanekaragaman (multiplicity), termasuk konsepsi tentang jati diri seseorang
(individual self), untuk menyadari hanya ada satu-satunya wujud, yaitu wujud Tuhan
itu sendiri. Sufisme, mengacu pada uraian di atas, dapat dipandang sebagai suatu
pengetahuan tentang kondisi ego rendah (lower self) dan cara-cara yang perlu
ditempuh untuk memurnikannya dari semua sifat jahat/jelek, kemudian menghiasinya
dengan sifat-sifat terpuji. Upaya-upaya memurnikan jiwa seperti itu diharapkan akan
bisa mendatangkan karunia berupa pengetahuan esoterik tentang Tuhan. Lebih lanjut,
hal ini dapat dipahami tentang perbedaan antara dua bentuk ketentuan hukum yang
berlaku di kalangan umat Islam, yaitu antara yang berdimensi lahiriah—berupa
hukum fiqih—dan hukum yang berlaku bagi batin manusia terkait dengan
pengelolaan kalbu. Jika dimensi lahiriah dari ketentuan hukum tersebut terkait dengan
amalan lahiriah seperti ibadah, transaksi, perkawinan, dan hukum pidana, maka
hukum yang berdimensi batiniah atau spiritual terkait dengan aturan-aturan yang
berlaku dalam upaya membersihkan jiwa manusia dari dosa, menghilangkan sifat-sifat
tercela, dan menggantikannya dengan semua bentuk keutamaan yang bersumber dari
sifat-sifat terpuji.
Untuk bisa mengikuti jalan hidup Sufi, seorang murid harus mulai dengan
menemukan seorang guru atau mursyid, sebab berhubungan dengan guru merupakan
syarat bagi dicapainya perkembangan jiwa murid. Seorang guru yang sebenarnya
harus sudah mendapatkan kewenangan untuk mengajar (mendapatkan ijazah) dari
seorang guru dalam silsilah yang terus-menerus bersambung dengan sumber Sufisme
yang asli, yaitu Nabi Muhammad SAW. Para guru yang menjadi silsilah atau jalur
bagi para murid Sufi ini mentransmisikan cahaya Ilahi dari hati ke hati, sehingga jalur
penyampaian ilmu dalam Sufisme tidak sama dengan pembelajaran dalam ilmu-ilmu
duniawi yang berlangsung dari mulut guru ke telinga murid. Hanya pembelajaran dari
hati ke hati itulah yang memungkinkan perkembangan spiritual seorang murid dapat
dibimbing secara baik. Karena itu pula maka para penganut Sufi sepakat bahwa
Sufisme tidak dapat dipelajari melalui buku. Untuk dapat mencapai kesuksesan
tertinggi dalam Sufisme, seorang murid harus hidup bersma dan mengabdikan diri
pada syaikh selama bertahun-tahun. Sebagai contoh, Baha’ al-Din Naqshaband dari
Bukhara, pendiri tarekat Naqshabandi, pernah mengabdi pada gurunya yang pertama,

8

Sayid Muhammad Baha’ al-Samasi, selama 20 tahun, sampai sang guru tersebut
meninggal dunia.11
Formalisasi Doktrin Sufisme
Memasuki akhir millennium pertama, sejumlah buku panduan dalam
menjalankan kehidupan Sufisme mulai dituliskan dalam bentuk ringkasan dari
berbagai doktrin yang diajarkan oleh para guru. Dua karya besar yang dituliskan pada
masa tersebut ialah Kasyf al-Mahjub karya al-Hujwiri dan al-Risalah, karya alQusyairi. Disusul selanjutnya oleh karya-karya al-Ghazali yang sangat monumental,
termasuk Ihya’ ‘Ulum al-Din dan Kimiya’ al-Sa’adah. Dalam karya ini al-Ghazali
menegaskan bahwa Sufisme bersumber dari ajaran al-Qur’an, sehingga ajarannya
sejalan dengan pemikiran arus utama doktrin Islam, dan sama sekali tidak
bertentangan dengan Syari’ah. Melalui karya al-Ghazali ini pula para ilmuan,
termasuk kalangan ilmuan Barat yang mengkaji Islam dan tertarik pada pemikiran alGhazali, mengakui kesesuaian antara doktrin Sufisme dan hukum Islam (Syari’ah).
Namun, Julian Baldick, dalam karyanya Mystical Islam: An Introduction to Sufism
(1989), memberikan penilaian berbeda tentang karya monumental al-Ghazali tersebut.
Dalam kajiannya tentang tokoh yang dianggap berjasa dalam mengembangkan
Sufisme yang dapat diterima oleh kalangan Sunni tersebut, Baldik menyatakan bahwa
Ihya’ ‘Ulum al-Din adalah buku yang membahas tentang etika dan pedoman perilaku,
bukan buku yang membahas tentang pengalaman mistik yang mendalam. Dalam
bahasa Baldick:
Earlier western writers imagined that al-Ghazali’s enormous Revival of the
Religious Sciences (Ihya’ ‘Ulum al-Din) was a work which conveyed
profound mystical experience. It has been pointed out, however, that it is
really a book on ethics and conduct, which owes a lot to the popular manual
written by Makki in the late tenth century. In the past it was often claimed
that al-Ghazali reconciled Sufism with orthodoxy. But there is no such

11 “Sufism” Wikipedia, the Free Encyclopedia, diakses 3 Juli 2012. Lebih lanjut dijelaskan bahwa
sepeninggal al-Samani, Baha’ al-Din Naqshaband terus mencari guru-guru yang lain untuk
mengabdikan diri pada mereka guna mematangkan pengalaman spiritualnya selama bertahun-tahun.
Proses pematangan spiritualnya yang paling keras dialami ketika Naqshaband diminta oleh gurunya
untuk menyantuni dan melayani orang-orang miskin dan lemah di masyarakatnya dengan segala
kerendahan hati dan penuh toleransi selama bertahun-tahun. Ketika dia merasa bahwa tugas itu sudah
dapat ia selesaikan dengan baik, maka gurnunya justru menyuruhnya untuk melaksanakan tugas yang
lebih berat lagi: dia diminta untuk mengurus binatang-binatang yang berkeliaran di kampong itu,
mengobati binatang-binatang yang sakit, membersihkan luka-lukanya, dan membantu mendapatkan
makanannya.

9

thing as orthodoxy in Islam, and the word should not be used in the history
of religions.12
Dalam kutipan di atas, Baldick juga menegaskan bahwa al-Ghazali telah berupaya
agar Sufisme bisa diterima di kalangan ortodoksi, yang secara umum mewakili
pandangan mainstream dalam pemikiran Islam. Baldick, seperti terbaca pada kutipan
di atas, menyatakan tidak ada ortodoksi dalam Islam, dan kata itu tidak bisa
digunakan dalam kajian sejarah agama-agama.
Kemduian, di mana peran al-Ghazali dalam mengembangkan Sufisme? Para
penulis Barat, mengacu pada karya autobiografinya, al-Munqidz min al-Dhalal,
menilai bahwa al-Ghazali menggambarkan dirinya sebagai tokoh yang sedang gelisah
mencari kepastian akan kebenaran yang hakiki. Jiwanya terombang-ambing antara
berbagai pandangan yang saling bertolak belakang antara pandangan para filosof,
mutakallimin (ahli teologi) yang spekulatif dan pandangan kaum Syi’ah ekstrim,
sebelum akhirnya menemukannya pada pandangan kaum Sufi. Hal itu, menurut
Baldick, hanya merupakan apologi atau pembelaan yang digunakan oleh al-Ghazali
untuk menunjukkan posisinya di hadapan penguasa politik yang sedang memerintah.
Lebih tegas, Baldick menulis:
Many western writers have accorded a naïve acceptance to his
autobiography, in which he portrays himself as searching for true certainty
among theologians, philosophers and extremist Shiites before finally
finding it in Sufism. Recent research has demonstrated that this is just an
apologetic device, which bears little relation to Ghazali’s real life story (an
establishment figure’s continuing involvement with powerful political
patrons).13
12 Julian Baldick, Mystical Islam: An Introduction to Sufism (New York: New York University Press,
1989), p. 65-66.
13 Ibid., p. 65. Sejauh ini, buku autobiografi al-Ghazali, al-Munqidz min al-Dhalal,

diakui sebagai sumber autoritatif yang menunjukkan keberpihakan al-Ghazali
terhadap tasawuf. Namun, seperti ditulis oleh Julian Baldick di atas, pandangan yang
lebih kritis perlu dikemukakan di sini. Al-Ghazali memang sangat berkepentingan
membela keabsahan doktrin Sunni—yang dianut oleh pihak penguasa saat itu dan
dengan muatan tasawuf yang telah di-“jinakkan” oleh al-Ghazali—berhadapan
dengan pandangan kelompok Syi’ah ekstrim. Dalam buku yang lain, Fadha’ih alBatiniyah wa-Fadha’il al-Mustazhiriyah, al-Ghazali dengan sangat jelas
menunjukkan pembelaannya terhadap rezim yang berkuasa, yaitu Khalifah alMustazhir (1094-1118). Di sini tampak jelas perpaduan antara kepentingan politik dan
ideologi yang dibela oleh al-Ghazali. Fadha’ih al-Batiniyah merupakan pembelaan alGhazali atas keabsahan faham Sunni yang merupakan ideologi resmi pemerintahan
Abbasiyah, berhadapan dengan pandangan kaum Batiniyah dari kelompok Syi’ah
ekstrim yang merupakan ancaman bagi pihak penguasa. Lebih lengkapnya lihat Abu
Hamid al-Ghazali, Fadha’ih al-Batiniyah wa-Fadha’il al-Mustazhiriyah, ed. ‘Abd al-

10

Terlepas dari kontroversi di atas, al-Ghazali mengakui bahwa jalan Sufi adalah
jalan yang lebih meyakinkan dalam memperoleh kebenaran. Al-Ghazali mulai
mendalami tasawuf dengan menelaah buku-buku para ahli tasawuf terdahulu, seperti
Qut al-Qulub, karya Abu Thalib al-Makki, karya-karya Harits al-Muhasibi, risalah
peninggalan al-Junaid, al-Syibli, dan Abu Yazid al-Bistami.14 Yang sangat menarik
bagi al-Ghazali dalam tasawuf ialah latihan-latihan jiwanya untuk mempertinggi sifatsifat terpuji dan menahan dorongan nafsu untuk berbuat yang tercela, agar hati nurani
manusia terus terjaga kemurniannya. Menurut al-Ghazali, hati nurani yang bersih dan
murni merupakan medium utama untuk bisa dekat dengan Tuhan, apalagi jika selalu
dihiasi dengan dzikir, banyak menyebut nama Tuhan.15
Bagi kaum Sufi, al-Ghazali dipandang berjasa besar karena telah
menyelamatkan tasawuf dari berbagai bentuk penyimpangan yang terjadi sebelumnya.
Dengan usahanya yang keras dia berhasil mengembalikan tasawuf kepada pangkuan
Sunnah, sehingga bisa diterima di kalngan ulama’ Syari’ah. Sebelum itu para ahli
Syari’ah tersebut memandang tasawuf sebagai hal yang menyimpang dari ajaran
Islam, khususnya ajaran tasawuf yang dirumuskan oleh al-Bistami dan al-Hallaj. 16 AlGhazali mengingatkan bahwa pangkal utama kehidupan tasawuf ialah ilmu tauhid.
Ilmu tauhid menimbulkan iman, dan iman akan membawa manusia cinta kepada Nabi
Muhammad SAW. Selanjutnya, cinta kepada Nabi akan mendorong manusia dengan
suka rela menjalankan Syari’ah dengan sebaik-baiknya.17 Atas dasar pandangan
tersebut pula maka tasawuf merupakan jalan yang paling efektif untuk menanamkan
keyakinan tentang adanya Tuhan. Semata-mata belajar ilmu kalam hanya menjadikan
orang pandai berdebat, sebab ilmu kalam itu sendiri tidak mampu memberikan
perasaan yang mendalam tentang keyakinan tersebut. Demikian pula jika orang hanya
belajar fiqih saja, otak akan penuh dengan pengetahuan tentang halal dan haram,
tetapi jiwanya akan kosong dan berubah menjadi kasar.18
Dengan tasawuf al-Ghazali mengajarkan perlunya menguasai jiwa dan
melatihnya sehingga mampu mempunyai pengetahuan yang tertinggi yang hanya bisa
dicapai dengan rasa (dzauq). Pengetahuan tertinggi itu tidak diperoleh dengan belajar
Rahman Badawi (Kairo: al-Dar al-Qawmiyah, 1964).
14 Al-Ghazali, al-Munqidz min al-Dhalal (Kairo: al-Jundi, t.th.), h. 43.
15 Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya (Jakarta: Nurul Islam, 1980), h. 129.
16 Harun Nasution, Falsafat dan Misticisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), h. 70.
17 Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya, h. 212.
18 Ibid, h. 213.

11

secara teoritis tetapi melalui pancaran cahaya Ilahi yang maha tinggi, memancar
langsung ke dalam hati manusia apabila telah sempurna kesuciannya dan jernih
bagaikan kaca cermin memantulkan setiap benda yang berada di hadapannya. 19 Bagi
al-Ghazali, jalan tasawuf yang ditempuhnya ini telah membuahkan hasil sebagaimana
yang ia inginkan. Selama masa-masa berkhalwat—menyendiri meninggalkan
kehidupan sosial dan merenung di menara masjid Damaskus—telah terbuka baginya
bermacam-macam pengetahuan yang tak terhingga banyaknya. Dia kemudian menjadi
yakin bahwa para Sufi adalah orang-orang yang mengikuti jalan Tuhan, dan bahwa
perjalanan hidup mereka adalah yang paling baik serta paling benar. Lebih dari itu,
akhlaq mereka adalah yang paling tinggi, karena seluruh gerak-gerik dan diam
mereka, lahir maupun batin, merupakan cerminan dari cahaya kenabian.20
Pengaruh Tasawuf dalam Kehidupan Masyarakat Modern
Tradisi tasawuf ternyata sangat kuat mengakar dalam kehidupan umat Islam
hingga abad modern ini, meskipun kalangan modernis, sejak abad ke-19 yang lalu,
telah berusaha keras menentang tradisi itu, terutama terkait dengan bentuk-bentuk
pemujaan terhadap para wali atau orang suci dari kalangan Sufi (a cult of the saints in
Sufism).21 Pengaruh Sufisme telah begitu kuat tertanam hampir di semua lini
kehidupan umat Islam, termasuk pendidikan, sosial-budaya, politik, ekonomi, sastra,
dan karya-karya seni yang lain, di samping tentu saja perilaku atau pandangan
keagamaan secara umum. Hal itu tentu tidak asing dalam kehidupan masyarakat kita,
karena Islam yang pertama kali dikembangkan di negeri kita adalah Islam yang kental
dengan warna tasawuf.
Menurut Peacock, Islam yang berkembang di Indonesia mula-mula dibawa
oleh para penganut Sufisme pada abad ke-14, menyertai para pedagang Muslim.
Karena para Sufi mempunyai misi untuk menyebarkan Islam maka mereka mulai
berdakwah di lingkungan tempat tinggal mereka. Ajaran-ajaran mereka dengan cepat
menarik perhatian warga masyarakat sekitar karena para Sufi tersebut menyampaikan
ajaran agama yang langsung menyentuh kalbu dan membangkitkan imajinasi mereka.
Di sisi yang lain, kaum Sufi tidak mengajarkan tentang sistim hukum yang kaku dan
kering serta rumit yang berasal dari rumusan para ahli fiqih abad tengah. Ajaran kaum
19 Yusuf Musa, Falsafat al-Akhlaq fi’l-Islam wa-Silatuha bi’l-Falsafat al-Ighriqiyah (Kairo:
Mu’assasat al-Khanji, 1963), h. 133.
20 Al-Ghazali, al-Munqidz min al-Dhalal, h. 49.
21 Julian Baldick, Mystical Islam, p. 150.

12

Sufi juga banyak menyentuh emosi atau perasaan bagi para pemeluk pemula dengan
gambaran-gambaran yang lebih hidup menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan
melalui lagu-lagu keagamaan yang mereka gubah, guna membangkitkan kerinduan
mereka pada sang pencipta. Lebih menarik lagi, karena kaum Sufi bersedia
mencampur-adukkan ajaran-ajaran mereka dengan tradisi masyarakat setempat maka
ajaran mereka lebih mudah diterima.22
Alwi Shihab dalam bukunya Islam Sufistik (2001) mencatat ada empat bidang
di mana tasawuf ikut berperan dalam mewarnai kehidupan umat Islam di Indonesia,
yaitu bidang politik pendidikan, kehidupan sosial, dan bidang akidah. Berbicara
tentang pengaruh kehidupan Sufisme dalam politik, Shihab mula-mula berbicara
tentang corak tasawuf Sunni dengn mengacu pada ajaran al-Ghazali sebagai model
tasawuf yang banyak diikuti di Indonesia. Dominasi ajaran tasawuf tersebut, menurut
Shihab, memberikan kesan yang cukup kuat bahwa Islam adalah tsawuf Sunni, dan
tsawwuf Sunni adalah Islam itu sendiri. Kondisi ini masih belum berubah sampai
abad ke-19, ketika gerakan pembaruan yang mengusung semangat purifikasi dalam
praktik keagamaan dari bid’ah dan khurafat mulai berkembang di beberapa wilayah di
Indonesia. Menurut Shihab, datangnya gerakan pembaruan yang dipengaruhi oleh
ajaran Wahabi ini telah menimbulkan konflik dengan tasawuf. Akibatnya, kaum santri
di Indonesia terpecah menjadi dua, yaitu kelompok konservatif yang berpegang teguh
pada turats yang mengkristal dalam oragnisasi NU dan kelompok reformis yang
mengacu pada gerakan Wahabi. 23
Mengacu pada uraian Shihab di atas, tampaknya tidak mudah menyimpulkan
bagaimana tasawuf mempengaruhi kegiatan politik di Indonesia. Yang dapat kita baca
dari uraian tersebut ialah pada periode sebelum kemerdekaan masyarakat Indonesia
menunjukkan loyalitas mereka pada Islam seperti loyalitas bangsa-bangsa pada
negara mereka. Pada masa itu, bagi bangsa Indonesia, Islam dan nasionalisme tidak
berlawanan, sehingga muncul pandangan bahwa loyalitas pada negara identik dengan
loyalitas pada Islam. Namun di mana peran Sufisme dalam memupuk rasa
nasionalisme dan loyalitas pada negara yang tengah diperjuangkan kemerdekaannya

22James L. Peacock, Indonesia: An Anhtropological Perspective (Pacific Palisades, California:
Goodyear, 1973), p. 24. Lihat pula Fauzan Saleh, Modern Trends in Islamic Theological Discourse in
Twentieth Century Indonesia (Leiden: E.J. Brill, 2001), p. 25-26.n.
23 Alwi Shihab, Islam Sufistik: Islam Pertama dan Pengaruhnya hingga Kini (Bandung: Mizan,
2001), h. 193-4.

13

tersebut? Hal ini tidak diungkap secara eksplisit dengan menyebut nama-nama tokoh
Sufi yang benar-benar menjadi penganjur bagi gerakan nasionalisme saat itu.
Jika dicari jawabannya, barangkali hal itu terkait dengan generalisasi yang
terlalu longgar seperti yang dikemukakan di awal, bahwa Islam identik dengan
tasawuf Sunni. Dengan demikian, mengikuti alur fikiran tersebut, gerakan apa pun
yang mengatas namakan Islam identik dengan gerakan yang didukung oleh kaum
Sufi. Tentu generalisasi yang terlalu longgar ini perlu tinjauan yang lebih kritis lagi.
Uraian berikutnya menunjuk pada situasi kehidupan politik yang dihadapi oleh umat
Islam pasca kemerdekaan. Intinya, pertarungan memperebutkan pengaruh antara
kekuatan-kekuatan nasionalis sekuler dengan kelompok santri dalam mewarnai
kehidupan politik di Indonesia. Lagi-lagi di sini tidak jelas kekuatan politik mana
yang diwarnai oleh faham tasawuf tertentu. Apa lagi jika diingat bahwa aliran tasawuf
yang berkembang di Indonesia juga beraneka ragam, tidak hanya satu warna saja.24
Selanjutnya, dalam bidang pendidikan, Shihab menyebutkan bahwa lembaga
pendidikan pesantren yang dikembangkan oleh kalangan NU merupakan representasi
paling kuat dari penyebaran pengaruh tasawuf di dunia pendidikan Islam. Shihab
menegaskan bahwa melalui pesantren tasawuf maju pesat. Di samping itu pesantren
memiliki peran menentukan dalam bidang pendidikan, khususnya di masyarakat
pedesaan yang meliputi 80 % dari jumlah penduduk Indonesia. Mengutip pendapat
seorang orientalis yang mengkaji perkembangan Islam di Indonesia, Walder Stohr,
Shihab menegaskan bahwa pesantren dengan bermacam-macam nama sesuai dengan
tempat di mana pesantren itu berkembang telah berperan penting dalam membentuk
pandangan hidup keislaman bagi masyarakat Indonesia. 25 Sangat menarik uraian
Shihab tentang bagaimana pesantren berinteraksi dengan masyarakat sekitar sehingga

24 Bandingkan, misalnya, gerakan tasawuf yang berkembang di belahan negara-negara Islam yang
lain, seperti di Afrika Utara dan India, di mana kelompok-kelompok Sufi di sana berperan aktif dalam
gerakan politik menentang kekuatan penjajah asing. Di Afrika Utara, tepatnya di Libia, persudaraan alSanusiah membangun basis perlawanan terhadap penjajahan Perancis yang berambisi meluaskan
pengaruhnya di wilayah Sub-Sahara Afrika. Muhammad al-Sanusi (w. 1859), pendiri persudaraan Sufi
tersebut, membangun markas perjuangannya di sebuah oasis, dilengkapi dengan masjid, madrasah,
fasilitas asrama untuk guru dan murid serta tamu-tamu yang singgah, di samping sebuah perpustakaan
besar yang mengoleksi buku-buku keagamaan yang lengkap. Di bawah kepemimpinan anaknya, Sayyid
al-Mahdi (1844-1902), kelompok persaudaraan Sufi al-Sanusiyah ini berjuang menentang penjajahan
Perancis dan Italia yang datang menyusul. Lihat Baldick, Mystical Islam, h. 143. Di Indonesia gerakangerakan tasawuf yang tampil dengan kekuatan perlawanan menentang penjajahan seperti itu tentu
bukan hal yang asing. Namun hal itu tampaknya kurang mendapatkan perhatian dari Shihab.
25 Shihab, Islam Sufistik, h. 215, mengutip dari Walder Stohr dan Piet Zoetmulder, De Religionen
Indonesian (1965).

14

mampu mempengaruhi pola kehidupan dan perkembangan budaya masyarakat
tersebut:
Pada awal berdirinya, pesantren memperkenalkan suatu kebudayaan yang
berbeda dengan kebudayaan di lingkungan setempat, kemudian terjadi
interaksi antara kedua kebudayaan tersebut, dan yang pertama
mempengaruhi yang kedua sehingga dalam perkembangannya masyarakat
menjadi bagian dalam kebudayaan tersebut dan loyal kepadanya.
Seterusnya pengaruh pesantren dalam mengubah gaya hidup yang
menempatkan nilai-nilai Islam menggantikan nilai-nilai yang sebelumnya
berpengaruh di daerah itu, sebelum adanya pesantren.26
Dengan uraian di atas, tampak jelas bagaimana pengaruh pesantren—dan pola
kehidupan keagamaan yang diwarnai doktrin Sufisme—memberikan kontribusi yang
cukup kuat pada pembentukan budaya masyarakat. Inilah barangkali yang
dimaksudkan oleh Shihab bagaimana pola kehidupan Sufistik telah terbentuk pada
pandangan dan perilaku keagamaan masyarakat Muslim di Indonesia, sehingga,
seperti yang diklaim sebelumnya, Islam adalah tsawuf Sunni, dan tsawwuf Sunni
adalah Islam itu sendiri.
Dalam kehidupan sosial, menurut Alwi Shihab, tasawuf berperan dalam
membantu menyelesaikan berbagai persoalan yang melilit masyarakat, seperti ledakan
penduduk, penyalah gunaan obat-obatan terlarang, dan ekstrimisme keagamaan. Di
samping itu, tasawuf juga menjadi solusi bagi kegalauan kalangan anak muda yang
kemudian terjebak dalam pemahaman keagamaan yang kurang tepat, seperti dalam
memaknai doktrin jihad. Bahkan, menurut Shihab, ajaran tasawuf juga bisa berperan
dalam menangkal penyebaran aliran pemikiran sekuler yang bersumber dari tradisi
Barat dan berpotensi menghancurkan nilai-nilai spiritual Islam. Dalam hal mengatasi
problem ledakan penduduk, Shihab menyebutkan bahwa para kyai dan pemimpin
agama memainkan peran penting dalam menyukseskan program keluarga berencana
yang dicanangkan oleh pemerintah. Hal itu karena petunjuk dan bimbingan para kyai
tersebut selalu menjadi pedoman bagi masyarakat, khususnya yang tinggal di desadesa, dalam menjalankan kehdiupan sehari-hari, termasuk jika anjuran mengikuti
keluarga berencana tersebut didukung oleh para kyai atau pemimpin agama. Program
itu mencatat keberhasilan yang cukup besar, karena mampu mengajak 19 juta
keluarga di Indonesia untuk ikut serta dalam program keluarga berencana. Sebanyak
79% ibu-ibu berusia 15-49 tahun tercatat telah mengikuti program tersebut, sehingga,

26 Ibid.

15

menurut data 1989, pemerintah berhasil menekan angka pertumbuhan penduduk
antara 2.3% sampai 2%.27
Dalam hal pencegahan penyalahgunaan obat terlarang, menurut Shihab,
tasawuf di Indonesia telah mendapatkan pengakuan masyarakat dan pemerintah atas
perannya dalam memecahkan problem sosial tersebut. Kaum Sufi memiliki cara-cara
yang diakui sangat efektif dalam menangani para pecandu narkotika melalui nasehatnasehat keagamaan yang menyentuh kesadaran mereka. Para syaikh Sufi tersebut
mampu membangkitkan kepercayaan para pecandu narkotika dan mengajak mereka
untuk bertobat dan mengamalkan berbagai bentuk wirid yang mereka ajarkan. Usaha
para syaikh dalam mengobati lebih dari 70% pasien dan pecandu narkotika
mendapatkan apresiasi masyarakat, sehingga para pecandu tersebut dapat kembali
menjalani kehidupan normat di lingkungan keluarga dan masyarakatnya.28
Terkait

dengan

pengaruh

tasawuf

dalam

bidang

akidah,

Shihab

menjelaskannya dengan menunjuk berbagai bentuk penyimpangan akidah yang
menjadi tantangan yang harus dihadapi oleh para syeikh Sufi. Dimulai dari era
Walisongo, para ulama’ Sufi sudah dihadapkan pada berbagai bentuk penyimpangan
akidah tersebut. Bahkan para ulama’ Sufi tersebut juga harus berhadapan dengan
tokoh-tokoh tertentu yang dengan dalih tasawuf justru melepaskan diri dari ikatan
Syari’ah, seperti yang dilakukan oleh Syekh Siti Jenar. Sunan Diri, salah seorang
tokoh Wali Songo, dengan tegas memfatwakan wajib memerangi tokoh atau
kelompok yang dengan terang-terangan menyimpang dari Syari’ah tersebut. Tindakan
tegas dari para ulama’ terhadap penyimpangan akidah tersebut juga terjadi di Aceh
dan Palembang, meskipun Shihab tidak menunjuk kasusnya secara jelas. Selanjutnya,
di era modern, kalangan Sufi ini terus berusaha mencegah munculnya kelompokkelompok yang dianggap menyimpang dari akidah yang benar. Salah satunya ialah
upaya kelompok kebatinan yang menginginkan agar tradisi atau kegiatan ritual
mereka diakui sebagai agama resmi oleh pemerintah. Menurut Shihab, “Meskipun
seruannya memperoleh simpati terutama dari kalangan nasionalis dan mereka yang
ingin Indonesia kembali ke agama asli, ulama dan kyai mampu membatasi pengaruh
yang ditimbulkan dan bahayanya dalam kehidupan akidah masyarakat.”29
Masih terkait dengan upaya menanggulangi penyimpangan akidah tersebut,
para ulama’ Sufi yang tergabung dalam organisasi tarekat mu’tabarah, menurut
27 Ibid., h. 226.
28 Ibid., h. 227.
29 Ibid., h. 236.

16

Shihab, telah mengambil langkah-langkah praktis untuk mengklarifikasi status semua
aliran sesat, baik yang memakai nama tarekat maupun aliran kebatinan yang
mempraktikkan hal-hal yang bertentangan dengan Syari’ah. Namun, Shihab
tampaknya juga ragu-ragu dalam menyikapi aliran yang dianggap menyimpang
tersebut, khususnya ketika sebagian aliran itu masih “berpegang pada dasar-dasar
Islam.” Shihab bahkan menyarankan agar para ulama’ Sufi mau duduk bersama dan
berdialog untuk memperoleh manfaat bagi umat Islam dalam jangka panjang.
Daripada bersikap memusuhi kelompok-kelompok yang dipandang menyimpang dan
hanya akan membuat mereka semakin jauh dari Islam, menurut Shihab, lebih baik
berusaha mengembalikan mereka ke dalam barisan Islam. Umat Islam perlu belajar
dari pengalaman masa lalu, terkait dengan cara mereka menyikapi kalangan yang
dituduh komunis di era 1960-an. Karena mereka disikapi dengan permusuhan maka
mereka menjadi semakin jauh dari Islam, kemudian disantuni oleh kalangan Kristen
dan akhirnya menjadi penganut Kristen.30
Bagaimanapun, seruan di atas tentu sangat konstruktif dan layak diapresiasi.
Di alam demokrasi dewasa ini tidak selayaknya orang bersikap ingin menang sendiri
dan berusaha menghakimi pihak lain dengan menggunakan kriteria subjektif yang
dimiliki. Dalam alam demokrasi semua pihak, paling tidak secara teori, mendapatkan
ruang yang sama untuk bisa mengekspresikan jati diri dan fikirannya, tanpa
merugikan kepentingan bersama yang lebih besar. Prinsip taat pada ketentuan hukum
harus menjadi dasar untuk dipatuhi bersama. Kesadaran sufistik seharusnya dapat
mendorong terwujudnya kehidupan yang saling menghargai dan saling mengayomi
dengan lapang dada, apalagi jika kehidupan itu didasari oleh kesamaan akidah dan
keyakinan.
Terlepas dari pandangan di atas, uraian Islam sufistik Alwi Shihab memang
terasa terlalu longgar dalam membuat jeneralisasi. Sekali lagi hal itu antara lain
karena dia ingin menegaskan hipotesisnya bahwa Islam Sunni adalah Islam dengan
muatan tasawuf, sehingga tanpa tasawuf tidak mungkin ada Islam. Oleh karena itu,
konsekwensi selanjutnya, fenomena apa pun yang muncul dari kehidupan umat Islam
di Indonesia adalah fenomena sufistik. Cara pandang inilah barangkali yang selalu
menjadi akar pertentangan antara kelompok modernis dan tradisionalis yang terus
terjadi di negeri kita. Orang tentunya dapat memahami bahwa dengan mengususng

30 Ibid., h. 237.

17

cara pandang seperti itu ada upaya untuk menghegemoni makna Islam sesuai dengan
kepentingan subjektif pihak tertentu.
Menggali Esensi Asketisme dalam Islam
Pada kutipan di awal tulisan, kita dapat membaca kesan seorang penganut Sufi
yang begitu tersentuh hatinya oleh pengalaman yang diperolehnya saat awal mula ia
berinteraksi dengan komunitas Sufi yang dimasukinya. Ungkapannya yang menyebut
the quality of human beings we met, yang berarti kualitas kemanusiaan yang
ditampilkan oleh orang-orang yang ia temui, menjadi kata penunjuk pada outcome
pembelajaran sufistik yang ia tangkap sejak dari awal pengalamannya bergabung
dengan kelompok tersebut. Kualitas kemanusiaan itu terinci lebih lengkap dengan
menyebut sifat-sifat kemanusiaan yang sejati (humanity), kemampuan membangun
persahabatan (capacity for friendship), kesediaan untuk saling membantu dan
melayani (service), serta kasih sayang yang tulus (love) di antara sesama warga
komunitas itu. Oleh karena itu, Sufisme bukan sama sekali terkait dengan upayaupaya memperoleh pengalaman mistik atau pengalaman supranatural yang luar biasa,
tetapi upaya untuk mencapai transformasi karakter manusia dan upaya mewujudkan
kematangan spiritual.
Kehidupan manusia ternyata tidak cukup diatur dengan rumusan hukumhukum positif seperti tertuang dalam undang-undang atau peraturan pemerintah.
Semua ketentuan hukum yang disepakati setelah disahkan oleh pemerintah itu tidak
berarti banyak jika kualitas kemanusiaan dari warga negara itu sendiri tidak dibangun.
Bahkan hukum fiqih pun, seperti diungkap oleh Fazlur Rahman, tidak bisa menguasai
nilai kesadaran batin manusia, meskipun ia bisa mengatur tingkah laku lahiriahnya.
Tingkah laku lahiriah memang bisa dinilai oleh pihak luar, sebab ada kriteria yang
diakui bersama sebagaimana tertuang dalam ketentuan hukum, baik dalam konsep
fiqih maupun hukum positif. Di samping itu ada nilai-nilai moral-etis yang sudah
dirumuskan secara konseptual oleh para filosof. Di luar itu semua, ada wilayah yang
sangat menentukan dalam membentuk pribadi manusia yang tak cukup digarap
dengan rumusan ketentuan-ketentuan eksternal semata. Itulah wilayah batin, kalbu,
ruhani, atau spiritual. Karena sifatnya yang tersembunyi maka sentuhannya harus
melibatkan aspek-aspek batiniyah dari dimensi kehidupan manusia. Wilayah ini sudah
begitu lama digarap oleh para rohaniwan atau guru spiritual dalam berbagai tradisi

18

keagamaan. Agama tetap memiliki tawaran unik yang tidak dimiliki oleh produk
peradaban manusia yang paling canggih dan paling mutakhir sekalipun.
Kerinduan akan asal kejadian primordialnya yang fitri bisa menjadi modal
awal untuk menumbuhkan kesadaran tentang kualitas kemanusiaan itu. Banyak
kutipan diberikan oleh para pengamal tasawuf yang menyiratkan bagaimana kualitas
kemanusiaan itu dapat dibangun. Salah satunya, seperti diuraikan dalam posting oleh
Kabir Helminski:
What would it mean to take on the project of making the new human
being? The kind of human being we are talking about is someone who is
not governed by the false self, who is free of the distortions that arise from
both judgment of others and low self-esteem, who does not respond to
negativity with more negativity, in other words, someone who is fully sane,
mature, and responsible. In contrast to the delusions and self-destructive
machinations of the ego, the spiritually mature person feels little need to
promote or defend themselves, and achieves what needs to be achieved
through simple sincerity, or holiness, rather than through force.31
Kemanusiaan yang sejati, seperti diungkap dalam kutipan di atas, ialah ketika diri
seseorang tidak lagi berada di bawah bayang-bayang kepribadian yang palsu, bebas
dari berbagai bentuk distorsi yang bersumber baik dari penilaian pihak lain maupun
yang berasal dari rasa rendah diri, yang tidak perlu merespon suatu kekurangan
dengan membuat kekurangan yang lain. Dengan kata lain, kemanusiaan yang utuh
ialah kepribadian yang benar-benar rasional dan bijaksana, matang dalam bersikap,
dan bertanggung jawab. Berbeda dengan khayalan dan rancangan yang merusak diri
sendiri, orang yang matang secara spiritual akan merasakan sedikit kebutuhan untuk
mengunggulkan diri sendiri atau membela diri, dan akan memperoleh apa yang perlu
diperoleh dengan kesederhanaan yang tulus dan tidak perlu dengan pemaksaan.
Kematangan spiritualitas, seperti dijelaskan di atas, bisa menjadi dasar dari
sebuah upaya membangun kepribadian yang utuh. Seluruh kerja spiritual adalah untuk
mengintegrasikan semua prinsip kebaikan dan keindahan (Goodness and Beauty)
dalam diri kita. Semakin dalam hati kita menyatu dengan sang Keindahan maka
semakin kuat pula kemungkinan watak atau karakter kita mengalami transformasi
menuju manfaat dan keindahan. Kematangan spiritual itulah kiranya yang menjadi
tujuan untuk digapai dalam bertasawuf. Dalam tradisi agama-agama dunia, ajaran
utama untuk menuju kematangan spiritual itu adalah perilaku asketik. Asketisme,
yang berasal dari bahasa Yunani, askesis, memiliki pengertian dasar exercise atau
31 Kabir Helminski, “Making the New Human,” The Treshold Society,

19

training, yaitu latihan. Pada dasarnya kata-kata ini tidak digunakan untuk menunjuk
pada pengertian ‘menahan diri’ (self-denial) tetapi pada latihan fisik yang diperlukan
bagi para atlet. Namun selanjutnya istilah itu lebih banyak dipinjam untuk menunjuk
pada latihan spiritual seperti dikembangkan dalam berbagai tradisi keagamaan. Hal itu
sejalan dengan istilah yang diperkenalkan oleh Talcott Parsons yang menerjemahkan
kata-kata

innerweltliche

dan

ausserweltliche,

menjadi

“inner-worldly”

dan

“otherworldly.” Istilah “inner-worldly” dirasa lebih tepat untuk menunjuk pada
‘bagian dalam dunia,’ dalam arti upaya untuk mengeksplorasi dimensi ruhaniyah atau
spiritual dalam kehidupan mistik.32
Dalam Islam, istilah asketisme—lebih dikenal dengan sebutan zuhud—sudah
cukup kuat mengakar dalam tradisi yang dikembangkan oleh para Sufi. Bahkan
diriwayatkan bahwa kehidupan asketik yang mereka praktikkan juga bersumber dari
ajaran Nabi sendiri. Sudah cukup banyak dikisahkan tentang kesederhanaan pola
hidup yang dijalani Nabi Muhammad SAW. Ajaran beliau agar umat Islam menjalani
kehidupan yang sederhana juga tercermin dari berbagai larangan terkait dengan
penggunaan bahan pakaian yang mahal, seperti sutra, dan penggunaan perhiasan emas
bagi kaum laki-laki. Tradisi ini sudah diakui keabsahannya secara umum oleh umat
Islam. Lebih dari itu, jika kita lihat dalam kitab Bulugh al-Maram yang disusun oleh
al-Hafiz Ibn Hajar al-‘Asqalani (w. 852 H), kita akan mendapatkan uraian khusus
tentang perilaku zuhud yang diajarkan oleh Nabi, seperti tertuang pada bgian akhir
dari kitab tersebut. Bagian terakhir dari Bulugh al-Maram adalah Kitab al-Jami’ yang
berisi enam bab, termasuk di dalamnya Bab al-Zuhd wa’l-Wara’ (bab tentang zuhud
dan kesalehan, piety). Hal ini tentu sangat menarik jika kita cermati betapa ajaran
tentang asketisme begitu penting sehingga diberi perhatian secara serius oleh Nabi