AKTIVITAS ENZIM ESTERASE PADA POPULASI NYAMUK AEDES AEGYPTI TERHADAP MALATION DI TIGA KABUPATEN DI PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Esterase Enzyme Activity and Malation Resistance Of Aedes aegypti Population in Three District of Yogyakarta Province

  

AKTIVITAS ENZIM ESTERASE PADA POPULASI NYAMUK AEDES

AEGYPTI TERHADAP MALATION DI TIGA KABUPATEN DI PROVINSI

DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Esterase Enzyme Activity and Malation Resistance Of Aedes aegypti Population in

Three District of Yogyakarta Province

1 1 1 Sunaryo , Dyah Widiastuti

  

Balai Litbang P2B2 Banjarnegara

Email: yok_ban@yahoo.com

Diterima: 5 Juni 2017; Direvisi: 14 Juni 2017; Disetujui: 12 Januari 2018

  

ABSTRACT

Special Region of Yogyakarta is one of the areas with high Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) in

Indonesia. The use of insecticides for dengue vector control is widely performed in order to control the

incidence of DHF. The aim of this research was to know the use of insecticide in controlling Ae.aegypti

mosquito, the susceptibility status of Ae aegypti mosquitoes in three districts (Sleman, Gunung Kidul and

Bantul) in Yogyakarta against malation and to know the activity of esterase enzyme in the mosquito

population. The research was conducted in 2015 with cross sectional design. Ae. aegypti mosquito

resistance data to malation was obtained based on the activity of alpha enzyme and beta esterase in

mosquito’s body biochemically. Increased activity of esterase enzyme indicates the occurrence of Ae.

aegypti resistance against malation insecticides. Data on information on insecticide use were obtained

from secondary data from district health offices at the three research sites. The susceptibility test results

indicate that an increase in esterase enzyme activity, especially beta esterase in the Ae aegypti population.

It can be concluded that in all three research sites there has been Ae aegypti resistance against malation

insecticides. This means that the use of malation in the control of Ae. aegypti is no longer effective,

resulting in the control of Ae. aegypti in the study sites should select the active ingredient of insecticide

which does not have carboxylic acid (malation) group.

  Keywords: Enzyme esterase, resistance, malation, Aedes aegypti

  

ABSTRAK

Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) merupakan salah satu daerah dengan kejadian Demam

Berdarah Dengue (DBD) tinggi di Indonesia. Penggunaan insektisida untuk pengendalian vektor DBD

secara luas dilakukan dalam rangka mengendalikan kejadian DBD. Tujuan penelitian untuk mengetahui

penggunaan insektisida dalam pengendalian nyamuk Ae. aegypti, status kerentanan nyamuk Ae. aegypti di

tiga kabupaten (Sleman, Gunung Kidul dan Bantul) di Provinsi DIY terhadap malation serta mengetahui

aktivitas enzim esterase pada populasi nyamuk tersebut. Penelitian dilakukan pada tahun 2015 dengan

disain cross sectional. Data resistensi nyamuk Ae. aegypti terhadap malation diperoleh berdasarkan

aktivitas enzim alfa dan beta esterase pada tubuh nyamuk secara biokimiawi. Meningkatnya aktivitas enzim

esterase mengindikasikan telah terjadinya resistensi nyamuk Ae. aegypti terhadap insektisida malation.

Data mengenai informasi penggunaan insektisida, diperoleh dari data sekunder dari dinas kesehatan

kabupaten pada ketiga lokasi penelitian. Hasil uji kerentanan menunjukkan bahwa adanya peningkatan

aktivitas enzim esterase khususnya beta esterase pada populasi nyamuk Ae. aegypti. Dapat disimpulkan

bahwa pada ketiga lokasi penelitian telah terjadi resistensi nyamuk Ae. aegypti terhadap insektisida

malation. Hal ini berarti bahwa penggunaan malation dalam pengendalian nyamuk Ae. aegypti tidak efektif

lagi, sehingga dalam kegiatan pengendalian nyamuk Ae. aegypti di lokasi penelitian sebaiknya memilih

bahan aktif insektisida yang tidak memiliki gugus carboxylic acid (malation).

  Kata kunci: Enzim esterase, resistensi, malation, nyamuk Aedes aegypti

PENDAHULUAN wilayah dengan kasus DBD tinggi di

  Indonesia. Data Dinas Kesehatan Provinsi Provinsi Daerah Istimewa menunjukkan bahwa Incidence Rate (IR)

  Yogyakarta (DIY) merupakan salah satu

  Peningkatan enzim esterase pada populasi...(Sunaryo, Dyah Widiastuti)

  DBD di provinsi ini pada tahun 2013 sebesar 90,70 per 100.000 penduduk dan menurun pada tahun 2014 sebesar 18 per 100.000 penduduk (Dinkes Provinsi DIY, 2015). Pengendalian vektor dengan cara pengasapan (fogging) dilaksanakan sebagai salah satu upaya pengendalian DBD oleh Dinas Kesehatan Kabupaten di Provinsi DIY. Pengasapan menggunakan pestisida berbahan aktif malation dilakukan sejak tahun 1972 (Susanti, 2012). Menurut Georghio, 1983, yang disitasi oleh Ahmad, 2009, resistensi serangga terhadap berbagai jenis insektisida akan muncul setelah 2 sampai dengan 20 tahun jika digunakan secara terus

  • –menerus (Georghio,1986 dalam Ahmad, 2009).

  Resistensi terhadap insektisida pada populasi

  Ae. aegypti

  merupakan permasalahan global yang dihadapi terutama oleh pengelola program pengendalian penyakit tular vektor di Indonesia. Serangga yang telah resisten akan bereproduksi dan dapat menurunkan sifat resisten tersebut pada keturunan resisten (filialnya), sehingga dapat meningkatkan proporsi vektor resisten dalam populasi. Resistensi bersifat diturunkan dan merupakan permasalahan yang berpengaruh dalam keberhasilan pengendalian vektor secara kimia (French-Constant, 2013). Resistensi Ae.aegypti terhadap malation telah dilaporkan pada beberapa lokasi di berbagai negara, diantaranya di French Guiana (Suarez, A.M. and Verbel, 2013) dan Columbia (Ocampo CB, Salazar-Terreros MJ, Mina NJ, McAllister J, 2011). Resistensi populasi nyamuk Ae.aegypti terhadap malation di beberapa kabupaten di Jawa Tengah seperti Semarang, Purbalingga, Kendal, Grobogan, telah dilaporkan oleh Sunaryo pada tahun 2014 (Sunaryo, 2015). Resistensi nyamuk Ae. aegypti terhadap malation di beberapa kabupaten lain di Jawa Tengah dilaporkan terjadi di Kabupaten Purworejo, Kebumen, Demak, Wonosobo, Cilacap, Kudus, Klaten dan Banjarnegara (Ikawati, 2015). Dengan meluasnya kejadian resistensi nyamuk Ae. aegypti terhadap insektisida malation di berbagai kabupaten di Jawa Tengah ini maka kajian mengenai status kerentanan (susceptibility) populasi nyamuk

  Ae. aegypti di Provinsi DIY terhadap

  insektisida malation menjadi penting untuk dikaji.

  Uji kerentanan dapat dilakukan dengan menggunakan metode susceptibility

  test . Selain menentukan status kerentanan

  terhadap suatu jenis insektisida, perlu juga dilakukan kajian tentang mekanisme yang mendasari terjadinya resistensi pada suatu populasi serangga di lokasi tertentu. Cox (2013) menjelaskan bahwa secara umum, resistensi terhadap insektisida pada serangga didasari oleh tiga mekanisme yaitu (1) penurunan sensitivitas target site, (2) perubahan lapisan kutikula yang mengurangi penetrasi senyawa insektisida ke tubuh serangga dan (3) peningkatan enzim detoksifikasi. Serangga dapat menjadi resisten terhadap insektisida dengan menjalankan salah satu atau beberapa dari ketiga mekanisme tersebut (Cox, 2003).

  Pada penelitian ini dilakukan pengamatan aktivitas enzim detoksifikasi pada nyamuk untuk mengidentifikasi mekanisme yang mendasari terjadinya resistensi nyamuk terhadap insektisida. Tujuan penulisan artikel ini untuk mengetahui profil aktivitas enzim alfa esterase dan beta esterase pada populasi nyamuk Ae. aegypti di wilayah penelitian. Penelitian sebelumnya telah mengamati kaitan antara resistensi Ae. aegypti terhadap malation dengan aktivitas enzim esterase, namun hanya untuk enzim alfa esterase (Widiastuti dan Ikawati, 2016). Enzim alfa dan beta esterase hanya memiliki perbedaan dalam kemampuan menghidrolisis substrat. Enzim alfa esterase mampu menghidrolisis substrat berupa alfa naftil asetat, sedangkan enzim beta esterase mampu menghidrolisis substrat berupa beta naftil asetat. Dengan mengamati kedua isozim tersebut diharapkan akan diperoleh gambaran yang lebih lengkap tentang profil aktivitas enzim esterase pada populasi nyamuk Ae. aegypti di lokasi penelitian. Gambaran mengenai profil aktivitas enzim esterase akan memberikan informasi mengenai mekanisme yang mendasari terjadinya resistensi nyamuk Ae.

  aegypti terhadap insekstisida malation. Hal

  ini akan bermanfaat sebagai dasar pertimbangan pemilihan bahan aktif insektisida oleh Dinas Kesehatan Provinsi setempat bila akan melakukan penggantian bahan aktif insektisida. Jurnal Ekologi Kesehatan Vol. 16 No 3, Desember 2017 : 150 - 157

BAHAN DAN CARA

  Penelitian dilaksanakan pada bulan April sampai Agustus 2015 menggunakan disain potong lintang (cross sectional). Data yang dikumpulkan adalah resistensi nyamuk

  Ae. aegypti terhadap insektisida malation, dan aktivitas enzim esterase nyamuk Ae. aegypti . Tahapan kegiatan meliputi survei

  larva dan pemasangan ovitrap, uji kerentanan (untuk mengetahui kerentanan nyamuk Ae.

  aegypti terhadap malation), dan uji biokimia (untuk mengetahui aktivitas enzim esterase).

  Survei larva nyamuk Ae. aegypti dilakukan pada tiga kabupaten endemis DBD di Provinsi DIY yaitu Kabupaten Bantul, Kabupaten Sleman dan Kabupaten Gunung Kidul. Uji kerentanan dan uji biokimia dilakukan di Laboratorium Litbang P2B2 Banjarnegara. Pada masing-masing kabupaten dipilih tiga kecamatan endemis, dan dari masing-masing kecamatan tersebut, dipilih satu desa endemis sebagai lokasi pengumpulan sampel larva Ae. aegypti, sehingga total lokasi penelitian sebanyak sembilan desa. Di Kabupaten Bantul, survei larva dilakukan di Desa Tamantirto, Kecamatan Kasihan; Desa Panggungharjo, Kecamatan Sewon dan Desa Banguntapan, Kecamatan Banguntapan. Di Kabupaten Sleman, survei larva dilakukan di Desa Sidoagung, Kecamatan Godean; Desa Sardonoharjo, Kecamatan Ngaglik; dan Desa Caturtunggal, Kecamatan Depok. Di Kabupaten Gunung Kidul, survei larva dilakukan di Desa Siraman, Kecamatan Wonosari; Desa Kepek, Kecamatan Wonosari; dan Desa Bejiharjo, Kecamatan Karangmojo. Larva nyamuk yang terkumpul dari satu kabupaten yang sama digabung menjadi satu, dipelihara di laboratorium hingga menjadi generasi pertama (F1) dewasa. Pada uji biokimia, sebanyak 50 ekor nyamuk F1 dari masing-masing kabupaten (total sampel 150 ekor nyamuk) diperiksa untuk melihat aktivitas enzim alfa dan beta esterase. Sebelum uji dilakukan, sampel nyamuk terlebih dahulu dibuat homogenat secara individual dalam 200 l buffer fosfat (pH 7,4). Langkah-langkah melakukan uji biokimia sebagai berikut (Enayati, AA and Ladonni, 2006):

  Sebanyak 20 µl aliquot dari homogenat masing-masing nyamuk dimasukkan dalam sumuran microplate lalu ditambahkan 200 ul substrat α-naftil asetat. Setelah itu, diambil lagi 20 µl aliquot dari homogenat masing-masing nyamuk dimasukkan dalam sumuran microplate lalu ditambahkan 200 ul substrat β-naftil asetat. Dilakukan inkubasi pada suhu ruang di atas shaker dengan kecepatan 200 rpm selama 15 menit. Selanjutnya pada masing-masing sumuran ditambahkan 50 µl coupling

  agentFast Blue . Microplate diinkubasi

  selama 10 menit pada suhu ruang. Intensitas warna yang dihasilkan pada masing-masing sumuran diukur absorbansinya menggunakan

  microassay reader pada panjang gelombang

  450 nm. Untuk deteksi aktivitas enzim alfa esterase, nilai cut off yang digunakan adalah jika absorbancevalue

  (AV) ≥ 0,7 menunjukkan bahwa aktivitas enzim alfa esterase dalam tubuh nyamuk tinggi dan jika AV <0,7 menunjukkan bahwa aktivitas enzim alfa esterase dalam tubuh nyamuk rendah (Widiastuti, D dan Ikawati, 2016) dengan beberapa modifikasi dalam hal volume larutan. Sedangkan untuk deteksi aktivitas enzim beta esterase, nilai cut off yang digunakan adalah jika nilai AV ≥ 0,4 artinya aktivitas enzim alfa esterase dalam tubuh nyamuk tinggi, dan jika nilai AV <0,4 artinya aktivitas enzim alfa esterase dalam tubuh nyamuk rendah (Zulhasril dan Lesmana, 2013) dengan modifikasi di bagian nilai cut off. Data sekunder yang diperoleh dari penelitian tersebut adalah data mengenai informasi penggunaan insektisida oleh Dinas Kesehatan Kabupaten dan data hasil uji kerentanan nyamuk Ae. aegypti terhadap malation.

  HASIL

  Penggunaan insektisida dalam mengendalikan vektor DBD yang dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan pada tiga kabupaten di Provinsi DIY menunjukan adanya perbedaan jenis bahan aktif insektisida yang digunakan, namun cara penggunaan insektisidanya sama dengan cara pengasapan (Tabel 1).

35 Gunung Kidul Bantul Sleman

  aegypti terhadap malation 0,8% dapat dilihat

  10

  5

  18.75

  20

  31.25

  25

  30

  ke ma tian ny aa muk %

  sebanyak 98-100%, toleran (kematian 80

  susceptible /rentan bila kematian nyamuk uji

  Peningkatan enzim esterase pada populasi...(Sunaryo, Dyah Widiastuti)

  Gambar 1. Status kerentanan Ae. aegypti terhadap malation 0,8% di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 2015 (Sumber: Sunaryo, 2015) Hasil uji kerentanan nyamuk Ae.

  20

  Sumber: Dinkes Provinsi DIY, 2015

  1 L / 20 L 52 x / th 2010-2015

  Malation fogging

  1 L / 20 L 27 x / th 2014-2015 Gunung Kidul

  1 L / 20 L 67 x / th 2010- 2013 Cypermetrin fogging

  fogging

  Malation

  Bantul

  Sleman Alfa cypermetrin fogging 330 ml/ 20 L 20 x / th 2010-2015

  Tahun Penggunaan

  Cara aplikasi Dosis Frekuensi

  Tabel 1. Penggunaan insektisida pada tiga kabupaten di Provinsi DIY Tahun 2010-2015 Kabupaten Bahan Aktif

  15

  • – <98%), dan resisten (kematian < 80%). Apabila kematian <95% yang dilakukan pada kondisi optimal untuk kehidupan nyamuk Ae.

  Gambar 2. Hasil uji biokimia untuk deteksi esterase pada nyamuk Ae. aegypti pada tiga kabupaten di Provinsi DIY

  nyamuk diduga kuat telah terjadi resisten (Sunaryo, 2015). Berdasarkan kriteria uji kerentanan populasi nyamuk Ae. aegypti di ketiga kabupaten termasuk dalam status resisten terhadap malation. Hasil uji biokimia pada nyamuk Ae.aegypti ditampilkan dalam Gambar 2.

  aegypti dengan besar sampel lebih dari 100

  pada gambar 1 berikut ini. Gambar 1 menunjukkan bahwa populasi Ae. aegypti di Kabupaten Sleman, Bantul dan Gunung Kidul telah resisten terhadap malation 0,08%. Persentase kematian nyamuk uji dari ketiga kabupaten tergolong rendah berkisar antara 18,75% - 31,25%. Persentase kematian nyamuk yang paling tinggi ditemukan di Kabupaten Gunung Kidul, dan yang terendah di Kabupaten Sleman. WHO menetapkan klasifikasi status kerentanan suatu populasi nyamuk berdasarkan persentase kematian pada uji kerentanan sebagai berikut:

  Jurnal Ekologi Kesehatan Vol. 16 No 3, Desember 2017 : 150 - 157

  Gambar 2 menunjukkan bahwa peningkatan enzim beta esterase lebih banyak ditemukan pada populasi nyamuk Ae. aegypti dibanding peningkatan enzim alfa esterase. Hal ini dapat dilihat dari jumlah nyamuk dari masing-masing kabupaten yang menunjukkan nilai Absorbance Value (AV) lebih dari 0,4 pada reaksi dengan substrat

  beta-naphthyl acetate lebih banyak dibanding

  jumlah nyamuk yang menunjukkan nilai AV lebih dari 0,7 pada reaksi dengan substrat

  alpha-naphthyl acetate

  . Jumlah nyamuk yang mengalami peningkatan enzim alfa esterase (AV>0,7) paling banyak ditemukan di Kabupaten Gunung Kidul (22%) dan paling sedikit ditemukan di Kabupaten Sleman (12%). Jumlah nyamuk yang mengalami peningkatan enzim beta esterase (AV>0,4) paling banyak ditemukan di Kabupaten Bantul (74%) dan paling sedikit ditemukan di Kabupaten Gunung Kidul (54%). Total nyamuk Ae. aegypti yang mengalami peningkatan aktivitas enzim alfa dan beta esterase secara bersamaan paling banyak ditemukan di Kabupaten Bantul dan paling sedikit ditemukan di Kabupaten Gunung Kidul.

  PEMBAHASAN

  Penggunaan insektisida merupakan bagian yang tidak terlepas dari upaya pengendalian vektor di daerah endemis DBD. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kabupaten yang hanya menggunakan satu jenis bahan aktif selama tahun 2012-2015 adalah Kabupaten Sleman dan Gunung Kidul. Kabupaten Gunung Kidul menggunakan malation sedangkan Kabupaten Sleman menggunakan alfa sipermetrin (Sunaryo, 2015).

  Malation merupakan insektisida dari golongan organofosfat yang digunakan secara luas. Dari 3 kabupaten lokasi penelitian, 2 kabupaten menggunakan bahan aktif ini hingga tahun 2015. Suarez dan Verbel (2013) menyatakan bahwa malation merupakan jenis bahan aktif yang paling sering digunakan. Di Columbia, malation telah digunakan sejak tahun 1980, dan masih tetap digunakan hingga saat ini (Ocampo CB, Salazar-Terreros MJ, Mina NJ, McAllister J, 2011), sedangkan Thailand mulai menggunakan malation sejak tahun 1950

  (Yaicharoen R, Kiatfuengfoo R, Chareonviriyaphap T, 2005).

  Malation dapat menyebabkan kematian pada serangga dengan mekanisme sebagai berikut: ketika masuk dalam tubuh serangga, malation akan dikonversi menjadi senyawa turunannya yaitu malaoxon. Senyawa malaoxon memiliki kemampuan menghambat kerja enzim asetilkolinesterase dengan mekanisme penghambatan kompetisi. Penghambatan kerja enzim asetilkolinesterase oleh senyawa malaoxon akan menyebabkan gangguan pada sistem penghantaran impuls saraf, sehingga serangga mengalami kejang dan kemudian mati (Cox, 2003). Beberapa bahan aktif yang tergolong dalam kelompok organofosfat selain malation, antara lain metil pirimifos, fention, klorfififos, dan lain-lain. Semua jenis bahan aktif yang termasuk dalam golongan organofosfat memiliki mekanisme kerja yang hampir sama yaitu menghambat kerja enzim asetilkolin esterase (Cox, 2003).

  Hasil uji kerentanan dengan kertas berinsektisida (impregnated paper ) menunjukkan bahwa populasi nyamuk

  Ae.aegypti pada ketiga kabupaten lokasi survei telah resisten terhadap malation 0,8%.

  Resistensi nyamuk Ae.aegypti terhadap insektisida malation telah banyak dilaporkan di berbagai wilayah. Di Provinsi Jawa Tengah, resistensi nyamuk Ae.aegypti terhadap malation 0,8% terjadi di sembilan kabupaten yaitu Kabupaten Wonosobo, Banjarnegara, Kebumen, Cilacap, Purworejo, Klaten, Kudus, Demak dan Pekalongan (Ikawati, 2015). Resistensi ini juga terjadi di Kota Semarang, Kabupaten Purbalingga, Kendal dan Grobogan (Sunaryo, 2014). Resistensi nyamuk Ae. aegypti juga ditemukan dalam penelitian di French Guiana (Dusfour, 2011) dan di Columbia (Ocampo, C.B., Myriam J. Salazar-Terreros, Neila J. Minaa, Janet McAllister 2011)

  Sunaryo (2015) melaporkan bahwa Kabupaten Sleman dan Gunung Kidul tercatat belum melakukan rotasi jenis bahan aktif insektida untuk fogging dalam lima tahun terakhir. Sejak tahun 2010 hingga 2015 Kabupaten Sleman menggunakan bahan aktif Alfa cypermetrin, sedangkan Kabupaten Gunung Kidul menggunakan malation. Peningkatan enzim esterase pada populasi...(Sunaryo, Dyah Widiastuti)

  Kabupaten Bantul sudah melakukan rotasi penggunaan bahan aktif insektisida pengasapan dalam lima tahun terakhir. Pada tahun 2010-2013 Kabupaten Bantul menggunakan malation, dan melakukan penggantian bahan aktif sejak tahun 2014 hingga 2015 menggunakan bahan aktif cypermetrin. Namun demikian, meskipun Kabupaten Bantul telah melakukan rotasi bahan aktif insektisida dalam program pengendalian vektor, penelitian ini menemukan adanya resistensi terhadap malation pada populasi nyamuk Ae. aegypti di kabupaten ini. Demikian pula dengan Kabupaten Sleman, berdasarkan hasil wawancara dengan pihak Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman, diketahui bahwa Kabupaten Sleman dalam lima tahun terakhir tidak menggunakan malation dalam kegiatan pengendalian vektor DBD (Sunaryo, 2015). Namun demikian, hasil uji kerentanan menunjukkan adanya resistensi terhadap malation 0,8%. Hal ini menandakan bahwa populasi nyamuk Ae.aegypti di Kabupaten Sleman masih membawa sifat resisten terhadap malation.

  Peningkatan aktivitas enzim esterase pada suatu populasi nyamuk bersifat diturunkan pada generasi nyamuk berikutnya. Penelitian yang dilakukan pada spesies

  Nilaparvata lugens di Malaysia menunjukan

  bahwa pewarisan sifat terkait aktivitas enzim esterase sangat berhubungan dengan resistensi terhadap malation (Latif, 2010). Sehingga meskipun sudah jarang terpapar malation, populasi nyamuk Ae. aegypti di Kabupaten Sleman kemungkinan masih menurunkan sifat resisten terhadap insektisida ini.

  Pengamatan peningkatan aktivitas enzim pada penelitian ini ditujukan untuk melihat tren profil aktivitas enzim esterase sehingga dapat mengindikasikan mekanisme yang mendasari terjadinya resistensi terhadap insektisida malation pada populasi nyamuk

  Ae. aegypti di ketiga kabupaten di Provinsi

  DIY. Adanya peningkatan aktivitas enzim esterase pada tubuh nyamuk tidak dapat secara langsung dikaitkan dengan status kerentanan terhadap insektisida malation karena nyamuk uji yang digunakan untuk pengujian biokima dalam penelitian ini adalah nyamuk yang sebelumnya tidak terpapar insektisida, sehingga kajian mengenai aktivitas enzimatis yang terkait dengan resistensi terhadap insektisida hanya dapat dilakukan dalam lingkup populasi. Bila dikaitkan dengan peningkatan aktivitas enzim esterase, terlihat bahwa aktivitas beta esterase pada nyamuk Ae. aegypti dari Kabupaten Sleman dan Kabupaten Bantul lebih banyak yang meningkat dibandingkan dengan Kabupaten Gunung Kidul. Sedangkan peningkatan aktivitas alfa esterase di Kabupaten Sleman dan Kabupaten Bantul justru lebih rendah dibanding dengan Kabupaten Gunung Kidul. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan aktivitas beta esterase kemungkinan lebih berperan terhadap resistensi malation pada populasi

  Ae. aegypti di Provinsi DIY.

  Penyebab perbedaan peningkatan aktivitas enzim esterase pada ketiga kabupaten belum diketahui secara pasti. Namun demikian, Chareonviriyaphap, et al (1999) menjelaskan bahwa paparan senyawa toksin dapat meningkatkan jumlah enzim yang berperan dalam proses detoksifikasi. Peningkatan aktivitas enzim alfa esterase pada populasi nyamuk di ketiga kabupaten menunjukkan kesesuaian dengan pemakaian insektisida oleh Dinas Kesehatan Kabupaten masing-masing. Peningkatan aktivitas enzim alfa esterase paling banyak ditemukan di Kabupaten Gunung Kidul (22%) yang berdasarkan data penggunaaan insektisida menunjukkan bahwa di kabupaten ini, dalam lima tahun terakhir masih menggunakan insektisida malation dalam program pengendalian vektor DBD. Adapun untuk peningkatan aktivitas enzim beta esterase, tidak menunjukkan kesesuaian dengan pemakaian insektisida oleh Dinas Kesehatan Kabupaten masing-masing. Menurut Chareonviriyaphap, et al (1999) peningkatan jumlah enzim juga seringkali berkaitan dengan amplifikasi gen. Namun pada penelitian ini tidak dilakukan pengamatan terhadap amplifikasi gen pada populasi nyamuk di ketiga kabupaten lokasi penelitian.

  Hasil penelitian Selvi, et al (2007) menyatakan bahwa resistensi terhadap malation pada Culex quinquefasciatus dan

  Cx. tritaeniorhynchus berkaitan dengan

  adanya peningkatan aktivitas esterase (Selvi Jurnal Ekologi Kesehatan Vol. 16 No 3, Desember 2017 : 150 - 157

  S, Edah M a, Nazni W a, Lee HL, 2007). Adanya peningkatan enzim esterase mengindikasikan adanya mekanisme detoksifikasi metabolis di dalam tubuh serangga. Esterase merupakan salah satu enzim detoksifikasi yang diketahui berperan dalam mekanisme resisten serangga terhadap insektisida dari golongan organophosphat. Esterase digolongkan dalam kelompok enzim hidrolase, salah satu kelompok besar enzim yang mengkatalisis reaksi hidrolisa senyawa alifatik, ester aromatik, ester kolin dan organophosphorus. Enzim ini sangat berperan penting pada proses resistensi serangga khususnya terhadap insektisida dari golongan organofosfat (Jackson CJ, Liu J-W, Carr PD, 2013).

  Enzim karboksil esterase mampu menghidrolisis malation yang merupakan salah satu insektisida dari golongan organofosfat karena insektisida ini memiliki dua gugus ester carboxylic acid. Enzim karboksil esterase bisa menghidrolisis salah satu atau kedua gugus karboksilat yang menyusun senyawa malation. Senyawa malation akan kehilangan fungsinya apabila gugus karboksilat penyusun insektisida ini mengalami perubahan. Resistensi yang disebabkan karena aktivitas enzim terjadi pada saat enzim tersebut menghalangi senyawa insektisida untuk mencapai sisi targetnya (Widiastuti, D dan Ikawati, 2016). Oleh karena itu, lokasi dengan populasi nyamuk Ae. aegypti yang telah resisten terhadap malation dan terindikasi mengalami mekanisme detoksifikasi oleh enzim esterase.

  KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

  Peningkatan enzim beta esterase lebih banyak ditemukan pada populasi nyamuk Ae. aegypti dibanding peningkatan enzim alfa esterase. Nyamuk Ae. aegypti yang mengalami peningkatan aktivitas enzim alfa dan beta esterase secara bersamaan paling banyak ditemukan di Kabupaten Bantul dan paling sedikit ditemukan di Kabupaten Gunung Kidul. Peningkatan enzim esterase mengindikasikan adanya mekanisme detoksifikasi metabolis di dalam tubuh nyamuk Ae. aegypti. Esterase berperan dalam mekanisme resisten serangga terhadap insektisida dari golongan organophosphat.

  Kabupaten Gunung Kidul dan Bantul saat ini masih menggunakan insektisida dari golongan organophospat (malation) dalam pengendalian vektor dan hasil uji kerentanan menunjukkan nyamuk Ae.aegypti ketiga kabupaten termasuk dalam kategori resisten terhadap malation.

  Saran

  Disarankan apabila Dinas Kesehatan Kabupaten di Provinsi DIY akan melakukan penggantian bahan aktif insektisida dalam kegiatan pengendalian nyamuk Ae. aegypti, sebaiknya memilih bahan aktif insektisida yang tidak memiliki gugus carboxylic acid.

UCAPAN TERIMAKASIH

  Ucapan terimakasih disampaikan kepada Bapak Jastal, SKM, M.Si selaku Kepala Balai Litbang P2B2 Banjarnegara beserta jajarannya yang membantu dalam pelaksanaan penelitian. Kepala Dinas Kesehatan Provinsi DIY, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman, Kabupaten Gunung Kidul dan Kabupaten Bantul serta jajarannya yang membantu dalam pelaksanaan survei dilapangan.

  DAFTAR PUSTAKA Ahmad, I., Rahayu, R., Hariani, N., & Astari, S.

  (2009). Peta Resistensi Vektor Demam Berdarah Dengue Aedes aegypti terhadap Insektisida Kelompok Organofosfat, Karbamat dan Pyrethroid di Propinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta.

  Biosfera 26, 2, 87.

  Chareonviryaphap T, Golenda CF, Robert DR, Andre RG. Identification of Elevated Esterase Activity in a Pyrethroid-Resistant Population of Anopheles albimanus Wiedemann.

  ScienceAsia 25 (1999) : 153-156 Cox, C., 2003. Insecticide Fact Sheet. Malation. Journal Of Pesticide Reform/ Summer , 16(2), pp.15 –20. Dinas Kesehatan Provinsi DIY. (2015). Profil Kesehatan Provinsi DIY. Yogyakarta Dusfour,

  I.V.T.P.G.J.I.R.C.R.G., 2011. Multiple insecticide resistance in Aedes aegypti (Diptera: Culicidae) populations compromises the effectiveness of dengue vector control in French Guiana. Mem Inst Oswaldo Cruz, Rio de Janeiro, 106(3), pp.346 –352.

  XXVII(3), pp.96 –107.

  Suarez, A.M. and Verbel, J.O., 2013. Chemical Control of Aedes aegypti: a historical perspective.

  Organofosfat di Tanjung Priok dan Mampang Prapatan, Jakarta. Majalah Kedokteran FK UKI,

  Populasi Nyamuk Aedes aegypti di Kabupaten Pekalongan. BALABA, 12(2), pp.61 –70. Yaicharoen R, Kiatfuengfoo R, Chareonviriyaphap T, R.P., 2005. Characterization of deltamethrin resistance in field populations of Aedes aegypti in Thailand. J. Vector Ecol, 30(1), pp.144 –150. Zulhasril dan Lesmana, S., 2013. Resistensi Larva Aedes aegypti terhadap Insektisida

  Pengasapan. Jurnal Kesehatan Masyarakat, 7(2), pp.157 –163. Widiastuti, D dan Ikawati, B., 2016. Resistensi Malation dan Aktivitas Enzim Esterase Pada

  Laporan Penelitian. Balai Litbang P2B2 Banjarnegara . Susanti, L. dan B.H., 2012. Insektisida Sipermethrin 100 G/L Terhadap Nyamuk Dengan Metode

  Sunaryo, 2015. Pemetaan status kerentanan Ae.aegypti terhadap insektisida di Indonesia tahun 2015.

  (2014). Status Resistensi Vektor Demam Berdarah Dengue (Aedes Aegypti) Terhadap Malation 0,8% Dan Permethrin 0,25% Di Provinsi Jawa Tengah. Jurnal Ekologi Kesehatan Vol. 13 (2): 146-152.

  Sunaryo, Ikawati, B., Rachmawati, Widiastuti, D.

  Rev Costarr Salud Pública , 22, pp.68 –75.

  Characterization on malation and permethrin resistance by bioassays and the variation of esterase activity with the life stages of the mosquito Culex quinquefasciatus. Trop Biomed, 24(1), pp.63 –75.

  Peningkatan enzim esterase pada populasi...(Sunaryo, Dyah Widiastuti) Enayati, AA and Ladonni, H., 2006. Biochemical Assay Baseline Data of Permethrin

  Selvi S, Edah M a, Nazni W a, Lee HL, A.A., 2007.

  Minaa, Janet McAllister, W.B., 2011. Insecticide resistance status of Aedes aegypti in 10 localities in Colombia. Acta Tropica, 118, pp.37 –44. Ocampo CB, Salazar-Terreros MJ, Mina NJ, McAllister J, B.W., 2011. Insecticide resistance status of Aedes aegypti in 10 localities in Colombia. Acta Tropica, 118(1), pp.37 –44.

  Carboxylesterase Activity in Brown Planthopper, Nilaparvata lugens complex in Peninsular Malaysia. Insect Science, 17, pp.517

  (αEsterase7) associated with insecticide resistance. Proc Natl Acad Sci U S A, 110(25), pp.10177 –82. Latif, 2010. Biochemical Studies on Malation Resitance, Inheritance and Association of

  Ikawati, B., 2015. Peta Status Kerentanan Aedes aegypti (Linn) terhadap Insektisida Cypermethrin 0,05%, Malation 0,8%, dan Temephos di Kabupaten Purworejo, Kebumen, Pekalongan, Demak, Wonosobo, Cilacap, Kudus, Klaten, Banjarnegara Tahun 2014. Aspirator, 7(1), pp.23 –28. Jackson CJ, Liu J-W, Carr PD, et al, 2013. Structure and function of an insect α- carboxylesterase

  Pesticide Resistance: Strategies and Tactics for Management. Washington D.C: National Academic Press ; 1986.

  French-Constant, H.., 2013. The Molecular Genetics of Insecticide Resistance. Genetics , 194, pp.807 –815. Georghiou G. The magnitude of Resistance Proble`m.

  Resistance in Anopheles stephensi (Diptera: Culicidae) from Iran. Pakistan Journal of Biological Science , 9(7), pp.1265 –1270.

  • –526. Ocampo, C.B., Myriam J. Salazar-Terreros, Neila J.