EKONOMI MIKRO DALAM HUKUM PIDANA INDONES

EKONOMI MIKRO DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA.
Oleh: Kodrat Wibowo, SE, MA, Ph.D1

Dinamika Ilmu Hukum
Ilmu pengetahuan mengenai perilaku manusia (scientific human behavior)
merupakan lingkup dan objek banyak ilmu seperti ilmu psikologi, ilmu
sosiologi, ilmu hukum dan juga ilmu ekonomi, oleh karena itulah dalam
dunia ilmu kita mengenal pelajaran psikologi hukum, sosiologi hukum dan
hukum dan ekonomi atau pendekatan analisis ekonomi mikro 2 tentang
hukum. Perbedaan masing-masing keterkaitan bidang ilmu ini terletak pada
metodologi yang dipergunakan untuk mencapai tujuan tertentu melalui
suatu analisis mengenai perilaku manusia. Pergaulan hidup manusia selalu
dibatasi oleh kebiasaan atau hokum (adat) yang berlaku pada komunitasnyahukum mengatur pergaulan hidup manusia. Kehidupan manusia selalu
mengejar atau ingin mencapai kehidupan yang sejahtera dimana ekonomi
merupakan pengetahuan yang dapat memberikan pemahaman mengenai
menilai keuntungan dan kerugian dalam setiap langkah pekerjaan manusia.
Langkah manusia mempertahankan kehidupan (ekonomi) keluarga dan
pribadinya dalam hubungan dengan manusia lain selalu berada di dalam
batas-batas aturan yang telah disepakati bersama, yaitu hukum. Inti
penjelasan di atas bahwa baik hukum maupun ekonomi, adalah ilmu
pengetahuan mengenai bagaimana manusia di dalam kehidupannya dan

dalam mengisi waktu sehari-hari tidak terlepas dari penilaian keuntungan
dan kerugian dimana hukum bertugas memberikan perlindungan baginya
agar terdapat kepastian, keadilan dan dirasakan manfaat (perlindungan)nya.
Kegunaan ilmu pengetahuan pada umumnya, khusus ilmu hukum;
merupakan dorongan seseorang untuk mempelajari dan memahami ilmu
pengetahuan. Memahami kegunaan (kekuatan) hukum bagi setiap orang
merupakan faktor yang bersifat ‘sufficient’ bukan bersifat ‘necessary’ dalam
menentukan apakah seseorang mentaati atau tidak mentaati hukum, kecuali
bagi seorang psikopat atau kleptomania. Untuk menentukan ada atau tidak
adanya pelanggaran hukum dan menentukan siapa yang bertanggung jawab
atas pelanggaran hukum, merupakan tugas hukum pidana.
Untuk
1 Kepala Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unpad, Ketua Ikatan
Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Bandung, Koordinator Jawa Barat, dan Wakil Direktur
Bidang Ekonomi, Lembaga Kajian Independen kebijakan Publik (LPIKP).
2 Ekonomi Mikro memiliki focus perilaku individu, lembaga dan wilayah secara lebih
mendetail dibandingkan Ekonomi makro.

menentukan apakah seseorang yang di duga telah melakukan pelanggaran
hukum itu bertanggung jawab atas perbuatannya, hukum menggunakan

penilaian benar (right) atau salah (wrong) atau penilaian yang bersifat ex
ante. Berbeda dengan penilaian sudut ekonomi yang dititikberatkan pada
risiko (cost) dan manfaat (benefit) yang dicapainya. Fletcher menguatkan
pergeseran pandangan tentang hal tersebut dengan mengatakan:
“Traditional ideas of justice and morality now face a radical challenge
from economist and economically trained lawyer”.3 Selanjutnya
dikatakan, “these terms “optimum” and “efficient” are now common
parlance in the law. The Court have yet to go over to the new
language, but there are many teachers of law who think that efficiency
is the summum bonum, the supreme good, of legal arrangments.
Though they are loathing to identify their theories as “normative” as
opposed to “positive” and scientific, the advocates of efficiency
espouse a new morality for the law-or at least a new code of
expressing the principle of utilitarian morality”.4
Analisis Ekonomi Mikro dan Ilmu Hukum Di Indonesia
Pembangunan nasional di Indonesia yang telah dilaksanakan sejak Tahun
1970-an, bahkan sampai saat ini, bertumpu pada pembangunan ekonomi
nasional, yang dipandang sebagai tulang punggung pembangunan nasional
di segala bidang. Pembangunan ekonomi nasional didesain untuk
meningkatkan taraf hidup masyarakat dan kesejahteraan bangsa dan

keberhasilan pembangunan ekonomi nasional juga telah merupakan tolok
ukur kemajuan bangsa-bangsa di seluruh Negara. Globalisasi abad 20 dan 21
telah merupakan idiologi seluruh bangsa di dunia, bertujuan mencapai
kesejahteraan seluruh bangsa-bangsa dengan menggunakan parameter
keberhasilan pertumbuhan ekonomi nasional setiap negara.
Konsep Pembangunan hukum nasional telah dicanangkan oleh Mochtar
Kusumaatmadja pada tahun 1970-an, kemudian menjadi bagian dari
REPELITA II era Suharto; tidak menyertakan parameter tolok ukur
keberhasilan dalam mencapai cita: (i) kepastian hukum, (ii) keadilan, dan (iii)
kemanfaatan bagi masyarakat Indonesia. Pertimbangan yang dikemukakan
ketika itu ialah bahwa pembangunan hukum tidak sama dengan
pembangunan sarana dan prasarana fisik karena pembangunan hukum
diartikan proses perubahan sikap mental dalam mematuhi hukum yang
3 George P.Fletcher, “Basic Concept of Legal Thought”;Oxfoord University Press; 1996; hlmn
155
4 Op.cit. hlmn 156

berlaku dan mem-fungsikan peranan hukum dalam membawa kemajuan
masyarakatnya. Intinya pembangunan hukum tidak memiliki parameter yang
terukur dan pasti tentang keberhasilannya mencapai cita kesejahteraan

rakyat. Dengan pertimbangan ini, analisis ilmu ekonomi mikro dapat
membantu ilmu hukum menemukan jawaban pasti dan terukur mengenai
keberhasilan bekerjanya hukum dalam
masyarakat untuk kemudian
membangun politik hukum masa yang datang.
Selain pertimbangan tersebut di atas, memahami analisis ekonomi mikro
penting diketahui para ahli hukum Indonesia karena hukum merupakan
proses yang bergerak dinamis atau merupakan “law in the making” (Satjipto
Rahardjo), artinya hukum tidak bersifat status quo, tidak sekedar
mempertahankan
kondisi masyarakat yang telah ada, melainkan juga
hukum terus berada dalam proses mencari (in searching) dan menemukan
(inventing) jawaban mengenai efisiensi dan efektivitas bekerjanya hukum di
dalam masyarakat untuk mencapai ketiga tujuan klasik dari hukum.
Hambatan pada para ahli hukum untuk menyelami proses mencari dan
menemukan hukum (baru) adalah dipengaruhi oleh pendapat Van Kan bahwa
hukum selalu tertinggal dari perkembangan masyarakat; suatu pendapat
yang bertolak belakang bahkan tidak lagi relevan dengan perkembangan
masyarakat di era globalisasi, yang sangat memerlukan hukum dapat
berfungsi dan berperan dalam mengantisipasi kemungkinan dampak suatu

kebijakan politik di masa yang akan datang. Bahkan Mochtar
Kusumaatmadja, secara tidak langsung telah membantah pendapat Van Kan
tersebut dengan menyampaikan teori hukum pembangunan yang
menempatkan fungsi dan peranan hukum dalam membawa masyarakat
menuju perubahan yang lebih baik dari masa lampau. Karenanya analisis
ekonomi mikro dapat melengkapi fungsi dan peranan hukum dalam
melakukan prediksi pembangunan hukum di masa yang akan datang dengan
hasil nyata yang pasti dan terukur.
Pertimbangan ketiga, di dalam Pembukaan UUD 1945, Alinea Keempat, telah
dinyatakan secara eksplisit antara lain, “….untuk membentuk Pemerintah
Negara Indonesia… untuk mempertahankan kesejahteraan umum dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia”. Pernyataan ini kemudian diwujudkan dalam
ketentuan dalam Batang Tubuh UUD 1945, khususnya dalam Bab I tentang
Bentuk dan Kedaulatan, Pasal 1 ayat (3), “Negara Indonesia adalah Negara
hukum; dan juga di dalam Bab XI tentang Kekuasaan Kehakiman, serta Bab
XIV tentang Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial, khususnya
Pasal33. Ketentuan-ketentuan dalam UUD 1945 tersebut seharusnya
diartikan sebagai arah yang dapat menciptakan kolaborasi yang konstruktif

antara disiplin ilmu ekonomi dan disiplin ilmu hukum dalam mewujudkan

cita-cita pendiri NKRI. Kolaborasi tersebut merupakan bagian terpenting dari
komunitas ilmu pengetahuan yang sepatutnya tidak hanya bersikukuh pada
dunia ilmu masing-masing dan yang paling benar sendiri, melainkan
merupakan amanah dan petunjuk untuk saling berbagi informasi dan
pengetahuan satu sama lain, hanya dengan satu tujuan yaitu bersama-sama
dan bekerjasama memajukan kesejahteraan rakyat Indonesia.
Pertimbangan keempat, gerakan pemberantasan korupsi semakin masif
dimotori oleh KPK bersama-sama Kejaksaan dan telah memperoleh apresiasi
dari masyarakat pada umumnya, dengan UU RI Nomor 31 Tahun 1999 yang
diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 telah banyak koruptor dijatuhi
hukuman penjara. Namun demikian tujuan penting lain dari undang-undang
tersebut, terbukti belum berhasil mengembalikan kerugian keuangan Negara
secara signifikan. Hasil penelitian Doktor ilmu Hukum, Muhammad Yusuf,
menunjukkan bahwa nilai kerugian keuangan Negara dari tindak pidana yang
berhasil diselamatkan selama kurun waktu 5 (lima) selama periode 20072012 adalah sebesar 19.50% dari total kerugian Rp180.309.318.403.96
(000) dan sebesar 20.82% dari USD37.261.549.65. 5 Begitu pula dari Laporan
Rekapitulasi Kejaksaan Agung RI mengenai pemberantasan korupsi periode
2009 s.d. Juli, 2014, menunjukkan gambaran sebagai berikut:
Tabel 1. Jumlah Kasus Korupsi dan Kerugian Negara yang
Diselamatkan, Periode 2009 s.d.Juli, 2014

Jumlah
Penyidikan

Jumlah
Penuntutan

Penyelamatan
Kerugian Negara
(000)

9.598

9.355

Rp6.646.065.225.97
USD9.174.643.11
BATH3.835.192.76

Sumber: diolah dari Data Kejaksaan Agung RI, 2014
Sekalipun laporan Kejaksaan Agung RI telah menunjukkan angka kerugian

keuangan Negara yang diselamatkan, tetapi laporan angka total kerugian
Negara selama periode tersebut belum terdata secara lengkap. Table berikut
menampilkan angka kerugian keuangan Negara yang berhasil diselamatkan
KPK:6
5 Supra note 49
6 Diolah dari Laporan Tahunan KPK

Tabel 2. Nilai Kerugian Negara yang Diselamatkan KPK, 2009-2013
Nilai Kerugian Negara yang
Dikembalikan

Tahun
2009

Rp 142.290.575.282.00

2010

Rp 192.430.877.162.00


2011

Rp 138.062.072.084.30

2012

Rp 121.655.680.319.00

2013

Rp 122.047.032.251.00

Total

Rp 716.486.237.098.30

Sumber: diolah dari Data KPK, 20147
Selain dari besarnya angka kerugian Negara yang tidak terselamatkan,
ternyata kerugian akibat eksploitasi ilegal terhadap kekayaan sumber alam
Indonesia juga tidak kalah penting; data yang disampaikan ICW pada Hari

Anti Korupsi Tahun 2012 menunjukkan bahwa kerugian Negara dari korupsi
periode 2004-2011 adalah sebesar Rp39,3 trilyun; kerugian Negara akibat
illegal logging periode 2012 sebesar Rp169, 7 Trilyun; untuk perkara illegal
fishing, berdasarkan keterangan BPK tahun 2012 adalah sebesar Rp300
Trilyun, dan akibat penyalahgunaan narkoba, sebesar Rp48,2 Trilyun.8 Total
kerugian keuangan Negara dalam kurun waktu 5 (lima) tahun tersebut telah
mencapai kurang lebih Rp 517 trilyun. Penulis yakin bahwa besarnya
kerugian Negara tersebut sampai saat ini belum berhasil dikembalikan
sepenuhnya kepada Negara baik oleh Kejaksaan maupun oleh KPK.
Total perkiraan nilai kerugian keuangan negara dan penyelamatannya akan
semakin tinggi jika melihat data biaya makan jumlah narapidana dan
tahanan (BAMA) di Lembaga Pemasyarakatan sebagai berikut:
Tabel 1. Jumlah Narapidana dan Tahanan (BAMA) di Lembaga
Pemasyarakatan (2009-2012)
Tahun

Jumlah (orang)

2009


137.648

2010

129.877

7 Kompas 30 desember 2013 menyatakan KPK berhasil menyelamatkan 1,196 triliun berupa
PNBP dan Kas Negara/Daerah.
8 Dikutip dari Sambutan Jaksa Agung Basrief, Disampaikan pada Simposium Nasional
mengenai “Rekonseptualisasi Politik Kriminal dan Perspektif Kriminologi dalam Penegakan
Hukum”, kerjasama Pengurus Mahupiki Pusat dan Fakultas Hukum Universitas Hasanudin;
Makasar 18 Maret 2013;

2011

141.208

2012

150.769

Sumber: Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementrian Hukum dan HAM
RI, 2014

Biaya makanan narapidana dan tahanan yang jumlahnya secara rata-rata
100.000 orang per tahun, dengan harga satuan BAMA (Lauk pauk dan beras)
untuk satu narapidana rata-rata per hari adalah Rp15.000,- (lima belas ribu
rupiah), sehingga total biaya BAMA dari APBN adalah (100.000 x Rp 15.000)
= Rp15.000.000.000,- (lima belas miliar rupiah). Jika rata-rata narapidana
dijatuhi hukuman 3-5 tahun (tanpa remisi dan bebas bersyarat) maka total
biaya Negara untuk BAMA dan lain-lain adalah Rp 16.425.000.000.000,(enam belas triliun empat ratus dua puluh lima miliar) untuk hukuman
penjara 3 (tiga) tahun, dan meningkat sebesar, Rp27.375.000.000.000.- (dua
puluh tujuh triliun tiga ratus tujuh puluh lima miliar) untuk hukuman penjara
selama 5 (lima) tahun. Anggaran Negara yang telah dikeluarkan tersebut
belum dihitung biaya perkara korupsi yang disediakan dalam APBN sebesar
rata-rata antara Rp 250 juta s.d. Rp 500 juta per perkara.
Merujuk pada data dari ketiga aparatur penegak hukum di atas (APH) telah
terbukti bahwa penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi telah
menimbulkan kerugian keuangan yang lebih besar bagi Negara dalam kurun
waktu 5 (lima) tahun terakhir sehingga terjadi kontra-produktif terhadap
tujuan utama pembentukan UU Pemberantasan Korupsi yang ditetapkan
pada Tahun 1999 –vide ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 yang menentukan
unsur kerugian keuangan Negara sebagai unsur terpenting dalam tindak
pidana korupsi. Selain kenyataan tersebut di atas, dari analisis ekonomi
mikro, terbukti proses peradilan pidana bedasarkan hukum yang represif,
tidak efisien, baik dari aspek sosial, ekonomi, politik dan hukum serta
keuangan Negara.
Bandingkan jika pengeluaran negara yang tidak sebanding dengan kerugian
keuangan negara yang berhasil diselamatkan dipergunakan untuk
pembiayaan sarana dan prasarana pendidikan dan kesehatan rakyat, tentu
sangat bermanfaat dalam rangka memperkuat langkah pemerintah untuk
mencapai kesejahteraan rakyat. Kenyatan penyelamatan kerugian keuangan
Negara di atas juga membuktikanbahwa penghematan pembiayaan negara
dalam proses peradilan pidana sangat ditentukan oleh seberapa efisien

pencegahan di sisi hulu (upstream) bukan ditentukan dari seberapa jumlah
(kuantitas) orang yang dijebloskan ke dalam penjara.
Analisis ekonomi mikro tentang pembiayaan negara dalam penegakan
hukum khusus pemberantasan korupsi telah membuktikan bahwa hukum
yang represif telah gagal memenuhi cita kepastian, keadilan dan
kemanfaatan bagi seluruh rakyat Indonesia. Kini diperlukan perubahan
orientasi dan landasan berpijak dalam penegakan hukum khususnya
pemberantasan korupsi, dari orientasi hukum represif yang mengutamakan
penjeraan (efek jera) kepada hukum yang responsif dan hukum yang
restorative atau penulis namakan, Hukum 2R. Hukum responsif agar
penegakan hukum sungguh-sungguh mempertimbangkan apa yang
diperlukan secara nyata oleh rakyat Indonesia, dan hukum yang restoratif
adalah hukum yang dapat mengkomodasi pemulihan hubungan sosial antara
pelaku dan korban (perorangan atau negara).
Konsep Hukum 2R diatas diyakini merupakan pilihan model penegakan
hukum yang bersifat primum remedium sebagai lawan pilihan model
penegakan hukum represif dalam penegakan hukum di Indonesia khususnya
terhadap korporasi yang di duga telah melakukan tindak pidana khususnya
yang termasuk “financial crimes”. Hukum 2R (responsive) menggunakan
pendekatan “cost and benefit ratio” dengan menerapkan prinsip
maksimalisasi, keseimbangan dan efisiensi; sedangkan, Hukum 2R
(restorative) menggunakan
pendekatan
“mediasi”
dengan
prinsip
keseimbangan kepentingan antara korban dan pelaku. Sanksi yang cocok
dengan orientasi baru dalam penegakan hukum tersebut adalah didasarkan
pada paradigma sanksi piramida (regulatory Pyramid)-Braithwaite.9
Pengalaman penulis ikut aktif dalam menyusun perundang-undangan terkait
pemberantasan korupsi, para ahli hukum tidak pernah melakukan konsultasi
dengan ahli lainnya seperti ahli ekonomi dan ahli psikologi atau sosiologi.
Ahli hukum dengan kepercayaan diri yang besar merasa mampu sendiri
menyelesaikan persoalan korupsi-bangsa ini, dan mengabaikan ketajaman
metodologi dan analisis dari ahli lainnya seperti ahli ekonomi, yang menurut
penulis sudah sepantasnya duduk bersama dengan para ahli hukum.
Mengapa? Hal ini didasarkan kenyataan sejak era pemerintahan Suharto
selama kurang lebih 35 tahun lamanya di mana pembangunan ekonomi
nasional, sampai saat pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono; tetap
dijadikan tulang punggung (the backbone) dari pencapaian cita-cita
kesejahteraan rakyat Indonesia disamping pembangunan bidang hukum.
9 Supra note 107

Namun di sisi lain, pembangunan hukum tetap terpuruk dan berjalan di
tempat, bahkan menurut beberapa survey atau polling di media nasional,
penegakan hukum dan juga proses legislasi dipandang bermasalah dan tidak
pernah memberikan rasa adil bagi masyarakat pada umumnya, khususnya
para pencari keadilan. Ekses penyalahgunaan kekuasaan atau kewenangan
aparatur penegak hukum semakin merajalela tanpa pengawasan yang kuat
dan berkesinambungan; penyelesaian ekses tersebut layaknya “pemadam
kebakaran”, dan bersifat adhoc, sekedarnya untuk memberikan citra yang
baik di hadapan rakyat pada umumnya. Hukum masih tumpul ke atas dan
tajam ke bawah, demikian kiasan dan kritik masyarakat yang masih sering
kita dengar sampai saat ini.
Persoalan serius di bidang hukum juga tampak berimbas kepada
pembangunan di bidang lainnya termasuk bidang ekonomi, iklim investasi,
dan bisnis, serta bidang pembangunan proyek fisik sehingga sering
terdengar keluhan mengenai kepastian hukum dan keadilan dalam setiap
aspek kehidupan bangsa ini. Imbas ini bukan karena semata-mata ekses
sebagaimana
diuraikan
di
atas,
melainkan
disebabkan
agenda
pemberantasan korupsi yang telah dicanangkan melalui 4 (empat) Instruksi
Presiden
(INPRES)10
telah
diterjemahkan
secara
keliru
dalam
implementasinya oleh aparatur penegak hukum di mana keberhasilan
agenda pemberantasan korupsi hanya diukur dari keberhasilan melakukan
penangkapan, penahanan dan pemenjaraan seseorang yang terlibat korupsi.
Kekeliruan kedua, bahwa aparatur penegak hukum termasuk KPK, disadari
atau tidak, telah melupakan tujuan lain dari pemberantasan korupsi, yaitu
mengembalikan secara optimal kerugian keuangan kepada negara. Akibat
selanjutnya dan logis jika dikatakan bahwa, telah terjadi inefisiensi (Posner)
dan tidak maksimal serta terjadi ketidak seimbang antara sarana-termasuk
dana yang telah dikeluarkan Negara dan hasil nyata yang telah dicapai. 11
Pertimbangan kelima, para ahli hukum telah mengetahui dan memahami apa
yang merupakan tujuan hukum: (i) ketertiban merupakan tujuan terdekat
dan (ii) keadilan adalah tujuan yang terjauh, dan di tengah-tengah kedua
tujuan tersebut, adalah (iii) kepastian, dan (iv) kemanfaatan. Namun di
dalam mencapai tujuan hukum tersebut, para ahli hukum tidak dapat
memastikan apakah hukum (undang-undang) yang diberlakukan telah
bekerja dengan baik dalam mencapai tujuan tersebut. Apakah solusi
sengketa atau tuntutan pidana yang bermuara pada putusan pengadilan
10 Inpres RI Nomor 7 Tahun 2004; Inpres RI Nomor 17 Tahun 2011; Inpres RI Nomor 1 Tahun
2013, dan Inpres RI Nomor 2 Tahun 2014.
11 Supra note 8

yang menetapkan siapa “the winner” dan “the losser” atau perdamaian di
antara para pihak, dapat dinyatakan secara pasti bahwa keempat tujuan
hukum telah tercapai atau mencerminkan keempat tujuan hukum tersebut?
Kontribusi analisis ekonomi mikro dapat membantu ilmu hukum menganalisis
peristiwa hukum masa sekarang dandapat memprediksi secara pasti dan
terukur mengenai bangunan politik hukum di masa yang datang.Analisis
ekonomi mikro tersebut juga diharapkan dapat mengatasi kelemahan atau
menambah kekuatan yang telah dimiliki ilmu hukum dalam menjalankan
fungsi dan peranannya memberikan perlindungan dan jaminan kepastian
hukum.Penulis yakin bahwa belum semua ahli hukum yang mengetahui
secara pasti bagaimana menerjemahkan
tujuan hukum yang bersifat
abstrak ke dalam suatu tolok ukur keberhasilan secara pasti dan terukur
sehingga dapat dirasakan secara nyata hasilnya.
Pertimbangan keenam, perkembangan ekonomi nasional, Negara-negara di
dunia sejak tahun 1970-an telah memasuki tahap proses penyusunan
kebijakan publik setiap Negara sehingga memerlukan argumentasi ekonomi
untuk dijadikan landasan justifikasi keputusan-keputusan kebijakan publik.
Bank Dunia dan OECD telah mendorong penerapan kebijakan ex ante untuk
mengantisipasi konsekuensi langkah kebijakan dengan metode “regulatory
impact analysis” (RIA) atau disebut IA (impact assessment).12 Sekalipun
metoda analisis kebijakan publik dengan pendekatan ekonomi memperoleh
kritik keras dari politisi di Negara maju akan tetapi, pergerakan pendekatan
hukum dan ekonomi telah mengubah pola pikir para ahli hukum dan
pengambil kebijakan pada tahun 1960-an di Amerika Serikat, yaitu analisis
ekonomi tentang hukum atau economic analysis of law (EAL). EAL adalah
pandangan normative tentang hukum dan ekonomi yang memandang
hukum tidak hanya apa adanya (law is) melainkan bagaimana hukum
seharusnya (law ought to be).13 Pendekatan EAL pada intinya bagaimana
mendesain dan membentuk struktur peraturan (hukum) untuk mendorong
hasil yang efisien yang fokus pada reaksi individual dan pasar terhadap
langkah kebijakan baru tersebut (EAL). RIA dengan kebijakan ex ante adalah
merupakan petunjuk terhadap pengambil kebijakan dalam pilihan solusi
kebijakan untuk mencapai satu solusi yaitu mempertahankan keuntungan
(bersih) dan kesejahteraan sosial.
Merujuk pada pergerakan dan perkembangan hukum dan ekonomi dengan
metoda pendekatan tersebut, pengetahuan mengenai analisis ekonomi
mikro tentang hukum sangat relevan dan penting bagi ilmu hukum karena
12 Andre Renda, op.cit.hlmn 3-4
13 Andre Renda, op.cit.hlmn 6

analisis
hukum
akan
memperoleh
pengetahuan
baru,
yaitu
mempertimbangkan “cost and benefit ratio” dalam pembentukan undangundang dan penegakan hukum, sehingga hukum tidak bekerja dalam
ruangan hampa tanpa ada makna dan manfaatnya bagi kehidupan manusia.
Posner14 menegaskan, “economics is a powerful tool for analyzing a vast
range of legal questions”; here economics means rational choice and price
theory, combined with the assumption that ‘resources tend to gravitate to
their most valuable uses if voluntary exchange-market-is permitted”
(ekonomi merupakan sarana yang berdaya guna untuk melakukan analisis
atas pertanyaan-pertanyaan hukum yang luas; ekonomi mengartikan adanya
pilihan rasional dan teori harga, yang dikombinasikan dengan asumsi bahwa,
ketersediaan sumber daya cenderung bergerak kearah penggunaannya yang
sangat berharga jika pedagangan-sistem pasar-diperbolehkan).
Peristiwa hukum yang terjadi dalam masyarakat beragam versi, misalnya,
perkara perdata, perkara pidana atau perkara administrasi; ketiga peristiwa
hukum tersebut sering terjadi dan sering menimbulkan polemik mengenai
sanksi (ancaman hukum) yang mana yang harus didahulukan atau
diutamakan- hanya dengan satu tujuan agar kehidupan masyarakat pada
umumnya, khususnya pihak-pihak berperkara dapat memulihkan kembali
hubungan sosialnya. Di antara sanksi administrasi, sanksi perdata dan sanksi
pidana, maka sanksi pidana dipandang merupakan sanksi yang diakui sangat
keras dan tajam karena secara langsung menimbulkan efek jera pada pelaku
kejahatan dan keluarganya. Penempatan dalam tempat penahanan dan
pembatasan kebebasan bergerak serta kehilangan-kehilangan kebebasan
lainnya merupakan keadaan yang menakutkan dan menjerakan. Pandangan
tersebut mendorong kehendak pada setiap pemegang kekuasaan dalam
suatu negara hukum untuk selalu berpandangan bahwa, sanksi pidana dapat
diterapkan serta merta pada suatu peristiwa sosial dalam masyarakat tanpa
harus mempertimbangkan sanksi-sanksi lain (sanksi administratif dan sanksi
perdata) hanya karena sanksi pidana dianggap efektif menghentikan setiap
orang yang akan melakukan kejahatan dan dianggap satu-satunya sanksi
yang dapat membuat jera pelakunya.
Sejarah perkembangan hukum pidana dan yang terjadi di beberapa negara,
terutama kejahatan terhadap nyawa dan badan, hampir dapat dipastikan
paradigm bahwasanya sanksi hukuman badan (penjara) adalah yang paling
efektif dan menjerakan pelakunya; suatu pandangan utilitarianisme ala
Jeremy Bentham dengan teori-nya “felicific calculus”15atau keseimbangan
14 Posner ibid
15 J.Bentham,

antara keseriusan kejahatan dan sanksi yang seimbang. Sanksi pidana denda
sangat jarang diterapkan dengan pertimbangan hanya dapat dan layak
diterapkan terhadap kejahatan-kejahatan yang bertujuan mencari
keuntungan finansial atau kejahatan di bidang keuangan (financial crimes).
Namun, baik sanksi pidana penjara maupun sanksi pidana denda masih
tetap berpijak pada pandangan bahwa, “man is a rational-actor-and
immoral”16 yang mampu membuat kalkulasi mengenai keuntungan dan
kerugian (cost and benefit analysis) dari kejahatan yang (akan)
dilakukannya. Keuntungan yang diperoleh pelaku kejahatan adalah kerugian
yang dialami korban (pelaku atau negara). Keuntungan yang diperoleh ada
yang berwujud (tangible) dan tidak berwujud (intangible) seperti kejahatan
karena hawa nafsu saja. Sedangkan, kerugian yang timbul bagi pelaku
adalah beberapa biaya lain seperti “out of pocketexpenses”; biaya membeli
senjata api, alat-alat untuk mencuri dan topeng, dll. Selain itu, bagi pelaku
masih ada biaya-biaya lain, seperti biaya waktu yang terpakai oleh tersangka
(opportunity cost) dan biaya karena ditahan dan mengalami penderitaan
selama menjalani hukuman (expected cost). Namun disisi lain konsep
“rational actor” ini menurut Posner dipandang tidak realistik karena dalam
kenyataannya, masih ada kejahatan karena kemiskinan dan tingkat
pendidikan yang rendah.17
Dalam konteks perkembangan dunia terutama abad 20, di mana perhatian
masyarakat internasional dipusatkan pada dampak regulasi terkait ekonomi
internasional, regional dan nasional, maka orientasi hukum pidana mulai
beralih, dari pendekatan normatif dengan metoda abstraksi logis, kepada
analisis yang memanfaatkan konsep ekonomi mikro yang terukur dan pasti
tentang bekerjanya hukum pidana dalam masyarakat. Analisis ekonomi
mikro tentang hukum pidana mulai memperoleh perhatian para ahli hukum
yang memahami ekonomi, dan ahli ekonomi yang memahami pentingnya
dampak regulasi.
Karya-karya penting tentang analisis ekonomi mikro terhadap hukum pidana
dimulai oleh Beccaria dan Bentham pada abad 18 dan awal abad 19: karya
Beccaria, “On Crime and Punishment”(terjemahan Henry Paolucci, 1963);
karya Jeremy Bentham, “An Introduction to the Principles of Morals and
Legislation” (1843), dan “Principles of Penal Law”.
Pendekatan analisis ekonomi mikro tentang hukum pidana berasal dari
definisi ekonomi mikro yaitu, “the study of how scarce resources are
16 Michael Trebilcock
17 Posner, op.cit.hlmn 223-224

allocated among competing ends” (Studi mengenai bagaimana sumberdaya
yang terbatas dialokasikan antara berbagai hasil akhir yang bersaing satu
sama lain). Teori ekonomi mikro menawarkan suatu teori umum tentang
bagaimana setiap orang/pimpinan/kelompok orang mengambil keputusan. 18
Teori ini adalah teori mengenai aspek tingkah laku manusia dan didasarkan
pada 3 (tiga) prinsip, yaitu: (i) Optimalisasi (maximization dan Minimization),
(ii) keseimbangan (equilibrium), dan (iii) efisiensi (efficiency), 19 atau (i)
prinsip nilai (values), (ii) kegunaan atau manfaat (utility), dan (iii) efisiensi
(efficiency).20 Dari tiga prinsip tersebut karenanya Ekonomi mikro berkaitan
dengan kesejahteraan masyarakat dan bahkan melahirkan cabang ilmu
ekonomi tersendiri yaitu ekonomi kesejahteraan (Welfare Economics).
Analisis Ekonomi Mikro sering pula disebut analisis teori penentuan harga
(Price Theory) karena menganalisis terjadinya penentuan harga (price
analisys) dalam berbagai struktur pasar. Sebenarnya analisis ekonomi mikro
selain didasarkan pada analisis positif dan normatif, 3 (tiga) prinsip: (i)
Optimalisasi
(maximization
dan
Minimization),
(ii)
keseimbangan
(equilibrium), dan (iii) efisiensi, juga didasarkan pada pendekatan
perbandingan statis dan dinamis, jangka pendek dan jangka panjang, dan
Analisis keseimbangan parsial dan umum (parsial dan general equilibrium).
Perbedaan analisis ekonomi mikro sangat penting diperhatikan mengingat
bahwa ketiga prinsip ekonomi tidak dapat dikatakan tercapai bila hanya
diihat satu dimensi saja. Sebagai contoh keputusan hukuman untuk PT Asian
Agri Group dapat dikatakan efisien, maksimal, dan seimbang tidak hanya
terkait pada beratnya hukuman denda yang mampu mengakibatkan efek
jera di jangka pendek namun keputusan untuk memberikan kesempatan bagi
PT AAG untuk tetap beroperasi secara dimensi dinamis dan keseimbangan
umum menyebabkan efisiensi, maksimisasi, dan keseimbangan yang
diinginkan juga dirasakan dalam jangka panjang dan keseimbangan umum;
perusahaan tetap dapat memutar roda perekonomian Indonesia kedepan
dengan tidak mengakibatkan pengangguran dan tetap menyumbang
pemasukan devisa penerimaan pajak, selain itu sektor ekonomi lain terkait
bidang usaha PT AAG seperti pengolahan kelapa sawit, pabrik minyak
goreng, usaha transportasi dan logistik yang menopang dan juga ditopang
oleh produk PT AAG akan tidak dirugikan.

18 Richard Cooter & Thoman Ullen, hlmn 13 -1 5
19 ibid
20 Posner, op.cit.hlmn 12-13

Penulis berpendapata bahwa dengan melihat berbagai jenis analisis ekonomi
mikro yang tersedia, perilaku di antara pelaku ekonomi tidak selalu harus
terobsesi pada maksimalisasi/Minimisasi tujuannya (end-goals)21 akan tetapi
juga setiap orang harus mempertimbangkan keseimbangan dalam
menjalankan hak dan kewajibannya di dalam kehidupan masyarakat, serta
setiap tindakannya harus terukur dan pasti sehingga tercapai efisiensi antara
upaya dan hasil nyata yang telah diperolehnya, baik positif/normatif, jangka
pendek/panjang, statis/dinamis, juga keseimbangan parsial dan umum.
Ketiga prinsip ekonomi tersebut sebenarnya merupakan turunan dari filsafat
utilitarianisme Jeremy Bentham dan Beccaria yang telah dikembangkan
dalam pendidikan hukum dan dalam praktik peradilan di Amerika Serikat
dikenal sebagai “pragmatic utilitarianism” (Alschuler, 2000)22. Namun dalam
praktik hukum terutama oleh para penasehat hukum di sana, telah
dikembangkan menjadi “applied utilitarianism”; pendekatan yang tidak lagi
berpijak pada nilai kesejahteraan sosial kecuali hanya untuk kepentingan
kesejahteraan (kekayaan) pribadi(individual) saja di atas pengorbanan orang
lain. Dalam konteks ini, penulis dapat mengatakan bahwa, tiga prinsip
ekonomi sebagai parameter analisis terhadap bekerjanya hukum merupakan
upaya ilmiah, ‘penghalusan hukum (rechtvervjining)’ sekaligus koreksi
terhadap kekeliruan aplikasi hukum selama ini. Di sisi lain, prinsip-prinsip
ekonomi mikro merupakan cara yang tepat untuk menempatkan (kembali)
aliran hukum, “pragmatic utilitarianism” pada tempat yang tepat sesuai
dengan sistem demokrasi modern yang telah berjalan dua ratus tahun lebih
di Negara tersebut.
Prinsip ekonomi mikro pertama, Optimisasi (dalam hal terkait hukum adalah
maksimalisasi);
didasarkan pada teori pilihan rasional (rational choice
theory), dan dalam konteks kejahatan terutama pada level “white collar
crime”, teori ini dapat menjelaskan bahwa kejahatan yang dilakukan oleh
korporasi atau kelas menengah telah memperhitungkan antara probabilita
atau kemungkinan perolehan “keuntungan” dan “kerugian” dari
kejahatannya. Keuntungan dimaksud adalah hasil kejahatannya dan kerugian
dimaksud adalah kerugian materiel dan immaterial pada korban
kejahatannya (perorangan, pebisnis atau Negara), serta kerugian yang telah
diperhitungkan karena ditangkap dan ditahan serta dihukum.
Dalam konteks hukum pidana, keseimbangan yang merupakan prinsip
ekonomi mikro kedua, seharusnya dapat menyelesaikan masalah yaitu
dengan mempertanyakan, bagaimana kerugian korban kejahatan dapat
21Contohya Minimisasi Biaya atau Maksimisasi Keuntungan.
22 Albert Alschuler,”Law Without Values”; The Chicago University Press; 2000. Hlmn 2

tergantikan oleh pelaku kejahatan; apakah dengan pemberian kompensasi
atau dengan penghukuman yang setimpal dengan akibat dari kejahatannya.
Namun
demikian,
penjatuhan
sanksi
terhadap
kejahatan
harus
mempertimbangkan prinsip ekonomi mikro ketiga yaitu efisiensi. Prinsip ini
relevan dengan pertanyaan, apakah penjatuhan pidana penjara atau pidana
denda atau pidana kerja sosial23, lebih efisien atau justru pemberian
kompensasi kepada korban kejahatan, atau pengembalian kerugian
keuangan Negara dipastikan lebih adil dibandingkan dengan menjalani
hukuman penjara selama waktu tertentu?
Efisiensi dimaksudkan adalah baik bagi perbaikan pribadi pelaku kejahatan
maupun bagi korban-nya apakah perorangan, kelompok atau Negara.
Contohnya, dalam tindak pidana lingkungan hidup, penerapan tanggung
jawab (pidana) mutlak (strict-liability) diikuti dengan pidana denda maksimal
lebih efisien dibandingkan dengan penerapan “liability based-on fault” dan
pidana penjara selama waktu tertentu. Dari sudut analisis ekonomi mikro,
penerapan strict-liability lebih efisien (adil), misalnya dalam perkara
lingkungan hidup, yaitu penjatuhan pidana tanpa pembuktian kesalahan
terhadap suatu perusahaan produksi tekstil dimana limbah buangan pabrik
telah mengakibatkan pencemaran terhadap perairan sawah penduduk
karena pertama, proses peradilan tidak memerlukan waktu yang lama;
kedua, pelaksanaan putusan pengadilan yang menjatuhkan pidana denda
maksimal ditambah dengan nilai kerugian materiel dan immaterial pada
korban penduduk sekitar pabrik, dan ketiga, organisasi perusahaan telah
diperbaiki dengan menyediakan tempat penampungan limbah sesuai dengan
ketentuan AMDAL, serta perusahaan tetap dapat beroperasi seperti sediakala
dan menghasikan tekstil ekspor berkualitas yang dapat memasukkan devisa
bagi Negara. Contoh lain, menjalani hukuman selama waktu tertentu
misalnya 5 (lima) tahun terhadap pelaku tindak pidana korupsi dan pidana
denda Rp 1 milyar apakah adil jika dibandingkan dengan pidana kerja sosial
bagi pelakunya, misalnya seorang mantan menteri dan berpengalaman serta
memiliki kualifikasi sarjana bidang nuklir. Dalam contoh kasus ini perlu
dipertimbangkan aspek kemanfaatan yaitu kepada seorang terdakwa sarjana
nuklir selama menjalani hukuman dan hukuman yang tepat adalah pidana
bersyarat selama minimal 3 (tiga) tahun atau maksimal 5 (lima) tahun, dan
selama waktu tersebut terpidana ybs wajib mengabdikan dirinya kepada
23Dalam KUHP tidak diatur mengenai pidana kerja sosial.Dibeberapa Negara seperti di
Belanda, Swedia dan Skandinavia dan Amerika Serikat serta Singapura, pidana kerja sosial
telah lama diberlakukan.Di dalam Rancangan Naskah Undang-Undang KUHP 2012 telah
dicantumkan pidana kerja sosial yang merupakan salah satu pidana pokok (Pasal 65 ayat (1)
huru e.

proyek pemerintah untuk pembangkit tenaga nuklir dimana saat ini sarjana
di bidang ini sangat langka. Kemanfaatan bagi terpidana ybs adalah ybs
dapat tetap menjalankan kehidupannya seperti biasa dan dapat bertemu
dengan keluarga setiap hari akan tetapi tetap berada dalam pengawasan
kejaksaan.
Dari sudut analisis ekonomi mikro, jelas terlihat bahwa pidana kerja sosial
atau pidana denda maksimal dengan pidana bersyarat mencerminkan
efisiensi, keseimbangan dan maksimalisasi dari suatu kebijakan hukum.
Contoh-contoh tersebut di atas sekaligus juga menerangkan bagaimana
seharusnya hukum pidana bekerja dan kiranya cocok dengan pendapat yang
dikemukakan Becker secara spesifik bahwa analisis ekonomi mikro terhadap
hukum pidana meliputi24:
1. Keseimbangan antara kepastian dan beratnya hukuman;
2. Perbandingan secara ekonomi antara hukuman denda dan hukuman
penjara;
3. Aspek ekonomi dari penegakan hukum dan hukum acara;
4. Efek penjeraan dan pencegahan dari hukuman penjara (termasuk
hukuman mati).
Keempat lingkup objek analisis ekonomi mikro dari Becker di atas menitikberatkan pada keterkaitan antara perbuatan dan hukuman di satu sisi, dan
antara hukuman penjara dan hukuman denda di sisi lain, khusus mengenai
efeknya terhadap pelaku tindak pidana.
Bagi penganut paham hukum pidana klasik yang mengutamakan penjeraan
(deterrence) tentu analisis ekonomi mikro terhadap hukum pidana dari
Becker akan diabaikan dan tidak menarik perhatian mereka untuk dikaji lebih
lanjut karena bagi mereka penjeraan lebih penting dari kegunaan atau
kemanfaatan, apalagi sisi efisiensi dari bekerjanya hukum pidana. Namun
bagi penganut paham hukum pidana modern, keempat objek tersebut
mendapat perhatian yang serius karena mereka beranggapan bahwa
sepanjang sejarah hukum pidana, khusus mengenai hukuman, tidak pernah
terjadi efek penjeraan yang masif pada pelaku tindak pidana, bahkan
sebaliknya, residivis semakin meningkat setiap hari-nya. Pengalaman
mengenai hal ini disampaikan kepada penulis oleh Kepala Rumah Tahanan di
LP Cipinang yang mengatakan bahwa LP Cipinang setiap hari mengeluarkan
hampir 100 orang narapidana karena habis masa hukuman, dan pada
minggu yang sama menerima narapidana baru, kurang lebih dengan jumlah
24 Dikutip dari Richard A.Posner,”An Economic Theory of Criminal Law”; 85 Columbia Law
Review, October 1985; hlmn 1195

yang sama; di antaranya termasuk narapidana yang baru dikeluarkan pada
minggu yang sama. Posner mengemukakan pendapatnya mengenai pidana
denda dibandingkan dengan pidana penjara sebagai berikut:25
“From an economic standpoint, the use of fines should be encouraged. Not
only does imprisonment generate no revenue for the state, as fines do, but
the social cost of imprisonment exceed those of constructing, maintain, and
operating prisons…the loss of incarcerated individual’s lawful productivity (if
any) during the period while he is in prison, the disutility of imprisonment to
him, and the impairment of his productivity in legitimate activity after
release”.
Pandangan Posner tersebut di atas, sejalan dengan teori-nya pada akhir
Tahun 1970-an mengenai “Maksimalisasi kesejahteraan sebagai paradigma
keadilan” (wealth maximization as a paradigm of justice),26 yang
memperoleh penghargaan dari para akademisi dan pengambil kebijakan
ketika itu di Amerika Serikat.
Penulis sependapat dengan Posner sekalipun pragmatis tetapi realistik sesuai
dengan kenyataanper kembangan peristiwa penegakan hukum di Indonesia.
Beberapa pertimbangan penulis sependapat dengan Posner sebagai berikut:
(1)Hasil penelitian M.Yusuf (2013) menunjukkan bahwa penyelamatan
kerugian keuangan Negara selama 5 tahun (2007-2012) hanya
mencapai 20% dari total kerugian keuangan negara sebesar Rp100
triliun lebih;
(2)Dalam kurun waktu 5 (lima) tahun 2009-2013; Laporan Kejaksaan
Agung bahwa telah berhasil menyelamatkan kerugian keuangan
negara sebesar Rp 6 triliun; Laporan Kepolisian sebesar Rp2 triliun, dan
laporan KPK sebesar Rp 700 miliar. Sedangkan, selama kurun waktu
yang sama, biaya negara yang dikeluarkan untuk proses penegakan
hukum termasuk biaya akomodasi narapidana untuk selama 5 (lima)
tahun adalah sebesar Rp27 triliun. Laporan ICW tentang kerugian
keuangan negara dari illegal logging dan illegal fishing sebesar Rp600
triliun.
(3)Realisasi penerimaan negara dari pajak dalam kurun waktu 5 (lima)
tahun selalu kurang dari 100% dari target pendapatan pajak setiap
tahunnya. Merujuk pada rendahnya angka pengembalian kerugian
keuangan negara dan defisit negara karena perkiraan pendapatan
pajak yang tidak mencapai target selama kurun waktu 5 (lima) tahun,
25Posner, op.cit. hlmn 227
26Renda, op.cit. hlmn 103

dapat disimpulkan bahwa efek penjeraan kontra produktif bagi upaya
meningkatkan pendapatan negara.
Keempat objek kajian dalam pendekatan analisis ekonomi mikro tersebut
menurut Becker merupakan upaya alternatif yang diharapkan dapat
membangun politik hukum di Indonesia yang sejalan dengan kenyataan yang
hidup dalam masyarakat pada umumnya, khususnya masyarakat penjara
atau “the society of captive” (Gresham Sykes, 1958). Sykes meneliti
sejumlah narapidana di AS dan telah memperoleh hasil yang
mencengangkan, yaitu bahwa kumpulan narapidana telah merupakan
komunitas tersendiri dan terasing dari masyarakat umum, serta mereka
memiliki kode etik dan budaya tersendiri yang berbeda dengan budaya
masyarakat pada umumnya (prisoner’s sub-culture)27.
Berdasarkan pandangan Posner mengenai perbandingan pidana denda dan
pidana penjara dari sudut efisiensi sejalan dengan politik hukum pidana di
Amerika Serikat sejak Tahun 1970-an yang telah menggunakan analisis
ekonomi mikro sejak penyusunan draft UU sampai pada implementasinya
khususnya penghukuman. Bandingkan hal ini dengan politik hukum pidana di
Belanda sejak KUHP Tahun 1996, yang dikenal dengan “low profile of
justice”28, sebagai lawan efek jera dan penderitaan yang merupakan “high
profile of justice”.
Dalam kaitan pendapat Becker mengenai empat objek analisis ekonomi
mikro tentang hukum, Posner mengemukakan pendapatnya, bahwa masih
ada substansi yang belum disentuh oleh Becker yaitu doktrin mengenai
percobaan melakukan tindak pidana (attempt), permufakatan jahat
(conspiracy), penjebakan (entrapment), kegilaan (insanity), dan perencanaan
melakukan kejahatan. Posner berpendapat pula bahwa seharusnya konsepkonsep hukum pidana tersebut diberikan arti secara ekonomi yang dapat
mendukung efisiensi penegakan hukumnya. Posner29 lebih lanjutmengatakan
bahwa dari sudut analisis ekonomi mikro, doktrin mengenai konsep hukum
pidana tersebut merupakan masalah yang tidak dapat dianggap mudah, dan
Posner kemudian mengemukakan pendapatnya sebagai berikut:
1. Fungsi hukum pidana secara umum dalam masyarakat kapitalis adalah
mencegah anggota masyarakat untuk melanggar sistem kesepakatan

27 Gresham M. Sykes,” The Cociety of Captives: A Study of a Maximum Security Prison”,
Pricenton Unive. Press, 1958
28 Rayar and Wardsworth (translator), “The Dutch Penal Code”; Littleton; ……;hlmn 9
29 ibid

dan kesukarelaan anggota masyarakat, atau secara ekonomi, disebut
“market bypassing”;
2. Sebagian besar dari “market bypassing” tidak dapat dicegah melalui
hukum Tort (Tort Law) yaitu gugatan perorangan atas kerugian yang
terjadi. Ganti rugi optimal yang disyaratkan sebagai penjeraan sering
melampaui batas kemampuan pelaku pelanggaran untuk membayar
sehingga diperlukan sanksi lain yaitu berupa penghukuman;
3. Sanksi hukuman memerlukan biaya besar sehingga menimbulkan
implikasi terhadap perbedaan dalam doktrin mengenai konsep hukum
pidana, seperti percobaan melakukan kejahatan harus dihukum seperti
kejahatan yang selesai dilakukan (completed crime). Adanya
perbedaan konsep hukum pidana ini dari sudut ekonomi, sangat tidak
efisien karena percobaan untuk melakukan suatu tindak pidana, tetap
dihukum sama dengan biaya yang sama besarnya dengan
kejahatanyang telah dilakukan (completed crime).
Pendapat Posner mengenai fungsi pencegahan dari hukum pidana agar
anggota masyarakat tidak melanggar kesepakatan bersama, dan sanksi
berdasarkan hukum Tort tidak efektif dalam mengatasi masalah pelanggaran
tersebut, disebabkan ketidakberdayaan secara ekonomi dari para pelaku.
Sanksi hukuman badan (penjara) atas tindak pidana percobaan (attempt),
dan tindak pidana telah dilakukan (completed crime) juga dianggap tidak
efisien. Menurut pendapat penulis, ketiga isu tersebut merupakan condition
sine qua non; satu dan lainnya saling terkait dan tidak terpisahkan serta satu
isu tidak terjadi maka isu lainnya tidak akan muncul. Ketiga isu tersebut
bagaikan “lingkaran setan” (vicious circle) yang tidak mudah untuk
dihentikan atau di-by pass di tengah jalan. Karenanya, analisis ekonomi
mikro mungkin dapat menemukan solusi alternatif yang bermanfaat
sehingga fungsi hukum pidana dapat membuka “kotak Pandora” konsep
hukum pidana yang tidak berjalan efektif dan efisien karena tidak merujuk
pada prinsip maksimalisasi, keseimbangan dan efisiensi.
Salah satu solusi dan masukkan bagi penyusunan kebijakan hukum pidana
pada umumnya, adalah jika tiga tujuan/cita hukum: (i) kepastian hukum, (ii)
keadilan, dan (iii) kemanfaatan disandingkan dengan tiga prinsip ekonomi
mikro menurut Cooter dan Ullen, yaitu: (i) maksimalisasi, (ii) keseimbangan,
dan (iii) efisiensi; sebagaimana tercantum dalam Gambar 2.1 berikut.

PRINSIP EKONOMI

KESELARASAN

TUJUAN/CITA




MIKRO
EFISIENSI
KESEIMBANGAN




HUKUM
KEADILAN
KEPASTIAN

HUKUM
 MAKSIMALISASI
 KEMANFAATAN
Gambar 1 Sandingan Prinsip Ekonomi Mikro dan Tujuan Hukum

Sandingan mengenai tiga tujuan hukum dan tiga prinsip ekonomi tersebut di
atas merupakan upaya untuk mencoba menyelaraskan hubungan antara keenam variable tersebut di dalam suatu eko-sistem hukum pidana di mana
keadilan ternyata cocok disandingkan dengan efisiensi dalam arti setiap
pencari keadilan telah merasakan hasil nyata upaya hukum yang telah
dilaksanakannya dalam proses peradilan dan juga dampaknya terhadap
perubahan nasib mereka pasca proses peradilan tersebut. Secara Pareto
efficiency30 keadilan memang tepat disandingkan dengan efisiensi karena
kesejahteraan sebuah masyarakat akan tercapai bila setiap orang memiliki
tingkat kepuasan yang sama sesuai dengan pengorbanan sumber daya yang
dimilikinya; pencari keadilan puas dengan apa yang didapat, sedangkan
terhukum harus juga puas dengan hukumannya karena itu adalah resiko
rasional dari perbuatan melanggar hukumnya. Efisiensi ini juga dapat
diartikan bahwa telah terjadi perubahan perilaku tidak taat hukum dengan
penjatuhan hukuman terhadap ybs. Dengan dasar definisi efisiensi ala
Kaldor-Hicks criterion31, maka efisiensi juga dapat disandingkan dengan
kemanfaatan karena pihak terpidana sebetulnya dapat memberikan
kompensasi kepada pihak yang mencari keadilan melalui denda atau bentuk
lain yang membuat utility atau kepuasaan pencari keadilan menjadi lebih
baik.
30 Syarat tercapainya keseimbangan umum dalam Pareto Efficiency ditunjukkan dengan
MRSyxA = MRSyxB dimana A dan B adalah anggota masyarakat dalam sebuah society. MRS
sendiri menunjukkan tambahan konsumsi satu barang dari mengorbankan konsumsi barang
lain dengan upaya mempertahankan tingkat kepuasan yang sama.
31 Kriteria Kaldor-Hicks diterapkan secara luas di bidang ekonomi kesejahteraan dan
ekonomi manajerial. Dalam analisis cost-benefit, sebuah proyek (misalnya bandara baru)
dievaluasi dengan membandingkan total biaya: biaya bangunan dan biaya lingkungan,
dengan total manfaat: keuntungan maskapai penerbangan dan kenyamanan bagi
wisatawan. Proyek ini biasanya akan diberikan lampu hijau jika benefit melebihi cost. Secara
efektif ini merupakan aplikasi dari kriteria Kaldor-Hicks karena mensyaratkan bahwa benefit
yang cukup bagi mereka yang diuntungkan bisa dikompensasikan pada mereka yang
dirugikan. Kriteria ini digunakan karena pendapat bahwa sesuatu dapat dibenarkan bila
untuk masyarakat secara keseluruhan memperoleh manfaat walaupun ada sebagian orng
lain dirugikan (changes is beter than no changes).

Keseimbangan disandingkan dengan Kepastian hukum harus diartikan
bahwa, keuntungan yang diharapkan dari tindak pidana oleh ybs. telah
dinikmati dan karenanya dijatuhi hukuman yang setimpal dengan kerugian
yang telah diderita korban karena tindak pidana tersebut. Keseimbangan ini
juga cocok disandingkan dengan keadilan karena secara rasional pelanggar
hukum harus menerima hukuman terbaik yang diakibatkan tindakannya
sementara pencari keadilan secara rasional dapat pula menerima hukuman
tersebut setimpal dengan perbuatan terhukum; bila hukuman terlalu berat
maka sebenarnya terhukum juga dirugikan dengan kepuasan pencari
keadilan yang lebih tinggi, bahkan kerugian si terhukum tersebut bisa lebih
berat dalam hal dampaknya terhadap pihak ketiga misalkan dalam hal ini
keluarga dan masa depannya yang suram akibat vonis yang terlalu berat
(Dead Weight Loss).
Kemanfaatan disandingkan dengan maksimalisasi harus diartikan bahwa,
penegakan hukum telah memberikan manfaat yang maksimal bagi
kepentingan perlindungan hukum dan jaminan kepastian hukum para
pencari keadilan.
Dalam pembahasan mengenai efek positif ekonomi mikro (Cooter dan Ullen)
khususnya kontribusi tentang prediksi yang bermanfaat bagi penyusunan
suatu kebijakan, Posner optimis dapat menempatkan hukum sebagai suatu
studi ilmiah (empiris). Keenam variable pada gambar 2.1 merupakan suatu
sistem pemikiran ilmiah (system of thought) yang telah menggabungkan dua
prinsip yang berasal dari disiplin ilmu yang berbeda, yaitu prinsip “cost and
benefit ratio” dan prinsip “right or wrong”, dan kedua prinsip tersebut
merupakan “condition sine qua non” dalam menyusun suatu kebijakan
hukum berbasis ekonomi nasional.Kebijakan hukum berbasis ekonomi
nasional adalah suatu politik hukum nasionalyang bertujuan memberikan
kemanfaatan nyata, keseimbangan dan efisiensi baik bagi rakyat pencari
keadilan maupun Negara. Teori utiliarianisme Bentham dalam konteks abad
21 Globalisasi telah tergolong teori yang bangkrut (bankrupt) sebagaimana
dinyatakan oleh Ronald Coase: ”…whatever moral claims it had rested
largely on the strength of utilitarianism, a theory generally viewed as
banckrupt…”32
Dalam praktik penegakan hukum pidana di Indonesia, keenam variabel di
atas (gambar2.1) tidak pernah dijadikan bahan pertimbangan dalam
menetapkan sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice
32 Dikutip dari Andrea Renda, “Law and Economics in the RIA World: improving the use of
economic analysis in public policy and legislation”; intersentia, hlmn 101

system). Makalah ini menyarankan sepatutnya dalam memasuki abad 21 ini,
praktisi hukum khusus aparatur penegak hukum mulai memahami
pendekatan analisis ekonomi mikro, dan pada Fakultas Hukum, dimasukkan
mata kuliah analisis ekonomi mikro dalam kurikulum fakultas hukum. Selain
itu, diperlukan pula sosialisasi pendekatan analisis ekonomi mikro kepada
para ahli hukum di Indonesia atas kerjasama Fakultas Hukum dan Fakultas
Ekonomi dan Bisnis se-Indonesia.
Analisis ekonomi mikro dalam hubungannya dengan penegakan hukum
pidana, sesungguhnya dapat membantu menemukan solusi yang “saling
menguntungkan” tanpa menghilangkan efek jera, yaitu dengan pola
penyelesaian “win-win solution” terutama pada aktivitas-aktivitas investasi
bisnis dan komersial untuk memasukan devisa negara sebanyak-banyaknya.
Posner telah memperkirakan perlunya perbedaan perlakuan dalam hal
pelanggaran hukum, yaitu melalui hukum Tort (Tort Law) yang mirip pola
hukum adat (kebiasaan) sejak lam