KONSEP OTONOMI DAN KEWENANGAN DAERAH

KONSEP OTONOMI DAN KEWENANGAN DAERAH
SERTA PERANGKAT DAERAH

Pendahuluan
Otonomi daerah merupakan kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat
sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sebagai respon atas tuntutan reformasi
pemerintah dengan cukup cepat telah melakukan pembahan yang cukup mendasar atas berbagai
UU dalam bidang politik dari yang berwatak sentralistisotoritarian ke otonomi-demokratis.
Setelah berhasil menyusun UU bidang politik yang menjadi landasan pelaksanaan pemilu tahun
1999 pemerintah segera menyusulinya dengan UU baru dalam bidang politik khusus mengenai
hubungan kekuasaan antara pusat dan daerah yakni UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah
Daerah dan UU No 25 Tahun 1999 tentang Hubungan Keuangan antara Pusat dan Daerah.
Perubahan hukum tentang hubungan antara Pusat dan Daerah ini menyangkut masalah yang
sangat mendasar dalam hubungan kekuasaan (gezagverhouding) yang selama era Orde Baru
sangat timpang karena hampir seluruh kekuasaan bertumpu di tangan pemerintah Pusat tepatnya
di tangan Presiden. Dan diberlakukan pula UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Selanjutnya diperbaharui oleh UU No 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UU No 32
Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
Pembaharuan hukum tentang otonomi daerah ini paling tidak ada dua alasan. Pertama,
demokratisasi yang salah satu implementasinya adalah perluasan otonomi daerah menjadi

tuntutan era global karena demokratisasi menjadi salah satu dari lima hati nurani global (global
conciousnes). Kedua, pengalaman Indonesia dengan sistem otoriter yang mengabaikan otonomi
daerah terbukti telah menyimpan api yang kemudian menyulut lahimya krisis politik, bahkan
yang terjadi belakangan ini krisis politik telah.memancing fenomena disintegrasi.
Demokrasi dan Otonomi
1

Ketika para pendiri negara Republik Indonesia bersepakat untuk mendirikan sebuah
negara berdasar prinsip demokrasi maka dengan sendirinya prinsip otonomi daerah juga
menyertainya. Hal ini menjadi niscaya karena salah satu tuntutan penting bagi sebuah sistem
demokrasi adalah adanya pemencaran kekuasaan baik secara horizontal (ke samping) tinggi
negara yang sejajar seperti DPR, Presiden, BPK, MA, dan DPA, sedangkan pemencaran
horisontal ditandai oleh adanya desentralisasi dan otonomi daerah. Bahwa adanya desentralisasi
dan otonomi daerah diyakini oleh Bapak-bapak pendiri negara Republik Indonesia sebagai
bagian dari pelaksanaan demokrasi dapat dipahami dari pernyataan Hatta bahwa: “Menurut
dasar kedaulatan rakyat itu, hak rakyat untuk menentukan nasibnya tidak hanya ada pada pucuk
pemerintahan negeri, melainkan juga pada tiap tempat, di kota, di desa, dan di daerah...Dengan
keadaan yang demikian, maka tiap-tiap bagian atau golongan rakyat mendapat autonomi
(membuat dan menjalankan peraturan-peraturan sendiri) dan Zelfgbestuur (menjalankan
peraturan peraturan yang dibuat oleh Dewan yang lebih tinggi) ... Keadaan yang seperti itu

penting sekali, karena keperluan tiap-tiap tempat dalam satu negeri tidak sama, melainkan
berlain-lain”. (Hatta, 1976 : 103).
Dari apa yang dikemukakan Hatta menjadi jelas bahwa prinsip otonomi harus menjadi
salah satu salah satu sendi susunan pemerintahan yang demokratis agar ada jaminan kebebasan
bagi warganya untuk menyalurkan aspirasi politik. Ini sejalan dengan apa yang dikutip Robert
Rienow (1966 : 573) dari Tocqueville yang mengatakan juga bahwa suatu negara merdeka yang
tidak membangun institusi pemerintahan di tingkat daerah adalah pemerintahan yang tidak
membangun semangat kedaulatan rakyat sebab di dalamnya tidak ada kebebasan. Salah satu
karakter menonjol dari demokrasi, kata Toqcueville, adalah adanya kebebasan sehingga alasan
pokok dibangunnya pemerintahan di tingkat daerah minimal ada dua macam : pertama,
membiasakan rakyat untuk merumuskan sendiri persoalan-persoalan di daerahnya sekaligus
mencari pemecahannya; kedua, memberi kesempatan kepada masing-masing komunitas yang
mempunyai tuntutan beragam untuk membuat aturan dan programnya sendiri.
Bagir Manan (1994) dalam konteks ini mengatakan bahwa ada tiga faktor yang
menunjukkan kaitan erat antara demokrasi dan otonomi daerah : pertama, untuk mewujudkan
prinsip kebebasan (liberty) kedua, untuk membiasakan rakyat berupaya untuk mampu
memutuskan sendiri berbagai kepentingan yang berkaitan langsung dengan dirinya; ketiga, untuk
memberikan pelayanan yang maksimal terhadap masyarakat yang mempunyai tuntutan dan

kebutuhan beragam. Meskipun begitu memang tidak dapat dipungkiri begitu saja kenyataan

bahwa di negara yang menganut sistem sentralisasi pun mungkin dapat tumbuh demokrasi,
namun adanya otonomi daerah dan desentralisasi akan jauh lebih menjamin tumbuhnya
demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahannya.
(Kelsen, 1973 : 312). Atas dasar pemikiran yang demikianlah dapat dipahami bahwa
undang-undang yang pertama kali lahir di negara Republik Indonesia adalah UU tentang
otonomi daerah yakni UU No. 1 Tahun 1945.
Pembahasan
Pengertian Otonomi Daerah
Otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat
sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pengertian "otonom" secara bahasa adalah
"berdiri sendiri" atau "dengan pemerintahan sendiri". Sedangkan "daerah" adalah suatu
"wilayah" atau "lingkungan pemerintah". Dengan demikian pengertian secara istilah "otonomi
daerah" adalah "wewenang/kekuasaan pada suatu wilayah/daerah yang mengatur dan mengelola
untuk kepentingan wilayah/daerah masyarakat itu sendiri." Atau bahasa UU No 32 Tahun 2004
Tentang Pemerintahah Daerah bahwa otonomi daerah adalah Otonomi daerah adalah hak,
wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundangundangan (Pasal 1 angka 5).
Pengertian yang lebih luas lagi adalah wewenang/kekuasaan pada suatu wilayah/daerah
yang mengatur dan mengelola untuk kepentingan wilayah/daerah masyarakat itu sendiri mulai

dari ekonomi, politik, dan pengaturan perimbangan keuangan termasuk pengaturan sosial,
budaya, dan ideologi yang sesuai dengan tradisi adat istiadat daerah lingkungannya.
Pelaksanaan otonomi daerah dipengaruhi oleh faktor-faktor yang meliputi kemampuan
dalam pelaksanaan, kemampuan dalam keuangan, ketersediaan alat dan bahan, dan kemampuan
dalam berorganisasi. Otonomi daerah tidak mencakup bidang-bidang tertentu, seperti politik luar
negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter, fiskal, dan agama. Bidang-bidang tersebut
tetap menjadi urusan pemerintah pusat. Pelaksanaan otonomi daerah berdasar pada prinsip
demokrasi, keadilan, pemerataan, dan keanekaragaman.

Apa hubungan antara otonomi daerah dan kesejahteraan? Mengapa dalam era otonomi
daerah sekarang justru kemiskinan sangat merajalela? Sebagaimana dinyatakan Bank Dunia,
angka kemiskinan di Indonesia mencakup lebih dari 70 juta jiwa. Lantas apakah berarti otonomi
daerah justru berkorelasi negatif terhadap kesejahteraan?
Sebelum kita meneliti semua itu, setidaknya bisa kita temukan fakta bahwa lahirnya
otonomi daerah di Indonesia lebih karena perubahan kondisi politik daripada alasan
paradikmatik-empirik. Tahun 1998, masyarakat Indonesia merasakan kemuakan atas
pemerintahan yang sangat sentralistis dan ingin menuju pola masyarakat yang lebih menjanjikan
kebebasan. Realitasnya, setelah masyarakat Indonesia berada dalam era otonomi daerah,
berbagai problem bermunculan dan implemenasi atas konsep otonomi itu memunculkan banyak
konflik baik vertikal maupun horizontal.

Otonomi, Desentralisasi Kewenangan dan Integrasi Nasional
Pada prinsipnya, kebijakan otonomi daerah dilakukan dengan mendesentralisasikan
kewenangan-kewenangan yang selama ini tersentralisasi di tangan pemerintah pusat. Dalam
proses desentralisasi itu, kekuasaan pemerintah pusat dialihkan dari tingkat pusat ke
pemerintahan daerah sebagaimana mestinya, sehingga terwujud pergeseran kekuasaan dari pusat
ke daerah kabupaten dan kota di seluruh Indonesia. Jika dalam kondisi semula arus kekuasaan
pemerintahan bergerak dari daerah ke tingkat pusat, maka diidealkan bahwa sejak diterapkannya
kebijakan otonomi daerah itu, arus dinamika kekuasaan akan bergerak sebaliknya, yaitu dari
pusat ke daerah.
Kebijakan otonomi dan desentralisasi kewenangan ini dinilai sangat penting terutama
untuk menjamin agar proses integrasi nasional dapat dipelihara dengan sebaik-baiknya. Karena
dalam sistem yang berlaku sebelumnya, sangat dirasakan oleh daerah-daerah besarnya jurang
ketidakadilan struktural yang tercipta dalam hubungan antara pusat dan daerah-daerah. Untuk
menjamin agar perasaan diperlakukan tidak adil yang muncul di berbagai daerah seluruh
Indonesia tidak makin meluas dan terus meningkat yang pada gilirannya akan sangat
membahayakan integrasi nasional, maka kebijakan otonomi daerah ini dinilai mutlak harus
diterapkan dalam waktu yang secepat-cepatnya sesuai dengan tingkat kesiapan daerah sendiri.
Bahkan, TAP MPR tentang Rekomendasi Kebijakan dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah
No.IV/MPR/2000 menegaskan bahwa daerah-daerah tidak perlu menunggu petunjuk dan aturan-


aturan dari pusat untuk menyelenggarakan otonomi daerah itu sebagaimana mestinya. Sebelum
dikeluarkannya peraturan yang diperlukan dari pusat, pemerintahan daerah dapat menentukan
sendiri pengaturan mengenai soal-soal yang bersangkutan melalui penetapan Peraturan Daerah.
Setelah peraturan pusat yang dimaksud ditetapkan, barulah peraturan daerah tersebut
disesuaikan sebagaimana mestinya, sekedar untuk itu memang perlu diadakan penyesuaian.
Dengan demikian, kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi kewenangan tidak hanya
menyangkut pengalihan kewenangan dari atas ke bawah, tetapi pada pokoknya juga perlu
diwujudkan atas dasar keprakarsaan dari bawah untuk mendorong tumbuhnya kemandirian
pemerintahan daerah sendiri sebagai faktor yang menentukan keberhasilan kebijakan otonomi
daerah itu. Dalam kultur masyarakat kita yang paternalistik, kebijakan desentralisasi dan
otonomi daerah itu tidak akan berhasil apabila tidak dibarengi dengan upaya sadar untuk
membangun keprakarsaan dan kemandirian daerah sendiri.
Otonomi, Dekonsentrasi Kekuasaan dan Demokratisasi
Otonomi daerah kadang-kadang hanya dipahami sebagai kebijakan yang bersifat
institutional belaka yang hanya dikaitkan dengan fungsi-fungsi kekuasaan organ pemerintahan.
Oleh karena itu, yang menjadi perhatian hanyalah soal pengalihan kewenangan pemerintahan
dari tingkat pusat ke tingkat daerah. Namun, esensi kebijakan otonomi daerah itu sebenarnya
berkaitan pula dengan gelombang demokratisasi yang berkembang luas dalam kehidupan
nasional bangsa kita dewasa ini.
Pada tingkat suprastruktur kenegaraan maupun dalam rangka restrukturisasi manajemen

pemerintahan, kebijakan otonomi daerah itu dikembangkan seiring dengan agenda dekonsentrasi
kewenangan. Jika kebijakan desentralisasi merupakan konsep pembagian kewenangan secara
vertikal, maka kebijakan dekonsentrasi pada pokoknya merupakan kebijakan pembagian
kewenangan birokrasi pemerintahan secara horizontal. Kedua-duanya bersifat membatasi
kekuasaan dan berperan sangat penting dalam rangka menciptakan iklim kekuasaan yang makin
demokratis dan berdasar atas hukum.
Oleh karena itu, kebijakan otonomi daerah itu tidak hanya perlu dilihat kaitannya dengan
agenda pengalihan kewenangan dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah, tetapi juga
menyangkut pengalihan kewenangan dari pemerintahan ke masyarakat. Justru inilah yang harus
dilihat sebagai esensi pokok dari kebijakan otonomi daerah itu dalam arti yang sesungguhnya.

Otonomi daerah berarti otonomi masyarakat di daerah-daerah yang diharapkan dapat
terus tumbuh dan berkembang keprakarsaan dan kemandiriannya dalam iklim demokrasi dewasa
ini.Jika kebijakan otonomi daerah tidak dibarengi dengan peningkatan kemandirian dan
keprakarsaan masyarakat di daerah-daerah sesuai tuntutan alam demokrasi, maka praktekpraktek kekuasaan yang menindas seperti yang dialami dalam sistem lama yang tersentralisasi,
akan tetap muncul dalam hubungan antara pemerintahan di daerah dengan masyarakatnya.
Bahkan kehawatiran bahwa sistem otonomi pemerintahan daerah itu justru dapat
menimbulkan otoritarianisme pemerintahan lokal di seluruh Indonesia. Para pejabat daerah yang
sebelumnya tidak memiliki banyak kewenangan dalam waktu singkat tiba-tiba mendapatkan
kekuasaan dan kesempatan yang sangat besar yang dalam waktu singkat belum tentu dapat

dikendalikan sebagaimana mestinya. Dalam keadaan demikian, maka sesuai dengan dalil Lord
Acton bahwa ‘power tendsto corrupt and absolute power corrupts absolutely’, timbul
kehawatiran bahwa iklim penindasan dan praktek-praktek kezaliman yang anti demokrasi serta
praktek-praktek pelanggaran hukum dan penyalahgunaan wewenang yang pernah terjadi di
tingkat pusat justru ikut beralih ke dalam praktek pemerintahan di daerah-daerah di seluruh
Indonesia. Oleh karena itu, otonomi daerah haruslah dipahami esensinya juga mencakup
pengertian otonomi masyarakat di daerah-daerah dalam berhadapan dengan pemerintahan di
daerah.
Dasar Hukum
Otonomi daerah berpijak pada dasar Perundang-undangan yang kuat, yakni :
1.

Undang-undang Dasar Sebagaimana telah disebut di atas Undang-undang Dasar 1945
merupakan landasan yang kuat untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah. Pasal 18 UUD
menyebutkan adanya pembagian pengelolaan pemerintahan pusat dan daerah.

2. Ketetapan MPR-RI Tap MPR-RI No. XV/MPR/1998 tentang penyelenggaraan Otonomi
Daerah : Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang berkeadilan,
serta perimbangan kekuangan Pusat dan Daerah dalam rangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia.

3. Undang-Undang
Undang-undang N0.22/1999 tentang Pemerintahan Daerah pada prinsipnya mengatur
penyelenggaraan

Pemerintahan

Daerah

yang

lebih

mengutamakan

pelaksanaan

asas

Desentralisasi. Hal-hal yang mendasar dalam UU No.22/1999 adalah mendorong untuk
pemberdayaan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas, meningkatkan peran

masyarakat, mengembangkan peran dan fungsi DPRD. Diperbaharui lagi oleh UU No 32 Tahun
2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Selanjutnya diperbaharui oleh UU No 12 Tahun 2008
tentang Perubahan Kedua atas UU No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
Dari beberapa dasar perundang-undangan tersebut di atas tidak diragukan lagi bahwa
pelaksanaan Otonomi Daerah memiliki dasar hukum yang kuat. Tinggal permasalahannya adalah
bagaimana dengan dasar hukum yang kuat tersebut pelaksanaan Otonomi Daerah bisa dijalankan
secara optimal.
Pokok-Pokok Pikiran Otonomi Daerah
Isi dan jiwa yang terkandung dalam pasal 18 UUD 1945 beserta penjelasannya menjadi
pedoman dalam penyusunan Undang-undang yang membahas tentang otonomi daerah dengan
pokok-pokok pikiran sebagai berikut :
1. Sistem ketatanegaraan Indonesia wajib menjalankan prinsip-prinsip pembagian kewenangan
berdasarkan asas desentralisasi dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2. Daerah yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi dan dekonsentrasi adalah daerah propinsi,
sedangkan daerah yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi adalah daerah Kabupaten dan
daerah Kota. Daerah yang dibentuk dengan asas desentralisasi berwenang untuk menentukan dan
elaksanakan kebijakan atas prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.
3. Pembagian daerah diluar propinsi dibagi habis ke dalam daerah otonom. Dengan demikian,
wilayah administrasi yang berada dalam daerah Kabupaten dan daerah Kota dapat dijadikan
Daerah Otonom atau dihapus.

Prinsip-Prinsip Pelaksanaan Otonomi Daerah
Berdasar pada UU No.32/2004, prinsip-prinsip pelaksanaan Otonomi Daerah adalah
sebagai berikut :
1. Penyelenggaraan Otonomi Daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek-aspek demokrasi,
keadilan, pemerataan, serta potensi dan keanekaragaman daerah.

2. Pelaksanaan Otonomi Daerah didasarkan pada asas otonomi dan tugas pembantuan dengan
prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip NKRI sebagaimana dimaksud dalam
UUD RI Tahun 1945.
3. Pelaksanaan Otonomi Daerah harus sesuai dengan Konstitusi negara sehingga tetap terjamin
hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah.
4. Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan kemandirian Daerah Otonom.
5. Kawasan khusus yang dibina oleh Pemerintah atau pihak lain seperti Badan Otorita, Kawasan
Pelabuhan, Kawasan Pertambangan, Kawasan Kehutanan, Kawasan Perkotaan Baru, Kawasan
Wisata dan semacamnya berlaku ketentuan peraturan Daerah Otonom secara khusus dan bagi
kepentingan nasional.
6. Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan legislatif
daerah, baik sebagai fungsi legislasi, fungsi pengawasan maupun fungsi anggaran atas
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
7. Pelaksanaan asas dekonsentrasi diletakkan pada daerah Propinsi dalam kedudukannya sebagai
Wilayah Administrasi untuk memelaksanakan kewenangan pemerintahan tertentu yang
dilimpahkan kepada Gubernur sebagai wakil Pemerintah.
8. Pelaksanaan asas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari Pemerintah Daerah kepada
Desa yang disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia dengan
kewajiban melaporkan pelaksanaan dan mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskan.
Perkembangan Otonomi Daerah di Indonesia
Meskipun UUD RI Tahun 1945 yang menjadi acuan konstitusi telah menetapkan konsep
dasar tentang kebijakan otonomi kepada daerah-daerah, tetapi dalam perkembangan sejarahnya
ide otonomi daerah itu mengalami berbagai perubahan bentuk kebijakan yang disebabkan oleh
kuatnya tarik-menarik kalangan elit politik pada masanya. Apabila perkembangan otonomi
daerah dianalisis sejak tahun 1945, akan terlihat bahwa perubahan-perubahan konsepsi otonomi
banyak ditentukan oleh para elit politik yang berkuasa pada saat itu. Hal itu terlihat jelas dalam
aturan-aturan mengenai pemerintahan daerah sebagaimana yang terdapat dalam UU berikut ini :
1. UU No. 1 tahun 1945

Kebijakan Otonomi daerah pada masa ini lebih menitik-beratkan pada dekonsentrasi.
Kepala daerah hanyalah kepanjangan tangan pemerintahan pusat.

2. UU No. 22 tahun 1948
Mulai tahun ini Kebijakan otonomi daerah lebih menitikberatkan pada desentralisasi.
Tetapi masih ada dualisme peran di kepala daerah, di satu sisi ia punya peran besar untuk daerah,
tapi juga masih menjadi alat pemerintah pusat.
3. UU No. 1 tahun 1957
Kebijakan otonomi daerah pada masa ini masih bersifat dualisme, di mana kepala daerah
bertanggung jawab penuh pada DPRD, tetapi juga masih alat pemerintah pusat.
4. Penetapan Presiden No.6 tahun 1959
Pada masa ini kebijakan otonomi daerah lebih menekankan dekonsentrasi. Melalui
penpres ini kepala daerah diangkat oleh pemerintah pusat terutama dari kalangan pamong praja.
5. UU No. 18 tahun 1965
Pada masa ini kebijakan otonomi daerah menitikberatkan pada desentralisasi dengan
memberikan otonomi yang seluas-luasnya bagi daerah, sedangkan dekonsentrasi diterapkan
hanya sebagai pelengkap saja.
6. UU No. 5 tahun 1974
Setelah terjadinya G.30.S PKI pada dasarnya telah terjadi kevakuman dalam pengaturan
penyelenggaraan pemerintahan di daerah sampai dengan dikeluarkanya UU NO. 5 tahun 1974
yaitu desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas perbantuan. Sejalan dengan kebijakan ekonomi pada
awal Ode Baru, maka pada masa berlakunya UU No. 5 tahun 1974 pembangunan menjadi isu
sentral dibanding dengan politik. Pada penerapanya, terasa seolah-olah telah terjadi proses

depolitisasi peran pemerintah daerah dan menggantikannya dengan peran pembangunan yang
menjadi isu nasional.
7. UU No. 22 tahun 1999
Pada masa ini terjadi lagi perubahan yang menjadikan pemerintah daerah sebagai titik
sentral dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan dengan mengedapankan
otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab.
8. UU No 32 Tahun 2004 yang diperbaharui oleh UU No 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua
atas UU No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
Pada periode ini yang masih berlaku, menggunakan asas otonomi dan tugas pembantuan
dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip NKRI sebagaimana dimaksud
dalam UUD RI Tahun 1945.
Pembagian Kewenangan Pusat dan Daerah
1. Kewenangan Daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan kecuali
kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan (yustisi), moneter
dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain.
2. Kewenangan bidang lain tersebut meliputi kebijakan tentang perencanaan nasional dan
pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem
administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber
daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang strategis,
konservasi, dan standardisasi nasional.
3. Kewenangan Pemerintahan yang diserahkan kepada Daerah dalam rangka desentralisasi harus
disertai dengan penyerahan dan pengalihan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya
manusia sesuai dengan kewenangan yang diserahkan tersebut.
4. Kewenangan Pemerintahan yang dilimpahkan kepada Gubernur dalam rangka dekonsentrasi
harus disertai dengan pembiayaan sesuai dengan kewenangan yang dilimpahkan tersebut.
5.

Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom mencakup kewenangan dalam bidang
pemerintahan yang bersifat lintas Kabupaten dan Kota, serta kewenangan dalam bidang
pemerintahan tertentu lainnya.

6. Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom termasuk juga kewenangan yang tidak atau
belum dapat dilaksanakan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota.
7. Kewenangan Propinsi mencakup kewenangan dalam bidang pemerintahan yang dilimpahkan
kepada Gubernur selaku wakil Pemerintah.
8.

Daerah berwenang mengelola sumber daya nasional yang tersedia di wilayahnya dan
bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan sesuai dengan peraturan perundangundangan. Kewenangan Daerah di wilayah laut meliputi:

· Eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut sebatas wilayah laut tersebut;
· Pengaturan administratif;
· Pengaturan tata ruang;
· Penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau yang dilimpahkan
kewenangannya oleh pemerintah; dan
· Bantuan penegakan keamanan dan kedaulatan negara.
9.

Kewenangan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota di wilayah laut adalah sejauh sepertiga dari
batas laut Daerah Propinsi. Pengaturan lebih lanjut mengenai batas laut diatur dengan Peraturan
Pemerintah.

10. Kewenangan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota mencakup semua kewenangan pemerintahan
selain kewenangan yang dikecualikan seperti kewenangan dalam bidang politik luar negeri,
pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain yang
mencakup kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional
secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga
perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, pendayagunaan
sumber daya alam serta teknologi tinggi yang strategis, konservasi, dan standarisasi nasional.
11. Kewenangan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota tidak mencakup kewenangan pemerintahan
yang menjadi kewenangan Daerah Propinsi. Bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh
Daerah Kabupaten dan Daerah Kota meliputi pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan
kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan
hidup, pertanahan, koperasi, dan tenaga kerja.
12.

Pemerintah dapat menugaskan kepada Daerah tugas-tugas tertentu dalam rangka tugas
pembantuan disertai pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia dengan

kewajiban melaporkan pelaksanaannya dan mempertanggungjawabkannya kepada Pemerintah.
Setiap penugasan ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan.
Proses Otonomi Daerah Di Indonesia
Otonomi Daerah di Indonesia dimulai dengan bergulirnya Undang-Undang (UU) Nomor
22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 25 Tahun 2005 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang secara praktis efektif
dilaksanakan sejak 1 Januari 2001. Diperbaharui lagi dengan UU No 32 Tahun 2004 yang
selanjutnya diperbaharui oleh UU No 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UU No 32
Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Otonomi Daerah menurut UU ini adalah kewenangan
daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut
prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Tahap ini merupakan fase pertama dari pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia. Fase
kedua Otonomi Daerah ditandai dengan adanya reformasi dalam kebijakan keuangan negara
melalui penetapan tiga peraturan di bidang keuangan negara. Ketiga peraturan tersebut adalah
UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara, dan UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan
Tanggung Jawab Keuangan Negara.
Telah lebih dari lima tahun reformasi sistem pemerintahan tersebut berjalan dengan
berbagai kendala yang mengiringinya serta pro dan kontra. Berbagai usaha pun dilakukan untuk
memperbaiki dan menyempurnakan sistem tersebut. Salah satu upaya tersebut adalah dengan
melakukan amandemen UU Otonomi Daerah. Proses ini merupakan awal dari fase ketiga dalam
proses Otonomi Daerah di Indonesia. UU Nomor 22 Tahun 1999 dan UU Nomor 25 Tahun 1999
masing-masing digantikan oleh UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan
UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintahan Daerah. Selanjutnya diperbaharui oleh UU No 12 Tahun 2008 tentang Perubahan
Kedua atas UU No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Otonomi Daerah menurut UU
ini adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundangundangan.
Filosofi Otonomi Daerah dijabarkan sebagai berikut (Suwandi, 2005):

1. Eksistensi Pemerintah Daerah adalah untuk menciptakan kesejahteraan secara demokratis
2. Setiap kewenangan yang diserahkan ke daerah harus mampu menciptakan kesejahteraan dan
demokrasi
3. Kesejahteraan dicapai melalui pelayanan publik
4. Pelayanan publik ada yang bersifat pelayanan dasar (basic services) dan ada yang bersifat
pengembangan sektor unggulan (core competence)
5. Core competence merupakan sintesis dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), tenaga
kerja dan pemanfaatan lahan

Konsep Kebijakan Fiskal Daerah
Desentralisasi tidak hanya terkait dengan model pemerintahan, namun juga menyangkut
paradigma ekonomi yang disebut desentralisasi ekonomi. Desentralisasi ekonomi mencakup
aktivitas dan tanggung jawab ekonomi yang diimplementasikan pada level daerah. Upaya
desentralisasi ekonomi antara lain liberalisasi, privatisasi, dan deregulasi.
Berkaitan dengan hal tersebut, desentralisasi fiskal menjadi komponen utama proses
desentralisasi di Indonesia. Menurut Pakpahan (2006), desentralisasi fiskal meliputi:
a. Pembiayaan mandiri (self financing) dan cost recovery dalam bidang pelayanan publik
b. Peningkatan PAD
c. Bagi hasil pajak dan bukan pajak secara lebih tepat
d. Transfer dana ke daerah, utamanya melalui Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi
Khusus (DAK) dengan lebih adil
e. Kewenangan daerah untuk melakukan pinjaman berdasarkan kebutuhan daerah Sebagai bagian
yang terintegrasi dan tidak dapat dipisahkan dengan kebijakan fiskal nasional, kebijakan fiskal
daerah juga harus mempertimbangkan prinsip-prinsip penganggaran. Terdapat dua pendekatan
yang dapat digunakan dalam penyiapan anggaran, yaitu hard budget constraint dan soft budget
constraint.
Berdasarkan pendekatan hard budget constraint, daerah terlebih dahulu mengidentifikasi
pendapatan (revenues) baru kemudian menentukan pengeluaran. Sebaliknya, berdasarkan soft
budget constraint, pengeluaran diestimasi lebih dahulu kemudian daerah mengusahakan
pendapatan untuk mendanai pengeluaran tersebut. Dalam pendekatan yang pertama, potensi

merupakan pertimbangan utama, sementara pada pendekatan kedua, kebutuhanlah yang menjadi
faktor dominan (Kadjatmiko, 2006). Untuk menciptakan kesinambungan fiskal daerah, maka
Kadjatmiko (2006) berpendapat bahwa pendekatan hard budget constraint lebih tepat untuk
digunakan.
Pada dasarnya, Otonomi Daerah memiliki tujuh elemen dasar (Suwandi, 2005). Elemen
tersebut adalah kewenangan, kelembagaan, personel, keuangan daerah, perwakilan, pelayanan
publik, dan pengawasan. Sarana untuk mewujudkan otonomi daerah adalah melalui good
governance, penerapan Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP), reformasi sistem pengelolaan
keuangan daerah dan penerapan Standar Pelayanan Minimal (SPM).

Perangkat Daerah
Perangkat daerah terbagi pada perangakat daerah provinsi dan perangkat daerah
kabupaten/kota. Perangkat daerah provinsi terdiri atas sekretaris daerah, sekretariat DPRD, dinas
daerah, dan lembaga teknis daerah. Perangkat daerah kabupaten/kota terdiri atas sekretariat
daerah, sekretariat DPRD, dinas daerah, lembaga teknis daerah, kecamatan, dan kelurahan.
Sekretariat daerah dipimpin oleh sekretaris daerah. Sekretaris daerah diangkat dari
pegawai negeri sipil yang memenuhi persyaratan. Sekretaris Daerah Provinsi diangkat dan
diberhentikan oleh Presiden atas usul Gubernur sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Sekretaris daerah Kabupaten/Kota diangkat dan diberhentikan oleh Gubernur atas usul
Bupati/Walikota sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sekretaris daerah karena
kedudukannya sebagai pembina pegawai negeri sipil di daerahnya.
Sekretariat DPRD dipimpin oleh sekretaris DPRD. Sekretaris DPRD Provinsi diangkat
dan diberhentikan oleh Gubernur dengan persetujuan DPRD Provinsi. Sekretaris DPRD
Kabupaten/Kota diangkat dan diberhentikan oleh Bupati/Walikota dengan persetujuan DPRD
Kabupaten/Kota.
Dinas Daerah merupakan unsur pelaksana otonomi daerah. Dinas daerah dipimpin oleh
kepala dinas yang diangkat dan diberhentikan oleh kepala daerah dari pegawai negeri sipil yang
memenuhi syarat atas usul sekretaris daerah.

Lembaga Teknis Daerah merupakan unsur pendukung tugas kepala daerah dalam
penyusunan dan pelaksanaan kebijakan daerah yang bersifat spesifik berbentuk badan, kantor,
atau rumah sakit umum daerah. Badan, kantor, atau rumah sakit umum daerah sebagaimana
dimaksud dipimpin oleh kepala badan, kepala kantor, atau kepala rumah sakit umum daerah yang
diangkat oleh kepala daerah dari pegawai negeri sipil yang memenuhi syarat atas usul sekretaris
daerah.
Kecamatan dibentuk di wilayah Kabupaten/Kota dengan PERDA Kabupaten/Kota yang
berpedoman pada peraturan pemerintah. Kecamatan dipimpin oleh seorang Camat yang dalam
pelaksanaan tugasnya memperoleh pelimpahan sebagian wewenang Bupati/Walikota atas usul
sekretaris daerah Kabupaten/Kota dari pegawai negeri sipil yang menguasai pengetahuan teknis
pemerintahan dan memenuhi persyaratan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Kelurahan dibentuk di wilayah kecamatan dengan PERDA Kabupaten/Kota yang
berpedoman pada Peraturan Pemerintah. Kelurahan dipimpin oleh seorang Lurah yang dalam
pelaksanaan tugasnya memperoleh pelimpahan dari Bupati/Walikota. Lurah diangkat oleh
Bupati/Walikota atas usul Camat dari pegawai negeri sipil yang menguasai pengetahuan teknis
pemerintahan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Kesimpulan
Seiring dengan kemajuan dalam berbagai bidang/sektor yang sudah menjamur di wilayah
khususnya Indonesia, baik itu dari sektor industri, pertanian, peternakan, perikanan, perkebunan
dan sebagainya, maka persaingan pun akan menjadi tantangan yang harus dihadapi oleh sebuah
wilayah untuk mewujudkan suatu daerah yang otonom.
Oleh karena itu ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam upaya-upaya yang akan
menjadi sasaran atau pedoman dalam peningkatan mutu dan sekaligus dapat berpengaruh
terhadap kelancaran suatu daerah yang otonom. Beberapa hal tersebut diantaranya yaitu:
1. Adanya dasar hukum yang menjadi landasan dalam mewujudkan suatu program otonomi daerah.
2. Tersedianya sumber daya manusia(SDM) yang berkualitas dan sumber daya alam(SDA) yang
memadai guna lancarnya otonomi tersebut.
3. Harus memperhatikan arah/sasaran dan tujuan yang akan dicapai.
4. Kehidupan berpolitik. Diantaranya yaitu:
· Demokrasi pancasila dan Partisipasi masyarakat

· Kehidupan konstitusional Baik :
a. Demokrasi
b. Hukum
c. Kepemimpinan nasional
d. Fungsi lembaga tinggi negara
e. Dan lembaga-lembaga tinggi negara
5. Hak dan kewajiban wewenang dan tanggung jawab sebagai warga negara Indonesia.
Perangkat daerah terbagi pada perangakat daerah provinsi dan perangkat daerah
kabupaten/kota. Perangkat daerah provinsi terdiri atas sekretaris daerah, sekretariat DPRD, dinas
daerah, dan lembaga teknis daerah. Perangkat daerah kabupaten/kota terdiri atas sekretariat
daerah, sekretariat DPRD, dinas daerah, lembaga teknis daerah, kecamatan, dan kelurahan.
DAFTAR PUSTAKA

Akbar, Rusdi, 2007, “Indikator Kinerja dengan Model Matriks Kinerja”, dipresentasikan dalam Pelatihan
Pengelolaan Keuangan Daerah, World Bank Institute, Penelitian dan Pengembangan Ekonomi
Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada (PPE-FEUGM), dan Politik Lokal dan Otonomi
Daerah (PLOD), Yogyakarta, 26-27 Januari.
Asian Development Bank, 2005, “Capacity Building to Support Decentralization in Indonesia”, Technical
Assistance Performance Evaluation Report.
Benu, Fredrik, 2006, “Anggaran Berbasis Kinerja”, dipresentasikan dalam Financial Management
Training in Indonesia, Balikpapan, Departemen Keuangan RI, Bundesministerium für
wirtschaftliche Zusammenarbeit und Entwicklung, GTZ, InWEnt, dan PPE-FE-UGM.
Campos, Jose Edgardo dan Joel S. Hellman, 2005, “Governance Gone Local: Does Decentalization
Improve Accountability?”, East Asia Decentralized, Bank Dunia, Washington D.C.
Departemen Keuangan RI, 2006, Penjelasan Umum tentang Standar Biaya Tahun 2007, Disampaikan
dalam Sosialisasi Standar Biaya Tahun 2007 kepada Unit Eselon I Kementerian/Lembaga,
Jakarta, 2 November.

Kadjatmiko, 2006, “Local Fiscal Policy”$2C Budget Performance: Capacity Building for Effective
Public

Finance,

Departemen

Keuangan

RI,

Bundesministerium

für

wirtschaftliche

Zusammenarbeit und Entwicklung, GTZ, InWEnt, dan PPE-FEUGM.
Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2002 tentang Pedoman Pengurusan,
Pertanggungjawaban, dan Pengawasan Keuangan Daerah serta Tata Cara Penyusunan APBD,
Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan APBD.
Kristiadi, J.B., 2006, “Preface”, Budget Performance: Capacity Building for Effective Public Finance,
Departemen Keuangan RI, Bundesministerium für wirtschaftliche Zusammenarbeit und
Entwicklung, GTZ, InWEnt, dan PPE-FEUGM.
Pakpahan, Arlen T., 2006, “Local Financial and Business Climate”, BudgetAccountability, Reporting, and
Auditing, Departemen Keuangan RI, Bundesministerium für wirtschaftliche Zusammenarbeit
und Entwicklung, GTZ, InWEnt, dan PPE-FE-UGM, 8-11 Mei 2006, Yogyakarta.
Penelitian dan Pengembangan Ekonomi Universitas Gadjah Mada, 2005, “Strengthening

Core Local Government Competencies”, Modul Pelatihan. and Provincial Economic
Development Training”, Modul Pelatihan.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 96/PMK. 02/2006 tentang Standar Biaya Tahun Anggaran 2007.
Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2004 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran
Kementerian/Lembaga.
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan
Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.
Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 tentang Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan
Minimal.
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-undang No 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UU No 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah.