MASA DEPAN OTONOMI DAERAH DAN KESEJAHTER

MASA DEPAN OTONOMI DAERAH DAN KESEJAHTERAAN RAKYAT
Potret buramnya hasil implementasi otonomi daerah dalam rentang waktu 13 tahun
terakhir dapat dicermati dengan cara mengkaji 8 (delapan) variabel elemen dasar
pemerintahan daerah, yang antara lain sebagai berikut :
Pertama, Tingkat Partisipasi masyarakat, masih mencirikan partisipasi semu,
salah satu cirinya adalah partisipasi politik masih didasari oleh politik uang (money
politik),
Kedua, konsep kesetaraan dalam proses pengambilan kebijakan publik, kesetaraan
dimuka hukum/peradilan masih lebih banyak berpihak pada penguasa,
Ketiga, konsep Rule of Law yang bermakna bahwa segala tindakan/kebijakan
pemerintah daerah harus sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Bila kebijakan
pemerintah bertentangan dengan hukum, maka siapa pun pihak yang merasa
dirugikan dapat melakukan gugatan ke pengadilan tata usaha negara.
Keempat adalah transparansi, yang harus dilakukan oleh semua institusi
pemerintahan, mulai dari proses perencanaan kebijakan hingga evaluasi hasil
kebijakan. Tetapi hal umum yang terjadi dalam praktek di lapangan ternyata para
aparat pemerintah/birokrat sangat resisten apabila ada pihak luar meminta datadata terkait dengan pengelolaan keuangan daerah dan itu bertentangan dengan
Undang-undang tentang Informasi Publik.
Kelima konsep legalitas dan legitimasi, maksudnya bahwa segala tindakan dan
kebijakan pemerintah harus legal, ada/memiliki dasar hukum yang jelas dan pasti,
kemudian legitimit artinya memperoleh dukungan dari masyarakat selaku pemilik

kedaulatan. Praktek yang terjadi justru banyak tindakan/kebijakan pemerintah
daerah yang dikatakan sebagai sebuah diskresi, namun akibat kebijakan itu
menguntungkan penguasa lokal (kepala daerah), yang kerap akhirnya harus
berujung di penjaranya para oknum kepala daerah setelah mereka habis masa
jabatannya.
Keenam adalah kepemimpinan dan inovasi, Secara umum sangat sulit
memunculkan sosok kepala daerah yang handal, baik dan benar, yang disebabkan
kuatnya hegemoni partai poltik, sistem manajemen pengkaderan parpol kerap
resisten terhadap tokoh luar parpol. Kondisi itu akhirnya mengakibatkan tidak
berjalannya reformasi birokrasi lokal, akhirnya kemajuan daerah sulit digapai.
Ketujuh yaitu relationship, mengandung makna upaya mewujudkan hubungan
koordinasi yang baik antar institusi pemerintah di daerah. Tetapi 13 tahun
berjalannya reformasi justru banyak menunjukkan konflik kebijakan antar instansi

pemerintah, bisa dilihat dengan berbagai kasus kerusuhan massa di daerah-daerah,
akibat penentangan kebijakan pemerintah oleh masyarakat.
Kedelapan, limit eksploitasi yaitu batas mengekspolitasi sumber daya alam di
daerah. Kenyataan yang terjadi banyak kepala daerah yang getol
mempropagandakan investasi, mencari/mengundang investor lalu mengkavlingkavling lahan pertanian produktif untuk kepentingan investasi itu sendiri.
Ilustrasi singkat kedelapan element dasar pemerintahan daerah yang terjadi di

Indonesia di atas menunjukkan bahwa implementasi otonomi daerah belum banyak
memberikan manfaat untuk kesejahteraan rakyat, masih banyak menyisakan
masalah untuk diperbaiki lagi.
Tuntutan-tuntutan reformasi mesti bisa dipenuhi, terutama penegakan hukum,
melakukan reformasi bidang hukum (di ketiga pilar hukum), secepatnya
melakukan perubahan manajemen pengkaderan partai politik, menyempurnakan
kembali undang-undang politik dan pemilu, dengan lebih mengarahkan pada
upaya menekan terjadinya politik uang.
Selanjutnya secara konsisten dan sungguh-sungguh pemerintah pusat dan daerah
harus mampu melaksanakan kedelapan element pemerintahan daerah tersebut di
atas dengan tepat, sehingga bisa melakukan percepatan pencapaian kesejahteraan
rakyat, namun jika hal-hal itu tidak juga dilakukan maka kesejahteraan rakyat di
daerah hanya angan-angat semata