DIMENSI NON SAKRAL DALAM HAJI SAKRALISAS

DIMENSI NON SAKRAL DALAM HAJI : SAKRALISASI DAN
PROFANISASI
Bunga Mar’atush Shalihah
S2 Agama dan Lintas Budaya Minat Ekonomi Islam
Sekolah Pascasarjana
Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta
2014
ABSTRAK
Sebagai rukun Islam kelima, haji menjadi suatu tujuan ibadah yang sangat
didambakan oleh umat Muslim yang telah memiliki kecukupan materi dan waktu.
Kewajiban ini membuat pelakunya rela menabung bertahun-tahun untuk memenuhi
panggilan Allah Subhanahuwata’ala yang dilaksanakan setiap bulan Zulhidjah. Nilai
spiritual ibadah ini sangat tinggi yang mengandung hal-hal Yang Sakral dan juga Yang
Profan yang ternyata terdapat proses sakralisasi Yang Profan serta proses profanisasi
Yang Sakral. Oleh karena itu, penulis bermaksud untuk mencari tahu apa saja yang
mengalami sakralisasi dan profanisasi ini. Setelah melakukan wawancara dan telaah
literature penulis mendapatkan hasil bahwa sakralisasi Yang Profan ini juga dipengaruhi
oleh mitos-mitos yang ada di masyarakat serta tradisi kebiasaan yang sering dilakukan
yang jika tidak dievaluasi akan mengarah kepada syirik dan pemborosan.
Kata kunci : Haji, Sakral, Profan


PENDAHULUAN
Haji adalah rukun Islam kelima yang merupakan kewajiban ibadah yang harus
dilakukan umat Islam yang telah mampu dengan mengunjungi Ka’bah pada bulan
haji(Zulhidjjah) dan mengerjakan amalan haji seperti Ihram, Thawaf, Sa’I dan Wukuf di
Arafah (Kamus Besar Bahasa Indonesia Online: http://www.kbbi.web.id/haji).
Berdasarkan pengertian haji dalam KBBI tersebut, maka jika orang yang telah mampu
baik secara finansial maupun spiritual maka wajib untuk melaksanakan ibadah haji ini.
1

Sebagaimana firman Allah dalam surah Al Haaj ayat 27-28 yang artinya:
“dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan
datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang
datang dari segenap penjuru yang jauh,[٢٧] supaya mereka menyaksikan
berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada
hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Allah berikan kepada mereka berupa
hewan ternak. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi)
berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir[٢٨]Kemudian
hendaklah mereka membersihkan badan mereka, dan hendaklah mereka
membayar nadir mereka, dan hendaklah mereka melakukan tawaf di rumah tua

itu[٢٩]”

Jika kita dapat memahami ayat di atas maka benarlah pengertian haji menurut KBBI
bahwa bagi mereka yang mampu maka disegerakan menunaikan haji karena rezeki itu
telah diatur oleh Allah SWT bagi setiap-setiap umat-Nya walaupun sebagian harta kita
telah disedekahkan bagi orang yang sengsara dan fakir tetapi yakinlah bahwa jika niat
baik akan dipermudah oleh Allah SWT.
Dalam ibadah haji, terdapat rukun-rukun wajib yang harus dilaksanakan agar
haji yang dijalani dapat dikatakan sah. Rukun-rukun tersebut adalah ihram, thawaf, sa’I
dan wukuf. Ihram adalah rukun yang mewajibkan kita untuk memakai dua lembar kain
putih tanpa jahitan(bagi perempuan diperbolehkan memakai pakaian yang dijahit) yang
memiliki makna bahwa itu merupakan pakaian terakhir kita nanti di Padang Mahsyar
1 Al Quran. QS Al Hajj : 27-29

yang serupa dengan kain kafan ketika kita akan dikuburkan sewaktu meninggal nanti.
Selain itu 2tujuan berihram juga mengajarkan kesetaraan dan kesederhanaan, karena
setiap manusia yang datang untuk berhaji berkedudukan sama tanpa memandang
jabatan, harta, kekuatannya selama di tempat masing-masing. Lalu thawaf yaitu
aktivitas mengelilingi Ka’bah sebanyak tujuh kali sambil memanjatkan doa kepada
Allah Subhanahuwata’ala. Sa’I yaitu berlari-lari kecil antara Sofa dan Marwa yang

menggambarkan bagaimana Siti Hajar, istri dari Nabi Ibrahim Alaihissalam berlari-lari
kecil untuk mencarikan air minum untuk Nabi Ismail Alaihissalam, anak susuannya
yang sewaktu itu masih bayi dengan kondisi dirinya yang juga tidak memiliki air susu
dan kehausan. Rukun yang terakhir adalah Wukuf di Arafah yang merupakan padang
tandus yang luas. Wukuf dapat diartikan juga berdiam diri(sementara) yang digunakan
untuk beribadah semampu dan semau kita, berdoa dan bermunajat kepada Allah
Subhanahuwata’ala yang nantinya akan memperlihatkan perjalanan akhir kita yang
nanti akan dikumpulkan di Padang Mahsyar.
Namun ibadah haji ini tidak dapat lepas dari ritual- ritual lain yang dilakukan
selain dari rukun haji yang telah dijelaskan sebelumnya. Ritual-ritual ini antara lain
berkunjung ke Jabal Rahmah atau bisa diartikan sebagai Bukit Kasih Sayang karena di
situlah Nabi Adam Alaihissalam dan Hawa, istrinya, bertemu pertama kali setelah diusir
dari surga oleh Allah Subhanahuwata’ala karena telah termakan hasutan syaitan yang
menyuruh mencicipi buat Khuldi. Selain itu ada pula kunjungan ke Gua Hira, tempat
Nabi Muhammad Salallahu’alaihiwassalam pertama kali mendapat wahyu dan masih
banyak tempat-tempat lain yang biasanya didatangi oleh orang-orang yang menunaikan
ibadah haji. Namun apakah tempat-tempat tersebut memang memiliki makna spiritual
yang tinggi ataukah hanya sebagai tujuan untuk mengetahui sejarah dari tempat-tempat
2 Ulya. Ritus Dalam Keberagamaan Islam: Relevansi Ritus Dalam Kehidupan Masa Kini.


tersebut? Adakah perubahan konteks akan suatu yang sakral menjadi sesuatu yang
profan dan sebaliknya?
Pengertian Yang Sakral dan Yang Profan
Agar lebih mudah memahami apa itu sakral dan profan, penelaahan definisi
dapat dilakukan. 3Menurut Eliade dalam Pals (2001) kita hidup berada dalam dua
wilayah yang terpisah yaitu Yang Sakral dan Yang Profan. Yang Sakral adalah wilayah
yang supranatural, sesuatu yang ektraordinasi, tidak mudah dilupakan dan teramat
penting. Sedangkan Yang Profan adalah bidang kehidupan sehari-hari, yaitu hal-hal
yang dilakukan secara teratur, acak, dan sebenarnya tidak terlalu penting. 4Durkheim
dalam Pals (2001) mengartikan bahwa Yang Sakral merupakan masalah sosial yang
berkaitan dengan individu dan Yang Profan adalah sebaliknya, yaitu segala sesuatu yang
hanya berkaitan dengan urusan-urusan individu.
Jika merujuk pada pengertian di atas apabila dikaitkan dengan ibadah haji yang
sakral, maka akan ditemukan adanya elemen non sakral atau profan yang dapat
menunjukkan hubungan akan proses sakralisasi yang profan dan profanisasi yang
sakral. Untuk mencari tahu apakah proses tersebut memang benar terjadi di ruang
lingkup haji, maka saya melakukan wawancara dengan beberapa responden yang
memiliki kriteria yang berbeda. Kriteria-kriteria responden tersebut adalah:
1. Responden yang telah melaksanakan ibadah haji hanya satu kali
2. Responden yang telah melaksanakan ibadah haji dengan menggunakan jasa

ONH(Ongkos Naik Haji) Plus

3 Daniel L. Pals. Dekonstruksi Kebenaran Kritik Tujuh Teori Agama. Hal 259
4 Daniel L. Pals. Dekonstruksi Kebenaran Kritik Tujuh Teori Agama. Hal 260

3. Responden yang melaksanakan ibadah haji lebih dari satu kali dan bertindak sebagai
pembimbing haji
4. Responden yang melaksanakan ibadah haji lebih dari satu kali pada saat berusia
muda
5. Responden yang melaksanakan ibadah haji hanya satu kali pada saat berusia muda
Dari kriteria-kriteria tersebut, diperoleh enam responden yang bersedia
diwawancarai dan dijadikan sumber penelitian selain dari sumber yang berasal dari
literatur seperti buku-buku dan artikel serta jurnal.
Sakralisasi Yang Profan
Dalam haji selain menunaikan ibadah terselip juga kegiatan lain seperti
berbelanja dan berkunjung ke tempat-tempat yang dianggap sakral seperti makammakam sahabat Rasulullah, Gua Hira, Jabbal Magnet dan tempat lainnya dengan tujuan
yang bermacam-macam. Seringkali di dalam perjalanannya secara tidak disadari asumsi
yang sakral akan bercampur dengan yang profan dan tidak jarang yang profan pun akan
mendapat label sakral tersebut. Proses sakralisasi yang profan dan profanisasi yang
sakral ini tidak lepas dari benda-benda yang berhubungan dengan ibadah haji ini.

Benda-benda tersebut yang hanya merupakan simbol bahwa seseorang telah pulang dari
tanah suci terkadang malah dijadikan suatu benda yang memiliki makna spiritual dan
supranatural.
Berdasarkan responden yang telah diwawancarai rata-rata memang membeli
benda atau oleh-oleh ciri khas dari haji seperti kurma, tasbih, air zam zam, aksesoris dan
sebagainya yang memang dibawa dan dibeli dari tanah suci. Tujuan awal mereka
membeli hanyalah sebagai motivasi bagi orang-orang yang menerima oleh-oleh itu
untuk datang langsung ke tanah suci dan melaksanakan ibadah haji di sana. Tetapi

adanya proses sakralisasi yang profan dari benda-benda tersebut yang dapat diketahui
dari perlakuan mereka terhadap benda yang diperoleh seperti ketika seseorang yang
pulang dari menunaikan haji akan mengadakan pengajian atau penyambutan sepulang
dari haji dan membagikan oleh-oleh atau souvenir dari tanah suci. Terkadang oleh-oleh
tersebut akan bermakna lain bagi penerima, apakah misalnya souvenir tersebut berupa
tasbih yang kemudian akan disimpan di bawah bantal untuk mengingatkan bahwa tasbih
tersebut berasal dari mekkah yang tidak jarang membuat orang tersebut bermimpi
berangkat menuju ke sana. Contoh lain adalah jika seseorang minta dibawakan batu
kerikil yang digunakan untuk melempar jumrah dan kemudian kerikil tersebut akan
dimasukkan ke dalam kain lalu dibawa-bawa untuk dijadikan jimat. 5Bahkan adapula
fenomena memotong dan membeli kain hitam penutup ka’bah atau kisywah yang lalu

dijadikan ajimat yang menyertai kemanapun pergi. Fenomena ini menurut Su’ud (2003)
sebagai mitos yang menuju ke syara’ atau syirik karena benda-benda tersebut diyakini
memiliki kekuatan. 6Eliade dalam Pals (2001) pun juga menuliskan bahwa dalam
waktu-waktu tertentu, hal Yang Profan bisa berubah menjadi Yang Sakral, yang apabila
seorang manusia meyakini akan hal itu.
Proses sakralisasi ini menunjukkan bahwa masyarakat masih percaya dengan
adanya mitos-mitos yang muncul di sekitar kehidupan baik itu merupakan sekedar
pengingat bahwa jika melakukan sesuatu akan berbalik kepada dirinya ataupun malah
dijadikan panduan dalam melakukan kegiatan sehari-hari. Mitos dalam haji pun akan
muncul jika para jamaah haji yang berangkat menunaikan ibadah haji tersebut meyakini
akan keberadaan mitos tersebut. 7Dalam bukunya Su’ud (2003) menjelaskan mitosmitos yang muncul adalah keyakinan yang berkembang pada masyarakat yang berkaitan
5 Abu Su’ud. Haji : Antara Syara’ dan Mitos. Hal. 22
6 Daniel L. Pals. Dekonstruksi Kebenaran Kritik Tujuh Teori Agama. Hal 269
7 Abu Su’ud. Haji : Antara Syara’ dan Mitos. Hal. 27

dengan berbagai aspek dalam hidup mereka, yang disetarakan dengan keyakinan agama.
Yang pertama adalah mitos mengenai panggilan untuk melaksanakan haji. Panggilan ini
menandakan

bahwa


pergi

haji

bergantung

pada

faktor

‘panggilan’ Allah

Subhanahuwata’ala kepada seseorang. Jika orang tersebut merasa telah terpanggil maka
semestinya dia akan berangkat haji dalam waktu dekat, yang disertai dengan niat dan
syarat yang telah terpenuhi. Tetapi apabila belum ada panggilan meskipun telah ada
niat, waktu, maupun materi untuk pergi haji maka orang itu pasti tidak akan pergi haji.
Sebagaimana keterangan dari salah satu responden yaitu Bapak H. Samsubar Saleh,
yang telah diwawancarai mengenai niat dan syarat haji yang telah beliau penuhi namun
tidak jadi berangkat haji.

“Saya tahun 2001 sudah mendaftar haji plus namun sendiri tidak bersama istri.
Uang untuk ONH Plus sudah akan dibayar, namun tiba-tiba mendapat berita kalau
adik saya masuk rumah sakit dan koma. Saya pikir ada apa ini? Akhirnya saya
urungkan dan uang tersebut digunakan untuk membantu biaya adik saya selama di
rumah sakit. Namun atas kuasa Allah tahun depan saya mendapat rejeki dan bisa
berangkat haji bersama istri saya.” (Wawancara : Responden H. Samsubar Saleh,
4 Desember 2014)
Melihat kutipan wawancara tersebut, responden merasa bahwa ada sesuatu yang seperti
menghalangi niatnya untuk menunaikan ibadah haji pada tahun 2001 tersebut, tetapi
ternyata panggilan Allah itu datang tidak terlalu lama bahkan hanya berselang satu
tahun dan beliau mendaftar haji bersama istri dengan segala kemudahannya.
8

Mitos kedua adalah bahwa haji dikaitkan dengan gejala keleweh atau kualat.

Kualat ini diartikan bahwa setiap perbuatan kita selama di tempat asal akan mendapat
balasan selama kita berada di tanah suci atau dapat dikatakan akan tercermin selama
kita haji. Misalnya jika seseorang itu selama di tempat dia berasal sering marah-marah
kepada orang lain, maka ketika dia haji akan dimarahi oleh orang lain atau sekedar
ditegur. Mitos ini banyak yang diyakini oleh orang-orang yang pergi haji sehingga tidak

8 Abu Su’ud. Haji : Antara Syara’ dan Mitos. Hal. 28

jarang banyak yang menunda untuk melaksanakan Rukun Islam kelima ini dengan
alasan takut akan mendapat kualat di sana.
Profanisasi Yang Sakral
Profanisasi akan Yang Sakral juga terjadi meskipun tidak seberagam akan proses
sakralisasi benda-benda profan yang berhubungan dengan haji. Belakangan sedang
muncul tren baru yaitu selfie haji atau berfoto di depan ka’bah ketika sedang thawaf
ataupun sholat di sana. Sewajarnya ibadah yang memiliki nilai spiritual yang tinggi
tidak akan disamakan dengan kegiatan berwisata seperti berfoto sehingga akan
menggerus kekhusyukan dalam beribadah dan berdoa. Selain itu, ber-selfie tersebut
akan mengganggu kelancaran orang lain yang ingin beribadah apabila dilakukan dengan
beramai-ramai. Kegiatan ini sempat mendapat kritik di media massa online, bahkan
beberapa ulama pun mengkritik jamaah haji yang melakukan selfie saat berhaji.
Sebagaimana Meilikhah (2014) menuliskan untuk situs berita metrotvnews.com
mengenai demam selfie yang mulai tampak pada jamaah haji di tahun 2014 ini.
Meilikhah yang melaporkan berita dari Jeddah juga menuliskan bahwa 9cendikiawan
muslim setempat menyatakan keprihatinan dan selfie tersebut membuat orang hanya
fokus untuk mengambil foto, bukan untuk beribadah. Kebiasaan berfoto ini mungkin
akan dianggap biasa jika kita bertamasya ke tempat-tempat wisata, namun jika sudah

menyangkut tempat ibadah maka bukankah kegiatan ibadah itu akan memiliki posisi
yang sama dengan tempat wisata biasa? Lagipula jika menunjukkan foto tersebut di
media sosial dan mempostingnya maka akan terhitung riya’ karena tidak semua orang
bisa datang dan berkunjung ke tanah suci itu. Walaupun mendapat kritikan dari

9 Meilikhah. 2014. Demam Selfie Saat Berhaji Dikritik Ulama.

beberapa ulama, ternyata masih banyak orang yang ber-selfie di depan ka’bah dan
tempat suci lainnya di Mekkah dan Madinah.
Haji bagi masyarakat Indonesia pasti tidak terlepas dari adanya pengajian
sebelum pergi dan setelah pulang dari haji, namun terkadang pelaksanaan pengajian ini
telah kehilangan esensi spiritualnya. Seringkali memang pengajian diadakan untuk
mendoakan orang yang akan berangkat ke tanah suci agar selama di perjalanan
diberikan kesehatan dan kelancaran untuk menjalankan ibadah haji. Selanjutnya akan
ada kata sambutan dari yang akan pergi haji yang biasanya berisi permintaan maaf dan
memohon doa restu. Su’ud (2003) menyatakan bahwa 10timbul kesan kuat seolah-olah
perjalanan ibadah haji merupakan suatu perjalanan yang menantang bahaya maut.
Kebiasaan ini malahan menjadikan orang yang akan berangkat haji seolah-olah akan
ada yang kurang ibadahnya jika tidak menyelenggarakan pengajian, yang bisa
dipastikan akan memakan banyak biaya. Bahkan di daerah Pamekasan, Madura,
terdapat tradisi untuk melakukan pengajian ini sebelum jamah haji berangkat, ketika
sedang di tanah suci, dan setelah jamaah haji pulang kembali ke kampung halaman yang
dapat diperkirakan dana yang terpakai bisa sampai dua kali lipat dari ongkos naik haji
itu sendiri. Hal ini dikarenakan selama mengadakan pengajian tersebut para tamu yang
datang dan ikut mendoakan akan diberi suguhan seperti kue dan minuman
(Taufiqurrahman, 2013). Tradisi ini banyak terjadi di Pamekasan, Madura, dan menjadi
suatu keharusan untuk mengadakan pengajian untuk mendoakan jamaah haji tersebut.

Kesimpulan

10 Abu Su’ud. Haji : Antara Syara’ dan Mitos. Hal. 32

Tidak sulit untuk melihat proses sakralisasi Yang Profan dan profanisasi Yang
Sakral jika yang akan dilihat dari haji sebagai ibadah wajib bagi yang mampu
melaksanakannya. Sakralisasi ini dapat ditemukan di beberapa kegiatan orang yang
melakukan haji baik itu seperti membawa pulang batu kerikil untuk jumrah, membeli
oleh-oleh yang kemudian dibagikan kepada tetangga, bahkan memotong kain kisywah
sebagai penutup ka’bah. Tetapi sebaiknya sakralisasi benda-benda profan ini tidak
menjadi jalan untuk menuju kesyirikan karena menganggap benda-benda tersebut
sebagai ajimat untuk melindungi diri dari malapetaka dapat dikategorikan sebagai
syirik. Bukankah syirik merupakan dosa yang paling besar dan dilarang oleh Allah
Subhanahuwata’ala? Selain itu profanisasi Yang Sakral malahan lebih sering dilakukan
tanpa disadari seperti mengambil foto di depan ka’bah atau tempat-tempat suci lainnya
di Mekkah dan Madinah. Tradisi ini memang terkesan biasa namun jika mendalami
hakikatnya haji merupakan ibadah personal yang dilakukan untuk melengkapi Rukun
Islam yang seharusnya tidak tercampur oleh kegiatan lain yang dapat merusak makna
dari ibadah ini. Tren selfie haji pun mendapat kritik dari ulama yang ada di sana karena
dirasakan telah menjamur dan dapat mengganggu kekhusyukan ibadah orang lain dan
dapat dianggap sebagai prilaku riya’ karena seolah-olah memamerkan bahwa pernah
pergi haji yang terlihat seperti sedang liburan. Mengadakan pengajian untuk mendoakan
yang akan pergi haji sebelum maupun sesudah pulang dari tanah suci juga harus
diperhitungkan, agar tidak sampai menjadikan yang mengadakan pengajian harus
berhutang karena melaksanakan kegiatan tersebut selama berhari-hari yang jika ditelaah
akan memakan biaya yang banyak. Bahkan biaya untuk menyelenggarakan tradisi
pengajian itu bisa sampai dua kali lipat dari ongkos naik haji itu sendiri. Oleh karena
itu, sebelum berangkat haji diharapkan niat yang ada harus benar-benar kuat disamping

juga harus mendalami ilmu-ilmu agama yang mumpuni serta mengikuti panduan haji
dengan benar agar tidak mengikuti tradisi yang tidak baik tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Meilikhah.
2014.
Demam
Selfie
Saat
Berhaji
Dikritik
Ulama.
http://m.metrotvnews/read/2014/10/05/300913/demam-selfie-saat-berhajidikritik-ulama. (diakses 21 Desember 2014).
Pals, Daniel L. 2001. Dekonstruksi Kebenaran : Kritik Tujuh Teori Agama. IRCiSoD :
Yogyakarta.
Su’ud, Abu. 2003. Haji. Antara Syara’ dan Mitos. Aneka Ilmu : Semarang.
Taufiqurrahman. 2013. Inilah Tradisi Warga Madura Sebelum dan Sesudah Berhaji.
http://regional.kompas.com/read/2013/09/27/1602356/Inilah.Tradisi.Warga.Mad
ura.Sebelum.dan.Sesudah.Berhaji (diakses Kamis, 11 Desember 2014).
Ulya. 2013. Ritus Dalam Keberagamaan Islam: Relevansi Ritus Dalam Kehidupan
Masa Kini. Jurnal Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013. (diakses 17 Desember
2014).
http://www.kbbi.web.id/haji (diakses 17 Desember 2014)