HUBUNGAN POLA PEMBERIAN ASI DENGAN FREKUENSI KEJADIAN DIARE DAN ISPA PADA ANAK
HUBUNGAN POLA PEMBERIAN ASI DENGAN FREKUENSI
KEJADIAN DIARE DAN ISPA PADA ANAK
Diyah Arini1
Abstract: Breastfeeding is food and beverages that foremost for babies. Foods
addition besides breastfeeding at earlier ages can increase morbidity. Children who
drink ASI rarely get diarrhea than those who drink formula milk. This study aims
at identifying the relations between breast feeding patterns with the frequency of
diarrhea occurance and ARI in children aged 6-12 months in Balong Panggang
Gresik Health center.
The design applied in this study was Analytical observational carried out through
cross-sectional design. The population is a group of mothers having children aged
6-12 months. The sample included 153 mothers selected by probability sampling
approach to Stratified random sampling. Questionnaire was accepted as the
research instrument. Data were analyzed using multiple logistic regression tests.
The study found that the pattern of breastfeeding in children aged 6-12 months was
36.6% partial. With confidence level α = 0.05, the study showed the frequency of
diarrhea occurance associated to the breastfeeding pattern (p = 0.006), birth weight
(p = 0.003), and the solid foods provision in < 6 months children (p = 0.008). It
also found a significant relations between ARI occurance frequency of breastfeeding pattern (p = 0.000), giving MPASI in 6 bulan. Sedangkan variabel
pemberian MPASI < 6 bulan pada anak
dengan kejadian diare yang jarang
menunjukkan p=0,013 dengan OR
23,332 artinya frekuensi kejadian diare
sering pada anak dengan pemberian
MPASI < 6 bulan sebesar 23 kali lebih
tinggi dibandingkan dengan pemberian
MPASI > 6 bulan.
62
e. Hubungan Pola Pemberian ASI
dengan Frekuensi Kejadian ISPA pada
anak usia 6-12 bulan di wilayah
Puskesmas Balong Panggang Gresik
Varia
bel
Depe
nden
Freku
ensi
Kejad
ian
ISPA
Jenis
variabel
p
value
Prevalenc
e resiko
0.998
3x1010
0,000
0.997
15
0,000
8
0,000
95% C.I
Batas
bawah
Batas atas
1). Pola
pemberian
ASI
Non ASI
Parsial
4x10
Sering
Predominan
0.998
Eksklusive(re
ference)
2). Pola
pemberian
ASI
2x10
-
Jarang
Non ASI
Parsial
Predominan
Sering
.
267,640
267,640
0,097
1x108
0,000
0,002
314,969
8,741
11349,907
Eksklusive(re
ference)
1). MPASI <
6 bulan
-
Ya
Tidak
(reference)
2). MPASI<
6 bulan
0.000
2x1011
2612229
575
1,105x1013
Ya
Tidak
(reference)
1) Status
imunisasi
.
5x1010
4853814
0052
48538140052
Ya
Tidak
(reference)
2) Status
imunisasi
0,059
473,998
0,801
280565,514
Ya
Tidak
(reference)
0,028
1085,769
2,163
545114,096
Jarang
Sering
267,640
Jarang
Tabel di atas dapat disimpulkan
ada tiga variabel berhubungan dengan
frekuensi kejadian ISPA yaitu pola
pemberian ASI pada frekuensi kejadian
ISPA yang jarang sebagai variabel
bebas dan pemberian MPASI < usia 6
bulan serta status imunisasi anak.
Pada anak yang tidak diberi ASI
akan mengalami serangan ISPA dengan
frekuensi jarang sebesar 267 kali lebih
tinggi dibandingkan dengan pada anak
Hubungan Pola Pemberian ASI Dengan Frekuensi Kejadian Diare Dan ISPA Pada Anak 6-12 Bulan
(Diyah Arini)
yang diberi ASI secara eksklusif. Pada
anak yang
diberi ASI secara
predominan maka frekuensi kejadian
diare jarang beresiko 314 kali lebih
tinggi dibandingkan dengan pola
pemberian ASI secara eksklusif pada
anak.
Frekuensi kejadian ISPA sering
pada anak dengan pemberian MPASI <
6 bulan sebesar 2x1011 kali lebih tinggi
dibandingkan
dengan
pemberian
MPASI > 6 bulan.
Frekuensi kejadian ISPA yang
sering pada anak dengan status
imunisasi tidak lengkap beresiko
473,998 kali dibandingkan dengan
status
imunisasi
yang
lengkap.
Sedangkan frekuensi kejadian ISPA
yang jarang pada anak dengan status
imunisasi tidak lengkap beresiko 1085
kali lebih tinggi dibandingkan dengan
status imunisasi yang lengkap.
Pembahasan
1.Pengaruh
perbedaan
pola
pemberian ASI dengan frekuensi
kejadian diare
Frekuensi kejadian diare yang sering
lebih banyak terjadi pada anak yang
tidak diberikan ASI 87%. Anak tidak
akan menerima imunoglobulin yang
utama pada ASI seperti SIgA sehingga
bayi tidak dapat dilindungi dari
mikroorganisme patogen yang berasal
dari sekitarnya. Anak yang tidak diberi
ASI tidak akan mendapatkan enzim
yang berfungsi membantu pencernaan
bayi dimana fungsi pankreas masih
belum sempurna, sebagai pengangkut
logam-logam (Fe, Mg, Zn dan Se) dan
berfungsi sebagai anti infeksi. Selain itu
anak
tidak akan mendapatkan
karbohidrat utama dari ASI seperti
laktosa yang oleh fermentasi akan
dirubah menjadi asam laktat dimana ini
akan memberikan suasana asam
didalam usus bayi. Sehinggan anak
yang tidak diberi ASI akan mudah
mengalami pertumbuhan balteri yang
patologis
didalam
usus
bayi.
Sedangkan anak yang diberi ASI secara
parsial mengalami diare dengan
frekuensi jarang sebesar13 kali lebih
tinggi dibandingkan anak yang diberi
ASI secara eksklusif. Menyusui secara
parsial adalah menyusui bayi serta
diberikan makanan buatan selain ASI,
baik susu formula, bubur atau makanan
lain sebelum bayi berumur enam bulan
baik diberikan secara kontinyu maupun
diberikan sebagai makanan prelakteal.
Pemberian makanan pendamping ASI
yang
terlalu
dini
juga
akan
meningkatkan angka kematian pada
bayi.
Hal tersebut diperjelas lagi oleh
Kristiyanasari (2009), bahwa pada bayi
baru lahir sistem IgE belum sempurna.
Pemberian
susu
formula
akan
merangsang aktivasi sistem ini dan
dapat menimbulkan alergi. ASI tidak
menimbulkan efek ini. Pemberian
protein asing yang ditunda sampai umur
6 bulan akan mengurangi kemungkinan
alergi.
Peneliti berasumsi
pola
pemberian ASI secara parsial sebagian
besar diberikan oleh ibu di wilayah
puskesmas Balongpanggang Gresik
dikarenakan bahwa tingkat pendidikan
orang tua sangat mempengaruhi dalam
pencegahan penyakit diare pada anak,
ini terbukti dengan tingkat pendidikan
orang tua bayi pada penelitian yang
tidak mengalami diare adalah tingkatan
tinggi (50%) yaitu SMA dan PT.
Namun budaya masyarakat sangat
mempengaruhi dalam pola pemberian
ASI pada anaknya dimana didapatkan
anak yang berusia satu bulan sudah
diberi pisang atau nasi lembek sebagai
tambahan ASI, selain itu ibu yang
masih tinggal bersama dengan orang tua
dimana ada kecenderungan anak
mengikuti pola asuh dari ibu yang telah
63
Jurnal Ilmiah Keperawatan STIKES Hang Tuah Surabaya Volume 3 Nomer 2/April 2012
memberikan makanan selain ASI
sebelum anak berusia < 6 bulan.
Hasil penelitian menunjukkan anak
yang diberi ASI eksklusif
hampir
sepenuhnya tidak diare. Menurut
Soetjiningsih (1997), ASI mengandung
bermacam-macam enzim. Banyak dari
enzim-enzim ini dapat melewati
lambung, karena mempunyai struktur
tersier yang hidrofobik dan ASI
merupakan buffer yang bagus yang
dapat meningkatkan pH menjadi 5,56,0. Hal ini diperkuat dengan pendapat
Kodrat (2010), bahwa bayi yang diberi
susu eksklusif dari si ibu selama 6 bulan
pertama kelahirannya jarang sekali yang
mengalami alergi pada kulit atau infeksi
karena
bakteri.
ASI
telah
diformulasikan khusus untuk bayi.
Dalam ASI ada efek laksatif yang
menyebabkan bayi tidak sembelit dan
jarang diare. ASI mengurangi resiko
sakit perut. Cairan pada ASI akan
menghancurkan
dan
menghambat
pertumbuhan mikroorganisme yang
berbahaya. Anak yang tetap diberikan
ASI, mempunyai volume tinja lebih
sedikit, frekuensi diare lebih sedikit,
serta lebih cepat sembuh dibanding
anak yang tidak mendapat ASI.
2.Pengaruh
perbedaan
pola
pemberian ASI dengan frekuensi
kejadian ISPA
Frekuensi kejadian ISPA yang
sering lebih banyak terjadi pada anak
yang tidak diberikan ASI 84,4%, dan
secara parsial 87,5 %
dan pola
pemberian ASI secara predominan
sebagian besar mengalami ISPA dengan
frekuensi jarang 82,1% sementara yang
tidak mengalami kejadian ISPA terjadi
pada anak dengan pola pemberian ASI
secara eksklusif 94,6%. Anak yang
tidak diberikan ASI
mengalami
frekuensi kejadian ISPA sering 3 x 109
lebih tinggi dibandingkan pada anak
64
yangdiberi ASI secara eksklusif namun
tidak ada hubungan antara pola
pemberian ASI secara eksklusif dengan
frekuensi kejadian ISPA yang sering
pada naak usia 6-12 bulan. Terdapat
banyak faktor yang mempengaruhi
kejadian ISPA pada anak, hal ini
berhubungan dengan penjamu, agent
penyakit dan lingkungan. Salah satunya
adalah polusi udara, hal ini berkaitan
dngan konsentrasi polutan lingkungan
yang dapat mengiritasi mukosa saluran
respiratori. Anak yang tinggal di dalam
rumah berventilasi baik memiliki angka
insidens ISPA yang lebih rendah dari
pada anak yang berada didalam rumah
yang berventilasi buruk. Orang tua yang
perokok menyebabkan anaknya rentan
terhadap pneumonia. Anak yang tidak
diberi ASI mengalami ISPA dengan
frekuensi jarang sebesar 267,640 kali lebih
tinggi dibandingkan pada anak dengan
pemberian ASI secara eksklusif. Sementara
Kramer et al. (2003) menyatakan bahwa
efek perlindungan ASI terhadap penyakit
gastrointetinal dan infeksi pernapasan akan
meningkat seiring dengan eksklusif
tidaknya pemberian ASI yang dilakukan.
Anak yang diberi ASI secara
parsial mengalami ISPA dengan frekuensi
sering sebesar 4x1015
lebih tinggi
dibandingkan dengan pemberian ASI secara
eksklusi sedangkan anak yang diberi ASI
secara parsial mengalami ISPA yang jarang
sebesar 1x108 lebih tinggi dibandingkan
dengan pemberian ASI secara eksklusif.
Penggunaan susu formula dan serta
MPASI, dan jarang memberikan ASI ini
membuat anak lebih rentan terhadap resiko
penyakit, malnutrisi dan kematian lebih
tinggi. Masih banyak faktor yang
mempegaruhi kejadian ISPA diantaranya
berat badan lahir bayi, pengetahuan ibu
yang dikaitkan dengan tingkat pendidikan
ibu, jumlah balita, pemberian makanan
pendamping ASI yang terlalu dini, gizi ibu,
sosial ekonomi, status imunisasi anak dan
lingkungan. Bayi dengan berat badan lahir
rendah
(BBLR)
menunjukkan
kecenderungan
untuk
lebih
rentan
menderita penyakit infeksi dibanding
Hubungan Pola Pemberian ASI Dengan Frekuensi Kejadian Diare Dan ISPA Pada Anak 6-12 Bulan
(Diyah Arini)
dengan bayi dengan berat badan lahir
normal (BBLN). Bayi dengan berat badan
lahir rendah biasanya terlahir sebelum
waktunya (prematur). Bayi yang terlahir
prematur baik secara fisik maupun
fisiologis belum terbentuk secara sempurna,
khususnya organ vital paru-paru.
Anak yang diberi ASI secara
predominan mengalami ISPA dengan
frekuensi sering sebesar 2x108 lebih
tinggi dibandingkan dengan anak yang
diberi kan ASI secara eksklusif.
Sedangkan Anak yang diberi ASI secara
predominan mengalami diare dengan
frekuensi jarang sebesar 314 lebih
tinggi dibandingkan dengan anak yang
diberi kan ASI secara eksklusif. Ginjal
bayi
belum matang atau belum
berkembang secara sempurna. Ginjal
bayi tidak mempu mengelurkan air
dengan cepat sehingga menyebabkan
timbunan air dalam tubuh yang dapat
membahayakan
bayi.
Kelebihan
pemberian air putih dapat melarutkan
natrium (sodium) dalam darah dan akan
dikeluarkan oileh tubuh sehingga dapat
mempengaruhi
aktivitas
otak.
Kebutuhan bayi akan air putih
sebenarnya sudah terpenuhi waktu
minum ASI karena sebagian besar
bahannya adalah air. Selain itu air putih
dengan mudah membuat perut bayi
menjadi penuh sehingga bayi tidak mau
diberikan ASI. Dampak lainnya adalah
bayi mengalami intoksikasi air atau
keracunan air dengan gejala awal adalah
iritabilitas (bayi merengek-rengek),
mengantuk dan mengalami perubahan
mental lainnya. Gejala lainnya adalah
menurunnya suhu tubuh, edema atau
bengkak di sekitar wajah dan kejang.
Selain itu apabila air yang dikonsumsi
tercemar maka anak mudah sekali
mengalami infeksi pernapasan dan
pencernaan.
Anak yang diberi ASI secara
eksklusif oleh ibunya sebagian besar 94,6
% tidak pernah mengalami serangan ISPA.
Hal ini bisa disebabkan zat-zat kekebalan
tubuh di dalam ASI memberikan
perlindungan langsung melawan serangan
penyakit. Sifat lain dari ASI yang juga
memberikan
perlindungan
dengan
penyediaan lingkungan yang ramah bagi
bakteri yang menguntungkan dimana
bakteri tersebut dapat menghambat
perkembangan bakteri, virus dan parasit
yang berbahaya.
Simpulan Dan Saran
Frekuensi kejadian diare dan
ISPA pada anak 6-12 bulan semakin
sering terjadi pada anak yang tidak
diberikan ASI, pemberian ASI secara
parsial ataupun secara predominan. Ibu
dapat melakanakan manajemen laktasi
dan bagi sesama Ibu Menyusui saling
berbagi
pengalaman,
bertukar
informasi, memberi semangat dan
dukungan seputar kegiatan menyusui
dan pemberian ASI, agar ASI Eksklusif
berhasil diberikan kepada bayi selama 6
bulan pertama, dan ASI diteruskan
hingga anak berusia 2 tahun atau lebih,
tidak kalah pentingnya adalah peran
dari pemerintah
agar senantiasa
mensosialisasikan keunggulan ASI
kepada
masyarakat
Serta
mensosialisasikan UU Kesehatan yang
terkait dengan pemberian ASI yang
didukung juga dengan Peraturan
Pemerintah serta bentuk sanksi yang
akan diberikan.
DAFTAR PUSTAKA
Akib Arwin. Zakiudin. Nia. (2010)
Alergi-Imunologi Anak. Edisi 2.
Jakarta. Badan Penerbit IDAI. hlm
189-203
American Academy Of Pediatrics (2005)
Breastheeding and Human Mile
Pediatrics. Vol. 115. hlm 496-506
Arifeen. S. Black. R.E. Sntelman. G. Baqui.
A. Caulfield. L. et al (2001) Exclusive
breastfeeding reduces acute respiratory
infection and diarrhea deaths among
65
Jurnal Ilmiah Keperawatan STIKES Hang Tuah Surabaya Volume 3 Nomer 2/April 2012
infants in Dhaka dilums Pediatrics,
vol.108. hlm 1 – 8.
Hawes, H & Christine S. (1993)
Children for Health British : British
Library Cataloguing-in publication
data.
Khasanah, Nur. (2011). Panduan
Lengkap Seputar ASI dan Susu
Formula. Jogjakarta. FlashBooks.
Kodrat, Laksono. (2010). Dahsyatnya
ASI dan Laktasi. Cetakan ke-1.
Yogyakarta ; Media Baca, hlm 2-49
Kristiyanasari. (2009). ASI, Menyusui,
dan
Sadari.
Cetakan
ke-1.
Yogyakarta ; Nuha Medika.
Pramono, D. (1997) Besar sampel
dalam
penelitian
kesehatan
Yogyakarta : Gadjah Mada
University Press. Edisi terjemahaan
dari : Lemeshow, S., Hosmer,
D.W., Klar, J., Lwanga. (1990)
Adequacy of sample size in health
studies. WHO : john Willey &
Sons.
Suraatmaja. (2007). Kapita Selekta
Gastroenterologi Anak. CV. Sagung
Seto. Hal 1-15
Soetjiningsih. (1997). ASI Petunjuk
untuk Tenaga Kesehatan. Cetakan
ke-1. Jakarta ; EGC, hlm20-75.
1
66
Dosen Program Studi Ilmu Keperawatan
STIKES Hang Tuah Surabaya
KEJADIAN DIARE DAN ISPA PADA ANAK
Diyah Arini1
Abstract: Breastfeeding is food and beverages that foremost for babies. Foods
addition besides breastfeeding at earlier ages can increase morbidity. Children who
drink ASI rarely get diarrhea than those who drink formula milk. This study aims
at identifying the relations between breast feeding patterns with the frequency of
diarrhea occurance and ARI in children aged 6-12 months in Balong Panggang
Gresik Health center.
The design applied in this study was Analytical observational carried out through
cross-sectional design. The population is a group of mothers having children aged
6-12 months. The sample included 153 mothers selected by probability sampling
approach to Stratified random sampling. Questionnaire was accepted as the
research instrument. Data were analyzed using multiple logistic regression tests.
The study found that the pattern of breastfeeding in children aged 6-12 months was
36.6% partial. With confidence level α = 0.05, the study showed the frequency of
diarrhea occurance associated to the breastfeeding pattern (p = 0.006), birth weight
(p = 0.003), and the solid foods provision in < 6 months children (p = 0.008). It
also found a significant relations between ARI occurance frequency of breastfeeding pattern (p = 0.000), giving MPASI in 6 bulan. Sedangkan variabel
pemberian MPASI < 6 bulan pada anak
dengan kejadian diare yang jarang
menunjukkan p=0,013 dengan OR
23,332 artinya frekuensi kejadian diare
sering pada anak dengan pemberian
MPASI < 6 bulan sebesar 23 kali lebih
tinggi dibandingkan dengan pemberian
MPASI > 6 bulan.
62
e. Hubungan Pola Pemberian ASI
dengan Frekuensi Kejadian ISPA pada
anak usia 6-12 bulan di wilayah
Puskesmas Balong Panggang Gresik
Varia
bel
Depe
nden
Freku
ensi
Kejad
ian
ISPA
Jenis
variabel
p
value
Prevalenc
e resiko
0.998
3x1010
0,000
0.997
15
0,000
8
0,000
95% C.I
Batas
bawah
Batas atas
1). Pola
pemberian
ASI
Non ASI
Parsial
4x10
Sering
Predominan
0.998
Eksklusive(re
ference)
2). Pola
pemberian
ASI
2x10
-
Jarang
Non ASI
Parsial
Predominan
Sering
.
267,640
267,640
0,097
1x108
0,000
0,002
314,969
8,741
11349,907
Eksklusive(re
ference)
1). MPASI <
6 bulan
-
Ya
Tidak
(reference)
2). MPASI<
6 bulan
0.000
2x1011
2612229
575
1,105x1013
Ya
Tidak
(reference)
1) Status
imunisasi
.
5x1010
4853814
0052
48538140052
Ya
Tidak
(reference)
2) Status
imunisasi
0,059
473,998
0,801
280565,514
Ya
Tidak
(reference)
0,028
1085,769
2,163
545114,096
Jarang
Sering
267,640
Jarang
Tabel di atas dapat disimpulkan
ada tiga variabel berhubungan dengan
frekuensi kejadian ISPA yaitu pola
pemberian ASI pada frekuensi kejadian
ISPA yang jarang sebagai variabel
bebas dan pemberian MPASI < usia 6
bulan serta status imunisasi anak.
Pada anak yang tidak diberi ASI
akan mengalami serangan ISPA dengan
frekuensi jarang sebesar 267 kali lebih
tinggi dibandingkan dengan pada anak
Hubungan Pola Pemberian ASI Dengan Frekuensi Kejadian Diare Dan ISPA Pada Anak 6-12 Bulan
(Diyah Arini)
yang diberi ASI secara eksklusif. Pada
anak yang
diberi ASI secara
predominan maka frekuensi kejadian
diare jarang beresiko 314 kali lebih
tinggi dibandingkan dengan pola
pemberian ASI secara eksklusif pada
anak.
Frekuensi kejadian ISPA sering
pada anak dengan pemberian MPASI <
6 bulan sebesar 2x1011 kali lebih tinggi
dibandingkan
dengan
pemberian
MPASI > 6 bulan.
Frekuensi kejadian ISPA yang
sering pada anak dengan status
imunisasi tidak lengkap beresiko
473,998 kali dibandingkan dengan
status
imunisasi
yang
lengkap.
Sedangkan frekuensi kejadian ISPA
yang jarang pada anak dengan status
imunisasi tidak lengkap beresiko 1085
kali lebih tinggi dibandingkan dengan
status imunisasi yang lengkap.
Pembahasan
1.Pengaruh
perbedaan
pola
pemberian ASI dengan frekuensi
kejadian diare
Frekuensi kejadian diare yang sering
lebih banyak terjadi pada anak yang
tidak diberikan ASI 87%. Anak tidak
akan menerima imunoglobulin yang
utama pada ASI seperti SIgA sehingga
bayi tidak dapat dilindungi dari
mikroorganisme patogen yang berasal
dari sekitarnya. Anak yang tidak diberi
ASI tidak akan mendapatkan enzim
yang berfungsi membantu pencernaan
bayi dimana fungsi pankreas masih
belum sempurna, sebagai pengangkut
logam-logam (Fe, Mg, Zn dan Se) dan
berfungsi sebagai anti infeksi. Selain itu
anak
tidak akan mendapatkan
karbohidrat utama dari ASI seperti
laktosa yang oleh fermentasi akan
dirubah menjadi asam laktat dimana ini
akan memberikan suasana asam
didalam usus bayi. Sehinggan anak
yang tidak diberi ASI akan mudah
mengalami pertumbuhan balteri yang
patologis
didalam
usus
bayi.
Sedangkan anak yang diberi ASI secara
parsial mengalami diare dengan
frekuensi jarang sebesar13 kali lebih
tinggi dibandingkan anak yang diberi
ASI secara eksklusif. Menyusui secara
parsial adalah menyusui bayi serta
diberikan makanan buatan selain ASI,
baik susu formula, bubur atau makanan
lain sebelum bayi berumur enam bulan
baik diberikan secara kontinyu maupun
diberikan sebagai makanan prelakteal.
Pemberian makanan pendamping ASI
yang
terlalu
dini
juga
akan
meningkatkan angka kematian pada
bayi.
Hal tersebut diperjelas lagi oleh
Kristiyanasari (2009), bahwa pada bayi
baru lahir sistem IgE belum sempurna.
Pemberian
susu
formula
akan
merangsang aktivasi sistem ini dan
dapat menimbulkan alergi. ASI tidak
menimbulkan efek ini. Pemberian
protein asing yang ditunda sampai umur
6 bulan akan mengurangi kemungkinan
alergi.
Peneliti berasumsi
pola
pemberian ASI secara parsial sebagian
besar diberikan oleh ibu di wilayah
puskesmas Balongpanggang Gresik
dikarenakan bahwa tingkat pendidikan
orang tua sangat mempengaruhi dalam
pencegahan penyakit diare pada anak,
ini terbukti dengan tingkat pendidikan
orang tua bayi pada penelitian yang
tidak mengalami diare adalah tingkatan
tinggi (50%) yaitu SMA dan PT.
Namun budaya masyarakat sangat
mempengaruhi dalam pola pemberian
ASI pada anaknya dimana didapatkan
anak yang berusia satu bulan sudah
diberi pisang atau nasi lembek sebagai
tambahan ASI, selain itu ibu yang
masih tinggal bersama dengan orang tua
dimana ada kecenderungan anak
mengikuti pola asuh dari ibu yang telah
63
Jurnal Ilmiah Keperawatan STIKES Hang Tuah Surabaya Volume 3 Nomer 2/April 2012
memberikan makanan selain ASI
sebelum anak berusia < 6 bulan.
Hasil penelitian menunjukkan anak
yang diberi ASI eksklusif
hampir
sepenuhnya tidak diare. Menurut
Soetjiningsih (1997), ASI mengandung
bermacam-macam enzim. Banyak dari
enzim-enzim ini dapat melewati
lambung, karena mempunyai struktur
tersier yang hidrofobik dan ASI
merupakan buffer yang bagus yang
dapat meningkatkan pH menjadi 5,56,0. Hal ini diperkuat dengan pendapat
Kodrat (2010), bahwa bayi yang diberi
susu eksklusif dari si ibu selama 6 bulan
pertama kelahirannya jarang sekali yang
mengalami alergi pada kulit atau infeksi
karena
bakteri.
ASI
telah
diformulasikan khusus untuk bayi.
Dalam ASI ada efek laksatif yang
menyebabkan bayi tidak sembelit dan
jarang diare. ASI mengurangi resiko
sakit perut. Cairan pada ASI akan
menghancurkan
dan
menghambat
pertumbuhan mikroorganisme yang
berbahaya. Anak yang tetap diberikan
ASI, mempunyai volume tinja lebih
sedikit, frekuensi diare lebih sedikit,
serta lebih cepat sembuh dibanding
anak yang tidak mendapat ASI.
2.Pengaruh
perbedaan
pola
pemberian ASI dengan frekuensi
kejadian ISPA
Frekuensi kejadian ISPA yang
sering lebih banyak terjadi pada anak
yang tidak diberikan ASI 84,4%, dan
secara parsial 87,5 %
dan pola
pemberian ASI secara predominan
sebagian besar mengalami ISPA dengan
frekuensi jarang 82,1% sementara yang
tidak mengalami kejadian ISPA terjadi
pada anak dengan pola pemberian ASI
secara eksklusif 94,6%. Anak yang
tidak diberikan ASI
mengalami
frekuensi kejadian ISPA sering 3 x 109
lebih tinggi dibandingkan pada anak
64
yangdiberi ASI secara eksklusif namun
tidak ada hubungan antara pola
pemberian ASI secara eksklusif dengan
frekuensi kejadian ISPA yang sering
pada naak usia 6-12 bulan. Terdapat
banyak faktor yang mempengaruhi
kejadian ISPA pada anak, hal ini
berhubungan dengan penjamu, agent
penyakit dan lingkungan. Salah satunya
adalah polusi udara, hal ini berkaitan
dngan konsentrasi polutan lingkungan
yang dapat mengiritasi mukosa saluran
respiratori. Anak yang tinggal di dalam
rumah berventilasi baik memiliki angka
insidens ISPA yang lebih rendah dari
pada anak yang berada didalam rumah
yang berventilasi buruk. Orang tua yang
perokok menyebabkan anaknya rentan
terhadap pneumonia. Anak yang tidak
diberi ASI mengalami ISPA dengan
frekuensi jarang sebesar 267,640 kali lebih
tinggi dibandingkan pada anak dengan
pemberian ASI secara eksklusif. Sementara
Kramer et al. (2003) menyatakan bahwa
efek perlindungan ASI terhadap penyakit
gastrointetinal dan infeksi pernapasan akan
meningkat seiring dengan eksklusif
tidaknya pemberian ASI yang dilakukan.
Anak yang diberi ASI secara
parsial mengalami ISPA dengan frekuensi
sering sebesar 4x1015
lebih tinggi
dibandingkan dengan pemberian ASI secara
eksklusi sedangkan anak yang diberi ASI
secara parsial mengalami ISPA yang jarang
sebesar 1x108 lebih tinggi dibandingkan
dengan pemberian ASI secara eksklusif.
Penggunaan susu formula dan serta
MPASI, dan jarang memberikan ASI ini
membuat anak lebih rentan terhadap resiko
penyakit, malnutrisi dan kematian lebih
tinggi. Masih banyak faktor yang
mempegaruhi kejadian ISPA diantaranya
berat badan lahir bayi, pengetahuan ibu
yang dikaitkan dengan tingkat pendidikan
ibu, jumlah balita, pemberian makanan
pendamping ASI yang terlalu dini, gizi ibu,
sosial ekonomi, status imunisasi anak dan
lingkungan. Bayi dengan berat badan lahir
rendah
(BBLR)
menunjukkan
kecenderungan
untuk
lebih
rentan
menderita penyakit infeksi dibanding
Hubungan Pola Pemberian ASI Dengan Frekuensi Kejadian Diare Dan ISPA Pada Anak 6-12 Bulan
(Diyah Arini)
dengan bayi dengan berat badan lahir
normal (BBLN). Bayi dengan berat badan
lahir rendah biasanya terlahir sebelum
waktunya (prematur). Bayi yang terlahir
prematur baik secara fisik maupun
fisiologis belum terbentuk secara sempurna,
khususnya organ vital paru-paru.
Anak yang diberi ASI secara
predominan mengalami ISPA dengan
frekuensi sering sebesar 2x108 lebih
tinggi dibandingkan dengan anak yang
diberi kan ASI secara eksklusif.
Sedangkan Anak yang diberi ASI secara
predominan mengalami diare dengan
frekuensi jarang sebesar 314 lebih
tinggi dibandingkan dengan anak yang
diberi kan ASI secara eksklusif. Ginjal
bayi
belum matang atau belum
berkembang secara sempurna. Ginjal
bayi tidak mempu mengelurkan air
dengan cepat sehingga menyebabkan
timbunan air dalam tubuh yang dapat
membahayakan
bayi.
Kelebihan
pemberian air putih dapat melarutkan
natrium (sodium) dalam darah dan akan
dikeluarkan oileh tubuh sehingga dapat
mempengaruhi
aktivitas
otak.
Kebutuhan bayi akan air putih
sebenarnya sudah terpenuhi waktu
minum ASI karena sebagian besar
bahannya adalah air. Selain itu air putih
dengan mudah membuat perut bayi
menjadi penuh sehingga bayi tidak mau
diberikan ASI. Dampak lainnya adalah
bayi mengalami intoksikasi air atau
keracunan air dengan gejala awal adalah
iritabilitas (bayi merengek-rengek),
mengantuk dan mengalami perubahan
mental lainnya. Gejala lainnya adalah
menurunnya suhu tubuh, edema atau
bengkak di sekitar wajah dan kejang.
Selain itu apabila air yang dikonsumsi
tercemar maka anak mudah sekali
mengalami infeksi pernapasan dan
pencernaan.
Anak yang diberi ASI secara
eksklusif oleh ibunya sebagian besar 94,6
% tidak pernah mengalami serangan ISPA.
Hal ini bisa disebabkan zat-zat kekebalan
tubuh di dalam ASI memberikan
perlindungan langsung melawan serangan
penyakit. Sifat lain dari ASI yang juga
memberikan
perlindungan
dengan
penyediaan lingkungan yang ramah bagi
bakteri yang menguntungkan dimana
bakteri tersebut dapat menghambat
perkembangan bakteri, virus dan parasit
yang berbahaya.
Simpulan Dan Saran
Frekuensi kejadian diare dan
ISPA pada anak 6-12 bulan semakin
sering terjadi pada anak yang tidak
diberikan ASI, pemberian ASI secara
parsial ataupun secara predominan. Ibu
dapat melakanakan manajemen laktasi
dan bagi sesama Ibu Menyusui saling
berbagi
pengalaman,
bertukar
informasi, memberi semangat dan
dukungan seputar kegiatan menyusui
dan pemberian ASI, agar ASI Eksklusif
berhasil diberikan kepada bayi selama 6
bulan pertama, dan ASI diteruskan
hingga anak berusia 2 tahun atau lebih,
tidak kalah pentingnya adalah peran
dari pemerintah
agar senantiasa
mensosialisasikan keunggulan ASI
kepada
masyarakat
Serta
mensosialisasikan UU Kesehatan yang
terkait dengan pemberian ASI yang
didukung juga dengan Peraturan
Pemerintah serta bentuk sanksi yang
akan diberikan.
DAFTAR PUSTAKA
Akib Arwin. Zakiudin. Nia. (2010)
Alergi-Imunologi Anak. Edisi 2.
Jakarta. Badan Penerbit IDAI. hlm
189-203
American Academy Of Pediatrics (2005)
Breastheeding and Human Mile
Pediatrics. Vol. 115. hlm 496-506
Arifeen. S. Black. R.E. Sntelman. G. Baqui.
A. Caulfield. L. et al (2001) Exclusive
breastfeeding reduces acute respiratory
infection and diarrhea deaths among
65
Jurnal Ilmiah Keperawatan STIKES Hang Tuah Surabaya Volume 3 Nomer 2/April 2012
infants in Dhaka dilums Pediatrics,
vol.108. hlm 1 – 8.
Hawes, H & Christine S. (1993)
Children for Health British : British
Library Cataloguing-in publication
data.
Khasanah, Nur. (2011). Panduan
Lengkap Seputar ASI dan Susu
Formula. Jogjakarta. FlashBooks.
Kodrat, Laksono. (2010). Dahsyatnya
ASI dan Laktasi. Cetakan ke-1.
Yogyakarta ; Media Baca, hlm 2-49
Kristiyanasari. (2009). ASI, Menyusui,
dan
Sadari.
Cetakan
ke-1.
Yogyakarta ; Nuha Medika.
Pramono, D. (1997) Besar sampel
dalam
penelitian
kesehatan
Yogyakarta : Gadjah Mada
University Press. Edisi terjemahaan
dari : Lemeshow, S., Hosmer,
D.W., Klar, J., Lwanga. (1990)
Adequacy of sample size in health
studies. WHO : john Willey &
Sons.
Suraatmaja. (2007). Kapita Selekta
Gastroenterologi Anak. CV. Sagung
Seto. Hal 1-15
Soetjiningsih. (1997). ASI Petunjuk
untuk Tenaga Kesehatan. Cetakan
ke-1. Jakarta ; EGC, hlm20-75.
1
66
Dosen Program Studi Ilmu Keperawatan
STIKES Hang Tuah Surabaya