STUDI ISLAM INTERDISIPLINER DI ERA DISRU (1)

STUDI ISLAM INTERDISIPLINER DI ERA DISRUPSI DAN
MILENNIAL
Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pendekatan dan Metodologi Studi
Islam Dosen Pengampu: Prof. Dr. Zakiyuddin Baidhawy, M.Ag.

ALVI NIRAWATI
12020170016

PROGRAM PASCASARJANA
MAGISTER PENDIDIKAN MADRASAH IBTIDAIYAH
INSTITUT AGAMA ISAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
TAHUN 2018

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam kini sedang menjadi fenomena universal di dunia ini. ini
memunculkan satu pertanyaan lain, yakni apakah fungsi universitas
diharapkan dapat menyediakan kebutuhan-kebutuhan bagi komunitaskomunitas minoritas untuk memahami keimanan mereka di dalam
identitas local yang melekat dan konteks multikulturalnya. Jika kebutuhan
semacam ini tidak dicapai secara mapan, akankah ia membuka pintu luas

bagi ekstremisme untuk menawarkan jasanya yang mematikan? Salah satu
isu yang muncul dalam perbincangan mengenai Islam di kampus adalah
bahwa Islamic Studies merupakan suatu wilayah kontestasi sebagian
karena Islam itu sendiri adalah sesuatu yang dikontestasikan. Persoalan ini
membawa pada pertanyaan: adakah suatu wilayah, apa pun namanya, yang
dipikirkan oleh akal manusia yang tidak dikontestasi? Nilai keimanan atau
kebudayaan apa pun berangkat dari komitmen para pemeluknya. Untuk
mencapai masyarakat multicultural yang homogen, ada suatu kebutuhan
untuk menerapkan metodologi serupa pada semua keimanan. Dengan kata
lain, definisi tentang iman merupakan fenomena sosial yang berhubungan
dengan bagaimana keimanan itu sendiri melihat dirinya.1
Islam sebagai ajaran menjadi topik yang menarik untuk dikaji, baik
oleh kalangan intelektual muslim sendiri maupun sarjana-sarjana Barat,
mulai tradisi orientalis sampai dengan Islamolog (ahli pengkaji
keislaman). Dalam hal tersebut menjadikan beberapa orang atau kalangan
tertarik untuk membahasa Islam. Selain dengan Islam, dalam ranah ilmu
pengetahuan juga mempunyai daya tarik tersendiri bagi beberapa kalangan
1

Zakiyuddin Baidhawy, Studi Islam Pendekatan dan Metode, (Yogyakarta: PT

Pustaka Insan Madani, 2011), 5.

intelektual muda maupun tua, baik Muslim maupun non muslim. Sehingga
dijadikan suatu pembahasan yang menarik untuk dikaji hingga tuntas.
Islam juga merupakan bagian dari sebuah kajian keislaman dengan
wilayah

telaah

materi

ajaran

agama

dan

fenomena

kehidupan


bersama.Secara teoritis Islam adalah agama yang ajaran-ajarannya di
wahyukan

Tuhan

kepada

manusia

melalui

Muhammad

sebagai

Rosul.Islam pada hakikatnya membawa ajaran yang bukan hanya
mengenai satu segi,tetapi mengenai berbagai segi dari kehidupan
manusia,Sumber-sumber ajaran islam yang merupakan bagian pilar
penting kajian islam dan paradigma keislaman tidak keluar dari sumber

asli,yaitu al-quran dan hadits,Dengan demikian,studi islam tidak hanya
bermuara pada wacana pemikiran,tetapi juga praksis kehidupan yang
berlandaskan pada perilaku baik dan benar dalam kehidupan.
Persentuhan Islam dengan dinamika kehidupan masyarakat dalam
berbagai lapisan dan dinamikanya serta gerak progresif perubahan zaman
telah membawa Islam untuk dan dipaksa terlibat dengan berbagai isu
kontemporer dinamika kehidupan, yang sangat boleh jadi, tidak terjadi dan
karenanya tidak dikenal pada masyarakat sebelumnya.2
Dalam pembahasan ini akan menjelaskan tentang Studi Islam yaitu
suatu bidang ilmu yang selalu mengikuti perkembangan zaman. Seperti
Studi Islam Interdisipliner di Era Disrupsi dan Milenneal, dan akan
dijelaskan bagaimana Studi Islam Interdisipliner di era tersebut. Dengan
demikian, Studi Islam Interdisipliner akan menjawab tentang bagaimana
problem-problem di era tersebut yang muncul.

2

Edi Susanto,Dimensi Studi Islam Kontemporer , (Jakarta: Prenadamedia Group,
2016), hal 135


B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Studi Islam Interdisipliner di Era Disrupsi ?
2. Bagaimana Studi Islam Interdisipliner di Era Milennial ?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui Studi Islam Interdisipliner di Era Disrupsi.
2. Untuk mengetahui Studi Islam Interdisipliner di EraMilennial.

BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian dan Metodologi Studi Islam
a. Metodologi Studi Islam: Dimensi Keilmuan dan Keagamaan
Masalah utama yang menopang definisi Islmic Studies
tampaknya muncul dari metodologi bagaimana Islam dikaji dan
kemudian bagaimana diajarkan. Di Negara-negara Barat umumnya,
kajian tentang Islam mengikuti metodologi Barat, ini bertentangan
dengan kajian Islam di dalam suatu lingkungan yang tidak
mengkontensasi agama tersebut.
1) Kritik atas Metodologi Barat
Kritik akademisi Muslim atas metodologi Barat muncul baik
dalam bentuk kritik seimbang maupun kritik radikal. Pendektan

intelektual

Barat

terhadap

pengetahuan

dan

pembelajaran

ditegakkan di atas hukum pertentangan antara dua hal yang
bersebrangan yang bertabrakan dengan filsafat Islam tentang
kehidupan yang berdasarkan pada apa yang disebut teori fusi dua
hal yang bersebrangan. Suatu teori yang juga disebut sebagai teori
wasathiyyah (teori jalan tengah). Teori ini didasarkan atas AlQur’an surat al-Baqarah (2): 143 yang berbicara tentang “ummah
wasath” yang mampu merekonsiliasi dua hal yang bertentangan
dengan tujuan untuk meraih harmoni sosial.
Pandangan dunia Islam berbeda dari pendekatan Barat terhadap

pengetahuan ilmiah. Faruqi (1995) memaparkan bahwa ilmu-ilmu
sosial memperoleh posisi mandiri di unbiversitas-universitas satu
abad yang lalu, padahal akal yang telah membawa pada penemuan
dan keberhasilan kembali pada dua abad lebih; pembentukan
metodologi skeptic kembali pada revolusi Prancis yang berusaha
melawan kendali gereja. Kemenangan metodologi skeptic telah

memberikan

otoritas

yang

memperkenankannya

menolak

metodologi alternatif, bahkan metodologi ilmu-ilmu alam yang
tergantung pada apa yang dapat dilihat dan dirasakan.
2) Pendekatan Apologetik Insider

Pendekatan lain yang muncul dalam persoalan metodologi kajian
keislaman ialah pendekatan apologetik. Bila sains modern
berdasarkan atas dunia fisik dan pedoman objektif, Islam tidak
berusaha membatasi pemikiran manusia atau mencegah kajian
ilmiah mandiri. Islam sebagai keimanan memiliki sedikit reservasi
dalam memandang fakta-fakta ilmiah yang abstrak dan itulah yang
memotivasi perluasan metodologi eksperimen yang dikembangkan
dalam lingkungan Islam sebelum ditransfer ke Barat.
3) Kritik Radikal atas Metodologi Barat
Dalam bahasan ini menarik untuk mencatat komentarkomentar yang sering muncul dari kalangan fundamentalis Islam
mengenai metodologi Barat. Komentar-komentar mereka sering
mempertanyakan secara radikal: apakah para mahasiswa atau
pengkaji di universitas-universitas Barat mampu memenuhi
tantangan untuk mengintegrasikan keilmuan Islam dan setia
dengan prinsip-prinsip yang diterima secara mapan dalam ilmuilmu keislaman.
4) Kritik Metodologi dari Dalam (from within)
Identitas Islam kontemporer, baik pada tingkat individu
maupun kolektif, mengalami kekurangan intelektual dan prikologis
yang parallel dengan kemampuannya untuk bertindak dan
melakukan. Dua kekurangan ini banyak dipengaruhi oleh

pendekatan metodologis dalam mengkombinasikan teori praktik.
2. Studi Islam Interdisipliner di Era Disrupsi.

Kata Studi Islam secara Etimologi (bahasa) merupakan gabungan dari
duakata yaitu Studi dan Islam.Dan kata studi sendiri memiliki banyak
makna,diantaranya Studi berasal dari bahasa Inggris yaitu Study, yang berarti
mempelajari atau mengkaji. Dan menurut Lester Crow dan Alice
Crowmenyebutkan bahwa studi adalah kegiatan yang secara sengaja
diusahakandengan

maksud

untuk

memperoleh

keterangan,

mencapai


pemahaman yang lebih besar atau meningkatkan suatu keterampilan.
Kemudian menurut Muhammad Hatta Studi adalah mempelajari sesuatu untuk
mengertikedudukan masalahnya, mencari pengetahuan tentang sesuatu
dalamhubungan sebab akibatnya, ditinjau dari jurusan tertentu dan dengan
metode tertentu pula. Sedangkan Islam berasal dari bahasa Arab, yaitu kata
salimadan

aslama.Salima

mengandung

arti

selamat,

tunduk,

dan

berserah.Sedangkan aslama juga mengandung arti kepatuhan, ketundukan,

danberserah. Yang disebut dengan muslim adalah orang yang tunduk, patuh,
danberserah diri sepenuhnya kepada ajaran Islam dan akan selamat dunia dan
akhirat.3
Secara ekstern (outsider) atau dalam pengalaman dunia Barat, “Studi
Islam” (Islamic Studies) merupakan salah satu studi yang mendapatkan
perhatian luas dikalangan ilmuan Barat dan Timur. Khususnya mereka
yang menjadikan Islam sebagai wacana kajian ilmiah (keilmuan), sehingga
mereka dikenal sebagai islamolog atau islamisis. Jika ditelusuri lebih jauh,
maka diketahui bahwa minat terhadap Studi Islam sudah mulai marak
sejak pertengahan kedua abad ke-19.4Studi Islam telah dijadikan sebagai

3

Khoiriyah, Memahami Metodologi Studi Islam (Suatu Konsep tentang Seluk
Beluk Pemahaman Ajaran Islam Studi Islam dan Isu-isu Kontemporer dalam Studi
Islam), Yogyakarta: Teras, 2013, hlm. 19-20
4
Muhibuddin Hanafah, REVITALISASI METODOLOGI DALAM STUDI ISLAM: Suatu
Pendekatan terhadap Studi Ilmu-ilmu Keislaman, (Jurnal Ilmiah Didaktika. Vol. XI,
No. 2, 2011)

salah satu cabang ilmu favorit. Hal ini berarti studi Islam telah mendapat
tempat dalam percaturan dunia ilmu pengetahuan.
Studi Islam adalah salah satu studi yang mendapat perhatian di kalangan
ilmuwan.Jika ditelusuri secara mendalam, Nampak bahwa studi Islam mulai
banyak dikaji oleh para peminat studi agama dan studi-studi lainnya.Dengan
demikian, studi Islam layak untuk dijadikan sebagai salah satu cabang
ilmufavorit.Artinya, studi Islam telah mendapat tempat dalam percaturan
dunia ilmu pengetahuan.5Pengertian Studi Islam menurut Muhammad Nur
Hakimkegunaan istilah Studi Islam bertujuan untuk mengungkapkan
beberapamaksud, yaitu :
1. Studi Islam yang dikonotasikan dengan aktivitas-aktivitas dan
program- program pengkajian dan penelitian terhadap agama sebagai
objeknya.
2. Studi Islam yang dikonotasikan dengan materi, subjek, bidang,
dankurikulum atas semua kajian Islam.
3. Studi

Islam

yang

dikonotasikan

dengan

institusi-institusi

pengkajianIslam, baik dilakukan secara formal seperti perguruan
tinggi, maupunyang non formal seperti forum-forum kajian dan
halaqoh-halaqoh.6
Istilah “Islamic Studies” atau Studi Islam kini telah
dipergunakan dalam jurnal-jurnal profesional, departemen akademik,
dan lembaga-lembaga perguruan tinggi yang mencakup bidang
pengkajian dan penelitian yang luas, yakni seluruh yang memiliki
dimensi “Islam” dan keterkaitan dengannya. Rujukan pada Islam,
5

Siti Zulaiha, PENDEKATAN METODOLOGIS DAN TEOLOGIS BAGI PENGEMBANGAN
DAN PENINGKATAN KUALITAS GURU MI, (Jurnal Pendidikan Dasar. Vol. 1, No. 01,
2017), hal 46
6
Muhammad Mustahibun Nafs, Ilmu Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Teras, 2011),
hlm. 1

apakah dalam pengertian kebudayaan, peradaban, atau tradisi
keagamaan, telah semakin sering dipakai dengan munculnya sejumlah
besar literatur dalam berbagai bahasa Eropa atau Barat pada umumnya
yang berkenaan dengan paham Islam politik, atau Islamisme.
Menurut definisi ini, Islamic Studies mengimplikasikan:
Pertama, studi tentang disiplin dan tradisi intelektual-keagamaan
klasik menjadi inti dari Islamic Studies, karena ada di jantung
kebudayaan yang dipelajari dalam peradaban Islam dan agama Islam,
dan karena banyak Muslim terpelajar masih memandangnya sebagai
persoalan penting. Pengertian Islamic Studies sebagai studi tentang
teks-teks

Arab

pra-modern

utamanya

karena

itu

mesti

dipertahankan.Keterampilan utama yang dibutuhkan adalah bahasa
Arab.
Kedua, Islamic Studies adalah suatu bidang yang sempit.
Upaya-upaya

untuk

memperluas

bidang

kajiannya

dapat

mengakibatkan berkurangnya kualitas kajian. Namun demikian bidang
ini terus menghadapi tekanan komersial untuk memperluas ruang
lingkupnya, dengan memasukkan misalnya, studi tentang pengobatan
dan keuangan Islam.
Ketiga, pendidikan berbasis keimanan bagi Muslim mengenai
Islam, dan studi lintas disiplin tentang Islam yang bersandar kepada
ilmu-ilmu humaniora dan ilmu-ilmu sosial, keduanya
memberikan tujuan yang bermanfaat. Namun, Islamic Studies
bagaimanapun berbeda dari keduanya dan jangan dipertipis garis
batasnya.Yang diharapkan ialah upaya memperkaya dua bidang
lainnya.Minat ilmu antropologi dan ilmu-ilmu sosial terhadap Islam
memang dapat dibenarkan, namun jangan dipaksa untuk diistilahkan
sebagai Islamic Studies.

Pendekatan kedua mendefinisikan Islamic Studies berdasarkan
pada pernyataan bahwa Islam perlu dikaji dalam konteks evolusi Islam
modern yang penuh teka-teki. Juga adanya kebutuhan untuk
memahami apa yang dimaksudkan oleh teks-teks tentang cara orangorang mengalami dan menjalankan kehidupan mereka. Islamic Studies
bukanlah sebuah disiplin, namun ia lebih merupakan ke saling
hubungan antara beberapa disiplin. Dalam bahasa metodologi, para
peneliti

meminjam

serangkaian

disiplin

termasuk

ilmu-ilmu

sosial.Kurang tegasnya batasan-batasan ini justru menyediakan
peluang untuk memperkaya studi interdisipliner yang beragam.7
Oleh karenanya, dibutuhkan suatu pendekatan yang dapat
mencakup studi Islam. Pendekatan interdisipliner (interdisciplinary
approach) ialah pendekatan dalam pemecahan suatu masalah dengan
menggunakan tinjauan berbagai sudut pandang ilmu serumpun yang
relevan secara terpadu. Ilmu yang relevan maksudnya ilmu-ilmu yang
cocok digunakan dalam pemecahansuatu masalah. Adapun istilah
terpadu, yang dimaksud yaitu ilmu-ilmu yang digunakan dalam
pemecahan suatu masalah melalui pendekatan ini terjalin satu sama
lain secara tersirat(implicit)merupakan suatu kebulatan atau kesatuan
pembahasan atau uraian termasuk dalam setiap sub-sub uraiannya. Ciri
pokok atau kata kunci dari pendekatan indisipliner ini adalah
inter(terpadu antar ilmu dalam rumpun ilmu yang sama).8
Pendidikan Islam dihadapkan pada berbagai tantangan yang
ada, baik secara makro nasional, krisis integrasi, ekonomi, politik,
moral,budaya dan lain sebagainya. Diberlakukannya perdagangan
7

Zakiyuddin Baidhawy, Islamic Studies Pendekatan dan Metode, (PT Pustaka
Insan Madani, 2011), hal 4
8
Chanifudin, “Pendekatan Interdisipliner: Tata Kelola Pendidikan Islam di Tengah
Kompleksitas”, (Edukasi Islami Jurnal Pendidikan Islam, Vol. 05, Januari 2016),
1286.

bebas antar negara asean atau lebih dikenal dengan sebutan MEA
(Masyarakat Ekonomi Asean), Industrialisasi, Globalisasi yang
berimplikasi pada persaingan lulusan dan pekerjaan semakin berat,
dengan berbagai macam persolan yang sangat komplek.
Berdasarkan fakta tersebut pendidikan Islam dihadapkan pada
persoalan besar dan mendasar. Persoalan tersebut adalah outputnya
yang hingga kini belum terakomodasi secara memadai, dan belum
maksimal ke dalam aspek kebutuhan kehidupan modern, yang tidak
hanya merambah pendidikan Islam di Indonesia, tetapi juga telah
menggejala hampir disebagian besar pendidikan Islam di berbagai
dunia
Pendekatan interdisipliner(interdisciplinary approach) ialah
pendekatan dalam pemecahan suatu masalah dengan menggunakan
tinjauan berbagai sudut pandang ilmu serumpun yang relevan secara
terpadu.9
3. Studi Islam Interdisipliner di Era Milennial
Istilah generasi millenial atau sering juga disebut generasi Y memang
sedang akrab terdengar, istilah ini pertama kali dicetuskan oleh dua pakar
sejarah dan juga penulis amerika, William strauss dan Neill howe dalam
beberapa bukunya. Secara harfiah memang tidak ada demografi khusus
dalam menentukan kelompok generasi yang satu ini, namun pada awalnya
penggolongan pada generasi ini terbentuk bagi mereka yang lahir pada
tahun 1990 dan juga pada awal 2000,dan seterusnya.
Dinamika pemikiran yang berkembang dalam kehidupan masyarakat
menjadi suatu bukti autentik bahwa kehidupan ini berjalan ibarat roda.
9

Chanifudin, PENDEKATAN INTERDISIPLINER : TATA KELOLA PENDIDIKAN ISLAM
DI TENGAH KOMPLEKSITAS, (Edukasi Islam Jurnal Pendidikan, Vol. 05, No. 01,
2016), hal 1277

Tidak ada suatu pemikiran pun yang berjalan dalam stagnasi
eksistensinya. Pemikiran Yunani kuno dan klasik yang telah menghiasi
kehidupan masyarakat serta pernah menjadi the great miracle dalam
khazanah pemikiran manusia pada akhirnya beralih menjadi kehidupan
lain yang mengikutinya. Dunia modern yang melanjutkan era pemikiran
abad pertengahan dengan panutan pemikirannya pada Ancilla Theologia
minat utama kepada agama dengan jargon Extra Ecclesia Nula Saluum
tidak ada kebenaran hakiki kecuali kebenaran gereja melaju dengan asas
pemikiran antroposentris.10
Laju modernisme yang begitu pesat dan hadirnya globalisasi
sebagai dampak dari eksistensinya membuka pintu baru ijtihad berpikir
masyarakat. Dilema modernisme dengan grand concept (konsep besar)
yang bermunculan dan dihasilkan menggiring masyarakat ke dalam
kondisi yang jauh dari nilai-nilai metafisis. Kemaha agungan filsafat
kemudian dipertanyakan sehingga memunculkan banyak pemikir baru
yang mengusulkan postmodernisme dalam menangkal dunia modern yang
semakin “jauh” dari sumbu-sumbu spiritualitas. Derrida mengemukakan
perlunya dekonstruksi terhadap pemikiran-pemikiran modern dalam
rangka membangun autentisitas ilmu. Kuhn menyampaikan pentingnya
revolusi ilmiah. Semua yang kemudian dimunculkan dalam rangka
mencipta benang dialektika di antara semua disiplin ilmu yang
berkembang.
Pada saat ini generasi millenial lebih memilih ponsel dibanding TV,
sebab generasi ini lahir di era kecanggihan teknologi, dan internet
berperan besar dalam keberlangsungan hidup mereka, maka televisi
bukanlah prioritas generasi millenial untuk mendapatkan informasi atau
melihat iklan yang tidak ada pentingnya. Generasi millenial lebih suka
10

Mas’udi, “Posmodernisme dan Polemik Keberagamaan Masyarakat Modern: Antitesis
Posmodernisme Atas Dinamika Kehidupan Modernisme” Fikrah, Vol. 2, No. 1, Juni 2014, 250

mendapatkan informasi dari ponselnya, dengan mencarinya ke Google
atau perbincangan pada forum-forum, yang diikuti generasi ini untuk
selalu up-to-date dengan keadaan sekitar. Jika dihadapkan pada sebuah
pilihan, mayoritas generasi sekarang akan lebih memilih ponsel daripada
TV. hampir semua kalangan, informasi berkembang dengan pesat
danpenyebarannya

semakin

cepat.

Berdasarkan

penelitian

bahwa

mayoritasmillennial mendapatkan berita bersumber dari media sosial
seperti facebookdan twitter (dikutip dari How Millennials, 2015), dimana
kredibilitassumber
menunjukkan

berita

sangat

bahwagenerasi

sulit

millennial

untuk

diukur.

cenderung

Penelitian

malas

untuk

memvalidasi kebenaran beritayang mereka terima dan cenderung
menerima informasi hanya dari satusumber, yaitu media sosial (Ellysabeth
Ratih Dwi Hapsari W), inilahkondisi peserta didik saat ini, yang lebih
memanfaatkan dan percaya denganmedia sosial dalam kegiatannya seharihari.11
Masalah ilmu-ilmu apa yang dianjurkan dalam Islam, merupakan
pokok penting yang mendasar sejak hari-hari pertama Islam: apakah ada
bentuk ilmu khusus yang harus dicari? Sebagian ulama besar Islam hanya
memasukkan cabang-cabang ilmu yang secara langsung berhubungan
dengan agama. Sedangkan tipe-tipe ilmu yang lain, mereka menyerahkan
kepada masyarakat untuk menentukan ilmu mana yang paling esensial
untuk memelihara dan menyejahterakan mereka.12 Perintah al Quran dan
syariah tertentu. Tetapi juga mencakup setiap ilmu yang berguna bagi
manusia. Karenanya, seiring perkembangan yang ada, disiplin ilmu juga
turut berkembang untuk dikaji.
11

Miftah Mucharomah, Guru di Era Milenia dalam Bingkai Rahmatan LilAlamin,
(Edukasia Islamika, Vol. 2, No. 2, 2017), hal 203
12
Mahdi Ghulsyani,Filsafat-Sains Menurut al Quran . Bandung: Mizan, 2001. 40.

Studi tentang generasi millenial, terutama di Amerika, sudah
banyakdilakukan, antara lain studi yang dilakukan oleh Boston Consulting
Group (BCG) bersama University of Berkley tahun 2011 dengan
mengambil

temaAmerican

Millennials:

Deciphering

the

Enigma

Generation. Tahun sebelumnya, 2010, Pew Research Center juga merilis
laporan riset dengan judul Millennials: A Portrait of Generation Next.
Berdasarkan penelitian-penelitianitu, inilah karakteristik generasi millenial
tersebut;
Pertama,

Millennial

lebih

percaya

User

Generated

Content

(UGC)daripada informasi searah.Bisa dibilang millennial tidak percaya
lagikepada distribusi informasi yang bersifat satu arah. Mereka lebih
percaya kepada UGC atau konten dan informasi yang dibuat oleh
perorangan.Mereka tidak terlalu percaya pada perusahaan besar dan iklan
sebab lebih mementingkan pengalaman pribadi ketimbang iklan atau
reviewkonvensional. Dalam hal pola konsumsi, banyak dari mereka
memutuskan untuk membeli produk setelah melihat review atau testimoni
yang dilakukanoleh orang lain di Internet. Mereka juga tak segan-segan
membagikanpengalaman buruk mereka terhadap suatu mereka.
Kedua, Millennial lebih memilih ponsel dibanding TV. Generasi ini
lahir di era perkembangan teknologi, Internet juga berperan besar dalam
keberlangsungan hidup mereka. Maka televisi bukanlah prioritas generasi
millennial untuk mendapatkan informasi atau melihat iklan. Bagi kaum
millennial, iklan pada televisi biasanya dihindari. Generasi millennial
lebihsuka mendapat informasi dari ponselnya, dengan mencarinya ke
Googleatau perbincangan pada forum-forum yang mereka ikuti, supaya
tetap up-todate.
Ketiga,

Millennial

wajib

punya

media

sosial.Komunikasi

di

antaragenerasi millennial sangatlah lancar. Namun, bukan berarti
komunikasi itu selalu terjadi dengan tatap muka, tapi justru sebaliknya.

Banyak dari kalanganmillennial melakukan semua komunikasinya melalui
text messaging ataujuga chatting di dunia maya, dengan membuat akun
yang berisikan profildirinya, seperti Twitter, Facebook, hingga Line. Akun
media sosial jugadapat dijadikan tempat untuk aktualisasi diri dan
ekspresi, karena apa yangditulis tentang dirinya adalah apa yang akan
semua orang baca. Jadi, hamper semua generasi millennial dipastikan
memiliki

akun

media

sosial

sebagaitempat

berkomunikasi

dan

berekspresi.13
Dalam melihat hubungan manusia dengan ruang dan waktu, ciri
generasi

millennial

dalam

berkomunikasi

bersifat

Instant

Communicationdi lingkungan real time, Network Development, yaitu
mengembangkan

jaringan yang memungkinkan generasi ini untuk

terhubung satu sama lain untuk berkoneksi dan kolaborasi. Terkait dengan
prinsip dasar hubungan manusia dengan alam, mempunyai prinsip
pemanfaatan dan sekaligus pelestarian lingkungan alam. Manusia harus
menguasai teknologi dan ilmu

pengetahuan untuk digunakan dalam

pemanfaatan, pengelolaan, kelestarian sekaligus bagi keselarasan, harmoni
dan penguasaan alam demi kemanfaatan umat manusia dan alam
sekitarnya. Sementara itu, dalam melihat hubungan manusia dengan
sesama manusia, lebih terbuka terhadap berbagai akses informasi yang
bersifat lintas batas, cenderung lebih permisif terhadap keanekaragaman.
Mereka tidak peduli tentang privasi dan bersedia untuk berbagi rincian
intim tentang diri mereka sendiri dengan orang asing.Budaya membuat
status

merupakan

aktivitas

sehari-hari.Cybercultureadalah

sebuah

kebudayaan baru di mana seluruh aktivitas kebudayaannya dilakukan
dalam dunia maya yang tanpa batas.Namun demikian generasi millennial

13

Miftah Mucharomah, Guru di Era Milenia dalam Bingkai Rahmatan Lil Alamin,
(Edukasia Islamika, Vol. 2, No. 2, 2017), hal 203

tetap berpandangan bahwa keluarga merupakan pilar yang sangat penting
bagi kehidupannya.14

BAB III
PENUTUP
14

Heru Dwi Wahana,“Pengaruh Nilai-nilai Budaya Generasi Millennial dan Budaya
Sekolah Terhadap Ketahanan Individu: Studi di SMA Negeri 39, Cijantung,
Jakarta”, (Jurnal Ketahanan Nasional, XXI 1),April 2015: 18

Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pendekatan interdisipliner dalam
kajian studi Islam di era millenial sangat diperlukan. Dengan pendekatan
interdisipliner diharapkan mampu memberikan solusi persoalan dan isu-isu agama
yang berkembang seiring berkembangnya teknologi dan penyebaran informasi yang
amat pesat. Di antara pendekatan studi Islam kontemporer yang dapat digunakan
adalah pendekatan pendekatan hermeneutika, pendekatan ilmu sejarah, pendekatan
sosiologis, pendekatan fenomenologi, pendekatan antropologi dan etnografi, dan
pendekatan arkeologi.
Dari sekian pendekatan studi Islam kontemporer yang ada, dapat digunakan
untuk mengkaji isu-isu Islam di era millenial. Pendekatan interdisipliner menjadi
penting adanya untuk menjawab persoalan dan perdebatan di kalangan masyarakat.
Pendidikan agama pada era di mana intensifikasi dan akselerasi pluralitas semakin
terbuka, harus berani dan asertif menyatakan selamat tinggal pada pendekatan
dogmatik dan strategi indoktrinasi dalam proses pembelajaran. Metode pendidikan
diterapkan pada konsep pendekatan interdisipliner mampu memberi jawaban dari
permasalahan pelik yang sedang dihadapi bangsa ini dalam mencetak generasi
bangsa yang kompetitif.
DAFTAR PUSTAKA
Baidhawy, Zakiyuddin. 2011. Studi Islam Pendekatan dan Metode. (Yogyakarta: PT
Pustaka Insan Madani).
Chanifudin, PENDEKATAN INTERDISIPLINER : TATA KELOLA PENDIDIKAN
ISLAM DI TENGAH KOMPLEKSITAS, (Edukasi Islam Jurnal
Pendidikan, Vol. 05, No. 01, 2016), hal 1277
Dwi, Heru Wahana. 2015. “Pengaruh Nilai-nilai Budaya Generasi Millennial dan
Budaya Sekolah Terhadap Ketahanan Individu: Studi di SMA Negeri
39. Cijantung, Jakarta: (Jurnal Ketahanan Nasional, XXI 1),April 18
Ghulsyani, Mahdi. 2001. Filsafat-Sains Menurut al Quran. Bandung: Mizan.

Hanafiah, Muhibuddin. REVITALISASI METODOLOGI DALAM STUDI ISLAM:
Suatu Pendekatan terhadap Studi Ilmu-ilmu Keislaman, (Jurnal
Ilmiah Didaktika. Vol. XI, No. 2, 2011)
Khoiriyah, Memahami Metodologi Studi Islam (Suatu Konsep tentang Seluk Beluk
Pemahaman Ajaran Islam Studi Islam dan Isu-isu Kontemporer
dalam Studi Islam), Yogyakarta: Teras, 2013, hlm. 19-20
Mas’udi, “Posmodernisme

dan Polemik Keberagamaan Masyarakat Modern: Antitesis
Posmodernisme Atas Dinamika Kehidupan Modernisme” Fikrah , Vol.
2, No. 1, Juni 2014, 250

Mucharomah. Miftah. 2017. Guru di Era Milenia dalam Bingkai Rahmatan
LilAlamin. (Edukasia Islamika, Vol. 2, No. 2). 203
Susanto, Edi. 2016. Dimensi Studi Islam Kontemporer . (Jakarta: Prenadamedia
Group).
Zulaiha,

Siti.

PENDEKATAN METODOLOGIS DAN TEOLOGIS BAGI
PENGEMBANGAN DAN PENINGKATAN KUALITAS GURU MI,
(Jurnal Pendidikan Dasar. Vol. 1, No. 01, 2017), hal 46.