BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 1. Desain Penelitian - Pengalaman Keluarga dalam Berkomunikasi dengan Pasien Stroke di RSUD Dr. Pirngadi Medan

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

  1. Desain Penelitian

  Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah fenomenologi. Desain fenomenologi dipilih agar dapat dieksplorasi lebih mendalam pengalaman keluarga dalam berkomunikasi dengan pasien stroke di RSUD Dr. Pirngadi Medan. Pendekatan fenomenologi adalah suatu ilmu yang memiliki tujuan untuk mejelaskan fenomena dalam bentuk pengalaman hidup.

  Penggunaan desain penelitian dengan pendekatan fenomenologi bertujuan untuk memperoleh data yang lebih komprehensif, mendalam, kredibel, dan bermakna (Saryono & Anggraeni, 2013).

  Bogdan dan Taylor (1975 dalam Moleong, 2012) menjelaskan metode kualitatif merupakan sebuah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis maupun lisan dari orang-orang maupun perilaku yang dapat diamati. Sejalan dengan definisi tersebut, Kirk dan Miller (1986 dalam Moleong, 2012) mendefinisikan metode kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung dari pengamatan pada manusia baik dalam kawasannya maupun dalam peristilahannya.

  2. Partisipan

  Jumlah partisipan dalam penelitian ini adalah 8 orang (Polit, Beck & Hungler, 2001). Jumlah partisipan ditentukan berdasarkan pada asas kesesuaian

  28 dan kecukupan informasi sampai mencapai saturasi data, yaitu peneliti tidak lagi memperoleh informasi baru dari partisipan.

  Pemilihan partisipan dalam penelitian ini menggunakan metode purposive

  sampling, yaitu metode pemilihan partisipan dalam suatu penelitian dengan

  menentukan terlebih dahulu kriteria yang dimasukkan dalam penelitian, dimana partisipan yang diambil dapat memberikan informasi yang berharga bagi penelitian (Saryono & Anggraeni, 2013).

  Adapun kriteria partisipan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Keluarga (ayah/ibu, suami/istri, abang/kakak, dan anak) dari pasien stroke yang mengalami gangguan komunikasi.

  2. Merawat pasien selama di rumah sakit.

  3. Bersedia menjadi partisipan yang dinyatakan secara verbal atau dengan menandatangani surat pernyataan persetujuan penelitian.

  4. Mampu menceritakan pengalamannya sehingga diperoleh informasi yang lebih kaya (rich information).

  3. Lokasi dan Waktu Penelitian

  3.1 Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di RSUD Dr. Pirngadi Medan dengan pertimbangan, yang pertama adalah pengurangan biaya dalam penelitian karena merupakan rumah sakit terdekat dari rumah peneliti dan yang kedua adalah banyak masyarakat yang menggunakan layanan kesehatan di rumah sakit tersebut.

  3.2 Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan dari September 2014 sampai Juli 2015, yaitu mulai penyusunan proposal sampai dengan selesai penelitian, sedangkan untuk pengumpulan data dilakukan pada Maret 2015 sampai April 2015.

4. Pertimbangan Etik

  Dalam penelitian ini dilakukan pertimbangan etik, yaitu memberikan penjelasan kepada calon partisipan penelitian tentang tujuan dan prosedur pelaksanaan penelitian. Pengambilan data dilakukan setelah peneliti mendapatkan

  ethical clearence dari Komisi Etik Penelitian Kesehatan Fakultas Keperawatan

  Universitas Sumatera Utara. Setelah mendapatkan izin, selanjutnya peneliti mencari partisipan yang sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan.

  Selanjutnya, jika calon partisipan setuju menjadi partisipan dalam penelitian ini maka peneliti memberikan informed consent untuk ditandatangani.

  Peneliti tidak memaksa jika partisipan tidak setuju karena dalam penelitian ini partisipan bersifat sukarela dan tidak dipaksa.

  Untuk menjaga kerahasiaan identitas partisipan maka peneliti tidak mencantumkan nama dari partisipan (anonymity). Nama partisipan dibuat dengan inisial. Selanjutnya identitas partisipan juga dirahasiakan (confidentiality), hanya informasi yang diperlukan yang akan dituliskan dan dicantumkan dalam penelitian.

  Peneliti juga meminimalisasi dampak yang merugikan bagi partisipan (nonmaleficence), yaitu ketidaknyamanan yang mungkin terjadi selama proses wawancara seperti kelelahan, bosan, diantisipasi peneliti dengan memberitahukan hak partisipan terkait dengan kebebasan memilih waktu dan tempat, bebas untuk berhenti sewaktu-waktu apabila ada urusan, untuk kemudian dilanjutkan lagi wawancara sesuai kesepakatan.

  5. Instrumen Penelitian Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini terbagi dua bagian.

  Instrumen pertama merupakan Kuesioner Data Demografi (KDD) yang berisikan data umum partisipan (inisial, usia, jenis kelamin, agama, suku, pendidikan terakhir dan pekerjaan) dan hubungan partisipan dengan pasien (lihat lampiran 3).

  Instrumen kedua merupakan panduan wawancara yang berisikan empat butir pertanyaan, yaitu cara berkomunikasi dengan pasien, kendala dan hambatan dalam berkomunikasi, cara mengatasi kendala dan hambatan, dan usaha yang dilakukan untuk membantu klien dapat berbicara (lihat lampiran 4). Panduan wawancara telah divalidasi terlebih dahulu sebelum digunakan dalam penelitian ini.

  6. Pengumpulan Data

  Setelah mendapat izin dari bagian pendidikan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara dan memperoleh ethical clearance dari Komisi Etik Penelitian Kesehatan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara, selanjutnya peneliti meminta izin kepada direktur RSUD Dr. Pirngadi Medan untuk memperoleh data calon partisipan melalui rekam medik.

  Selanjutnya peneliti melakukan pilot study. Pilot study adalah suatu cara untuk melakukan studi awal dalam skala kecil atau suatu tes yang digunakan sebagai persiapan untuk penelitian kualitatif (Polit, Beck, & Hungler, 2001). Pilot

  study dilakukan untuk menguji apakah peneliti sebagai instrumen sudah cukup baik dalam melakukan wawancara dan melakukan analisa data kualitatif.

  Sebelum dilakukan wawancara mendalam, peneliti melakukan pendekatan kepada partisipan dengan pertemuan 1-2 kali untuk meningkatkan hubungan saling percaya antara peneliti dan partisipan dengan cara peneliti memperkenalkan diri, menjelaskan maksud, tujuan dan pengumpulan data yang dilakukan terhadap partisipan. Jika partisipan bersedia untuk menjadi partisipan dalam penelitian ini, maka partisipan menandatangani informed consent dan mengisi kuesioner data demografi.

  Selanjutnya penelit melakukan wawancara mendalam (in-depth interview), yaitu salah satu cara pengumpulan data melalui percakapan dan proses tanya jawab antara peneliti dengan partisipan yang bertujuan untuk memperoleh pengetahuan tentang makna-makna subjektifitas yang dipahami oleh individu (Poerwandari (1998) dalam Saryono & Anggraeni, 2013).

  Wawancara mendalam (in-deph interview) dilakukan sekitar 45 menit selama satu kali pertemuan. Peneliti menggunakan panduan wawancara yang telah divalidasi untuk memandu peneliti dalam pengumpulan informasi. Peneliti juga menggunakan alat perekam suara (tape recorder) untuk merekam wawancara dan catatan lapangan (field note) untuk mencatat bahasa non verbal partisipan selama wawancara.

  Kemudian peneliti membuat transkrip hasil wawancara setiap kali selesai dilakukannya wawancara dengan partisipan dan jika ada hal-hal yang kurang jelas dilakukan wawancara ulang. Pengumpulan data dilakukan sampai saturasi data, dalam arti bahwa dengan dilakukan wawancara dengan partisipan lain tidak akan ditemukan informasi yang baru (Sugiono, 2010).

7. Analisa Data

  Analisa data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan dokumentasi dengan cara mengorganisasikan data kedalam kategori, menjabarkan kedalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun kedalam pola, memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari, dan membuat kesimpulan sehingga mudah dipahami oleh diri sendiri dan orang lain (Sugiyono, 2010).

  Teknik analisa data dalam penelitian kualitatif didasarkan pada pendekatan yang digunakan. Analisa data dilakukan sepanjang penelitian dan dilakukan secara terus menerus dari awal sampai akhir penelitian (Saryono & Anggraeni, 2013).

  Dalam menganalisis data penelitian, peneliti menggunakan metode Colaizzi. Proses analisa data menurut Colaizzi (1978 dalam Polit & Beck, 2012) yaitu: (1) membaca semua transkrip wawancara untuk mendapatkan perasaan dari partisipan, (2) meninjau setiap transkrip dan menarik kesimpulan dari setiap pernyataan yang signifikan, (3) menguraikan arti dari pernyataan yang signifikan, (4) mengelompokkan makna-makna tersebut kedalam kelompok-kelompok tema, (5) mengintegrasikan hasil kedalam bentuk deskriptif, (6) membuat deskripsi lengkap dari fenomena yang diteliti sebagai identifikasi pernyataan setegas mungkin, (7) memvalidasi apa yang telah ditemukan kepada partisipan sebagai tahap validasi akhir.

8. Tingkat Keabsahan Data (Thrusthworhiness of Data)

  Lincoln dan Guba (1985 dalam Polit & Beck, 2012) menyatakan bahwa penelitian kualitatif termasuk fenomenologi perlu ditingkatkan kualitas dan integritas dalam proses penelitian melalui tingkat keabsahan data (thrusthworhiness of data). Tingkat keabsahan data yang dilakukan pada penelitian ini yaitu, credibility dengan teknik prolonged engagement. Prolonged

  engagement yang dilakukan peneliti adalah mengadakan pertemuan dengan

  partisipan sebelum dilakukannya penelitian untuk menjalin hubungan yang baik yaitu dengan cara memperkenalkan diri dan menjelaskan tujuan penelitian.

  Dengan demikian peneliti dan partisipan semakin akrab, terbuka, dan saling mempercayai sehinga informasi yang diperoleh lebih lengkap.

  Cara lain yang dilakukan untuk memperoleh tingkat kepercayaan hasil penelitian ini antara lain: 1) mencatat hal-hal penting serinci mungkin mencakup catatan pengamatan obyektif terhadap setting, partisipan maupun hal lain yang terkait; 2) mendokumentasikan secara lengkap dan rapi data yang terkumpul, proses pengumpulan data maupun strategi analisisnya; 3) menyertakan pihak yang dapat memberikan kritik dan saran yang memberi pertanyaan kritis terhadap peneliti yaitu pembimbing peneliti; dan 4) melakukan pengecekan data kembali (Sugiyono, 2010).

BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

1. Hasil Penelitian Bagian ini menjelaskan tentang hasil penelitian yang telah dilakukan.

  Bagian ini terdiri dari dua bagian, bagian pertama menceritakan secara singkat gambaran kerakteristik partisipan yang ikut dalam penelitian ini. Bagian kedua adalah analisis dari masing-masing tema yang muncul dari pengalaman keluarga dalam berkomunikasi dengan pasien stroke.

1.1 Karakteristik Partisipan

  Partisipan dalam penelitian ini adalah anggota keluarga dari pasien stroke yang mengalami gangguan dalam berkomunikasi. Jumlah partisipan 8 orang.

  Hasil penelitian berdasarkan karakteristik partisipan yang akan dipaparkan mencakup usia, jenis kelamin, agama, suku, pendidikan terakhir, pekerjaan, dan hubungan dengan pasien. Dari data yang diperoleh (tabel 4.1.1) menunjukkan mayoritas partisipan berjenis kelamin perempuan 5 orang (62,5%), usia partisipan 24-35 tahun 3 orang (37,5%) dan 48-59 tahun 3 orang (37,5%), agama Islam 6 orang (75%), suku mandailing 3 orang (37,5%), pendidikan terakhir SMA 3 orang (37,5%) dan Sarjana 3 orang (37,5%), pekerjaan wiraswasta 5 orang (62,5%), dan hubungan dengan pasien sebagai anak 5 orang (62,5%).

  35 Tabel 1.1 Karakteristik Partisipan

  Data Demografi Partisipan Frekuensi Persentase (%)

  5

  3

  3

  25 37,5 37,5

  Pekerjaan

  IRT Wiraswasta Pegawai Swasta PNS

  1

  1

  Pendidikan Terakhir SLTP SMA Sarjana

  1 12,5 62,5 12,5 12,5

  Hubungan dengan pasien Anak Kakak Istri

  5

  1

  2 62,5 12,5

  25

  

1.2 Pengalaman keluarga dalam berkomunikasi dengan pasien stroke di

RSUD Dr. Pirngadi Medan

  2

  25 12,5

  Usia 24-35 tahun 36-47 tahun 48-59 tahun

  Agama Islam Kristen Protestan

  3

  2

  3 37,5

  25 37,5

  Jenis Kelamin Perempuan Laki-laki

  5

  3 62,5 37,5

  6

  25 37,5

  2

  75

  25 Suku Jawa Mandailing Batak Toba Minang

  2

  3

  2

  1

  Berdasarkan hasil analisis ditemukan 4 tema yaitu: (1) Cara keluarga berkomunikasi dengan klien, (2) Hambatan saat berkomunikasi dengan klien, (3) Usaha yang dilakukan keluarga untuk mengatasi hambatan saat berkomunikasi dengan klien, (4) Perasaan keluarga saat berkomunikasi dengan klien. Tema-tema ini dibahas secara terperinci untuk memaknai pengalaman keluarga dalam berkomunikasi dengan pasien stroke di RSUD Dr. Pirngadi Medan.

1. Cara berkomunikasi dengan klien

  Hasil wawancara yang dilakukan terhadap delapan partisipan didapatkan ada dua jenis cara komunikasi yang dilakukan, yaitu berkomunikasi secara lisan dan menggunakan gerakan tubuh.

  a.

  Berkomunikasi secara lisan Sebanyak dua dari delapan partisipan menyatakan bahwa cara berkomunikasi yang dilakukan adalah secara lisan. Hal ini tergambar dari kategori yaitu tidak menuliskan kata yang diucapkan kepada klien. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan partisipan berikut ini:

  “Yah nggak ada. Ngomong ya ngomong aja kayak biasa...” (Partisipan 2) “Kalau saya ngomong biasa aja paling bapaklah yang menjawabnya pake isyarat. Kalau nulis kan dia juga sulit, kasian juga.. ”

  (Partisipan 8) b.

  Menggunakan gerakan tubuh Hasil wawancara yang dilakukan terhadap delapan partisipan, gerakan tubuh verbal yang digunakan terdiri atas dua kategori yaitu memberikan sentuhan dan mendekat saat berkomunikasi dengan klien.

  Seorang dari delapan partisipan mengatakan cara berkomunikasi yang dilakukan yaitu dengan cara memberikan sentuhan. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan berikut :

  “Kalau pegang tangannya selalu, cium tangannya, cium kaki..” (Partisipan 2)

  Dua dari delapan partisipan mengungkapkan cara berkomunikasi yang dilakukan yaitu mendekat saat berkomunikasi dengan klien. Hal ini dapat dilihat dari pertanyaan berikut ini :

  

“Yah cara berkomunikasi, kita berbicara dekatkan ke telinga lah..”

(Partisipan 4) “Saya pun gak pernah jauh dari dia. Jadi dia pun bisa dengarkan saya..” (Partisipan 5)

2. Hambatan saat berkomunikasi dengan klien

  Hasil wawancara yang dilakukan dengan delapan partisipan terdapat tiga hambatan dalam berkomunikasi. Hambatan tersebut tidak hanya berasal dari keluarga tetapi juga faktor dari klien. Hambatan tersebut yaitu kurangnya pengetahuan tentang berkomunikasi dengan klien, gangguan fisik yang dialami klien, dan gangguan psikis yang dialami klien.

  a.

  Kurangnya pengetahuan tentang berkomunikasi dengan klien Dari pernyataan partisipan, terdapat tiga kategori untuk kurangnya pengetahuan tentang berkomunikasi dengan klien yaitu tidak mengerti dengan ucapan klien, salah mengartikan maksud klien, dan mengalami kesulitan saat berkomunikasi dengan klien.

  Empat partisipan mengatakan tidak mengerti dengan ucapan klien. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan partisipan berikut:

  “Tapi yah ada juga yang saya gak ngerti maksudnya, sewaktu dia cuma bisa ngasih kode. Ntah apa lah. Terakhir “eeehh” “eeeehh” jadi bingung juga kita..”

  (Partisipan 3) “Kadang ngerti kadang nggak lah..” (Partisipan 4)

  “Kalau bapak ini ngomongnya kadang saya nggak ngerti. Anak-anak pun

  gak ngerti juga.” (Partisipan 6) “Adalah. Itu tadi “eh..” katanya, ntah apa maksudnya. Ntah mau berak dia, gak tahu lah.” (Partisipan 7)

  Empat dari delapan partisipan mengatakan hambatan yang dialami yaitu salah mengartikan maksud klien. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan berikut :

  “Pernah jugalah. Minta koran kemaren itu. “kola..kola..” katanya saya pikir minta kolak, saya beli kolak ternyata nyuruh beli koran.” (Partisipan 6) “Tapi pernahlah macam ada yang mau dibilangnya, “ehh..ehh..” katanya sambil dipegangnya itu bahunya. Terus saya bilang, yang mana sakit bang? “eh..eh..” katanya lagi. Ternyata ada bedak di punggungnya, lupa saya ambil..”

  (Partisipan 7) Seorang partisipan mengungkapkan bahwa mengalami kesulitan saat berkomunikasi dengan klien. Pernyataan ini sesuai dengan ungkapan:

  “Kalau kesulitan yah pasti ada dek, soalnya kan gak bisa berbicara, setelah pindah ke ruang inap bicaranya baru satu- satu bisa diucapkan..” (Partisipan 1)

  b.

  Gangguan fisik yang dialami klien Dari hasil wawancara yang dilakukan terhadap delapan partisipan, terdapat empat kategori yaitu klien sulit mengucapkan kata-kata, klien tidak bisa menulis, klien tidak bisa membaca, dan klien merasa sakit saat berkomunikasi.

  Dari hasil wawancara terhadap delapan partisipan, ada delapan partisipan mengatakan bahwa yang menjadi hambatan saat berkomunikasi yaitu klien sulit mengucapkan kata-kata. Hal ini dapat dilihat dari beberapa pernyataan partisipan sebagai berikut :

  “Mamak ini kalau mau bilang nabil susah kali. Awaknya mikir-mikir terus

apalah yang mau dibilang mamak ini. Terus saya bilang nabil mak?”

(Partisipan 1) “Cuma bisa bilang “eehh..ehh..” gak ada kata yang keluar cuma suara aja lah yang keluar..” (Partisipan 3) “Dia macam mau bilang apa tapi ntah apa. Makanya saya suruh tulis, mau apa. Soalnya kita kan gak ngerti maksudnya.

  .”

  (Partisipan 5) “Kalau kita ajarin ngomong, dia bisa cuma gak jelas. Cuma bisa bilang “iya”, “aa” itu lah jelas. Kebanyakan cuma bisa bilang “eee”..” (Partisipan 8) Tiga partisipan mengatakan bahwa klien tidak bisa menulis sehinggga menjadi hambatan bagi keluarga untuk dapat mengerti ucapan klien. Hal ini dapat dilihat dari beberapa penyataan partisipan berikut :

  “Gak mau nulis dia. Udah saya kasih pulpen sama buku..” (Partisipan 5) “Tapi mau nulis gak bisa lemas, sekarang pun masih lemas juga tangannya. Itulah saya bilang, bang kalau warga minta tanda tangan abang gimana. Dia minta lah pulpen mau nulis, tapi tetap ng gak bisa.”

  (Partisipan 6) Seorang partisipan mengatakan bahwa klien tidak dapat membaca.

  Pernyataan ini sesuai dengan ungkapan : “Nggak. Sewaktu sakit itu nggak bisa lah. Apalagi mau nulis nggak bisa.

  Cuma hanya bahasa isyarat- isyarat ajalah..” (Partisipan 3)

  Seorang partisipan mengungkapkan bahwa klien merasa sakit saat berkomunikasi. Adapun pernyataan tersebut diungkapkan sebagai berikut :

  “Kadang dia bilang pedih kalau kebanyakan ngomong.” (Partisipan 2)

  c.

  Gangguan psikis yang dialami klien Hasil wawancara terhadap delapan partisipan, terdapat dua kategori gambaran gangguan psikis yang dialami klien yaitu klien mudah marah dan klien mudah menangis. Gangguan psikis yang dialami klien menjadi hambatan saat keluarga berkomunikasi dengan klien. Hal ini dapat dilihat dari beberapa pernyataan partisipan sebagai berikut :

  “Tapi dia tuh bawaannya emosi aja “ehh..ehh..” keg gitu lah cemana lah

  mau dibilang macam mau marah gitu. Cuma karena sejak sakit ini lah gampang marah dia padahal waktu sehat dulu dia jarang kali marah..” (Partisipan 3)

  “Tapi pernah juga gitu kan, tanpa sebab keluar air matanya. Gak tahu juga lah kenapa.” (Partisipan 3) “Orang stroke ini sensitif perasaannya, cengeng. Nanti tiba-tiba mau nangis…Misalnya pernah juga kan tiba-tiba aja dia nangis, kita tanya karena ini itu. Nggak juga. Jadi apa gitu yakan, gak ngerti kita. Dia tetap aja nangis doang..” (Partisipan 8)

3. Usaha yang dilakukan keluarga untuk mengatasi hambatan saat berkomunikasi dengan klien

  Hasil wawancara yang dilakukan terhadap delapan partisipan, didapatkan usaha yang dilakukan keluarga untuk mengatasi hambatan berkomunikasi dengan klien yaitu meminta klien untuk menunjuk, meminta klien menggunakan bahasa verbal, dan sering berkomunikasi dengan klien.

  a.

  Meminta klien untuk menunjuk Dari hasil wawancara yang dilakukan terhadap delapan partisipan, lima partisipan mengungkapkan bahwa salah satu cara untuk mengatasi hambatan yaitu meminta klien untuk menunjuk yang tergambar dari kategori yaitu meminta klien untuk memberitahu dengan mengarahkan kepada yang ingin diucapkan. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan partisipan berikut :

  “Coba tunjuk, mamak mau apa? Apa yang sakit mak? Seperti itu saya tanya.”

  (Partisipan 1) “Kalau saya nggak ngerti, saya tanya terus saya suruh dia tunjuk…Cuma saya tanya lah, abang mau apa? Dia liatin itu disekitar dia terus kalau dia minta sesuatu ditunjuknya lah itu. “ehh..” katanya sambil ditunjuk nya kan, jadi tahu lah apa mau nya.” (Partisipan 6) “Nggak ada. Sulit pun nggak. Gimana ya, kalau misalnya abang gak ngerti gitu abang ajak jalan bapak, abang tuntun dia nunjukin apa yang dia mau. Bapak ini main nunjuk aja. Kalau mau nonton gitu, ditunjuknya tv. Yah itu ajalah gak ada yang sulit juga, karena juga udah terbias a.” (Partisipan 8)

  b.

  Meminta klien menggunakan bahasa verbal Dari hasil wawancara yang dilakukan, terdapat dua kategori yang menggambarkan cara keluarga meminta klien menggunakan bahasa verbal yaitu meminta mengulangi ucapan yang disampaikan klien dan meminta klien untuk berbicara pelan-pelan.

  Dua partisipan mengungkapkan bahwa cara partisipan dapat mengerti ucapan klien yaitu meminta mengulangi ucapan yang disampaikan klien. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan partisipan berikut :

  “Kalau nggak ngerti maksud mamak yah, disuruh ulang.”

  (Partisipan 2)

  “Kadang pun saya gak ngerti maksudnya. Saya bilang apa? “uang” katanya, terus saya bilang mau uang?” (Partisipan 4)

  Seorang partisipan mengatakan bahwa cara untuk mengatasi hambatan dalam berkomunikasi yaitu meminta klien untuk berbicara pelan-pelan.

  Pernyataan ini sesuai dengan ungkapan : “Jadi kalau dia mau cakap saya suruh pelan-pelan saya dengarkan.

  Misalnya mau bilangkan jangan lupa kunci rumah, “angan eeh..ehh.. mah unci” lama-lama saya ngerti juga apa maksudnya. Anaknya lah yang sama sekali gak ngerti apa cakapnya. Kalau saya karena saya suruh pelan- pelan cakapnya bang, jadi akhirnya saya tahu juga jadinya.” (Partisipan 6)

  c.

  Sering berkomunikasi dengan klien Salah satu cara untuk mengatasi hambatan dalam berkomunikasi yaitu sering berkomunikasi dengan klien yang tergambar dari dua kategori yang didapatkan dari hasil wawancara yaitu sering bertemu dengan klien dan sudah terbiasa berkomunikasi dengan klien.

  Seorang dari delapan partisipan mengatakan karena sering bertemu dengan klien sehingga partisipan dapat mengerti bahasa yang digunakan klien. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan partisipan berikut :

  “Karena sudah setiap hari jumpa jadi ngertilah apa saja kegiatan ayah ini. Belajar dari pengalaman aja. Karena sering jumpa itu sering berkomunikasi juga jadi ngerti lah mau ayah ini. Misalnya kalau orang gak pernah jumpa sama dia, mana tahu lah dia apa seleranya. Ini ayah awak, jadi gak adalah yang sulit.” (Partisipan 3)

  Seorang partisipan mengatakan tidak merasa sulit berkomunikasi dengan klien karena sudah terbiasa berkomunikasi dengan klien. Pernyataan ini sesuai dengan ungkapan:

  “Awalnya kita gak ngerti maksud bapak ini, tapi yah lama-lama ngerti juga… Yah itu ajalah gak ada yang sulit juga, karena juga udah terbiasa.”

  (Partisipan 8)

4. Perasaan keluarga saat berkomunikasi dengan klien

  Dari hasil wawancara yang telah dilakukan terhadap delapan partisipan, ada tiga perasaan yang dirasakan oleh keluarga saat berkomunikasi dengan klien yaitu merasa kelelahan, merasa khawatir kepada klien dan merasa kasihan kepada klien.

  a.

  Merasa kelelahan Partisipan merasa kelelahan saat berkomunikasi dengan klien tergambar dari dua kategori yaitu putus asa saat klien hanya diam ketika diajak berkomunikasi dan kesal saat klien memberi respon tidak sesuai dengan yang diharapkan.

  Satu dari delapan partisipan mengatakan putus asa saat klien hanya diam ketika diajak berkomunikasi. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan partisipan berikut :

  “Sudah saya ancam-ancam juga dia supaya mau ngomong tapi tetap aja diam dia, udah capek lah. Paling cuma diliatin aja kita. Ujungnya nangis lah dia. Keluar air mata dia.” (Partisipan 7)

  Dua partisipan mengungkapkan bahwa partisipan merasa kesal saat klien memberi respon tidak sesuai dengan yang diharapkan. Adapun pernyataan tersebut diungkapkan sebagai berikut:

  “Cemanalah ya, terkadang ayah itu mau lah pula marah. Kesal juga ada lah menjaganya. Sudah kita capek begadang, dimarahi lagi. Dia macam mau merepet tapi nggak bisa “ehh..ehh..” macam gitulah.”

  (Partisipan 3) “Awalnya emosi juga kita dibuatnya, karena diam aja terus dia sampe pernah itu saya pukul mulutnya supaya mau ngomong.” (Partisipan 7)

  b.

  Merasa khawatir kepada klien Perasaan khawatir yang dirasakan partisipan tergambar dari kategori yaitu merasa takut saat klien tidak bisa berbicara.

  Seorang dari delapan partisipan mengungkapkan bahwa merasa takut saat klien tidak bisa berbicara. Adapun pernyataan tersebut diungkapkan sebagai berikut :

  “Bingungnya yah, tadi suara jelaskan tapi kok tiba-tiba lidahnya mereng mulutnya juga gitu. “aahh..aahh” katanya gak bisa ngomong gitu jadi

cemas jugalah saya. Saya suruh juga coba ngomong tapi gak bisa.”

(Partisipan 6)

  c.

  Merasa kasihan kepada klien Partisipan merasa kasihan kepada klien tergambar dari dua kategori yaitu sedih saat klien tidak bisa mengucapkan kata-kata dan tetap sabar saat berbicara dengan klien.

  Dari hasil wawancara terhadap delapan partisipan, ada lima partisipan yang merasa sedih saat klien tidak bisa mengucapkan kata-kata. Hal ini dapat dilihat dari beberapa pernyataan partisipan berikut :

  “Sedihlah kita ya kek manalah orangtua ya kan. Apalagi kita hidup sama orangtua. Tiap hari di rumah biasa tiba-tiba gini dia gak bisa komunikasi. Sakit dia gak bi sa dibilangnya. Diam aja dia. Sedih aja lah paling.”

  (Partisipan 4) “Kalau sedih pun pasti ada. Tapi yah kita jangan nampakkan dengan dia. Makin sedih dia nanti.” (Partisipan 5) “Yah pasti sedih lah. Udah lain caranya sekarang..” (Partisipan 8)

  Dari hasil wawancara yang dilakukan terhadap delapan partisipan, ada tiga partisipan yang tetap sabar saat berbicara dengan klien. Hal tersebut dapat dilihat dari pernyataan pastisipan berikut :

  “Namanya juga orangtua awak, sabar-sabar juga lah.(Partisipan 3) “Pokoknya kalau dah kayak gitu dia saya gak mau marah. Nanti kan kalau saya bentak, makin lemah pula dia. Pokoknya kalau menghadapi pasien sabar aja lah.” (Partisipan 5) “…Sabar aja lah. Paling awal waktu dia sakit lah dek, agak jelas lah ngomongnya , sekarang gak jelas sama sekali.”

  (Partisipan 7) Tabel 1.2 Matriks Tema

  No Tema 1: Cara keluarga berkomunikasi dengan klien

  1. Sub Tema : Kategori : 1.

  a. Berkomunikasi Tidak menuliskan kata yang secara lisan diucapkan kepada klien

  2.

  a. Menggunakan Memberikan sentuhan gerakan tubuh b.

  Mendekat saat berkomunikasi dengan klien

  Tema 2 : Hambatan saat berkomunikasi dengan klien 2. Sub Tema : Kategori : 1.

  a. Kurangnya Tidak mengerti dengan ucapan klien pengetahuan tentang b.

  Salah mengartikan maksud klien berkomunikasi c.

  Mengalami kesulitan saat dengan klien berkomunikasi dengan klien

  2.

  a. Gangguan fisik yang Klien sulit mengucapkan kata-kata dialami klien b.

  Klien tidak bisa menulis c. Klien tidak bisa membaca d.

  Klien merasa sakit saat berkomunikasi

  3.

  a. Gangguan psikis Klien mudah marah yang dialami klien b.

  Klien mudah menangis

  

Tema 3 : Usaha yang dilakukan keluarga untuk mengatasi hambatan

saat berkomunikasi dengan klien

  3. Sub Tema : Kategori : 1.

  a. Meminta klien untuk Meminta klien untuk memberitahu menunjuk dengan mengarahkan kepada yang ingin diucapkan 2.

  a. Meminta klien Meminta klien untuk mengulangi menggunakan ucapan yang disampaikan klien bahasa verbal b.

  Meminta klien untuk berbicara pelan 3.

  a. Sering Sering bertemu dengan klien berkomunikasi b.

  Sudah terbiasa berkomunikasi dengan dengan klien klien

  Tema 4 : Perasaan keluarga saat berkomunikasi dengan klien

  4. Sub Tema : Kategori : 1.

  a. Merasa kelelahan Putus asa saat klien hanya diam ketika diajak berkomunikasi b. Kesal saat klien memberi respon yang tidak sesuai dengan yang diharapkan

  2.

  a. Merasa khawatir Takut saat klien tidak bisa berbicara kepada klien

  3.

  a. Merasa kasihan Sedih saat klien tidak bisa kepada klien mengucapkan kata-kata b.

  Tetap sabar saat berbicara dengan klien

4.2 Pembahasan

  Pada bagian ini diuraikan tentang pembahasan hasil penelitian dengan literatur yang berhubungan dengan pengalaman keluarga dalam berkomunikasi dengan pasien stroke yang meliputi cara keluarga berkomunikasi dengan klien, hambatan saat berkomunikasi dengan klien, usaha yang dilakukan keluarga untuk mengatasi hambatan saat berkomunikasi dengan klien, dan perasaan keluarga saat berkomunikasi dengan klien.

1. Cara keluarga berkomunikasi dengan klien

  Hasil penelitian terhadap delapan partisipan menyebutkan bahwa ada dua cara dalam berkomunikasi dengan klien. Cara berkomunikasi tersebut adalah berkomunikasi secara lisan dan menggunakan gerakan tubuh. Jenis komunikasi sebagaimana disampaikan oleh Widjaja (2000 dalam Mundakir, 2006) dibedakan menjadi lima macam, yaitu komunikasi tertulis, komunikasi verbal, komunikasi satu arah, dan komunikasi dua arah.

1.1 Berkomunikasi secara lisan

  Dua partisipan mengatakan cara berkomunikasi dengan klien yaitu berkomunikasi secara lisan atau yang sering disebut dengan bahasa verbal. Hal ini sesuai dengan pernyataan Mundakir (2006) bahwa komunikasi verbal adalah komunikasi yang disampaikan secara lisan dan dapat dilaksanakan secara langsung dengan percakapan tatap muka. Pada saat wawancara terhadap partisipan, peneliti juga memperhatikan teknik komunikasi verbal yang dilakukan oleh partisipan. Teknik yang dilakukan oleh partisipan sesuai dengan literatur cara berkomunikasi dengan pasien afasia. Teknik komunikasi verbal tersebut yaitu berbicara dengan kalimat pendek dan lambat agar pasien mempunyai waktu untuk mengerti, mengakui jika partisipan tidak mengerti, tidak berbicara dengan suara dan nada keras, memandang klien saat berbicara, dan berbicara seperti klien sebelum sakit (Kusumoputro & Sidiarto, 2009).

1.2 Menggunakan gerakan tubuh

  Dari hasil wawancara yang dilakukan terhadap delapan partisipan, gerakan tubuh yang partisipan lakukan yaitu memberikan sentuhan dan mendekat saat berkomunikasi dengan klien. Menggunakan gerakan tubuh atau disubut dengan komunikasi non verbal merupakan komunikasi yang tidak melihatkan bicara dan tulisan (Musliha & Fatmawati, 2010). Partisipan mengungkapkan perhatian, empati dan kasih sayang melalui sentuhan kepada klien (Mundakir, 2006).

  Partisipan juga mendekat dengan klien saat berbicara, hal ini dilakukan agar klien dapat mendengar apa yang partisipan katakan kepada klien.

2. Hambatan saat berkomunikasi dengan klien

  Dari hasil wawancara yang dilakukan terhadap delapan partisipan terdapat tiga hambatan saat berkomunikasi dengan klien. Hambatan tersebut yaitu kurangnya pengetahuan tentang berkomunikasi dengan klien, gangguan fisik yang dialami klien dan gangguan psikis yang dialami klien. Gangguan fisik dan psikis yang dialami klien menjadi hambatan bagi keluarga untuk dapat berkomunikasi dengan klien. Dengan kata lain bahwa klien yang sebagai komunikan, menjadi penghambat dalam proses komunikasi. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan oleh Kariyoso (1994 dalam Nurhasanah, 2010) bahwa faktor yang mempengaruhi komunikasi dapat ditinjau dari komunikator dan komunikan.

  2.1 Kurangnya pegetahuan tentang berkomunikasi dengan klien Dari hasil wawancara yang dilakukan terhadap delapan partisipan, terdapat tiga kategori yang menggambarkan kurangnya pegetahuan tentang berkomunikasi dengan klien yaitu tidak mengerti dengan ucapan klien, salah mengartikan maksud klien, dan mengalami kesulitan saat berkomunikasi dengan klien. Salah satu jenis hambatan dalam berkomunikasi yaitu berhubungan dengan kemampuan pengetahuan (Nurhasanah, 2010). Secara umum hambatan yang terjadi selama komunikasi yaitu kurangnya pengetahuan, perbedaan persepsi, dan perbedaan bahasa (Mundakir, 2006). Hal ini dialami oleh parisipan yaitu tidak mengerti dengan ucapan klien dengan kata lain bahwa partisipan tidak memahami bagaimana cara berkomunikasi dengan pasien stroke yang mengalami gangguan komunikasi sehingga antara partisipan dan klien mengalami perbedaan persepsi saat berkomunikasi.

  2.2 Gangguan fisik yang dialami klien Gangguan fisik yang dialami klien menjadi hambatan bagi partisipan untuk berkomunikasi dengan klien. Hambatan fisik yang didapatkan dari beberapa partisipan, tergambar dari empat kategori yaitu klien sulit mengucapkan kata-kata, klien tidak bisa menulis, klien tidak bisa membaca, dan klien merasa sakit saat berkomunikasi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Mundakir (2006) bahwa salah satu penghambat proses komunikasi yaitu kondisi fisik yang tidak baik atau adanya indara yang rusak. Empat kategori yang didapatkan juga sesuai dengan literatur gangguan komunikasi yang dialami pasien stroke yaitu sering pasien sukar atau tidak mampu mengeluarkan kata-kata yang hendak dituturkan dan juga kemampuan membaca dan menulis pasien menjadi kurang (Kusumoputro & Sidiarto, 2009).

2.3 Gangguan psikis yang dialami klien

  Kondisi psikis yang kurang baik dari klien menjadi penghambat bagi partisipan untuk berkomunikasi dengan klien. Hal ini tergambar dari dua kategori yang didapatkan dari hasil wawancara yaitu klien mudah marah dan klien mudah menangis. Psikis merupakan hambatan yang menyangkut faktor kejiwaan, emosional, tidak saling percaya, dan penilaian menghakimi (Nurhasanah, 2010). Emosi seperti marah, sedih, dan senang akan dapat mempengaruhi seseorang dalam berkomunikasi dengan orang lain (Priyanto, 2009).

  Menurut Mundakir (2006) salah satu hambatan dalam proses komunikasi yaitu kondisi mental yang kurang baik yang dialami oleh komunikator ataupun komunikan, hal ini sesuai dengan yang dirasakan oleh partisipan saat berkomunikasi dengan klien. Masalah yang dihadapi pasien stroke dalam berkomunikasi yaitu pasien sulit mengontrol emosi, pasien dapat pula cepat marah, mudah tersinggung dan murung (Kusumoputro & Sidiarto, 2009)

3. Usaha yang dilakukan keluarga untuk mengatasi hambatan saat berkomunikasi dengan klien

  Dari hasil wawancara terhadap delapan partisipan didapatkan ada tiga usaha yang dilakukan partisipan untuk mengatasi hambatan saat berkomunikasi, yaitu meminta klien untuk menunjuk, meminta klien menggunakan bahasa verbal, dan sering berkomunikasi dengan klien.

  3.1 Meminta klien untuk menunjuk Menurut Mulyatsih & Ahmad (2010), salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengetahui apa yang pasien inginkan adalah menyediakan papan komunikasi yang berisi gambar atau simbol aktifitas kegiatan harian pasien yang dapat menjadi media komunikasi sehingga pasien dapat menunjuk apa yang pasien inginkan. Hal ini sejalan dengan upaya yang dilakukan partisipan untuk mengatasi hambatan saat berkomunikasi yaitu meminta klien untuk menunjuk apa yang klien inginkan. Contohnya seperti pada saat klien ingin minta minum, akhirnya partisipan tahu karena klien menunjuk botol minuman. Hal ini juga mempermudah klien mengingat bahwa klien sulit untuk mengucapkan kata-kata dan tidak bisa menulis.

  3.2 Meminta klien menggunakan bahasa verbal Salah satu upaya yang dilakukan partisipan adalah meminta klien menggunakan bahasa verbal yang tergambar dari dua kategori yaitu meminta klien untuk mengulangi ucapan yang disampaikan klien dan meminta klien berbicara pelan. Walaupun membutuhkan waktu cukup lama untuk mengerti maksud klien, tetapi akhirnya partisipan dapat mengerti ucapan klien. Usaha yang dilakukan partisipan juga dapat melatih klien berbicara dan mempercepat pemulihan. Hal ini juga sesuai dengan pernyataan Mulyatsih & Ahmad (2010) bahwa untuk mempercepat pemulihan, pasien stroke yang mengalami gangguan komunikasi dianjurkan untuk berlatih dengan terapis wicara secara tetatur.

3.3 Sering berkomunikasi dengan klien

  Dua partisipan mengatakan bahwa mereka tidak lagi merasa kesulitan karena sering berkomunikasi dengan klien yang tergambar dari dua kategori yaitu sering bertemu dengan klien dan sudah terbiasa berkomunikasi dengan klien. Dapat disimpulkan bahwa partisipan belajar dari pengalaman untuk dapat mengatasi hambatan dalam berkomunikasi dengan klien. Hal ini sesuai dengan pernyataan Mundakir (2006) bahwa ketepatan komunikan dalam menafsirkan pesan dipengaruhi oleh pengetahuan, pengalaman, dan fungsi indra yang digunakan.

4. Perasaan keluarga saat berkomunikasi dengan klien

  Berkomunikasi dengan pasien stroke tidak lah mudah, terutama dengan pasien stroke yang mengalami gangguan komunikasi (afasia). Hasil dari penelitian pengalaman keluarga dalam berkomunikasi dengan pasien stroke mengungkapkan tentang berbagai perasaan yang dialami oleh keluarga. Berbagai macam perasaan yang muncul ketika keluarga berkomunikasi dengan klien dan perasaan itu dipengaruhi oleh bagaimana klien memberi respon kepada keluarga.

  Dari hasil penelitian yang dilakukan wawancara terhadap delapan partisipan terdapat tiga perasaan saat berkomunikasi dengan klien yaitu merasa kelelahan, merasa khawatir kepada klien dan merasa kasihan kepada klien.

  4.1 Merasa kelelahan Merasa kelelahan yang diungkapkan partisipan tergambar dari dua kategori yaitu putus asa saat klien hanya diam ketika diajak berkomunikasi dan kesal saat klien memberi respon tidak sesuai dengan yang diharapkan. Kelelahan yang diekspresikan oleh partisipan saat berkomunikasi yaitu dalam bentuk perasaan putus asa dan kekesalan kepada klien.

  Kelelahan adalah kondisi akut yang dimulai dari rasa letih yang kemudian mengarah pada kelelahan mental maupun fisik. Perasaan lelah ini lebih dari sekedar perasaan letih dan mengantuk, perasaan lelah ini terjadi ketika seseorang telah sampai kepada batas kondisi fisik atau mental yang dimilikinya (Australian

  Safety and Compentation Counsil, 2006)

  4.2 Merasa khawatir kepada klien Dari hasil wawancara yang dilakukan terhadap delapan partisipan, ada yang seorang partisipan yang merasa khawatir yang tergambar dari kategori yaitu takut saat klien tidak bisa berbicara. Pada dasarnya, khawatir atau kecemasan merupakan hal yang pernah dialami oleh setiap manusia. Kecemasan sudah dianggap sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari. Kecemasan adalah suatu perasaan yang sifatnya umum, dimana seseorang merasa ketakutan atau kehilangan kepercayaan diri yang tidak jelas asal maupun wujudnya (Sutardjo Wiramihardja, 2005).

  4.3 Merasa kasihan kepada klien Perasaan kasihan yang dirasakan oleh partisipan tergambar dari ungkapan mereka yang menyatakan bahwa sedih saat klien tidak bisa mengungkapkan kata- kata dan tetap sabar saat berbicarai dengan klien walaupun klien memberikan respon yang tidak sesuai dengan yang diharapkan. Partisipan juga menyadari keterbatasan klien dalam berkomunikasi sehingga partisipan merasa kasihan dan tidak marah jika klien tidak bisa memberikan umpan balik kepada partisipan.

  Kasihan merupakan emosi manusia yang muncul akibat penderitaan oranglain, perasaan ini biasanya memunculkan usaha untuk mengurangi penderitaan orang lain.

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN

  1. Kesimpulan

  Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap delapan keluarga dari pasien stroke yang mengalami gangguan komunikasi di RSUD Dr. Pirngadi Medan, peneliti mendapatkan empat tema disertai dengan masing-masing subtema dalam bagian-bagiannya yang terkait dengan pengalaman keluarga dalam berkomunikasi dengan pasien stroke. Tema tersebut adalah cara berkomunikasi dengan klien, hambatan saat berkomunikasi dengan klien, usaha yang dilakukan untuk mengatasi hambatan saat berkomunikasi dengan klien, dan perasaan keluarga saat berkomunikasi dengan klien.

  2. Saran

2.1 Bagi praktek keperawatan keluarga

  Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai sumber pengetahuan dan informasi bagi perawat keluarga untuk mengajarkan keluarga bagaimana cara berkomunikasi dengan pasien stroke yang mengalami gangguan komunikasi.

  2.2 Bagi Pendidikan Keperawatan Dalam pendidikan keperawatan perlu ditingkatkan pemahaman materi mengenai gangguan komunikasi yang dialami pasien stroke sehingga perawat yang di rumah sakit dapat membantu keluarga dalam berkomunikasi dengan pasien stroke.

  57

  2.3 Bagi peneliti selanjutnya Hasil penelitian ini dapat berguna bagi peneliti lainnya atau penelitian selanjutnya untuk melakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui bagaimana cara keluarga dalam merawat pasien stroke yang mengalami gangguan komunikasi.

Dokumen yang terkait

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Teoritis - Analisis Flypaper Effect Dana Alokasi Umum (DAU), Pendapatan Asli Daerah (PAD), Belanja Daerah Terhadap Efisiensi Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Sumatera Utara

0 1 26

Analisis Flypaper Effect Dana Alokasi Umum (DAU), Pendapatan Asli Daerah (PAD), Belanja Daerah Terhadap Efisiensi Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Sumatera Utara

0 0 11

a. Laki-laki b. Perempuan 3 Tingkat Pendidikan a. SMP b. SMU c. DIII d. S1 e. S2 4 Masa Kerja - Pengaruh Perubahan Struktur Organisasi Terhadap Kinerja Pegawai Negeri Sipil (PNS) Pada Badan Perencanaan Pembangunan Dearah (Bappeda) Padang Sidimpuan

0 0 16

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengorganisasian 2.1 Definisi Pengorganisasian - Pengaruh Perubahan Struktur Organisasi Terhadap Kinerja Pegawai Negeri Sipil (PNS) Pada Badan Perencanaan Pembangunan Dearah (Bappeda) Padang Sidimpuan

0 1 21

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Pengaruh Perubahan Struktur Organisasi Terhadap Kinerja Pegawai Negeri Sipil (PNS) Pada Badan Perencanaan Pembangunan Dearah (Bappeda) Padang Sidimpuan

0 1 9

BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Deskripsi Teori 2.1.1 Usaha Kecil Menengah - Strategi Keunggulan Bersaing Pada Ukm Kacang Garing Martabe Dalam Menghadapi Persaingan Antar Usaha Kacang Garing Di Silangkitang - Tapanuli Utara

0 0 43

Strategi Keunggulan Bersaing Pada Ukm Kacang Garing Martabe Dalam Menghadapi Persaingan Antar Usaha Kacang Garing Di Silangkitang - Tapanuli Utara

0 0 16

2. IPE 2.1 Definisi IPE - Analisis Persepsi, Motivasi, dan Kesiapan Dosen Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Sumatera Utara pada Interprofessional Education (IPE)

0 6 16

BAB 2 LANDASAN TEORI - Perencanaan Produksi Kopi Menggunakan Model Matriks Transportasi Bowman(Studi Kasus: Pt.Sumatera Specialty Coffees)

0 0 41

Pengalaman Keluarga dalam Berkomunikasi dengan Pasien Stroke di RSUD Dr. Pirngadi Medan

0 3 49