STUDI KOMPARATIF BAITUL MAL DALAM ISLAM

1

STUDI KOMPARATIF BAITUL MĀL DALAM ISLAM DAN DEPARTEMEN
KEUANGAN DALAM SISTEM KAPITALISME
Ahmad Suminto1
Mohammad Ghozali2

Abstrak
Perbandingan Baitul Māl dalam Islam dengan Departemen Keuangan dalam
sistem kapitalis. Kehebatan kapitalis sudah mulai dipertanyakan oleh banyak ekonom.
Krisis ekonomi selalu terjadi sepanjang sejarah, maka diperlukan ekonomi alternatif.
Ekonomi yang dicita-citakan adalah sebuah sistem ekonomi yang mampu menciptakan
keadilan dan kesejahteraan bersama, diiringi oleh konsep keberkahan dunia dan
akhirat. Inilah ekonomi Islam yang akan membawa keadilan dan kesejahteraan
menyeluruh. Ekonomi Islam dianggap sebagai jalan keluar untuk mengatasi persoalan
ekonomi kontemporer. Kajian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan antara
konsep Baitul Māl dalam Islam dengan konsep Departemen Keuangan dalam sistem
kapitalis. Jenis Kajian ini kualitatif dengan menggunakan pendekatan metode literatur
(kepustakaan). Hasil dalam Kajian ini adalah bahwa Islam menghadirkan sistem
perbendaharaan keuangan suatu negara dengan sebutan Baitul Māl, sedangkan dalam
sistem kapitalis menghadirkan sistem perbendaharaan keuangan dengan sebutan,

Departemen Keuangan. Pada dasarnya kedua sistem tersebut peran, tugas dan
fungsinya adalah berbeda, terutama mengenai prinsip dasar dari kedua sistem ini.
Baitul Māl adalah warisan Rasulullah dan para sahabat. Peran, tugas dan fungsi dari
Baitul Māl diambil dan diamalkan sesuai al-Qur’an dan al-Hadist, terdapat sisi
horizontal dan vertikal yang mengaturnya. Berbeda dengan sistem Departemen
Keuangan, peran, tugas dan fungsinya diatur dan dibuat oleh pikiran dan atas
kemauan manusia, sehingga tidak luput dari sifat kekuasaan dan kerakusan manusia.
Dalam sistem Departemen Keuangan tidak ada campur tangan agama dan berusaha
memisahkan dengan agama.
Pasword: Baitul Māl, Departemen Keuangan, Sistem Kapitalis

A. Pendahuluan
1Mahasiswa Pasca Sarjana, Program Studi Ekonomi Syariah, Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
Ponorogo, email ahmadsuminto31@gmail.com
2Dosen Pasca Sarjana Ekonomi Syariah, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ponorogo, email
mohammadghozali@unida.gontor.ac.id

2

Ilmu ekonomi terbagi atas dua aliran, yaitu kapitalisme dari Adam Smith (1776)

dan aliran sosialisme dari Karl Mark (1884:1879). Namun, sejak tahun 1984 muncul
gagasan dari para ekonom Islam untuk memunculkan sistem perekonomian Islam dasar
dari ekonomi Islam tidak lain adalah al-Qur’an dan al-Hadith.3
Zamzam AJ. Tanuwijaya4 mengatakan bahwa: “Kebudayaan sebuah bangsa
ditentukan oleh dua hal, yaitu pegelolaan terhadap kaum perempuannya dan
pengelolaan terhadap harta bendanya”. Oleh karena itu, sudah selayaknya jika kedua hal
ini menjadi perhatian semua pihak, khususnya menyangkut tentang pengelolaan harta
benda dalam urusan negara.
Merujuk pada al-Qur’an Surat at-Taubah ayat 605 dan al-Qur’an Surat alBaqarah ayat 282,6 dapat diketahui adanya perintah untuk membentuk suatu lembaga
yang khusus menangani persoalan muamalah atau transaksi-transaksi keuangan di
kalangan umat Islam. Lembaga ini telah dikenal sejak dahulu sampai dengan saat ini,
yang populer disebut dengan Baitul Māl. Dengan kata lain bahwa, di kalangan umat
Islam diperlukan sebuah lembaga keuangan yang berfungsi untuk mengatur urusan
transaksi di bidang keuangan dan harta benda berdasarkan syariat Islam.7
Al-Qur’an memang tidak secara tegas menyebut tentang “Baitul Māl”, tetapi
kemudian istilah itulah yang kemudian dipahami paling mendekati perintah-perintah
Allah SWT sebagaimana dalam firman-Nya di atas. Namun kemudian dalam
perkembangannya, istilah “Baitul Māl” telah mengalami perkembangan dan perubahan.
Perkembangan dalam pengertian telah menjadi sebuah lembaga keuangan dan harta
benda yang berfungsi untuk mengatur lalu lintas keuangan masyarakat Islam. Dan

perubahan dalam pengertian telah berkembag menjadi semacam lembaga-lembaga
keuangan rakyat yang tidak dapat dipandang lagi sebagai implementasi dari perintah alQur’an dan hadith.8

3 Masyhuri, Ekonomi Islam (Malang: UIN Malang Press, 2007), hlm. 3.
4 Zamzam AJ. Tanuwijaya: Dosen dan ahli cuaca dari Institut Teknologi Bandung.
5 “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, penguruspengurus zakat, Para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang
berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan
yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”
6 “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang
ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu
menuliskannya dengan benar”
7 Syariat Islam adalah segala ketentuan yang bersumber dari al-Qur’an, hadith maupun fiqh Islam
lainnya.

3

Pada sisi yang lain, masyarakat muslim tidak dapat lagi melepaskan diri dari
keterhubungannya dengan lembaga-lembaga keuangan pemerintah dan swasta (bank)
yang notabene bertentangan dengan al-Qur’an dan hadith (bersifat riba). Keadaan ini
telah membelit masyarakat dan susah untuk melepaskan diri, karena sistem ekonomi

yang dibangun oleh negara seperti itu.
Suatu sistem ekonomi tidak berdiri sendiri, tetapi berkaitan
dengan falsafah dan pola hidup masyarakat tempatnya berpijak.
Sistem ekonomi

yang diterapkan

di Indonesia

sering

menjadi

pertanyaan atau perdebatan dalam masyarakat. Dewasa ini terdapat
berbagai pertentangan diberbagai negara. Dari berbagai sistem
ekonomi yang berbeda-beda tersebut tumbuh unsur politik yang ada
dibelakangnya sehingga mempengaruhi suatu lembaga (departemen
keuangan) sehingga muncul yang namanya sistem ekonomi kapitalis
dan sistem ekonomi Islam.
Sistem kapitalis telah diterima dan dipraktekkan di dalam

masyarakat, maka boleh dikatakan bahwa sistem kapitalis dapat ditentukan oleh
manusia di dalam masyarakat dan boleh berubah mengikuti ketentuan masyarakat. 9
Akan tetapi, realitas ekonomi dunia menunjukkan sama sekali tidak menggambarkan
kondisi yang Islami. Dalam pemikiran Islam point utama yang perlu dipertanyakan
adalah bagaimana manusia, kelompok atau pemerintah seharusnya bertindak dalam
masyarakat Islam yang kaffah seperti tertulis dalam al-Qur’an.10
Karena pada hakikatnya Islam adalah agama yang kaffah, universal dan
komprehensif, mengatur semua aspek kehidupan manusia, termasuk kehidupan
ekonomi dan lembaga yang mengatur perbendaharaan keuangan
(departemen keuangan).11 Maka, Islam merupakan agama universal yang mampu
menuntun umatnya menuju kehidupan yang lebih baik. Islam telah menjelaskan
berbagai hal kepada umatnya mulai dari bagaimana cara mendapatkan kehidupan yang

8 Mustaring, Jurnal: Eksistensi “Baitul Māl” dan Peranannya Dalam Perbaikan Ekonomi Rumah
Tangga Dalam Era Masyarakat Ekonomi Asean (Makasar: Universitas Negeri Makasar, 2016), hlm. 118.
9 One.indoskripsi.com, 6-5-2009.
10 Masyhuri, dkk, Kajian Teori Ekonomi dalam Islam, (Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia, 2003), hlm. 42.
11 Ismail Nawawi, Perbankan Syariah Isu-isu Manajemen Fiqh Muamalah Pengkayaan Teori Menuju
Praktik, cet.1 (Surabaya: Viv press, 2011), hlm. 1.


4

bahagia di dunia dan di akhirat yakni melalui beberapa aturan-aturan yang telah
ditetapkan dalam Islam tepatnya di dalam al-Quran dan Hadith.
Dengan demikian, adanya ekonomi Islam diharapkan dapat menjadi solusi dari
permasalahan yang ada, sebagai sistem ekonomi jalan tengah. Sehingga, harapan
terwujudnya sistem ekonomi yang berkeadilan menuju kemakmuran dan pemerataan
“baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur” dapat tercipta.12
B. Pengertian Baitul Māl
Baitul Māl berasal dari bahasa Arab “bait” yang berarti “rumah”, dan “al-māl”
yang berarti “harta”.13 Jadi secara etimologis (ma’na lughawi) Baitul Māl berarti rumah
untuk mengumpulkan dan menyimpan harta. Secara terminologis (ma’na ishtilahi),
Baitul Māl adalah sebuah departement tempat penampungan keuangan negara dan dari
sanalah semua kebutuhan keuangan negara akan dibelanjakan. 14 Menurut Taqiyuddin
an-Nabhani,15 Baitul Māl adalah pos yang dikhususkan untuk semua pemasukan atau
pengeluaran harta yang menjadi hak kaum muslim.16
Setiap hak yang wajib diberikan untuk kepentingan kaum muslim berlaku untuk
Baitul Māl. Apabila diberikan dalam salah satu Baitul Māl maka harta tersebut telah
menjadi bagian dari pengeluaran Baitul Māl, baik dikeluarkan dari kasnya maupun

tidak. Sebab, harta yang diserahkan kepada para penguasa kaum muslim beserta para
pembantu mereka, atau dikeluarkan melalui tangan mereka, maka hukum Baitul Māl
berlaku untuk harta tersebut; baik terkait dengan pemasukan maupun pengeluarannya. 17
Baitul Māl merupakan institusi khusus yang menangani harta yang diterima negara dan
mengalokasikannya bagi kaum muslim yang berhak menerimanya. Jadi Baitul Māl

12 Islam mengajarkan agar kita mampu menciptakan kesejahteraan yang diiringi dengan keberkahan,
merujuk firman Allah Swt. dalam al-Qur’an Surat Saba’ ayat 15.
13 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, cet. ke-2 (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1999),
hlm. 68.
14 Muhammad Rawwas Qa’ahji, Ensiklopedi Fiqh Umar Ibn al-Khattab (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 1999), hlm. 7.
15 Taqiyuddin an-Nabhani, Sistem Ekonomi Islam, Terj. Redaksi al-Azhar Press, dalam judul asli: anNizham al-Iqtishadi fi al-Islam (Bogor: al-Azhar Press, 2010), hlm. 317.
16 Setiap harta yang menjadi hak kaum muslim, sementara pemiliknya tidak jelas, merupakan hak Baitul
Māl, bahkan yang pemiliknya jelas sekalipun. Apabila harta telah diambil, dengan pengambilan tersebut,
telah menjadi hak Baitul Māl; baik dimasukkan ke dalam kasnya maupun ataupun tidak. Sebab, Baitul
Māl mencerminkan sebuah pos, bukan tempat.
17 Taqiyuddin an-Nabhani, Sistem Ekonomi Islam, hlm. 317.

5


adalah tempat penampungan dan pengeluaran harta,18 yang merupakan bagian dari
pendapatan negara.19
Dengan demikian, Baitul Māl dengan makna seperti ini mempunyai pengertian
sebagai sebuah lembaga atau pihak yang menangani harta negara, baik pendapatan
maupun pengeluaran. Baitul Māl dapat juga diartikan secara fisik sebagai tempat untuk
menyimpan dan mengelola segala macam harta yang menjadi pendapatan negara.
C. Sejarah Ringkas Baitul Māl
1. Masa Rasulullah SAW (1-11 H/622-632 M)
Baitul Māl sesungguhnya sudah ada sejak masa Rasulullah SAW, pertama kali
berdirinya Baitul Māl sebagai sebuah lembaga adalah setelah turunnya firman Allah
SWT, yakni di Badar seusai perang dan saat itu para sahabat berselisih tentang
ghanimah :
      
     
      
 
“Mereka menanyakan kepadamu tentang (pembagian) harta rampasan perang.
Katakanlah: “Harta rampasan perang kepunyaan Allah dan Rasul,20 oleh sebab itu
bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah perhubungan di antara sesamamu; dan

taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kamu adalah orang-orang yang
beriman.”” (QS. al-Anfal 8: 1)21
Dengan ayat ini, Allah SWT menjelaskan hukum tentang pembagian harta
rampasan perang dan menetapkannya sebagai hak bagi seluruh kaum muslimin.
Selain itu, Allah SWT juga memberikan wewenang kepada Rasulullah SAW untuk
membagikannya sesuai pertimbangan beliau mengenai kemaslahatan kaum
muslimin. Dengan demikian, ghanimah perang badar ini menjadi hak bagi Baitul
Māl, di mana pengelolaannya dilakukan oleh Waliyyul Amri kaum muslimin, yang

18 Setiap harta baik, tanah, bangunan, barang tambang, uang, komoditas perdagangan maupun harta
benda lainya di mana kaum muslimin berhak memilikinya sesuai hukum syara’ dan tidak ditentukan
individu pemiliknya, walaupun telah tertentu pihak yang berhak menerimanya, maka secara hukum,
harta-harta itu adalah hak Baitul Māl, yakni sudah dianggap sebagai pemasukan bagi Baitul Māl. Secara
hukum, harta-harta itu adalah milik Baitul Māl, baik yang benar-benar masuk ke dalam tempat
penyimpanan Baitul Māl maupun yang belum.
19 http://www.laskarislam.com/t10250-konsep-baitul-mal. (Forum Kajian Islam dan Diskusi Lintas
Agama Laskar Islam.Com)
20 Maksudnya: pembagian harta rampasan itu menurut ketentuan Allah dan Rasul-Nya.
21 Al-Qur’an dan Terjemahnya, Surat al-Anfal 8:1.


6

pada saat itu adalah Rasulullah SAW sendiri sesuai dengan pendapatnya untuk
merealisasikan kemaslahatan kaum muslimin.22
2. Masa Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq (11-13 H/632-634 M)
Ketika Abu Bakar Ash-Shiddiq menjadi khalifah, jika datang harta kepadanya
dari wilayah-wilayah kekuasaan khilafah Islamiyah, Abu Bakar Ash-Shiddiq
membawa harta itu ke masjid Nabawi dan membagi-bagikannya kepada orang-orang
yang berhak menerimanya. Untuk urusan ini, Khalifah Abu Bakar telah mewakilkan
kepada Abu Ubaidah bin al-Jarrah. Hal itu masih berlangsung di tahun pertama
kekhilafahannya (11 H/632 M).23
Kemudian pada tahun kedua kekhilafahannya (12 H/633 M), Abu Bakar AshShiddiq merintis embrio Baitul Māl dalam arti yang lebih luas. Baitul Māl bukan
sekedar berarti pihak (al- jihat) yang menangani harta umat, namun juga berarti suatu
tempat (al-makan) untuk menyimpan harta negara. Abu Bakar menyiapkan tempat
khusus di rumahnya berupa karung atau kantung (ghirarah) untuk menyimpan harta
yang dikirimkan ke Madinah. Hal ini berlangsung sampai kewafatan beliau pada
tahun 13 H/634 M.
Seperti halnya Rasulullah SAW, Abu Bakar Ash-Shidiq24 juga melaksanakan
kebijakan pembagian tanah hasil taklukan (ghanimah), sebagian diberikan kaum
muslimin sebagian yang lain tetap menjadi tangunggan negara. Di samping itu, ia

juga mengambil alih tanah-tanah dari orang-orang yang murtad untuk kemudian
dimanfaatkan demi kepentingan umat Islam secara keseluruhan.25

22 Abdul Qadim Zallum, Al-Amwal Fi Daulah al-Khilafah, cet. ke-1 (Beirut: Darul ‘Ilmi Lil Malayin,
1983), hlm. 23.
23 Ibid.
24 Setelah Nabi Muhammad SAW wafat, Abu Bakar Ash-Shiddiq menjadi khalifah Islam yang pertama
pada tahun 632 hingga tahun 634 M. Lahir dengan nama Abdullah bin Abi Quhafah, ia adalah satu di
antara empat Khalifah yang diberi gelar Khulafaur Rasyidin atau khalifah yang diberi petunjuk.
Mengeluarkan kebutuhan Khalifah Abu Bakar yaitu sebesar dua setengah atau tiga perempat dirham
setiap harinya dengan tambahan makanan berupa daging domba dan pakaian biasa. Setelah berjalan
beberapa waktu, ternyata tunjangan tersebut kurang mencukupi sehingga di tetapkan 2.000 atau 25.000
dirham menurut keterangan lain mencapai 6.000 dirham pertahun.
25 Afzalurrahman, Doktrin Ekonomi Islam, terj. Soeroyo (Yogyakarta: PT Dhana Bakti Wakaf, 1995),
hlm. 320.

7

3. Masa Khalifah Umar ibn al-Khathab (13-23 H/634-644 M)
Khalifah pengganti Abu Bakar ash-Shiddiq melakukan sejumlah perubahan
terhadap tata kelola administrasi Baitul Māl yang telah hadir sejak masa Rasulullah
SAW. Pada masa Umar ibn al-Khattab,26 seiring dengan semakin meluasnya wilayah
kekuasaan Islam pada masa pemerintahan Umar ibn al-Khattab, pendapatan negara
mengalami peningkatan yang sangat signifikan. Hal ini membutuhkan perhatian
khusus untuk mengelolanya agar bisa dimanfaatkan secara benar, efektif, dan efisien.
Cikal bakal Baitul Māl memang telah diterapkan pada masa Rasulullah dan
dilanjutkan Abu Bakar, dan semakin dikembangkan fungsinya pada masa Umar ibn
al-Khattab sehingga menjadi lembaga yang reguler dan permanen.27
Walaupun pada masa ini uang dan properti28 Baitul Māl dikontrol oleh pejabat
keuangan atau disimpan dalam penyampaian (seperti zakat dan ushr) mereka tidak
memiliki wewenang untuk membuat keputusan. Kekayaan negara itu ditujukan pada
kelas-kelas tertentu dalam masyarakat harus dibelanjakan sesuai prinsip-prinsip alQur’an.
Untuk mendistribusikan harta Baitul Māl, Khalifah Umar ibn al-Khattab
mendirikan beberapa departemen yang dianggap perlu seperti:
1. Departemen pelayanan militer;
2. Departemen kehakiman dan eksekutif;
3. Departemen pendidikan dan pengembangan Islam;
4. Departemen jaminan sosial.29
5.

Masa Khalifah Utsman ibn Affan (23-35 H/644-656 M)
Kondisi yang sama juga berlaku pada masa Utsman ibn Affan. Namun,
karena pengaruh yang besar dan kaum keluarganya, tindakan Utsman banyak
mendapatkan protes dari umat dalam pengelolaan Baitul Māl. Dalam hal ini, lbnu

26 Umar dilahirkan di kota Mekkah dari suku Bani Adi, salah satu rumpun suku Quraisy, suku terbesar
di kota Mekkah saat itu. Ayahnya bernama Khattab bin Nufail al-Shimh al-Quraisyi dan ibunya Hantamah
binti Hasyim, dari marga Bani Makhzum.
27 Yogie Respati, http://mysharing.co/baitul-mal-di-masa-umar-bin-khattab. 22/12/2014. (Baitul Māl di
Masa Umar bin Khattab).
28 Properti Baitul Māl dianggap sebagai “harta kaum muslim” sedangkan Khalifah dan amil-amilnya
hanyalah pemegang kepercayaan. Jadi merupakan tanggung jawab negara untuk mengadakan tunjangan
yang berkesinambungan untuk janda, anak yatim, anak terlantar membiayai penguburan orang miskin
membayar utang orang-orang bangkrut, membayar diyat untuk kasus-kasus tertentu (membayarkan
diyat), dan meminjamkan uang tanpa bunga untuk hal-hal yang bersifat komersial.
29 Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, hlm. 92.

8

Sa’ad menukilkan ucapan Ibnu Syihab az-Zuhri (51-123 H/670-742 M), seorang
yang sangat besar jasanya dalam mengumpulkan hadith, yang menyatakan:
“Utsman telah mengangkat sanak kerabat dan keluarganya dalam jabatanjabatan tertentu pada enam tahun terakhir dari masa pemerintahannya. Ia
memberikan khumus (seperlima ghanimah) kepada Marwan yang kelak
menjadi Khalifah ke- 4 Bani Umayyah, memerintah antara 684-685 M dari
penghasilan Mesir serta memberikan harta yang banyak sekali kepada
kerabatnya dan Ia (Utsman) menafsirkan tindakannya itu sebagai suatu
bentuk silaturrahmi yang diperintahkan oleh Allah SWT.”
6.

Masa Khalifah Ali bin Abi Thalib (35-40 H/656-661 M)
Pada masa pemerintahan Ali bin Abi Talib,30 kondisi Baitul Māl ditempatkan
kembali pada posisi yang sebelumnya. Ali berusaha untuk melaksanakan berbagai
kebijakan yang mendorong peningkatan kesejahteraan umat Islam. Menurut sebuah
riwayat, ia secara sukarela menarik diri dari daftar penerima bantuan dari Baitul
Māl.
Dalam pendistribusian Baitul Māl Khalifah Ali bin Abi Thalib menerapkan
sistem pemerataan. Ia memberikan santunan yang sama kepada setiap orang tanpa
memandang status sosial atau kedudukannya di dalam Islam.31 Khalifah Ali bin Abi
Thalib tetap berpendapat bahwa seluruh pendapatan negara yang disimpan dalam
Baitul Māl maka harus didistribusikan kepada kaum muslimin, tanpa ada dana
sedikitpun yang tersisa. Distrisibusi dilakukan sekali dalam sepekan yakni pada hari
kamis merupakan hari pendistribusianya atau hari pembayaran. Pada hari itu, semua
perhitungan diselesaikan dan, pada hari sabtu, penghitungan baru dimulai.32

7. Masa Daulah Bani Umayyah (Sebelum Masa Umar Ibn Abdul Aziz)
Daulah Bani Umayyah33 dimulai pada tahun 41-132 H/661-749M. Daulah ini
berdiri setelah Khulafaurrasyidin yang ditandai dengan terbunuhnya Ali bin Abi
30 Salah seorang pemeluk Islam pertama dan juga keluarga dari Nabi Muhammad SAW. Menurut Islam
Sunni, ia adalah Khalifah terakhir dari Khulafaur Rasyidin. Sedangkan Syi'ah berpendapat bahwa ia
adalah Imam sekaligus Khalifah pertama yang dipilih oleh Rasulullah Muhammad SAW. Ali adalah
sepupu dari Muhammad, dan setelah menikah dengan Fatimah az-Zahra, ia menjadi menantu Nabi
Muhammad. (Lihat Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Islam, hlm. 187.)
31 Afzalurrahman, Muhammad Sebagai Seorang Pedagang, hlm. 39.
32 Dalam sebuah riwayat menyebutkan, Ali bin Abi Thalib juga mendapat santunan dari Baitul Māl,
mendapatkan jatah pakaian yang hanya bisa menutupi tubuh sampai separuh kakinya, dan sering bajunya
itu penuh dengan tambalan.
33 Pada masa Daulah Umayyah Islam juga berhasil melakukan ekspansi keberbagai wilayah,
terbukti beberapa wilayah telah ditaklukan, wilayah Islam pada masa Bani Umayyah ini betul-betul
sangat luas. Daerah-daerah itu meliputi Spanyol, Afrika Utara, Palestina, Jazirah Arab, Irak, sebagian
Asia kecil, Persia, Afganistan, daerah yang sekarang disebut Pakistan, Turkmenistan, Uzbekistan, dan
Kirgis di Asia Tengah.

9

Thalib pada tahun 40H/661 M.34 Daulah ini berakhir dengan kekalahan Khalifah
Marwan bin Muhammad dalam perang zab pada bulan Jumadil Ula tahun
132H/749 M. Dengan demikian, daulah Bani Umayyah memegang cambuk
pemerintahan selama 91 tahun.35
Keadaan di atas berlangsung sampai datangnya Khalifah ke-8 Bani Umayyah,
yakni Umar bin Abdul Aziz (memerintah 717-720 M).36 Akan tetapi, kondisi Baitul
Māl yang telah dikembalikan oleh Umar bin Abdul Aziz kepada posisi yang
sebenarnya tidak dapat bertahan lama. Keserakahan para penguasa telah
meruntuhkan sendi-sendi Baitul Mal, dan keadaan demikian berkepanjangan
sampai masa Kekhilafahan Bani Abbasiyah.37
Para Khalifah mulai Mu’awiyah bin Abi Sofyan (41-60 H/679 M) sampai
pada Umar Ibn Abdul Aziz (99-101 H/717-719M) ada tujuh Khalifah mereka
semua adalah orang-orang yang pandai dalam perpolitikan, kondisi ekonomi dan
Baitul Māl pada masa Bani Umayyah pada saat itu mengalami pasang surut ketujuh
orang tersebut adalah:
a. Mu’awiyyah ibn Abi Sofyan (41-60 H/661-679M)
b. Yazid ibn Mu’awiyyah (60-64 H/679-683M)
c. Mu’awiyyah ibn Yazid (64 H/683M, hampir 40 hari)
d. Marwan ibn Hakam (64-65 H/683-684M)
e. Abdul al-Malik ibn Marwan (65-86H/684-705M)
f. Walid ibn al-Malik (86-96H-705-714M)
g. Sulaiman ibn Abdul al-Malik (96-99H/714-717 M).
D. Tata Organisasi dan Kearsipan Baitul Māl dalam Sejarah
34 Ahmad, Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam Jilid II (Jakarta: Pustaka Al-Husna,1990), hlm. 30.
35 Ahmad Al-Usairy, Sejarah Islam; Sejarah Zaman Nabi Adam Hingga, Abad XX (Jakarta: Media
Sarana, 2003), hlm. 184.
36 M. Shiddiq al-Jawi, Sistem Ekonomi Syariah; Baitul Mal Dalam Sistem Ekonomi Islam, Mar 7, 2004
.
37 Dalam keadaan demikian, tidak sedikit kritik yang datang dan ulama, namun semuanya diabaikan,
atau ulama itu sendiri yang diintimidasi agar tutup mulut. lmam Abu Hanifah, pendiri Madzhab Hanafi,
mengecam tindakan Abu Ja’far Al-Mansur (khalifah ke-2 Bani Abbasiyah, memerintah 754-775 M), yang
dipandangnya berbuat zalim dalam pemerintahannya dan berlaku curang dalam pengelolaan Baitul Māl
dengan memberikan hadiah kepada banyak orang yang dekat dengannya.lmam Abu Hanifah menolak
bingkisan dan Khalitah Al-Mansur. Tentang sikapnya itu Imam Abu Hanifah menjelaskan:
“Amirul Mukminin tidak memberiku dari hartanya sendiri. Ia memberiku dari Baitul Māl, milik
kaum muslimin, sedangkan aku tidak memiliki hak darinya. Oleh sebab itu, aku menolaknya.
Sekiranya Ia memberiku dari hartanya sendiri, niscaya aku akan menerimanya.”

10

Dalam sejarah Baitul Māl, khususnya yang berkenaan dengan tata organisasi dan
administrasinya, dikenal istilah “Diwan”. Diwan adalah tempat di mana para penulis
atau sekretaris Baitul Māl berada dan tempat untuk menyimpan arsip-arsip. Istilah
Diwan kadang juga dipakai dalam arti arsip-arsip itu sendiri, karena memang terdapat
saling keterkaitan antara kedua makna bagi kata Diwan ini. Ringkasnya, Diwan dapat
berarti kantor Baitul Māl, atau arsip Baitul Māl.38
Pembentukan diwan-diwan Baitul Māl yang pertama kali, yang telah
dikhususkan sebagai tempat untuk menyimpan arsip-arsipnya, terjadi pada masa
kekhilafahan Umar ibn al-Khathab, yaitu pada tahun 20 Hijriyah.39 Pada masa
Rasulullah SAW, Baitul Māl belum memiliki Diwan-Diwan tertentu, walaupun beliau
telah mengangkat para penulis (kaatib) yang bertugas mencatat harta. Pada saat
tersebut, beliau telah mengangkat Muaiqib bin Abi Fatimah Ad-Dausiy sebagai penulis
harta ghanimah, Az-Zubair bin Al-Awwam sebagai penulis harta zakat, Hudzaifah bin
Al-Yaman sebagai penulis taksiran panen hasil pertanian Hijaz, Abdullah bin Ruwahah
sebagai penulis taksiran panen hasil pertanian Khaibar, Al-Mughirah bin Syu’bah
sebagai penulis hutang piutang dan mua’malat yang dilakukan negara, serta Abdullah
bin Arqam sebagai penulis urusan masyarakat yang berkenaan dengan kepentingan
kabilah-kabilah mereka dan kondisi sumber-sumber air mereka.40
Itulah Diwan (dalam arti arsip) yang pertama kali ada, yaitu Diwan untuk
pemberian harta dan angkatan bersenjata (Diwan al-’Atha’ wal Jund). Seluruhnya
ditulis dalam bahasa Arab. Adapun Diwan untuk pemasukan dan pemungutan harta
(Diwan al-Istifa’ wa Jibayatul Amwal), tidak ditulis dalam Bahasa Arab, tetapi ditulis
dalam bahasa wilayah masing-masing, misalnya Diwan Irak ditulis dalam Bahasa
Persia, sebagaimana yang terjadi pada masa Persia sebelumnya. Demikian juga negerinegeri lain yang dulunya tunduk kepada kekuasaan Persia, Diwan yang mencatat
pemasukan kharaj, jizyah, dan pemungutan hartanya ditulis dalam bahasa Persia.

38 Abdul Qadim Zallum, Al-Amwal fi Daulah al-Khilafah, cet. ke-1 (Beirut: Darul ‘Ilmi Lil
Malayin, 1983), hlm.
39 Penyebab utama munculnya pemikiran untuk membentuk bagian-bagian Baitul Māl adalah peristiwa
saat Abu Hurairah menyerahkan harta yang banyak kepada Khalifah Umar ibn al-Khathab yang
diperolehnya dari Bahrain. (Abdul Qadim Zallum, Al-Amwal fi Daulah al-Khilafah)
40 Abdul Qadim Zallum, Al-Amwal Fi Daulah al-Khilafah, cet. ke-1 (Beirut: Darul ‘Ilmi Lil Malayin,
1983), hlm.

11

Adapun untuk negeri Syam dan daerah-daerah yang dulunya tunduk kepada kekuasaan
Romawi, maka Diwannya ditulis dalam bahasa Romawi.41
E. Menggagas Konsep Baitul Māl
1. Sumber Pemasukan Baitul Māl
Syaikh Taqiyyuddin An-Nabhani dalam kitabnya al-Nizhamu al-Iqtishadi fi alIslam telah menjelaskan sumber-sumber pemasukan bagi Baitul Māl dan kaidahkaidah pengelolaan hartanya. Sumber-sumber tetap bagi Baitul Māl menurutnya
adalah: fai’, ghanimah/anfal, kharaj, jizyah, pemasukan dari harta milik umum,
pemasukan dari harta milik negara, usyur, khumus dari rikaz, tambang, serta harta
zakat.
Hanya saja, harta zakat diletakkan pada kas khusus Baitul Māl, dan tidak
diberikan selain untuk delapan kelompok (ashnaf) yang telah disebutkan di dalam alQur’an. Tidak sedikit pun dari harta zakat tersebut boleh diberikan kepada selain
delapan ashnaf tersebut, baik untuk urusan negara, maupun urusan umat.42
Sedangkan harta-harta yang lain, yang merupakan hak Baitul Māl, diletakkan
secara bercampur pada Baitul Māl dengan harta yang lain, serta dibelanjakan untuk
urusan negara dan urusan umat, juga delapan ashnaf, dan apa saja yang penting
menurut pandangan negara. Apabila harta-harta ini cukup untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan rakyat, maka cukuplah dengan harta tersebut. Apabila tidak,
maka negara berhak mewajibkan pajak (dharibah) kepada seluruh kaum muslimin,
untuk menunaikan tuntutan dari pelayanan urusan umat.43
Yang termasuk dalam kategori sumber pemasukan yang diletakkan di dalam
Baitul Māl dan dibelanjakan untuk kepentingan rakyat, adalah harta yang diperoleh
oleh seorang ‘asyir dari kafir harbi dan mu’ahid (usyuur), harta-harta yang diperoleh
dari hak milik umum atau hak milik negara, dan harta-harta waris dari orang yang
tidak mempunyai ahli waris.44
Apabila hak-hak Baitul Māl tersebut lebih untuk membayar tanggungannya,
misalnya harta yang ada melebihi belanja yang dituntut dari Baitul Māl, maka harus
41 http://www.laskarislam.com/t10250-konsep-baitul-mal. (Forum Kajian Islam dan Diskusi
Lintas Agama Laskar Islam.Com)
42 Taqiyuddin an-Nabhani, Sistem Ekonomi Islam, terj. Redaksi al-Azhar Press, dalam judul asli: anNizham al-Iqtishadi fi al-Islam (Bogor: al-Azhar Press, 2010), hlm. 317.
43 Ibid., hlm. 318.
44 Ibid., hlm. 319.

12

diteliti terlebih dahulu : Apabila kelebihan tersebut berasal dari harta fai’, maka
kelebihan tersebut diberikan kepada rakyat dalam bentuk pemberian. Apabila
kelebihan tersebut berasal dari harta jizyah dan kharaj, Baitul Māl akan menahan
harta tersebut untuk disalurkan pada kejadian-kejadian yang menimpa kaum
muslimin, dan Baitul Māl tidak akan membebaskan jizyah dan kharaj tersebut dari
orang yang wajib membayarnya. Sebab, hukum syara’ mewajibkan jizyah dari orang
yang mampu, dan mewajibkan kharaj dari tanah berdasarkan kadar kandungan
tanahnya. Apabila kelebihan tersebut dari zakat, maka kelebihan tersebut harus
disimpan di dalam Baitul Māl hingga ditemukan delapan ashnaf yang mendapatkan
Diwan harta tersebut. Maka, ketika ditemukan kelebihan tersebut akan dibagikan
kepada yang bersangkutan. Apabila kelebihan tersebut berasal dari harta yang
diwajibkan kepada kaum muslimin, maka kewajiban tersebut dihentikan dari mereka,
dan mereka dibebaskan dari pembayaran tersebut.45
2. Pengeluaran Baitul Māl
Pengeluaran atau penggunaan harta Baitul Māl menurut uraian Taqiyyuddin
an-Nabhani, ditetapkan berdasarkan enam kaidah berikut, yang didasarkan pada
kategori tata cara pengelolaan harta :
a. Harta yang menjadi Baitul Māl, yaitu harta zakat. Harta tersebuat adalah hak
orang yang akan dibelanjakan kepada mereka, berdasarkan ada tidaknya. Apabila
harta dari kas zakat tersebut ada pada Baitul Māl, maka pembelanjannya
disalurkan di dalam al-Qur’an sebagai pihak yang berhak, dan wajib dibelanjakan
pada mereka. Contoh: pembelanjaan untuk para fakir miskin, ibnu sabil dan
keperluan jihad.46
b. Baitul Māl sebagai

para

pihak

berhak

karena

sesuatu

kompensasi.

hak orang-orang yang telah memberikan jasa, lalu mereka meminta harta sebagai
upah atas jasanya. Contoh: gaji para tentara, pegawai negri, hakim, tenaga
edukatif, dan sebagainya.47
c. Baitul Māl sebagai pihak yang berhak dan membelanjakannya untuk satu
kemaslahatan dan kemanfaatan, bukan sebagai kompensasi apapun. Dengan kata
lain, pembelanjaan diberikan untuk barang, gai nilai pengganti harta-harta yang
45 Taqiyuddin an-Nabhani, Sistem Ekonomi Islam, 320.
46 Ibid.
47 Ibid., hlm. 321.

13

telah dihasilkan. Contoh: jalan, air, bangunan masjid, sekolah, rumah sakit,
masalah-masalah lainnya, yang keberadaannya dianggap sebagai masalah yang
vital, yakni umat akan mengalami penderitaan jika perkara-perkara tersebut tidak
ada.48
d. Baitul Māl sebagai pihak yang berhak dan pembelanjaannya diserahkan karena
adanya kemaslahatan dan kemanfaatan, bukan sebagai kompensasi apapun.
Contoh: pembuatan jalan (infrastruktur), atau membuka rumah sakit baru, yang
sebenarnya sudah cukup dengan adanya rumah sakit yang lain, atau membangun
jalan, sementara orang-orang biasa menemukan jalan lain, hanya lebih jauh,
ataupun yang lain.49
e. Hak pembelanjaannya karena adanya unsur keterpaksaan, semisal adanya
peristiwa yang menimpa kaum Muslim seperti paceklik, angin topan, gempa
bumi, atau serangan musuh, maka hak pembelanjaannya tidak ditentukan
berdasarkan adanya harta. Pembiayaan merupakan hak yang paten, baik saat harta
tersebut ada apapun tidak. 50
F. Departemen Keuangan Dalam Sistem Kapitalisme
1. Pengertian Sistem Kapitalisme; Departemen Keuangan
Sistem ekonomi kapitalis lahir pada abad ke-18 yaitu pada
saat Adam Smith menuliskan buku yang terkenal hingga saat ini,
buku ini adalah An Inquiry Into the natural and Cause of the
Wealth of Nations dan dikenal dengan The Wealth of Nations.51
Kapitalisme berasal dari asal kata “capital” yaitu berarti modal, yang
diartikan sebagai alat produksi semisal tanah dan uang. Sedangkan kata “isme”
berarti paham atau ajaran.52 Kapitalisme merupakan sitem ekonomi politik yang
cenderung ke arah pengumpulan kekayaan secara individu tanpa gangguan
kerajaan. Dengan kata lain kapitalisme adalah suatu paham ataupun ajaran
mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan modal atau uang. Menurut Ayn
48 Taqiyuddin an-Nabhani, Sistem Ekonomi Islam, 321.
49 Ibid., hlm. 322.
50 Ibid., hlm. 323.
51 N. Gregory Mankiw, Brief Principles of Macro Economics. Fifth edition
(USA: South-Western Cengage Learning, 2008), hlm.10.

52 Choirul Huda, Jurnal: Ekonomi Islam dan Kapitalisme; Merunut Benih Kapitalisme dalam
Ekonomi Islam (semarang: UIN Walisongo Semarang, 2016), hlm. 27.

14

Rand, kapitalisme53 adalah “a social system based on the recognition of individual
rights, including property rights, in which all property is privately owned.”54
Dalam dunia ekonomi peran modal sangatlah besar, bahkan pemilik modal
bisa menguasai pasar serta menentukan harga dalam rangka mengeruk keuntungan
yang besar. Industrialisasi bisa berjalan dengan baik kalau melalui kapitalisme.
Fernand Braudel pernah menyatakan bahwa “kaum kapitalis merupakan spekulator
dan pemegang monopoli yang berada dalam posisi untuk memperoleh keuntungan
besar tanpa menanggung banyak risiko”.55 Pemilik modal (kapital) memiliki hak
penuh terhadap apa yang dimiliki.56 Maka dalam kapitalisme ada individual
ownership, market economy,57 competition, and profit.58
2. Pengertian Departemen Keuangan
Departemen Keuangan merupakan unsur pelaksana pemerintah yang
dipimpin oleh Menteri Keuangan atau pejabat pembantu kepala negara yang berada
di bawah dan bertanggungjawab kepada kepala negara. Departemen Keuangan
(Kementerian Keuangan) adalah departemen di lingkungan pemerintahan

yang

membidangi urusan keuangan negara, departemen keuangan berkedudukan di
bawah dan bertanggung jawab kepada presiden.59
3. Peran dan Fungsi Departemen Keuangan
Fungsi yang dilaksanakan oleh Departemen Keuangan dalam melaksanakan
tugasnya menurut KMK No. 84 Tahun 2006 Tentang Rencana Strategis
Departemen Keuangan Tahun 2005-2009 adalah sebagai berikut:
a. perumusan kebijakan nasional, kebijakan pelaksanaan, dan kebijakan teknis di
bidang keuangan dan kekayaan negara;
b. pelaksanaan urusan pemerintahan di bidang keuangan dan kekayaan negara;
c. pengelolaan Barang Milik/Kekayaan negara yang menjadi tanggung jawabnya;
53 Suatu sistem sosial yang berbasiskan pada pengakuan atas hak-hak individu, termasuk hak milik di
mana semua pemilikan adalah milik privat.
54 Ayn Rand, Capitalism: The Unknown Ideal, A Signet Book (New York: t.p.,1970)
55 Yoshihara Kunio, Kapitalisme Semu Asia Tenggara (Jakarta: LP3ES, 1990), hlm. 3.
56 Kepemilikan pribadi misalnya alat-alat produksi, tanah, perusahaan, dan sumber daya alam.
57 Sistem pasar adalah sistem yang dipakai sebagai dasar pertukaran barang dan jasa, serta tenagakerja
menjadi komoditi yang dapat diperjualbelikan di pasar dalam kapitalisme.
58 W. Ebenstein, Isme-Isme Dewasa Ini (Jakarta: Erlangga, 1980), hlm. 148-151.
59 Wikipedia.org

15

d. pengawasan atas pelaksanaan tugas di bidang keuangan dan kekayaan negara;
e. penyampaian laporan hasil evaluasi, saran, dan pertimbangan di bidang
keuangan dan kekayaan negara kepada Presiden.
f. perumusan, penetapan dan pelaksanaan kebijakan di bidang penganggaran,
pajak, kepabeanan dan cukai, perbendaharaan, kekayaan negara, perimbangan
keuangan dan pengelolaan pembiayaan dan resiko;
g. pelaksanaan pendidikan, pelatihan, dan sertifikasi kompetensi di bidang
keuangan negara.60
Dalam menyelenggarakan tugas dan fungsi tersebut, terkandung beberapa
peran yang sangat strategis, yaitu:
a. menyusun Rancangan anggaran belanja suatu negara

yang merupakan

perwujudan pengelolaan keuangan negara yang dilaksanakan secara transparan
dan bertanggung jawab;
b. mengamankan dan meningkatkan pendapatan negara dari pajak, bea masuk dan
cukai serta penerimaan negara bukan pajak sesuai peraturan perundangan yang
berlaku sebagai upaya mengurangi ketergantungan terhadap pinjaman luar
negeri;
c. mengalokasikan belanja negara dengan setepat-tepatnya sesuai dengan arah yang
telah ditetapkan, sehingga dapat memberikan nilai tambah yang sebesarbesarnya bagi kesejahteraan masyarakat;
d. ikut serta memajukan pertumbuhan dunia usaha dan industri dalam negeri
melalui pemberian kemudahan dalam rangka pengelolaan bahan baku impor
untuk memproduksi barang ekspor, meningkatkan kelancaran arus barang impor
dan ekspor, serta melakukan pencegahan pemberantasan penyelundupan;
e. menetapkan kebijakan perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Daerah, dan antar Daerah;
f. membina, mengelola dan menatausahakan Barang Milik/Kekayaan Negara (aset
negara) dalam rangka lebih meningkatkan dayaguna dan hasilguna aset negara
serta pengamanannya;
g. menyusun Laporan Keuangan Pemerintah sebagai pertanggungjawaban atas
pelaksanaan anggaran belanja negara.
60 www.weblama.kemenkeu.go.id/page/tugas-dan-fungsi. Diakses 01 Desember 2017.

16

4. Anggaran Belanja Negara; Sumber Penerimaan dan Pengeluaran
Komponen anggaran belanja departemen keuangan dalam suatu negara
terdiri atas komponen penerimaan dan pengeluaran. Sedangkan secara lebih rinci
adalah sebagai berikut:61
1.

Penerimaan
a.

Pendapatan dari Pajak
Salah satu penerimaan negara adalah pajak. Pajak merupakan salah satu

pendapatan negara yang sangat potensial dari dalam negeri dan merupakan
sumber utama peneriman negara. Salah satu yang harus diperhatikan adalah
penarikan pajak yang dilakukan perusahaan atau badan usaha. Hal ini dapat
dilihat dari fungsi pajak sebagai sumber dana dan alat untuk mengatur atau
melaksanakan kebijaksaan pemerintah dalam membiayai pengeluaranpengeluaran baik di bidang sosial maupun ekonomi. Pajak dimaksudkan
sebagai uang atau daya beli yang diserahkan oleh masyarakat kepada
pemerintah di mana terdapat penyerahan uang atau daya beli tersebut
pemerintah tidak memberikan balas jasa langsung.62
Di bawah kapitalisme, pemerintah memberlakukan berbagai jenis pajak.
Di negara-negara maju, masyarakat membayar pajak penghasilan ketika
mereka mendapatkan uang, pajak konsumsi ketika mereka berbelanja, pajak
property ketika mereka memiliki rumah atau tanah, dan dalam berbagai kasus
pajak estate ketika mereka telah meninggal dunia.63
b. Pendapatan Non Pajak
1) Retribusi
Retribusi merupakan pungutuan yang dilakukan oleh pemerintah
(pusat/daerah)

berdasarkan

undang-undang

(pemungutannya

tidak

dipaksakan) di mana pemerintah memberikan imbalan langsung bagi
pembayarnya.

61 Priyono dan Teddy Candra, Esensi Ekonomi Makro (Sidoarjo: Zifatama Publisher, 2016), hlm. 97-98.
62 Ibid., 97.
63 ayu paranitha.blogspot.com.

17

2) Keuntungan BUMN / BUMD
Sebagai pemilik BUMN, pemerintah pusat berhak memperoleh
bagian laba yang diperoleh BUMN. Demikian pula dengan BUMD,
pemerintah daerah sebagai pemilik BUMD berhak memperoleh bagian
laba BUMD.
3) Denda dan Sita
Pemerintah berhak memungut denda atau menyita aset milik
masyarakat, apabila masyarakat (individu/pemerintah/organisasi) diketahui
telah melanggar peraturan pemerintah.
2. Pos Pengeluaran Negara
Pos pengeluaran negara dapat diartikan sebagai belanja pemerintah
pusatyaitu belanja yang digunakan untuk membiayai kegiatan pembangunan
pemerintah pusat, baik yang dilaksanakan di pusat maupun di daerah.
a. Belanja Pemerintah Pusat dapat dikelompokkan menjadi:
1) belanja pegawai;
2) belanja barang;
3) belanja modal;
4) pembiayaan bunga utang;
5) subsidi BBM;
6) subsidi non-BBM;
7) belanja hibah, belanja sosial (termasuk penanggulangan bencana) dan
belanja lainnya.
b. Klasifikasi Pengeluaran negara
1) Belanja
a) Belanja Rutin
Belanja Rutin adalah belanja negara untuk pemeliharaan atu untuk
penyelenggaraan pemerintah sehingga bersifat rutin dilakukan
setiap tahun anggaran, serta bersifat khasuatif yang berarti
manfaatnya hanya untuk tahun anggaran yang bersangkutan
b) Belanja Pembangunan

18

Belanja Pembangunan tidak bersifat ruitn tetapi merupakan belanja
yang bersifat Investasi sehingga manfaatnya di masa yang akan
datang. Belanja ini disebut juga belanja proyek.
2) Pembayaran Kewajiban Negara atau Tagihan dari pihak ke-3
(pembayaran hutang)
5. Bank Sentral (Bentuk Lembaga Keuangan dalam Negara Kapitalisme)
Peranan bank sentral di setiap negara menjadi sangat penting sebab dunia
perbankan merupakan urat nadi perekonomian dalam suatu negara. Sektor
perbankan memiliki peran yang berpengaruh terhadap maju atau mundurnya
perekonomian dalam suatu negara.64 Bank sentral sangat berperan penting untuk
meminimalkan resiko-resiko dalam dunia perbankan serta memberi perlindungan
terhadap dana masyarakat yang ada pada lembaga perbankan. Bank sentral menjaga
agar tingkat inflasi terkendali dengan mengontrol keseimbangan antara jumlah uang
dan barang yang beredar pada masyarakat.65
Fungsi bank sentral di Indonesia diselenggarakan oleh Bank Indonesia (BI)
yang bertanggung jawab untuk menjaga stabilitas nilai suatu mata uang yang
berlaku di Indonesia. Dalam hal ini dikenal dengan istilah inflasi atau naiknya
harga-harga, yang dalam arti lain turunnya suatu nilai uang. Bank sentral menjaga
agar tingkat inflasi terkendali dan selalu berada pada nilai yang serendah mungkin
atau pada posisi yang optimal bagi perekonomian dengan mengontrol keseimbangan
jumlah uang dan barang menggunakan instrumen dan otoritas yang dimilikinya.66
Tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai
rupiah dan melaksanakan kebijakan moneter secara berkelanjutan, konsisten,
transparan, dan harus mempertimbangkan kebijakan umum pemerintah dalam
bidang perekonomian. Peran dan tugas bank sentral sangat tergantung kepada
bagaimana lingkungan politik dan ekonomi mempengaruhi peran dan tugas bank
sentral. Namun demikian bank sentral pada umumnya mempunyai tiga tugas utama

64Neni Sri Imaniyati, Pengantar Hukum Perbankan Indonesia, (Bandung: Refika Aditama,
2010), 63.
65Suarpika Bimantoro dan Endang R. Budiastuti, Kebanksentralan dan Kebijakan Moneter,
(Jakarta: Universitas Terbuka, t.th.), 1.20.
66https://id.wikipedia.org/wiki/Bank_sentral, diakses pada Rabu, 4 Oktober 2017.

19

yang meliputi: (1) pengendalian moneter; (2) pengaturan dan pengawasan
perbankan; serta (3) pengaturan sistem pembayaran.67
Selain tugas bank sentral tersebut, Bank Indonesia juga memiliki beberapa
tugas dan fungsi sebagai berikut68:
a. Mencetak dan mengedarkan uang kertas. Tugas ini dilakukan dalam rangka
menjamin tersedianya uang kas yang cukup, serta lalu lintas pembayaran yang
efisien.
b. Sebagai bank, pemegang kas dan penasehat keuangan pemerintah. Bank
Indonesia membantu memperlancar kegiatan keuangan pemerintah dengan cara
membantu dalam hal penerimaan dan pembayaran serta memberi pinjaman dan
penempataan/pengedaran surat-surat utang negara.
c. Memelihara cadangan bank-bank umum. Tujuannya, untuk mengatur volume
uang beredar serta mempermudah proses pembayaran dengan sistem clearing.
d. Memelihara cadangan emas dan devisa. Tugas ini dimaksudkan u ntuk
menciptakan adanya kestabilan kurs valuta asing. Caranya dengan selalu
menjaga keseimbangan antara devisa yang masuk dari ekspor atau aliran modal
masuk dengan devisa yang keluar untuk impor dan aliran modal keluar melalui
berbagai kebijakan dalam perdagangan dan pembayaran internasional.
e. Sebagai banknya bank umum serta pengaman terakhir (lender of the last resort)
Sebagai bankers bank, Bank Indonesia memberi pelayanan kepada bank umum
sebagaimana halnya bank umum memberi pelayanan kepada masyarakat.
f. Pengawasan serta pengendalian kredir perbankan, supaya tercapai kehidupan
perbankan yang sehat.
BI memiliki peran vital dalam menciptakan kinerja lembaga keuangan yang
sehat, khususnya perbankan. Penciptaan kinerja lembaga perbankan dilakukan
melalui mekanisme pengawasan dan regulasi. Sektor perbankan memiliki pangsa
yang dominan dalam sistem keuangan. Oleh sebab itu kegagalan di sektor ini dapat
menimbulkan ketidakstabilan keuangan dan mengganggu perekonomian.69
G. Kesimpulan
67Suhartono, “Peran Bank Sentral dalam Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) dan Implementasi
Jaring Pengaman Sektor Keuangan (JPSK)”, dalam Jurnal Keuangan dan Perbankan, Vol. 13, No. 3,
September 2009, hlm. 519.
68Nopirin, Ekonomi Moneter I, (Jakarta: Karunika Universitas Terbuka, 1986), hlm. 39.
69Widjanarto, Hukum dan Ketentuan Perbankan di Indonesia, Cetakan Ketiga, (Jakarta: Grafit,
2003), hlm. 98.

20

Islam dan kapitalis, dua hal yang saling memengaruhi. Secara sosiologis, Islam
hadir pada masyarakat kapitalis. Kapitalisme, khususnya Kapitalisme Perdagangan
(Commercial Capitalism) sudah ada sebelum Islam datang. Sebelum Islam lahir, Mekah
sudah merupakan pusat perdagangan dan keuangan internasional yang maju. Nabi
Muhammad sendiri adalah seorang pedagang sebelum diangkat menjadi nabi.
Islam menghadirkan sistem perbendaharaan keuangan suatu negara dengan
sebutan Baitul Māl, sedangkan dalam sistem kapitalis menghadirkan sistem
perbendaharaan keuangan dengan sebutan Departemen Keuangan. Pada dasarnya kedua
sistem tersebut peran, tugas dan fungsinya adalah berbeda, terutama mengenai prinsip
dasar dari kedua sistem ini. Dilihat dari sisi historis bahwa Baitul Māl adalah warisan
Rasulullah dan para sahabat. Peran, tugas dan fungsi dari Baitul Māl diambil dan
diamalkan sesuai al-Qur’an dan al-Hadith, terdapat sisi horizontal dan vertikal yang
mengaturnya. Berbeda dengan sistem Departemen Keuangan, peran, tugas dan
fungsinya diatur dan dibuat oleh pikiran dan atas kemauan manusia, sehingga tidak
luput dari sifat kekuasaan dan kerakusan manusia. Dalam sistem Departemen Keuangan
tidak ada campur tangan agama dan berusaha memisahkan dengan agama.
Namun pada faktanya, Sistem Departemen Keuangan dalam bingkai paham
kapitalisme adalah suatu paham atau sistem yang datang dari luar dan malah merupakan
satu aliran pemikiran ekonomi yang masuk dan ikut mempengaruhi ekonomi Islam saat
ini. Tentu saja sebaliknya, dalam perkembangannya, ajaran Islam dan semangat para
pejuang muslim ikut mempengaruhi dan mengoreksi kehidupan ekonomi atau
kapitalisme yang berlaku.
Namun demikian, penerapan sistem Baitul Māl di era sekarang ini masih banyak
kendala di semua tingkatan, mulai dari pemerintah sebagai pemegang kebijakan hingga
mindset masyarakat yang sudah nyaman dengan sistem Departemen Keuangan dalam
kapitalis. Untuk mengubah pola pikir masyarakat yang sudah terlanjur mendarah daging
tentang konsep ini, maka dibutuhkan kesabaran dan kegigihan yang kuat. Penerapan
ekonomi Islam harus menyeluruh, walaupun dilakukan secara bertahap. Jihad untuk
menegakkan teori ekonomi Islam harus dimulai dari sekolah-sekolah dasar hingga
perguruan tinggi. Karena selama ini buku-buku pelajaran yang diajarkan adalah teori
ekonomi kapitalis.
H. Daftar Pustaka

21



Referensi Dari Buku
Afzalurrahman. Doktrin Ekonomi Islam, terj. Soeroyo. Yogyakarta: PT Dhana Bakti
Wakaf, 1995.
Aliyah, Zahrotul. Skripsi “Perekonomian Umat Islam Pada Masa Umar Ibn Abdul
Aziz (717-720 M)”. Surabaya: IAIN Sunan Ampel Surabaya Fakultas
Adab, 2006.
Al-Jawi, M. Shiddiq. Sistem Ekonomi Syariah; Baitul Mal Dalam Sistem Ekonomi
Islam, Maret 7, 2004 .
Al-Usairy, Ahmad. Sejarah Islam; Sejarah Zaman Nabi Adam Hingga, Abad XXX.
Jakarta: Media Sarana, 2003.
An-Nabhani, Taqiyuddin. Sistem Ekonomi Islam, terj. Redaksi al-Azhar Press,
dalam judul asli: an-Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam. Bogor: al-Azhar
Press, 2010.
Bimantoro, Suarpika. Endang R. Budiastuti. Kebanksentralan dan Kebijakan
Moneter. Jakarta: Universitas Terbuka.
Dahlan, Abdul Aziz. Ensiklopedia Hukum Islam, cet. ke-2. Jakarta: PT Ichtiar Baru
Van Hoeve, 1999.
Depatemen Agama Republik Indonesia. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Semarang :
Al-Kaffah. 2003.
Hitti, Philip K. History of the Arabs, terj. Cecep L. Yasin. New York: Palgrave
Macmillan, 2002.
Huda, Choirul. Jurnal: Ekonomi Islam dan Kapitalisme; Merunut Benih
Kapitalisme dalam Ekonomi Islam. Semarang: UIN Walisongo Semarang,
2016.
Imaniyati, Neni Sri. Pengantar Hukum Perbankan Indonesia. Bandung: Refika
Aditama, 2010.
Kunio, Yoshihara. Kapitalisme Semu Asia Tenggara. Jakarta: LP3ES, 1990.
Mankiw, N. Gregory. Brief Principles of Macro Economics. Fifth
edition. USA: South-Western Cengage Learning, 2008.
Nopirin. Ekonomi Moneter I. Jakarta: Karunika Universitas Terbuka, 1986.
Nur Hamid, Jejak Langkah Pemikiran Ekonomi Umat Islam (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2010), hlm. 105.

22

Priyono. Teddy Candra. Esensi Ekonomi Makro. Sidoarjo: Zifatama Publisher,
2016.
Qa’ahji, Muhammad Rawwas. Ensiklopedi Fiqh Umar Ibn al-Khattab. Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 1999.
Qardhawi, Yusuf. Fiqh Jihad, terj. Irfan M. Hakim. Bandung: Mizan Pustaka,
2010.
Rand, Ayn. Capitalism: The Unknown Ideal, A Signet Book. New York: 1970.
Ro’ana, Ilfan Muhammad Ilfana. Sitem Ekonomi Pemerintahan Umar ibn alKhattab. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997.
Sabzwari, M.A. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Yogyakarta: PT Dhana Bakti
Wakaf, 1995.
Suhartono. “Peran Bank Sentral dalam Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) dan
Implementasi Jaring Pengaman Sektor Keuangan (JPSK)”, dalam Jurnal
Keuangan dan Perbankan. Vol. 13, No. 3, September 2009.
Syalabi, Ahmad. Sejarah dan Kebudayaan Islam Jilid II. Jakarta: Pustaka AlHusna,1990.
W. Ebenstein. Isme-Isme Dewasa Ini. Jakarta: Erlangga, 1980.
Widjanarto. Hukum dan Ketentuan Perbankan di Indonesia. Cet. Ke-3. Jakarta:
Grafit, 2003.
Zallum, Abdul Qadim. Al-Amwal Fi Daulah al-Khilafah. Cet. ke-1. Beirut: Darul
‘Ilmi Lil Malayin, 1983.


Referensi dari Internet
Yogie

Respati,

http://mysharing.co/baitul-mal-di-masa-umar-bin-khattab.

22/12/2014. (Baitul Māl di Masa Umar bin Khattab), diakses pada Rabu, 4
Oktober 2017.
http://www.laskarislam.com/t10250-konsep-baitul-mal. (Forum Kajian Islam dan
Diskusi Lintas Agama Laskar Islam.Com), diakses pada Rabu, 4 Oktober
2017.
https://id.wikipedia.org/wiki/Bank_sentral, diakses pada Rabu, 4 Oktober 2017.