PERGULATAN ORANG DAYAK DALAM RELASI POLI

PERGULATAN ORANG DAYAK DALAM RELASI POLITIK
“HARI INI”
Oleh: Fornestor Mindaw *)

Diskusi Pembuka
Pembicaraan yang mengkaji soal kebudayaan kerap kali dikait-kaitkan dengan proses
atau cara sebuah identitas dibentuk melalui konsepsi politik. Hubungan semacam ini menarik
untuk dilihat, terutama apabila kita merunut sejarah panjang tentang persoalan identitas yang
telah lama diintervensi oleh sistem politik. Konteks masyarakat Dayak, tentunya sudah
menjadi cerita lama bahwa keterlibatan elite-elite politik lokal dalam komodifikasi identitas
Dayak membawa pengaruh yang cukup besar dalam perebutan-perebutan ruang kekuasaan di
berbagai level. Dengan label identitas, orang-orang Dayak diorganisir dan dijadikan klien
untuk kepentingan politik para elite—meminjam istilah Yekti Maunati, elite-elite itu
disebutnya orang yang “sok superior”.1
Perjalanan panjang perjuangan orang-orang Dayak di Kalimantan telah cukup
memberi pengalaman bagi kita, terlebih secara politis berkaitan dengan gerakan-gerakan
untuk keluar dari yang tersubordinasi, other, yang terbelakang, „primitif‟, serta citra-citra
penghinaan lainnya. Konsekuensinya, kini orang-orang Dayak kontemporer (katanya) telah
tampil sebagai elite-elite politik baru di “kamar-kamar” lokal administratif negara. Para
orang-orang Dayak yang berlabelkan elite ini kemudian memposisikan diri mereka sebagai
representasi keberhasilan masyarkaat Dayak yang dulunya terpinggirkan. Setidaknya kita

memberi apresiasi atas pencapaian tersebut—tentunya bukan apresiasi yang berlebihan.
Namun, kita perlu meyadari bahwa hal-hal semacam itu baru memperlihatkan sebuah euforia,
dan belum menyentuh persoalan-persoalan orang Dayak yang substansial.
Banyak kritik yang ditujukan kepada para elite-elite2 Dayak karena belum mampu
memecahkan persoalan-persoalan masyarakat Dayak, dan justru malah mengadopsi cara-cara
kolonial untuk memanfaatkan saudara-saudara Dayak-nya yang lain untuk kepentingan yang
oportunis—walaupun tidak semua, toh sebagian besar elite masih demikian. Kompleksnya
permasalahan seperti ini seolah mempersempit peluang untuk keseimbangan hak-hak politik
bagi

1

orang-orang

Dayak,

alih-alih

kita


mendapati

keterputusan

dengan

yang

Lihat Maunati, Yekti. 2004. Identitas Dayak; Komodifikasi & Politik Kebuadayaan. (Terjemahan oleh Eri S. El
Khatab). Yogyakarta: LkiS Yogyakarta
2
Elite yang Dimaksud lebih berkonotasi sebagai elite politik dan birokrat-birokrat orang Dayak.

merepresentasikan masyarakat Dayak di lingkaran kekuasaan. Belum lagi kuatnya sifat
patronisme kita sebagai orang Dayak terhadap elite-elite tersebut, dan pada akhirnya
mengkonstruksikan diri kita sebagai yang diintervensi kekuatan-kekuatan dominan.

Politik Dayak sebagai Tandingan
Sejarah dan pengalaman faktual tentang dilema masyarakat Dayak masa kini
menunjukkan bahwa menjadi bagian dari kekuasaan belum cukup tanpa pemahaman akan

istilah seperti itu. Politik tidak melulu „berkaitan‟ dengan kekuasaan, tetapi „berbicara‟
tentang kekuasaan itu iya—dan itu hanya salah satunya. Selain itu, para elite Dayak mungkin
perlu menyepakati konsep Gramsci, dimana kekuasaan harus dipahami sebagai sebuah
hubungan (Roger Simon, 1999). Lebih lanjut, hubungan ini mengarah pada sifat dialogis—
berbeda dengan komando—antara elite dan yang tidak elite. Berpijak pada pengalaman
empirik seperti ini pula, sebagai orang Dayak kita perlu membangun kelompok hegemoni
tandingan untuk mengontrol secara tegas siapa saja yang menyebut dirinya sebagai
representasi masyarakat Dayak di dalam lingkaran kekuasaan.
Masih mengacu pada Gramsci, perjuangan politik tidak boleh sebatas untuk merebut
kekuasaan, tetapi harus diperluas pada seluruh masyarakat Dayak. Artinya kita belum puas
hanya dengan mengantarkan orang-orang Dayak menjadi elite-elite politik (lokal), tetapi
perlu untuk mencapai tingkat hegemoni yang kuat di dalam masyarakat Dayak itu sendiri
sebagai syarat untuk melakukan kontrol terhadap mereka yang berada di posisi elite.3 Secara
implisit, mungkin masyarakat Dayak perlu menabuh genderang—meminjam istilah
Gramasci—perang posisi (waf of position) sebagai tandingan bagi para elite Dayak yang
berkhianat atas legitimasi kaumnya. Mungkin strategi seperti ini sangat berguna untuk
menandingi rovolusi pasif khas para elite Dayak yang telah terkontaminasi dengan budaya
oportunis.
Strategi membangun suatu kelompok besar seperti Majelis Adat Dayak Nusantara
(MADN) yang disatukan oleh konsepsi yang sama sepertinya cukup menjanjikan untuk

merealisasikan apa yang disebut oleh Gramsci sebagai „perang posisi‟ (war of position).
Namun sayangnya, para pemimpin dari aliansi ini berposisi ganda, baik sebagai komandan di
aliansi itu sendiri maupun sebagai elite politik lokal. Sedikit banyak, situasi yang terlihat
pada kasus MADN ini kembali membatasi cita-cita akan hegemoni tandingan yang
diharapkan. Walaupun dalam hal ini saya tidak menjustifikasi MADN sebagai „revolusi pasif‟
3

Baca Simon, Roger. 1999. Gagasan-gasan Politik Gramsci tentang Watak kekuasaan.

para elite, namun apabila terus-menerus sistem seperti itu dipelihara, saya khawatir hal
semacam itu mungkin saja tumbuh di dalam aliansi. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan
hal ini, selama tidak menghianati kaum sendiri, namun ketakutannya, dalam bahasa Micel
Foucault, tidak berarti segala sesuatu dianggap buruk, tetapi segala sesuatu bisa berbahaya.
Terkadang kita kritis terhadap situasi-situasi politik tertentu yang bersinggungan
langsung dengan masyarakat Dayak, namun sayangnya banyak yang merasa itu bukanlah
menjadi tanggung jawab kita. Kita hampir selalu menyalahkan para elite Dayak yang belum
mampu membantu menyelesaikan persoalan-persoalan kaum, padahal kita sendiri tidak mau
berbuat. Kebanyakan dari kita menganggap bahwa politik itu kotor dan melihatnya dengan
sempit—politik dipahami hanya sebatas politik praktis. Oleh karena itu saya beranggapan
bahwa perlu dibangun pemahaman yang mendasar tentang konsep politik, karena sebagai

masyarakat yang bernegara kita tidak akan pernah lepas dari yang namanya politik. Perlu
diingat bahwa politik tidak harus menjadi bagian di dalam lingkaran kekuasaan, tetapi lebih
dari itu kita perlu memiliki sikap politik kritis supaya tujuan yang ingin dicapai tidak
melenceng dari rasa keadilan.
Secara khusus, logika utama yang ingin kita bangun dalam konteks politik masyarakat
Dayak saat ini terletak pada hubungan persetujuan dengan menggunakan kepemimpinan
politik dan ideoligis. Suatu organisasi konsensus tanpa hubungan dominasi dengan
menggunakan kekuasaan. Artinya dalam kehidupan politik masyarakat Dayak dewasa ini
penting untuk diwujudkan dengan apa yang disebut Nitiprawiro (2000: xli) sebagai
penemuan kembali roh tradisi Dayak yang dapat mentransformasikan sikap pasif menjadi
sikap percaya diri dan tekun berjuang4 dengan bingkai integritas. Harapannya, melalui politik
yang seperti ini mampu memberikan optimisme serta dapat menjawab persoalan-persoalan
akut yang sedang kita alami saat ini terutama mengenai kualitas politisi-politisi kita yang
mendefinisikan diri secara paksa sebagai representasi masyarakat Dayak.

Gerakan Politik Dayak: Menggali Semangat Warisan Tradisi
Althusser mendefinisikan ideologi sebagai „sebuah “representasi” tentang relasi
imajiner individu-individu dengan kondisi real keberadaan mereka.‟ Karakter „imajiner‟
relasi ini mengacu pada karakter ideologi yang menyebabkan suatu kondisi tidak terpersepsi
tanpa terdistorsi (Maria Camergo Heck, 1980). Selaras dengan definisi Althusser tentang

ideologi ini, kemungkinan, integritas mampu digali melalui semangat warisan tradisi yang
4

Baca Francis Wahono Nitiprawiro tentang praksis teologi pembebasan yang mencontohkan pada kasus
masyarakat Dayak kalimantan.

real dalam gerakan politik masyarakat Dayak saat ini. Dengan semangat warisan tradisi
leluhur yang arif mengharuskan kita memikirkan kembali ideologi yang niscaya adalah palsu.
Secara pribadi saya tidak ingin terjebak dalam diskusi filsafat akan penggalian makna
ideologi yang disampaikan oleh Althusser. Biarlah definisi tentang ideologi yang
ditunjukkannya sebagai alat analisis kritis para pencanang cultural studies. Saya hanya ingin
mengkaitkannya dengan pengalaman empirik kita tentang masyarakat Dayak sekarang yang
sedang disamarkan dan seolah terpersepsi tanpa terdistorsi itu. Hal ini terlihat jelas ketika
sudah banyak orang-orang Dayak menjadi terpelajar, menjadi elite-elite politik, pandai
berbisnis, dan sebagainya, namun tetap saja frekuensi masyarakat Dayak yang terisolir dari
akses pelayanan publik, akses ekonomi, pendidikan, dan kesehatan masih begitu tinggi.
Fakta-fakta seperti ini mungkin sengaja dialihkan dan dibungkus sedemikian rupa sehingga
tidak terekspos oleh banyak orang.
Semangat warisan tradisi masyarakat Dayak dapat dilacak dari beberapa sikap hidup
orang Dayak yang dirumuskan oleh Paulus Florus dalam Francis Wahono Nitiprawiro (2000)

seperti suka berbagi, demokratis dan egalitarian, cinta damai, serta berintegritas tinggi.
Namun sayangnya, sikap-sikap seperti itu membuat orang Dayak seringkali dimanfaatkan
untuk melenggangkan kepentingan-kepentingan praktis segelintir orang saja. Hal ini cukup
beralasan karena sikap hidup orang Dayak terlalu polos menghadapi serangan-serangan
diplomatis, baik oleh kaumnya sendiri maupun oleh „orang lain‟. Sikap polos itu yang
mestinya dikonversikan menjadi gerakan politik masyarakat Dayak dalam membangun
aliansi sekaligus dalam memperjuangkan hak-hak yang dijanjikan oleh negeri ini
(Indonesia)—bukan malah menjadi celah untuk memanfaatkan orang Dayak secara tidak
bertanggung jawab.
Berbekal semangat warisan tradisi ini, saya mencoba menawarkan kehidupan sosial
dan politik masyarakat Dayak akan mampu melewati pola gerakan politik pra modern dan
modern. Pola gerakan politik masyarakat Dayak tidak lagi sekedar untuk perampasan dan
pembagian kekuasaan, tetapi lebih pada politik kebudayaan, kepemilikan atas hak-hak sosial
dan otonomi, serta kebebasan berekspresi dan berbudaya. 5 Dengan mengutamakan toleransi
serta mengedepankan ruang dialog sebagai konsensus, harapannya mampu menyelesaikan
persoalan-persoalan sosial dan politik orang Dayak secara substansial. Hal ini bisa tercapai
apabila gerakan politik dibangun dari akar rumput dengan berpedoman pada semangat
5

Dalam kasus ini, wacana gerakan sosial politik didasarkan atas pengamatan Van Beyme tentang tujuan yang

ingin dicapai melalui gerakan politik tersebut mulai dari era pra modern, modern, sampai postmodern (Lebih
rinci lihat Abdilah S., Ubed. 2002. Politik Identitas; Pergulatan tanda Tanpa Identitas. Magelang:
IndonesiaTera.)

warisan tradisi yang arif, hegemoni serta atas kesadaran diri tanpa intervensi. Namun jangan
melihat ini sebagai penawaran yang normatif, tetapi lebih pada alternatif dalam menjawab
kompleksnya persoalan di dalam kehidupan sosial dan politik masyarakat Dayak saat ini yang
saya rasa cukup mengikis rasa optimisme kita.
Kita berpijak pada konsep kualitas sosial dan politik orang Dayak, dan bukan soal
kuantitas semata. Bila menginginkan kualitas yang baik, semestinya harus ada kontrol dari
yang berkualitas baik pula. Ini mengisyaratkan suatu gerakan yang berorientasi pada kualitas
dimana indikatornya terletak pada relasi yang dibangun dalam mobilisasi politik masyarakat
Dayak, partisipasi politiknya, dan kontribusi dari keduanya. Puncaknya adalah, sebuah pola
baru yang lebih sopan, ketika keterlibatan politik masyarakat Dayak ikut serta sebagai subjek
dalam membangun peradaban kaum ini, dan sudah seharusnya menjadi kemutlakkan.

*) Penulis adalah:
Mahasiswa Prodi Sosiologi
di Universitas Atma Jaya Yogyakarta


DAFTAR PUSTAKA

Abdilah S., Ubed,

dkk (Ed.). 2002. Politik Identitas Etnik; Pergulatan Tanda Tanpa

Identitas. Magelang: IndonesiaTera.
Heck, Marina Camargo. 1980. “Dimensi Ideologis Pesan-pesan Media”. Dalam Budaya,
Media, Bahasa. Stuart Hall dkk (Ed.). Terjemahan oleh Saleh Rahmana. Editor edisi
Bahas Indonesia Maryam Bagus. Yogyakarta: Jalasutra (Anggota IKAPI).
Maunati, Yekti. 2004. Identitas Dayak: Komodifikasi & Politik Kebudayaan. Terjemahan
oleh Eri Setyawati el-Khatab. Editor edisi Bahasa Indonesia Nor ismah. Yogyakarta:
LkiS.
Nitiprawiro, Francis Wahono. 2000. Teologi Pembebasan; Sejarah, Metode, Praksis, dan
Isinya. Yogyakarta: LkiS.
Simon, Roger. 1999. Gagasan-gagasan Politik Gramsci. Terjemahan oleh Kamdani & Imam
Behaqi. Yogyakarta: INSIST bekerjasama dengan Pustaka Pelajar (Anggota IKAPI).