SASTRA PADA AWALANYA SUARA HATI NURANI

SASTRA PADA AWALANYA SUARA HATI NURANI
Puji Santosa
Konsep sastra pada awalanya suara dalam hati
nurani digali dari proses kreatif dan wawasan estetik
Darmanto Jatman. Proses kreatif Darmanto sudah
tumbuh sejak masih berumur anak-anak. Ketika
berusia lima tahun, Darmanto sudah terobsesi oleh
kisah Putri Salju yang tertidur selama seribu tahun.
Darmanto kecil ketika itu kemudian berimajinasi
untuk

menjadi

seorang

Pangeran

yang

dapat


mencium dan mampu membangunkan Sang Putri
tersebut. Pengalaman unik Darmanto Jatman ini juga dialaminya ketika ia
berusia sepuluh tahun, yaitu Dartmanto Jatman tertarik kepada guru
kelasnya, Ibu Sri Hastuti, yang hitam manis kayak gula Jawa. Selanjutnya,
ia merasa jatuh cinta kepada guru kelasnya itu. Guru kelas itulah yang
membangkitkan kreativitas dirinya untuk gemar membaca, baik buku
Alkitab, cerita-cerita Alkitab dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian
Baru, buku dongeng-dongeng dari berbagai belahan dunia, maupun bukubuku tentang kebudayaan Jawa.
Segala macam buku pada waktu itu ada menumpuk di ruang depan
rumah orang tuanya, di Klitren Lor, Yogyakarta. Buku-buku itulah yang
berhasil memperkenalkan dirinya dengan “dunia lain” yang ada di luar
kesehariannya. Darmanto akrab dengan berbagai buku bacaan itu, mulai
dari buku agama, kepercayaan, filsafat, kesusastraan, kesenian, politik,
sosial, psikologi, dongeng, legenda, mitos, takhyul, religi, adat-istiadat,
wayang, hingga tentang kebudayaan Jawa. Buku yang menjadi bacaanbacaan itulah yang kemudian memberinya pengaruh kuat terhadap karyakarya yang ditulisnya. Secara ideologis, karena bacaan buku-buku itulah
Soedarmanto kecil, nama aslinya, matang sebelum waktunya. Sehingga
ketika masih duduk sekolah dasar, Darmanto kecil sudah mulai membuat
1

coretan-coretan yang bakal menjadi sajaknya.

Pengalaman yang unik dan menarik dialami Darmanto ketika ia
duduk di bangku kelas enam SD. Sepulang dari sekolah, Darmanto sering
berhenti di atas jembatan Kali Code, Kota Baru, Yogyakarta, yang menjadi
kebiasaannya. Lalu, Darmanto memandangi sebuah masjid yang sedang
dibangun ketika itu dengan latar belakang gunung Merapi dan Merbabu.
Bagi Darmanto Jatman pandangan itu menjadi suatu hal yang luar biasa
memesonanya. Sudah barang tentu, setelah pulang dan sampai di
rumahnya, Darmanto segera mengambil pena lalu dicurahkannya semua
pandangan di atas jembatan Kali Code tadi pada sehelai kertas. Itulah
peristiwa pertama kali Darmanto menulis puisi tentang masjid yang baru
dibangun di Kota Baru, Yogyakarta (tempat ini sekarang berdekatan
dengan kantor Balai Bahasa Yogyakarta), bunyi larik-larik sajak itu adalah:
“Di kota baru
dibangun masjid yang baru
Syuhada namamu”.
Berselang beberapa tahun kemudian, tepatnya pada saat Darmanto
Jatman bersekolah di SMA III B Padmanaba Yogyakarta (1958), ia sudah
aktif mengirimkan karya-karyanya ke berbagai lembaran remaja, antara
lain, “Kawanku” suplemen dari koran Kedaulatan Rakyat Yogyakarta, dan
“Remaja


Nasional”

sisipan

dari

harian

Berita

Nasional

Yogyakarta.

Kemudian pada tahun 1960-an Darmanto Jatman mengirimkan juga
tulisan-tulisannya ke berbagai majalah penerbitan “dewasa”, seperti
Tanah Air, Tjerpen, Gema, Gelora, Pustaka dan Budaya, Mahasiswa
Indonesia, Budaya Jaya, Zaman, Mimbar Indonesia, Horison, Basis, dan
Sastra. Hingga tahun 2007, sebelum penyakit stroke meyerang dirinya,

Darmanto Jatman masih aktif menulis di berbagai media massa dan
penerbitan, seperti

Suara Merdeka

(Semarang), Kedaulatan Rakyat

(Yogyakarta), Suara Pembaruan dan Kompas (Jakarta). Darmanto memulai
kariernya dari menulis esai, naskah lakon, cerita pendek, baru puisi. Ia
mengakui menulis esai karena terdesak akan kebutuhan hidup. Artinya,

2

puisi-puisinya itu membutuhkan “gizi”. Ia menulis puisi dan membaca
banyak buku agar esainya dapat lebih berbobot. Sementara itu, naskah
lakon dan cerita pendek ditulis untuk mendukung puisi-puisi dan esaiesainya. Ibaratnya ia menanam esai dan akhirnya menuai puisi.
Waktu terus berjalan, zaman pun terus berubah berganti, hingga
tahun 2007, Darmanto Jatman masih tetap aktif menulis di berbagai media
massa dan penerbitan, seperti Suara Merdeka (Semarang), Kedaulatan
Rakyat (Yogyakarta), Jawa Pos (Surabaya), Suara Pembaruan dan Kompas

(Jakarta). Darmanto juga duduk sebagai redaksi penyumbang majalah
Humor, redaktur khusus majalah Tiara, pengasuh ruang konsultasi
psikologi harian Jawa Pos, penulis tetap tabloid

Mutiara, redaktur

kebudayaan Dinamika Baru, Kampus, Suara Merdeka (Semarang), Tribun
(Jakarta), dan memimpim koran kampus Manunggal (UNDIP) dan Forum
(FISIP-UNDIP).
Sekalipun puisi-puisi yang ditulis oleh Darmanto Jatman berdasarkan
pengalaman personal, experiential poetry, tetapi jejak-jejak pengaruh
seseorang dan acuan (referensi) dalam puisi-puisinya, masih dapat
ditelusuri. Sajak “Sori Gusti”, misalnya, jelas merupakan pengaruh kuat
dari sajak “Tuan” karya Sapardi Djoko Damono, yang berbunyi:
TUAN
“Tuan Tuhan, bukan? Tunggu sebentar,
saya sedang keluar.”
(Damono, 1983: 25. Perahu Kertas. Jakarta: Balai Pustaka)
Sementara itu, dalam sajak “Sori Gusti” itu Darmanto lebih
menguraikan argumentasinya mengapa si Tople meninggalkan Tuhan.

Ketika menyambut Natal tahun baru Masehi 2001 si Tople absen dalam
paduan suara (di Gereja) karena harus mencari nafkah ke mal dan ikut
pula takbiran bersama kawan-kawannya. Paduan “suara” di Gereja pada
hakikatnya menyuarakan pujian kepada Tuhan bersama-sama dalam
bentuk nyanyian atau lagu. Takbiran itu juga merupakan “suara-suara”
yang

mengagungkan

nama

Tuhan

dilakukan

bersama-sama

untuk
3


menyongsong hari raya Lebaran (Idul Fitri atau Idul Adha). Demikian juga
pengakuan dosa si Tople hakikatnya juga penyaluran “suara” batinnya
kepada Tuhan.
Sori Gusti
Hamba absen dalam paduan suara
menyambut natalMu tahun 2001
Hamba cari makan di mal
mumpung mereka ber-AMeri Krismas@
Terus terang Gusti
Hamba juga ikut takbiran
karena banyak teman hamba di sana
Hamba yakin Gusti tahu
Sori ya Gusti.
Hambamu Tople
2001
(Jatman, 2002: 64. Sori Gusti. Semarang: LIMPAD)
Sajak “Testimoni”, “Menghadapmu Pagi Ini”, “Ampun Gusti”, dan
sajak lainnya yang memiliki warna sejarah keimanan secara intertekstual
Darmanto banyak menstranformasikan ‘suara’ ayat-ayat Alkitab, terutama
Kitab Yohanes 1, ayat 1–4 dan 10, yang berbunyi: “Pada mulanya,

sebelum dunia dijadikan. Sabda sudah ada. Sabda itu bersama Allah, dan
Sabda sama dengan Allah. Sejak semula Sabda bersama Allah. Segalanya
dijadikan melalui Sabda, dan dari segala yang ada tak satu pun dijadikan
tanpa Sabda. Sabda itu sumber hidup, dan hidup memberi terang kepada
manusia. ... Sabda ada di dunia, dunia dijadikan melalui Sabda.”
Dalam iman kaum Nasrani meyakini bahwa Tuhan itu sudah
menyatu dengan Sabda, dan Sabda itu sudah ada sejak zaman dahulu
kala sebelum dunia ini ada. Sebelum ada apa-apa di dunia ini, Sang Sabda
telah bertahta di pusat kehidupan. Hingga kini Sang Sabda itu tetap
keadaannya. Tidak berubah dan tidak berganti. Tidak lekang di terik
matahari, dan tidak rapuh diterjang hujan, badai, angin, dan cuaca.
Berdasarkan kesaksian (testimoni) Darmanto Jatman sebenarnya “Sabda
itu tiada lain adalah ‘suara’, ’kata’, ‘bahasa’, ‘pangendika’ atau ‘dhawuh
4

Gusti’, dan ‘sesuatu yang selalu kita dengar di dalam batin kita’”. Bermula
dari Sabda atau suara-suara, kata-kata, pangandika atau dhawuh Gusti,
bahasa, dan sesuatu yang selalu didengar dari dalam batin (hati) itulah ia
menciptakan puisi. Puisi-puisinya itu tiada lain hanya jelmaan dari
ungkapan


kata-kata,

rangkaian

dari

berbagai

bahasa

atau

idiom,

pangendika atau dhawuh Gusti, dan suara-suara batinnya yang kemudian
dituangkannya dalam bentuk huruf, tulisan di atas kertas, dan rangkaian
kata-kata yang membentuk bahasa puisi.
Sapardi Djoko Damono pun dalam sajak “Telinga” yang berbunyi: “ia
digoda masuk ke telinganya sendiri/ agar bisa mendengar apa pun/ secara

terinci – setiap kata, setiap huruf,/ bahkan letupan dan desis/ yang
menciptakan suara.// .. agar dapat menafsirkan sebaik-baiknya/ apa pun
yang dibisikkannya/ kepada diri sendiri.” Sabda oleh Sapardi dalam
sajaknya itu juga ditafsirkan secara kreatif sebagai ‘suara’, ‘kata’, ‘huruf’,
‘letupan’ dan ‘desis’, dan ‘bisikan yang berasal dari dalam batin diri
sendiri’. Dengan demikian, baik Darmanto Jatman maupun Sapardi Djoko
Damono (dapat terjadi saling berpengaruh) berangkat dari “suara-suara”
(Sabda Tuhan ataupun suara-suara hati nurani) sebagai ilham atau
inspirasi untuk kemudian merangkaikannya membentuk sajak atau bahasa
puisi-puisinya.
Tampaknya, kedua penyair yang saling berpengaruh dan memiliki
acuan yang sama dalam berpuisi, baik Darmanto Jatman maupun Sapardi
Djoko Damono, berakar kuat pada mitologi yang ada pada masyarakat.
Darmanto Jatman dalam sajak-sajaknya, dari awal hingga kini, lebih terasa
atau kelihatan sekali akarnya pada mitologi keagamaan, pada sejarah
keimanan, terutama kisah-kisah dalam Alkitab, yang kemudian dipadukan
dengan mitologi (cerita rakyat, legenda, wayang, tembang dolanan,
tembang macapat, dan filsafat) Jawa, seperti dalam sajaknya “Isteri”,
“Testimoni”, “Sori Gusti”, “Kristus dalam Perang”, “Golf untuk Rakyat”,
“Hai Sapi”, dan “Ampun Gusti”. Darmanto Jatman menamakan hal-hak itu

sebagai “psikologi Jawa”. Sementara, Sapardi Djoko Damono dalam sajak-

5

sajaknya lebih mengakar pada semua mitologi yang ada di dunia ini, baik
itu mitologi keagamaan, mitologi Yunani, mitologi Arab-Persia, maupun
mitologi Jawa. Dengan demikian, kedua penyair tersebut sama-sama
berangkat dari dunia mitologi yang ada.
Diakui ataupun tidak bahwa salah satu keunggulan yang dimiliki
oleh Darmanto Jatman dalam bersajak atau dalam berpuisi adalah
mengangkat nama tokoh-tokoh mitologi keagamaan, peristiwa, dan
sekaligus mitologi Jawa dan wayang, seperti tokoh Abel dan Kain, Nuh,
Sulaiman, Daud, Menara Bebel, Sodom dan Gomora, Jesus Kristus atau Isa
Almasih, Joszef, Maria, Simeon, kemudian dari dunia Jawa ada tokoh Jaka
Tingkir,

Anglingdarma,

Ki

Ageng

Suryomentaraman,

Ajirawarontek,

Begawan Wisrawa, Rahwana, Rama, Burisrawa, Arjuna atau Janaka, Bima,
Arimbi, Subadra, Sukesi, Dewi Sri, Narada, Bilung, Limbuk, dan. Badranaya
atau Ki Lurah Karangkedempel, serta para punakawan, yang akrab sebagai
cantelan ingatan-pikiran. Sementara itu, tokoh-tokoh realitas-imajiner
yang ditampilkan dalam sajak-sajaknya dibuat berbau Jawa, seperti Marto
Klungsu atau Marto Legi ataupun Marto Sendika, Karto Tela, Lik Parto Total,
Bik Meniek, Roro Blonyo, Ki Blaka Suta, Atmo Boten, Karto Tukul,
Towikromo, Tople, Nyai Pon, Kiai Rebo, Tulkini, Somadilaga, Mangunkarsa,
dan Ciprut, hanya semata-mata merupakan tokoh realitas-imajiner atau
dapat juga rekaan yang kreatif dan dinamis dari Darmanto yang tidak
ditemukan pada penyair lainnya.
Proses kreatif Darmanto Jatman yang pada mulanya berasal dari
“suara-suara”

dalam hati hingga ditemukannya bermacam-macam

bahasa (multilingual), teknik, dan gaya dalam bersajak tersebut awalnya
dia menghadapi benturan budaya yang mengejutkan. Hal itu dialaminya
ketika Darmanto Jatman menimba ilmu di Honolulu, Hawai, Amerika
Serikat,

pada

experiential

tahun

poetry

1972—1973.

Puisi-puisi

yang

berkisah tentang benturan

dikenal

budaya

itu

sebagai
dengan

menggunakan bahasa Jawa, Indonesia, Inggris, sedikit bahasa Belanda dan
Perancis serta bahasa “unik” yang sulit dimaknai oleh logika biasa

6

sehingga menembus batas-batas kelaziman berbahasa. Atas keunikannya
itu kemudian Darmanto Jatman dikenal sebagai penyair multilingualis.
Khazanah dunia kesusastraan Indonesia, penggunaan multilingual
dalam penulisan puisi, sesungguhnya bukanlah hal yang baru sama sekali,
unik dan khas, karena selama ini banyak penyair sastra Indonesia yang
menulis dengan menggunakan banyak bahasa. Sebagaimana yang pernah
dikemukankan oleh Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono bahwa “Penyair lain
seperti Linus Suryadi AG, bahkan jauh sebelumnya pada tahun 1920-an
para penyair peranakan Melayu Tionghoa sudah menulis puisi dengan
menggunakan berbagai bahasa seperti Inggris, Perancis, Belanda, dan
Melayu dalam setiap sajaknya.” (dalam Jatman, 2005:252). Akan tetapi,
Prof.

Dr.

Sapardi

Djoko

Damono

mengakui

bahwa

kemampuannya

menggunakan bahasa bermacam-macam dalam satu sajak atau satu puisi
untuk mengekspresikan penghayatan terhadap kehidupan yang mungkin
tidak akan dapat diungkap dengan cara lain, adalah kekhasan Darmanto
Jatman. “Di sinilah pada hakikatnya terletak kualitas Darmanto sebagai
penyair. Kualitas itulah yang memberinya hak untuk disebut sebagai salah
seorang penyair Indonesia terkemuka,” ujar Prof. Dr. Sapardi Djoko
Damono lagi (Jatman, 2005:253).

7

DAFTAR PUSTAKA
Damono, Sapardi Djoko 1983. Perahu Kertas. Jakarta: Balai Pustaka.
Eneste, Pamusuk. 1990. Leksikon Kesusastraan Indonesia Modern. Jakarta:
Jambatan.
Jatman, Darmanto. 1975. Bangsat. Jakarta: Puisi Indonesia.
............. 1976. Sang Darmanto. Jakarta: Puisi Indonesia.
............. 1980. Ki Blaka Suta Bla Bla. Jakarta: Puisi Indonesia.
............. 1981. Karto Iyo Bilang Mboten. Jakarta: Puisi Indonesia.
............. 1994. Golf untuk Rakyat. Yogyakarta: Bentang Budaya.
............. 1997. Isteri. Jakarta: Grasindo.
............. 2002. Sori Gusti. Semarang: LIMPAD.
............. 2005. Dunia Bilung. Semarang: LIMPAD.
............ 2006. Sangkan Paran: Kumpulan Esai. Semarang: LIMPAD.
............ 2007. mBilung Limbukan: Kumpulan Esai Glenyengan. Yogyakarta:
Kayoman.
............ 2011. Psikologi Jawa. Cetakan kedua Januari 2011. Cetakan
pertama 1997 oleh Bentang Budaya Yogyakarta. Yogyakarta:
Kayoman.
........... dan SM Darmastuti. 2007. Kagem Panjenengan Gusti: Catatan
Perjalanan. Yogyakarta: Kayoman.
Santosa, Puji. 1993. Ancangan Semiotika dan Pengkajian Susastra.
Bandung: Angkasa.
Santosa, Puji., dkk. 1993. Citra Manusia dalam Drama Indonesia Modern
1920--1960. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Santosa, Puji., & Djamari. 1995. Analisis Sajak-Sajak J.E. Tatengkeng. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Santosa, Puji., & Djamari. 1996. Soneta Indonesia: Analisis Struktur dan
Tematik. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

8

Santosa, Puji. 1996. Pengetahuan dan Apresiasi Kesusastraan. Ende-Flores:
Nusa Indah.
Santosa, Puji., dkk. 1997. Citra Manusia dalam Drama Indonesia Modern
1960–1980. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Santosa, Puji. 1998. “Analisis Struktur Sajak ‘Pembicaraan’ Karya Subagio
Sastrowardojo” dalam Pangsura Bilangan 6/Jilid 4, Januari–Juni 1998,
hlm. 3–15.
Santosa, Puji., dkk. 1998a. Struktur Sajak-Sajak Abdul Hadi W.M. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Santosa, Puji., dkk. 1998b. Unsur Erotisme dalam Cerita Pendek Tahun
1950-an. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Santosa, Puji. 1999a. “Perkembangan Soneta di Indonesia dan Jatidiri
Bangsa” dalam Pangsura Bilangan 9/Jilid 5, Julai–Desember 1999,
hlm. 92–106.
Santosa, Puji. 1999b. “Kajian Asmaradana dalam Sastra Bandingan” dalam
Bahasa dan Sastra Nomor 3 Tahun XVII, 1999, hlm. 30–50.
Santosa, Puji. 2003a. “Sori Gusti: Keragaman Tujuh Banjaran”. Dalam
Kakilangit Nomor 75, Maret 2003. Sisipan majalah sastra Horison
Tahun XXXVI, Nomor 3, Maret 2003, halaman 8—10.
Santosa, Puji. 2003b. “Proses Kreatif Darmanto Jatman: Pada Mulanya
adalah Suara”. Dalam Kakilangit Nomor 75, Maret 2003. Sisipan
majalah sastra Horison Tahun XXXVI, Nomor 3, Maret 2003, halaman
11—12.
Santosa, Puji. 2003c. “Riwayat Hidup Penyair: Darmanto Jatman (1942--):
Penyair dengan Segudang Puisi dan Prestasi”. Dalam Kakilangit
Nomor 75, Maret 2003. Sisipan majalah sastra Horison Tahun XXXVI,
Nomor 3, Maret 2003, halaman 13—14.
Santosa, Puji. 2003d. Bahtera Kandas di Bukit: Kajian Semiotika SajakSajak Nuh. Solo: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri.
Santosa, Puji., dkk. 2003. Drama Indonesia Modern dalam Majalah
Indonesia, Siasat, dan Zaman Baru (1945–1965): Analisis Tema dan
Amanat Disertai Ringkasan dan Ulasan. Jakarta: Pusat Bahasa,
Departemen Pendidikan Nasional.
Santosa, Puji., dkk. 2004. Sastra Keagamaan dalam Perkembangan Sastra
Indonesia Modern: Puisi 1946—1965. Jakarta: Pusat Bahasa,
9

Departemen Pendidikan Nasional.
Santosa, Puji. 2006. Pandangan Dunia Darmanto Jatman. Jakarta: Pusat
Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional.
Santosa, Puji., & Agus Sri Danardana. 2008. Pandangan Dunia Motinggo
Busye. Bandarlampung: Kantor Bahasa Provinsi Lampung.
Santosa, Puji., & Suroso. 2009. Estetika: Sastra, Sastrawan, dan Negara.
Yogyakarta: Pararaton.
Santosa, Puji., Suroso, & Pardi Suratno. 2009. Kritik Sastra: Teori,
Metodologi, dan Aplikasi. Yogyakarta: Elmatera Publishing.
Santosa, Puji. 2010. Kekuasaan Zaman Edan: Derajat Negara Tampak
Sunya Ruri. Yogyakarta: Pararaton.
Santosa, Puji., & Imam Budi Utono. 2010. Struktur dan Nilai Mitologi
Melayu dalam Puisi Indonesia Modern. Yogyakarta: Elmatera
Publishing.
Santosa, Puji., & Maini Trisna Jayawati. 2010. Sastra dan Mitologi: Telaah
Dunia Wayang dalam Sastra Indonesia. Yogyakarta: Elmatera
Publishing.
Santosa, Puji., & Maini Trisna Jayawati. 2011. Dunia Kesusastraan Nasjah
Djamin dalam Novel Malam Kuala Lumpur. Yogyakarta: Elmatera
Publishing.
Santosa, Puji., Djamari, & Sri Sayekti. 2011. Manusia, Puisi, dan Kesadaran
Lingkungan. Yogyakarta: Elmatera Publishing.
Santosa, Puji., & Djamari. 2012a. Merajut Kearifan Budaya: Analisis
Kepenyairan Darmanto Jatman. Yogyakarta: Elmatera Publishing.
Santosa, Puji., & Djamari. 2012b. Struktur Tematik Puisi-Puisi Mimbar
Indonesia. Yogyakarta: Elmatera Publishing.
Santosa, Puji.., dkk. 2013. Puisi Promosi Kepariwisataan. Yogyakarta:
Elmatera Publishing,
Santosa, Puji., & Djamari. 2013a. Dunia Kepenyairan Sapardi Djoko
Damono. Yogyakarta: Elmatera Publishing.
Santosa, Puji., & Djamari. 2013b. Peran Horison Sebagai Majalah Sastra.
Yogyakarta: Elmatera Publishing.

10

Santosa, Puji., & Djamari. 2014a. Kriik Sastra Tempatan. Yogyakarta:
Elmatera Publishing.
Santosa, Puji., & Djamari. 2014b. Apresiasi Sastra Disertai Ulasan Karya,
Proses Kreatif, dan Riwayat Sastrawan. Yogyakarta: Elmatera
Publishing.
Santosa, Puji. 2015. Metodologi Penelitian Sastra: Paradigma, Proposal,
Pelaporan, dan Penerapan. Yogyakarta: Azzagrafika.
Santosa, Puji., & Djamari. 2015a. Mengukur Kesesuaian Sastra Pada Siswa
Sekolah Menengah. Yogyakarta: Elmatera Publishing.
Santosa, Puji., & Djamari. 2015b. Strategi Pembelajaran Sastra Pada Era
Globalisasi. Yogyakarta: Azzagrafika.
Tim Alkitab. 1993. Alkitab. Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia.
Tim Al-Quran. 1995. Al-Quran dan Terjemahnya. Jakarta: Departeman
Agama.
Tim Penyusun Kamus 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa.
Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional dan Gramedia Pustaka
Utama.
Vries, Anne de. 1999. Cerita-Cerita Alkitab Perjanjian Lama. Terjemahan
Ny. J. Siahaan-Nababan dan A. Simanjuntak. Cetakan 9. Jakarta: BPK
Gunung Mulia.

11

Dokumen yang terkait

PENGARUH PEMBERIAN SEDUHAN BIJI PEPAYA (Carica Papaya L) TERHADAP PENURUNAN BERAT BADAN PADA TIKUS PUTIH JANTAN (Rattus norvegicus strain wistar) YANG DIBERI DIET TINGGI LEMAK

23 199 21

KEPEKAAN ESCHERICHIA COLI UROPATOGENIK TERHADAP ANTIBIOTIK PADA PASIEN INFEKSI SALURAN KEMIH DI RSU Dr. SAIFUL ANWAR MALANG (PERIODE JANUARI-DESEMBER 2008)

2 106 1

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

MANAJEMEN PEMROGRAMAN PADA STASIUN RADIO SWASTA (Studi Deskriptif Program Acara Garus di Radio VIS FM Banyuwangi)

29 282 2

ANALISIS PROSPEKTIF SEBAGAI ALAT PERENCANAAN LABA PADA PT MUSTIKA RATU Tbk

273 1263 22

PENERIMAAN ATLET SILAT TENTANG ADEGAN PENCAK SILAT INDONESIA PADA FILM THE RAID REDEMPTION (STUDI RESEPSI PADA IKATAN PENCAK SILAT INDONESIA MALANG)

43 322 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PEMAKNAAN BERITA PERKEMBANGAN KOMODITI BERJANGKA PADA PROGRAM ACARA KABAR PASAR DI TV ONE (Analisis Resepsi Pada Karyawan PT Victory International Futures Malang)

18 209 45

STRATEGI KOMUNIKASI POLITIK PARTAI POLITIK PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH TAHUN 2012 DI KOTA BATU (Studi Kasus Tim Pemenangan Pemilu Eddy Rumpoko-Punjul Santoso)

119 459 25

PENGARUH BIG FIVE PERSONALITY TERHADAP SIKAP TENTANG KORUPSI PADA MAHASISWA

11 131 124