KONSEP PURCHASING POWER PARITY DALAM PEN

KONSEP PURCHASING POWER PARITY
DALAM PENENTUAN KURS MATA UANG
Yovita Vivianty Indriadewi Atmadjaja
Dosen Fakultas Ekonomi Prodi Manajemen Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi
ABSTRAKSI
Salah satu konsep penentuan kurs valuta asing adalah Purchasing Power Parity (PPP). Dasar
konsep PPP adalah bahwa perbandingan nilai suatu mata uang ditentukan oleh daya beli uang
tersebut terhadap barang dan jasa di masing-masing negara. Terdapat 2 sudut pandang dalam
konsep PPP yaitu PPP absolut dan PPP relatif. Dalam perkembangannya, konsep PPP banyak
mendapat kritik dan mengalami kegagalan dalam penerapannya, seperti adanya hambatan
perdagangan internasional, adanya komoditi yang tidak diperdagangkan secara internasional,
persaingan tidak sempurna, adanya ketidakseimbangan neraca transaksi berjalan, dan tingkat harga
yang cenderung tegar dalam jangka pendek.
Kata Kunci: ekonomi keuangan internasional, kurs valuta asing, purchasing power parity
ABSTRACT
One concept of foreign exchange rates determination is Purchasing Power Parity (PPP). Basic
concept of PPP is that the comparison of the value of a currency is determined by the purchasing
power of money for goods and services in each country. There are two viewpoints on the concept of
PPP, i.e. absolute PPP and relative PPP. In its development, many criticized the PPP concept and a
failure in its implementation, such as the existence of barriers to internasional trade, non-traded goods
internationally, imperfect competition, an imbalance in the current account, and the sticky price level in

the short term.
Keywords: international financial economics, foreign exchange rates, purchasing power parity.

PENDAHULUAN
Kurs mata uang timbul karena
adanya
perdagangan
internasional.
Perdagangan internasional diperlukan
dalam meningkatkan laju pertumbuhan
ekonomi suatu negara dan adanya
kenyataan bahwa suatu negara tidak
dapat memenuhi kebutuhannya sendiri,
sehingga
negara
tersebut
harus
mendatangkan barang kebutuhannya dari
negara lain. Sehingga setiap negara
melakukan kegiatan ekspor dan impor.

Kegiatan ini akan menimbulkan lalu lintas
pembayaran
internasional.
Dalam
melakukan pembayaran internasional
diperlukan suatu konversi antara mata
uang negara satu dengan mata uang
negara lain. Hal ini terjadi karena adanya
perbedaan mata uang yang digunakan
oleh
masing-masing
negara
yang
melakukan perdagangan.

Konversi atau nilai tukar mata uang
negara satu dengan mata uang negara
lainnya tersebut dinamakan kurs mata
uang. Atau dengan kata lain untuk mata
uang

Indonesia,
misalnya,
kurs
menunjukkan berapa nilai rupiah yang
harus dibayarkan untuk satu mata uang
asing, dan berapa nilai rupiah yang akan
diterima jika seseorang menjual satu mata
uang asing.
Pada dasarnya kurs dikatakan
dalam keseimbangan (kurs yang berlaku
sesuai dengan yang diharapkan) apabila
kurs tersebut mencerminkan adanya
angka perbandingan antara nilai suatu
mata uang dengan nilai mata uang negara
lain yang ditentukan oleh daya belinya
masing-masing. Perbandingan ini disebut
Paritas Daya Beli (Purchasing Power
Parity = PPP). Konsep PPP ini menjadi
dasar dalam menentukan apakah kurs
yang berlaku realistis atau tidak.

49

50 ANALISA, Vol. 1, No. 1, April 2013: 49 – 53

KONSEP PPP
Konsep Purchasing Power Parity
(PPP) pertama kali dikemukakan oleh ahli
ekonomi Swedia, Gustav CasselI pada
tahun 1918. Konsep ini menekankan
hubungan keseimbangan jangka panjang
antara kurs dengan tingkat bunga, di mana
kurs
mata
uang
mencerminkan
perbandingan antara tingkat harga di
suatu negara dengan tingkat harga negara
lain. Dasar konsep PPP adalah bahwa
perbandingan nilai suatu mata uang
ditentukan oleh daya beli uang tersebut

terhadap barang dan jasa di masingmasing negara.
Konsep PPP dapat dilihat dalam 2
(dua) sudut pandang, yaitu PPP absolut
dan PPP relatif. Dalam sudut pandang
PPP absolut, kurs mata uang merupakan
pencerminan dari rasio tingkat harga
dalam negeri terhadap tingkat harga luar
negeri atau dapat dirumuskan sebagai
persamaan berikut:

S

P
P*

Di mana
S = kurs valuta asing
P = harga dalam negeri
P* = harga luar negeri
Misalkan harga 1 kilogram kentang

di Amerika Serikat adalah $1, sedangkan
di Indonesia harganya Rp. 9.500, hal ini
berarti kurs rupiah terhadap dolar adalah
$1 = Rp. 9.500.
Persamaan PPP absolut dapat diubah
menjadi:
P = S x P*
Persamaan di atas dikenal sebagai
Hukum Satu Harga (Law of One Price)
yang menyatakan bahwa untuk barang
yang sama dijual dengan harga yang
sama di semua negara. Jika harga dalam
negeri lebih tinggi daripada harga luar
negeri, akan mengakibatkan adanya
kenaikan jumlah impor karena harga luar
negeri relatif lebih murah sehingga kurs

terdepresiasi. Akibat kurs terdepresiasi,
harga dalam negeri akan turun sampai
terjadi keseimbangan antara dua harga

tersebut. Penyimpangan dari konsep ini
dapat mengarah pada keadaan arbitrase.
Arbitrase merupakan kegiatan dalam
mengambil
keuntungan
dengan
memanfaatkan
informasi
mengenai
perbedaan harga suatu barang di pasar
yang berbeda. Seorang arbitrator akan
membeli barang dari pasar yang memiliki
harga yang rendah (pasar A) dan akan
menjual kembali barang tersebut ke pasar
lain yang memiliki harga yang lebih tinggi
(pasar B), sehingga ia akan memperoleh
keuntungan. Namun keadaan ini tidak
akan berlangsung dalam jangka panjang,
karena adanya kenaikan permintaan
barang di pasar A, maka harga barang di

pasar A tersebut akan mengalami
kenaikan. Dan sebaliknya, harga barang di
pasar B akan mengalami penurunan
karena adanya kenaikan penawaran.
Kondisi ini akan berlanjut sampai dengan
hukum satu harga terpenuhi atau harga
barang di kedua pasar menjadi sama.
PPP relatif menyatakan bahwa
persentase perubahan kurs merupakan
selisih antara persentase perubahan
tingkat harga (tingkat inflasi) dalam negeri
dengan perubahan tingkat harga (tingkat
inflasi)
luar
negeri
atau
dengan
persamaan:
%S = %P - %P*
Dimana,

%S = persentase perubahan kurs
%P = persentase perubahan tingkat
harga dalam negeri
%P* = persentase perubahan tingkat
harga luar negeri
Contoh, jika persentase perubahan tingkat
harga atau inflasi Indonesia sebesar 6
persen per tahun dan persentase
perubahan tingkat harga atau inflasi
Amerika Serikat sebesar 2 persen per
tahun, maka berdasarkan PPP relatif kurs

Atmadjaja: Konsep Purchasing Power Parity Dalam Penentuan Kurs Mata Uang 51

rupiah terhadap dolar Amerika Serikat
akan terdepresiasi sebesar 3%.
Konsep PPP menggunakan asumsi
adanya pasar komoditi yang efisien, dalam
arti tidak adanya hambatan perdagangan
internasional (tarif dan kuota), nbiaya

transportasi,
komoditi
yang
diperdagangkan
secara
internasional
harus homogen, dan tidak adanya
kesempatan untuk melakukan arbitrase.
KRITIK-KRITIK TERHADAP KONSEP
PPP
Terdapat beberapa kritik yang
dilontarkan terhadap konsep PPP, yaitu
pertama, menyangkut adanya hambatan
perdagangan internasional, yaitu adanya
tarif dan kuota serta adanya biaya
transportasi,
sehingga
diduga
menimbulkan
penyimpangan

kurs
keseimbangan dari konsep PPP. Kedua,
menyangkut terbatasnya variabel yang
digunakan dalam menentukan kurs valuta
asing (dalam konsep PPP hanya tingkat
harga yang digunakan sebagai variabel),
sementara banyak variabel lain yang
dapat menentukan tingkat kurs, namun
tidak diperhitungkan dalam konsep PPP,
contohnya tingkat suku bunga, penawaran
uang dan pendapatan nasional. Ketiga,
adalah kritik yang berhubungan dengan
tingkat harga yang digunakan, apakah
menggunakan indeks harga konsumen
atau indeks harga pedagang besar.
Secara teoritis, tingkat harga yang
dimaksud adalah indeks harga umum.
Namun, data indeks harga umum tidak
tersedia, sehingga digunakan indeks
harga konsumen atau indeks harga
pedagang besar sebagai proxi dari tingkat
harga.
KEGAGALAN KONSEP PPP
Konsep PPP mengalami kegagalan
dalam penerapannya. Ada 5 penjelasan
mengenai kegagalan tersebut, yaitu
adanya
hambatan
perdagangan
internasional, adanya komoditi yang tidak
diperdagangkan secara internasional (nontraded
goods),
persaingan
tidak
sempurna, adanya ketidakseimbangan

neraca transaksi berjalan, dan tingkat
harga yang cenderung sticky dalam jangka
pendek.
a. Hambatan perdagangan internasional
Alasan mendasar yang menyebabkan
konsep PPP mengalami kegagalan
adalah
karena
adanya
biaya
transportasi. Biaya ini menyebabkan
perbedaan harga untuk barang yang
sama di pasar yang berbeda. Dengan
kata lain, hal ini menyimpang dari
hukum
satu
harga
dan
akan
menyebabkan kondisi arbitrase, jika
harga yang berlaku ternyata lebih
tinggi daripada harga ditambah biaya
transportasi. Dalam keadaan demikian,
negara yang menetapkan harga lebih
tinggi akibat adanya biaya transportasi
akan memiliki kurs yang bernilai lebih
tingi (overvalued) daripada ketentuan
kurs berdasarkan PPP.
Selain biaya transportasi, hambatan
perdagangan berupa tarif dan kuota
juga menyebabkan kegagalan konsep
PPP.
Hampir
setiap
negara
memberlakukan sistem tarif terhadap
komoditi yang akan masuk ke
negaranya. Hal ini ditujukan untuk
melindungi produksi dalam negeri.
Proteksi yang banyak dilakukan adalah
proteksi terhadap sektor pertanian.
Tarif merupakan pengenaan pajak bagi
komoditi impor, sedangkan kuota
merupakan
pembatasan
jumlah
komoditi impor. Baik tarif dan kuota
menyebabkan kenaikan harga komoditi
impor. Di negara yang memberlakukan
tarif atau kuota, kurs yang berlaku
akan lebih tinggi dari ketentuan konsep
PPP (overvalued).
Perbedaan
pemberlakuan
pajak
masing-masing
negara
juga
merupakan faktor yang menyebabkan
kegagalan konsep PPP. Negara yang
menerapkan
pajak
lebih
tinggi
dibanding negara lain memiliki kurs
berlaku yang lebih tinggi dari kurs yang
ditentukan dalam konsep PPP. Hal ini
terjadi karena harga komoditi dalam
negeri akan relatif lebih tinggi

52 ANALISA, Vol. 1, No. 1, April 2013: 49 – 53

dibandingkan dengan harga komoditi
yang sama di luar negeri.
b. Komoditi yang tidak diperdagangkan
dalam perdagangan internasional
Perdagangan jasa merupakan komoditi
yang tidak diperdagangkan secara
internasional,
namun
dimasukkan
dalam perhitungan indeks harga. Di
negara-negara maju, harga jasa,
misalkan biaya sewa dan tenaga kerja,
lebih tinggi dibandingkan dengan
negara-negara berkembang. Hal inilah
yang menyebabkan penilaian kurs
valuta asing yang terlalu rendah
(undervalued)
di
negara-negara
berkembang, karena indeks harga di
negara maju jauh lebih tinggi daripada
negara berkembang.
c. Kompetisi tidak sempurna (imperfect
competition)
Adanya
kompetisi
yang
tidak
sempurna menyebabkan perbedaan
harga barang yang diperdagangkan di
setiap
negara.
Perbedaan
ini
mengakibatkan penyimpangan konsep
PPP. Perbedaan harga barang yang
diperdagangkan di setiap negara dapat
terjadi karena perusahaan memiliki
kemampuan untuk menerapkan harga
yang berbeda di pasar yang berbeda.
Teori diskriminasi harga menyatakan
bahwa
suatu
perusahaan
akan
memaksimalkan keuntungan dengan
meragamkan
harga
berdasarkan
elastisitas permintaan suatu barang.
Elastisitas permintaan menunjukkan
bahwa bagaimana perubahan jumlah
barang yang diminta apabila harga
barang
tersebut
mengalami
perubahan. Jika harga suatu barang
meningkat 10 persen dan jumlah
barang yang diminta turun kurang dari
10 persen, maka permintaan untuk
barang ini dikatakan inelastis. Jika
harga naik sebesar 10 persen, dan
jumlah barang yang diminta turun lebih
dari 10 persen, maka permintaan untuk
barang
ini
dikatakan
elastis.
Penerimaan
penjualan
meningkat
mengikuti kenaikan harga barang yang
memiliki permintaan inelastis dan akan

turun mengikuti kenaikan harga barang
yang memiliki permintaan elastis.
Perusahaan
yang
menerapkan
diskriminasi
harga
dapat
memaksimalkan
penerimaannya
dengan menerapkan harga yang lebih
tinggi di negara yang memiliki
permintaan inelastis dibandingkan
dengan
negara
yang
memiliki
permintaan lebih elastis. Hal ini akan
mengakibatkan penilaian kurs yang
terlalu tinggi (overvalued) di negara
yang memiliki permintaan elastis.
d. Ketidakseimbangan neraca transaksi
berjalan (current account imbalances)
Alasan lain yang menyebabkan harga
barang dapat berbeda di setiap negara
adalah karena kurs merefleksikan
perdagangan
internasional
bukan
hanya menyangkut barang dan jasa
tapi juga aktiva finansial (financial
assets). Pendekatan PPP dalam
mengevaluasi kurs hanya berdasarkan
peranan
perdagangan
komoditi
internasional
dan
mengabaikan
perdagangan
aktiva.
Padahal
perdagangan aktiva juga memiliki
peranan penting dalam menentukan
penawaran dan permintaan valuta
asing. Pada gilirannya, aliran aktiva
antar negara berkaitan dengan posisi
neraca transaksi berjalan masingmasing negara. Neraca transaksi
berjalan mengukur aliran barang, jasa,
pendapatan investasi dan transfer
unilateral internasional. Negara yang
memiliki defisit transaksi berjalan akan
menarik kapital dari negara lain untuk
menutup defisit. Dalam hal ini, negara
yang
melakukan
lebih
banyak
pembelian dari negara lain (impor)
daripada penjualan (ekspor) tersebut
akan membiayai defisitnya dengan
pinjaman dana dari pihak lain.
Sebaliknya,
suatu negara yang
memiliki surplus transaksi berjalan
akan melakukan investasi di negara
lai\n. Negara dengan defisit transaksi
berjalan cenderung memiliki nilai kurs
yang
lebih
tinggi
(overvalued)

Atmadjaja: Konsep Purchasing Power Parity Dalam Penentuan Kurs Mata Uang 53

dibandingkan
dengan
ketentuan
konsep PPP.
e. Dalam jangka pendek, tingkat harga
cenderung sticky.
Konsep PPP tidak dapat bekerja
secara seketika, tetapi memerlukan
waktu yang cukup lama, karena dalam
jangka
pendek
tingkat
harga
cenderung sticky. Sehingga dalam
jangka
pendek,
konsep
PPP
mengalami penyimpangan. Konsep
PPP hanya menunjukkan hubungan
keseimbangan jangka panjang antara
kurs dengan tingkat harga.
PENUTUP
Konsep Purchasing Power Parity
mencerminkan hubungan jangka panjang
antara kurs mata uang dan tingkat harga.
Konsep ini terdiri dari 2 pengertian, yaitu
pengertian PPP absolut yang menyatakan
bahwa kurs mata uang merupakan rasio
dari tingkat harga dalam negeri terhadap
tingkat harga luar negeri dan yang kedua
adalah pengertian PPP relatif yang
menyatakan bahwa persentase perubahan
kurs mata uang merupakan selisih antara
persentase perubahan tingkat harga
(tingkat inflasi) dalam negeri dengan
persentase perubahan tingkat harga
(tingkat inflasi) luar negeri.
Meskipun konsep PPP merupakan
konsep
penting
untuk
menentukan
keseimbangan jangka panjang di pasar
valuta asing, konsep ini banyak mendapat
kritik dan tidak sesuai dengan kenyataan
yang ada sehingga dalam penerapannya
mengalami
kegagalan.
Faktor-faktor
penyebab kegagalan konsep PPP antara
lain,
karena
adanya
hambatan
perdagangan
internasional,
adanya
komoditi yang tidak diperdagangkan
secara internasional, kompetisi yang tidak
sempurna, ketidakseimbangan neraca
transaksi berjalan dan tidak harga yang
cenderung sticky dalam jangka pendek.
Kegagalan penerapan konsep PPP
mendorong para ahli untuk melakukan
penyempurnaan. Penyempurnaan konsep
PPP dengan memasukkan unsur tingkat

suku bunga dan unsur jumlah uang
beredar ke dalam model.
DAFTAR PUSTAKA
Boediono. 2001. Ekonomi Internasional.
Seri Simposis Pengantar Ilmu
Ekonomi No.3. Edisi Pertama.
Cetakan Kedua puluh dua. BPFE.
Yogyakarta.
Hady H. 2001. Ekonomi Internasional
Buku II, Teori dan Kebijakan
Keuangan Internasional. Cetakan
III. Ghalia Indonesia. Jakarta.
Hadi H. 2001. Valas untuk Manajer.
Cetakan IV. Ghalia Indonesia.
Jakarta.
Madura J. 2000. International Financial
Management. 6th Edition. West
Publishing Company.