PENDEKATAN SOSIOLOGI PEDESAAN DALAM PEMB

PENDEKATAN SOSIOLOGI PEDESAAN DALAM
PEMBANGUNAN DESA
Oleh : Mustaqim
NRP :I353150161
Program Studi Sosiologi Pedesaan Fakultas Ekologi Manusia,
Sekolah Pascasarjana IPB
Email: mustaqim_23@apps.ipb.ac.id
Pendahuluan

Sosiologi mempelajari kehidupan manusia dalam masyarakat (cummunity,
society) di berbagai aspeknya. Oleh karena itu terdapat beberapa perspektif dalam
memandang suatu masyarakat. Giddens (2004:2) mendefinisikan bahwa “sociology
is the study of human social life, groups and socities” (sosiologi merupakan
studi/ilmu yang mempelajari tentang kehidupan sosial manusia, kelompok dan
masyarakat). Memahami karakter suatu masyarakat di perdesaan tidak dapat
dilepaskan dari pemahaman terhadap desa secara fisik.
Hal ini berkaitan erat dengan kenyataan bahwa budaya material dan
immaterial memiliki hubungan dengan tipe desa secara fisik. Namun, memahami
karakter masyarakat diperdesaan secara utuh. Memahami suatu masyarakat sangat
diperlukan dalam upaya melakukan interaksi dengan masyarakat tersebut. Salah satu
upaya untuk memahami masyarakat dapat dilakukan dengan memahami secara

mendalam bentuk-bentuk proses sosial dalam masyarakat, baik dalam konteks
masyarakat luas maupun dalam konteks suatu keluarga yang memiliki norma
tertentu. Kemampuan memahami suatu masyarakat sangat diperlukan dalam upaya
melakukan interaksi dengan masyarakat tersebut. Keberhasilan dalam memahami
masyarakat melalui pemahaman bentuk-bentuk proses sosial dalam masyarakat, baik
dalam konteks masyarakat luas maupun dalam konteks makro,meso, maupun mikro.
Untuk memahami proses-proses sosial dalam masyarakat diperlukan dalam upaya
memahami suatu masyarakat, terutama masyarakat desa yang memiliki proses sosial
khas perdesaan.
Kondisi masyarakat di perdesaan yang senantiasa berubah seperti gelombang
lautan, dimulai semenjak revolusi industri bergulir di Eropa yang kemudian
menyebar ke seluruh dunia. Satu hal yang perlu mendapat perhatian munculnya latar
belakang sosiologi perdesaan adalah keterkaitannya dengan isyu kemanusiaan yang
muncul sebagai refleksi dari ketimpangan masyarakat desa sebagai akibat
perkembangan industri. Oleh karena itu sebagai salah satu ciri sosiologi perdesan
adalah penekanannya pada aspek praktis, mikro dan terapan. Kalau dalam istilah prof
Sajogyo “dari praktek ke teori”
Disamping itu sosiologi perdesaan juga dilekati oleh komitmen moral yang
kental untuk membangun kehidupan masyarakat desa. Perkembangan pemikiran
Sosiologi pedesaan antara lain ditandai oleh berkembangnya pemikiran dan teori

tentang pembangunan pedesaan, masalah agraria, kemiskinan, dan keberlanjutan
sistem penghidupan kelompok masyarakat lapisan bawah. Memahami masayarakat

desa secara sosiologis tidak lepas dari aspek karakteristik budaya, relasi relasional
bentang alam dan bentang sosial. Yang mulia profesor Sajogyo, mengungkapkan
ungkapan mujarab dalam membangun pedesaan " If you want to understand the
economy of my country study my culture and our political system. If you want to
understand our culture and political syste study our economy (Jika anda ingin
memahami ekonomi negara saya, pelajari budaya saya dan sistem politik kami. Jika
anda ingin memahami budaya dan sistem politik kami pelajari ekonomi kami)"1
Namun akhir ini mulai muncul kesadaran pentingnya pembangunan yang
lebih fokus pada pedesaan, misalnya hadirnya Undang undang Desa dan Anggaran
pembangunan desa, diharapkan dengan banyak program pembanguanan pedesaan
dapat menghasilakan masyarakat yang sejahtera, khususnya masyarakat di kelas
yang paling bawah. Ketika pembangunan pedesaan marak maraknya muncul
sejumlah pertanyaan seputar efektivitas pelaksanaan program program
pembanguanan. Pertanyaan itu didasarkan pada fakta empiris yang menunjukan
masih kurang tepatnya berbagai pendekatan program.
Akibatnya pembangunan tersebut gagal. Ada yang menarik dari program
pembagunan di Aceh pasca stunami di yang menekankan pada pembangunan fisik

perumahan, dengan menyediakan bantuan rumah diperkotaan. Yang terjadi adalah
rumah bantuan yang diberikan dijual untuk melanjutkan kelangsungan hidup.
Meskipun niatnya baik faktanya belum tentu sesuai harapan karena pendekatan
kurang pas. Terlihat kasus seperti ini seolah olah kita para aktor pembanguanan atau
orang yang diluar pedesaan lebih tahu tentang bagaimana masyarakat desa dapat
berkembang, tampa ingin mengetahui bagaimana sebenarnya masyarakat kondisi
masyarakat pedesaan tersebut. Kalaupun tau dalam prakteknya kita seling memukul
rata pembangunan antara suatu desa dengan desa lainya tampa memperhatikan aspek
kebudayaan, bentang sosial, bantang alam dan sebagainya. Padahal masyarakat di
indonesia khusunya pedesaaan memiliki keragaman yang sangat tinggi dan
terdapatperbedaan yang kontras.
Misalkan dalam kontek Aceh menyeragamkan bentuk pembangunan antara
yang dekat dengan pesisir dan dataran tinggi. Meski kita tahu bahwa sektor pertanian
pedesaan merupakan salah satu sektor perekonomian yang memegang peranan
penting, yang juga mengalami pertumbuhan sejalan dengan perdagangan bebas.
Pertumbuhan di sektor pertanian ini membawa dampak yang tidak diinginkan yaitu
mempertinggi ketimpangan pendapatan sehingga menyebabkan golongan miskin
menjadi tambah miskin dan yang kaya menjadi tambah kaya. Selain ketimpangan
pendapatan, pertumbuhan sektor pertanian juga memacu degradasi lingkungan,
karena dalam proses peningkatan produksi sebagai usaha meningkatkan

pertumbuhan telah menyebabkan pencemaran yang berasal dari input kimia yang
dapat merusak lingkungan, persoalan agraria dan intensitas pengusahaan lahan
berlebih yang merusak ekosisitem.
1

Soetarto Endriatmo, Warisan Profesor Sajogyo untuk Studi Agraria Indonesia, Tempo, Senin, 19
Desember 2011, Hal 10

Hal ini menjadi salah satu kerisauan sosiolog di IPB (Mazhab Bogor) tentang
kerentanankerentanan sistem penghidupan (livelihood vulnerability) masyarakat di
pedesaan karena menurunnya daya dukung lingkungan (carryng capacity) maupun
terbatasnya peluang pekerjaan di luar sektor pertanian, mengarahkan mereka pada
keberpihakan atau pembelaan terhadap keberlanjutan sistem penghidupan kelompok
masyarakat lapisan bawah (miskin) di pedesaan (Dharmawan, 2007).
Perkembangan Sosiologi pedesaan dan sosiologi non IPB
Sosiologi Pedesaan sebagai pengetahuan ilmiah dengan pengetahuan seharihari orang desa. Warisan sosiologi pedesaan ala Sayogyo “ praktek ke teori”
memfokuskan diri pada ranah mikro, dengan pendekatan terapan dan praktis
berbasis pembelaan terhadap kelas bawah. Namun Sosiologi Pedesaan pada
komunitas ilmiahnya terus mengalami dinamika. Dinamika itu berlangsung seiring
dengan perkembangan paradigma dalam Sosiologi Murni. Sosiologi murni

merupakan pengetahuan umum atau ilmu tentang sifat masyarakat, perilaku
masyarakat, dan perkembangan masyarakat. Sebagai cabang Ilmu Sosial, sosiologi
mempelajari masyarakat dan pengaruhnya terhadap kehidupan manusia. Fokus dari
sosiologi murni meliputi kajian makro dengan berlandasan teoritik, tampa memihak.
Sebagaimana halnya seluruh disiplin ilmu, pada fase normal ia berkembang
dengan akumulatif sesuai pandangan Popper (1985). Pada fase anomali dan kritis
ilmu berkembang revolutif karena lahirnya paradigma baru sesuai pandangan.
Sosiologi dianggap sebagai “the queen of social science”, karena sosiologi-lah awal
dari ilmu-ilmu sosial positif yang dipengaruhi oleh filsafat naturalisme, yang
menganggap gejala sosial sama dengan gejala alam yang memiliki hukum-hukumnya
yang pasti, yang dalam bahasa agamanya disebut sebagai “sunatullah”.
Sejarah perkembangan sosiologi sebagai ilmu yang mendiri dimulai di
Prancis, Eropa Barat, tapi kemudian berkembang pesat di Benua Amerika. tidak
terlepas dari sentuhan pemikiran kritis Prof.DR. Sajogyo. Beliau mulai
memperkenalkan sosiologi (lebih tepatnya sosiologi pertanian) mulai paruh waktu
1957 mulai di Universitas Indonesia kemudian berlanjut di IPB sampai sekarang
menjadi warisan dan rujukan pengetahuan pengembangan masyarakat pedesaan.
Namun ada yang menarik dari perkembangann ilmu sosial yang hingga kini
masih sering terjadi menjadi perdebatan adalah pertanyaan apakah ilmu sosial
termasuk ilmu (science) atau bukan. Hal ini terutama disebabkan karena biasanya

yang menjadi tolak acuanya adalah ilmu ilmu alam atau (natural Science), khusunya
ilmu fisika, kimia matematik yang menganut paradigma filsafat positivistime.
Walaupun belum ada kesepakatan yang baku diantara para ilmuan mengenai cabang
ilmu sosial.Dalam mempelajari masyarakat dalam arti sosiologi, hal itu berarti
meindentifikasi ungsur sosial misalnya kelompok, golongan, strata manusia, yang
ditandai atas dasar kriteri tertentu secara eksplesit dan bentuk sifat, serta dinamika
dari hubungan diantara ungsur tersebut.
Disini kadangkala timbul kesan bahwa pembahasan sosiologi itu tumpang
tindih dengan aspak ekonomi, politik, dan aspek aspek sosial lainya. Memang, ilmu
ekonomi juga bicara masyarakat, tetapi yang disorot adalah hubungan manusia dalam

kegiatanya memamfaatkan sumberdaya alam. Objek ilmu politik juga hubungan
manusia tetapi disorot adalah hubungan kekuasaan. Demikian lainya ilmu sosial ilmu
sosial lainya, masing masing memiliki mempunyai pusat perhatian yang khas. Tetapi
didalam sosiologi, yang dimaksud dengan hubungan adalah hubungan manusia
dalam artian umum.
Dengan demikian, pengertianya memang mencangkup semua sifat hubungan
( ekonomi, politik, hukum, dan lain lain). Itulah sebabnya, sosiologi disebut sebagai
“generalising science” (Bierstedt,1970). Dalam kajian sosiologi, satuan analisa bisa
dilakukan pada lima tingkatan/tataran sebagai masyarakat, organisasi sosial, sistem

kelembagaan, tatanan mikro, yaitu interaksi tatap muka dan masalah sosial
(kemiskinan, kenakalan remaja, pengangguran dan lainya. Apa yang khas dalam
kajian sosiologi adalah ia sering mengungkapkan apa yang latens, bukan yang
manifest, apa yang implisit, bukan yang eksplisit. Dengan dekian uraianya sering
berkonotasi negatif dan sering pula dituduh sebagi “going nowhere”.
Padahal, justru melalui nagasilah sosiologi dapat menyumbangkan miliknya
yang terbaik (berger and keller, 1981:6). Bertolak dari pengertian paradigma di atas,
dalam satu cabang ilmu pengetahuan tampaknya dimungkinkan terdapat beberapa
paradigma. Artinya dimungkinkan terdapat beberapa komunitas ilmuwan yang
mempunyai titik tolak pandangan yang berbeda tentang pokok persoalan yang
semestinya dipelajari dan diselidiki oleh cabang ilmu pengetahuan yang
bersangkutan. Bahkan di dalam satu komunitas ilmuwan tertentu dimungkinkan pula
terdapat beberapa sub komunitas yang berbeda sudut pandangnya tentang subjek
matter, teori-teori, metode-metode, serta perangkat yang dipergunakan dalam
mempelajari objek studi tanpa perlu kehilangan karakteristik dan identitas ilmiahnya.
Gejala seperti ini jelas terlihat dalam sosiologi, sehingga sosiologi disebut
berparadigma ganda (multiple paradigm) oleh Ritzer (2007).
Perlu dipahami bahwa perkembangan dan pengenbangan teori yang digubah
para pakar sosiologi tidak terlepas dari kejadian kejadian besar dalam masyarakat
dan pengaruhnya kepada pemikiran/ilmuwan yang kemudian menerima sejumlah

asumsi yang mendasari teori. Demikian keperluan pemerintah jajahan belanda
mendorong ilmuan menelusuri adat kebiasaaan suku suku bangsa di nusantara.
Pengertian yang diperoleh mengarahkan kebijaksanaan sedemikian rupa sehingga
mereka yang dijajah tidak menimbulkan penolakan atau pembangkangan yang terlalu
kuat. Perubahan struktur sosial yang sebenarnya di indonesia dimuali pada tahun
1950 dengan mengatur agraria, tidak berhenti disitu kemudian melahirkan kelas
menengah sering dikatakan bahwa kelas menengah merupakan prasyarat untuk
pertumbuhan demokrasi maupun ekonomi.
Perkembangan sosiologi pedesaan di Indonesia memang mempunyai warna
tersendiri. Karena urangnya orang yang ahli di bidang sosiologi maka tidak herasn
kalau kemudian perkembangannya hanya merujuk pada beberapa orang sebagai
referensi. Di Indonesia perkembangan sosiologi pedesaan (awalnya sosiologi
pertanian) tidak dapat dipisahkan dengan nama besar Prof. DR. Sajogyo. Beliau
adalah orang pertama yang memperkenalkan sosiologi pedesaan di beberapa
perguruan tinggi di Indonesia, dimulai di Universitas Indonesia kemudian berlanjut

ke Intitut Pertanian Bogor (IPB). Secara garis besar, pengembangan kajian Sosiologi
pedesaan di IPB lebih banyak menaruh harapan pada pendekatan atau metode
kualitatif. Sosiologi pedesaan khusnya di IPB Bogor merupakan salah satudisiplin
(ilmu Pengetahuan) yang berdiri sendiri.

Sebagai ilmu pengetahuan posisi Program stidi Sosiologi pedesaan tidak
terbatas pada pengkajian ilmu pengetahuan secara teoritis tetapi juga melakukan aksi
sosial yang ditunjukkan dengan adanya pendampingan dan kerjasama dengam
beberapa organisasi baik skala nasional maupun internasional dalam membuat
perencanaan pembangunan sebagai wujud tanggung jawab ilmiah (akadekis). Untuk
menjelaskan posisi akademisnya, program sosiologi pedesaan mempunyai tujuan:
Sebagai penganalisis masyarakat perdesaan yang mampu melukiskan dan
menjelaskan dari segi mikro dan makro parameter sosial-ekonomi-budaya dan politik
yang melingkupi masalah pembangunan manusia dan masyarakat pedesaan.
Dalam memonitor dan memahami proses akibat dampak perubahan sosial
yang menyertai pembangunan. Dan diupayakan melakukan engineering sosiologi.
Ketiga tujuan tersebut menempatkan sosiologi pedesaan di IPB sesungguhnya telah
melakukan siatu perubahan idiologi direstrukturisasi aksi sebagai sebuah ilmu
pengetahuan. Tetapi meskipun demikian sosiologi pedesaan tidak pernah
menyimpang dari ranah ilmu pengetahuan namun harus diakui tidak bebas nilai
seperti penganut positivism. Dengan memperhatikan kondisi sosial ekonomi
masyarakat pedesaan yang merupakan mayoritas dari warganegara Indonesia. Nasib
warganegara ini seringkali diabaikan dalam skenario pembangunan yang berorientasi
pertumbuhan dan makro. Ia juga selalu mengingatkan peran negara yang menurutnya
haruslah berfungsi sebagai pelayan (provider) dan pengurus bagi terjaminnya

keadilan sosial, pelindung (protector) dari kekuatan luar maupun dalam negeri yang
dapat meminggirkan posisi rakyat sebagai warganegara yang sudah menjadi haknya
mendapat perlindungan. Negara harus juga menjadi kekuatan pembebas (liberator).
Penyelenggaraan pemerintah, pilihan-pilihan program dan kebijakannya sudah
semestinya berfungsi mengemansipasi rakyatnya, bukan semakin membuat
rakyatnya tergantung (dependent), atau malah terpasung kebebasannya.
Paradigma sosiologi pedesaan
Sosiologi pedesaan memiliki beragam pisau analisis beberapa diantaranya
meliputi positivistik, post positivistik, Kritis Konstruksivistik (Sughienm: 1997).
Sosiologi Pedesaan dalam paradigma Positivistik. Secara ontologik, masyarakat
pedesaan dilihat sebagai realitas bentukan dari struktur seperti nilai, norma,
kelembagaan, strata dan kelas sosial. Manusia pedesaan diasumsikan sebagai
individu yang terdeterminasi oleh struktur, bertindak dan berperilaku sesuai arahan
struktur. epistemik Sosiologi Pedesaan adalah menemukan hukum kausalitas di balik
bekerjanya struktur tersebut. Maka teori sistem berkembang pesat dalam kajian
pedesaan, ditajamkan dalam perspektif struktural-fungsional dan struktural-konflik,
menghasilkan pengetahuan eksplana-tif tentang realitas pedesaan. Tugas aksiologik
Sosiologi Pedesaan dalam paradigma ini adalah menyodorkan pertimbangan kepada

pengambil kebijakan berdasarkan eksplanasi kausalistik atas realitas pedesaan, lalu

perbaikan realitas diserahkan kepada sang pengambil kebijakan.
Namun Sosiologi Pedesaan dalam paradigma Pos-positivistik. Secara ontologis,
masyarakat pedesaan diasumsikan sebagai lautan simbol yang di dalamnya
berlangsung saling pemaknaan dalam interaksi. Aktor pedesaan dianggap individu
otonom, yang saling menafsir makna dalam bertindak, secara terbebaskan dari
kekangan struktur. Tugas epistemik Sosiologi Pedesaan bagi paradigma ini adalah
menafsirkan secara mendalam makna di balik interaksi simbolik, panggung
dramaturgi, dan kehadiran fenomenologik sosok “aku” dan “saya” dari aktor desa,
lalu menampilkannya sebagai teks. Dalam paradigma Pos-positivistik, tugas
aksiologik Sosiologi Pedesaan adalah menyajikan deskripsi-interpretatif untuk
menjadi teks terbuka yang diambil hikmahnya oleh siapa saja.
Sosiologi Pedesaan dalam paradigma kritis. Pada paradigma ini, Sosiologi
Pedesaan tampil sebagai disiplin yang mengkritisi seluruh struktur dan tafsir yang
melahirkan klaim hegemonik. Secara ontologik, realitas pedesaan dilihat sebagai
bentukan historis secara sosial, ekonomi, budaya, politik, etnik dan gender yang perlu
dikritisi atas hegemoni yang berjalan di baliknya. Epistemologi dari paradigma ini
berprinsip transaksional-subyektif antara Sosiolog Pedesaan dengan warga desa,
dengan metode yang berfokus pada dialog-dialektis yang kritis. Secara aksiologis,
Sosiolog Pedesaan berfungsi bukan sekedar memberi eksplanasi kausalistik dan
tafsir makna untuk disampaikan kepada pengambil kebijakan, melainkan ia terlibat
langsung dalam praktek partisipatoris dan emansipatoris masyarakat guna
mendorong perubahan.
Sosiologi Pedesaan dalam Paradigma Konstruksivistik. Pada paradigma ini,
realitas pedesaan dilihat sebagai medan abadi bagi konstruksi sosial melalui
pertarungan pengetahuan di dalamnya. Orang desa tidak hanya diposisikan sebagai
penerima wacana, mereka juga ditempatkan sebagai subyek wacana yang
berkontestasi dengan pembawa wacana lain. Tugas epistemik Sosiologi Pedesaan
adalah melakukan dialog-hermeneutik dengan orang desa dan menjadi bagian dari
konstruksi sosial yang berjalan.
Secara aksiologik, Sosiolog Pedesaan berfungsi menggambarkan dan
menjadi bagian dari kontestasi pengetahuan yang berlangsung, yang dalam kontestasi
tersebut warga pedesaan merepresentasikan diri, menawarkan identitas,
mempromosikan eksistensi, dan memperjuangkan aspirasi, berhadapan dengan
pengetahuan dan klaim kebenaran yang datang dari luar. Inilah paradigma yang
telah berganda dan berkompetisi dalam perkembangan Sosiologi Pedesaan di
Indonesia. Komunitas epistemik perguruan tinggi dominan bergelut dalam
paradigma Positivisme dan Pos-positivisme, menghasilkan eksplanasi dan tafsir
makna lalu menyerahkan perubahan kepada pengambil kebijakan. Sementara itu,
komunitas epistemik dari lembaga swadaya masyarakat atau akademia organik
dominan tenggelam dalam paradigma Kritis dan Konstruksivisme, serta terlibat
langsung dalam proyek emansipatif dan partisipatoris bersama orang desa.

Pribumisasi Ilmu-Ilmu Sosial di Indonesia
Salah satu tokoh yang paling berkontribusi dalam Pribumisasi kajian sosial
di indonesia adalah Prof. Dr. Ir. Sajogyo dengan segenap ketekunan melakukan
“pribumisai” atau “Indonesianisasi” ilmu sosial di Indonesia. Sebab sajogyo tidak
semata berangkat dari perspektif ilmu Barat dalam mengkaji masyarakat pedesaan,
khususnya masyarakat pedesaan indonesia. lebih dari itu adalah menjadikan ilmu
relevan dan sedekat mungkin pada realitas. Pada titik ini, yang diperlukan bukan
sofistikasi teori akan tetapi pada imajinasi yang berfungsi sebagai busur
mengarahkan kemana anak panah dibidikkan. Perkembangan ilmu-ilmu sosial di
Indonesia tidak lepas dari pengaruh perkembangan ilmu sosial yang ada di Barat.
Selama ini perkembangan ilmu sosial di Indonesia terkesan didominasi pemikiran
barat.
Teori sosial barat memberi banyak pengaruh pada peta keilmuan sosial di
Indonesia. Faktanya bahwa sebagaian besar ilmu sosial dan humaniora di
masyarakat (negara) berkembang datang dari barat. Pribumisasi merupakan sikap
ketidakpuasan terhadap ilmu sosial Barat yang dikembangkan di suatu kawasan,
karena dianggap tidak mampu menjelaskan dan memecahkan problem masyarakat
yang timbul. Kuatnya pengaruh ilmu sosial Barat tersebut lebih disebabkan masalah
internal intelektual-akademisi Indonesia sendiri, mereka telah terpuaskan dengan
meniru apa yang berkembang di Barat. Hegemoni teori sosial barat tidak bisa
dipungkiri masih menjadi mahzab yang selalu menghiasi bangku perkuliahan. Dalam
sosiologi, jika akan mengetahui tentang kapitalisme maka rujukannya selalu teori
yang dikemukakan Karl Marx, apabila ingin tahu tentang legitimasi dan birokrasi,
maka acuannya Marx Weber.
Menurut Ignas Kleden, pribumisasi ilmu-ilmu sosial harus seperti gerakan
revolusioner dalam dunia yang biasanya mendasarkan diri pada kekuatan dan
kemampuan sebagai claim universal, yaitu sebuah klaim yang diperkenalkan oleh
ilmu-ilmu alam yang mempunyai pengaruh yang besar terhadap ilmu-ilmu sosial
yang seolah-olah dalam keadaan tertentu berlaku dalam ilmu-ilmu sosial (Ignas
Kleden, 1987). Pribumisasi merupakan metode alternatif terhadap ketidakpuasan
ilmuwan atas dominasi ilmu sosial barat kepada ilmu sosial pribumi. Sebuah
tantangan yang harus diemban oleh para ilmuan sosial di Indonesia yaitu bagaimana
mengembangkan gerakan pribumisasi (Heri Santoso dan Listiyono Santoso, 2003)
(indigenisasi) ilmu-ilmu sosial ke dalam analisis konseptual dengan memakai
pikiran-pikiran dasar yang cocok dengan kondisi rill masyarakat Indonesia.
Ilmu sosial dalam proses pribumisasi pada esensialnya harus membebaskan
metodologi ilmu-ilmu sosial dari metodologi ilmu-ilmu alam dengan memberi
pendasaran yang baru, sebab dalam realitas perkembangan ilmu sosial di Indonesia
masih dipengaruhi oleh filsafat positivistik, dimana prosedur-prosedur metodologi
dari ilmu-ilmu alam dapat diterapkan pada ilmu-ilmu sosial, dan hasil penelitiannya
dapat dirumuskan dalam hukum-hukum seperti dalam ilmu-ilmu alam, sehingga

ilmu-ilmu sosial harus bersifat teknsi, yaitu menyediakan pengetahuan yang bersifat
instrumental murni, tidak bersifat etis dan juga tidak terikat pada dimensi politis
manusia. dengan demikian ilmu-ilmu sosial seperti ilmu-ilmu alam, bersifat netral,
bebas dari nilai (Budi Hardiman, 1990).
Pribumisasi adalah pencarian identitas ilmu-ilmu sosial Indonesia di tengahtengah komunitas ilmu sosial lain. Kuntowijoyo menawarkan membangun ilmu
sosial profetik, yaitu suatu ilmu sosial yang tidak hanya menjelaskan dan mengubah
fenomena sosial tetapi juga memberi petunjuk ke arah mana transformasi itu
dilakukan, untuk apa dan oleh siapa. Oleh karena itu, ilmu sosial profetik tidak
sekedar mengubah demi perubahan, tetapi mengubah berdasarkan cita-cita etik dan
profetik tertentu.
Untuk itu, ilmu-ilmu sosial dalam perkembangannya berusaha melakukan
rekayasa sosial melalui proses kontekstualisasi asumsi-asumsi dasar dari teori
sosialdalam disiplin ilmu masing-masing. Perkembangan ini harus dilihat dari sudut
perkembangan dan rekayasa sosial, bahwa setiap disiplin ilmu mencoba menemukan
peranan yang relevan dengan gerak langkah perubahan zaman, seperti dalam konteks
negara Indonesia harus sesuai dengan budaya masyarakat dan gerak pembangunan.
Dengan demikian tantangan yang harus dihadapi menemukan teori sosial baru yang
sesuai dengan realitas sosial sekaligus dapat menentukan dinamika perkembangan
ilmu-ilmu sosial di Indonesia (Heri Santoso dan Listiyono Santoso, 2003).
Karenanya dalam pembangunan Mubyarto menawarkan konsep Ekonomi
Pancasila sebagai roda ekonomi digerakkan oleh ransangan ekonomi, social, dan
moral. Kehendak kuat dari seluruh masyarakat kearah keadaan kemerataan social
sesuai dengan asas kemanusiaan. Prioritas kebijakan ekonomi adalah penciptaan
perekonomian nasional yang tangguh yang berarti nasionalisme menjiwai setiap
kebijakan ekonomi. Koperasi sebagai soko guru perekonomian dan merupakan
bentuk paling konkret dari usaha bersama. Adanya imbangan yang jelas dan tegas
antara perencanaan di tingkat nasional dengan desentralisasi dalam pelaksanaan
kegiatan ekonomi untuk menjamin keadilan ekonomi dan social.
Begitulah maka sejak tahun 1960-an ilmu sosial di Indonesia secara lambat
laun tapi pastimulai mengembangkan paradigmanya sendiri, di samping sengaja atau
tidak sengaja meneruskan tradisi dan citra yang sebelumya. Dilihat dari
paradigmanya, ilmu sosial fase kedua ini dapat disebut dengan tipe ilmu sosial
developmentalis, yang lebih berkiblat AS. Istilah ilmu sosial developmentalis bukan
tidak ditemukan dalam katalog epsitemologi ilmu sosial yang pernah berkembang
sampai saat ini, terutama dalam kelompok disiplin disiplin tertentu seperti sosiologi,
antropologi. Istilah developmentalis (“pembangunan”) sudah lazim digunakan untuk
mengacu pada suatu premis yang berakar pada teori-teori modernisasi. Untuk
mengukuhkan fokus kajiannya, ia kemudian mendirikan dan mengetuai Program
Pascasarjana Sosiologi Pedesaan di IPB (197-1991). Di sinilah ia mengembangkan
apa yang disebut sebagai Sosiologi Terapan, satu mazhab sosiologi yang bervisi
emansipatoris, memiliki daya pengubah terutama bagi cita-cita sosial petani dan
masyarakatnya. Di dalam Sosiologi terapan, ilmuwan sosial selain berbekal teori dan

perbendaharaan ilmiah, ia akan berinteraksi dengan kalangan praktisi baik di
pemerintahan ataupun swasta, LSM, dan masyarakat itu sendiri.
Kondisi Pembelajaran Orang Dewasa Warisan Pandangan Sajogyo
Sebuah pepatah dalam bahasa latin menyatakan “tantum valet actoritas,
quantum valed argumentation” maksudnya adalah wibawa seseorang ilmuan terletak
pada mutu penalaranya. Untuk itulah penguasaan atas logika menjadi penting. Lebih
lanjut pemahaman atas ungsur ungsur dasar yang membentuk penalran itu sendiri
juga sangat menentukan. Sebab, tidak penelaran tampa proposisi dan tidak ada
proposisi tampa konsep. Karena itu, pengetahuan dasar mengenai berbagai ungsur
dasar metode ilmiah perlu dipahami.
Hal ini mencangkup pemahan mengenai apa yang dimaksud dengan fakta,
apa itu konsep, istilah dan definisi dan apa itu proposisi. Selanjutnya, apakah yang
dimaksud dengan hipotesa dan apa pula yang dimaksud dengan teori. Kesemuanya
ini penting untuk dipahami menyangkut komponen komponen pokok dalam
membangun sebuah penalaran ilmiah ( Scientific reasoning) atau argumentasi.
Terdapat perdebatan apakah sosiologi merupakan ilmu murni (pure science) atau
ilmu terapan (applied scinence).
Ilmu murni adalah pencarian pengetahuan, penggunaan praktisnya bukan
merupakan perhatian utama. Sedangkan ilmu terapan adalah pencarian cara-cara
untuk mempergunakan pengetahuan ilmiah guna memecahkan masalah praktis.
Banyak sarjana atau tokoh sosiologi yang mencoba menerapkan teori sosiologi untuk
memecahkan masalah-masalah sosial dan di lain pihak sosiologi secara konstan tetap
mencari pengetahuan yang lebih mendasar sebagai dukungan bagi penerapan
pengetahuan praktisnya, sehingga sosiologi adalah ilmu murni dan ilmu terapan.
Pendekatan dalam sosiologi membantu untuk memahami bahwa masyarakat
selalu mengalami perubahan dan melalui analisis sosiologis, perubahan tersebut
dapat diramalkan dan mencoba mencari alternatif pemecahan masalahnya. Namun
demikian, karena setiap pedekatan memiliki penafsiran dan analisis yang berbeda
tentang kehidupan sosial maka dalam penggunaannya diperlukan fakta-fakta sosial
melalui metode sosiologi sehingga akan menghasilkan suatu gambaran yang
komprehensif mengenai kehidupan sosial. Soedjatmoko (1983) pernah membahas,
bahwa pembangunan ekonomi dapat dipandang sebagai masalah kebudayaan
(economic development as cultural problem). Disini kebudayaan diartikan sebagai
pertautan etika kerja dan nilai-nilai kerjasama. Menjadikan kebudayaan sebagai
kerangka acuan pembangunan ekonomi telah dibahas mendalam dalam antorpologi,
dan sosiologi.
Sehubungan dengan penamaan “pendidikan orang dewasa”, terdapat
perdebatan yang cukup tajam tentang penggunaan istilah-istilah yang digunakan
dalam konteks sosiologi antara lain sociological approach to education, educational
sociology of education, atau the foundation. Pada akhirnya dipilih pendidikan orang
dewasa dengan tekanan dan wilayah tekanannya pada proses sosiologis yang
berlangsung dalam lembaga pendidikan. Pembelajaran yang diberikan kepada orang
dewasa dapat efektif (lebih cepat dan melekat pada ingatannya), bilamana

pembimbing (pelatih, pcngajar, penatar, instruktur, dan sejenisnya) tidak terlalu
mendoininasi kelompok kelas, mengurangi banyak bicara, namun mengupayakan
agar individu orang dewasa itu mampu menemukan altematif-altematif untuk
mengembangkan kepribadian mereka.
Sumbangsih Prof. Dr. Ir. Sajogyo dapat dilihat dari pengukuhan otoritas
disiplin akademis dengan mengombinasikan beragam disiplin ilmu, mengingat
kompleksitas realitas sosial sulit terbaca dengan menggunakan satu ilmu satu disiplin
ilmu. Artinya ada keterkaitan suatu kemampuan komprehensif (holistic), Isu lebih
dikedepankan untuk didekati dari segala arah ketimbang menonjolkan disiplin ilmu.
Dr. Ir. Sajogyo Dengan tegas ia menyatakan “Jika Anda ingin mengerti
perekonomian negeri kami, kajilah kebudayaan dan sistem politik kami; jika ingin
memahami kebudayaan dan sistem politik kami, kajilah perekonomian kami”. Dalam
kontek yang lain Brown (1998: 26), pendidikan sosial atau dalam bahasa sajogyo “
pendidikan orang dewasa” yaitu nilai yang berkaitan secara mendalam dengan moral,
kode-kode susila, dan menentukan pikiran orang tentang apa yang semestinya
dilakukan. Individu-individu dan organisasi-organisasi yang menyadari nilai
honesty, integrity, dan openness akan bertindak dengan kejujuran, terbuka, dan
integritas, karena hal itu merupakan sesuatu yang benar untuk dilakukan. Sehingga,
dalam konteks pendidikan, seseorang atau masyarakat yang menyadari bahwa belajar
(pendidikan) merupakan sesuatu yang benar untuk dilakukan, seseorang atau
masyarakat tersebut akan bertindak untuk melakukan apa yang dianutnya, yakni
belajar atau sebaliknya.
Durkheim (Jones, 2009: 48) juga menyatakan bahwa “Kita hidup dalam dunia
alamiah yang diorganisir menurut cara tertentu dan kita terkurung dalam dunia, apa
pun pandangan kita terhadapnya.” Pendapat Durkhem ini menggambarkan bahwa
seseorang dalam berperilaku mengikuti nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat,
walaupun menurutnya, nilai-nilai tersebut seolah terpaksa harus diikuti. Pertanyaan
yang muncul kemudian adalah apakah nilai-nilai yang merupakan komponen budaya
dapat dibentuk atau dirubah; dan siapakah yang harus berperan dalam perubahan nilai
(budaya) tersebut.
Di samping itu, orang dewasa dapat dibelajarkan lebih aktif apabila mereka
merasa ikut dilibatkan dalam aktivitas pembelajaran, terutama apabila mereka
dilibatkan memberi sumbangan pikiran dan gagasan yang membuat mereka merasa
berharga dan memiliki harga diri di depan sesama temannya. Oleh karena sifat belajar
bagi orang dewasa adalah bersifat subjektif dan unik, maka terlepas dan benar atari
salahnya, segala pendapat perasaan, pikiran, gagasan, teori, sistem nilainya perlu
dihargai. Keterbukaan seorang pembimbing sangat membantu bagi kemajuan orang
dewasa dalam mengembangkan potensi pribadiriya di dalam kelas, atau di tempat
pelatihan Berbicara perubahan budaya bukanlah sesuatu hal mudah, karenabudaya
sifatnya mengakar dalam setiap individu atau masyarakat, bahkan dalam sebuah
lembaga pendidikan, seperti sekolah, untuk merubahdari budaya negatif menjadi
budaya positif juga bukan perkara mudah. Misalnya, memiliki budaya disiplin yang
negatif, untuk merubahnya menjadi budaya disiplin yang positif merupakan sebuah

kerja keras karena nilai-nilai budaya tersebut sudah dipahami dan dianut warga
sebagai nilai yang benar.
Berkaitan dengan pendidikan bagi manusia dalam menjalani proses untuk
“menjadi manusia ” tentu pendidikan tidak bisa dilepaskan dari persoalan sosial yang
sedang terjadi. Pendidikan yang hanya membekali peserta didik dengan pengetahuan
yang tidak mencerahkan terkait kehidupan sosial atau justru malah membuat
kemanusiaan tertindas secara sosial semestinya ditinggalkan. Inilah hal penting dari
pendidikan sebagai proses yang membebaskan. Sebuah proses pendidikan yang
meninggalkan cara dan aktivitas yang sesungguhnya justru dehumanisasi menuju
cara dan aktivitas pendidikan yang penuh dengan proses humanisasi.
Dengan menjadikan pendidikan sebagai cara dan aktivitas yang penuh
dengan proses humanisasi, hal ini sesungguhnya telah menjadikan pendidikan
sebagai sebuah proses transformasi sosial menuju perubahan ke arah kemajuan di
tengah masyarakat. Proses pendidikan ini ditandai dengan adanya peralihan situasi
dari: teologi tradisional menuju teologi pembebasan, proses yang tidak mengenal
dialog menuju hubungan yang penuh dialogis, kehidupan masyarakat yang tertutup
menuju kehidupan masyarakat yang terbuka, dan masyarakat yang jauh dari
pengetahuan menuju masyarakat yang sadar serta membutuhkan ilmu pengetahuan.
Dengan demikian, pendidikan merupakan suatu sarana untuk memproduksi
kesadaran dalam rangka mengembalikan manusia kepada hakikat kemanusiaannya.
Terkait dengan pendidikan sebagai sarana untuk memproduksi kesadaran untuk
mengembalikan manusia kepada hakikat kemanusiaannya, maka pendidikan harus
bisa berperan membangkitkan kesadaran kritis para peserta didik. Ini adalah sebagai
prasyarat penting menuju pembebasan. Terkait dengan masalah ini, salah satu tugas
penting pendidikan adalah melakukan refleksi kritis terhadap sistem dan ideologi
yang dominan dan menguasai masyarakat pada umumnya. Refleksi kritis ini
dilakukan dalam rangka untuk memikirkan sistem alternatif ke arah transformasi
sosial menuju kehidupan masyarakat yang berkeadilan.
Epistema falsafah sains dan aspek-spiritual (religius)
Asumsi sebuah paradigma itu seperti akidah bagi peneliti. Dalam penelitian
dikenal beberapa paradigma, seperti positivisme, post-positivisme, interpretativisme,
pragmatisme, Sosial constructivisme, post modernisme dan lain-lain. Demikianlah
dijelaskan oleh John W. Cresswell (2007),E.G. Guba, Lincoln, Y. S. & Denzin, K.N.
Paradigma menyarankan pada teori dan ilmu sosial untuk tidak hanya memberi
makna realitas sosial atau proses sosial belaka, tanpa memiliki implikasi pada
praktik. Bagi paradigma kritis, justru tugas teori adalah membuat sejarah (Fakih,
2002: 94). Filsafat ilmu merupakan bagian dari epistemologi (filsafat pengetahuan)
yang secara spesifik mengkaji hakikat ilmu (pengetahuan ilmiah). filsafat ilmu ini
sering dibagi menjadi filsafat ilmu-ilmu alam atau ilmu-ilmu sosial. Pembagian ini
lebih merupakan pembatasan masing-masing bidang yang ditelaah, yakni ilmu-ilmu
alam atau ilmu-ilmu sosial, dan tidak mencirikan cabang filsafat yang bersifat
otonom. Ilmu memang berbeda dari pengetahuan-pengetahuan secara filsafat, namun

tidak terdapat perbedaan yang prinsipil antara ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial,
di mana keduanya mempunyai ciri-ciri keilmuan yang sama
Ilmu pengetahuan termasuk ilmu sosial dapat dikelompokakn kedalm ilmu
teoristis dan ilmu praktis. Cita cita ilmu teoristis adalah memberi penjelasan tentang
suatu kenyataan tampa sikap berpihak, dan tampa dipengarui oleh hastrat dan
kepentingan tertentu. Dengan sikap seperti itu diharapkan dapat memperoleh
pengetahuan sejati tentang kenyataan dan keadaan yaitu pengetahuan yang berasal
dari realitas obyektif. 2 Sosiologi modern telah menjadikan analisis dan pemahaman
mengenai perilaku dan proses sosial masyarakat yang teratur sebagai misinya dan
analisis serta pemahaman mengenai landasan nilai dan sikap yang dijadikan pijakan
bagi partisipasi individu dan kolektif dalam kehidupan sosial. Muncul anggapan
bahwa untuk menjalankan tugas yang berkaitan erat dengan misi tersebut , sosiolog
memiliki hal hal tersebut3
Kemampuan untuk memahami dan menempatkan dunia pengalamannya
sendiri ke dalam konteks sekaligus kemampuan untuk memproyeksikan
konseptualisasi meta empiris kedalam konteks kehidupan dan intitusi sosial .
Sosiolog membutuhkan kepekaan dan rasa ingin tau akan hal hal kasat mata dari
pemahaman langsungnya dan pemahaman diri secukupnya untuk memunculkan
empati pada peran dan nilai nilai orang lain.
Kemampuan untuk melepaskan diri sendiri dari nilai nilai kepentingan
khusus kelompok mapan tertentu agar mampu memperoleh tingkat pemahaman yang
tidak berpijak pada komitmen. Bagi individu dan kelommpok, ideology dan
kepercayaan menentukan perbedaan antara yang baik dengan yang buruk serta
mengarahkan pada orientasi orientasi yang tidak berciri sosiologis dan konfensional
yang dijumpai dalam setiap penilaian dan pengambilan keputusan sehari hari. Tugas
sosiolog dalam etnografi tidak hanya untuk menjadi bagian dari pemikiran dan
tindakan tersebut, namun juga memahaminya ditingkat konseptulisasi yang lebih
tinggi.
Kemampuan menjaga jarak sosial dan pribadi secukupnya dari nilai dan
norma yang berlaku agar mampu menganalisisnya secara objektif . lazimnya
,kemampuan untuk melibatkan diri kedalam objektivikasi dipandang cukup untuk
menghasilakan mutu orientasi yang diperlukan oleh seorang individu untuk menjadi
seorang sosiolog maupun antropolog.diabalik masing masing metode penelitian
terdapat persoalan pelik pribadi yang dimasukkan kedalam konteks oleh
peneliti/pengamat individu ( Clifford,1986 )
Diagram sederhana berikut ini kami menggabarkan bagiman proses
tranformasi filsafat dalam kaitanya dengan penelitian ilmiah. Penelitian ilmiah
sebagai proses yang mengkaitkan tiga hal yang berbeda satu sama lain yaitu masukan
( input), tranformasi (throughput), dan keluaran ( output). Tranformasi disinilah yang

2
3

Kleden Ignas Hlm 24
Handbook Qualitatif Researh Hlm 27-29

merupakan inti penelitian ilmiah yang diproses secara filsafah kemudian diolah dan
diubah menjadi hasil atau kebenaran dipihak lain. 4

Bagan 1 Proses tranformasi penelitian menjadi ilmu melalui proses filsafat
Pada bagan 1, masukan ouput untuk proses penelitian ilmiah disatu pihak
adalah kepercayaan,pikiran,atau sangkaan jenis lain yang dimiliki orang awam,
misalnya “Diindonesia diaklangan orang awam masih tersebar luas kepercayaan
bahwa pohon tertentu masih dihuni oleh mahluk halus”. Di pihak lain, masukan
penelitian ilmiah juga bisa berdiri dari pikiran atau anggapan yang dihasilkan oleh
penelitian ilmiah yang dialakukan pada masa lalu dalam bentuk konsep,hipotesis
baru, teori, dan lain lain.
Seperti dijelaskan pada gamabar pikiran, gagasan atau anggapan dapat
berupa hasil penelitian yang diperoleh melaului jenis penelitian yang terjadi
padatahap pengembangan pengetahuan ilmiah yang lebih rendah (awal), atau
penelitian ilmiah yang dilakukan menurut asas filsafat ilmu yang berbeda pada
tingkat pengembangan pengetahuan ilmiah yang sama. Misalkan konsep dan gejala
tertentu yang dihasilkan melalui penelitian deskriptif bisa menjadi masukan untuk
penelitian yang dilakukan dengan tujuan menganalisin penjelasan. Penjelasan
tentang konsep pemecahan masalah dalam hubungan dengan proses penelitian ilmiah
dimulai dengan menerangkan satu persatu konsep yang tercangkup didalamnya
berupa masalah, penggolongan, atau klarifikasi masalah.
Beberapa ayat al qur’an yang bisa`dijadikan landasan spritual pembangunan
sosiologi dan pengembangan masyarakat adalah, Pertama ayat yang mengatakan
“Allah tidak mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu mengubah apa-apa (factor
penentu) yang terdapat dalam kaum itu sendiri” (Q.s. Ar-Ra’d (13): 11. Kedua, ayat
yang mengatakan “manusia akan mengalami kehinaan dimana saja kecuali yang
memelihara hubungan manusia dengan Tuhan dan antara sesama manusia sendiri”
4

Wuisman JJ hlm 128

(Q.s. Ali Imron (3): 112). Ketiga, ayat yang mengatakan “Telah timbul kerusakan di
darat dan di laut akibat ulah manusia” (Q.s. Ar-Rum (31): 41). Keempat, “berpegang
teguhlah kepada tali Allah dan janganlah berpecah belah” (Q.s. Ali Imron (3): 103).
Kelima “Hendaklah ada di antara kaum yang membentuk suatu umat, yang mengacu
kepada nilai-nilai keutamaan, menciptakan kebaikan dan mencegah keburukan.
Dengan demikian engkau akan mencapai kebahagiaan” (Q.s. Ali Imron (3): 104) ayat
ini berkaitan dengan ayat lain yang mengatakan “Engkau adalah sebaik-baik umat,
karena menciptakan kebaikan dan mencegah keburukan dan beriman kepada Allah”
(Q.s. Ali Imron (3): 110). Keenam, ayat yang memerintahkan “Bekerjasamalah
dalam kebaikan dan taqwa dan janganlah bersekongkol dalam kejahatan” (Q.s. AlMaidah (5): 2). Ketujuh, ayat yang mengatakan ”Telah kuciptakan kaum yang terdiri
dari laki-laki dan perempuan, bersuku-suku dan berbangsa-bangsa, agar kaum saling
memahami. Sesungguhnya yang terbaik di antara kaum adalah yang paling
bertaqwa” (Q.s. Al-Hujarat (49): 13). Ke delapan, adalah ayat-ayat dalam
keseluruhan surat al Ma’un. Ke delapan surat al Balad, khususnya ajat (10-17). Ke
sembilan, ayat yang mengatakan “Bukanlah kebajikan itu menghadapkan wajahmu
ke timur atau ke barat. Tetapi kebajikan adalah” (Q.s. Al-Baqarah (2): 177). Ke
sepuluh adalah ayat yang melukiskantentang Ibadurrahman. Ke sepuluh ayat-ayat
sosilogis itu terangkum dalam visi Islam yang terkandung dalam ayat “Sesungguhnya
tidak aku mengurusmu (Muhammad), kecuali menjadi rahmat bagi sekalian alam.
Peran peer group trhadap kualitas dan kualifikasi karier pengabdian dosen.
Secara umum “dosen” tergolong sebagai “pendidik”. Menurut UU RI No.
20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dalam pasal 39 (2) mengatakan
bahwa “Pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan
melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan
pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada
masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi.” komponen sumber daya
manusia di perguruan tinggi harus dikembangkan.
Dosen adalah ujung tombak dan motor institusi untuk melaksanakan
kegiatan Tridharma. Sebagai tenaga profesional, dosen dituntut untuk senantiasa
melakukan upaya-upaya inovatif dan inventif dalam bidang ilmu yang menjadi
tanggung jawabnya. Seorang dosen bukan hanya merupakan seorang pendidik
profesional pada perguruan tinggi, tapi juga merupakan seorang ilmuwan. tugas
pokok dosen meliputi bidang Pendidikan, Penelitian, serta Pengabdian dan
Pelayanan Kepada Masyarakat.
Disamping tugas pokoknya seorang dosen juga mempunyai tugas lain yaitu
pengembangan akademik dan profesi serta partisipasi dalam tata pamong institusi.
Standar Mutu Profesionalisme Dosen: Kepakaran, Pengembangan kepakaran,
Menerapkan teknologi instruksional, dan menerapkan etik. Dosen dituntut untuk
senantiasa melakukan upaya-upaya inovatif dan inventif di bidang ilmu dan dalam
melaksanakan tugasnya. Pengembangan profesionalitas Dosen berkaitan dengan
kualifikasi dan performan yang diaktualisasikannya dengan penguasaankompetensi
akademik, personal, sosial dan profesionalsecara integral. rofesionalisme dosen juga
merupakan salah satu tolok ukur dalam sistem penjaminan mutu akademik.
Profesionalisme harus menjadi nilai kultural yang dimiliki dosen untuk
selalu menampilkan karya terbaik dalam melaksanakan tugas dan tanggung

jawabnya sebagai dosen, dalam suasan akademik yang memungkinkan terjadinya
hubungan yang sehat antara mahasiswa dengan dosen, antar dosen, serta antar
mahasiswa. Suasana kondusif diperlukan untuk memungkinkan pengembangan
potensi semua pihak secara maksimal, terutama mahasiswa dan dosen, dalam
mencapai standar mutu akademik yang unggul.
Institusi berkewajiban untuk menciptakan sistem yang mengupayakan
pengembangan kemampuan profesionalisme dosen. Institusi juga harus
menetapkan kriteria dosen dan manajemen mutu dosen untuk mewujudkkan/
tercapainya profesionalisme dosen. Standar Mutu, Profesionalisme yang tinggi
dengan kreteria; (a) Kepakaran, (b) Pengembangan kepakaran, (c) Menerapkan
teknologi instruksional, dan (d) Menerapkan etika pada waktu mengajar, meneliti,
dan kegiatan profesi. Sebagaimana dikatakan bahwa Manajemen mutu dosen
diperlukan untuk memberdayakan dosen sehingga mereka dapat berprestasi sebaik
mungkin. Untuk itu, perlu diciptakan kondisi yang mendukung sebagaimana berikut
ini:
(1) Kondisi yang memberikan kemampuan kepada dosen untukmelaksanakan
pekerjaan tersebut (managing ability);
(2) Kondisi yang memberikan kesempatan pada dosen dalam melaksanakan
pekerjaannya tersebut dengan memuaskan (managingoppor-tunity);
(3) Kondisi yang mendorong dosen untuk melaksanakantugas/pekerjaannya
(managing motivation)

DAFTAR PUSTAKA
Arif Budiman, “Ilmu Sosial Indonesia ahistoris”, Prisma No. 6 (1983), pp. 74-90
Berger, Peter L, dan Thomas Luckmann, 1990. Tafsir Sosial atas Kenyataan; Risalah
tentang Sosiologi Pengetahuan , Jakarta: LP3ES,
Denzin, Norman K.dan Y,S. Lincoln (eds). 2000. Handbook of Qualitative Research.
California:Sage Public, Inc
Dharmawan, A.H. 2007. Sistem Penghidupan dan Nafkah Pedesaan: Pandangan
Sosiologi Nafkah (Livelihood Sociology). SODALITY: Jurnal Transdisiplin
Sosiologi, Komunikasi, dan Ekolog Manusia. Vol. 01. No. 02. 2007. Departemen
Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat. IPB. Bogor.
F.Budi hardiman, Kritik Ideologi pertautan pengetahuan dan kepentingan,
Yogyakarta: Kanisius, 1990
Kleden Ignas ,1987. Sikap Ilmiah dan kritik kebudayaan,Jakarta, LP3ES
Nico G Schulte nordholt dan Leontine, 1997 Ilmu Sosial Di Asia Tenggara, Jakarta,
LP3ES
Peraturan Pendidikan Nasional No 19 Tahun 2005 Tentang Standar Pendidikan
Nasional
Sughienm, T, (1996). Sosiologi Pedesaan Suatu Pengantar, PT, Raja
Garafindo,Jakarta
Ritzer, George. 2007. Teori Sosiologi Modern, Cetakan keenam, Jakarta,Kencana
Sajogyo, 2006. Ekososiologi: Deideologi Teori, Restrukturisasi Aksi (Petani dan
Pedesaan sebagai Kasus Uji). Yogyakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat
Cerdas.
Soetarto Endriatmo, Warisan Profesor Sajogyo untuk Studi Agraria Indonesia,
Tempo, Senin, 19 Desember 2011, Hal 10
Soediono M.P. Tjondronegoro, 2008, Ranah Kajian Sosiologi Pedesaan, Ford
Foundation, STPN, HIVOS, AKATIGA, Sajogyo Institute, Bogor.
Suria sumantri, Jujun S. 2003. Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: PT
Total Grafika Indonesia.
Vedi R hadiz & Daniel dhakidae. 2006. Ilmu sosial dan kekuasaan di Indonesia.
Jakarta PT Equinox Publishing Indonesia
Wuisman, JJ Jan. 2013.Teori dan praktek, Jakarta, Yayasan Pustaka Obor Indonesia