POTENSI KEARIFAN LOKAL DALAM PERENCANAAN (1)

POTENSI KEARIFAN LOKAL DALAM PERENCANAAN DAN PERANCANGAN
KOTA
(Kasus Kajian; Kearifan Lokal Kota Banda Aceh)
Prof. Ir. Respati Wikantiyoso., MSA., Ph.D.

Jurusan Teknik Arsitektur Universitas Merdeka Malang
Malang, Jawa Timur, Indonesia
e-mail:respati_w@yahoo.com atau
respati@unmer.ac.id

Abstract
The problems of urban spatial structure in Indonesia is very complex, not only because of
the population but also because the urban development institutions that is not sufficient
to control the development of the city. City planning regulations as a product of urban
development policy is a policy framework that is specific and unique. Every town should
have special rules for control city development couse of "No two are alike". In fact there
has been a "uniformity of the architecture of the city". The aim of Banda Aceh local
wisdom studies is to explore the potential of a local wisdom "Islamic city". Banda Aceh has
a great chance as a city within the framework of Islamic character Nangro Aceh
Darussalam. Development of the city of Banda Aceh through the process of urban planning
and design, should use the foundation to realize the development of Islamic law of Banda

Aceh Islamic city character. Keywords that are becoming essential in realizing the
construction of the city is; potential of locality, potential local culture, sustainable
development, and the development process in a broad sense. Privilege status of Nangro
Aceh Darussalam is important to be able to keep the "privilege" of Aceh as an Islamic city
which was based on Islamic values. Study of Banda Aceh local knowledge needed to realize
the local character of the city of Banda Aceh in order to maintain identity as a city of
"porch of Mecca".
Keywords: Sustainable development, Local Wisdom, Indigenous of Banda Aceh, the porch
of Mecca
Abstrak
Permasalahan tata ruang kota di Indonesia sangat kompleks, bukan saja karena jumlah
penduduk tetapi juga dikarenakan pranata pengendali perkembangan kota yang tidak
memadahi. Peraturan tata ruang kota sebagai produk kebijakan pengembangan kota
merupakan kerangka kebijakan yang spesifik dan unik. Setiap kota seharusnya memiliki
peraturan yang khas karena sebenarnya “No two cities are alike”. Kenyataanya telah
terjadi “ketunggal-rupaan arsitektur kota”. Kajian kasus kearifan lokal kota Banda Aceh
bertujuan untuk menggali potensi-potensi kearifan lokal sebuah “kota Islami”. Kota Banda
Aceh memiliki peluang sangat besar sebagai kota yang berkarakter islami dalam kerangka
“keistimewaan” Nangro Aceh Darusalam. Pengembangan kota Banda Aceh melalui proses
perencanaan dan perancangan kota, seharusnya menggunakan landasan pengembangan

syariah Islam untuk mewujudkan kota Banda Aceh yang berkarakter Islami. Kata kunci yang
menjadi penting dalam mewujudkan pembangunan kota adalah; potensi lokalitas (karakter
kota), potensi budaya local (sosial komunitas kota), keberlanjutan pembangunan, serta
proses pembangunan dalam arti luas. Status keistimewaan Nangro Aceh Darusalam menjadi
penting untuk dapat menjaga “keistimewaan” aceh sebagai kota Islami yang didasarkan
pada nilai-nilai Islam. Kajian kearifan lokal Banda Aceh diperlukan untuk mewujudkan
karakter lokal kota Banda Aceh guna mempertahankan jati diri sebagai kota “serambi
Mekah”.
Kata kunci: Pembangunan berkelanjutan, Kearifan Lokal, Kearifan Lokal Kota Banda Aceh,
serambi Mekah
Seminar Nasional Lustrum Arsitektur 2
Malang, 29 Oktober 2014

|

1

Pendahuluan
Makalah ini dipersiapkan khusus untuk
memenuhi permintaan panitia Lustrum

jurusan Arsitektur ke 2 UIN Malang.
Walaupun demikian dengan keterbatasan
banyak hal sangat sulit untuk memenuhi
sasaran
sesuai
dengan
tujuan
diselenggarakan kegiatan seminar ini.
Pembahasan pada makalah ini akan
dibatasi pada masalah pentingnya potensi
kearifan lokal (aspek sosial-budaya) dalam
perencanaan tata ruang kota. Aspek sosial
budaya merupakan salah satu aspek
penting dalam spatial city planning
disamping aspek ekonomi dan aspek
lingkungan (environment). Makalah ini
merupakan hasil kompilasi terhadap
pengalaman empirik, kajian intensif
tentang potensi kearifan lokal serta
referensi

berkaitan
dengan
bidang
perencanaan dan perancangan kota yang
menjadi bidang perhatian selama 26 tahun
mengajar di jurusan teknik arsitektur
Universitas Merdeka Malang.
Permasalahan tata ruang kota di
Indonesia sangat kompleks, bukan saja
karena jumlah penduduk yang relatif
banyak tetapi juga dikarenakan pranata
pengendali perkembangan kota (baca:
Peraturan Tata Ruang Kota) yang kurang
memadahi1. Peraturan tata ruang kota
sebagai produk kebijakan pengembangan
kota merupakan kerangka kebijakan yang
spesifik dan unik yang sesestinya setiap
kota akan memiliki peraturan yang khas
seperti diutarakan oleh para pakar bahwa
“No two cities are alike”. Akan tetapi

kenyataanya telah terjadi “ketunggalrupaan arsitektur kota”2. Hal ini dapat
terjadi karena produk dan proses
penyusunan rencana tata ruang kota-kota
kita masih menghadapi masalah-masalah
administratif yang bisa berpengaruh pada
faktor kecukupan dan legalitas pengaturan
sebagai produk hukum.
Perencanaan tata ruang kota (spatial
city planning) harus dapat berfungsi
sebagai panduan perancangan kota dan
sebagai pengendali perkembangan kota.
Perencanaan tata ruang kota sebagai
sebagai panduan rancang kota harus
mampu memberikan arahan arahan disain
Seminar Nasional Lustrum Arsitektur 2
2

|

Malang, 29 Oktober 2014


kota sesuai dengan potensi-potensi sosialbudaya, ekonomi dan potensi lingkungan
(alam dan buatan) secara terpadu untuk
menjamin keberlanjutan pembangunan.
Sebagai produk pengendali perkembangan
kota, rencana tata ruang kota harus secara
konsisiten diimplementasi-kan oleh semua
stakholders (masyarakat, peengembang
dan pemerintah kota).
Perencanaan Tata Ruang Kota baik
merupakan produk perencanaan yang dapat
diimplementasikan tanpa menyebabkan
kesenjangan sosial-budaya. Perencanaan
tata ruang membutuhkan pendekatan
komprehensif yang diharapkan dapat
mengakomodasi aspek sosial budaya
masyarakat.
Studi
Kearifan
Lokal

merupakan upaya untuk menemukan
pengetahuan, teknologi, serta potensi nilai
sosial-budaya lokal. Pemahaman nilai-nilai
sosial budaya masyarakat dapat dilakukan
melalui
pendekatan
partisipatif.
Pendekatan partisipatif dilakukan untuk
mengeksplorasi
kearifan
lokal
dan
pengetahuan lokal dari konsep produk
penataan ruang di masa lalu yang telah
terbukti sepanjang zaman.
Studi konsep, teori, dan praktik
terbaik pada pengetahuan lokal dari hasil
masa lalu dari desain tata ruang kota tua
dan/atau tata ruang tradional melalui
review desain dan praktek desain

perkotaan
merupakan
upaya
untuk
menjamin keberlanjutan pembangunan
kota. Menggali potensi Kearifan Lokal
dalam perencanaan tata ruang merupakan
upaya penting dalam proses perencanaan
tata ruang. Dengan demikian kebijakan
pembangunan perkotaan yang tertuang
dalam rencana tata ruang kota akan
mampu mengakomodasi kearifan lokal
dalam rangka menciptakan lingkungan kota
yang berkarakter.
Lingkungan binaan (arsitektur, kota)
sebagai bentuk perwujudan dari nilai-nilai
sosial dan budaya yang erat kaitannya
dengan
nilai-nilai
sosial

budaya
masyarakat, karena proses realisasinya
menggunakan prinsip-prinsip norma-norma
tradisional3. Menurut Rapoport, "lingkungan
binaan" baik fisik dan non-fisik tradisional
adalah aset, karena mengandung konsep,

teori dan model pola spasial yang memiliki
nilai tinggi4. Oleh karena itu lingkungan
yang dibentuk sejajar dengan masyarakat
dan dengan lingkungan alam.
Lingkungan tradisional yang memiliki
nilai sejarah tinggi di pusat kota saat ini
sedang mengalami tantangan perubahan
yang sangat cepat akibat meningkatnya
aktivitas ekonomi, perubahan sosial dan
budaya di masyarakat dari pusat kota5.
Efek urbanisasi yang cepat pada degradasi
lingkungan
tradisional

jika
tidak
diantisipasi berdampak negatif perubahan.
Lingkungan tradisional merupakan aset
yang dapat memberikan karakteristik
daerah, serta identitas dan rasa daerah
tempat kota.
Abstraksi di atas memberi kita
pemahaman tentang pentingnya studi fisik
yang baik dari arsitektur, lingkungan, dan
kota-kota tradisional daerah dapat dinilai
konsepsi, teori dan model (arsitektur, pola
spasial, dan skala kota). Keempat makalah
yang dibahas secara umum berusaha untuk
mengeksplorasi kekayaan dan nilai-nilai
arsitektur baik di lingkup spasial bangunan
(arsitektur) atau bahkan kota skala
regional. Mempelajari lingkungan binaan
“tradisional” tidak pernah terasa kering,
tetapi

yang
lebih
penting
adalah
bagaimana menjaga nilai-nilai ilmu sejarah
dan tantangan perubahan yang cepat. Tata
Ruang Kota Baik merupakan produk
perencanaan
yang
dapat
diimplementasikan tanpa menyebabkan
kesenjangan sosial-budaya. Perencanaan
tata ruang membutuhkan pendekatan
komprehensif yang diharapkan dapat
mengakomodasi aspek sosial budaya
masyarakat.
Studi
Kearifan
Lokal
merupakan upaya untuk menemukan
pengetahuan
lokal
penting
untuk
memahami
nilai-nilai
sosial
budaya
masyarakat. Pemahaman nilai-nilai sosial
budaya masyarakat dapat dilakukan
melalui
pendekatan
partisipatif.
Pendekatan partisipatif dalam penelitian
ini
dilakukan
untuk
mengeksplorasi
kearifan lokal dan pengetahuan lokal dari
konsep produk penataan ruang di masa lalu
yang telah terbukti sepanjang zaman.

Studi konsep, teori, dan praktik
terbaik pada pengetahuan lokal dari hasil
masa lalu dari desain (tata ruang
tradisional perkotaan) melalui review
desain dan praktek desain perkotaan
merupakan upaya untuk pembangunan kota
yang berkelanjutan. Masalah Kearifan Lokal
dalam perencanaan tata ruang yang
ditandai kota merupakan aspek penting
dalam proses perencanaan tata ruang.
Dengan demikian kebijakan pembangunan
perkotaan dalam kebijakan perencanaan
harus mampu mengakomodasi kearifan
lokal dalam rangka menciptakan karakter
kota.

Perencanaan kota sebagai proses
Era otonomi daerah daerah dengan
segala potensi dan permasalahannya baik
secara langsung maupun tidak berdampak
pada
pembangunan
arah
kebijakan
pembangunan
kota.
Peluang
untuk
mempertahankan karakter kota sesuai
dengan potensi kearifan local menjadi
peluang untuk dapat menggali seluasluasnya karakter spesifik kota dan/atau
kawasan kota. Pembangunan kota yang
memiliki nilai kekhasan budaya local
menjadi peluang untuk meningkatan daya
tarik penigkatan kualitas hidup masyarakat
yang lebih baik. Penggalian potensi nilai
sosial
budaya
masyarakat,
potensi
pengetahuan local dalam kegiatan sosialekonomi serta pengetahuan local dalam
pengelolaan lingkungan menjadi penting
untuk mewujudkan pembangunan yang
berkelanjutan.
Perencanaan kota sebagai landasan
dalam proses perancangan kota menjadi
memiliki posisi yang sangat strategis. Hal
ini menunjukkan bahwa sebenarnya dalam
mewujudkan pembangunan kota melalui
perencanaan dan perancangan bukan hanya
pada sisi produk akhir perancangan yang
baik, tetapi bagaimana proses perencanaan
dan perancangan kota dapat menjamin
keberlanjutan pembangunan. Kata kunci
yang menjadi penting dalam mewujudkan
pembangunan
kota
adalah;
potensi
lokalitas (karakter kota), potensi budaya
local
(sosial
komunitas
kota),
Seminar Nasional Lustrum Arsitektur 2
Malang, 29 Oktober 2014

|

3

keberlanjutan pembangunan6, serta proses
pembangunan dalam arti luas.
Potensi lokalitas (karakter kota),
budaya local serta kekhasan fisik tipomorfologis kota merupakan potensi yang
harus
diperhatikan
dalam
proses
perencanaan kota sebagai suatu kesatuan
aspek
kehidupan
komunitas
kota.
Pemahaman morfologi (fisikal; topografis,
geografis, struktur fisik lingkungan, tata
landskap) tidak dapat dipisahkan dengan
pemahaman
aspek-aspek
non-fisik
(aktifitas komunitas; nilai-nilai filosofis,
sosial-budaya, ekonomi dan politik).
Walaupun pendekatan tipo-morfologi
ditekankan pada pendekatan pemahaman
pada aspek fisik bentuk struktur tata
ruang, tetapi aspek non-fisik yang
melatarbelakangi sering menjadi lebih
penting diperhatikan karena justru nilainilai filosofis, nilai sosio-kultural, historis
dan lainnya dapat diangkat sebagai suatu
“ciri spesifik” lingkungan kota. Wujud fisik
lingkungan kota sebagai manifestasi
kehidupan sosial kota pada hakekatnya
merupakan “produk budaya”.
Dengan
demikian sebenarnya pada masyarakat
dengan latar belakang sosial budaya yang
berbeda
akan
mewujudkan
bentuk
lingkungan fisik ruang yang berbeda pula.

Pembangunan berkelanjutan
Keberlanjutan
pembangunan
(sustainable development) bukan sematamata dalam pemahaman keberlanjutan
perubahan
social-kultural
masyarakat,
tetapi keberlanjutan dalam pengertian luas
termasuk aspek ekonomi dan aspek ekologi
(sustainable environment). Terpeliharanya
kualitas
lingkungan
secara
ekologis,
harmonisasi sosial-budaya dan ekonomi
merupakan sasaran yang harus dicapai
setiap upaya pembangunan. Hal ini
bermakna
bahwa
perubahan
atau
“intervensi fisik” (baca: pembangunan)
yang dilakukan harus mampu menjamin
dan meminimalkan cultural-lag dalam arti
luas.

Seminar Nasional Lustrum Arsitektur 2
4

|

Malang, 29 Oktober 2014

Konsep sustainability yang digagas
oleh kaum environmentalist berawal dari
sikap keprihatinan terhadap konsekwensi
jangka panjang terhadap tekanan daya
dukung alami (natural support system).
Dalam Brundtland Commission Report yang
berjudul Our Common Future, dijelaskan
batasan tentang sustainable development
sebagai berikut:
“Sustainable
development
is
defined as development that meet
the needs of the present without
compromising the ability of future
generations to meet their own
needs.”
Dari pengertian di atas ada tiga (3)
konsep kata kunci yang perlu diperhatikan
yaitu development; needs; dan future
generations.
Pembangunan
yang
berkelanjutan mempunyai tujuan untuk;
melindungi sumber daya alam (resource
conservation); pembangunan lingkungan
binaan (built development), menjaga
kualitas
lingkungan
alamiah
dan
lingkungan
terbangun
(environmental
quality), mengurangi kesenjangan sosial
(social equality), dan meningkatkan
partisipasi (political participation).
Uraian di atas menunjukkan bahwa
konsepsi pembangunan yang berkelanjutan
menjadi
tuntutan
yang
semakin
mengemuka. Dalam tataran operasional
konsepsi
keberlanjutan
pembangunan
dalam perencanaan dan perancangan kota
menuntut adanya prasyarat keterpaduan
dalam
perencanaan,
perancangan,
pelaksanaan
maupun
kontrol
operasionalnya.
Pengertian
terpadu
dimaksudkan untuk mengkoordinasikan
dan mengarahkan berbagai aktivitas dari
dua atau lebih sektor dalam perencanaan
dan perancangan Kota. Perencanaan
terpadu dimaksudkan sebagai suatu upaya
secara terprogram untuk mencapai tujuan
yang
dapat
mengharmoniskan
dan
mengoptimalkan antara kepentingan untuk
memelihara
lingkungan,
keterlibatan
masyarakat, dan pembangunan ekonomi.

Gambar1:Diagram konseps pembangunan
Berkelanjutan (Sumber: Wikantiyoso,
2013)
Dalam
konteks
perencanaan
pembangunan sumber daya alam yang
lebih luas, perencanaan sumberdaya
secara terpadu sebagai upaya bertahap
dan terprogram untuk mencapai tingkat
pemanfaatan sistem sumber daya alam
secara optimal dengan memperhatikan
semua dampak lintas sektoral yang
mungkin timbul. Menurut Lang (1986)
keterpaduan dalam perencanaan dan
pengelolaan sumber daya alam hendaknya
dilakukan pada tiga tataran (level), yakni
tataran teknis, tataran konsultatif dan
koordinasi7. Keterpaduan dalam tataran
teknis
dilakukan
dengan
mempertimbangkan aspek-aspek teknis,
ekonomis,
dan
lingkungan
secara
proporsional dalam setiap keputusan
perencanaan dan pembangunan kota.
Budaya perkotaan dan “budaya” Islam
Budaya perkotaan mengandung dua
dimensi yang berbeda; yakni buda non fisik
sebagai suatu kesatuan sistem tata laku
masyarakat dan budaya fisik sebagai
bentuk transformasi nilai budaya dal wujud
fisik ruang kota. Pada tataran fisik kota,
budaya mentransformasi dalam wujud fisik
sebagai pola, struktur kota, serta bangunan
dengan beragam fungsi seperti istana,
galeri seni, tempat peribadatan, gedung
kesenian, museum, taman, landmark kota,
pasar dan sebagainya8.

Islam sebagai agama “rachmatan lil
alamin” (rahmad bagi semesta alam)
dengan al- Qur’an dan Hadist sebagai
landasan dalam beribadah umat Islam,
mencakup semua aspek sendi kehidupan
manusia secara komprehensif dalam
mengatur tata perilaku manusia di dunia.
Nilai-nilai Islami seharusnya menjiwai dan
menjadi landasan dan menjadi norma,
“budaya”, kebiasaan berperilaku (adab
bersosialisasi), maupun dalam mensikapi
dan memanfaatkan lingkungan alamiahnya
sebagai setting tempat untuk beribadah
kepada Illahi. Pemahaman, implikasi
perilaku, serta adab bersoaialisasi serta
pemaknaan dan penyikapan terhadap
potensi lingkungan alamiahnya sudah
semestinya akan mewarnai nilai “keIslaman” wujud fisik budaya komunitas.
Setting dan komunitas perkotaan
sebagai wujud budaya fisik (baca:
arsitektur kota) tentunya merupakan
refleksi dari tata nilai Islami komunitas
kota yang didominasi oleh landasan nilai
Islami (syariah Islam) sebagai dasar
perilaku komunitasnya. Kota Banda Aceh
merupakan salah satu contoh kota yang
memiliki potensi kearifan budaya Islami
yang relevan dengan premis di atas.
Mengacu pada Al-Faruqi yang dikutip oleh
Fikriarini9 bahwa Kebudayaan Islam dengan
Arsitektur
Islam
(Arsitektur
kota)
merupakan “budaya Qur’ani”, yang secara
mendasar prinsip-prinsip yang diambil
dalam Al-Qur’an juga mencakup tentang
alam, manusia, dan makhluk hidup lainnya.

Illustrasi
Islami

Perencanaan

Kota

yang

Istilah Madinah (kota) disebut dalam Al
Qur’an sebanyak 14 kali10 dan sebutan
mada’in (jama’) sebanyak 3 kali11. Di
dalam kitab suci Al Qur’an penggambaran
kota yang diikuti dengan nama kota kecuali
menyebut empat kali sebutan Madinah
untuk maksud kota al-Madinah alMunawarah, yang sebelum kedatangan Nabi
Muhammad s.a.w dikenal sebagai Yathrib.
Sedangkan penyebutan kota Makah dalam
al Qur’an hanya sekali pada Surat al Fath
(48:24), walaupun demikian al-Qur’an
Seminar Nasional Lustrum Arsitektur 2
Malang, 29 Oktober 2014

|

5

menggunakan istilah al-balad, baladan,
umm al-Qura dan al-Qaryah untuk kota
Makah12.
Penggalian konsep-konsep kota yang
Islami melalui kajian Al-Qur’an yang sangat
komprehensif menelaah perkembangan
kota yang mengungkapkan perkembangan
kota-kota sebelum Islam seperti kota purba
yang dikenal sebagai kota Saba (dalam
surah Saba’, 34:15) kota pada zaman Nabi
Sulaiman.
Kota
Madinah-al-Munawarah
merupakan kota Islam pertama pada zaman
Rasulullah s.a.w. yang merupakan kota
dengan konsep negara-kota (a city-state),
yang sangat sarat dengan nilai-nilai Islami.
Menurut S. Gulzar Heidar, yang dikutip
oleh Ahmad Zaki, ada 3 konsepsi yang
saling terkait dalam kota islam yakni,
Konsep Din, Madinah dan Madaniyyah 13.

(tamadun) yang didasarkan atas Din (nilainilai)
islami
yang
tumbuh
dalam
kolektifitas masyarakat Islam.
Menurut Gulzar Heidar15, Kota Islami
mempunyai sifat-sifat kota sebagai:
1. City of devine trusteeship (Kota
perwalian Illahi)
2. City of law (Kota berdasarkan
hukum)
3. City of Justice (Kota berkeadilan)
4. City of causality and accountability
(kota
bertanggungjawab
dan
kausalitas)
5. City of purpose (Kota memiliki
tujuan)
6. City of care (kota peduli)
7. City of life and energy (kota hidup
dan berenergi)
8. City of ecological harmony (Kota
ekologis yang harmonis)
9. City
of
knowlwdge
(Kota
berpengetahuan)
10. City of simplicity humility and piety
(Kota kesederhanaan, kerendahan
hati dan kesalehan)
11. City of ingenuity and craft (Kota
cerdik dan kerajinan)
12. City of Beauty (Kota Estetis)

Kearifan lokal kota Banda
sebagai Serambi Mekah
Gambar 2. Madinah-al-Munawarah
(Sumber:islamicencyclopedia.org)
Konsep Din merupakan keseluruhan
struktur
yang
harmonis
meliputi
kepercayaan, pemikiran, praktis, etik dan
kolektifitas masyarakatnya. Konsep kota
(Madinah) merupakan kesatuan sistem
institusi masyarakat, perumahan swasta,
sistem simbol dan tanda, sistem tatanan
fisik ruang (struktur kota). Konsepsi
Madaniyyah bahwa kota sebagai wadah
pelaksanaan cara hidup dan undang-undang
samawi Syariah14. Istilah Madaniyyah
sebagai konsep budaya kota kemudian
lebih dikenal dengan istilah tamaddun.
Ketiga konsepsi tersebut di atas menjadi
sangat jelas bahwa kota-kota islam sangat
erat dan terkait dengan budaya kota
Seminar Nasional Lustrum Arsitektur 2
6

|

Malang, 29 Oktober 2014

Aceh

Kota Banda Aceh berdiri pada abad
ke-14 sebagai ibukota Kesultanan Aceh
Darussalam. Dari batu nisan Sultan Firman
Syah, salah seorang sultan yang pernah
memerintah Kesultanan Aceh, didapat
keterangan
bahwa
Kesultanan
Aceh
beribukota di Kutaraja (Banda Aceh)16.
Dalam bukunya Budaya Masyarakat
Aceh, Rudi S dan Agus Budi W, menjelaskan
bahwa keberadaan Kesultanan Aceh
Darussalam yang beribukota di Banda Aceh
tidak lepas dari eksistensi Kerajaan Islam
Lamuri. Pada akhir abad ke-15, dengan
terjalinnya suatu hubungan baik dengan
kerajaan
tetangganya,
maka
pusat
singgasana Kerajaan Lamuri dipindahkan ke
Meukuta Alam yang berada di wilayah
Banda Aceh17.

Gambar 3: Atjehkaart 1568 Alva
bibliotheek (Sumber: Alva 156818)
Menurut prasasti yang ditemukan dari
batu nisan Sultan Ali Mughayat Syah,
sebagai pemimpin pertama Kesultanan
Aceh Darussalam.
Masa pemerintahan
Sultan Mughayat Syah relatif singkat,
namun ia berhasil membangun Banda Aceh
sebagai pusat peradaban Islam di Asia
Tenggara. Pada masa ini, Banda Aceh telah
berevolusi menjadi salah satu kota pusat
pertahanan yang ikut mengamankan jalur
perdagangan maritim dan lalu lintas
jemaah haji.
Banda aceh pada abad ke 15 M
dijuluki “Serambi Makkah” sebuah gelar
yang
penuh
bernuansa
keagamaan,
keimanan, dan ketaqwaan. Menurut
analisis pakar sejarah, ada 5 (lima) sebab
mengapa Aceh menyandang gelar serambi
Mekah19.
Pertama, Aceh
merupakan
wilayah
pertama masuk Islam di Nusantara,
terletak di kawasan pantai Timur,
Peureulak, dan Pasai. Mubaligh-mubaligh
Aceh meninggalkan kampung di Aceh untuk
menyebarkan agama Islam ke wilayah
nusantara. Empat orang Wali diantara Wali
Songo, yakni Maulana Malik Ibrahim, Sunan
Ampel, Syarif Hidayatullah, dan Syeikh Siti
Jenar yang menyebarkan Islam ke Pulau
Jawa.
Kedua, Aceh merupakan kiblat ilmu
pengetahuan di Nusantara dengan hadirnya
Jami’ah Baiturrahman (baca: Universitas
Baiturrahman). Banyak mahasiswa yang
datang dari berbagai penjuru nusantara
bahkan dunia.

Ketiga, Aceh
Darussalam
mendapat
pengakuan dari Syarif Makkah atas nama
Khalifah Islam di Turki bahwa Kerajaan
Aceh
adalah
“pelindung”
kerajaankerajaan Islam lainnya di Nusantara.
Keempat, Aceh pernah menjadi pelabuhan
Haji umat muslim dari seluruh Nusantara.
Umat muslim nusantara naik haji ke
Makkah dengan kapal laut, sebelum
mengarungi Samudra Hindia menghabiskan
waktu sampai enam bulan di Bandar Aceh
Darussalam.
Kelima, banyak persamaan antara Aceh
(saat itu) dengan Makkah, sama-sama
Islam, bermazhab Syafi’i, berbudaya Islam,
berpakaian Islam, berhiburan Islam, dan
berhukum dengan hukum Islam. Orang
Aceh masuk dalam agama Islam secara
kaffah (totalitas), tidak ada campur aduk
antara adat kebiasaan dengan ajaran Islam.
Walaupun saat ini sudah mulai memudar.
Abstraksi
di
atas
memberikan
gambaran kita bahwa banda aceh
merupakan kota yang memiliki dasar-dasar
nilai sosial budaya Islami yang sangat kuat.
Mengacu kepada pernyataan Rappoport,
semestinya tatanan ruang kota sebagai
manifestasi fisik tata nilai komunitas
mencerminkan
nilai-nilai
Islami.
Keberadaan Masjid Baiturahhman yang
sangat sentral menjadi salah satu ciri.

Gambar4: Gambaran Istana DarudduniaIstana Kerajaan Aceh Darusalam (14961903)20
Perubahan sosial-budaya, politis dan
pemerintahan yang terjadi di Kasultanan
Aceh
sedikit
banyak
mempengaruhi
kebijakan dan pengembangan Pada masa
Sultan Iskandar Muda, Banda Aceh tumbuh
kembali
sebagai
pusat
perdagangan
maritim, khususnya untuk komoditas lada
Seminar Nasional Lustrum Arsitektur 2
Malang, 29 Oktober 2014

|

7

untuk memasok kebutuhan lada di Eropa.
Sutan Iskandar Muda pada masa itu
menjadikan Banda Aceh sebagai taman
dunia, yang dimulai dari komplek istana.
Komplek istana Kesultanan Aceh juga
dinamai Darud Dunia (Taman Dunia).
Pada masa agresi Belanda II,
merupakan masa jatuhnya kesultanan Aceh
dan Van SwieteGambarn mengubah nama
Banda Aceh menjadi Kuta Raja. Sejak 28
Desember 1962, Setelah masuk dalam
pangkuan Pemerintah Republik Indonesia
nama Kuta Raja diganti menjadi Banda
Aceh berdasarkan Keputusan Menteri
Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah
bertanggal 9 Mei 1963 No. Des 52/1/434321.

Gambar 5. Pusat Kota Banda Aceh dan
Lokasi Masjid Biturahhman (Sumber:
Google map, 2014)
Penetapan
status
keistimewaan
Nangro Aceh Darusalam menjadi penting
untuk dapat menjaga “keistimewaan” aceh
sebagai kota Islami yang didasarkan pada
nilai-nilai Islam. Walaupun demikian,
sebagai sebuah kota yang berkembang
dalam konteks mordernitas tidak dapat
dipungkiri
terjadinya
“heterogenitas”
budaya yang ikut mewarnai ke-kinaan Kota
Banda
aceh.
Pertanyaannya
adalah
bagaimana karakter lokalitas kota Banda
Aceh mampu mempertahankan diri sebagai
“serambi Mekah”, dengan ciri sebagai kota
islami sebagai mana dijelaskan oleh Gulzar
Heidar (1990)22.

Catatan Penutup
Untuk mengakhiri makalah ini saya tidak
membuat suatu kesimpulan, tetapi akan
Seminar Nasional Lustrum Arsitektur 2
8

|

Malang, 29 Oktober 2014

saya sampaikan dalam bentuk catatan
penutup. Catatan penutup ini diharapkan
akan menjadi bahan diskusi dalam seminar
ini dan pemahaman akan pentinggnya
kajian kearifan lokal untuk perencanaan
dan perancangan kota yang lebih baik.
Kajian kasus kearifan lokal kota Banda
Aceh dimaksudkan untuk menggali potensipotensi kearifan lokal sebuah “kota Islami”
yang memiliki peluang sangat besar sebagai
kota yang berkarakter islami dalam
kerangka “keistimewaan” Nangro Aceh
Darusalam.
Dalam konteks perkembangan dan
pengembangan kota Banda Aceh melalui
proses perencanaan dan perancangan kota,
sudah selayaknya menggunakan landasan
pengembangan
syariah
Islam
untuk
mewujudkan kota Banda Aceh yang
berkarakter Islami. Beberapa catatan
penutup yang dimaksud adalah:
1. Perencanaan dan perancangan kota
sebagai suatu proses mewujudkan
suatu
perangkat
pengendali
perkembangan kota harus mempunyai
syarat kecukupan (secara substantif)
mengakomodasikan
aspek
perkembangan kota( baca: aspek
sosial-budaya, aspek ekonomi dan
aspek lingkungan) untuk menjamin
keberlanjutan
kehidupan
dan
pembangunan kota.
2. Kata kunci yang menjadi penting
dalam mewujudkan pembangunan kota
adalah; potensi lokalitas (karakter
kota), potensi budaya local (sosial
komunitas
kota),
keberlanjutan
pembangunan,
serta
proses
pembangunan dalam arti luas.
3. Potensi lokalitas (karakter kota),
budaya local serta kekhasan fisik tipomorfologis kota merupakan potensi
yang harus diperhatikan dalam proses
perencanaan kota sebagai suatu
kesatuan aspek kehidupan komunitas
kota.
4. Mengacu pada ciri kota Islami dari
Gulzar
Heidar23,
dalam
koten
pembangunan kota yang berkelanjutan
maka
perencanaan
kota-kota
berkarakter islami yang berkelanjutan
mengandung makna pengembangan

aspek nilai-nilai sosial-budaya dalam
mewujudkan kota sebagai (City of
devine trusteeship; City of law; City
of Justice; City of care; City of
knowlwdge dan City of simplicity
humility and piety, aspek ekonomi
kota (City of purpose; City of causality
and accountability; City of life and
energy) serta aspek lingkungan kota
(City of ecological harmony; City of
ingenuity and craft dan City of
Beauty).
5. Status keistimewaan Nangro Aceh
Darusalam menjadi penting untuk
dapat menjaga “keistimewaan” aceh
sebagai kota Islami yang didasarkan
pada nilai-nilai Islam. Walaupun
demikian, sebagai sebuah kota yang
berkembang
dalam
konteks
mordernitas tidak dapat dipungkiri
terjadinya “heterogenitas” budaya
yang ikut mewarnai ke-kinaan Kota
Banda aceh. Kajian kearifan lokal
Banda
Aceh
diperlukan
untuk
mewujudkan karakter lokal kota Banda
Aceh guna mempertahankan diri
sebagai “serambi Mekah”.

Referensi
1

Respati Wikantiyoso. 2007. Perencanaan dan
Perancangan
Kota
Sebagai
Panduan
Pengembangan Kota; Antara idealisme dan
ketaatan Implementasinya. Pidato pengukuhan
Jabatan guru Besar. Malang: Unmer Malang.
2
Istilah yang dipopulerkan oleh Prof. Eko
Budiharjo. 1993. “ketunggal-rupaan” arsitektur
kota
digunakan
untuk
menggambarkan
kecenderungan adanya keseragaman karakter
arsitektur kota-kota di Indonesia.
3
Amos Rapoport. 1969. House Form and
Culture. New Jersey: Prentise Hill Inc.
Englewood Cliffs.
4
Amos Rappoport. 1990. History and Precedent
in Environmental Design. New York: Plennum
Press.
5
Respati
Wikantiyoso.2005.
Paradigma
Perencanaan dan Perancangan Kota. Malang:
GKAK Jurusan Teknik Arsitektur Unmer Malang.
6
Chay Asdak. 2012. Kajian Lingkungan Hidup
Strategis:
Jalan
Menuju
Pembangunan
Berkelanjutan.
7
Lang, R. (ed) (1986), Introduction in
Integrated Approaches to Resources Planning

and Management, Canada: The University of
Calgary Pres.
8
Agus Dwi Wicaksono.2009. Perspektif Budaya
dalam Perencanaan Kota.
dalam Respati
Wikantiyoso. 2009. Kearifan Lokal Dalam
Perencanaan dan Perancangan Kota untuk
Mewujudkan
Arsitektur
Kota
yang
Berkelanjutan. Malang: GKAK.
9
Lihat Aulia Fikriani dan Luluk M. 2007.
Arsitektur Islam; Refleksi & Transformasi Nilai
Illahiyah. Malang: UIN Malang Press.
10
Lihat, al-Qur’an Surah al-A’raf, 7:123; alTaubah, 9:101,120; Yusuf, 12:30; al-Hijr, 15:67;
al-Kahfi, 18:19, 82; al-Naml, 27:48; alQashash, 28:15,18, 20; al-Ashab, 33:60; Yasin,
36:20; al-Munafiqun, 63:8.
11
Lihat, al-Quran surah al-A’raf, 7:111; Yasin,
36:20; dan al Munafiqun, 63:8.
12
Lihat Al-Quran Surat al-Balad, 90:1,2; alBaqarah, 2:126; al-Anam, 6:92 dan Al-Nisa,
4:75.
13
Ahmad Zaki Hj. Abd Latiff. 1997. Perbandaran
di Timur Tengah Kesannya terhadap Masyarakat
Islam Abad I-II Hijrah. Kuala Lumpur: Dewan
Bahasa dan Pustaka.
14
Ibid, hal 6.
15
Gulzar Heidar. 1990. Urbanization and the
Future Civilizaztion. Dalam International
Conference on Islam Civilization, June 24-29.
Kuala Lumpur.
16
H. Mohammad Said. 1981. Aceh Sepanjang
Abad.
17
Rusdi Sufi & Agus Budi Wibowo. 2006. Budaya
Masyarakat Aceh. Aceh: Badan Perpustakaan
Provinsi Nangro Aceh Darusalam.
18
Dikutip dari site http://syahmins.wordpress.
com/ 2013/05/17/istana-darud-dunia/
19
Dirangkum dari Ryanis. Mengapa Aceh Digelar
Serambi Makkah? http://ryanis.wordpress.com/
2008/05/19/mengapa-aceh-digelar-serambimakkah/
20
lukisan hasil imajinasi Sayed Dahlan AlHabsyi yang menggambarkan istana Darud
Dunia pada kurun 1496-1903.
21
H. Mohammad Said. 1981 ibid.
22
Lihat Gulzar Heidar. 1990. Urbanization and
the Future Civilizaztion. Dalam International
Conference on Islam Civilization, June 24-29.
Kuala Lumpur.
23
Dirangkum dari Gulzar Heidar. 1990.
Urbanization and the Future Civilizaztion.
Dalam International Conference on Islam
Civilization, June 24-29. Kuala Lumpur.

Seminar Nasional Lustrum Arsitektur 2
Malang, 29 Oktober 2014

|

9