SIGNIFIKANSI RUANG TERBUKA HIJAU DI PERK

SIGNIFIKANSI RUANG TERBUKA HIJAU DI PERKOTAAN
(Studi Terhadap RTH Kota Yogyakarta)
Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukun Lingkungan
Diampu Oleh:

Prof. Dr. Absori, SH, M. Hum

Disusun oleh :
Nama : ASIKA MAHARGINI
N I M :R 100 110 013

PROGRAM MAGISTER HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2012
1

SIGNIFIKANSI RUANG TERBUKA HIJAU DI PERKOTAAN
(Studi Terhadap RTH Kota Yogyakarta)
Abstraksi: Berbagai fungsi yang terkait dengan keberadaannya (fungsi ekologis, sosial,
ekonomi, dan arsitektural) dan nilai estetika yang dimilikinya (obyek dan
lingkungan) tidak hanya dapat dalam meningkatkan kualitas lingkungan dan untuk

kelangsungan kehidupan perkotaan tetapi juga dapat menjadi nilai kebanggaan dan
identitas kota. Untuk mendapatkan RTH yang fungsional dan estetik dalam suatu
sistem perkotaan maka luas minimal, pola dan struktur, serta bentuk dan
distribusinya harus menjadi pertimbangan dalam membangun dan
mengembangkannya. Karakter ekologis, kondisi dan ke-inginan warga kota, serta
arah dan tujuan pembangunan dan perkembangan kota merupakan determinan
utama dalam menentukan besaran RTH fungsi-onal ini.

A.

PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Ruang dan manusia adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
Ruang akan menjadi lebih menarik dan hidup bila didalamnya terdapat manusia. Begitu
juga dengan manusia, tanpa ruang manusia tidak mempunyai wadah untuk tinggal.
Manusia akan selalu berhubungan dengan lingkungan sekitarnya. Taman sebagai unsur
yang tidak dapat terpisahkan dari kehidupan manusia sejak jaman dahulu akan selalu
diselaraskan dengan kondisi dan tingkat kebudayaan yang dimiliki manusia pada
jamannya. Kehidupan manusia yang semakin kompleks menuntut taman agar
kehadirannya dapat sesuai dengan fungsinya. Kebutuhan taman dirasa semakin penting

disebabkan karena beban kesibukan manusia yang semakin meningkat. Manusia
membutuhkan

tempat

“pelarian“

dari

aktivitas

rutinitas

sehari-hari.

Dalam

Perkembannya kota akan semakin padat dengan aktifitas-aktifitas penduduknya,
sehingga membutuhkan ruang terbuka hijau.
Sejalan dengan perkembangan Peradaban manusia di bumi dan perkotaan

sebagai sentral aktifitas publik, maka akan semakin banyak pemukiman yang berdiri
yang tentunta akan memakan lahan-lahan kosong bahkan perkebunan di pinggir-pinggir
2

kota.Dalam konteks inilah taman yang berfungsi sebagai paru-paru kota ini sangat
bermanfaat dan secara fungsinya

taman dapat dimanfaatnkan sebagai tempat

pameran tumbuh-tumbuhan dan bunga, sebagai tempat makan dan bersantai karena
terdapat pedagang kaki lima yang menjual macam-macam menu makanan.
Sampai saat ini pemanfaatan ruang di perkotaan masih belum sesuai dengan
harapan yakni terwujudnya ruang yang nyaman, produktif dan berkelanjutan. Kualitas
permukiman di perkotaan bisa dilihat dari kemacetan yang semakin parah,
berkembangnya kawasan kumuh yang rentan dengan bencana banjir/longsor serta
semakin hilangnya ruang terbuka(Openspace) untuk artikulasi dan kesehatan
masyarakat. Dan Sebagai wahana interaksi sosial, ruang terbukadiharapkan dapat
mempertautkan seluruh anggota masyarakat tanpa membedakan latar belakang sosial,
ekonomi, dan budaya. Aktivitas di ruang publik dapat bercerita secara gamblang
seberapa pesat dinamika kehidupan sosial suatu masyarakat.1

Ruang terbukamenciptakan karakter masyarakat kota. Tanpa ruang-ruang publik
masyarakat yang terbentuk adalah masyarakat maverick yang nonkonformisindividualis-asosial, yang anggota-anggotanya tidak mampu berinteraksi apalagi bekerja
sama satu sama lain. Agar efektif sebagai mimbar, ruang publik haruslah netral. Artinya,
bisa dicapai (hampir) setiap penghuni kota. Tidak ada satu pun pihak yang berhak
mengklaim diri sebagai pemilik dan membatasi akses ke ruang publik sebagai sebuah
mimbar politik.
Kesadaran pembangunan perkotaan berwawasan lingkungan di negara-negara
maju telah berlangsung dalam hitungan abad. Pada jaman Mesir Kuno, ruang terbuka
hijau ditata dalam bentuk taman-taman atau kebun yang tertutup oleh dinding dan
lahan-lahan pertanian seperti di lembah sungai Efrat dan Tigris, dan taman tergantung
Babylonia yang sangat mengagumkan, The Temple of Aman Karnak, dan taman-taman
perumahan.2
Selanjutnya bangsa Yunani dan Romawi mengembangkan Agora, Forum,
Moseleum dan berbagai ruang kota untuk memberi kesenangan bagi masyarakatnya
dan sekaligus lambang kebesaran dari pemimpin yang berkuasa saat itu. Berikutnya
1Rustam Hakim, Arsitektur Lansekap,Manusia, Alam dan Lingkungan, Jakarta: Bina Aksara, 2004. Hal. 4
2Newton N,T, 1971. Design On the Land. (The Development Of Landscape Architecture). Hal. 47
3

pada jaman Meldevel, pelataran gereja yang berfungsi sebagai tempat berdagang,

berkumpul sangat dominan sebelum digantikan jaman Renaisance yang glamour
dengan plaza, piaza dan square yang luas dan hiasan detail serta menarik. Seni
berkembang secara optimal saat ini, sehingga implementasi keindahan dan
kesempurnaan rancangan seperti Versailles dan kota Paris menjadi panutan dunia. 3
Ruang terbukasecara teoritis adalahRuang yang berfungsi sebagai wadah
(container) untuk kehidupan manusia, baik secara individu maupun berkelompok, serta
wadah makhluk lainnya untuk hidup dan berkembang secara berkelanjutan. 4 Oleh
karena itu ruang terbuka merupakan ruang yang bisa diakses oleh masyarakat baik
secara langsung dalam kurun waktu terbatas maupun secara tidak langsung dalam
kurun waktu tidak tertentu. Ruangterbukaitu sendiri bisa berbentuk jalan, trotoar,
ruang terbuka hijau seperti taman kota, hutan dan sebagainya.
Bila dilihat dari sifatnya ruangterbukabisa dibedakan menjadi ruang terbuka
privat (memiliki batas waktu tertentu untuk mengaksesnya dan kepemilikannya bersifat
pribadi, contoh halaman rumah tinggal), ruangterbuka semi privat (ruang publik yang
kepemilikannya pribadi namun bisa diakses langsung oleh masyarakat, contoh Senayan,
Ancol) dan ruang terbuka umum (kepemilikannya oleh pemerintah dan bisa diakses
langsung oleh masyarakat tanpa batas waktu tertentu, contoh alun-alun, trotoar).
Pada penelitian ini akan lebis spesifik meneliti tantang Ruang Terbuka Hijau (RTH)
serta signifikansinya bagi masyarakat perkotaan. Secara definitif,Ruang Terbuka
Hijau(Green Openspaces)adalah kawasan atau areal permukaan tanah yang didominasi

oleh tumbuhan yang dibina untuk fungsi perlindungan habitat tertentu, dan atau
sarana lingkungan/kota, dan atau pengamanan jaringan prasarana, dan atau budidaya
pertanian. Selain untuk meningkatkan kualitas atmosfer, menunjang kelestarian air dan
tanah, Ruang Terbuka Hijau (Green Openspaces) di tengah-tengah ekosistem perkotaan
juga berfungsi untuk meningkatkan kualitas lansekap kota.5
Mendagri secara teoritis menegaskan RTH adalah Ruang-ruang di dalam kota
atau wilayah yang lebih luas baik dalam bentuk area/kawasan maupun dalam bentuk
3Ibid.
4UUPR no.24/1992 Tentang Penataan Ruang
5 Danoedjo,S., Menuju Standar Ruang Terbuka Hijau Di Kawasan Kota Dalam Rangka Melengkapi Standar Nasional
Indonesia. Jakarta; Direktur Jenderal Cipta Karya, Departemen Pekerjaan Umum.1990. Hal 8

4

area memanjang/jalur yang dalam penggunaannya lebih bersifat terbuka yang pada
dasarnya tanpa bangunan yang berfungsi sebagai kawasan pertamanan kota, hutan
kota, rekreasi kota, kegiatan Olah Raga, pemakaman, pertanian, jalur hijau dan kawasan
hijau pekarangan.6
RTH yang ideal adalah 30 % dari luas wilayah. Hampir disemua kota besar di
Indonesia, Ruang terbuka hijau saat ini baru mencapai 10% dari luas kota. Padahal

ruang terbuka hijau diperlukan untuk kesehatan, arena bermain, olah raga dan
komunikasi publik.7Maka semua pihak harus menampilkan kesadaramn yang utuh
apabila menginginkan batasab ideal dari RTH tang seharusnya.
Pada level kebijakan, kebijaksanaan pertanahan di perkotaan yang sejalan
dengan aspek lingkungan hidup adalah jaminan terhadap kelangsungan ruang terbuka
hijau.Ruang terbuka hijau ini mempunyai fungsi “hidro-orologis”, nilai estetika dan
seyogyanya

sekaligus

sebagai

wahana

interaksi

sosial

bagi


penduduk

di

perkotaan.Taman-taman di kota menjadi wahana bagi kegiatan masyarakat untuk acara
keluarga, bersantai, olah raga ringan dan lainnya.8 Demikian pentingnya ruang terbuka
hijau ini, maka hendaknya semua pihak yang terkait harus mempertahankan
keberadaannya dari keinginan untuk merobahnya.
Pentingnya RTH juga diperkuat dengan UU Nomor 26 Tahun 2007 Tetang
Penataan Ruang telah mengamanatkan bahwa setiap Prop/Kab/Kota yang dalam proses
penyusunan RTRW diwajibkan untuk memiliki proporsi Ruang Terbuka Hijau (RTH) pada
setiap wilayahnya sebesar 30%, atau untuk wilayah kota paling sedikit 20%. Perwujudan
RTH pada setiap wilayah ini merupakan perwujudan dan penguatan dari tujuan
Penataan Ruang, yaitu “mewujudkan penataan ruang yang aman, nyaman, produktif,
dan berkelanjutan”.9Kata berkelanjutan di dalam UU ini berkaitan erat dengan
lingkungan, kualitas lingkungan sudah seharusnya dipertahankan bahkan dapat
ditingkatkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat saat ini dan generasi mendatang.
Jika melihat tujuan dari Penataan Ruang, dapat dikatakan perencanaan tidak semata6Instruksi mendagri no.14/1988 Tentang Penataan Ruang
7Op. Cit. Danoedjo,S;1990. Hal. 9
8 Danisworo, M, , Makalah Pengelolaan kualitas lingkungan dan lansekap perkotaan di indonesia dalam

menghadapi dinamika abad XXI. 1998. Hal. 32
9UU Nomor 26 Tahun 2007 Tetang Penataan Ruang

5

mata hanya menuntut suatu wilayah agar produktif, akan tetapi juga memperhatikan
keseimbangan lingkungan dan masyarakat di dalamnya.
Pembinaan ruang terbuka hijau harus mengikuti struktur nasional atau daerah
dengan standar-standar yang ada.Secara teoritis Grove dan Gresswell mengungkapkan,
Fasilitas yang memberikan kontribusi penting dalam meningkatkan kualitas lingkungan
permukiman, dan merupakan suatu unsur yang sangat penting dalam kegiatan
rekreasi.10
Manfaat RTH berdasarkan fungsinya dapat dibagi atas Manfaat langsung (dalam
pengertian cepat dan bersifat tangible), yaitu membentuk keindahan dan kenyamanan
(teduh, segar, sejuk) dan mendapatkan bahan-bahan untuk dijual (kayu, daun, bunga,
buah); dan Manfaat tidak langsung (berjangka panjang dan bersifat intangible), yaitu
pembersih udara yang sangat efektif, pemeliharaan akan kelangsungan persediaan air
tanah, pelestarian fungsi lingkungan beserta segala isi flora dan fauna yang ada
(konservasi hayati atau keanekaragaman hayati).11
Walaupun pada tataran ideal studi mengenai perencanaan kota (yang

dipublikasikan dalam bentuk rencana umum tata ruang kota dan pendetailannya)
menyebutkan bahwa kebutuhan ruang terbuka di perkotaan berkisar antara 30% hingga
40%, termasuk di dalamnya bagi kebutuhan jalan, ruang-ruang terbuka perkerasan,
danau, kanal, dan lain-lain. Ini berarti keberadaan ruang terbuka hijau (yang merupakan
sub komponen ruang terbuka) hanya berkisar antara 10 % – 15 %. 12
Kenyataan ini sangat dilematis bagi kehidupan kota yang cenderung berkembang
sementara kualitas lingkungan mengalami degradasi/kemerosotan yang semakin
memprihatinkan. Ruang terbuka hijau yang notabene diakui merupakan alternatif
terbaik bagi upaya recovery fungsi ekologi kota yang hilang, harusnya menjadi perhatian
seluruh pelaku pembangunan yang dapat dilakukan melalui gerakan sadar lingkungan,
mulai dari level komunitas pekarangan hingga komunitas pada level kota.13

10Rooden Van FC dalam Grove dan Gresswell, 1983
11Pedoman; Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan (Permen PU No. 5 Tahun
2008)
12Ibid
13Rustam Hakim, Thesis Analisis Kebijakan Pengelolaan Ruang Terbuka Hijau Kota DKI Jakarta, Institut Teknologi
Bandung, 2000.

6


Penelitian ini akan meneliti beberapa kota besar. Namun melihat banyaknya kota
besar di Indonesia, maka peneliti akan menjadikan kota Yogyakarta sebagai Objek
Penelitian.
Kota Yogyakarta, berkedudukan sebagai ibukota Propinsi DIY, yang terletak
ditengah-tengah Propinsi DIY terbentang antara 110 o 24I19II sampai 110o 28I 53II Bujur
Timur dan 7o 15I 24II sampai 7o 49I26II Lintang Selatan dengan ketinggian rata-rata 114 m
diatas permukaan laut.Kota Yogyakarta memiliki luas wilayah sebesar 32,5 Km² yang
berarti 1,025% dari luas wilayah Propins DIY, yang dibagi dalam 14 kecamatan, 45
Kelurahan, 617 RW, dan 2.531 RT.14
Secara garis besar Kota Yogyakarta merupakan dataran rendah dimana dari barat
ke timur relatif datar dan dari utara ke selatan memiliki kemiringan ± 1 derajat, dan
terdapat 3 (tiga) sungai yang melintas Kota Yogyakarta, yaitu : sebelah timur adalah
Sungai Gajah Wong,

bagian tengah adalah Sungai Code,sebelah barat adalah Sungai

Winongo.Adapun tipe iklim "AM dan AW", curah hujan rata-rata 2.012 mm/thn dengan
119 hari hujan, suhu rata-rata 27,2°C dan kelembaban rata-rata 24,7%. Angin pada
umumnya bertiup angin muson dan pada musim hujan bertiup angin barat daya dengan
arah 220° bersifat basah dan mendatangkan hujan, pada musimkemarau bertiup angin
muson tenggara yang agak kering dengan arah ± 90° - 140° dengan rata-rata kecepatan
5-16 knot/jam.15
Di Jogyakarta, luas ruang terbuka hijau kota berdasarkan hasil inventarisasi Dinas
Pertamanan dan Kebersihan adalah 51.108 m2 atau hanya sekitar 5,11 Ha (1,6% dari
luas kota), yang terdiri dari 62 taman, hutan kota, kebun raya, dan jalur hijau. Bila
jumlah luas tersebut dikonversikan dalam angka rata-rata kebutuhan penduduk, maka
setiap penduduk Yogyakarta hanya menikmati 0,1 m2 ruang terbuka hijau.16
Dibanging dengan kota-kota besar di atas, Kota Bandung dan Kota Surakarta
terhitung lebih baik dalam pembangunab RTH. Di Kota Bandung Kota Bandung masih
lebih tinggi. Hingga tahun 1999, tiap penduduk Kota Bandung menikmati + 1,61 m2 ruang
terbuka hijau. Angka ini merupakan kontribusi eksisting ruang terbuka hijau yang mencover

14Informasi Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (ILPPD)PEMERINTAH KOTA YOGYAKARTATahun 2011
15Ibid.
16Op.Cit. Danisworo: 1998.

7

Kota Bandung dengan porsi + 15% dari total distribusi pemanfaatan lahan Kota.17Dan Kota

Surakarta RTH Kota Surakarta dalam bentuk taman seluas 357 (tiga ratus lima puluh
tujuh) Ha, RTH Dalam bentuk Taman Pemakaman Umum (TPU) seluas 50 (lima puluh)
Ha, RTH dalam bentuk sempadan rel kereta api seluas 73 (tujuh puluh tiga) Ha dengan
sebaran di beberapa kecamatan. Selain itu juga terdapat Ruang Terbuka Non Hijau
(RTNH) di Kota Surakarta seluas 7 (tujuh) Ha yang juga tersebar diseluruh kawasan
kecamatan.18
2. Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah dipaparkan diatas, dapat ditentukan rumusan
masalah agar dapat diurai pokok permasalah sebagai berikut:
a). Apa yang menjai kendala utama sulitnya realisasi RTH di Kota Yogyakarta?; dan
b). Bagaimana Solusi yang dapat dilakukan bagi pembangunan RTH yang ideal di
kotaYogyakarta?
B.

TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
1. Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk:
a). Mengidentifikasi masalah-masalah pokok yang menjadi akibat sulitnya terealisasi
RTH yang idealdi Kota Yogyakarta; dan
b). Mencoba menemukan solusi berupa tindakan yang dapat dilakukan bagi
terlaksananya RTH yang ideal di Kota Yogyakarta, baik secara praksis maupun dalam
bentuk PERDA.
2. Manfaat Penelitian
a). Dapat mengidentifikasi akibat-akibat yang menjadi penyebab sulitnya terealisasi RTH
yang idealdi Kota Yogyakarta; dan
b). Dapat memberikan solusi berupa lamgkah-langkah yang dapat ditempuh bagi
terlaksananya RTH yang ideal di kota Yogyakarta, baik secara praksis maupun
penetapan PERDA.

C.

LANDASAN TEORI
Untuk menangkap problematika yang diajukan pada rumusan masalah, penelitian ini
menggunakan beberapa teori sebagai pisau analisis. Pertama, Teori Hukum Kritis (Critical

17Op. Cit. Thesis Rustam hakim: 2000.
18Bulletin Penataanruang. Surakarta: Pemkot Surakarta. 2012

8

Legal Studies) adalah sebuah gerakan yang muncul pada tahun 70-an di Amerika Serikat.
Gerakan ini menginginkan sebuah penekatan yang berbeda dalam memahami hukum.19
Gerakan studi hukum kritis menolak pemisahan antara rasionalitas hukum dan
perdebatan politik.Tiadak ada perbedaan model logika hukum; hukum adalah politik eengan
baju yang berbeda.Pendukung gerakan studi hokum kritis memahami dan menggunakan
pemikiran hokum dan teori-teori secara lebih intensif disbanding kaum realis. 20
D.

METODE PENELITIAN
1. Metode Pendekatan
Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode

Coding

Kualitative.Coding Kualitative adalah “kodifikasi” data Kualitatif adalah menggunakan
indikator untuk menentukan kategori, lalu menentukan kode untuk berbagai kutipan dan
deskripsi yang termasuk dalam suatu kategori. 21

2. Jenis Penelitian
Pilihan untuk menggunakan penelitian deskriptif dikarenakan bentuk penelitian
ini ditujukan untuk mendiskripsikan fenomena-fenomena yang telah dikodifikasi, baik
fenomena alamiah maupun fenomena buatan manusia.Fenomena dapat berupa
bentuk, aktifitas, karakteristik, perubahan, hubungan, kesamaan dan perbedaan antar
fenomena yang ada.22
3. Sumber Dan Jenis Data
a). Menurut Bentuk
Menggunakan data dalam bentuk angka naupun yang bukan yang diperoleh dari
Rekaman, pengamatan, wawancara, atau bahan tertulis.
b). Sumber dan Jenis Data

19
20
21
22

LG. Saraswati dkk, Hak Asasi Manusia, Teori, Hukum, Kasus, Depok: Fiulsafat UI Press, 2006.
Hal. 14.
Ibid. hal 15
Diadopsi dari “CARE 1997 M&E Workshop Series”.
Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Rake Sarasin, 2002. Hal 12

9



Data primer, yang diperoleh langsung dari lokasi penelitian, dengan melihat
kepadatan penduduk dari kota Yogyakarta serta PERDA tentang RTH kota
Yogyakarta.



Data sekunder, melihat ;buku-buku literatur, makalah, jurnal dan media masa
yang berkaitan dengan RTH Kota Yogyakarta.

4. Metode Pengumpulan Data
Metide pengumpulan data alam penelitian ini adalah:
a. Studi Kepustakaan
Studi kepustakaan adalah pengumpulan data yang diperoleh dengan membaca,
mempelajari, dan menganalisis berbagai data sekunder yang berkaitan dengan
obyek penelitian.
b. Wawancara
Yaitu cara untuk memperoleh data dengan jalan mengadakan tanyajawab secara
langsung antara penulis dengan pihak yang di pandang mengerti dan memahami
objek yang diteliti.
5. Metode Analisis Data
Terhadap data primer, digunakan teknik analisis data tipe strauss dan J. Corbin,
yaitu dengan menganalisis data sejak peneliti beraa di lapangan. Oleh karena itu selama
penelitian, peneliti menggunakan analisi interaktif dengan membuat fieldnote yang
terdiri dari deskripsi dan refleksi data. Selanjutnya peneliti akan melakukan klasifikasi
data melalui proses indexing, shorting, grouping, dan filtering.23
E. PEMBAHASAN
1.

Kendala Utama Realisasi RTH di Kota Yogyakarta
Secara teori, keadaan panas suatu ruang lansekap yang dirasakan oleh manusia
merupakan indikator penting dalam menilai suatu struktur panas yang ada.Guna memperoleh
keadaan yang ideal, maka diperlukan keadaan struktur panas yang dirasakan nyaman oleh
manusia.Dengan demikian, terdapat suatu korelasi antara komponen-komponen penyusun

23Ibid. hal 11.

10

struktur panas dalam suatu keadaan thermoscape tertentu, dan rasa panas oleh
manusia.Secara umum dinyatakan bahwa komponen-komponen dengan struktur panas rendah
dirasakan lebih nyaman dibandingkan dengan struktur panas yang lebih tinggi.
Sejumlah areal di perkotaan, dalam beberapa dasawarsa terakhir ini, ruang publik,
telah tersingkir akibat pembangunan gedung-gedung yang cenderung berpola “kontainer”
(container development) yakni bangunan yang secara sekaligus dapat menampung berbagai
aktivitas sosial ekonomi, seperti Mall, Perkantoran, Hotel, dan lain sebagainya. Hal ini tentunya
berpeluang menciptakan kesenjangan antar lapisan masyarakat. Hanya orang-orang kelas
menengah ke atas saja yang “percaya diri” untuk datang ke tempat-tempat semacam itu.
Kebijaksanaan pertanahan di perkotaan yang sejalan dengan aspek lingkungan hidup
adalah jaminan terhadap kelangsungan ruang terbuka hijau. Ruang terbuka hijau ini
mempunyai fungsi “hidro-orologis”, nilai estetika dan seyogyanya sekaligus sebagai wahana
interaksi sosial bagi penduduk di perkotaan. Taman-taman di kota menjadi wahana bagi
kegiatan masyarakat untuk acara keluarga, bersantai, olah raga ringan dan lainnya. Demikian
pentingnya ruang terbuka hijau ini, maka hendaknya semua pihak yang terkait harus
mempertahankan keberadaannya dari keinginan untuk merobahnya. 24

Saat ini Kota Yogyakarta dapat dikatakan sebagai kota yang padat. Kepadatan
kota dikarenakan adanya pertambahan jumlah penduduk yang semakin meningkat
setiap tahunnya. Peningkatan ini, walaupun diiringi dengan pemekaran luas kota,
namun tidak mampu mencegah permasalahan yang muncul akibat dari pertambahan
penduduk. Tabel berikut menunjukkan pertambahan penduduk Kota Yogyakarta mulai
tahun 1969 sampai dengan tahun 2006.25
Tabel 1. Pertambahan Penduduk

Sumber: BPS Provinsi DIY terdapat di http://www.bps.go.id

24Op.Cit;Danisworo, M:1998

25Makalah, Muchammad Chusnan Aprianto, PENGHIJAUAN SEBAGAI SALAH SATU CARA MENGATASI
PERMASALAHAN KOTA Yogyakarta: info penghijauan, Senin, 30 Maret 2009.

11

Keterbatasan

lahan

dan

peningkatan

jumlah

penduduk

setiap

tahun

menyebabkan kota menjadi padat. Akhirnya, kedua faktor tersebut dapat menimbulkan
kekumuhan kota. Aktivitas kota akan mempengaruhi kualitas lingkungan perkotaan.
Kota dengan kegiatan industri, perdagangan, dan jasa yang intensif akan menimbulkan
permasalahan lingkungan. Kompetisi penggunaan lahan yang terjadi antara guna lahan
dengan fungsi ekonomis, seperti perdagangan dan jasa, industri serta pemukiman,
mendesak keberadaan ruang terbuka bervegetasi.
Kurangnya RTH akibat peningkatan jumlah

penduduk

menyebabkan

berkurangnya lahan untuk vegetasi. Lahan bervegetasi diganti dengan permukiman,
gedung-gedung, dan industri untuk memenuhi kebutuhan penduduk kota. Penggunaan
lahan Kota Yogyakarta pada tahun 2005, dominasi penggunaan lahan adalah lahan
bukan sawah yaitu seluas 3.250 Ha (96,25%), sedangkan untuk lahan sawah hanya
seluas 123 Ha (3,75%). Kecamatan yang masih mempunyai lahan sawah adalah
Kecamatan Mantrijeron sebesar 4 Ha (3,28%), Mergangsan 5 Ha (4,10%), Umbulharjo
61 Ha (50%), Kotagede 26 Ha (21,31%) dan Tegalrejo 26 Ha (21,31%) (Lampiran Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Kota Yogyakarta 2005-2025).26
Ruang terbuka hijau yang sempit menyebabkan radiasi panas dari sinar matahari
tidak dipantulkan, namun langsung diserap oleh gedung-gedung, dinding, dan atap.
Sarana dan prasarana seperti fasilitas gedung, jalan, pertokoan, permukiman, pabrik
menyebabkan berkurangnya jumlah ruang vegetasi di kota. Sarana transportasi yang
semakin meningkat menyebabkan naiknya kuantitas gas CO2. Sedikit ruang vegetasi
yang

ada

menyebabkan

berkurangnya

penyerapan

CO2,

akibatnya

terjadi

ketidakseimbangan komposisi udara. Hal ini mengakibatkan suhu permukaan
meningkat 10 s.d. 20oC dari suhu udara ambient (Heidt dan Neef 2006). 27
Besarnya jumlah penduduk, banyaknya bangunan-bangunan, kendaraan
bermotor yang memacetkan jalan, dan kebisingan menyebabkan Kota Yogyakarta terasa
semakin sesak dan tidak nyaman. Dalam melakukan kegiatan sehari-hari, suatu hal yang
sangat diperhatikan adalah kenyamanan dalam melakukan suatu kegiatan, apalagi jika
berhubungan dengan kegiatan kesenangan atau bermain maka faktor kenyamanan
26 Op.Cit, Muchammad Chusnan Aprianto: Maret 2009.
27 Ibid: Maret 2009.

12

merupakan prioritas yang sangat penting. Sebagian besar kota di Indonesia saat ini
dirasakan tidak nyaman, penuh kebisingan, panas waktu siang hari, polusi udara, banjir
jika musim penghujan. Salah satu penyebabnya adalah hilangnya salah satu daya
dukung lingkungan.
Peningkatan suhu udara di perkotaan terjadi akibat meluasnya areal terbangun
sebagai hasil dari proses urbanisasi yang intensif. Kota akan menyimpan dan
melepaskan panas di siang hari dan malam hari. Pada malam hari kota menjadi lebih
panas dibanding daerah sekitarnya dan terjadi efek pulau bahang atau urban heat
island.

2.

Solusi Bagi Pembangunan RTH di Kota Yogyakarta
Dengan menimbang persoalan-persoalan diatas, maka Walikota Yogyakarta
membuat KEPUTUSAN WALIKOTA YOGYAKARTA NOMOR 619 / KEP / 2007, Tentang
Rencana Aksi Daerah Peningkatan Kualitas Lingkungan Kota Yogyakarta Tahun 2007 –
2011. Dalam surat Keputusan ini Walikota menetapkan hal-hal sebagai berikut: 28

Rencana Aksi Daerah (RAD) Peningkatan Kualitas Lingkungan Kota Yogyakarta
Tahun 2007-2011 adalah Dokumen Perencanaan Program Terpadu yang bersifat
Lintas sektor dan lintas wilayah serta meliputi aspek social, ekonomi,
lingkungan, budaya, kesehatan masyarakat dan penduduk untuk kurun waktu
5 (lima) tahun, terhitung mulai tahun 2007 sampai dengan tahun 2011,


sebagaimana terlampir dalam Keputusan ini.
RAD Peningkatan Kualitas Lingkungan Kota Yogyakarta Tahun 2007-2011
dimaksudkan sebagai pedoman dan informasi bagi para pemangku kepentingan
dalam membuat komitmen pada program prioritas yang bersifat lintas sektor



dan lintas wilayah.
Penjabaran RAD Peningkatan Kualitas Lingkungan Kota Yogyakarta Tahun
2007-2011 akan ditindaklanjuti setiap

tahunnya dalam

Rencana

Kerja

Pemerintah Daerah (RKPD) Kota Yogyakarta dan Rencana Kerja Satuan Kerja
Perangkat Daerah (Renja SKPD).
28 KEPUTUSAN WALIKOTA YOGYAKARTA NOMOR 619 / KEP / 2007, Tentang Rencana Aksi Daerah Peningkatan
Kualitas Lingkungan Kota Yogyakarta, Tahun 2007 – 2011

13



Menunjuk Asisten Pembangunan dibantu Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota
Yogyakarta untuk mengkoordinasikan dan memantau pelaksanaan program dan
kegiatan pada Rencana Aksi Daerah ini.
Pembangunan dan pengelolaan RTH wilayah perkotaan harus menjadi

substansiyang terakomodasi secara hierarkial dalam perundangan dan peraturan serta
pedoman di tingkat nasional dan daerah/kota. Untuk tingkat daerah baik provinsi
maupun kabupaten/kota, permasalahan RTH menjadi bagian organik dalam Rencana
Tata Ruang Wilayah dan subwilayah yang diperkuat oleh peraturan daerah.
Dalam pelaksanaannya, pembangunan dan pengelolaan RTH juga mengikut
sertakan masyarakat untuk meningkatkan apresiasi dan kepedulian mereka terhadap,
terutama, kualitas lingkungan alami perkotaan, yang cenderung menurun.
Beberapa action plan yang dapat dilaksanakan, adalah:29
o Suboptimalisasi RTH, action plan yang disarankan:
a.

Penyusunan kebutuhan luas minimal/ideal RTH sesuai tipologi kota;

b.

Penyusunan indikator dan tolak ukur keberhasilan RTH suatu kota; dan

c.

Rekomendasi penggunaan jenis-jenis tanaman dan vegetasi endemik serta
jenis-jenis unggulan daerah untuk penciri wilayah dan untuk meningkatkan
keaneka ragaman hayati secara nasional.

o Keterbatasan lahan perkotaan untuk peruntukan RTH, action plan yang
disarankan:
a. Peningkatan fungsi lahan terbuka kota menjadi RTH;
b. Peningkatan luas RTH privat; dan
c. Pilot project RTH fungsional untuk lahan-lahan sempit, lahan-lahan marjinal,
dan lahan-lahan yang diabaikan.
Bentuk praksis untuk memaksimalkan lahan-lahan yang ada di kota Yogyakarta,
maka sangat penting sekali untuk dilkukan penghijauan yang akan sangan memberikan
manfaat bagi masyarakat kota Yogyakarta, seperti mengurangi efek urban heat island.
Serta tumbuhan dan air akan mengurangi panas melalui evapotranspirasi yang

29 Dep PU/RTH Wilayah Perkotaan/LPL-301105.

14

dilakukan. Penambahan luas permukaan untuk vegetasi dapat menurunkan suhu
maksium udara.
Intruksi Menteri Dalam Negeri No. 14 Tahun 1988 mengemukakan bahwa ruang
terbuka hijau mempunyai manfaat sebagai berikut:
1) Memberikan kesegaran, kenyamanan, dan keindahan lingkungan;
2) Memberikan lingkungan bersih dan sehat; dan
3) Memberikan hasil produksi berupa kayu, daun, bunga, biji, serta buah atau hasil
lainnya.
 Manfaat dari segi fisik
Manfaat dari segi ini dapat langsung dirasakan. Manfaat yang dapat langsung
dirasakan adalah menciptakan iklim mikro di dalam perkotaan. Rumput-rumputan
walaupun tergolong tanaman bawah, namun memiliki peranan untuk merubah
komposisi CO2 udara sekitar, presipitasi, dan suhu sekitar dalam kisaran kecil. 30
Contah lain adalah Kota Guangzhou, Cina. Kota Guangzhou adalah kota yang
terletak di Selatan Cina yang mengalami pertumbuhan kota yang pesat sejak tahun
1980an. Pertumbuhan kota ini menyebabkan ruang terbuka dimanfaatkan sebagai
sarana pendukung kegiatan penduduk seperti permukiman atau gedung-gedung.
Hal ini menciptakan perubahan iklim mikro dalam kota sehingga kota menjadi
panas (urban heat islands)31.
Udara alami yang bersih sering dikotori oleh debu, baik yang dihasilkan oleh
kegiatan alami maupun kegiatan manusia. Dengan adanya hutan kota, partikel
padat yang tersuspensi pada lapisan biosfer bumi akan dapat dibersihkan oleh
tajuk pohon melalui proses jerapan dan serapan. Dengan adanya mekanisme ini
jumlah debu yang melayang-layang di udara akan menurun. Partikel yang
melayang-layang di permukaan bumi sebagian akan terjerap (menempel) pada
permukaan daun, khususnya daun yang berbulu dan yang mempunyai permukaan
yang kasar dan sebagian lagi terserap masuk ke dalam ruang stomata daun. Ada
juga partikel yang menempel pada kulit pohon, cabang dan ranting.32
Tabel 2. Kemampuan Tanaman Menyerap Debu:33

30 Op.Cit, Muchammad Chusnan Aprianto: Maret 2009.
31 Ibid: Maret 2009.
32 Ibid: Maret 2009.
33 Ibid: Maret 2009.

15

Daun yang berbulu dan berlekuk seperti halnya daun Bunga Matahari dan Kersen
mempunyai kemampuan yang tinggi dalam menjerap partikel dari pada daun yang
mempunyai permukaan yang halus. Manfaat dari adanya tajuk hutan kota ini
adalah menjadikan udara yang lebih bersih dan sehat, jika dibandingkan dengan
kondisi udara pada kondisi tanpa tajuk dari hutan kota.34
Penghijauan atau hutan kota dapat mengurangi efek pulau bahang. Vegetasi
mengurangi efek ini melalui penyerapan sumber-sumber pencemar. Penelitian di
Toronto tahun 2005 membuktikan bahwa vegetasi dapat mengurangi sumbersumber pencemar NO2, S02, CO, PM10 and ozon. Rumput di atap dapat menyerap
CO 0,14 - 0,35 Mg, menyerap NO2 0,65 - 1,60 Mg, menyerap ozon 1,27 - 3,1 Mg,
menyerap PM10 0,88 - 2,17 Mg, menyerap SO2 0,25 - 0,61 Mg. Pohon mampu
menyerap CO 0,06 - 0,57 Mg, NO2 0,62 - 3,74 Mg, ozon 1,09 - 7,4 Mg, PM10 1,37 5,57 Mg, dan SO2 0,23 - 1,37 Mg.35
Ruang terbuka hijau berupa hutan kota mampu mereduksi kebisingan, tergantung
dari jenis spesies, tinggi tanaman, kerapatan dan jarak tumbuh, dan faktor iklim
yaitu suhu, kecepatan angin, dan kelembaban. Penelitian di hutan kota Sabilal
Muhtadin Banjarmasin (luas ± 2,5 ha) menunjukkan bahwa hutan kota mampu
menurunkan kebisingan. dengan luas areal penghijauan. Penurunan kebisingan
dari titik 1 (di luar areal hutan kota) dengan kebisingan dititik ukur 2 ( di dalam
hutan kota) sebesar 7,51 dB atau 12,74 %, penurunan kebisingan titik ukur 1 dan
titik ukur 3 adalah sebesar 10,58 dB atau 17,95 %, dan penurunan kebisingan dari
titik ukur 2 ke titik ukur 3 sebesar 3,07 dB atau 5,96 %, berarti penurunan rata rata

34 Ibid, Dahlan dan Endes 1992 dalam Muchammad Chusnan Aprianto: Maret 2009.
35Ibid, Currie dan Bass 2005 dalam Muchammad Chusnan Aprianto: Maret 2009.

16

kebisingan di luar hutan kota dengan kebisingan di dalam hutan kota sebesar 12,07
%.36

 Manfaat dari segi sosial
Keuntungan sosial dari penghijauan dapat dirasakan oleh individual, sebuah
organisasi, atau seluruh penduduk. Pemandangan ruang hijau dapat meningkatkan
produktivitas kerja, mengurangi kekerasan rumah tangga, dapat mempercepat
penyembuhan. Keuntungan ruang hijau juga dirasakan oleh organisasi. Pekerja
yang di ruangan sekitanya terdapat pemandangan hijau vegetasi memiliki
produktivitas kerja yang lebih tinggi, dan supervisor menyatakan bahwa pekerjanya
lebih produktif.
Sebagian besar keuntungan penghijauan/lingkungan hijau terukur pada tingkat
individu. Pemandangan vegetasi dan air telah dibuktikan mengurangi stres,
meningkatkan penyembuhan, dan mengurangi penderita frustasi dan agresi.
Pemandangan ruang hijau di rumah juga terkait dengan rasa kasih sayang yang
tinggi dan kepuasan tetangga.
Tinggal dan bermain di tempat hijau/bervegetasi dapat sangat bermanfaat bagi
anak-anak. Bermain di tempat hijau dengan pohon dan vegetasi dapat mendukung
perkembangan kemampuan dan kognitif anak. Hidup dalam lingkungan
bervegetasi dapat memperbaiki prestasi sekolah siswa dan mengurangi laporan
kekerasan dalam rumahtangga.37
Kualitas lingkungan fisik permukiman seperti lingkungan bervegetasi atau
tanaman, banyaknya penyinaran matahari, dan sedikitnya kebisingan memiliki
kaitan erat dengan umur panjang penduduk. Faktor ruang hijau dan jalan
bervegetasi dekat permukiman secara signifikan mempengaruhi kelangsungan
hidup 5 tahun penduduk dan ini tidak tergantung pada usia penduduk, jenis

36 Ibid, Zulfahani et.al. 2005 dalam Muchammad Chusnan Aprianto: Maret 2009.
37 Ibid, Westphal 2003 dalam Muchammad Chusnan Aprianto: Maret 2009.

17

kelamin, status perkawinan, prilaku terhadap komunitasnya, dan status sosial
ekonomi.38

F. KESIMPULAN
Permasalahan yang selalu ada di kota adalah pertambahan penduduk setiap tahun.
Pertambahan ini menyebabkan peningkatan sarana penunjang berupa kendaraan bermotor
dan gedung/bangunan. Sarana ini menyebabkan masalah pada kondisi fisik kota. Masalah
yang muncul adalah terciptanya efek pulau bahang, udara kota yang tidak sehat, kebisingan,
dan ketidaknyamanan hidup di kota. Penghijauan mampu mengembalikan iklim mikro kota
sehingga menghilangkan efek pulau bahang. Vegetasi juga mampu menyerap debu dan
polutan yang dihasilkan kendaraan bermotor. Manfaat lain adalah vegetasi mampu
meredam kebisingan dan meningkatkan kenyamanan hidup di kota.
Rencana Aksi Daerah Peningkatan Kualitas Lingkungan merupakan dokumen aksi
yang digunakan untuk melaksanakan pembangunan sarana prasarana berkualitas.
Disamping disusun oleh semua pemangku kepentingan, RAD Peningkatan Kualitas
Lingkungan mempunyai landasan yang kuat serta saling mendukung antara RAD
dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah dan Rencana Pembangunan
Jangka

Panjang

Daerah

Kota

Yogyakarta.

Kunci

keberhasilan

pelaksanaan RAD

Peningkatan Kualitas Lingkungan adalah diperlukannya komitmen bersama yang serius,
terpadu, terkoordinasi dan konsisten serta dukungan anggaran dan SDM yang memadai.
Mekanisme penyusunan hingga pelaksanaan RAD Peningkatan KualitaLingkungan
dirumuskan menjadi beberapa langkah, yaitu:
a. Penyusunan

program

prioritas

untuk

peningkatan

kualitas

lingkungan,

dijabarkan ke dalam rencana aksi yang memuat kegiatan, instansi terkait dan
pendanaan.

38 Ibid, Takano et al. 2002 dalam Muchammad Chusnan Aprianto: Maret 2009.

18

b. Penjabaran

program

peningkatan

kualitas

lingkungan

ke

dalam

rencankegiatan diturunkan menjadi rencana tahunan tiap-tiap instansi terkait.
c. Pengalokasian anggarannya bersumber dari APBD dan APBN serta didukung
lembaga donor nasional maupun internasional maupun swadaya masyarakat.
d. Koordinasi instansional di tingkat daerah, antar daerah yang tergabung
dalam aglomerasi perkotaan, serta dengan pusat.
e. Pengawasan, pemantauan dan evaluasi dilaksanakan oleh instansi terkaitsesuai
dengan tugas pokok dan fungsinya.
f. Komitmen semua pihak dalam pelaksanaan rencana aksi akan menghasilkan
tujuan yang diharapkan dapat meningkatkan kualitas lingkungan.

19

Daftar Pustaka:
 Bulletin Penataanruang. Surakarta: Pemkot Surakarta. 2012
 Danisworo, M, , Makalah Pengelolaan kualitas lingkungan dan lansekap perkotaan di
indonesia dalam menghadapi dinamika abad XXI. 1998.
 Danoedjo,S., Menuju Standar Ruang Terbuka Hijau Di Kawasan Kota Dalam Rangka
Melengkapi Standar Nasional Indonesia. Jakarta; Direktur Jenderal Cipta Karya,
Departemen Pekerjaan Umum. 1990
 Diadopsi dari “CARE 1997 M&E Workshop Series”.
 Instruksi mendagri no.14/1988 Tentang Penataan ruang.
 LG. Saraswati dkk, Hak Asasi Manusia, Teori, Hukum, Kasus, Depok: Fiulsafat UI Press,
2006.
 Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Rake Sarasin, 2002.
 Newton N,T, 1971. Design On the Land. (The Development Of Landscape Architecture).
 Pemerintah Kotamadya DT II Surabaya, Langkah Kebijakan dan Pengalaman Praktis
Pengelolaan Ruang Terbuka Hijau Di Surabaya. Jakarta, 1990.
 Pedoman; Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan

(Permen PU No. 5 Tahun 2008)
 Rustam Hakim, Thesis Analisis Kebijakan Pengelolaan Ruang Terbuka Hijau Kota DKI
Jakarta, Institut Teknologi Bandung, 2000.
 Rooden Van FC dalam Grove dan Gresswell, 1983
 UU Nomor 26 Tahun 2007 Tetang Penataan Ruang
 UUPR no.24/1992 Tentan Penataan Ruang
 Rustam Hakim, Arsitektur Lansekap,Manusia, Alam dan Lingkungan, Jakarta: Bina
Aksara, 2004.
 Soemarwoto, O., Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Jakarta:Penerbit
Jambatan. 1983.

20