BAB II KAJIAN TEORI KEPEMIMPINAN DAN KON

D. Kepemimpinan

Kepemimpinan atau leadership mempunyai arti yang berbeda pada orang-orang yang berbeda. Kata ini merupakan suatu kata yang diambil dari kamus dan dimasukkan ke dalam kamus teknis sebuah disiplin ilmiah tanpa didefinisikan dengan tepat. Sebagai konsekuensinya, kata ini mempunyai konotasi-konotasi yang tidak saling berhubungan yang menciptakan ambivalensi pengertian (Janda, 1960). Para peneliti biasanya medefinisikan kepemimpinan sesuai dengan prespektif-prespektif individual dan aspek dari fenomena yang paling menarik perhatian mereka. Stogdill (1974: 259) menyimpulkan bahwa terdapat hampir sama banyaknya definisi tentang kepemimpinan dengan jumlah orang yang telah mendefinisikan konsep tersebut. Kepemimpinan telah didefinisiskan dalam kaitannya dengan ciri-ciri individual, perilaku, pengaruh terhadap orang lain, pola-pola interaksi, hubungan peran, tempatnya pada posisi administratif, serta persepsi oleh orang lain mengenai keabsahan dari pengaruh.

Namun demikian, ada beberapa definisi kepemimpinan yang dapat dianggap cukup mewakili yaitu sebagai berikut:

a) Hemhill dan Coons (1957: 7) mendefinisikan kepemimpinan sebagai perilaku dari seorang individu yang memimpin aktivitas-aktivitas suatu kelompok ke suatu tujuan yang ingin dicapai bersama (shared goal).

b) Tannenbaum, Weschler, dan Massarik (1961: 24) menyimpulkan bahwa kepemimpinan adalah pengaruh antar pribadi yang dijalankan dalam suatu situasi tertentu, serta diarahkan melalui proses komunikasi ke arah pencapaian satu atau beberapa tujuan tertentu.

c) Katz dan Kahn (1978: 528) menyatakan bahwa kepemimpinan adalah peningkatan pengaruh sedikit demi sedikit pada dan berada di atas kepatuhan mekanis terhadap pengarahan-pengarahan rutin organisasi.

d) Rauch dan Behling (1984: 46) mendefinisikan kepemimpinan sebagai proses mempengaruhi aktivitas-aktivitas sebuah kelompok yang diorganisasi ke arah pencapaian tujuan.

e) Jacobs dan Jacques (1990: 281) mendefinisikan kepemimpinan sebagai sebuah proses memberi arti (pengarahan yang berarti) terhadap usaha kolektif, dan yang mengakibatkan kesediaan untuk melakukan usaha yang diinginkan untuk mencapai sasaran.

Definisi-definisi di atas mencerminkan bahwa kepemimpinan itu menyangkut sebuah proses pengaruh sosial yang dalam hal ini pengaruh yang disengaja dijalankan oleh seseorang terhadap orang lain untuk menstruktur atau mengorganisir aktivitas-aktivitas serta hubungan-hubungan di dalam sebuah kelompok atau organisasi. Berbagai definisi yang telah ditawarkan di atas kelihatannya tidak berisi hal-hal selain itu. Hanya saja menurut Yukl (1998: 2) definisi-definisi tersebut perbeda dalam berbagai aspek, termasuk di dalamnya siapa yang menggunakan pengaruh, sasaran yang ingin diperoleh Definisi-definisi di atas mencerminkan bahwa kepemimpinan itu menyangkut sebuah proses pengaruh sosial yang dalam hal ini pengaruh yang disengaja dijalankan oleh seseorang terhadap orang lain untuk menstruktur atau mengorganisir aktivitas-aktivitas serta hubungan-hubungan di dalam sebuah kelompok atau organisasi. Berbagai definisi yang telah ditawarkan di atas kelihatannya tidak berisi hal-hal selain itu. Hanya saja menurut Yukl (1998: 2) definisi-definisi tersebut perbeda dalam berbagai aspek, termasuk di dalamnya siapa yang menggunakan pengaruh, sasaran yang ingin diperoleh

Beberapa definisi kepemimpinan tersebut menunjukkan bahwa definisi secara tunggal (a single definition of leadership) sangat sulit ditentukan dan tidak ada definisi yang paling tepat. Tetapi dari perbedaan yang ada, kita bisa menarik akar definisi kepemimpinan sebagai suatu proses dan perilaku untuk mempengaruhi aktivitas para anggota kelompok untuk mencapai tujuan bersama yang dirancang untuk memberikan manfaat individu dan organisasi.

Di dalam Islam kepemimpinan disebut dengan “Imamah”, berasal dari kata dasar “Imam” yang artinya pemimpin, seperti ketua atau yang lainnya, baik dia memberikan petunjuk ataupun menyesatkan. Imam juga disebut khalifah, yaitu penguasa dan pemimpin-pemimpin rakyat (Salus, 1997: 15). Dengan demikian hakekat kepemimpinan di dalam Islam adalah untuk mewujudkan khilafah di muka bumi demi terwujudnya kebaikan dan reformasi (Mahdi, 2001: 2). Sebagaimana firman Allah dalam surat al-Nahl ayat 36:

Artinya: Dan sungguhnya kami Telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu...(al- Nahl (18): 36).

Ayat tersebut menjelaskan bahwa tidak ada satupun umat yang eksis kecuali Allah mengutus orang yang mengoreksi akidah dan meluruskan Ayat tersebut menjelaskan bahwa tidak ada satupun umat yang eksis kecuali Allah mengutus orang yang mengoreksi akidah dan meluruskan

Artinya: Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, Kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya (al-Nisa’(4):65)

Demikian juga diutusnya Rasul ke muka bumi juga untuk memimpin umat dan mengeluarkannya dari kegelapan menuju pada kebenaran. Mengenai kepemimpinan ini Rasulullah Saw memberikan petunjuk dalam sabdanya yang artinya: “Apabila tiga orang keluar untuk melakukan sesuatu perjalanan, maka

hendaklah mereka mengangkat salah satu seorang di antara mereka sebagai pemimpin” (HR. Abu Daud).

Hadits tersebut memberikan konstribusi besar pada kebutuhan kepemimpinan baik dalam kegiatan, perkumpulan, lebih-lebih dalam lembaga atau organisasi. Ibnu Taimiyah (dalam Mahdi, 2001: 3) mengatakan bahwa memimpin urusan manusia termasuk sebuah kewajiban terbesar agama, bahkan tidak akan tegak agama kecuali dengannya.

Dalam Islam pemimpin merupakan sebuah kewajiban yang harus dilaksanakan bagi mereka yang mampu dan akan dimintai pertanggung jawaban, sebab dengan seorang pemimpin yang bertanggung jawab, maka agama akan menjadi tegak. Imam al-Ghazali (dalam Mahdi, 2001: 3) menuturkan betapa besar

Ini banyak dialami dalam pendidikan, yang nantinya akan melahirkan pemimpin. Oleh karenanya seorang pelajar/mahasiswa harus mempunyai pembimbing yang mampu menunjukkan jalan yang benar di jalan Allah, sehingga jika mereka kelak menjadi pemimpin, ia siap mengajak bawahannya menuju jalan yang benar.

Dengan demikian kepemimpinan dalam Islam adalah perilaku interaktif yang mampu mempengaruhi perilaku individu-individu untuk menunaikan tugasnya dalam rangka memberikan arahan, petunjuk yang lebih baik dalam mewujudkan target umat, mengembangkan, memegang, teguh dan menjaga kekuatan yang diamanahkan.

Ketika beberapa logika dasar definisi kepemimpinan di atas diturunkan lebih dalam, maka akan didapatkan implikasi mendasar dan tatanan menarik dari sebuah konsep kepemimpinan. Kepemimpinan adalah sebuah proses pembelajaran dan praktek, dia bukanlah sebuah posisi ataupun jabatan yang diberikan. Jabatan bisa kita dapatkan karena uang, hubungan kekeluargaan, ataupun kolusi (KKN). Tidak demikian dengan sebuah kepemimpinan. Kepemimpinan adalah sebuah proses yang akan membentuk seorang pemimpin dengan karakter dan watak jujur terhadap diri sendiri (integrity), bertanggungjawab yang tulus (compassion), pengetahuan (cognizance), keberanian bertindak sesuai dengan keyakinan (commitment), kepercayaan pada diri sendiri dan orang lain (confidence) dan kemampuan untuk meyakinkan orang lain (communication). Juga sebuah proses yang akan membentuk seorang pengikut (follower) yang didalam kepatuhannya kepada pemimpin, tetapi memiliki pemikiran kritis, inovatif, dan jiwa independen.

Kepemimpinan adalah aksi dan pengaruh yang berbasis ke logika dan juga inspirasi. Pemimpin bukanlah sosok commander data dalam star trek, yang selalu merespon permasalahan dengan prediksi logika dan data. Tiap-tiap manusia memiliki sisi rasional dan emosional yang membawa implikasi terjadinya perbedaan pemikiran, feelings, pengharapan, mimpi, kebutuhan, ketakutan, ambisi dan tujuan. Maka konsekuensinya, seorang pemimpin dituntut untuk cerdik menggunakan pendekatan rasional dan emosional untuk mempengaruhi pengikut, tentu dengan bobot yang adil dan disesuaikan dengan keadaan.

Mengenai kepemimpinan ini ada banyak teori yang telah dikemukakan oleh para pakar ilmu manajemen. Di antaranya adalah House (1977) yang mengajukan sebuah teori tentang kepemimpinan karismatik. Teori tersebut didasarkan pada hasil penemuan dari berbagai disiplin ilmu sosial. Menurutnya pemimpin karismatik mempunyai dampak yang dalam dan tidak biasa terhadap pengikutnya, mereka merasa bahwa keyakinan pemimpin tersebut adalah benar, mereka menerima pemimpin tanpa menanyakan lagi mereka tunduk pada pemimpin dengan rasa senang, mereka merasa sayang terhadap pemimpin, mereka terlibat secara emosional dalam misi kelompok atau organisasi, mereka percaya bahwa mereka dapat memberi konstribusi terhadap keberhasilan misi, dan mereka mempunyai tujuan-tujuan kinerja yang tinggi.

Adapun perilaku pemimpin karismatik tersebut adalah: (a) perilakunya dirancang untuk menciptakan kesan di antara pengikutnya bahwa

pemimpin tersebut adalah kompeten (memperlihatkan rasa percaya diri akan keberhasilan sebelumnya) untuk meningkatkan kesediaan pengikut agar patuh; (b) menekankan pada tujuan idiologis yang menghubungkan misi kelompok kepada nilai-nilai atau cita-cita serta aspirasi-aspirasi yang berakar dan mendalam yang dirasakan bersama oleh pengikutnya; (c) menetapkan suatu contoh perilaku mereka sendiri agar diikuti oleh pengikutnya. Peran yang demikian lebih dari sekedar imitasi terhadap perilaku pemimpin, untuk mempengaruhi agar bawahan puas dan termotivasi; (d) mengomunikasikan harapan-harapan yang tinggi tentang kinerja para pengikut dan mengekspresikan rasa percaya pada pengikut; dan (e) menimbulkan motivasi yang relevan bagi misi kelompok (Yukl, 1994: 269).

Burn (1978: 20) menawarkan teori kepemimpinan tranformasional, yaitu sebuah proses di mana para pemimpin dan pengikut saling menaikkan diri ke tingkat moralitas dan motivasi yang lebih tinggi. Pemimpin tersebut mencoba menimbulkan kesadaran dari pengikutnya dengan menyerukan cita- cita yang lebih tinggi dan nilai-nilai moral bukan didasarkan pada emosi, keserakahan, kecemburuan atau kebencian. Burn (1978: 440) menjelaskan bahwa kepemimpinan yang mentransformasi dapat dipandang sebagai sebuah proses pada tingkat mikro antara individu, dan sebagai sebuah proses pada tingkat makro dalam mobilisasi kekuasaan untuk mengubah sistem sosial dan memperbaiki lembaga-lembaga. Pada analasis tingkat makro, kepemimpinan transformasional menyangkut membentuk, mengekspresikan, dan menengahi konflik antara kelompok-kelompok sebagai tambahan terhadap motivasi Burn (1978: 20) menawarkan teori kepemimpinan tranformasional, yaitu sebuah proses di mana para pemimpin dan pengikut saling menaikkan diri ke tingkat moralitas dan motivasi yang lebih tinggi. Pemimpin tersebut mencoba menimbulkan kesadaran dari pengikutnya dengan menyerukan cita- cita yang lebih tinggi dan nilai-nilai moral bukan didasarkan pada emosi, keserakahan, kecemburuan atau kebencian. Burn (1978: 440) menjelaskan bahwa kepemimpinan yang mentransformasi dapat dipandang sebagai sebuah proses pada tingkat mikro antara individu, dan sebagai sebuah proses pada tingkat makro dalam mobilisasi kekuasaan untuk mengubah sistem sosial dan memperbaiki lembaga-lembaga. Pada analasis tingkat makro, kepemimpinan transformasional menyangkut membentuk, mengekspresikan, dan menengahi konflik antara kelompok-kelompok sebagai tambahan terhadap motivasi

Adapun perilaku kepemimpinan transformasional adalah: (a) karisma, perilaku pemimpin yang mempengaruhi para pengikutnya dengan menimbulkan emosi-emosi yang kuat dan identifikasi dengan pemimpin tersebut; (b) stimulasi intelektual (intelectual stimulation), perilaku pemimpin yang meningkatkan kesadaran para pengikut terhadap masalah-masalah dari sebuah perspektif yang baru; dan (c) perhatian yang individualisasi, pemimpim berperilaku memberi dukungan, membesarkan hati, dan memberikan pengalaman tentang pengembangan kepada para pengikut (Yukl, 1994: 297).

Pada setiap pemimpin transformasional keberhasilannya akan tergantung kepada sikap, nilai, dan ketrampilan pemimpin tersebut. Adapun atribut atau ciri-ciri pemimpin transformasional adalah: (a) mereka melihat diri mereka sebagai agen perubahan; (b) mereka adalah para pengambil resiko yang berhati-hati; (c) mereka yakin pada orang-orang dan sangat peka terhadap kebutuhan-kebutuhan mereka, (d) mereka mampu mengartikulasikan sejumlah nilai inti yang membimbing perilaku mereka; (e) mereka terbuka dan fleksibel terhadap pelajaran dan pengalaman; (f) mereka mempunyai ketrampilan kognitif dan yakin kepada pemikiran berdisiplin dan kebutuhan Pada setiap pemimpin transformasional keberhasilannya akan tergantung kepada sikap, nilai, dan ketrampilan pemimpin tersebut. Adapun atribut atau ciri-ciri pemimpin transformasional adalah: (a) mereka melihat diri mereka sebagai agen perubahan; (b) mereka adalah para pengambil resiko yang berhati-hati; (c) mereka yakin pada orang-orang dan sangat peka terhadap kebutuhan-kebutuhan mereka, (d) mereka mampu mengartikulasikan sejumlah nilai inti yang membimbing perilaku mereka; (e) mereka terbuka dan fleksibel terhadap pelajaran dan pengalaman; (f) mereka mempunyai ketrampilan kognitif dan yakin kepada pemikiran berdisiplin dan kebutuhan

Sedangkan beberapa teori tentang perilaku kepemimpinan, sebagaimana penelitian tentang kepemimpinan yang efektif telah didominasi oleh pengaruh dari studi-studi kepemimpinan dari Ohio State Uviversity. Dalam penelitian Fleishmen (1953), Halpin dan Winner (1957), menghasilkan perilaku kepemimpinan dalam dua dimensi, yaitu: concideration dan initiating structure. concideration adalah tingkat sejauh mana pemimpin bertindak dengan cara ramah dan mendukung bawahan, serta memperhatikan kesejahteraan mereka. Sedangkan initiating structure adalah sejauh mana seorang pemimpin menentukan dan menstruktur perannya sendiri dan peran bawahan ke arah pencapaian tujuan-tujuan formal kelompok atau pemimpin yang cenderung memperhatikan tugas.

Menurut Likert (dalam Yukl, 1998: 49) ada tiga kepemimpinan yang efektif, yaitu: (a) perilaku yang berorientasi pada tugas (task-oriented behavior); (b) perilaku yang berorientasi pada hubungan (relation-oriented behavior); dan (c) kepemimpinan partisipatif.

Sedangkan House dan Mitchell (1974) menyebutkan perilaku kepemimpinan yang efektif itu ada empat, yaitu:

a) Kepemimpinan instruksi (directive leadership), ciri-cirinya adalah: memberikan pedoman secara spesifik, memberikan kejelasan peran dan tugas, meminta bawahan untuk mengikuti peraturan, prosedur, mengatur waktu, dan mengkoordinasi pekerjaan mereka.

b) Kepemimpinan yang mendukung (supportive leadership), ciri-cirinya adalah memberi perhatian pada kebutuhan bawahan, memperlihatkan perhatian terhadap kesejahteraan mereka dan menciptakan suasana bersahabat dalam unit kerja.

c) Kepemimpinan partisipasi (participative leadership), ciri-cirinya adalah berkomunikasi dengan bawahan dan memperhitungkan opini serta saran mereka, bawahan memiliki kemampuan rendah namun memiliki kemauan kerja tinggi.

d) Kepemimpinan yang berorientasi pada keberhasilan (achievement oriented ledership), ciri-cirinya adalah menetapkan tujuan-tujuan yang menantang, mencari perbaikan dalam kinerja, menekankan keunggulan kinerja, serta memperlihatkan kepercayaan bahwa bawahan akan mencapai standar yang tinggi. Penerapannya bagi bawahan yang memiliki kemampuan dan kemauan tinggi.

Dijelaskan lebih lanjut oleh Yukl (1998: 13) bahwa perilaku dalam menerima tugas dari pimpinan menurutnya ada tiga, yaitu:

a) Komitmen merupakan suatu hasil yang dituju, sepakat pada suatu keputusan yang telah diberikan atasannya.

b) Kepatuhan merupakan suatu hasil yang di dalam target bersedia untuk melakukan apa yang diberikan atasannya.

c) Penolakan merupakan suatu penghindaran terhadap tugas yang diberikan. Di dalam teori Islam sendiri, seorang pemimpin harus memiliki power/pengaruh, di antaranya adalah: c) Penolakan merupakan suatu penghindaran terhadap tugas yang diberikan. Di dalam teori Islam sendiri, seorang pemimpin harus memiliki power/pengaruh, di antaranya adalah:

b) Power legislative (pembuat hukum), yaitu pengaruh untuk mengatur hubungan antar kelompok.

c) Power pembuat keputusan, yaitu pengaruh untuk melerai perselisihan yang terjadi dalam penerapan hukum (Taufiq, 2004: 36).

Susunan pengaruh tersebut harus dilaksanakan dengan tertib dan cocok diterapkan dalam sebuah lembaga, keluarga, perusahaan dan bahkan negara. Allah telah memberikan tiga kekuatan pengaruh seperti itu kepada Nabi Daud a.s sebagaimana firman-Nya dalam surat al-Shaad ayat 20:

Artinya: ”Dan kami kuatkan kerajaannya dan kami berikan kepadanya hikmah dan kebijaksanaan dalam menyelesaikan perselisihan” (al-Shaad (38): 20).

Pertama, Allah menguatkan kerajaan Daud dengan membekalinya kharisma dan kewibawaan (power pelaksanaan). Kedua, Allah membekali Daud dengan hikmah berupa hukum atau perundang-undangan yang mengatur hak dan kewajiban. Berdasarkan hikmah ditentukan perbuatan mana yang harus dikerjakan (power pembuat hukum). Ketiga, Allah membekali Daud tata cara dalam pengambilan keputusan dengan merinci penjelasan antara yang hak dan yang batil (power penentu keputusan).

Kepemimpinan dapat ditelaah dari berbagai segi tergantung dari konsep gaya kepemimpinan yang menjadi dasar sudut pandang. Karena Kepemimpinan dapat ditelaah dari berbagai segi tergantung dari konsep gaya kepemimpinan yang menjadi dasar sudut pandang. Karena

Gaya kepemimpinan merupakan norma perilaku yang digunakan oleh seseorang pada saat orang tersebut mencoba mempegaruhi perilaku orang lain seperti yang ia lihat (Thoha, 2003: 49). Dalam hal ini usaha menselaraskan persepsi di antara orang yang akan mempengaruhi perilaku dengan orang yang perilakunya akan dipengaruhi menjadi amat penting kedudukannya. Pada suatu proses kepemimpinan berlangsung, seorang pemimpin mengaplikasikan suatu gaya kepemimpinan tertentu. Gaya kepemimpinan yang efektif merupakan gaya kepemimpinan yang dapat mempengaruhi, mendorong, mengarahkan dan menggerakkan orang-orang yang dipimpin sesuai dengan situasi dan kondisi supaya mereka mau bekerja dengan penuh semangat dalam mencapai tujuan organisasi.

Selama bertahun-tahun ketika orang-orang membicarakan gaya kepemimpinan, mereka mengidentifikasi dua kategori gaya yang ekstrim yakni: gaya kepemimpinan otokratis, dan gaya kepemimpinan demokratis. Kepemimpinan otokratis dipandang sebagai gaya yang berdasar atas kekuatan posisi dan penggunaan otoritas. Sementara itu gaya kepemimpinan demokratis dikaitkan dengan kekuatan personal dan keikutsertaan para pengikut dalam proses pemecahan masalah dan pengambilan keputusan. Tannenbaum dan Schmidt (1958: 96), berargumentasi bahwa gaya kepemimpinan otokratis dan Selama bertahun-tahun ketika orang-orang membicarakan gaya kepemimpinan, mereka mengidentifikasi dua kategori gaya yang ekstrim yakni: gaya kepemimpinan otokratis, dan gaya kepemimpinan demokratis. Kepemimpinan otokratis dipandang sebagai gaya yang berdasar atas kekuatan posisi dan penggunaan otoritas. Sementara itu gaya kepemimpinan demokratis dikaitkan dengan kekuatan personal dan keikutsertaan para pengikut dalam proses pemecahan masalah dan pengambilan keputusan. Tannenbaum dan Schmidt (1958: 96), berargumentasi bahwa gaya kepemimpinan otokratis dan

Gaya kepemimpinan kontinum sebenarnya termasuk klasik. Orang yang pertama kali mengenalkan ialah Robert Tannenbaum dan Warren Schmidt, kedua ahli ini menggambarkan gagasannya sebagaimana pada gambar berikut:

Kepemimpina

Kepemimpina

Terpusat pada atasan Terpusat pada bawahannya

Penggunaan otoritas oleh pemimpin

Daerah kebebasan untuk bawahan

Pemimpin Pemimpin membuat

Pemimpin Pemimpin

merumuskan mengizinkan keputusan

batas- bawahan dan

mengumumk pertanyaan

sementara

meminta

batasnya untuk

meminta melakukan annya

yang bisa

saran-saran

diubah

dan membuat

pada fungsi dalam

untuk yang telah membuat

Dereta

Perilaku

Membaca gambar di atas, dapat dipahami bahwa ada dua bidang pengaruh yang ekstrem. Pertama bidang pengaruh pimpinan, dan kedua Membaca gambar di atas, dapat dipahami bahwa ada dua bidang pengaruh yang ekstrem. Pertama bidang pengaruh pimpinan, dan kedua

a) Pemimpin membuat keputusan dan kemudian mengumumkan kepada bawahannya. Model ini terlihat bahwa otoritas yang digunakan atasan terlalu banyak, sedangkan daerah kebebasan bawahan sempit sekali.

b) Pemimpin menjual keputusan. Dalam hal ini pemimpin masih terlihat banyak menggunakan otoritas yang ada padanya, sehingga persisi dengan model yang pertama. Bawahan di sini belum banyak terlibat dalam pembuatan keputusan.

c) Pemimpin memberikan pemikiran-pemikiran atau ide-ide dan mengundang pertanyaan-pertanyaan. Dalam model ini pemimpin sudah menunjukkan kemajuan, dibatasinya penggunaan otoritasnya dan diberi kesempatan bawahan untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Bawahan sudah sedikit terlibat dalam rangka pembuatan keputusan.

d) Pemimpin memberikan keputusan bersifat sementara yang kemungkinan dapat diubah. Bawahan sudah mulai banyak terlibat dalam rangka pembuatan keputusan, sementara otoritas pemimpin sudah mulai dikurangi penggunaannya.

e) Pemimpin memberikan persoalan, meminta saran-saran, dan membuat keputusan. Model ini sudah jelas, otoritas pemimpin dipergunakan sedikit mungkin, sebaliknya kebebasan bawahan dalam berpartisipasi membuat keputusan sudah banyak dipergunakan.

f) Pemimpin merumuskan batas-batasnya, dan meminta kelompok bawahan untuk membuat keputusan. Partisipasi bawahan dalam kesempatan ini lebih besar dalam model kelima di atas.

g) Pemimpin mengizinkan bawahan melakukan fungsi-fungsinya dalam batas-batas yang telah dirumuskan oleh pemimpin. Model ini terletak pada titik ekstrem penggunaan kebebasan bawahan, adapun titik ekstrem penggunaan otoritas tercermin pada model pertama di atas.

Sedangkan Hersey dan Blanchard (1982) mengidentifikasi bahwa gaya kepemimpinan yang efektif itu ada empat, yaitu:

a) Gaya instruktif, penerapannya pada bawahan yang masih baru atau bertugas. Adapun ciri-ciri gaya kepemimpinan instruktif ini adalah: Ciri- ciri gaya kepemimpinan instruktif: (1) memberi pengarahan secara spesifik tentang apa, bagaimana, dan kapan kegiatan dilakukan; (2) kegiatan lebih banyak diawasi secara ketat; (3) kadar direktif tinggi; (4) kadar semangat rendah; (5) kurang dapat meningkatkan kemampuan pegawai; (6) kemampuan motivasi rendah; dan (7) tingkat kematangan bawahan rendah.

b) Gaya konsultatif, penerapannya pada bawahan yang memiliki kemampuan tinggi namun kemauan rendah. Ciri-cirinya adalah: (1) kadar direktif rendah; (2) semangat tinggi; (3) komunikasi dilakukan secara timbal balik;

(4) masih memberikan pengarahan yang spesifik; (5) pimpinan secara bertahap memberikan tanggung jawab kepada pegawai walaupun bawahan masih dianggap belum mampu; dan (6) tingkat kematangan bawahan rendah ke sedang.

c) Kepemimpinan partisipatif, juga dikenal dengan istilah kepemimpinan terbuka, bebas, non directive. Orang yang menganut pendekatan ini hanya sedikit memegang kendali dalam proses pengambilan keputusan. Ia hanya menyajikan informasi mengenai sesuatu permasalahan dan memberikan kesempatan kepada anggota tim untuk mengembangkan strategi dan pemecahannya. Tugas pemimpin adalah mengerahkan tim kepada tercapainya konsensus. Asumsi yang mendasari gaya kepemimpinan ini adalah bahwa para karyawan akan lebih siap menerima tanggung jawab terhadap solusi, tujuan dan strategi di mana mereka diberdayakan untuk mengembangkannya. Kritik terhadap pendekatan ini adalah bahwa pembentukan konsensus banyak membuang waktu dan hanya berjalan bila semua orang yang terlibat memiliki komitmen terhadap kepentingan utama organisasi.

Gaya partisipatif, penerapannya pada bawahan yang memiliki kemampuan rendah, namun memiliki memiliki kemauan kerja tinggi. Ciri-cirinya adalah: (a) pemimpin melakukan komunikasi dua arah; (b) secara aktif mendengar dan respon segenap kesukaran bawahan; (c) mendorong bawahan untuk menggunakan kemampuan secara operasional; (d) melibatkan bawahan dalam pengambilan keputusan; (e) mendorong Gaya partisipatif, penerapannya pada bawahan yang memiliki kemampuan rendah, namun memiliki memiliki kemauan kerja tinggi. Ciri-cirinya adalah: (a) pemimpin melakukan komunikasi dua arah; (b) secara aktif mendengar dan respon segenap kesukaran bawahan; (c) mendorong bawahan untuk menggunakan kemampuan secara operasional; (d) melibatkan bawahan dalam pengambilan keputusan; (e) mendorong

d) Gaya delegatif, penerapannya bagi bawahan yang memiliki kemampuan dan kemauan tinggi. Ciri-ciri gaya kepemimpinan delegatif adalah: (1) memberikan pengarahan bila diperlukan saja; (2) memberikan semangat dianggap tidak perlu lagi; (3) penyerahan tanggung jawab kepada bawahan untuk mengatasi dan menyelesaikan tugas; (4) tidak perlu memberi motivasi; dan (5) tingkat kematangan bawahan tinggi (Burhanuddin, 1994).

E. Konflik

5. Definisi Konflik

Dalam keberadaan bersama dan kehidupan bermasyarakat dengan orang lain, friksi atau gesekan, perselisihan, tabrakan, pertikaian dan konflik itu merupakan bagian hakiki dari kehidupan. Karena itu juga menjadi garapan bagi manajemen atau kepemimpinan. Demikian juga Hendrick (2001: 1) menyatakan bahwa konflik adalah sesuatu yang tidak bisa dihindarkan, konflik selalu melekat erat dalam jalinan kehidupan. Umat manusia selalu berjuang dengan konflik. Oleh karenanya sampai sekarang kita dituntut untuk memperhatikan konflik, kita memerlukan jalan untuk meredam konflik.

Konflik (dari kata confligere, conflictum = saling berbenturan) ialah semua bentuk benturan, tabrakan, ketidaksesuaian, ketidakserasian, pertentangan, perkelahian, oposisi dan interaksi-interaksi yang antagonistik-

bertentangan. Kata konflik mengandung banyak pengertian. Ada pengertian negatif, netral, dan posistif. Dalam pengertian negatif konflik dikaitkan dengan sifat-sifat animalistic, kebuasan, kekerasan, barbarisme, destruksi, penghancuran, irrasionalisme, tanpa control emosional, huru-hara, pemogokan, perang, dan seturusnya. Dalam pengertian positif, konflik dihubungkan dengan peristiwa: petualangan, hal-hal baru, inovasi, pembersihan, pemurnian, pembaharuan, penerangan batin, kreasi, pertumbuhan, perkembangan, rasionalitas yang dialektis, mawas diri, perubahan, dan seterusnya. Sedangkan dalam pengertian netral, konflik diartikan sebagai akibat biasa dari keanekaragaman individu manusia dengan sifat-sifat yang berbeda, dan tujuan hidup yang tidak sama pula (Kartono, 1998: 213).

Clinton F. fink (1968) mendefinisikan konflik sebagai berikut:

a) Konflik ialah relasi-relasi psikologis yang antagonistis, berkaitan dengan tujuan-tujuan yang tidak bisa disesuaikan; interest-interest eksklusif dan tidak bisa dipertemukan, sikap-sikap emosional yang bermusuhan, dan sturktur-struktur nilai yang berbeda.

b) Konflik adalah interaksi yang antagonistis, mencakup tingkah laku lahiriah yang tampak jelas, mulai dari bentuk-bentuk perlawanan halus, terkontrol, tersembunyi, tidak langsung; sampai pada bentuk perlawanan terbuka, kekerasan perjuangan tidak terkontrol, benturan laten, pemogokan, huru- hara, maker, perang dan lain-lain.

Dari definisi-definisi konflik di atas, dapat ditarik sebuah konklusi bahwa konflik adalah segala bentuk interaksi yang bersifat oposisi, atau dengan kata lain suatu interaksi yang bersifat antagonis (berlawanan, bertentangan, berselisih, berbenturan, bersebrangan, dst). Definisi tersebut senada dengan apa yang diungkapkan Winardi (1994: 1) yang memandang konflik sebagai suatu oposisi atau pertentangan-pertentangan pendapat antara orang-orang, kelompok-kelompok atau organisasi-organisasi.

6. Sumber-Sumber konflik

Banyak sekali hal-hal yang dapat menyebabkan timbulnya konflik dalam organisasi. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh para ahli diketahui adanya beberapa penyebab timbulnya konflik adalah: (a) adanya kesalahfahaman (kegagalan dalam berkomunikasi); (b) keadaan pribadi individu-individu yang saling konflik; (c) perbedaan nilai, pandangan dan tujuan; (d) perbedaan standar penampilan (performance); (e) perbedaan- perbedaan yang berkenaan dengan cara; (f) hal-hal yang menyangkut pertanggung jawaban; (g) kurangnya kemampuan dalam unsur-unsur berkomunikasi; (h) hal-hal yang berkenaan dengan kekuasaan; (i) adanya frustasi dan kejengkelan; (j) adanya kompetisi karena memperebutkan sumber yang terbatas; dan (k) tidak menyetujui butir-butir dalam peraturan dan kebijakan.

Lebih spesifik, Arikunto (1990: 236) mengemukakan sumber-sumber konflik dalam organisasi yang meliputi: (a) bersama-sama menggunakan Lebih spesifik, Arikunto (1990: 236) mengemukakan sumber-sumber konflik dalam organisasi yang meliputi: (a) bersama-sama menggunakan

Akan tetapi secara garis besar berdasarkan hasil-hasil penelitian yang ada, sumber-sumber tersebut dapat disebutkan empat sumber yang paling banyak menimbulkan konflik. Faktor-faktor tersebut adalah: (a) ketergantungan dan kebersamaan dalam menggunakan sumber; (b) perbedaan dalam kelompok di dalam tujuan, nilai-nilai atau persepsi; (c) ketidakseimbangan kekuasaan dan kekaburan.

Menurut pendapat March dan Simon, gagalnya orang dalam memperoleh kesempatan untuk ikut ambil bagian dalam pengambilan keputusan telah menyebabkan orang tersebut mengalami konflik dalam kelompok. Walton dan Dutton memberikan definisi tentang ketergantungan adalah sebagai keadaan di mana dua unit saling tergantung dalam hal pemberian bantuan, informasi, kelengkapan, atau lain-lain hal yang memerlukan adanaya koordinasi di dalam melaksanakan tugas-tugas.

Untuk jelasnya alasan, konflik di dalam kelompok terjadi apabila ada ketidakpuasan antara sesamanya. Dutton dan Walton mengatakan bahwa ketergantungan antara dua kelompok atau lebih dapat menyebabkan timbulnya insentif untuk kerja sama, tetapi juga pada suatu ketika bisa menyebabkan timbulnya konflik. Jadi dengan kata lain ketergantungan dapat Untuk jelasnya alasan, konflik di dalam kelompok terjadi apabila ada ketidakpuasan antara sesamanya. Dutton dan Walton mengatakan bahwa ketergantungan antara dua kelompok atau lebih dapat menyebabkan timbulnya insentif untuk kerja sama, tetapi juga pada suatu ketika bisa menyebabkan timbulnya konflik. Jadi dengan kata lain ketergantungan dapat

Menurut Mulyasa (2003:241-242) konflik dapat terjadi karena setiap pihak atau salah satu pihak merasa dirugikan, baik secara material maupun nonmaterial. Untuk mencegahnya harus dipelajari peneyababnya, antara lain:

a) Perbedaan pendapat. Konflik dapat terjadi karena perbedaan pendapat dan masing-masing merasa paling benar. Jika perbedaan pendapat ini meruncing dan mencuat ke permukaan, maka akan menimbulkan ketegangan.

b) Salah paham. Konflik dapat terjadi karena salah paham (mis understanding), misalnya tindakan seseorang mungkin tujuannya baik, tetapi dianggap merugikan oleh pihak lain. Kesalahpahaman ini akan menimbulkan rasa kurang nyaman, kurang simpati dan kebencian.

c) Salah satu atau kedua pihak merasa dirugikan. Konflik dapat terjadi karena tindakan salah satu pihak mungkin dianggap merugikan yang lain atau masing-masing pihak merasa dirugikan. Pihak yang dirugikan merasa kesal, kurang nyaman, kurang simpati atau benci. Perasaan-perasaan ini c) Salah satu atau kedua pihak merasa dirugikan. Konflik dapat terjadi karena tindakan salah satu pihak mungkin dianggap merugikan yang lain atau masing-masing pihak merasa dirugikan. Pihak yang dirugikan merasa kesal, kurang nyaman, kurang simpati atau benci. Perasaan-perasaan ini

d) Terlalu sensitif. Konflik dapat terjadi karena terlalu sensitif, mungkin tindakan seseorang adalah wajar, tetapi karena pihak lain terlalu sensitif maka dianggap merugikan, dan menimbulkan konflik, walapun secara etika tindakan ini tidak termasuk perbuatan yang salah.

Semantara itu, Pareek (1996:177-180) lebih terinci mengemukakan beberapa kemungkinan sumber konflik dalam kelompok serta persepsinya para anggota kelompok.

Sumber Persepsi dalam Orientasi yang Persepsi dalam Orientasi yang konflik

dihasilkan potensial

Cara Pencegahan dan peningkatan

penyelesaian

Perhatian Sempit

Perspektif terhadap diri (sendiri)

Perspektif jangka Lebih luas

jangka panjang sendiri Berbagai

pendek

Superordinasi tujuan Soal-soal

Bertentangan Individualis

Melengkapi

Terbatas Berkelahi Dapat Saling membagi sumber daya

dikembangkan

Soal Terbatas Tidak ada Dapat dibagi Kepercayaan kekuasaan

kepercayaan

Idiologi yang Bertentangan Membuat

Mengerti berbeda-beda

Beraneka ragam

stereotype

Toleransi ragam norma

Beraneka Harus seragam Tidak toleran

Bermacam-

macam dan berkembang

Hubungan Tergantung

Dominasi/tunduk

Saling

Empati dan

tergantung

kerjasama

Membaca gambar di atas, secara sepintas konflik mungkin terjadi jika perhatian utama para anggota kelompok diarahkan kepada diri sendiri. Perspektif mereka jadi sempit, dan orientasi mereka jangka pendek. Adalah ironis bahwa kepentingan pribadi tidak dapat dilayani kepentingan sendiri saja.

Kelompok akan tetap berselisih kecuali jika para anggotanya dapat memperluas persepsi mereka apa yang disebutkan oleh Sherif dan Sherif (1953) “tujuan superordinat”. Tujuan superordinat adalah tujuan yang sangat penting bagi semua orang dalam suatu kelompok, tetapi tidak dapat dicapai hanya oleh seseorang sendirian. Hanya jika semua anggota bekerjasama, maka kebutuhan orang-orang itu dapat dipenuhi.

Konflik juga dapat terjadi jika para anggota suatu kelompok merasakan tujuan mereka bertentangan. Alih-alih mempunyai orientasi individualistis, para anggota hendaknya berusaha mencapai bebrapa tujuan sekaligus. Hal ini mungkin tidak sukar, karena tujuan-tujuan itu sering saling melengkapi. Misalnya, satu orang lain mungkin ingin belajar sebanyak-banyaknya, sedangkan orang lain ingin membagi pengetahuannya dengan kelompok itu. Ini merupakan tujuan-tujuan yang saling melengkapi yang kedua-duanya dapat dipenuhi. Beberapa orang harus juga bersedia untuk menangguhkan tujuan mereka demi kebaikan kelompok.

Seringnya terjadi konflik di dalam kelompok karena kesukaran membagi sumber daya yang tersedia. Para anggota kelompok merasakan keterbatasan sumber daya dan cenderung untuk memperjuangkan siapa yang harus mendapatkan apa. Tetapi jika orang-orang itu sadar bahwa sumber daya dapat diperluas, tenaga para anggota dapat digunakan dalam usaha untuk membaginya. Sekalipun sumber daya itu tidak dapat diperluas, setidaknya sumber daya tersebut dapat dinikmati bersama.

Kekuasaan juga sering dirasakan terbatas. Misalnya, dalam suatu kelompok kedudukan “kedua” mungkin sangat penting, dan orang yang memegangnya menjalankan kekuasaan yang terbesar. Hal ini dapat menyebabkan kurangnya kepercayaan di antara para anggota, dan menimbulkan konflik. Jika kedudukan ketua dianggap dapat dibagi, bisa jadi kepercayaan di antara para anggota bertumbuh dan benar-benar menambah kekuasaan semua anggota.

Jika ada konflik idiologi dalam suatu kelompok, akibatnya orang membuat stereotype, dan orang-orang akan memainkan “peranan” mereka, dan bukan bekerjasama demi kebaikan keseluruhan. Jika para anggota kelompok dapat menerima gagasan bahwa idiologi dapat beranekaragam dan bahwa orang-orang dapat bekerjasama meskipun berlainan idiologi, hal ini akan menyebabkan adanya pengertian.

Banyak kelompok bekerja untuk mencapai norma-norma atau standar prilaku yang seragam, namun harapan akan kseragaman dapat menimbulkan sikap yang tidak toleran terhadap pebedaan. Jika para anggota kelompok menyadari bahwa selalu tedapat bermacam-macam norma pada permulaan kehidupan kelompok dan bahwa pada waktunya beberapa norma umum akan berkembang bersama, mereka dapat belajar bersikap toleran terhadap bermacam-macam norma. Mereka akan menjaga agar perbedaan tidak menyebabkan perselisihan yang tidak akan mendorong teracpainya tujuan- tujuan utama kelompok itu.

Satu masalah pokok lainnya, terutama dalam kelompok-kelompok antar-kebudayaan, ialah hubungan antara orang yang satu dengan yang lain dalam suatu struktur hirarkis. Sementara orang merasa enak saja mendapatkan peran bawahan, tetapi orang lain berjuang keras untuk memperoleh kedudukan yang berkuasa. Harapan agar orang lain menjadi bawahan sering menyebabkan konflik dan dominasi atau kegantungan perlu ditentukan dahulu bagi tiap anggota, sebelum kelompok mulai bekerja. Jika hubungan dianggap ebagai saling tergantung (bahwa A tergantung pada B untuk beberapa hal, dan B tergantung dari A untuk beberapa hal lainnya), lebih besar kemungkinannya orang-orang merasa empati satu sama lain dan akan kerjasama dalam menyelesaikan persoalan.

Untuk meringkaskan pembicaraan sejauh ini, jika orang-orang dalam suatu kelompok menganggap kepentingan mereka sendiri sebagai prioritas tinggi, mereka menghendaki tujuan mereka sendiri dapat tercapai, merebutkan sumber daya yang ada, mencurigai mereka yang memegang kekuasaan, membuat stereotype dari mereka yang idiologinya berbeda, menolak bersikap toleran terhadap bermacam-macam norma, dan berusaha menguasai kelompok, sehingga konflik semakin meningkat. Tetapi, jika anggota kelompok berusaha menganggap perbedaan sebagai peluang untuk mencegah atau menyelesaikan konflik, mereka akan mempertimbangkan kepentingan kelompok yang lebih luas, menyadari bahwa tujuan dapat saling mengisi dan menomorduakan tujuan meerka sendiri, saling membagi sumber daya, mempercayai yang berkuasa serta ikut memikul beban kepemimpinan, berusaha memahami bermacam- Untuk meringkaskan pembicaraan sejauh ini, jika orang-orang dalam suatu kelompok menganggap kepentingan mereka sendiri sebagai prioritas tinggi, mereka menghendaki tujuan mereka sendiri dapat tercapai, merebutkan sumber daya yang ada, mencurigai mereka yang memegang kekuasaan, membuat stereotype dari mereka yang idiologinya berbeda, menolak bersikap toleran terhadap bermacam-macam norma, dan berusaha menguasai kelompok, sehingga konflik semakin meningkat. Tetapi, jika anggota kelompok berusaha menganggap perbedaan sebagai peluang untuk mencegah atau menyelesaikan konflik, mereka akan mempertimbangkan kepentingan kelompok yang lebih luas, menyadari bahwa tujuan dapat saling mengisi dan menomorduakan tujuan meerka sendiri, saling membagi sumber daya, mempercayai yang berkuasa serta ikut memikul beban kepemimpinan, berusaha memahami bermacam-

3 Jenis-Jenis dan Konsekuensi Konflik

Konflik dapat terjadi di manapun, kapanpun dan oleh siapapun, baik antara individu dengan individu, individu dengan kelompok, atau kelompok dengan kelompok. Konflik juga dapat terjadi antara pihak yang mempunyai tujuan sama karena salah satu pihak atau kedua belah pihak merasa dirugikan. Individu dan kelompok dalam organisasi mengembangkan keahlian dan pandangan yang berbeda tentang pekerjaan, tugas dengan yang lain, yang dalam interaksinya dapat menimbulkan konflik.

March dan Simon mengidentifikasikan adanya tiga macam konflik, yaitu: konflik individual, konflik organisasi, dan konflik interorganisasional. Konflik peran (role conflict) merupakan contoh konflik individual. Konflik peran terjadi apabila seseorang dihadapan pada urutan konflik dan ia tidak mungkin untuk menghindar atau mengatasi. Konflik organisasional juga termasuk ke dalamnya konflik individu, antara individu dengan kelompok dan antara kelompok dengan kelompok. Konflik antar kelompok seringkali melibatkan dua unit atau lebih di dalam organisasi antar unit yang berbeda dan terkait dalam ketergantungan. Konflik antara organisasi adalah konflim yang terjadi antara organisasi yang satu dengan organisasi yang lain yang sifatnya March dan Simon mengidentifikasikan adanya tiga macam konflik, yaitu: konflik individual, konflik organisasi, dan konflik interorganisasional. Konflik peran (role conflict) merupakan contoh konflik individual. Konflik peran terjadi apabila seseorang dihadapan pada urutan konflik dan ia tidak mungkin untuk menghindar atau mengatasi. Konflik organisasional juga termasuk ke dalamnya konflik individu, antara individu dengan kelompok dan antara kelompok dengan kelompok. Konflik antar kelompok seringkali melibatkan dua unit atau lebih di dalam organisasi antar unit yang berbeda dan terkait dalam ketergantungan. Konflik antara organisasi adalah konflim yang terjadi antara organisasi yang satu dengan organisasi yang lain yang sifatnya

Konflik di antara unit-unit dalam lini dan staf, secara teori teoritik memang sudah terjadi. Dengan struktur demikian ini hubungan personal bawahan dengan atasan sudah dibatasi dengan garis. Segala yang datang dari atas sudah dapat diterima dan dipilih oleh personal yang menduduki garis di bawahnya. Pada umumnya menurut hasil penelitian terjadinya konflik lini dan staf disebabkan karena kesalahfahaman tentang peranan dan wewenang pimpinan bagi bahwahannya (Arikunto, 1990: 234-235).

Selanjutnya, Mulyasa (2003: 243-244) mengemukakan bahwa konflik dalam suatu lembaga (misalnya sekolah dan kampus) dapat terjadi dalam semua tingkatan, baik intrapersonal, interpersonal, intragroup, intergroup, intraorganisasi, maupun interorganisasi.

a) Konflik intrapersonal, yaitu konflik internal yang terjadi dalam diri seseorang. Konflik intrapersonal akan terjadi ketika individu harus memilih dua atau lebih tujuan yang saling bertentangan, dan bimbang mana yang harus dipilih untuk dilakukan. Misalnya, konflik antar tugas kampus dengan acara pribadi. Konflik ini bisa diibaratkan seperti makan buah simalakama, dimakan salah tidak juga salah, dan kedua pilihan yang ada memiliki akibat yang seimbang. Konflik intrapersonal juga bisa disebabkan oleh tuntutan tugas yang melebihi kemampuan.

b) Konflik interpersonal, yaitu konflik yang terjadi antara individu. Konflik interpersonal terjadi ketika adanya perbedaan tentang isu terntu, tindakan b) Konflik interpersonal, yaitu konflik yang terjadi antara individu. Konflik interpersonal terjadi ketika adanya perbedaan tentang isu terntu, tindakan

c) Konflik intragoup, yaitu konflik antar anggota dalam satu kelompok. Setiap kelompok dapat mengalami konflik substantif atau efektif. Konflik substantif terjadi karena adanya latar belakang keahlian yang berbeda, ketika anggota dari satu komite menghasilkan kesimpulan yang berbeda atas data yang sama. Sedangkan konflik efektif terjadi karena tanggapan emosional terhadap suatu situasi tertentu. Contoh konflik intragroup, misalnya konflik yang terjadi pada beberapa guru dalam musyawarah guru mata pelajaran (MGMP).

d) Konflik intergroup, yaitu konflik yang terjadi antar kelompok. Konflik intergroup terjadi karena adanya saling ketergantungan, perbedaan persepsi, perbedaan tujuan, dan meningkatnya tuntutan akan keahlian. Misalnya konflik antara kelompok guru kesenian dengan kelompok guru matematika. Kelompok guru kesenian memandang bahwa untuk membelajarkan lagu tertentu dan melatih pernapasan perlu disuarakan dengan keras, sementara kelompo guru matematika merasa terganggu, karena para peserta didiknya tidak konsentrasi belajar.

e) Konflik intraorganisasi, yaitu konflik yang terjadi antar bagian dalam suatu organisasi. Misalnya konflik antara bidang kurikulum demham bidang kesiswaan. Konflik intraorganisasi meliputi empat subjenis, yaitu (1) konflik vertikal, yang terjadi antara pimpinan dan bawahan yang tidak sependapat tentang cara terbaik untuk menyelesaiakan sesuatu. Misalnya e) Konflik intraorganisasi, yaitu konflik yang terjadi antar bagian dalam suatu organisasi. Misalnya konflik antara bidang kurikulum demham bidang kesiswaan. Konflik intraorganisasi meliputi empat subjenis, yaitu (1) konflik vertikal, yang terjadi antara pimpinan dan bawahan yang tidak sependapat tentang cara terbaik untuk menyelesaiakan sesuatu. Misalnya

f) Konflik interorganisasi, yang terjadi antarorganisasi. Konflik interorganisasi terjadi karena mereka memiliki saling ketergantungan satu sama lain, konflik terjadi bergantung pada tindakan suatu organisasi yang menyebabkan dampak negatif terhadap organisasi lain. Misalnya konflik yang terjadi antara sekolah dengan salah satu organisasi masyarakat.

Semua bentuk-bentuk konflik tersebut dapat menimbulkan konsekuensi, baik positif maupun negatif. Menurut Veithzal Rivai (2004: 174- 175) ada tiga faktor yang menentukan apakah suatu konflik akan berimbang, bermanfaat atau merusak:, yaitu: (a) tingkat pertikaian/konflik; (b) susunan dan iklim dalam organisasi; dan (c) cara mengelolah konflik.

Begitu pun konflik di kampus, dapat menimbulkan konsekuensi positif (menguntungkan) dan negatif (merugikan). Menurut James J. Cribbin (1985: 214) beberapa konsekuensi positif dari suatu konflik adalah: (a) pembersihan hati yang tidak hanya bagi jiwa, tetapi juga baik bagi hubungan; (b) konfrontasi konstruktif sering mencuatkan berbagai perasaan yang lama

terpendam; (c) pertengkaran secara jujur bisa membuat pimpinan menyadari adanya perselisihan; (d) mendorong pimpinan untuk menilai kebijakan, prosedur atauperaturan agar itu tidak terjadi lagi; (e) masing-masing dapat instropeksi diri dan memikirkan kembali posisinya; (f) dapat mendorong kinerja seseorang agar lebih keras dan cerdik meskipun itu hanya untuk membuktikan bahwa mereka benar; (g) saling menghormati dan pengertian antara anggota dalan kelompok.. Sedangkan konsekuensi negatifnya adalah (a) munculnya istilah ”kawan” dan ”lawan”; (b) kordinasi usaha, kepuasan kerja, semangat kerja, dan produktivitas menjadi sia-sia, (c) kepentingan personal mengalahkan tujuan lembaga, dan (d) munculnya prilaku dendam atara pihak yang berselisih.

Mulyasa (2003: 245-246) mengemukakan lebih rinci dan jelas mengenai konsekuensi sebuah konflik. Konsekuensi positifnya adalah: (a) menimbulkan kemampuan instropeksi diri, konflik dapat dirasakan oleh pihak lain, dan mereka dapat mengambil keuntungan sehingga mampu melakukan instropeksi diri, karena mengetahui sebab-sebab terjadinya konflik; (b) meningkatkan kinerja, konflik dapat menjadi cambuk sehingga menyebabkan peningkatan kinerja. Konflik dapat mendorong individu untuk menunjukkan kepada orang lain bahwa dia mampu meningkatkan kinerjanya dan sukses; (c) pendekatan yang lebih baik, konflik dapat menimbulkan kejutan karena kehadirannya sering tidak diduga, sehingga setiap orang berusaha lebih hati- hati dalam berinteraksi, dan menyebabkan hubungan yang lebih baik; (d) mengembangkan alternatif yang lebih baik. Konflik bisa menimbulkan hal-hal Mulyasa (2003: 245-246) mengemukakan lebih rinci dan jelas mengenai konsekuensi sebuah konflik. Konsekuensi positifnya adalah: (a) menimbulkan kemampuan instropeksi diri, konflik dapat dirasakan oleh pihak lain, dan mereka dapat mengambil keuntungan sehingga mampu melakukan instropeksi diri, karena mengetahui sebab-sebab terjadinya konflik; (b) meningkatkan kinerja, konflik dapat menjadi cambuk sehingga menyebabkan peningkatan kinerja. Konflik dapat mendorong individu untuk menunjukkan kepada orang lain bahwa dia mampu meningkatkan kinerjanya dan sukses; (c) pendekatan yang lebih baik, konflik dapat menimbulkan kejutan karena kehadirannya sering tidak diduga, sehingga setiap orang berusaha lebih hati- hati dalam berinteraksi, dan menyebabkan hubungan yang lebih baik; (d) mengembangkan alternatif yang lebih baik. Konflik bisa menimbulkan hal-hal

Sedangkan konsekuensi negatifnya adalah: (a) subyektif dan emosional, pada umumnya pandangan pihak yang sedang berkonflik satu sama lain sudah tidak obyektif dan bersifat emosional; (b) apriori, jika konflik sudah meningkat bukan hanya subjektivitas dan emosional yang muncul tetapi dapat menyebabkan apriori, sehingga pendapat pihak lain selalu dianggap salah dan dirinya salalu benar; (c) saling menjatuhkan. Konflik yang berkelanjutan bisa mengakibatkan saling benci, yang memuncak dan mendorong individu menjatuhkan lawan, fisalnya fitnah, menghambat, dan mengadu; (d) stres, konflik yang berkepanjangan, tidak dapat menurunkan kinerja, tetapi bisa menimbulkan stres. Stres terjadi karena konflik yang berkepanjangan menimbulkan ketidakseimbangan fisik dan psikis, sebagai bentuk reaksi terhadap tekanan yang intensitasnya sudah terlalu tinggi; (e) frustasi, konflik dapat memacu berbagai pihak yang terlibat untuk berprestasi, tetapi jika konflik tersebut sudah pada tingkat yang cukup parah dan di antara pihak-pihak yang terlibat ada yang lemah mentalnya bisa menimbulkan stres.

Menurut Veithzal Rivai (2004: 174-175) kelompok-kelompok yang ada dalam konflik akan dapat mengalami perubahan-perubahan menurut arah yang dapat diduga antara lain: (a) keakraban di antara anggota kelompok akan meningkat. (b) timbulnya pemimpin-pemimpin baru. (c) hambatan-hambatan perspsi kelompoknya dan kelompok lain yang berkonflik. (d) munculnya Menurut Veithzal Rivai (2004: 174-175) kelompok-kelompok yang ada dalam konflik akan dapat mengalami perubahan-perubahan menurut arah yang dapat diduga antara lain: (a) keakraban di antara anggota kelompok akan meningkat. (b) timbulnya pemimpin-pemimpin baru. (c) hambatan-hambatan perspsi kelompoknya dan kelompok lain yang berkonflik. (d) munculnya

Seharusnya konflik tidak perlu melumpuhkan jalannya fungsi-fungsi yang ada. Konflik akan melumpuhkan jika menghabiskan kekuatan orang atau kelompok dan mengurangi efektivitas mereka. Persaingan yang tidak sehat dan melumpuhkan sering dapat dicegah dengan diagnosis dini. Konsepsi “upaya pencegahan penyakit” berlaku untuk menajemen konflik dan juga untuk manajemen penyakit.

4. Pendekatan-Pendekatan Kepemimpinan dalam Memandang Konflik

Untuk menangani konflik disemua bidang kehidupan, para pakar mengembangkan tiga macam pendekatan pemimpin, yaitu: (a) pendekatan pemimpin yang tradisional; (b) pendekatan pemimpin yang netral atau “behavioral”; dan (c) pendekatan pemimpin yang modern atau intraksional.