PEMIMPIN TRADISIONAL DALAM BIROKRASI MOD

1

PEMIMPIN TRADISIONAL DALAM BIROKRASI MODERN:
PERUBAHAN KEKUASAAN DAN KEDUDUKAN BUPATI-BUPATI
GALUH (1836-1916)

Oleh,
Yulia Sofiani

2

BAB I
PENGANTAR

A. Latar Belakang
Galuh adalah sebuah kabupaten di wilayah Priangan yang tampil sebagai
sebuah kerajaan mandiri setelah kerajaan Sunda ditaklukan oleh Banten pada
tahun 1579. Pusat kekuasaan Galuh pada saat itu bertempat di daerah
Panaekan dengan penguasanya bergelar Sanghiang Cipta Permana. Kabupaten
Galuh Batas wilayah Galuh sebelah timur adalah sungai Citanduy, Sumedang
Larang dan Cirebon di sebelah utara, Galunggung dan Sukapura di sebelah

barat, dan sungai Cijolang di sebelah selatan. Majenang, Dayeuhluhur, dan
Pagadingan yang berada di perbatasan timur masuk ke dalam wilayah Galuh.
Pada tahun 1595, Galuh dikuasai oleh kerajaan Mataram Islam yang berada di
bawah pimpinan Panembahan Senapati.1
Raja Mataram mengakui kedudukan penguasa Galuh sebagai raja yang
memerintah tidak di atas nama penguasa Mataram, sehingga Mataram tidak
mengeksploitasi kekuasaan politik Galuh.2 Kekuasaan Mataram atas Galuh
semakin berkembang ketika Sultan Agung menggantikan Panembahan
Senapati. Sultan Agung menjadikan Galuh sebagai salah satu wilayah
1 Nina Herlina Lubis, Kehidupan Kaum Menak Priangan 1800-1942, (Bandung:
Sundanologi, 1998), hlm. 30; Asikin Wijaya Kusumah, Tina Babad Pasundan: Riwayat
Kamerdikaan Bangsa Sunda Saruntagna Padjadjaran dina Taun 1580, (Bandung: Kalawarta
Kudjang, 1961), hlm. 15.
2 Panembahan Senapati masih disibukkan dengan upaya penaklukkan daerah pantai utara
pulau Jawa dan memperkuat identitas diri sebagai penguasa Mataram. Ia membiarkan penguasa
Galuh tetap memakai gelar Prabu dan tidak menuntut laporan pemindahan pusat pemerintahan dari
Panaekan ke Gara Tengah. Pada saat yang bersamaan, pengaruh Cirebon atas Galuh relatif masih
kuat. Cirebon adalah salah satu kekuasaan yang dihormati oleh Mataram.

3


Mancanagara Kilen Mataram. Sultan Agung mengangkat Adipati Panaekan
(1618-1625) sebagai wedana Mataram di Galuh.3
Awal abad 17, Mataram menyerahkan Priangan termasuk Galuh kepada
VOC (Vereeniging Oost-Indie Compagnie) sebagai balas jasa karena
membantu menyelesaikan permasalahan di Mataram. Kekuasaan VOC atas
Galuh dimulai setelah Mataram secara resmi menyerahkan Priangan Timur
kepada VOC melalui perjanjian 19-20 Oktober 1667. VOC menerapkan sistem
pemerintahan tidak langsung (indirect rule system) di seluruh tanah
jajahannya. VOC tidak mencampuri urusan politik pribumi karena hal itu
adalah tanggung jawab para kepala pribumi (volkshoofden), yaitu bupati. VOC
menuntut pengakuan kedaulatan dari bupati dengan cara melarang mereka
mengadakan hubungan politik dan atau dagang dengan pihak lain. VOC
sengaja melibatkan bupati dalam jaringan eksploitasi ekonomi, yaitu sebagai
agen perdagangan yang bertugas mengumpulkan dan menyerahkan tanaman
perdagangan yang jumlah, jenis, dan harganya telah ditentukan oleh VOC.4
Kedudukan dan kekuasaan bupati mengalami pasang surut seiring
dengan berubahnya kebijakan pemerintah kolonial yang menjadi atasannya.
Pada pertengahan kedua abad 19, pemerintah kolonial semakin gencar
melakukan usaha pembentukan birokrasi legal-rasional. Bupati adalah orang

3 Pengangkatan Adipati Panaekan sebagai wedana Mataram di Galuh adalah yang
pertama dilakukan di Mancanagara Kilen. Sultan Agung memberikan kekuasaan kepada Adipati
Panaekan untuk memerintah Galuh atas nama raja Mataram, kepadanya diberikan tambahan cacah
sebanyak 960 jiwa. Bupati Galuh sejak Adipati Panaekan tercatat dalam sumber-sumber VOC dan
Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Lihat R.A.A.A. Soeria Nata Atmadja, Regenten Positie,
(Bandung: A.C. Nix & Co, 1936), hlm. 7; T.S. Raffles, History of Java. Vol.2, (Kuala Lumpur:
Oxford University Press, 1982), hlm. 2.
4 D.H. Burger, Sedjarah Ekonomis Sosiologis Indonesia. Jilid II (diterjemahkan dan
disadur oleh Prajudi Atmosudirdjo), (Jakarta: Pradnja, 1970), hlm. 98.

4

pertama yang merasakan langsung akibat kebijakan itu. Secara berangsurangsur kedudukan bupati sebagai penguasa daerah yang otonom berubah
menjadi pegawai pemerintah kolonial.

B. Pokok Permasalahan
Ikatan feodal bupati dengan rakyat merupakan hal yang penting dalam
jaringan eksploitasi ekonomi VOC karena pejabat VOC memanfaatkannya
untuk menggunakan tenaga rakyat. Para pejabat VOC tidak memiliki akses
terhadap rakyat pribumi, sementara bupati memiliki keterikatan khusus

dengan rakyatnya. Bupati adalah pejabat pribumi yang mengetahui secara
pasti situasi dan kondisi rakyatnya. Faktor itulah yang menjadi alasasan VOC
menjadikan bupati sebagai perantara (middle man) VOC dengan rakyat,
sekaligus menjadi perpanjangan tangan VOC dalam memobilisasi rakyat
pribumi untuk menanam tanaman perdagangan.
Kedudukan dan kekuasan bupati pada masa pemerintahan kolonial,
terutama pada masa pemerintahan Daendels dan Raffles mengalami
kemerosotan yang mencapai titik terendah. Bupati diangkat sebagai pegawai
pemerintah dan ditempatkan dalam kerangka kerja yang diawasi secara ketat
oleh pemerintah pusat. Pemerintah kolonial berupaya menyingkirkan bupati
dari percaturan politik kolonial tetapi selalu gagal karena terganjal oleh
budaya feodalistik yang telah berakar kuat di dalam kehidupan tradisional
kabupaten. Kenyataan itulah yang membuat pemerintah kolonial meninjau

5

ulang kebijakan untuk mengesampingkan bupati dari percaturan politik
kolonial.
Besarnya campur tangan pemerintah kolonial terhadap kehidupan
pejabat pribumi telah menyebabkan berbagai benturan dalam kehidupan

bupati. Selain itu juga menjadi penyebab utama atas pasang surut dalam
kekuasaan, kedudukan, kekayaan bupati. Di satu sisi, bupati harus
mempertahankan wibawanya dan memelihara simbol kebesaran yang menjadi
identitasnya, sementara di sisi lain harus menerima kenyataan bahwa
kedaulatannya sebagai pemimpin politik semakin merosot.
Pokok permasalahan penelitian ini adalah memahami perubahan
kedudukan dan kekuasaan bupati-bupati Galuh pada tahun 1800 hingga 1916,
terutama setelah kekuasaan mereka menjadi bagian dari birokrasi kolonial.
Dari pokok permasalahan itu, maka pertanyaan penelitian adalah:
1. Apa yang terjadi dalam kehidupan bupati-bupati Galuh setelah kekuasaan
mereka menjadi bagian dari birokrasi kolonial?
2. Bagaimana bupati-bupati Galuh menyesuaikan diri jika memang terjadi
perubahan status dan kekuasaan mereka?
Lingkup tempat dalam penelitian ini adalah wilayah administratif
kabupaten Galuh.5 Lingkup tempat ini termasuk sempit, sehingga diharapkan
dapat menghasilkan suatu detil sejarah yang menampilkan keunikan. Tahun
1800 hingga tahun 1916 ketika Kusumadiningrat dan Kusumasubrata
menjabat bupati Galuh dipilih sebagai lingkup temporal penelitian karena pada
5 Nama kabupaten Galuh diganti menjadi Ciamis pada tahun 1916, yaitu ketika R.A.A.
Sastrawinata menjadi bupati menggantikan Kusumasubrata.


6

masa bupati-bupati ini memerintah, kekuasaan dan kedudukan mereka
cenderung mengalami perubahan yang signifikan. Rentang waktu itu
merupakan masa perubahan kekuasaan, kedudukan, peran, dan kekayaan para
bupati di pulau Jawa yang diakibatkan oleh perubahan sistem kolonial. Tahun
1914 merupakan tahun terakhir pemerintahan Kusumasubrata, sekaligus
berakhirnya kekuasaan bupati Galuh berdasarkan keturunan.

C. Kajian Pustaka
Penulisan sejarah Galuh terutama periode kolonial masih terbatas, jika
pun ada dari segi isi dan teknik penulisannya masih bersifat sederhana. Ade
Tjangker Soedradjat menulis Silsilah Roendajan Boepati Raden Adipati Aria
Koesoemadiningrat (1995). Isinya adalah riwayat singkat Kusumadiningrat
dan uraian silsilah keluarganya. Garis keturunan Kusumadiningrat ditarik dari
Sri Baduga Maharaja Dewata Prana atau Prabu Siliwangi yang kemudian
menurunkan raja-raja Galuh, termasuk Prabu Haur Kuning yang menjadi
leluhur bupati-bupati Galuh.
Babad


Galoeh

Imabanagara

disusun

dan

ditulis

pada

masa

pemerintahan Kusumadiningrat, isinya adalah tentang cerita sejarah Galuh
sepanjang masa. Babad Dipagah disusun dan ditulis sendiri oleh
Kusumasubrata dengan bahasa Sunda dengan huruf Sunda kuno dan dalam
bentuk


pupuh

Pangkur,

Maskumambang,

Dangdanggula,

Kinanti,

Asmarandana, Sinom, Mijil, Durma, Pucung, dan Ladrang. Penulisan Babad
Dipagah dimulai pada tahun ke empat pemerintahan Kusumasubrata sebagai

7

bupati Galuh, tepatnya hari Kamis, tanggal 08 Agustus 1890. Isinya adalah
pengalaman hidup Kusumasubrata yang dijadikan petuah bagi keturunannya.
Tulisan

Kusumasubrata


lainnya

adalah

Ti

Ngongkoak

Doegi

Ka

Ngoengkoeeoek (1926), isinya adalah tentang masa pemerintahannya sebagai
bupati Galuih dari tahun 1886 hingga 1914.
Herinneringen van Pangeran Aria Ahmad Djajadiningrat (1936) ditulis
oleh P.A. Ahmad Djajadiningrat, bupati Serang yang menjadi menantu
Kusumasubrata. Tulisan ini adalah biografi yang komprehensif pada masanya,
menceritakan kehidupan penulisnya lengkap dengan segala aspek di
sekitarnya. Galuh dan keluarga Kusumasubrata diuraikan secara singkat di

dalamnya. Sementara itu, Regenten Positie (1936) yang ditulis oleh bupati
Cianjur yang bernama R.A.A.A Soeria Nata Atmadja merupakan tulisan yang
secara rinci memaparkan posisi bupati Priangan pada masa pemerintahan
kolonial.
Nina Herlina Lubis menulis Kehidupan Kaum Menak Priangan 18001944 (1998). Tulisan ini memaparkan kehidupan kaum menak Priangan yang
umumnya seragam, fokus utamanya adalah kaum menak Priangan Barat dan
Tengah. Tulisan Samiaty Alisjahbana yang berjudul A Preliminary Study of
Class Structure among Sundanese in The Priangan (1955) adalah sebuah
karya antropologi. Salah satu bahasannya adalah struktur masyarakat Sunda di
Priangan. Gelar, pusaka, upacara, dan etiket para menak termasuk yang
dibahas di dalam tulisan ini. Meskipun memandang struktur masyarakat Sunda

8

dengan kaca mata antropologi, tulisan ini dapat membantu dalam penelitian
sejarah.

D. Tujuan Penelitian
Merumuskan tujuan penelitian adalah hal yang penting karena dapat
menjadi acuan dalam penulisan dan menentukan langkah agar apa yang

direncanakan terwujud dengan baik. Tujuan penelitian ini adalah untuk
memahami

gaya

hidup

bupati-bupati

Galuh

Kusumadiningrat

dan

Kusumasubrata pada tahun 1839 hingga tahun 1914, terutama ketika
kekuasaan mereka menjadi bagian dari birokrasi kolonial. Gaya hidup di sini
meliputi sikap hidup, adat kebiasaan, dan simbol-simbol serta atribut-atribut
kebesaran yang menjadi identitas bupati.

E. Kerangka Konseptual
Prosedur penelitian dilaksanakan sesuai dengan metode sejarah yang
dituntun oleh suatu kerangka pemikiran teoritis. Untuk mendapatkan
gambaran yang utuh, menyeluruh, dan menghasilkan eksplanasi historis yang
memadai, penelitian ini memerlukan kajian historis yang diakronis dan
analisis sinkronis. Pendekatan-pendekatan ilmu sosial tidak mutlak digunakan
dalam penelitian sejarah karena fungsinya adalah sebagai ilmu bantu. Tetapi
penelitian ini menggunakan pendekatan ilmu sosial, yaitu antropologi budaya,
sosiologi, dan politik. Pendekatan struktural akan membantu memfokuskan

9

pada struktur sebagai inti suatu perubahan, sedangkan pendekatan historis
digunakan untuk melihat segi proses yang akan menghasilkan asumsi.
Struktur masyarakat tradisional yang masih tersisa dalam masyarakat
bupati, analisis gaya hidup, dan aspek-aspek kultural masyarakat dapat
digambarkan dengan bantuan pendekatan antropologi budaya. Hubungan
status dengan kekuasaan, hubungan-hubungan sosial, permasalahan birokrasi
dan otoritas, dan cara-cara bupati memperoleh kekuasaannya dapat diperjelas
dengan bantuan pendekatan sosiologi dan politik.
Pemahaman konsep kekuasaan dan kepemimpinan tradisonal diperlukan
untuk memahami kekuasaan dan kedudukan bupati. Kekuasaan dan
kepemimpinan tradisional yang legal-rasional dan kharismatik diartikan
sebagai suatu kepemimpinan yang berakar pada struktur sosial yang tersusun
berdasarkan kelahiran, kekayaan, dan status.6 Kedudukan dan kekuasaan
bupati mengalami pasang surut, terutama karena berkembangnya kekuasaan
kolonial. Kekuasaan bupati sebagai kepala daerah dibatasi oleh pemerintah
kolonial, sehingga yang bertahan dari kekuasaan bupati hanya kekuasaan
tradisionalnya. Pemberian berbagai gelar dan tanda jasa oleh pemerintah
kolonial justru semakin memperkuat kekuasaan tradisional bupati.
Konsep elite awalnya digunakan untuk menyebut barang dagangan
dengan keutamaan khusus, tetapi kemudian bergeser untuk menyebut
kelompok sosial tingkat tinggi, misalnya kalangan bangsawan tinggi dan

6 Sartono Kartodirdjo, Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia: Suatu
Alternatif, (Jakarta: Gramedia, 1982), hlm. 226-227.

10

kasatuan militer utama.7 Elite umumnya digunakan untuk menyebut kelompok
fungsional dan pemangku jabatan yang memiliki status tinggi di dalam
masyarakat. Jika merujuk kepada konsep ini, maka bupati-bupati Galuh adalah
bagian dari kaum elite.
Konsep menak dalam budaya Sunda diartikan dengan kirata basa
dimemen-memen dienak-enak, yaitu orang yang harus dilayani agar
kehidupannya menjadi enak. Kaum menak adalah kaum bangsawan yang
umumnya berasal dari keturunan pejabat pemerintah kolonial yang memiliki
gelar-gelar kebangsawanan dan kehormatan.8 Kaum menak diperlakukan
secara beda, ada aturan dan tata cara khusus baik dalam bahasa (usuk basa),
maupun dalam perlakuan (unggah-ungguh).9
Bupati memiliki unsur kepemimpinan tradisional yang tersusun
berdasarkan kelahiran, kekayaan, dan status.10 Bupati mendapatkan jabatannya
karena hak waris secara turun-temurun yang sudah melembaga menjadi
tradisi. Faktor keturunan dalam pengangkatan bupati adalah hal yang penting
bagi pemerintah kolonial karena berpengaruh terhadap kepercayaan dalam
pemberian prioritas (berupa fasilitas pelayanan dan kesempatan) kepada
bupati. Pemberian prioritas juga didasarkan kepada kemampuan bupati
7 T.B. Bottomore, Elites and Society, (Middlesex: Penguin Books, 1974), hlm.7.
8 Profil Propinsi Daerah Jawa Barat, (Jakarta: Yayasan Bhakti Wawasan Nusantara,
1992), hlm. 250.
9 Undak-usuk basa adalah tingkatan-tingkatan dalam bahasa Sunda, yaitu lemes (halus),
sedeng (sedang), dan loma (kasar). Unggah-ungguh adalah tata cara memperlakukan orang lain,
terutama kepada yang berderajat tinggi atau orang tua, yaitu dengan penuh kesopanan. Jika undakusuk dan unggah-ungguh dilanggar akan dianggap tidak tahu diri dan menghina orang lain.
10 Marc Bloch, “Kaum Bangsawan Selaku Kelas Menurut Kenyataan” dalam Sartono
Kartodirdjo (ed.) Elite dalam Perspektif sejarah, (Jakarta: Gramedia, 1983), hlm. 226.

11

memerintah rakyatnya, ketaatan, dan kepatuhannya kepada pemerintah
kolonial.
Kedudukan bupati disamakan dengan “raja kecil”, sehingga ia berhak
menikmati penghormatan tertinggi yang tidak dipaksakan dari rakyatnya11.
Bupati adalah pemegang kekuasaan tertinggi di kabupaten yang memiliki
otoritas tradisional sekaligus otoritas legal.12 Budaya politik tradisional itulah
yang menjadi sandungan utama gagalnya usaha pemerintah kolonial
mewujudkan sistem birokrasi legal-rasional dalam struktur pemerintahan
pribumi.
Bupati memiliki fungsi ganda, yaitu sebagai kepala daerah karena
fungsinya sebagai alat pemerintah kolonial, dan sebagai pemimpin tradisional
karena konsensus rakyat pribumi. Di satu sisi bupati adalah pihak yang
dikuasai oleh pemerintah kolonial, hubungan mereka adalah bawahan dan
atasan. Di sisi lain bupati menguasai rakyat pribumi, sehingga hubungan yang
terjalin karena ikatan feodal itu adalah tuan dan hamba. Perubahan kebijakan
kolonial telah mengakibatkan berbagai benturan dalam kehidupan bupati yang
akhirnya menimbulkan konflik pengharapan dan motivasi para bupati.
Kontak bupati dan keluarganya dengan orang-orang Barat telah
memperkenalkan budaya Barat ke dalam kehidupan mereka. Tanggapan bupati
terhadap pengaruh Barat umumnya baik, ditunjukkan dengan adanya beberapa
nilai Barat yang diadopsi ke dalam kehidupannya. Penerimaan terhadap
11 Ibid, hlm. 28
12 Otoritas adalah kekuasaan yang dilembagakan, yang akan terwujud jika suatu perintah
dipatuhi oleh sebagian individu tertentu. Otoritas tradisional didasarkan pada kepatuhan karena
hormat kepada pola tatanan lama.

12

budaya Barat tidak lantas merombak segi-segi yang telah mapan dalam
kehidupan bupati, karena dalam banyak hal bupati masih memegang teguh
unsur-unsur tradisional.
Perubahan pola politik kolonial dari konservatif menjadi liberal telah
memperluas pengaruh modernitas dalam kehidupan masyarakat pribumi.
Pendidikan Barat adalah salah satu alat yang digunakan dalam rangka
mencapai modernitas. Pendidikan telah menciptakan inovasi, yaitu tumbuhnya
benih-benih progresif dalam kehidupan kabupaten. Suatu kelas baru tumbuh
dalam masyarakat pribumi, yaitu kelas elite pendidikan yang dibutuhkan
dalam mekanisasi administrasi pemerintahan. Secara perlahan jabatan-jabatan
dalam pemerintahan yang awalnya didominasi keluarga bupati mulai dipegang
oleh keluarga non bupati.
Nilai baru dapat hidup dan berkembang dalam suatu lingkungan jika
didukung oleh masyarakat pendukungnya. Oleh karena itu, keberadaan tokoh
yang mampu mengusung dan menganjurkan suatu nilai baru menjadi sangat
penting.

Bupati

adalah

salah

satu

tokoh

yang

bisa

menerima,

mengembangkan, bahkan mempertahankan nilai baru. Ia menyebarkan
pembaharuan dalam kehidupan kabupaten dan bertindak sebagai penganjur
perubahan terhadap lingkungan di sekitarnya.
Bupati adalah inovator dan leader opinion, yaitu tokoh dalam suatu
sistem sosial yang menemukan dan kemudian dapat menggunakan
pengaruhnya untuk mengembangkan nilai-nilai baru. Pada perkembangan

13

selanjutnya, nilai-nilai baru itu mengakibatkan perubahan dalam kehidupan
kabupaten, salah satunya dalam hal gaya hidup.
Gaya

hidup

dapat

diartikan

sebagai

pola-pola

tindakan

yang

membedakan antara satu orang dengan orang yang lain. 13 Melalui gaya hidup
dapat dipahami apa yang dilakukan oleh orang-orang, mengapa mereka
melakukannya, apa maknanya bagi mereka, dan juga bagi orang lain. Gaya
hidup dapat menunjukkan bagaimana seseorang mengatur kehidupan
pribadinya dan kehidupan bermasyarakat, serta bagaimana membedakan
statusnya dari orang lain melalui simbol-simbol.14 Gaya hidup menentukan
tatanan, prinsip, dan kriteria pada setiap pilihan yang dibuat dalam kehidupan
sehari-hari, sehingga memiliki implikasi normatif, politik, dan estetik.
Memilih gaya hidup tertentu, disadari atau tidak, akan menentukan bentuk
masa depan seseorang.
Gaya hidup bupati dapat dihayati melalui simbol-simbol, baik berupa ide
ataupun bentuk simbol yang nyata. Bentuk simbol berupa ide contohnya
pendidikan, sedangkan bentuk simbol yang nyata antara lain simbol dan
atribut kebesaran, mitos genealogis, dan upacara. Simbol atribut kebesaran
contohnya adalah nama dan gelar, tempat tinggal, perabotan, pakaian, dan
upacara-upacara. Melalui simbol-simbol itu dapat dijelaskan hal-hal yang
menyangkut bupati, misalnya kedudukan dan kekuasaan bupati

13 David Chaney, Lifestyles. Sebuah Pengantar Komprehensif (terj.), (Yogyakarta:
Jalasutra, 1996), hlm. 40.
14 A.L. Kroeber, Style and Civilization, (Barkeley and Los Angeles: University of
California Press, 1963), hlm. 3.

14

BAB II
GALUH HINGGA PERTENGAHAN ABAD XX

Kabupaten Galuh secara geografis terletak di bagian timur propinsi Jawa
Barat dengan luas 2.560 km2. Wilayahnya berbatasan dengan kabupaten
Majalengka dan Kuningan (utara), Tasikmalaya (barat), Cilacap (timur), dan
Samudera Indonesia (selatan). Topografi wilayah barat berupa pegunungan (5001000 m), wilayah tengah berupa perbukitan (100-500 m), dan wilayah timurselatan berupa dataran rendah serta rawa (25-100 m).
Penelusuran jejak nama Galuh lebih sering terbentur kepada mitos. Berbagai
mitos tentang asal-usul Galuh dapat dibaca dalam beberapa naskah kuno yang
berbentuk babad atau wawacan. Mitos erat kaitannya dengan kehidupan
masyarakat, maka melalui mitos dapat diidentifikasi perkembangan pola pikir dan
mentalitas masyarakat pada periode tertentu.
A. Dari Kerajaan menjadi Kabupaten
Keterangan mengenai kerajaan Galuh diungkapkan dalam beberapa
babad atau wawacan. Secara umum, naskah-naskah kuno itu merupakan
historiografi tradisional yang mengandung unsur-unsur historis, mitos,
legenda, dan dongeng. Semakin mendekati waktu penulisan dengan waktu
terjadinya peristiwa, maka semakin tinggi nilainya sebagai sumber sejarah. 15
Keterangan mengenai Galuh di antaranya dapat dibaca dalam naskah Carita

15 Edi S. Ekajati, Wawacan Sejarah Galuh. (Bandung: EFEO. 1977), hlm. 2.

15

Parahyangan, Sanghyang Siksa Kandang Karesyan, Wawacan Sajarah
Galuh, Ciung Wanara, dan Carios Wiwitan Raja-Raja di Pulo Jawa.
Galuh16 dalam bahasa Sansekerta diartikan sebagai permata atau
perak. Nama Galuh muncul pada abad VI sebagai nama sebuah kerajaan di
ujung timur Priangan, tepatnya di wilayah Bojong Galuh. Wilayah tersebut
berada di tepat di daerah pertemuan dua buah sungai, yaitu sungai Citanduy
dan Cimuntur.17
Bojong Galuh adalah pusat kekuasaan kerajaan Galuh yang dipimpin
oleh Ciung Wanara,18 leluhur penguasa Galuh Rakean Jambri yang bergelar
Rahiang Sanjaya.19 Ia adalah putra Sanna yang dibunuh oleh saudaranya yang
bernama Purbasora. Sanjaya berhasil merebut tahta Galuh dari Purbasora. Ia
menikah dengan putri kerajaan Sunda yang berpusat di Pakuan Pajajaran,

16 Kata Galuh disejajarkan dengan galeuh yang berarti beli atau inti dan galih yang
berarti hati. Arti kedua kata itu bergeser menjadi inti manusia. Galuh diartikan sebagai permata
kehidupan yang letaknya ada di dalam hati (Galuh galeuhna galih). Kata-kata itu mengandung
makna bahwa permata kehidupan adalah kejujuran, dalam menjalani hidup harus jujur agar
mencampai kesempurnaan hidup dan terhindar dari kesengsaraan. Secara filosofis, Galuh
dimaknai sebagai pedoman atau tuntunan hidup untuk mencapai kebahagiaan.
17 Carita Parahyangan membedakan Galuh dengan Sunda. Keduanya adalah penguasa
Priangan dengan batas sungai Cimanuk. Dari Cimanuk ke barat merupakan wilayah Sunda,
sedangkan dari Cimanuk ke timur adalah wilayah Galuh. Nama Galuh juga dipakai untuk
mengidentifikasi beberapa wilayah, yaitu Ujung Galuh (Jawa Timur), Segaluh (Purwodadi),
Rajagaluh (Majalengka), Samigaluh (Purworejo), Begaluh atau Segaluh (Leksono), Galuh
(Purbalingga), Galuh Timur (Bumiayu), dan Sirah Galuh (Cilacap).
18 Bojong Galuh berada sekitar 20 km di sebelah timur ibu kota kabupaten Ciamis,
sekarang dikenal dengan nama Karangkamulian.
19 Nama Sanjaya diidentikan dengan nama seorang penguasa yang disebutkan dalam
Prasasti Canggal di Jawa Tengah (723). Keterangan prasasti Canggal saling melengkapi dan
menunjang dengan Carita Parahyangan. Sanjaya adalah putera Sanna yang menikah dengan
puteri penguasa kerajaan Sunda. Ia menyatukan Galuh dan Sunda dengan pusat pemerintahan di
Karangkamulian. Kelak kerajaan itu terpecah kembali menjadi Galuh dan Sunda pada masa
pemerintahan putranya yang bernama Rahiang Tamperan.

16

sehingga berhak atas tahta kerajaan itu. Ia menyatukan Sunda ke dalam Galuh
dengan pusat pemerintahan di Bojong Galuh.
Tahta Galuh diserahkan kepada keponakannya yang bernama Seuweu
Karma, sedangkan tahta Sunda diberikan kepada putranya yang bernama
Rahiang Tamperan. Nama Galuh tenggelam hingga akhirnya muncul kembali
pada abad XIII sebagai nama sebuah kerajaan yang berpusat di Kawali. 20
Kerajaan Galuh yang berpusat di Kawali dipimpin oleh Prabu Maharaja.
Keterangan mengenai Galuh periode Kawali disebutkan dalam Prasasti
Kawali yang berjumlah enam buah.21
Naskah sejarah kuno berupa babad Carita Parahyangan menyebutkan
bahwa tokoh Raja Wastu sama dengan tokoh Niskala Wastu Kancana, yaitu
putra raja Galuh yang memerintah di Kawali. Ayah Niskala Wastu Kancana
adalah Prabu Maharaja (1350-1357) yang didentikkan dengan tokoh yang
terlibat langsung dalam peristiwa Pasundan Bubat. 22 Selain dalam Carita
Parahyangan, keterangan mengenai Pasundan Bubat terdapat juga dalam
kitab Pararaton dari Majapahit. Pararaton menyebutkan bahwa di sebelah
barat Majapahit terdapat sebuah kerajaan yang bernama Galuh dengan rajanya
bernama Prabu Maharaja.23
20 Daerah Kawali berada sekitar 20 km di sebelah utara ibu kota kabupaten Ciamis.
21 Keenam prasasti itu ditulis dalam bahasa dan aksara Sunda kuno, memberitakan
bahwa di Kawali pernah memerintah seorang raja bernama Raja Wastu yang memperindah keraton
Surawisesa, mengelilingi kota Kawali dengan parit, memakmurkan seluruh desa di negaranya,
bertindak adil, dan mengharapkan orang-orang yang akan datang kemudian berbuat kebaikan agar
hidup lama dan bahagia di dunia.
22 Berita tentang Pasundan Bubat yang terjadi tahun 1357 diceritakan pula dalam naskah
Kidung Sundayana dari Bali.
23 Pararaton menyebutkan bahwa Perang Bubat terjadi pada tahun 1357, sedangkan
Carita Parahyangan menyebutkan bahwa Prabu Maharaja memerintah Galuh hanya 7 tahun sejak

17

Hubungan Galuh dengan Majapahit terjadi karena adanya pinangan
raja Majapahit yang bernama Hayam Wuruk kepada putri Prabu Maharaja
yang bernama Citra Kirana Diah Pitaloka. Rencana pernikahan itu gagal
karena patih Majapahit yang bernama Gajah Mada mensyaratkan bahwa
pernikahan itu adalah tanda tunduknya Galuh kepada Majapahit. Prabu
Maharaja menolak, ia lebih memilih perang dengan Majapahit dari pada
menjadi taklukan kerajaan itu. Perang antara prajurit kedua kerajaan terjadi di
daerah yang bernama Bubat, menewaskan Prabu Maharaja dan seluruh prajurit
Galuh.24 Hanya mangkubumi (patih) Rahyang Bunisora dan putra bungsu raja
yang bernama Niskala Wastu Kancana yang selamat dan berhasil kembali ke
Kawali.
Periode keemasan kerajaan Galuh dicapai pada masa pemerintahan
putra Prabu Maharaja yang bernama Niskala Wastu Kancana (1371-1475). 25
Abad XIV, pusat pemerintahan Galuh dipindahkan ke Pakuan Pajajaran oleh
cucunya yang bernama Sri Baduga Maharaja Dewata Prana (Prabu Siliwangi).
Ia menikah dengan putri penguasa kerajaan Sunda, sehingga memiliki hak atas

1350. Berdasarkan dua keterangan itu, dapat disimpulkan bahwa Prabu Maharaja yang
memerintah dari tahun 1350 hingga 1357 sezaman dengan Hayam Wuruk dari Majapahit.
24 Konon Gajah Mada mendatangi rombongan Galuh yang beristirahat di daerah Bubat
sebelum melanjutkan perjalanan ke Majapahit. Prabu Maharaja menolak syarat yang diajukan oleh
Gajah Mada karena pada awal pinangan tidak ada persyaratan apapun. Prabu Maharaja
memutuskan kembali ke Kawali tetapi dicegah oleh pasukan Gajah Mada yang akhirnya menjadi
peperangan. Raja dan keluarganya, para pengiring, dan seluruh pasukan Galuh gugur dalam
pertempuran itu. Calon pengantin putri memutuskan bunuh diri dari pada harus menikah dengan
Hayam Wuruk yang dianggap sebagai penyebab kematian seluruh rombongan Galuh.
25 Keterangan mengenai Niskala Wastu Kancana terdapat dalam prasasti Kawali dan
Batu Tulis Bogor. Prasasati Kawali menyebutkan bahwa Niskala Wastu Kancana adalah penguasa
Galuh yang bertahta di Kawali, sedangkan prasasti Batu Tulis menyebutkan bahwa Niskala Wastu
Kancana adalah ayah dari Dewa Niskala dan kakek Sri Baduga Maharaja Dewata Prana yang
menguasai kerajaan Sunda yang berpusat di Pakuan Pajajaran.

18

tahta kerajaan itu. Ia menggabungkan kerajaan Galuh ke dalam kerajaan
Sunda dan memindahkan pusat kekuasaan ke Pakuan Pajajaran.26 Peristiwa itu
sekaligus mengakhiri berita tentang Galuh periode Kawali.

B. Penguasa Kabupaten Galuh
Nama Galuh muncul kembali pada abad XVI sebagai nama sebuah
kerajaan mandiri yang berpusat di Panaekan.27 Bersama dengan Sumedang
Larang, Galuh menjadi penerus kerajaan Sunda yang hancur oleh Banten.
Pada tahun 1595 ketika Galuh dipimpin oleh Sanghiang Cipta Permana,
Mataram Islam berhasil menanamkan pengaruh politiknya di Galuh.28
Pengganti Panembahan Senapati yang bernama Sultan Agung
mengangkat putra Sanghiang Cipta Permana yang bergelar Adipati Panaekan
(1618-1625) sebagai wedana Mataram di Galuh.29 Langkah awal Adipati
Panaekan adalah memindahkan pusat pemerintahan dari Panaekan ke Gara
Tengah. Tahun 1625 ia dibunuh oleh saudara iparnya yang bernama Adipati
Kertabumi.30 Pembunuhan itu dipicu oleh perbedaan faham dalam menanggapi
26 Menurut keterangan beberapa naskah kuno, alasan pemindahan pusat kekuasaan itu
karena Kawali telah tercemar oleh ulah Dewa Niskala (ayah Prabu Siliwangi) yang menikahi istri
larangan, yaitu perempuan yang berasal dari Majapahit.
27 Panaekan adalah sebuah tempat yang berada di sisi selatan sungai Citanduy
(berseberangan dengan Karangkamulian). Tempat ini sekarang masuk ke dalam wilayah
kecamatan Cimaragas, sekitar 20 km di sebelah selatan ibu kota kabupaten Ciamis.
28 F. de Haan, Priangan: De Preanger Regentschappen onder het Nederlandsch Bestuur
tot 1818, (Batavia: BGKW.1941), hlm. 161.
29 Penguasa Galuh sejak Adipati Panaekan tercantum dalam beberapa catatan VOC dan
pemerintah kolonial Hindia Belanda. Adipati Panaekan adalah bupati pertama yang diangkat
sebagai wedana Mataram di wilayah Mancanagara Kilen dengan anugerah 960 cacah. Tidak
berlebihan jika Adipati Panaekan disebut sebagai De oudste der Wedana’s in de Wester
Ommelanden van Mataram. Lihat F. de Haan, ibid, hlm. 68
30 Adipati Kertabumi yang bergelar Singaperbangsa I adalah penguasa kabupaten Bojong
Lopang yang dibentuk oleh Mataram tahun 1641 sebagai kelanjutan dari penanganan

19

rencana penyerangan terhadap Batavia oleh Mataram. Adipati Panekan
berpendapat lebih baik menyerang Batavia secepatnya agar kekuasaan VOC
tidak semakin berkembang. Singaperbangsa I sependapat dengan Rangga
Gempol I, yaitu menginginkan Galuh memperkuat pasukannya dahulu
sebelum menyerang Batavia. Adipati Panaekan dituduh membantu Adipati
Ukur yang memberontak kepada Mataram karena ingin melepaskan Priangan
dari kekuasaan raja Jawa.
Pengganti Adipati Panaekan adalah putranya yang bernama Adipati
Imbanagara (1625-1636). Sama seperti ayahnya, ia mati dibunuh oleh prajurit
Mataram pada tahun 1636.31 Kematiannya mengakibatkan terjadinya
kekosongan

kepala

pemerintahan

kabupaten

Galuh

yang

kemudian

dimanfaatkan oleh patih Wiranangga untuk mengangkat dirinya sebagai bupati
Galuh. Ia berbuat curang dengan cara mengganti nama calon bupati yang
ditunjuk penguasa Mataram dengan namanya. Piagam pengangkatan itu
disembunyikan Wiranangga di kolong rumahnya. Pengasuh putra Adipati
Imbanagara berhasil menemukannya lalu melaporkan kepada prajurit
Mataram. Sebagai hukuman atas kecurangannya, Wiranangga dihukum mati
oleh raja Mataram.

pemberontakan Ukur (1630-1632). Wilayahnya meliputi Majenang, Dayeuh Luhur, Nusa
Kambangan, dan daerah pantai Selatan. Sultan Agung menugasi Adipati Kertabumi untuk menjaga
daerah yang paling dekat dengan Batavia, yaitu Karawang dengan Adipati Kertabumi sebagai
bupatinya. Salah satu keturunannya yang bernama Sastrawinta kelak pada tahun 1914 menjadi
bupati Galuh menggantikan Kusumasubrata.
31 Berdasarkan keterangan tradisi lisan Galuh, kematian Adipati Imbanagara disebabkan
oleh kemarahan Sultan Agung yang mendapat kabar bahwa Adipati Imbanagara telah menodai
wanita Galuh yang diminta oleh Sultan Agung.

20

Pengganti Adipati Imbanagara adalah putranya yang bergelar Adipati
Panji Aria Jayanagara (1636-1642).32 Ia resmi menjadi bupati Galuh pada 5
Rabi’ul Awal tahun Je yang bertepatan dengan 6 Agustus 1636. Atas saran raja
Mataram, ia mengganti nama kabupaten Galuh menjadi kabupaten Galuh
Imbanagara.33 Jayanagara memindahkan pusat pemerintahan kabupaten Galuh
dari Gara Tengah ke Barunay.34 Pada masa pemerintahannya, Galuh dikenai
kebijakan reorganisasi Priangan oleh raja Mataram. Tahun 1641 Mataram
membentuk kabupaten-kabupaten baru di sekitar Galuh, yaitu Bojong Lopang,
Utama, Kawasen, dan Banyumas.35
Reorganisasi Priangan terulang kembali pada tahun 1645, yaitu ketika
Amangkurat I berkuasa di Mataram. Tetapi pada reorganisasi wilayah kali itu,
luas wilayah kabupaten Galuh tidak berubah, bahkan ketika diserahkan kepada
VOC pun relatif tetap. Mataram menyerahkan Priangan Timur yang terdiri
dari kabupaten Limbangan, Sukapura, Galuh, dan Cirebon kepada VOC
melalui perjanjian 19-20 Oktober 1677. Bupati Galuh yang berkuasa saat itu
adalah putra Jayanagara yang bergelar R.A. Angganaya (1678-1693). 36 VOC
32 Namanya adalah Yogaswara, sedangkan nama kecilnya adalah Mas Bongsar. Gelar
Raden Panji Aria dianugerahkan oleh raja Mataram karena Jayanagara dianggap satu visi dengan
raja Mataram.
33 Nama Galuh akan tetap dipakai dalam tulisan ini untuk mengidentifikasi kabupaten
Galuh.
34 Barunay berada sekitar 10 km di sebelah barat ibu kota kabupaten Ciamis. Nama
Barunay diganti menjadi Imbanagara setelah menjadi pusat pemerintahan yang baru. Pemindahan
pusat pemerintahan itu dilakukan tanggal 14 Mulud tahun He atau bertepatan dengan tanggal 12
Juni 1642 yang dijadikan sebagai hari jadi kabupaten Ciamis.
35 F. de Haan, op. cit, hlm. 73.
36 Angganaya adalah putra kedua Jayanagara, ia diangkat menjadi bupati Galuh karena
kakaknya yang bernama R. Anggapraja (nama kecilnya adalah Mas Tumbal) menolak jabatan
bupati yang diwariskan ayahnya karena ia tidak mau bekerja sama dengan VOC. Angganaya
memiliki empat orang anak dari seorang istri, yaitu R. A. Sutadinata, R. Angganata, R. Ay. Gilang,

21

menetapkan jumlah cacah untuk kabupaten Galuh sebanyak 708 jiwa,
Kawasen sebanyak 605 jiwa, sedangkan Bojong Lopang sebanyak 20 jiwa dan
10 desa. Beralihnya kekuasaan dari Mataram kepada VOC telah memberikan
keuntungan, yaitu semakin teraturnya sistem pemerintahan kabupaten.37
Bupati Galuh berikutnya adalah putra Angganaya yang bergelar R.A.
Sutadinata (1693-1706).38 Bertepatan dengan masa pemerintahannya, VOC
memberlakukan Prianganstesel sebagai sistem ekonomi dan indirect rule
sebagai sistem pemerintahan di seluruh daerah kekuasaannya. Sutadinata
adalah bupati Galuh pertama yang diakui sebagai bupati VOC. Kabupaten
Galuh resmi diserahkan kepada VOC oleh Mataram melalui perjanjian tanggal
5 Oktober 1705 sebagai imbalan atas jasa VOC membantu Pangeran Puger
merebut tahta Mataram dari Amangkurat III.
Pengganti

Sutadinata

adalah

putranya

yang

bergelar

R.A.

Kusumadinata I (1706-1727).39 Untuk mengawasi para bupati di wilayah
Priangan Timur, VOC mengangkat Pangeran Aria dari Cirebon sebagai
opziener.40 Ia mengeluarkan kebijakan yang berkaitan dengan Galuh, yaitu
dan R. Kartadinata.
37 Selain bupati, ada beberapa kepala daerah di bawahnya yaitu wedana, penghulu, dan
kepala cutak. Penghasilan para pejabat pemerintahan kabupaten diatur oleh VOC melalui
pembagian tanah jabatan (bengkok) dan wajib kerja (pancen).
38 Nama kecilnya adalah Mas Pato, ia adalah bupati Galuh pertama yang menyerahkan
hasil penanaman kepada VOC. Tahun 1695, ia menyerahkan 90 pikul lada yang ditanam di daerah
Kawasen (50 pikul) dan Imbanagara (40 pikul). Selain lada, ia juga menyerahkan 80 pikul tarum
dan 55 pikul kapas.
39 Kusumadinata I memiliki nama kecil Mas Bani. Dari pernikahannya dengan dua orang
istri, ia memiliki 5 orang anak, yaitu R. Ay. Candranagara, R.A. Kusumadinata II, R. Danukria, R.
Danumaya, R.Ay. Sarati.
40 Kabupaten Karawang dan Cianjur tidak diawasi oleh opziener karena kedua kabupaten
itu dianggap sebagai bagian dari Batavia. Bupati kedua kabupaten itu berada dalam pengawasan
langsung para pejabat VOC. Lihat Otto van Rees, op.cit, hlm. 87.

22

mengangkat patih Cibatu sebagai bupati Kawasen karena dianggap sebagai
menak tertua dan pandai. Ia juga melebur kabupaten Utama ke dalam
kabupaten Bojong Lopang.
Pengganti Kusumadinata I adalah putranya yang bergelar R.A.
Kusumadinata II (1727-1751).41 Ia menjabat bupati dalam waktu yang singkat
karena meninggal dalam usia muda. Ia belum berkeluarga, sehingga jabatan
bupati diwariskan kepada keponakannya yang kelak bergelar R.A.
Kusumadinata III. VOC tidak mengangkat salah satu adik Kusumadinata II,
yaitu Danumaya dan Danukriya karena mereka berlainan ibu, oleh karena itu
VOC memutuskan untuk mencalonkan putra kakak perempuan Kusumadinta
II.
Pemerintahan Galuh dijalankan sementara oleh 3 orang wali
Kusumadinata III yang dipimpin oleh R.T. Jagabaya. Pada masa
pemerintahannya, terjadi kericuhan besar di daerah Ciancang yang
menyebabkan daerah itu porak-poranda.42 Peristiwa itu dipimpin oleh
Tumenggung Banyumas dan dibantu oleh Ngabehi Dayeuh Luhur. VOC
menggabungkan Ciancang ke dalam wilayah Imbanagara dan menyerahkan
pengawasannya kepada Jagabaya. Pemerintahan Galuh diserahkan kepada
Kusumadinta III (1751-1801) setelah dewasa.43 Ia berhasil memulihkan
41
Kusumadinata II memiliki nama kecil Mas Baswa, ia juga mendapatkan sebutan Dalem
Kasep yang artinya bupati tampan.
42 Nama Ciancang diubah menjadi Utama setelah tiga kali berturut-turut dilanda
kericuhan (nista maja utama).
43 Nama kecil Kusumadinata III adalah Mas Garuda, ia masih anak-anak ketika ditujuk
sebagai calon pengganti Kusumadinata II.

23

kondisi Ciancang yang telah digabungkan ke dalam wilayah Imbanagara. 44
Selain berhasil memulihkan kondisi wilayah Galuh yang menurun,
Kusumadinta III berhasil memperkuat kehidupan agama masyarakat Galuh.45
Pengganti Kusumadinata III adalah putranya yang bergelar R.A.
Natadikusuma (1801-1806).46 Natadikusuma menjabat bupati Galuh dalam
waktu yang relatif singkat. Ia dianggap menghina pejabat Belanda yang
bernama Van Bast, sehingga dipecat dari jabatan bupati.47 Akibat perbuatannya
itu, ia ditahan untuk beberapa waktu di Cirebon tetapi kemudian dibebaskan
dan dikembalikan ke Imbanagara. Jabatan bupati Galuh tidak diwariskan
kepada putra Natadikusuma, tetapi diserahkan kepada bupati penyelang dari
Limbangan, yaitu R.T. Surapraja (1806-1811).48
Akibat perbuatan Natadikusuma, pemerintah kolonial memutuskan
untuk mengurangi wilayah kekuasaan Galuh. Banyumas dan Dayeuh Luhur
dikeluarkan dari wilayah Galuh. Kawasen, Pamotan, Pangandaran, dan
Cijulang digabungkan ke dalam wilayah kabupaten Sukapura, sedangkan
44 Berkat keberhasilan Kusumadinata III memulihkan kondisi Ciancang, VOC
menganugerahkan baju kebesaran dan lencana perak yang bertuliskan Vergeet Mij Niet.
45 Ia bersahabat dengan beberapa ulama besar dari Cirebon. Salah satu guru agamanya
adalah Kyai Bagus Satariyah yang mengajarkan tarikat satariyah.
46 Natadikusuma memiliki nama kecil Demang Gurinda, ia dikenal sebagai bupati yang
sangat dekat dengan rakyatnya dan membenci Belanda. Ia cenderung keras dalam menghadapi
para pejabat Belanda. Ayahnya sempat merasa khawatir dengan sikapnya yang sering menentang
kebijakan kolonial. Ia sangat melindungi rakyatnya dan tidak segan-segan melawan pejabat
Belanda yang dianggap bertindak keterlaluan. Tidak heran jika pemerintah kolonial mengawasinya
secara ketat karena tingkah lakunya lebih banyak memberontak dari pada patuh kepada mereka. Ia
memiliki 22 orang anak dari 8 orang istri.
47 Edi S. Ekajati, op.cit, hlm. 81.
48 Sebutan bupati penyelang adalah untuk mengidentifikasi bupati yang bukan keturunan
Galuh.

24

Utama dan Cibatu digabungkan ke dalam wilayah Imbanagara. 49 Bupati
Cibatu yang bernama R.T. Jayengpati Kartanagara (1811-1812) diangkat
menjadi bupati Galuh, ia dibebankan kewajiban membayar utang kabupaten
Galuh sebanyak 23.000 Rds.50
Jayengpati memindahkan pusat pemerintahan Galuh dari Imbanagara
ke Cibatu. Ia tidak lama menjabat karena pemerintah kolonial menggantinya
dengan R.T. Natanagara (1812) dari Cirebon. Natanagara mengusulkan kepada
pemerintah kolonial untuk memindahkan pusat pemerintahan ke Randengan,
tetapi usul itu ditolak. Natanagara dipecat karena dianggap tidak mampu
mengatasi pemberontakan yang terjadi di Nusa Kambangan. Penggantinya
adalah P. Sutawijaya (1812-1815) dari Cirebon.
Sutawijaya didampingi oleh tiga orang patih, yaitu Wiradikusuma,
Wiratmaka, dan Jayadikusuma.51 Pada masa pemerintahannya, daerah Dayeuh
Luhur, Madura, dan Nusa Kambangan dimasukkan ke dalam kabupaten
Banyumas. Imbanagara diserahkan kepada patih Wiradikusuma, Cibatu
kepada Jayakusuma, sedangkan Utama kepada Wiratmaka. Sutawijaya
memindahkan pusat pemerintahan dari Cibatu ke Burung Diuk untuk
memudahkan pengawasan pembangunan Dayeuh Anyar yang dipersiapkan
sebagai ibu kota kabupaten yang baru.52
49 Nama Galuh dipakai kembali sebagai nama kabupaten mengganti Galuh Imbanagara.
50 Natadikusuma dianggap tidak membayar upeti selama 4 tahun, seingga ia berhutang
kepada pemerintah kolonial sebesar 200.000 real yang harus ditanggung oleh bupati berikutnya.
51 F. de Haan, op.cit, hlm. 84.
52 Dayeuh Anyar berarti kota baru, kelak dinamai Ciamis setelah pusat pemerintahan
pindah ke kota itu. Nama Ciamis dianggap sebagai penghinaan Sutawijaya kepada Galuh. Dalam
bahasa Cirebon, Ciamis artinya air anyir, sedangkan dalam bahasa Sunda Ciamis artinya adalah air
manis. Kota Ciamis hingga sekarang tetap menjadi ibu kota kabupaten Ciamis.

25

Patih Galuh yang bernama Wiradikusuma (1815-1819) diangkat
sebagai bupati Galuh menggantikan Sutawijaya yang kembali ke Cirebon. 53
Meskipun sudah lanjut usia, pemerintah kolonial mempercayainya untuk
memimpin kabupaten Galuh. Pada masa pemerintahannya, pusat pemerintahan
Galuh dipindahkan dari Cibatu ke Ciamis.54 Ia mengajukan pensiun kepada
pemerintah kolonial yang disetujui pada tahun 1819. Penggantinya adalah
putranya yang bergelar R.A. Adikusuma (1819-1939).55 Pada masa
pemerintahannya, kabupaten Kawali dan Panjalu digabungkan ke dalam
kabupaten Galuh. Untuk selanjutnya kabupaten Galuh dibagi menjadi 4
distrik, yaitu Ciamis, Kepel, Kawali, dan Panjalu.56 Pada masa pemerintahan
Adikusuma, pemerintah kolonial menggulirkan Sistem Tanam Paksa atau
Cultuurstelsel. Komoditas tanaman perdagangan yang dikenai tanam wajib di
Galuh adalah kopi, beras, tebu, dan tarum.
Pengganti Adikusuma adalah putranya yang bergelar R.A.A.
Kusumadiningrat (1839-1886).57 Galuh mengalami perkembangan relatif
53 Wiradikusuma mendapat gelar Raden Tumenggung dari pemerintah kolonial setelah
menjabat bupati Galuh. Ia memiliki 9 orang anak dari dua orang istri.
54 Kabupaten Galuh resmi menjadi bagian dari Keresidenan Cirebon berdasarkan
Besluit no. 23/ 5 Januari 1819.
55 Pada tahun 1820, Adikusuma secara resmi mendapatkan gaji dari pemeritnah kolonial
sebesar f. 500 dan bengkok seluas 100 bau.
56 Kabupaten Galuh dibagi ke dalam empat distrik, yaitu distrik Ciamis, Panjalu, Kawali,
dan Kepel (diubah menjadi distrik Rancah). Jumlah desa mencapai 91 desa, yang kelak bertambah
menjadi 238 desa pada pemerintahan Kusumadiningrat.
57 Kusumadiningrat yang lebih dikenal dengan sebutan Kangjeng Prebu sangat besar
minatnya dalam kesenian. Beberapa kesenian rakyat seperti angklung, reog, ronggeng, calung,
terbang, rudat, wayang, penca, dan berbagai macam ibing (tarian) berkembang pesat pada masa
pemerintahannya. Ia bahkan menciptakan ibing baksa, yaitu ibing nyoderan atau tarian pembuka
pada ibing tayub.

26

signifikan di bawah kepemimpinannya, terutama di bidang pendidikan dan
pembangunan fisik. Kusumadiningrat memprakarsai pembangunan beberapa
saluran irigasi yang sangat berguna bagi pertanian rakyat, yaitu bendungan
Nagawangi, Wangundireja, Cikatomas, dan Nagawiru. Ia juga memprakarsai
pembangunan 3 buah pabrik minyak kelapa dan sebuah pabrik penggilingan
kopi.58 Ia juga membangun masjid agung Galuh dan gedung-gedung
perkantoran di daerah Ciamis. Selain itu, ia juga berhasil meyakinkan
pemerintah kolonial untuk mengalihkan jalur kereta api melewati daerah kota
Ciamis. Jalur kereta itu terpaksa dibangun di atas jembatan Cirahong agar bisa
dialihkan ke kota Ciamis.
Pengganti Kusumadiningrat adalah putranya yang bernama R.A.A.
Kusumasubrata (1886-1914). Sejak kecil ia sudah dibimbing dan persiapkan
oleh ayahnya untuk menjadi penggantinya. Salah satu bentuknya adalah
memasukkan Kusumasubrata (juga saudara-saudaranya) ke sekolah formal
selain

pesantren.59 Awalnya

Kusumasubrata

disekolahkan

di

Sakola

Kabupaten Sumedang yang memiliki guru bahasa Belanda bernama Warnaar. 60
Ia tidak melanjutkan sekolahnya karena sakit, lalu dibawa pulang ke Galuh
dan di sekolahkan di Sakola Kabupaten Galuh. Kusumasubrata melanjutkan

58 Salah satunya adalah pabrik minyak Olvado yang didirikan di Ciamis, sedangkan
pabrik penggilingan kopi didirikan di Kawali.
59 Semua putra Kusumadiningrat disekolahkan di berbagai sekolah, ada yang di Sakola
Kabupaten Galuh, Bandung, dan Sumedang, bahkan di Hoofdenschool.
60 R.A.A. Koesoemasubrata, Ti Ngongkoak doegi ka Ngoengkoeeoek, (Bandung:
Mijvorking, 1926), hlm.102.

27

sekolahnya, ia didaftarkan ke Kweekschool di Bandung, tetapi tidak diterima.61
Akhirnya ia sekolah di Hoofdenschool yang baru saja dibuka di Bandung. 62
Setelah menyelesaikan sekolahnya, ia magang di kabupaten Galuh sebagai
juru tulis kabupaten.63
Keturunan Kusumasubrata tidak ada yang menjadi bupati Galuh.
Meskipun dekat dengan para pejabat Belanda, namun tidak membuat mereka
memihak kepada Belanda. Tidak hanya kepada pejabat Belanda saja mereka
memberontak, kepada para ayah angkatnya yang berkebangsaan Belanda pun
mereka cenderung memberontak. Putra Kusumasubrata yang bernama R. Otto
Gurnita Kusumasubrata menjadi salah satu pendiri Negara Pasundan yang
menentang Belanda.
Bupati Galuh berikutnya adalah R.A.A. Sastrawinata (1914-1936). Ia
mengganti nama kabupaten Galuh menjadi kabupaten Ciamis pada tahun
1916. Tahun 1926 bersama-sama dengan kabupaten Tasikmalaya dan Garut,
Ciamis dimasukkan ke dalam afdeeling Priangan Timur. Sastrawinata
mendapat Bintang Willems Orde karena berhasil menumpas pemberontakan
komunis yang dipimpin oleh Egom, Hasan, dan Dirja yang meletus di Ciamis.
Ia juga mendapatkan penghargaan Bintang Tanjung dan stempel singa dari

61 Tidak ada keterangan mengenai alasan tidak diterimanya Kusumasubrata di sekolah
itu.
62 Sikap Kusumadiningrat mencerminkan kesadarannya dalam menghadapi dan
menyikapi perkembangan serta perubahan zaman. Ia beranggapan bahwa kualitas para putranya
harus ditingkatkan untuk memenuhi tuntutan perubahan zaman.
63 Para magang harus mempelajari etiket dan gaya hidup menak serta menghayati
metode. Mereka tinggal dalam lingkungan keluarga menak dan mengerjakan apa saja tanpa
bayaran.

28

pemerintah kolonial atas jasanya membuka rawa-rawa di daerah Cisaga untuk
dijadikan area pesawahan.

BAB III
MENJADI BUPATI KOLONIAL

Bupati adalah penguasa kabupaten dengan segenap isinya, sehingga rakyat
menganggap bupati sebagai rajanya. Kontras dengan itu, para pejabat Belanda
menganggap bupati tidak lebih dari sekedar pemimpin pribumi yang disebut
regent. Para bupati atau pemimpin pribumi (volkshoofden) adalah kelas penguasa
yang memiliki kewibawaan dan kekuasaan tinggi di masyarakat, tetapi mereka

29

adalah pejabat-pejabat yang berada di bawah kekuasaan asing yang lebih tinggi
yaitu pemerintah kolonial Belanda.

A.

Bupati di bawah Kekuasaan Asing
Konsep kekuasaan dalam tradisi Sunda mengharuskan bupati sebagai
penguasa adalah sosok terusing ratu, menak rembesing kusumah64 yang telah
dititisi pulung bupati sebelumnya. Kabupaten adalah kerajaan dalam bentuk
kecil, maka bupati disamakan dengan raja yang menguasai dan memiliki
seluruh daerah kekuasaan serta segala isinya. Meskipun bupati memerintah
atas nama penguasa di atasnya, rakyat tetap menganggap bupati sebagai raja. 65
Rakyat patuh dan tunduk kepada bupati, sementara bupati mengimbangi
dengan mengayomi serta melindungi rakyatnya. Hubungan timbal balik itu
harus senantiasa dijaga karena kedua pihak saling membutuhkan dan
melengkapi.
Bupati harus memiliki sorot yang kuat dan legeg menak,66 bertabiat
luhur, pandai, rajin, setia, teguh, dan mampu memutuskan perkara berdasarkan
pertimbangan baik dan buruk. Bupati harus menguasai berbagai pengetahuan,
termasuk pengetahuan kenegaraan dan keagamaan yang luas. Integritas bupati
sangat ditentukan oleh pengetahuannya, jika ia pandai dan cerdas maka ia

64 Setiap penguasa harus keturunan raja, bangsawan, dan leluhur yang agung. Lihat R.
Memed Sastrahadiprawira, Pangeran Kornel, (Bandung: Rahmat Cijulang), 1986, hlm. 91.
65 Suhardjo Hatmosuprobo, Bupati-Bupati di Jawa pada Abad 19, (Yogyakarta:
Javanologi, 1986), hlm. 5.
66 Legeg menak adalah tindak tanduk ideal menak, yaitu gagah, cakap, sabar, arif,
toleran, tenang, rendah hati, berani, ksatria, percaya diri, sacangreud pageuh sagolek pangkek
(teguh pendirian), dan beriman.

30

dapat memahami, menjawab, dan menyelesaikan setiap persoalan dengan
bijak. Bupati harus mampu membaca dan memahami keadaan rakyat,
melindungi rakyat dari segala ancaman dan bahaya, serta menjadi andalan
rakyat terutama ketika mendapatkan masalah.
Kehidupan kabupaten adalah kehidupan ideal sekaligus menjadi pujaan
rakyat kabupaten, sehingga mereka akan bangga jika bisa masuk dan menjadi
bagian di dalamnya. Rakyat akan merasa terpanggil dan suka rela untuk
ngawula kepada bupati dan keluarganya. Setiap tugas dan perintah, terutama
dari bupati akan dilaksanakan dengan sepenuh hati. Tugas-tugas yang
dilakukan kawula kabupaten antara lain bertugas jaga di rumah bupati,
mengantar surat dinas, dan membawa berbagai pusaka serta perlengkapan
upacara. Berbagai pusaka, simbol, dan atribut kebesaran bupati harus selalu
ada di dekat bupati, baik saat audiensi maupun saat melakukan kunjungan ke
daerah.67
Leluhur bupati Galuh memerintah secara otonom sebelum dikuasai oleh
Mataram Islam pada tahun 1595. Meski dengan berat hati, bupati berikutnya
memerintah di bawah kekuasaan Mataram Islam. Kehadiran Belanda disambut
baik oleh bupati karena diharapkan dapat membantu memperkuat kedudukan

67 Contohnya senenan dan tournee. Senenan adalah perjalan dinas bupati yang
dilakukan setiap hari Senin. Agaknya kebiasaan senenan di Priangan meniru kebiasaan saptonan
di Mataram, karena Raja Mataram melakukan kebiasaan saptonan. Tournee adalah tugas meninjau
secara langsung keadaan daerah sebagai bahan laporan kepada Residen. Ketika tournee, bupati
diikuti oleh 6 hingga 10 pejabat bawahan lengkap dengan pangderek dalam jumlah besar. Semua
keperluan tournee menjadi tanggungan pejabat daerah yang dikunjungi, mulai dari wedana hingga
lurah. Tournee sering dimanfaatkan oleh bupati dan pejabat lain sebagai ajang nyanggrah, yaitu
meminta barang-barang milik rakyat, misalnya gadis dan kuda. Lihat D.H. Burger, Sedjarah
Ekonomis Sosiologis Indonesia II (diterjemahkan dan disadur oleh Prajoedi Atmosoedirdjo),
(Jakarta: Pradnja. 1967), hlm. 118.

31

mereka untuk melepaskan diri da