MAKNA RUANG DALAM PERMUKIMAN PECINAN ASP

MAKNA RUANG DALAM PERMUKIMAN PECINAN (ASPEK YANG
TERLUPAKAN DALAM UPAYA REVITALISASI KAWASAN)
Oleh:
Jamilla Kautsary
Ir. Achmad Djunardi, MUP, Ph.D
Ir. Sudaryono, S, M.Eng, Ph.D
Ir. LEksono P Subanu, MURP, Ph.D
Disampaikan Pada:
Seminar Nasional Eco Urban Design
Universitas Diponegoro
2008

LATAR BELAKANG
Fenomena kegiatan revitalisasi kawasan lama khususnya di Semarang
selalu dipandang sebagai upaya esklusif untuk menjadikan kawasan
sebagai artefak dan diidentikkan dengan pembuatan produk arahan desain
kawasan dari pemerintah (bersifat top-down). Padahal tujuan utama dari
konservasi khususnya revitalisasi bukan untuk mengembalikan kesan masa
lalu, tetapi melestarikan apa yang ada dan mengarahkan perkembangnnya
di masa yang akan datang (Catenese, 1984).
Demikian juga dengan upaya revitalisasi Kawasan Pecinan. Selama

ini upaya yang dilakukan lebih banyak menyoroti upaya pengembangan
kawasan sebagai kawasan wisata, perubahan struktur morfologi dan
arsitektur bangunan. Upaya revitalisasi kemudian berkembang menjadi
komoditas prospektif yang hanya memberikan keuntungan ekonomi bagi
pihak tertentu khususnya pengusaha pariwisata dan pemerintah daerah.
Hal ini menimbulkan kolusi kepentingan ekonomi yang bersifat jangka
pendek dan merusak kearifan lokal yang memunculkan banyak persoalanl
karena adanya perbedaan antara rahapan masyarakat dan kenyataan dalam
upaya revitalisasi. Kondisi ini juga menyebabkan munculnya konflik
aktivitas
yang
berdimensi
ruang
dan
waktu
yang
pada
akhirnya
memunculkan respon negative masyarakat yang berupa penolakan warga
terhadap upaya revitalisasi (Kautsary, 2005).

Bila ditelaah lebih dalam, penolakan masyarakat ini terjadi
karena revitalisasi kawasan lebih banyak menggunakan teori perencanaan,
urban design, arsitektur, pariwisata dan bahkan studi-studi yang
lainnya yang hanya didasarkan pada tradisi disain tingkat tinggi
(hight-design traditions), dengan teori-teori yang menitik beratkan
pada hasil pekerjaan para perencana dan perancang, dan mengabaikan
lingkungan-lingkungan yang didesain oleh rakyat biasa atau tradisi
populer masyarakat akibatnya pemahaman budaya lokal terutama makna
ruang terlalu dangkal(Rapopot, 1984).
Dari uraian di atas maka perlu kiranya untuk menemukan makna ruang
pemukiman Pecinan yang mempunyai keterkaitan emosional dan kultur
dengan masyarakat setempat. Studi ini diharabkan dapat memberikan
sedikit
sumbangsih
terhadap
pelestarian
kawasan
Pecinan,
agar
karakteristik unik dan interaksi positif antara ruang dan masyarakatnya

tetap terjaga dengan baik.
KAJIAN TEORITIK
Budaya, Ruang dan Makna Ruang

Terdapat tiga definisi budaya terkait dengan sistem budayalingkungan. Pertama menggambarkan jalan hidup yang khas dari suatu
kelompok tertentu, kedua
sebagai sistem maksud/arti, lambang, dan
skhemata yang dipancarkan
melalui kode simbolis, dan ketiga sebagai
satuan strategi adaptip untuk bertahan hidup berhubungan dengan ekologi
dan sumber daya (Rapoport, 1968).
Pengertian di atas menurut Rapoport (1968) adalah saling
melengkapi dan bukan saling bertentangan. Dengan demikian kultur
dimulai dari strategi adaptasi suatu kelompok di dalam pengaturan
ekologis mereka,
yang kemudian disandikan dalam teori schemata,
lambang, dan beberapa visi dari suatu kondsi ideal, dan hal ini yang
belanjut pada generasi berikutnya. Kondisi ini, pada gilirannya, akan
mendorong ke arah jalan hidup tertentu dan cara bertindak, mencakup
perancangan dan pengaturan lingkungan untuk kelompok tertentu yang

dilihat sebagai norma dan gaya hidup tertentu yang penting dan khas,
yang berbeda dengan golongan lainnya.
Ruang juga merupakan aspek dari lingkungan yang sangat penting.
Hal ini bukan sebuah konsep yang umum atau simpel. Ruang lebih dari
sekedar ruang fisik 3 dimensional. Pada waktu dan konteks yang berbeda
akan menghasilkan jenis ruang yang berbeda, dan hal ini merupakan isu
desain yang penting karena ruang terkait dengan sistem budaya dan
lingkungnnya.
Perancangan Kota sebagai Suatu Organisasi Ruang, Waktu Arti dan
Komunikasi.
Terkait
dengan
sistem
budaya-lingkungan,
kota-kota
maupun
permukiman
merupakan
perwujudan
dari

sistem
pengaturan
yang
menggambarkan organisasi ruang, arti, komunikasi dan waktu.
a. Organisasi ruang. Perencana dan perancang pada dasarnya menangani
organisasi ruang. Ruang dapat dipandang dengan cara yang berbedabeda. Hal ini dapat diperlihatkan dengan suatu ilustrasi, mengingat
para perancang dan masyarakat sering memberi arti yang berbeda-beda
terhadap konsep ruang. Ruang terbangun
pada masyarakat tradisional
adalah ruang yang disucikan dan sedangkan pada masyarakat modern
ruang terbangun adalah ruang geometris. Lingkungan juga dapat
dilihat sebagai serangkaian hubungan antara elemen-elemen dan
manusianya (antara benda dan benda lain, antara orang dan benda dan
antara manusia dan manusia). Hubungan –hubungan tersebut sebenarnya
teratur dalam arti punya suatu pola dan struktur.
b. Organisasi arti. Desain dan rencana juga mewujudkan bayangan ideal
dan menggambarkan harmonisasi antara ruang fisik dan ruang sosial.
Desain dan rencana dalam organisasi ruang juga mencerminkan budaya
dari kelompok atau individu yang terlibat. Desain dan rencana
tersebut mewujudkan bayangan ideal dan menggambarkan keharmonisan

hubungan (atau tiadanya) antar ruang fisik dan ruang sosial.
Hubungan tersebut juga merupakan contoh dari pengorganisasian arti
dan keduanya dapat dibedakan secara konseptual yang sering di
ekspresikan dalam tanda, bahan/material, warna, bentuk, pemandangan
dan yang lainnya.
c. Organisasi komunikasi. Keharmonisan seperti itu penting sebab artiarti yang diperlihatkan oleh lingkungan dan oleh pengaturanpengaturan di dalamnya membantu komunikasi antar penduduk (sedangkan
arti adalah komunikasi dari lingkungan ke manusia). Dengan demikian
melalui arti dan ruang, lingkungan mempengaruhi dan mencerminkan
pengorganisasian komunikasi, kapan, di mana dan dalam konteks apa,
merupakan cara yang penting dalam menghubungkan dan mengaitkan
lingkungan buatan dengan organisasi sosial.

d.

Organisasi waktu. Lingkungan juga bersifat temporal dan dapat
dianggap sebagai organisasi waktu, sebagai refleksi dan pengaruh
dari organisasi waktu. Hal ini mungkin di pahami dalam 2 cara.
Pertama cenderung mengarah pada struktur kognitif waktu pada skala
yang luas sebagai aliran linier versus waktu yang berputar,
orientasi masa depan versus masa lampau, bagai mana waktu dinilai

dan bagaimana dibagi menjadi unit-unit dan sebaginya. Ke dua lebih
mengarah pada tempo dan ritme dari aktivitas manusia dan kesamaan
atau perbedaan antara yang satu dengan yang lainnya.
Ruang juga bisa dibedakan menjadi ruang yang didesain dan tidak
didesain (dalam arti mengikuti aturan-aturan dan merefleksikan arti
lingkungan yang ideal). Dua jenis sistem pengaturan diilustrasikan pada
dua jenis ruang yaitu ruang geometrik abstrak dan ruang spiritual.
Banyak permukiman dan perumahan hanya dapat dipahami dengan cara ini
seperti beberapa kota kebudayaan tinggi seperti Cina, India dan yang
lainnya. Kedua ruang ini menggambarkan ruang simbolik
Revitalisasi
Revitalisasi merupakan salah satu jenis pelestarian dengan
mengadaptasikan bangunan lama yang sudah tidak tidak praktis lagi untuk
melayani penggunaan baru danpada saat yang sama mempertahankan bentuk
karakteristik orisinilnya. Revitalisasi dapat dilakukan tanpa atau
dengan mengubah bentuk bangunan. Kadang memang tidak dapat dihindari
bila ditilik dari analisis biaya manfaat tidak menguntungkan untuk
dilestarikan, maka biarlah facade bangunannya saja yang dipertahankan
agar pengamat bisa membayangkan wajah kota pada masa lalu (Budihardjo,
1991).

Upaya revitalisasi kawasan lama bukan hanya sekedar usaha
melestarikan bangunan, tapi sudah juga merupakan usaha menghidupkan
ekonomi
kawasan
yang
mengalami
kemunduran
Cohen,
1999).
Upaya
pelestarian pada saat ini merupakan usaha-usaha yang holistik yang
bertujuan untuk memberikan kualitas kehidupan masyarakat yang lebih
baik berdasar kekuatan sumber daya lama, dan melakukan suntikan
kehidupan yang menarik dan kreatif, berkelanjutan, serta melibatkan
masyarakat dengan memperhitungkan nilai ekonomi. Manajemen merupakan
alat untuk mencapai tujuan termasuk keterlibatan total masyarakat untuk
mengelola sendiri/people centered management (Laretna, 2000).
Suntikan kegiatan baru yang memanfaatkan budaya dalam suatu
kawasan harus terkait erat dengan sistem budaya dan lingkungan yang
dibangun oleh masyarakat lokal. Dukungan untuk membangkitkan kebanggaan

terhadap apa yang akan dikembangkan sangat penting. Begitu pula dalam
pemilihan aktivitas yang akan dihidupkan kembali perlu penanganan yang
jeli. Kondisi ini menuntut pengelola yang mampu berkerja dekat dengan
masyarakat lokal dan bersamaan dengan itu mampu mengembangkan jaringan
dengan pihak luar sangat diperlukan (Boyer, 1994: 8).
METODE PENDEKATAN
Penelitian makna ruang pada konsep permukiman tradisional China
ini merupakan penelitian yang mencoba nemnggungkap sesuatu dibalik
fenomena, sehingga metode penelitian yang digunakan deduktif kualitatif
fenomenologi. Melalui pendekatan ini peneliti bisa lebih dalam untuk
mengungkap, menggambarkan dan menganalisis kenyataan, fenomena dan
peristiwa sosial yang benar-benar terjadi dan mengungkap apa yang ada
dibalik kejadian itu berdasarkan background knowladge grand grand
theory yang peneliti gunakan. Langkah-langkah penelitian ini dapat
dilihat pada diagram berikut:

GRAND
THEORY

KONSEP


PARAMETER

TEORI

KONSEP

KONSEP

TEMA

TEMA

TEMA

ABSTRAK
EMPIRIS
ui

ui


ui

ui

ui

ui

Sumber : Sudaryono (2006)
ui

: unit informasi

Dengan pendekatan ini maka objek penelitian adalah kepala
keluarga yang lahir dan besar di lingkungan Pecinan Semarang
(sample purposive) serta beberapa tokoh di luar objek penelitian
yang
ditunjuk
oleh
informan
sebelumnya
untuk
kepentingan
trianggulasi informasi. Implikasi dari pemilihan informan ini
peneliti tidak menentukan jumlah sampel terlebih dahulu. Sedang
teknik perekaman data melalui wawancara mendalam, observasi dan
foto-foto. Data dan informasi yang dikumpulkan berupa kata-kata,
penjelasan, gambaran, sketsa-sketsa, foto dengan catatan, naskah
wawancara, hasil pengamatan dan pencatatan. Data dan informasi
ini kemudian disajikan secara diskriptif (gambaran konteks/sifat
natural).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Manusia sebagai makhluk hidup mempunyai naluri untuk
bertahan hidup tetapi karena adanya perbedaan lingkungan tempat
dimana
mereka
tinggal,
akan
memicu
munculnya
perbedaan
‘kehidupan’ yang mereka jalani dan akhirnya setiap suku bangsa
mempunyai corak yang berbeda-beda. Berbedaan ini dapat berupa
tatanan sosial, pemikiran bahkan juga memunculkan ajaran dan
spiritual yang berbeda pula. Kondidi inilah yang kemudian
menyebabkan
masing-masing
suku
bangsa
mempunyai
keunikan
tersendiri dan tercermin dari seni, budaya, tatanan sosial dan
sebagainya.

Gambar 1. Struktur kawasan
Pecinan
Semarang,
yang
cenderung menunjukkan struktur
yang grid-organik.
Sumber:
ICONOS SEMARAng 2004

Hal di atas juga akan mempengaruhi tatanan ruang pada
permukiman tradisional. Tatanan permukiman tradisional selalu
memiliki makna tertentu bagi masyarakat penciptanya. Tatanan yang
sama dengan makna yang berbeda
akan memiliki struktur yang
berbeda pula. Demikian juga dengan tatanan dan maknan ruang pada
permukiman Pecinan Semarang yang terbentuk dari karakter sosio
kultural yang berkembang dan ada di permukiman ini.
Secara struktur Pecinan semarang memiliki pola grid yang
organic, dengan beberapa klenteng di ujung gang dan sungai yang
memgelilingi kawasan ini. Jika kita melihat lebih dalam terkait
dengan pola peletakan dan fungsi klenteng baik klenteng lokal
maupun lingkungan, maka struktur ini lebih mengarah ke fungsi
sebuah benteng yang akan melindungi kawasan pecinan dari musuh
(jaman dahulu) dan roh jahat yang akan memasuki kawasan. Walaupun
benteng ini secara fisk sudah tidak ada tetapi simbolisme
peletakan klenteng lingkungan dan klenteng lokal ini masih
menyimbulkan adanya suatu upaya perlindungan walaupun secara
imaginer.
Dari hasil wawacara dan perekaman mendalam terhadap unitunit informasi yang berupa pemikiran-pemikiran atau pendapat
individu dari masyarakat (tokoh masyarakat), juga terlihat
bahwa
di
dalam
kawasan
juga
ada
benteng-benteng
utuk
mempertahankan kehidupan perekonimian yang berupa aglomerasi
perdagangan yang mengelompok di setiap gang serta benteng rumah
untuk keselamatan penghuni.
Sepanjang gang Pinggir (centra perdagangan emas);
b) Sepanjang
gang
Lombok
(centra
perdagangan
makanan
khas/tradisional Cina);
c) Sepanjang
gang Pedamaran (centra perdagangan jamu dan
kelontong);
d) Sepanjang gang Warung (centra perdagangan kain);
e) Sepanjang
gang Beteng (centra perdagangan grosir alat
tulis);

f) Sepanjang
gang
g
Baru (centra perdagangan hasil
h
bumi dan
kebutuhan rit
itus masyarakat Cina/Pasar Gang Ba
aru);
g) Sepanjang
gang Gambiran, Belakang dan gang
Mangkok
(campuran hun
unian/rumag tingga dan jasa);
h) Sepanjang gang
ga
Tengah (perkantoran dan jasa)
);
i) Sepanjang
gang
Besen
(centra perdaga
angan dan jasa
pembuatan pin
intu/pagar besi) .
3. Ho Kong Bio

2. Khong Tie Soe

7. Thien Hiem Kie

1.. Tay
T Kak Sie

6
6.Tang
Kee

8. Khay Tjiana Sing Ong
On

5. Ling
L
Hok Bio

4. Kwee Lak Kwa
Gambar 2. Delapan klenteng
kl
yang ada di Pecinan Semarang yang kebanyakan
berada di daerah tus
usuk sate dan menurut kepercayaan kaum
m Tionghoa tidak
bagus untuk rumah at
tau usaha. Pemanfaatan ruang tusuk sate
e untuk bangunan
ibadah dimaksudkan un
ntuk menekan hawa buru dan membuang sial
l (Ciong). Jalan
di depan klenteng (k
khusus jalan di gang Besen) merupakan jalan
j
besar yang
merupakan gambaran jalan
j
menuju surga atau kemakmuran (Su
umber: peneliti,
1999- 2005)

Gambar 3..Aktivitas di ruang jalan penggal jalan di Kawasa
an Pecinan,
mulai parkir di pagi
gi hari untuk pengunjung pasar Gang Bar
ru, bongkar
muat pada siang dan sore,
s
tempat berdo’a dan melakukan ritual
al keagamaan
sampai untuk kegiata
an Warung Semawis pada tiam malam mingg
gu (Sumber:
data primer, 1999-200
08)

Tabel I.
Perkembangan Fungsi Klenteng Dahulu dan Sekarang
No

Nama
Klenteng

Lokasi

Fungsi

1

Khong Tie
Soe

Gg. Lombok

Rumah
Abu

2

Tai Kak Sie

Gg. Lombok

3

Hoo Hok Bio

Gang Cilik

Klenteng
Budha
(klenten
g
besar/ke
nteng
induk)
Klenteng
Tao

4

Kwee Lak Kwa

Gg.
Pinggir

Klenteng
Tao

5

Liong Hok
Bio

Gg.
Pinggir

Klenteng
Tao

6

Tang
Kee/Tong Pek
Bio

Gg.
Pinggir

Klenteng
Tao

7

Sioe Hok Bio

Klenteng
Tao

8

Khay Tjiang
Sing Ong/See
Hoo Kiong

Jl.
Wotgandul
Timur
Sebandaran

9

Wie Wie
Kiong

Sebandaran

Klenteng
Tao

Klenteng
Tao

Fungsi Klenteng
Dahulu
Sekarang
Penjaga
Rumah abu
masyarakat
Balai
Balai Kota
Pengobatan
Penjaga
masyarakat
Tempat Pemujaan

Penangkal roh
jahat
Tempat Penjagaan
Penangkal roh
jahat
Tempat Penjagaan
Penangkal roh
jahat
Tempat Pemujaan
Penangkal roh
jahat
Tempat Penjagaan
Tempat Pemujaan
Penangkal roh
jahat
Tempat Penjagaan
Penjaga
masyarakat
Tempat Pemujaan
Tempat singgah
Penjaga
masyarakat
Tempat Pemujaan
Tempat
persinggahan

Tempat Pemujaan
Tempat
Berjuaalan
perlengkapan
sembahyangan
Tempat menerima
tamu
Tempat Pemujaan
Tempat
Pengobatan
Tempat Pemujaan
Tempat menerima
tamu
Tempat Pemujaan

Tempat Pemujaan

Tempat Pemujaan

Tempat Pemujaan

Tempat Pemujaan
Rumah Abu
Tempat
berbisnis

Sumber: Diolah dari berbagai sumber dan hasil induksi, 1999-2008
Semua aktivitas manusia berlangsung dalam ruang fisik. Ruang
hanya berarti apabila dihuni oleh manusia, karena makna ruang
diwujudkan oleh kehidupan manusia. Ruang tidak bisa ditanggapi secara
komplet dari aspek fisik atau budaya secara terpisah. Ruang akan
bermakna jika ruang mewadai dua
makna sekaligus dimana ruang fisik
mempunyai makna sosial dan ruang sosial selalunya dimanifestasikan oleh
ruang fisik.
Ruang-ruang fisik, dikawasan ini seperti dijelaskan diatas
melalui uraian dan gambar, secara sosial juga memiliki makna tersendiri
bagi masyarakat pecinan. Makna sosial inilah yang sering dilupakan
dalam upaya perbaikan kawasan memlalui proses refitalisasi. Dari
beberapa tahun pengamatan yang peneliti lakukan, makna-makna yang ada
pada tiap fungsi-fungsi ruang fisik dan sosial dikawasan ini, secara
ringkas dapat dilihat pada tabel 2 berikut:

Tabel 2
Aktivitas, Fungsi Dan Bentuk Simbolisme Di Kawasan Pecinan
Unit Ruang
Bangunan/Ruko

Aktivitas dan atau Karakter yang
tampak
- Perlindung

Bentuk Simbolisme

Makna
- Perlindungan

- Tempat
tinggal/perlindunga baik
dari cuaca atau gangguan
lainnya
- Tempat bekerja/bengkel/
berjualan/usaha dll

- Pagar/pintu besi,
dinding masif
- Patung 2 singa di depan
pintu
- Ruang toko
- Ruang kerja

- Berdo’a dan meletakkan sesaji
persembahan
- Berdo’a/Pemujaan
- Perayaan dewa/dewi
- Meletakkan sesaji
- Pemberian sedekah

- Tempat pemujaan pada
leluhur
- Tempat sembahyangan

- Kongpo ada di ruang
depan/ruang utama
- Penempatang meja altar
dan patung mak co/ kong
co atau altar leluhur

- Bakti (Hsiao/Houw)

- Pentas seni

- Tempat berekspresi

-

- Menerimaan tamu
agung/penginapan
- Pegawasan

- Ruang tamu
- Pengunapan/Tempat singgah
- Pintu gerbang yang
menghubungakan dengan
kawasan luar Pecinan
- Hiasan

- Ruang terbuka untuk
panggung
- Ruang penerima tamu
- Ruang singgah
- Letak klenteng di ujung
gang
- Arah hadap klenteng
- Patung/gambar harimau
putih di depan
klenteng/bangunan
- lukisan Long-yin atau
naga bersiul dan Hu-xiao
yang berarti harimau
menggeram
- Patung/ukiran dewa pintu

- Berdagang/berkarya

Klenteng

Fungsi

- Peletakan
patung/reliefe/gambar harimau
putih, dewa pintu, tulisan
Long-yai dan Hu-xiong

- Penghidupan

- Hubungan social
(Ceng Li)
- Bakti (Hsiao/Houw)
- Keseimbangan langit
dan bumi

-

- Perlindungan
(menantang pengaruh
jahat yang
mengganggu kelenteng
tersebut)
- Melambangkan anak
yang berbakti kepada
induknya/ Bakti
(Hsiao/Houw)

Unit Ruang
Jalan

Aktivitas dan atau Karakter yang
tampak
Pergerakan kendaraan,manusia dan
barang
Bongkat muat barang
Memajang barang dagangan
Tempat berkarya
Arakan kong co/mak co
Berdo’a/sujud di depan pintu

Kawasan

Klenteng di ujung jalan utama
masuk kawasan
Kehidupan berkelompok sesuai
barang dagangan/suku
Pendirian klenteng di pusat
aktivitas (dekat sungai)
Pola Jalan

Fungsi

Simbolisme

Ruang sirkulasi dan parkir

Makna
Kehidupan

Ruang pamer
Ruang kerja

Peletakan barang
dagangan di ruang jalan
Penempelan iklan

Jalan lewat kong co/mak
co/Altar
Mempermudah hubungan antara
langit dan bumi
- Penolak hawa buruk,
- Menghadang roh jahat
- Pos jaga
- Aglomerasi/keuntung-an
ekonomi
- Menjaga keutuhan kelompok
Kemudahan pencapaian

Peletakan lampion

Bakti (Hsiao/Houw)

Meja altar di depan
pintu
Posisi dan arah hadap
kelenteng local dan
lingkungan
Taponim jalan/gang

Pengapdian ‘Cung’
(setia).
Perlindungan

Klenteng masyarakat

Rasa syukur

Arah hadap/orientasi
jalan utara-selatan

Keteraturan dan
keseimbangan

Efisiensi

Perlindungan

Dari tabel di atas aktivitas yang ada baik yang dilakukan didalam
rumah/ruko, di ruang jalan atau di dalam kawasan secara umum, bila
dicermati secara lebih dalam, juga terlihat adanya keteratura diantara
kesemrawuta yang ada. Pola-pola aktivitas baik jenis, lokasi dan
karakter yang tampak yang dihasilkan oleh aktivitas tersebut menunjukkan
bahwa di dalam lingkungan fisik atau lingkungan geografis ada suatu
lingkungan operasional di mana orang-orang bekerja dan mempengaruhi
mereka. Di dalam lingkungan perseptual di mana orang-orang sadar secara
langsung dan di mana mereka memberi arti simbolis, terdapat lingkungan
tingkah laku di mana orang-orang tidaklah hanya peduli tetapi juga
menimbulkan tanggapan terhadap tingkah laku yang sama. Ruang ini
kenyataannya digunakan oleh kelompok sosial dan merefleksikan pola
tingkah laku dan persepsi mereka (ruang sosial).
Dari kajian diatas
dapat dilihat bahwa ada sebuah struktur
imaginer yang terbentuk dari pemaknaan pada ruang fisik dan ruang sosial
di kawasan pecinan, dapat dikatakan sebagai benteng berlapis. Benteng
pertama dilindungi oleh benteng nyata (pada awallnya yang saat ini sudah
dirobohkan), beteng ini didukung oleh peletakan klenteng masyarakat dan
klenteng lokal sebagai penangkal roh jahat dan tempat pos penjagaan.
Benteng kedua beropa perlindungan terhadap kegiatan perekonomian yang
berupa algomerasi kegiatan, walaupun benteng ini sekarang mulai berubah
menjadi spesifikasi, tetapi pada lingkun ini benteng perekonomian masih
dapat dikenali. Benteng terakhir dapat dilihat jelas pada bentuk hunian
masyarakat di pecinan. Faktoir keamanan merupakan terbenting bagi
mereka, sehingga beberapa pengaman dapat dilihat pada bangunan di
kawasan ini. Dari bentuk ini terlihat bahwa kawasan juga memiliki makna
keamanan. Pola benteng ini secara jelas dapat dilihat pada gambar
berikut
Keterangan
Pelindung I: musuh (jaman dahulu)
dan roh jahat
Pelindung II: Kehidupan perekonmian
Pelindung III Keselamatan manusia
Klenteng Masyarakat
Klenteng Lokal (orientasi jlan utama)
Klenteng Lingkungan (ujung gang)
Ruko/ruma

(Sumber: hasil analisis, 2008)

KESIMPULAN dan REKOMENDASI
Makna ruang yang dapat digali dari studi yang peneliti
lakukan dikawasan Pecinan komplek. Dari ruang-ruang fisik sebagai
wadah aktivitas, jika dikasi lebih lanjut ke ruang sosial akan
banyak makna yang membedakan ruang kawan ini dengan ruang
lainnya. Makna yang dapat dikenali antara lain berupa makna
penghormatan/bakti, pengapdian, , perlindungan, penghidupan, dan
keeimbangan.
Rekomendasi yang dapat diberikan dengan adanya makna-makna
ini, hendaknya dalam perencanaan ataupu upaya revilatlisasi

kawasan kita lebih elihat kearifan yang dibentuk oleh konsesnsus
masyarakat setempat, sehingga bentrokan aktivitas yang berdemensi
ruang dan waktu dapat dihindari
PUSTAKA BUDAYA DAN ARSITEKTUR PERMUKIMAN CINA
Text Books
Catanese, JA., 1983, ” Introduction to Urban Planning (terjemahan),
Airlangga, Jakarta
Koentjoroningrat,….., “Manusia dan Kebudayaan di Indinesia” Djembana.

Junhua.,
and
Daniel
Benjamin
Abramson.,
1997,
“Vernacular
Architecture in Historic Chinese Cities”. Department of Urban
Planning and Design of the School of Architecture at Tsinghua
University Beijing, China.
Ma, J.C., and Fulong, Wu., 2005, “Restructuring the Chinese City:
Changing Society, Economy and Space”, First published, Routledge 2
Park Square, New York.
Norbet, Schnoenaver., 1992, “History of Housing”, McGill, University
School of Architecture, Canada. (The Traditional Urban Houses in
China)
Steinhardt,
NS,
1984,
“Chinese
Traditional
Architecture”,
Chine
Institute in America.
Rapoport, A.,
1986, “Asal-Usul Budaya Pemukiman, dalam Pengantar
Perencanaan Kota. Penyunting Catanese J. A., dan Snyder, terjemahan
Sasongko, Airlangga, Jakarta
Rapoport, A., 1980, “Human Aspects of Urban Form: Toward a Man
Environment Approach to Urban Form dan Design” 2nd Edition, Printed
in Great Britain, Wheaton & Co. Ltd, Exeter. Oxfort: Pergamon Press.
Williams. C. A. S, 2006, “Chinese Symbolism and Art Motifs”, Tuttle
Publishing, Singapore
Researches
Mutiari, Dani .,2007, ”Landasan Konsep Arsitektur Rumah Toko Cina: di
Kawasan Sekitar Pasar Gedhe Surakarta”. Sekolah Pasca Sarjana UGM,
Yogyakarta (tidak dipublikasikan)
Mutiari, Dani., 2005, “Tipologi dan Morfologi Permukiman Cina di
Surakarta: Studi Kasus di Kampung Pecinan Pasar Gedhe Surakarta”.
Sekolah Pasca Sarjana UGM, Yogyakarta (tidak dipublikasikan)
Kautsary, J., 2008,“Budaya dan Ruang pada Permukiman Tradisional Pecinan
Semarang”,
Sekolah
Pasca
Sarjana
UGM,
Yogyakarta
(tidak
dipublikasikan)
Kautsary, J., 2007, “Model Pengembangan Permukiman Tradisional Pecinan
Sebagai Kawasan Wisata Budaya (Hibah Bersaing dikti 2007)
Kautsary,
J.,
2007,“Karakteristik
Psikologis,
Sosial
dan
Budaya
Masyarakat Pecinan Semarang”, Sekolah Pasca Sarjana UGM, Yogyakarta
(tidak dipublikasikan)
Kautsary, J., 2005, ”Konflik Kepentingan di Kawasan Permukiman Wisata
Budaya Pecinan Semarang (Proceedings Seminar Nasional Arsitektur
Lingkungan dan Pariwisata Menuju Pembangunan Berkelanjutan, Hal.
III-6 - III-14, ISSN 979-25-0021-9: 10 September 2005)
Kautsary, J., 2005, “Penolakan Masyarakat Pecinan terhadap Kebijakan dan
Program Revitalsasi Kawasan”, Sekolah Pasca Sarjana UGM, Yogyakarta
(tidak dipublikasikan)
Kautsary, J., 2003, Pengembangan Konsep Ruang Terbuka Sekitar Sungai
(River Front) Kali Semarang: Suatu Strategi Pemanfaatan Ruang
Terbuka Kawasan Pecinan Semarang. Dikbud, Jawa Tengah.

Kautsary, J., 2002, “Optimalisasi Ruang Terbuka Kawasan Pecinan sebagai
Lingkungan Pejalan Kaki: Suatu Strategi Pendukung Revitalisasi
Kawasan Little Netherland sebagai Kawasan Wisata Arsitektural”,
Dikti, Jakarta.
Kautsary, J., 2001, “Identifikasi Potensi Ruang Terbuka Kawasan Pecinan
Sebagai Kawasan Pejalan Kaki”, Dikti, Jakarta.
Kautsary, J.,1999, “Identifikasi Potensi Road Form dan Townscape Kawasan
Pecinan Semarang”, Kopertis Wilayah VI, Jawa Tengah.
Johannes Widodod, 1988, “Chinese Settlement in Changing City”,
Katholieke Universieit Lauven. Belgium (Tidak dipublikasikan)
Johannes Widodod, 1990, “Urban Development and th Chinese Settlement in
the Northern Coast of Java”, Universitas Parahyangan, Bandung.
(Tidak dipublikasikan)