DRAFT.doc 6198KB Jun 02 2011 09:33:54 AM

DRAFT
PROGRAM KETAHANAN PANGAN
DALAM PERSPEKTIF KEKESRAAN
I.

PENDAHULUAN
1. Kebutuhan Pangan
2. Ketahanan Pangan
3. Masalah-masalah Ketahanan Pangan

II. PRODUKSI PANGAN
1. Produksi Pangan Dunia
2. Produksi Pangan Nasional
3. Produksi Pangan dan Kesejahteraan Masyarakat
4. Masalah-masalah Produksi Pangan
III. DISTRIBUSI PANGAN
1. Pola Distribusi Pangan
2. Distribusi Pangan dan Kesejahteraan Masyarakat
3. Masalah-masalah Distribusi
IV. DIVERSIFIKASI PANGAN
V.


AKSESIBILITAS PANGAN
1. Faktor-faktor yang Mempengaruri Aksesibilitas Pangan
2. Aksesibilitas Pangan dan Kesejahteraan Masyarakat
3. Masalah-masalah Aksesibilitas Pangan

VI. PENYELESAIAN MASALAH KETAHANAN PANGAN
1.
VII. KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL
1.

Bab 1
PENDAHULUAN

1. KEBUTUHAN PANGAN DAN GIZI

Pangan merupakan kebutuhan dasar dan merupakan hak azazi bagi setiap
manusia. Oleh sebab itu, upaya pemenuhan kebutuhan pangan harus dilaksanakan
secara adil dan merata bagi seluruh penduduk Indonesia (Sawit, 2000 dalam
Widowati, 2003). Fakta menunjukkan bahwa bencana kelaparan pada suatu

negara dapat merambah ke ranah politik dan dapat menjadi penyebab jatuhnya
suatu rezim pemerintahan. Oleh karena itu upaya penyediaan bahan pangan harus
mendapatkan prioritas utama guna mewujudkan ketahanan pangan.
Berdasarkan definisi ketahanan pangan dari FAO (1996) dan UU RI No. 7
tahun 1996, yang mengadopsi definisi dari FAO, ada 4 komponen yang harus
dipenuhi untuk mencapai kondisi ketahanan pangan yaitu: 1) kecukupan
ketersediaan pangan, 2) stabilitas ketersediaan pangan tanpa fluktuasi dari musim
ke musim atau dari tahun ke tahun, 3) aksesibilitas/keterjangkauan terhadap
pangan, serta 4) kualitas/keamanan pangan.
Menurut Undang-Undang Pangan Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan,
Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang
diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman
bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan makanan, bahan baku pangan
dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan dan atau
pembuatan makanan atau minuman. Ketahanan pangan adalah kondisi
terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan
yang cukup, baik dalam jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau.
Ketahanan pangan berkaitan dengan ketersediaan pangan, yaitu tersedianya
pangan dari hasil produksi dalam negeri atau sumber lainnya.


Dalam kurun waktu sepuluh tahun pola konsumsi pangan masyarakat
Indonesia berubah cenderung lebih banyak mengkonsumsi beras dan terigu.
Menurut data susenas telah terjadi peningkatan konsumsi terigu sebesar 3
kg/kap/thn dalam kurun waktu satu tahun (2006–2007). Terjadi perubahan pola
konsumsi ke arah beras dan terigu. Sementara cara pandang masyarakat terhadap
sumber pangan pokok dalam kurun waktu 25 tahun kebelakang seolah-olah
digiring kedalam pandangan yang lebih sempit bahwa sumber pangan pokok
masyarakat hanya beras. Buktinya seluruh pegawai pemerintah memperoleh
pembagian beras sebagai sumber bahan pangan pokoknya, tanpa memandang asal
daerah. Walaupu daerah tersebut memiliki bahan pangan pokok lokal selain beras
(Histifarina, 2008).
Data lain menujukkan bahwa sampai saat ini upaya pemenuhan konsumsi
kalori dan protein bangsa Indonesia masih didominasi oleh kelompok padi-padian,
sedangkan kelompok

umbi-umbian dan kacang-kacangan masing-masing

kontribusinya masih sangat rendah. Pada tahun 2004 dari konsumsi 1986 kalori,
1024 kalori (51%) dipenuhi dari padi-padian, sedangkan umbi-umbian dan
kacang-kacangan hanya menyumbang 56 dan 64 kalori atau 3,36% dan 3,13%.

Demikian juga teradap konsumsi protein sebagian besar (44%) dipenuhi dari padipadian. Umbi-umbian hanya memberi sumbangan sebesar 0,9% dan 10,10%
(Kasno, Saleh, dan Ginting, 2006). Sampai saat ini upaya pemenuhan kalori bagi
masyarakat Indonesia masih didominasi beras (151,00 kg per kepala per tahun)
(Tabel 1). Angka tersebut menempatkan Indonesia sebagai negara dengan urutan
kedua setelah Bangladesh dalam konsumsi beras.
Tabel 1. Konsumsi padi-padian di beberapa wilayah dunia tahun 1997-1999
(dalam kg per kepala per tahun)
Wilayah

Gandum

Beras

Jagung

Sorgum

Millet

Amerika Tengah dan

Utara

70,90

10,80

40,10

1,20

0,00

Amerika Serikat

86,80

8,60

13,80


1,10

0,00

Amerika Tengah

37,10

9,40

112,10

1,80

0,00

Amerika Selatan

55,50


31,80

21,80

0,00

0,00

Brazil

47,40

39,50

18,00

0,00

0,00


Eropa Barat

97,60

4,80

5,80

0,00

0,00

Rusia

131,70

4,90

0,30


0,00

2,90

Afrika

46,30

17,80

41,40

19,50

12,90

Sekitar sahara

15,90


17,50

38,90

24,90

16,90

Asia

69,90

86,40

13,90

2,80

3,00


Cina

82,60

91,60

19,70

1,10

0,80

India

57,30

75,80

8,80

8,00

9,10

Indonesia

16,30

151,00

34,40

0,00

0,00

Bangladesh

19,00

161,00

0,30

0,00

0,40

Pasifik

66,90

15,20

3,40

0,60

0,00

Rata-rata Dunia

70,80

57,80

19,00

4,30

3,50

Sumber: Champagne (2003)
Bila dilihat dari komposisi gizi, umbi-umbian terutama ubi jalar diketahui
memiliki nilai kalori dan protein yang setara dengan beras (Tabel 2). Bertolak
pada angka kecukupan gizi (AKG), maka sesungguhnya ubi jalar tersebut dapat
digunakan sebagai suplemen beras dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan
kalori.
Tabel 2. Komposisi energi, protein, lemak dan karbohidrat dari beragai macam
tepung (dalam 100 g)
No.

Jenis Tepung

Energi
(kkal)

Protein (g)

Lemak
(g)

Karbohidrat
(g)

1.

Beras

364

7,0

0,5

80,0

2.

Singkong

359

2,9

0,7

84,9

3.

Ubijalar putih

355

5,2

2,0

80,6

4.

Ubijalar
merah

363

5,3

2,1

83,3

5.

Ubijalar ungu

337

4,9

1,9

76,4

6.

Tales

186

3,6

0,4

45,0

7.

Kacang hijau

389

23,7

1,3

45,0

8.

Kacang

410

27,5

1,3

73,9

tunggak
9.

Kedelai

40,0

20,0

35,0

Sumber: Marudut dan Sundari (2000) dalam Kasno, Saleh, dan Ginting (2006)
Upaya pemenuhan kebutuhan kalori yang hanya bertumpu pada beras dan
tepung terigu akan berdampak pada tingkat ketahanan pangan masyarakat yang
rentan, sehingga masalah ikutan dari rendahnya ketahanan pangan masyarakat
dapat menimbulkan masalah lain yang lebih serius. Selain itu juga dapat
menyebabkan negara kita masuk kedalam ”perangkap pangan” atau food trap
negara maju. Food Trap dapat menjadi salah satu faktor yang menggerogoti
devisa negara dan membawa bangsa ini menjadi pengimpor pangan terbesar di
dunia. Sebagai ilustrasi, semenjak Amerika Serikat memberikan bantuan gandum
dalam jumlah besar, dan diikuti dengan dibangunnya pabrik gandum terbesar
sedunia di Indonesia, kita menjadi bangsa yang terjajah oleh gandum. Mie dan roti
pun seakan tak lepas dari kehidupan kita sehari-hari. Padahal gandum sebagai
bahan dasar tepung terigu hingga saat ini belum bisa dibudidayakan secara
komersial di Indonesia.
Negara Indonesia dengan wilayah yang sangat luas diketahui memiliki
ketersediaan bahan pangan yang beragam, dari satu wilayah ke wilayah lainnya,
baik bahan pangan sumber karbohidrat, protein, lemak, vitamin maupun mineral.
Iklim tropis di Indonesia menjadikan wilayah Indonesia sangat kaya akan sumber
bahan pangan pokok selain beras. Misalnya, potensi umbi-umbian dan serealia
yang beragam sebagai sumber karbohidrat dapat tumbuh dengan subur dan
beragam jenisnya seperti; ubi jalar, ubi kayu, gembili, garut, ganyong dan lainlain. Apabila ditinjau dari segi nutrisi, tanaman umbi-umbian mempunyai nilai
nutrisi yang rendah dibandingkan dengan beras maupun kacang-kacangan,
terutama kandungan protein dan lemak, namun cukup tinggi pada kandungan
karbohidratnya. Oleh karena itu upaya pemenuhan kebutuhan pangan bagi
penduduk Indonesia yang hidup dalam lingkungan yang majemuk dan memiliki
anekaragam

kebudayaan

dan potensi

sumber

pangan spesifik,

strategi

pengembangan pangan perlu diarahkan pada potensi sumberdaya pangan wilayah.

Penganekaragaman pangan (diversifikasi pangan) merupakan salah satu
jalan keluar yang cukup rasional untuk memecahkan masalah pemenuhan
kebutuhan pangan (khususnya sumber karbohidrat). Menurut Widowati (2003),
melalui penataan pola makan yang tidak tergantung pada satu sumber pangan,
memungkinkan

masyarakat

dapat

menetapkan

pangan

pilihan

sendiri,

membangkitkan ketahanan pangan keluarga masing-masing, yang berujung pada
peningkatan ketahanan pangan nasional.
Menurut Kasno, Saleh, dan Ginting (2006) salah satu indikator tingkat
kesejahteraan penduduk adalah tingkat kecukupan gizi yang lazim disajikan dalam
kalori dan protein. Berdasarkan Hasil Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi ke
IV (tahun 1998) ditetapkan patokan kecukupan konsumsi kalori dan
protein/kapita/hari masing-masing adalah 2050 kalori dan 44 g protein (BPS
1999). Pada tahun 2004, rata-rata nasional konsumsi kalori dan protein per kapita
per hari adalah 1.986 kalori dan 54,65 g protein (BPS 2004). Hal tersebut berarti
bahwa kebutuhan kalori masih berada di bawah batas kecukupan, sedangkan
proteinnya sudah di atas standar. Apabila kecukupan gizi tahun 2004 tersebut
dibandingkan dengan tahun 1996 (sebelum terjadi krisis ekonomi), maka terlihat
bahwa rata-rata konsumsi kalori tahun 2004 masih di bawah tahun 1996. Hal
tersebut menunjukkan bahwa dari sisi konsumsi kalori dan protein, hingga tahun
2004 krisis tersebut belum pulih sepenuhnya.
Menurut Budianto (2000) krisis moneter dan ekonomi yang melanda
Indonesia sejak 1997 mengakibatkan makin rapuhnya ketahanan pangan, karena
aksesibilitas pangan yang makin merosot. Hal ini disebabkan karena makin
meningkatnya jumlah pengangguran, penduduk miskin bertambah, pendapatan riil
masyarakat menurun dan terjadi peningkatan harga pangan di pasar.
Pembangunan pangan yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas dan
produktivitas sumberdaya manusia merupakan bagian yang tak terpisahkan dari
pembangunan nasional secara keseluruhan. Pemenuhan kebutuhan pangan harus
dilakukan mengingat pangan merupakan kebutuhan dasar manusia. Oleh karena
itu, upaya pemenuhan kebutuhan pangan harus dilakukan secara adil dan merata
buat kesejahteraan seluruh penduduk Indonesia (Sawit 2000). Pengkajian dan

penggalian peran bahan. Penurunan ketahanan pangan di Indonesia juga
diakibatkan oleh menurunnya kemampuan pemenuhan kebutuhan beras dalam
negeri karena berbagai hal. Jumlah penduduk yang kini mencapai 219,20 juta jiwa
dengan laju pertumbuhan 1,34% per tahun (BPS 2004) dan tingkat konsumsi
beras per kapita sebesar 151,0 kg merupakan tantangan yang tidak ringan.
Sementara produksi padi dihadapkan pada masalah penciutan lahan, penurunan
kualitas lahan, terjadi levelling-off dari peningkatan produktivitas dan berbagai
masalah lain (Budianto 2000).
Sejalan dengan upaya peningkatan produksi padi, penganekaragaman/
diversifikasi pangan merupakan alternatif yang paling rasional untuk memecahkan
permasalahan kebutuhan pangan (khususnya karbohidrat). Penataan pola makan
yang tidak tergantung pada satu sumber pangan (padi), memungkinkan
tumbuhnya ketahanan pangan pada masing-masing keluarga yang pada akhirnya
dapat meningkatkan ketahanan pangan nasional.
Umbi-umbian merupakan tanaman tradisional yang sudah dikenal
masyarakat sejak lama sebagai sumber pangan (karbohidrat) yang dapat
diandalkan sebagai komplemen dan suplemen kebutuhan akan beras. Akibat krisis
ekonomi sejak 1997 telah mengubah pola makan penduduk yang diindikasikan
dengan meningkatnya konsumsi ubi kayu dari 28,16 kalori/kapita/hari pada tahun
1996 menjadi 34,96 kalori/kapita/hari pada tahun 1999 (BPS 1999).

2. KETAHANAN PANGAN

Pentingnya penciptaan ketahanan pangan sebagai wahana penguatan
stabilitas ekonomi dan politik, jaminan ketersediaan pangan dengan harga yang
terjangkau dan menjanjikan untuk mendorong peningkatan produksi. Pemenuhan
pangan yang cukup, baik dalam jumlah maupun mutunya, aman, merata dan

terjangkau oleh seluruh rumah tangga merupakan sasaran utama dalam
pembangunan ekonomi. Permintaan pangan yang meningkat seiring dengan
pertumbuhan penduduk, mendorong percepatan produksi pangan dalam rangka
terwujudnya stabilisasi harga dan ketersediaan pangan, sehingga ketahanan
pangan sangat terkait dengan kemampuan pemerintah untuk menjaga stabilisasi
penyediaan pangan serta daya dukung sektor pertanian.
Namun kepadatan penduduk yang diperkuat dengan penyusutan areal
tanam, khususnya penurunan luas lahan pertanian produktif akibat konversi lahan
untuk kepentingan sektor non-pertanian, serta kecilnya margin usaha tani yang
berkonsekuensi pada rendahnya motivasi petani untuk meningkatkan produksi,
serta adanya kendala dalam distribusi pangan sebagai akibat keterbatasan
jangkauan jaringan sistem transportasi, ketidaktersediaan produk pangan sebagai
akibat lemahnya teknologi pengawetan pangan, diperkuat lagi dengan kakunya
(rigid) pola konsumsi pangan sehingga menghambat upaya pencapaian
kemandirian/ketahanan

pangan.

Kondisi

yang

demikian

tersebut

makin

memperpanjang fenomena kemiskinan dan ketahanan pangan yang dihadapi.
Berdasarkan peta orang lapar yang dibuat oleh Food and Agricultural
Organization (FAO), hampir di seluruh wilayah Indonesia termasuk daerah rawan
pangan atau miskin. Sementara itu, Undang-undang No. 7 tahun 1996 tentang
Pangan, pada pasal 1 ayat 17, menyebutkan bahwa ketahanan pangan adalah
kondisi terpenuhinya pangan rumah tangga yang tercermin dari tersedianya
pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau.
Dalam UU ini, ketahanan pangan ditujukan kepada kebutuhan rumah
tangga, karena asumsi bahwa rumah tangga adalah bentuk kesatuan masyarakat
terkecil di Indonesia. Bandingkan definisi ini dengan pengertian food security
(ketahanan pangan) yang tertera dalam Rome Declaration and World Food
Summit Plan of Action, yaitu: “food security exists when all people, at all times,
have access to sufficient, safe and nutritious food to meet their dietary needs for
an active and healthy life”.

Dengan demikian, ketahanan pangan dihasilkan oleh suatu
sistem ketahanan pangan yang terdiri tiga subsistem, yaitu: (1)
ketersediaan pangan dalam jumlah dan jenis yang cukup untuk
seluruh masyarakat, (2) distribusi pangan yang lancar dan
merata, dan (3) keterjangkauan pangan setiap individu yang
memenuhi kecukupan gizi dan kaidah kesehatan. Permasalahan
dalam mencapai ketahanan pangan adalah ketidakseimbangan
antara ketersediaan dengan keterjangkauan.
Kondisi saat ini, pemenuhan pangan sebagai hak dasar masih merupakan
salah satu permasalahan mendasar dari permasalahan kemiskinan di Indoensia.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2004-2009 menggambarkan
masih terbatasnya kecukupan dan mutu pangan, yaitu belum terpenuhinya pangan
yang layak dan memenuhi syarat gizi bagi masyarakat miskin, rendahnya
kemampuan daya beli, masih rentannya stabilitas ketersediaan pangan secara
merata dan harga yang terjangkau, masih ketergantungan yang tinggi terhadap
makanan pokok beras, kurangnya diversifikasi pangan, belum efisiensiennya
proses produksi pangan serta rendahnya harga jual yang diterima petani, masih
ketergantungan terhadap import pangan.
Data yang digunakan MDGs dalam indikator kelaparan, hampir duapertiga dari penduduk Indonesia masih berada di bawah asupan kalori sebanyak
2100 kalori perkapita/hari. Hal ini menunjukan bahwa permasalahan kecukupan
kalori, di samping menjadi permasalahan masyarakat miskin, ternyata juga
dialami oleh kelompok masyarakat lainnya yang berpendapatan tidak jauh di atas
garis kemiskinan.
Ditinjau

dari

ketersediaan

dan

keterjangkauan

secara

agregat penduduk Indonesia tampak tergolong tahan pangan,
namun masih ditemukan rumah tangga rawan pangan di semua
propinsi dengan proporsi yang relatif tinggi. Rumah tangga rawan
pangan didefinisikan sebagai rumah tangga dengan konsumsi

energi (ekivalen orang dewasa) ≤ 80% dari angka kecukupan
energi dan dengan pangsa pengeluaran pangan > 60% dari total
pengeluaran rumah tangga. Berdasarkan data SUSENAS yang
tertuang dalam Nutrition Map of Indonesia tahun 2006, jumlah
penduduk rawan pangan terendah ada di propinsi Bali yaitu
sebesar 4,8 persen, dan tertinggi di DIY yaitu mencapai 20,0
persen (Tabel 5). Proporsi penduduk rawan pangan di semua
provinsi masih di atas 10 persen, kecuali di provinsi Sumbar, Bali
dan NTB. Bahkan di semua propinsi yang merupakan sentra
produksi pangan seperti propinsi Jawa Timur, Jawa Tengah,
Sumatera Selatan, Jawa Barat dan Sulawesi Selatan proporsi
penduduk rawan pangannya cukup tinggi.
Pola konsumsi yang relatif sama antar individu, antar waktu,
dan antar daerah, mengakibatkan adanya masa-masa defisit dan
lokasi-lokasi defisit pangan. Mekanisme pasar dan distribusi
pangan antar lokasi serta antar waktu dengan mengandalkan
‘stok’

akan

berpengaruh

pada

keseimbangan

antara

ketersediaan dan keterjangkauan, serta pada harga yang terjadi di pasar. Faktor
keseimbangan yang terefleksi pada harga sangat berkaitan dengan daya beli
rumah tangga terhadap pangan. Dengan demikian, meskipun komoditas pangan
tersedia di pasar, namun apabila harga terlalu tinggi dan tidak terjangkau daya beli
rumah tangga, maka rumah tangga tidak akan dapat mengakses pangan yang
tersedia.

Dalam rangka melihat kemandirian pangan di Jawa Timur, maka
dilakukan peramalan sampai tahun 2030. Asumsi yang digunakan disajikan dalam
Tabel sebagai berikut:
Tabel 7
Asumsi Dalam Peramalan Neraca Pangan Jawa Timur
Komoditi
Padi

Produksi
Luas panen menurun setiap tahun 0.2 %/tahun
akibat adanya konversi lahan ke non pertanian.
Produktifitas padi 5,34 ton/ha, konservasi padi ke

Konsumsi
Jumlah penduduk meningkat dengan laju
0,83367 % pertahun
Konsumsi beras 109,22 kg/kapita/tahun

beras 0,62418
Luas panen menurun setiap tahun 0.237 %/tahun.
Produktifitas 3,645 ton/ha

Jagung
Kedele

Luas panen menurun setiap tahun 0.237 %/tahun.
Produktifitas 1,3 ton/ha

Ubikayu

Luas panen menurun setiap tahun 0.2 %/tahun.
Produktifitas 15,9 ton/ha

Daging

Produksi daging total naik dengan laju 5,296
%/tahun

Telur

Produksi telur naik dengan laju 5,296 %/tahun

Susu

Produksi susu naik dengan laju 5, 748 %

Ikan

Produksi ikan naik dengan laju 2, 589 %

Jumlah penduduk meningkat dengan laju
0,83367 % pertahun
Konsumsi 6.44 kg/kapita/tahun
Jumlah penduduk meningkat dengan laju
0,83367 % pertahun
Konsumsi 10,93 kg/kapita/tahun
Jumlah penduduk meningkat dengan laju
0,83367 % pertahun
Konsumsi 19,52 kg/kapita/tahun
Jumlah penduduk meningkat dengan laju
0,83367 % pertahun
Konsumsi 2,4 kg/kapita/tahun
Jumlah penduduk meningkat dengan laju
0,83367 % pertahun
Konsumsi 5,42 kg/kapita/tahun
Jumlah penduduk meningkat dengan laju
0,83367 % pertahun
Konsumsi 1,52 kg/kapita/tahun
Jumlah penduduk meningkat dengan laju
0,83367 % pertahun
Konsumsi 12,24 kg/kapita/tahun

Berdasarkan kondisi di atas beberapa skenario ke depan dilakukan dalam
upaya mewujudkan kemandirian pangan Jawa Timur. Secara rinci tingkat
kemandirian pangan Jawa Timur diuraikan sebagai berikut:
1. Beras
Jawa Timur merupakan propinsi penyangga beras nasional. Sejalan
dengan pertambahan jumlah penduduk

akan meningkatkan konsumsi beras, di

sisi lain akan terjadi konversi lahan sehingga menyebabkan ketersediaan beras
akan semakin berkurang. Hasil peramalan di Jawa Timur disajikan dalam gambar
berikut.
Gambar 4
Ramalan Kemandirian Beras di Jawa Timur

Gambar di atas menunjukkan bahwa produksi beras Jawa Timur terus
menurun sejalan dengan penurunan luas tanam, sementara konsumsi beras
terus meningkat. Jawa Timur diramalkan akan mengalami devisit beras pada
tahun 2028 jika tidak ada intervensi pemerintah. Usaha- usaha yang dapat
ditempuh untuk mengatasi keadaan demikian adalah: 1) Menekan laju konversi
lahan khususnya untuk areal pertanam,an padi; 2) Meningkatkan produktifitas
padi; 3)Melakukan diversifikasi pangan untuk menekan konsumsi beras yang
saat ini relatif cukup tinggi
2. Jagung
Jawa Timur termasuk pemasuk jagung pada daerah lain cukup besar.
Estimasi neraca pangan jagung di masa datang sebagaimana disajikan dalam
gambar berikut.
Gambar 5
Ramalan Kemandirian Jagung di Jawa Timur

Ramalan

kemandirian Jagung di Jawa Timur relatif cukup mantap.

gambar di atas menunjukkan bahwa produksi jagung Jawa Timur relatif stabil,
begitu juga dengan konsumsinya. Produksi jagung jauh lebih besar dari
konsumsinya sehingga Jawa Timur terus akan terjadi surplus jagung. Oleh
karena itu usaha-usaha pengendalian harga serta usaha mencari pasar baru patut
dilakukan agar petani jagung dapat memanfaatkan dari hasil surplus jagung
yang terjadi.
3. Kedelai

Berbeda dengan jagung, ramalan kemandirian tentang kedele di Jawa
Timur justru akan terjadi defisit yang semakin meningkat. Gambar di bawah
menunjukkan bahwa produksi kedele Jawa Timur relatif terjadi penurunan,
sebaliknya konsumsinya terus mangalami peningkatan. Usaha-usaha yang dapat
ditempuh untuk mengatasi keadaan demikian adalah: (a) meningkatkan luas areal
tanam dan (b) meningkatkan produktifitas.
Gambar 6
Ramalan Kemandirian Kedele di Jawa Timur

4. Daging
Ramalan tentang neraca pangan untuk mengukur kemandirian daging di
Jawa Timur disajikan dalam gambar berikut. Jawa Timur tampaknya di masa
datang akan surplus daging. Hal ini terjadi karena konsumsi daging per kapita di
Jawa Timur sangat rendah. Yakni sebesar 2.4 kg/kapita/tahun.
Gambar 7
Ramalan Kemandirian Daging di Jawa Timur

Sebagai gambaran pada tahun 2000, konsumsi daging unggas penduduk
Indonesia hanya 3,5 kg/kapita/tahun, sedangkan Malaysia (36,7 kg), Thailand
(13,5 kg), Fhilipina (7,6 kg), Vietnam (4,6 kg) dan Myanmar (4,2 kg)
(International Poultry, 2003). Konsumsi daging unggas penduduk Indonesia hanya
10 gram/kapita/hari, sedangkan Malaysia 100 gram/kapita/hari. Oleh karena itu
usaha-usaha perbaikan gizi masyarakat melalui peningkatan konsumsi daging
harus dilakukan.
5. Telur
Ramalan yang ada ini pada kondisi normal, dimana tidak terjadi
permasalahan yang berkaitan dengan adanya kasus flu burung ataupun kasus lain
yang mengakibatkan terjadinya penurunan produksi. Kemandirian telur di Jawa
Timur dapat ditunjukkan bahwa produksi telur jauh lebih besar dari konsumsinya
sehingga Jawa Timur terus akan terjadi surplus telur.
Gambar 8
Ramalan Kemandirian Telur di Jawa Timur

Konsumsi telur per kapita di Jawa Timur sangat rendah yakni hanya
sebesar 5, 42 kg/kapita/tahun, sedangkan Malaysia 14,4 kg, Thailand 9,9 kg dan
Filipina 6,2 kg. Mengingat telur merupakan salah satu sumber protein dan lemah
yang cukup tinggi, maka usaha-usaha
dilakukan.

meningkatkan konsumsi telur patut

Bab 2
PRODUKSI PANGAN

1. PRODUKSI PANGAN DUNIA

Terdapat 3 (tiga) hal yang menjadi sebab mengapa masalah ketahanan
pangan perlu diperbincangkan. Pertama, bahwa pangan adalah hak azasi manusia
yang didasarkan atas 4 (empat) hal berikut:
1. Universal Declaration of Human Right (1948) dan The International
Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (1966) yang menyebutkan
bahwa “everyone should have an adequate standard of living, including
adequate food, cloothing, and housing and that the fundamental right to
freedom from hunger and malnutrition”.
2. Rome Declaration on World Food Security and World Food Summit 1996
yang ditanda tangani oleh 112 kepala negara atau penjabat tinggi dari 186
negara

peserta,

dimana

Indonesia

menjadi

salah

satu

di

antara

penandatangannya. Isinya adalah pemberian tekanan pada human right to
adequate food (hak atas pemenuhan kebutuhan pangan secara cukup), dan
perlunya aksi bersama antar negara untuk mengurangi kelaparan.
3. Millenium Development Goals (MDGs) menegaskan bahwa tahun 2015 setiap
negara teramsuk Indonesia menyepakati menurunkan kemiskinan dan
kelaparan separuhnya.
4. Hari Pangan Sedunia tahun 2007 menekankan pentingnya pemenuhan Hak
Atas Pangan.
Kedua, kondisi obyektif Indonesia masih berkutat pada masalah gizi.
Masalah

gizi

tersebut

berakar

pada

masalah

ketersediaan,

distribusi,

keterjangkauan pangan, kemiskinan, pendidikan dan pengetahuan serta perilaku
masyarakat. Dengan demikian masalah pangan dan gizi merupakan permasalahan

berbagai sektor dan menjadi tanggung jawab bersama pemerintah dan masyarakat.
Selain itu, jumlah penduduk Indonesia yang besar dan tersebar dalam bebagai
wilayah memerlukan penanganan ketahanan pangan yang terpadu. Penanganan
ketahanan pangan dimaksud memerlukan perencanaan lintas sektor dan dengan
sasaran serta tahapan yang jelas dan terukur dalam jangka menengah maupun
panjang.
Ketiga, perubahan kondisi global yang menuntut kemandirian. Perubahan
dimaksud tercermin dari: harga pangan internasional yang mengalami lonjakan
drastis dan tidak menentu, adanya kecenderungan negara-negara yang bersikap
egois; mementingkan kebutuhannya sendiri, adanya kompetisi penggunaan
komoditas pertanian (pangan vs pakan vs energi), terjadinya resesi ekonomi
global, dan adanya serbuan pangan asing (“westernisasi diet”). Perubahan kondisi
global tersebut sangat berpotensi menjadi penyebab gizi lebih dan meningkatkan
ketergantungan pada impor.
Memperbincangkan masalah pangan tidak dapat dipisahkan dari masalah
harga pangan sebagai salah satu aspek yang mencerminkan ketersediaan atau
produksi pangan sekaligus permintaan atau konsumsi pangan. Perkembangan
harga beberapa komoditas pangan dunia, yaitu: jagung, gandum dan beras, mulai
bulan Januari 2003 sampai dengan bulan Juli 2008 ditunjukkan melalui gambar 1.

Gambar 1. Perkembangan Harga Pangan Dunia
(As of September 2008)
Source: Data from FAO 2008 and IMF 2008.

Berdasarkan gambar 1, tingkat harga pangan yang terdiri dari: jagung,
gandum dan beras memiliki kecenderungan yang semakin meningkat.
Peningkatan harga pangan tersebut cukup drastis pada bulan Juli 2008. Di antara
harga bahan pangan, harga beras umumnya lebih tinggi (lebih mahal)
dibandingkan dua bahan pangan lainnya. Bahkan kenaikan harga beras pada bulan
Juli 2008 melebihi kenaikan harga minyak. Hal ini mengindikasikan adanya
ketergantungan dunia terhadap beras yang semakin besar: peningkatan konsumsi
beras yang relatif lebih tinggi dibandingkan ketersediaannya.
Peningkatan

harga

bahan

pangan

tidak

hanya

mengindikasikan

ketergantungan terhadap beras yang semakin besar tetapi lebih lanjut juga
mencerminkan kenaikan tingkat konsumsi pangan yang melebihi ketersediaannya.
Secara umum, dalam dua dasa warsa terakhir, rasio atau perbandingan cadangan
pangan dunia terhadap penggunaan atau konsumsi pangan dunia semakin
menurun. Perkembangan rasio tersebut ditunjukkan melalui gambar 2.

Gambar 2. Stok Pangan Dunia Menurun
Source: United Nations World Food Programme,2008

Gambar 2 menunjukkan bahwa rasio stok terhadap konsumsi pangan dunia
mendekati 15% pada tahun 2008/2009 dari di atas 35% pada tahun 1986/1987.
Pada periode tersebut, cadangan pangan dunia semakin menurun atau (dengan
kata lain) jumlah penduduk dunia yang dijamin pangannya semakin sedikit.
Penurunan rasio tersebut disebabkan tidak adanya kenaikan dalam produksi
pangan sementara jumlah penduduk dunia selalu bertambah dari tahun ke tahun.
Jumlah produksi pangan dunia yang terdiri dari: gandum, beras dan butiran
lainnya sejak 1999 sampai dengan 2007 ditunjukkan dalam gambar 3.

Gambar 3. Produksi Pangan Dunia Tidak Meningkat
Source: Data from FAO 2003, 2005-07.
Gambar 3 menunjukkan bahwa jumlah produksi gandum, beras dan butiran
lainnya hampir tidak meningkat sepanjang 1999 sampai dengan 2007. Pada
periode tersebut, produksi beras tidak meningkat dan produksi gandum meningkat
hanya sedikit. Komoditas yang mengalami peningkatan dalam jumlah produksi
adalah butiran lainnya. Hal ini berarti bahwa cadangan pangan dunia lebih banyak
disokong dari produksi butiran dibandingkan dengan gandum dan beras. Lebih
lanjut, penduduk dunia yang dijamin oleh cadangan pangan (dalam jumlah kecil)
adalah mereka yang bergantung pada butiran sebagai makanan pokok. Sedangkan

mereka yang bergantung pada gandum dan beras sebagai makanan pokok tidak
dijamin oleh cadangan. Cadangan atau stok pangan dunia diperkirakan berupa
komodidas selain gandum dan beras.
Minimnya cadangan pangan dunia berpotensi menyebabkan krisis pangan di
beberapa kawasan. Negara-negara yang berisiko mengalami krisis pangan
ditunjukkan dalam gambar 4 sebagaimana yang telah disinyalir oleh Perserikatan
Bangsa Bangsa pada tahun 2008.

Gambar 4. Negara Berisiko Terkena Krisis Pangan Dunia
Source: United Nations World Food Programme,2008.
Negara-negara yang berisiko tinggi mengalami krisis pangan sebagian besar
berada kawasan di Asia Selatan dan beberapa negara di Asia Timur serta satu
negara di Asia Tenggara dan Amerika Latin. Kawasan tersebut juga menjadi
tempat negara-negara berisiko sedang mengalami krisis pangan. Selain itu,
kawasan Asia Tenggara (termasuk Indonesia) juga berisiko mengalami krisis
pangan sedang.
Secara lebih jelas, ketersediaan atau produksi pangan dan permintaan atau
konsumsi pangan, dapat disampaikan bahwa kondisi pangan dunia diperkirakan

akan mengalami ketidak seimbangan pada waktu-waktu mendatang. Ketidak
seimbangan tersebut dikarenakan jumlah permintaan akan pangan yang melebihi
jumlah produksinya. Perkiraan neraca pangan dunia tahun 2025 ditunjukkan
dalam tabel 1.
Tabel 1. Perkiraan Neraca Pangan Dunia 2025
Region

Population
2025

Consumption/
Production
Capita
Demand 2025 2025 Balance 2025

South Asia

2021

237

549.7

524.6

-25.1

East and
Southeast Asia

2387

338

1040.9

914.0

-126.9

Latin America

690

265

217.9

171.2

-46.7

Europe

799

634

506.5

619.4

112.9

North America

410

780

319.5

558.2

238.7

World

8039

363

3046.5

2977.7

-68.8

Source: www.worldbank.org
Berdasarkan perkiraan neraca pangan dunia 2025, diperkirakan akan terjadi
ketidak seimbangan (krisis) pangan dunia dimana jumlah permintaan atau
konsumsi pangan melebihi jumlah ketersediaan atau produksi pangan. Surplus
pangan dan minus pangan yang terjadi di beberapa daerah akan menyebabkan
terjadinya aliran pangan dari negara-negara surplus pangan di Eropa dan Amerika
Utara ke arah negara-negara minus pangan di Asia Selatan, Asia Timur dan Asia
tenggara, serta Amerika Latin. Perkiraan krisis pangan tersebut menyebabkan
beberapa negara mengambil tindakan kebijakan untuk melindungi produksi serta
menjamin ketersediaan pangan di dalam negeri.
Beberapa kebijakan yang ditempuh beberapa negara terkait dengan
perlindungan terhadap produksi dalam negeri dan jaminan ketersediaan pangan,
antara lain: restriksi perdagangan, liberalisasi perdagangan, subsidi konsumen,
perlindungan sosial dan kebijakan peningkatan produksi atau penawaran.

Berbagai kebijakan perlindungan pangan yang ditempuh beberapa negara adalah
sebagaimana yang ditunjukkan tabel 2.
Tabel 2. Kebijakan Perlindungan Pangan yang Ditempuh Beberapa Negara
Region

Trade
Trade Consumer Social
Restriction Liberaliz Subsidy Protection

Increase
Supply

Asia
Bangladesh

X

X

X

X

China

X

X

X

India

X

X

X

X

Indonesia

X

X

X

X

Malaysia

X

X

X

Thailand

X

X

X

X

X

X
X

Latin America
Argentina

X

X

Brazil

X

X

X

Mexico

X

X

X

Peru

X

X

X

Venezuela

X

X

X

X

Africa
Egypt

X

X

X

X

Ethiopia

X

X

X

X

Ghana

X

X

Kenya
Nigeria

X
X

Tanzania
X
X
Source: IMF, FAO, and news reports, 2007-08.

X

X

X

Tabel 2 menunjukkan bahwa kebijakan subsidi konsumen dan peningkatan
produksi merupakan kebijakan yang paling populer dilaksanakan. Nampaknya,
harga jual pangan yang cukup tinggi diharapkan menjadi daya tarik bari petani
untuk memproduksi pangan dalam jumlah yang lebih banyak. Pada sisi lain,
subsidi konsumen ditujukan untuk mengurangi beban konsumen karena harga

pangan yang tinggi. Dua kebijakan yang dilaksanakan secara serentak tersebut,
didukung dengan kebijakan restriksi perdagangan dan perlindungan sosial
diperkirakan dapat memacu pertumbuhan produksi pangan di dalam negeri lebih
tinggi. Namun demikian, kebijakan liberalisasi perdagangan yang diupayakan
oleh negara-negara yang memiliki proses produksi pangan efisien dapat menjadi
kemandirian pangan di negara-negara dengan proses produksi tidak efisien.
Efisiensi berarti harga jual produk lebih rendah yang menyebabkan petani-petani
dengan proses produksi tidak efisien enggan berproduksi karena outputnya tidak
laku di pasar (internasional).

2. PRODUKSI PANGAN NASIONAL

Menurut Tim Penelitian Ketahanan Pangan dan Kemiskinan dalam Konteks
Demografi, Puslit Kependudukan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI),
stabilitas ketersediaan pangan di tingkat rumah tangga diukur berdasarkan
kecukupan ketersediaan pangan dan frekuensi makan anggota rumah tangga
dalam sehari. Satu rumah tangga dikatakan memiliki stabilitas ketersediaan
pangan jika mempunyai persediaan pangan diatas cutting point (240 hari untuk
Propinsi Lampung dan 360 hari untuk Provinsi NTT) dan anggota rumah tangga
dapat makan 3 (tiga) kali sehari sesuai dengan kebiasaan makan penduduk di
daerah tersebut.
Dengan asumsi bahwa di daerah tertentu masyarakat mempunyai kebiasaan
makan 3 (tiga) kali sehari, frekuensi makan sebenarnya dapat menggambarkan
keberlanjutan ketersediaan pangan dalam rumah tangga. Dalam satu rumah
tangga, salah satu cara untuk mempertahankan ketersediaan pangan dalam jangka
waktu

tertentu

adalah

dengan

mengurangi

frekuensi

makan

atau

mengkombinasikan bahan makanan pokok (misal beras dengan ubi kayu).
Penggunaan frekuensi makan sebanyak 3 kali atau lebih sebagai indikator
kecukupan makan didasarkan pada kondisi nyata di desa-desa (berdasarkan
penelitian PPK-LIPI), dimana rumah tangga yang memiliki persediaan makanan
pokok ‘cukup’ pada umumnya makan sebanyak 3 kali per hari. Jika mayoritas
rumah tangga di satu desa, misalnya, hanya makan dua kali per hari, kondisi ini
semata-mata merupakan suatu strategi rumah tangga agar persediaan makanan
pokok mereka tidak segera habis, karena dengan frekuensi makan tiga kali sehari,
kebanyakan rumah tangga tidak bisa bertahan untuk tetap memiliki persediaan
makanan pokok hingga panen berikutnya.
Lebih lanjut, kombinasi antara ketersediaan makanan pokok dengan
frekuensi makan (3 kali per hari disebut cukup makan, 2 kali disebut kurang
makan, dan 1 kali disebut sangat kurang makan) sebagai indikator kecukupan

pangan, menghasilkan indikator stabilitas ketersediaan pangan yang dapat dilihat
pada tabel berikut:
Tabel 1 : Penetapan Indikator Stabilitas Ketersediaan Pangan
di Tingkat Rumah Tangga
(dengan contoh Kabupaten di Provinsi Lampung dan NTT)
Kecukupan
Frekuensi makan anggota rumah tangga
ketersediaan pangan
> 3 kali
2 kali
1 kali
> 240 hari

Stabil

Kurang stabil

Tidak stabil

Kurang stabil

Tidak stabil

Tidak stabil

Tidak stabil

Tidak stabil

Tidak stabil

> 360 hari
1 – 239 hari
1 – 364 hari
Tidak ada persediaan

Ketersediaan pangan di Indonesia tidak terpisahkan dari keberadaan lahan
pertanian yang dipergunakan untuk bercocok tanam. Khusus beras, proses
produksinya dilakukan di sawah sehingga jumlah produksi beras sangat
dipengaruhi oleh luas areal sawah yang meliputi sawah irigasi dan sawah non
irigasi. Secara keseluruhan, yaitu 8,9 juta Ha luas sawah di Indonesia, sebagian
besar, yaitu 7,3 juta Ha atau 82,16% luas areal sawah merupakan sawah irigasi.
Sebagian kecil, yaitu 1,6 juta Ha atau 17,84% sisanya berupa sawah non irigasi.
Penyebaran luas sawah di Indonesia ditunjukkan dalam gambar 1.

Gambar 1. Penyebaran Luas Sawah di Indonesia
Sumber : Nuhfil Hanani AR, Ketahanan Pangan: Sub Sistem Ketersediaan,
Makalah Workshop I Ketahanan Pangan di Jawa Timur, 2009.
Berdasarkan gambar 1, luas sawah di Indonesia terkonsentrasi di pulau
Jawa. Propinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, DI Yogyakarta dan DKI
Jakarta. Pulau Jawa memiliki luas sawah 3,6 juta Ha atau 40,5% dari luas sawah
Indonesia. Sebagian besar, yaitu 3,1 juta Ha atau 85,6% dari luas sawah di pulau
Jawa tersebut berupa sawah irigasi dan sebagian kecil, yaitu 0,5 juta Ha atau
14,4% sisanya berupa sawah non irigasi.
Pulau dengan luas sawah terkecil adalah kepulauan Maluku yang terdiri
dari propinsi Maluku dan Maluku Utara. Kepulauan tersebut hanya memiliki luas
sawah 0,2 juta Ha atau 2,2% dari luas sawah Indonesia yang keseluruhannya
berupa sawah irigasi. Sempitnya luas sawah ini berpeluang menyebabkan
kepulauan Maluku menjadi tidak mandiri dalam memenuhi kebutuhan akan beras.
Dengan kata lain, kepulauan Maluku menjadi pasar bagi produsen beras nasional.
Luas sawah yang sebagian besar berada di pulau Jawa sebagaimana
diutarakan di atas menunjukkan penyebaran luas sawah yang tidak merata atau

terkonsentrasi di satu pulau, yaitu pulau Jawa. Hal ini berpengaruh terhadap
penyediaan beras nasional dimana pulau Jawa merupakan penghasil beras terbesar
dan menjadi supplier beras untuk daerah-daerah lainnya, misalnya kepulauan
Maluku. Penyediaan beras dari daerah surplus ke daerah minus dimaksud
menunjukkan arah arus distribusi beras. Arus distribusi beras dari daerah surplus
atau sentra produksi ke daerah minus atau defisit ditunjukkan dalam gambar 2.

Gambar 2. Arus Distribusi Beras dari Sentra Produksi ke Daerah Defisit
Sumber : Nuhfil Hanani AR, Ketahanan Pangan: Sub Sistem Ketersediaan,
Makalah Workshop I Ketahanan Pangan di Jawa Timur, 2009.
Tidak dapat dipungkiri bahwa bahan makanan pokok hampir seluruh
penduduk Indonesia sekarang adalah beras atau padi. Penduduk Indonesia pada
kenyataannya sekarang sudah sangat bergantung pada beras. Sebagian besar
penduduk Indonesia telah mengganti makanan pokoknya menjadi beras atau padi.
Masyarakat yang makanan pokoknya dahulu berasal dari bahan jagung, gaplek,
sagu, dan lain-lain, sekarang beralih kepada bahan padi.
Berkaitan dengan ketahanan pangan, dimana diversifikasi menjadi alternatif
untuk mengatasi masalah kelangkaan dan ketergantungan yang kuat terhadap
bahan pangan beras, maka dianggap perlu untuk diketahui perkembangan
produksi bahan pangan tersebut beserta bahan pangan pengganti (substitusi),
yaitu: jagung, ketela pohon dan ubi jalar. Informasi perkembangan produksi
bahan-bahan pangan tersebut memungkinkan untuk mengetahui kondisi pangan
pokok masyarakat beserta arah diversifikasi yang semestinya dilakukan.

Dengan menggunakan fungsi produksi trend kwadratik dan data sejak tahun
1970 sampai dengan 2007, dapat diketahui perkembangan (trend) produksi padi,
jagung, ketela pohon dan ubi jalar. Trend dimaksud berguna untuk membuat
perkiraan produksi di waktu mendatang. Perkembangan produksi masing-masing
bahan pangan tersebut ditunjukkan dalam gambar 3.
Gambar 3 menunjukkan bahwa trend produksi bahan pangan padi dan
jagung meningkat sejak tahun 1970 hingga 2007 dimana peningkatan produksi
padi lebih tinggi dibanding peningkatan produksi jagung. Sedangkan bahan
pangan ketela pohon dan ubi jalar memiliki trend menurun pada jangka waktu
yang sama. Hal ini menunjukkan ketergantungan masyarakat terhadap bahan
pangan padi (beras) semakin besar dan ketergantungan terhadap bahan pangan
lainnya semakin kecil. Masyarakat mengalami kesulitan untuk kembali ke
makanan pokok jagung, ketela pohon dan ubi jalar. Tiga bahan pangan yang
disebut terakhir ini biasanya hanya dimanfaatkan sebagai makanan ringan, bukan
makanan pokok. Khusus untuk jagung, produksi yang meningkat lebih disebabkan
pemanfaatannya untuk bahan makanan ternak.

Gambar 3. Perkembangan Produksi Padi, Jagung, Ketela Pohon dan Ubi Jalar
Sumber : Nuhfil Hanani AR, Ketahanan Pangan: Sub Sistem Ketersediaan,
Makalah Workshop I Ketahanan Pangan di Jawa Timur, 2009.

Tanpa adanya perubahan faktor-faktor lain (cateris paribus) terutama
kebijakan pemerintah di bidang produksi dan konsumsi pangan, jumlah produksi
padi akan selalu melibihi jumlah produksi jagung serta produksi ketela pohon dan
ubi jalar lama-kelamaan akan menipis (habis). Dalam situasi seperti ini,
diversifikasi

pangan

tidak

dapat

terjadi

dengan

sendirinya

melainkan

membutuhkan berbagai langkah kongkrit di bidang produksi, konsumsi dan
distribusi bahan-bahan pangan dimaksud.
Ketersediaan pangan nasional, jika ditinjau dari kuantitas
produksi menunjukkan angka yang cenderung meningkat, baik
karena kemajuan teknologi maupun bertambahnya luas panen.
Deptan (2007) melaporkan produksi padi tahun 2005 mencapai
54,151 juta ton (setara 30,669 juta ton beras), jagung 12,523
juta ton, gula 1,735 juta ton, minyak goreng 5,437 juta ton,
sementara produksi daging, telur, dan susu masing-masing 1,817
juta ton, 1,052 juta ton, dan 0,536 juta ton. Namun, produksi
berbagai jenis pangan tidak dapat dihasilkan di semua wilayah
dan tidak dapat dihasilkan setiap saat dibutuhkan.
Masalah produksi yang hanya terjadi di wilayah tertentu
(utamanya

Jawa)

mengakibatkan

dan

konsentrasi

pada

waktu-waktu

ketersediaan

di

tertentu,

sentra-sentra

produksi dan pada masa-masa panen (Tabel 1). Keterjangkauan
tercermin dari jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi oleh
rumah

tangga.

Data

konsumsi

pangan

secara

riil

dapat

menunjukkan kemampuan rumah tangga dalam mengakses
pangan dan menggambarkan tingkat kecukupan pangan dalam
rumah tangga. Perkembangan tingkat konsumsi pangan secara
implisit juga merefleksikan tingkat pendapatan atau daya beli
masyarakat terhadap pangan. Tingkat kecukupan pangan antara
lain dapat diindikasikan dari pemenuhan kebutuhan energi dan
protein. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII (WNPG) tahun
2004 menganjurkan konsumsi energi dan protein penduduk

Indonesia masing-masing sebesar 2000 kkal/kap/hari dan 52
g/kap/hari. Secara agregat, konsumsi energi dan protein tahun
2005 sudah lebih tinggi dari yang dianjurkan, yaitu masingmasing mencapai 2.150 kkal/kap/hari dan 60,84 g/kap/hari (Tabel
2).

Jika

dilihat

dari

kualitas

konsumsi

pangan

dengan

menggunakan skor Pola Pangan Harapan (PPH), konsumsi padipadian aktual sudah lebih dari anjuran dan masih cenderung
meningkat, sedangkan konsumsi kelompok pangan lain masih di
bawah tingkat anjuran terutama umbi-umbian, pangan hewani,
serta sayur dan buah (Tabel 3). Jika ditinjau dari struktur
pengeluaran pangan, proporsi pengeluaran beras terhadap total
pengeluaran pangan masih sangat dominan, terutama bagi
rumah tangga rawan pangan (Tabel 4).
Khusus Indonesia, produksi bahan pangan yang terdiri dari: padi, jagung dan
ubi kayu meningkat selama 2003 sampai dengan 2008. Pertumbuhan rata-rata
komoditas tersebut masing-masing 0,47%; 1,12% dan 0,39% per tahun selama
periode tersebut. Akan tetapi, untuk bahan pangan ubi jalar mengalami penurunan
selama periode yang sama. Perkembangan produksi pangan tersebut beserta
produksi bahan nabati lainnya ditunjukkan dalam gambar 5.

Gambar 5. Produksi Pangan Nabati Indonesia
Sumber: Nuhfil Hanani AR, Indonesia Tahan Pangan dan Gizi 2015, Makalah
Workshop II Ketahanan Pangan di Jawa Timur, 2009.
Produksi ubi jalar mengalami penurunan (pertumbuhan negatif) rata-rata
0,14% per tahun selama 2003 sampai dengan 2008. Berbeda dengan ubi jalar,
produk pangan nabati lainnya, yaitu: kedelai, kacang tanah, sayur, buah-buahan,
minyak sawit dan gula putih mengalami peningkatan dengan pertumbuhan ratarata 0,44% sampai 3,78% per tahun dalam periode tersebut. Begitu juga produk
pangan hewani, yaitu: daging sapi dan kerbau, daging ayam, telur, susu dan ikan,
produksinya meningkat antara 0,68% sampai 4,04% per tahun sepanjang 2003
sampai dengan 2008.

Gambar 6. Produksi Pangan Hewani Indonesia
Sumber: Nuhfil Hanani AR, Indonesia Tahan Pangan dan Gizi 2015, Makalah
Workshop II Ketahanan Pangan di Jawa Timur, 2009.
Berdasarkan produksi nabati dan hewani sebagaimana diutarakan di atas,
Indonesia memiliki ketersediaan pangan yang semakin banyak dari tahun ke
tahun. Namun demikian, berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik
(http://demografi.bps.go.id) laju pertumbuhan penduduk Indonesia rata-rata

1,49% per tahun selama 1990 sampai dengan 2000 dan rata-rata 1,31% per tahun
selama 2000 sampai dengan 2005. Jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2005
sebesar 218.868.791 Jiwa dan diperkirakan menjadi 227.516.121 Jiwa pada tahun
2008. Dengan jumlah produksi padi 54.151.000 Ton di tahun 2005, maka rasio
antara jumlah produksi padi terhadap jumlah penduduk pada tahun 2005 adalah
247,4 Kg/Kapita/Tahun atau 0,7 Kg/Kapita/Hari. Pada tahun 2008, dengan jumlah
produksi padi sebesar 59.877.000 Ton maka rasio tersebut menjadi 263,2
Kg/Kapita/Tahun atau 0,7 Kg/Kapita/Hari. Perhitungan ini menjukkan bahwa
sebenarnya ketersediaan beras di Indonesia sampai dengan 2008 masih memadai.
Namun demikian, oleh karena semakin banyaknya alih fungsi lahan pertanian
menjadi lahan-lahan lain (perumahan, bisnis, dan lain-lain) menyebabkan rasio
tersebut menjadi terganggu.
Terganggunya rasio antara jumlah produksi padi terhadap jumlah penduduk
sebagaimana diutarakan di atas menyebabkan, pada tahun-tahun terakhir,
Indonesia tergantung pada impor. Bahan pangan yang di impor Indonesia, yaitu:
beras, jagung, kedelai, kacang tanah, ubi kayu, ubi jalar, sayur, buah-buahan,
minyak goreng, gula, daging sapi dan daging kerbau, daging ayam, telur, susu dan
ikan, selama tahun 2003 sampai dengan 2007 ditunjukkan pada gambar 7.

Gambar 7. Ketergantungan Impor Pangan di Indonesia

Sumber: Nuhfil Hanani AR, Indonesia Tahan Pangan dan Gizi 2015, Makalah
Workshop II Ketahanan Pangan di Jawa Timur, 2009.
Berdasarkan gambar 7, impor kedelai merupakan bagian terbesar dari
ketersediaan kedelai di dalam negeri. Pada tahun 2007, sebesar 70,6% kebutuhan
kedelai dipenuhi dari impor, sebagian kecil sisanya, yaitu: 29,4% berasal dari
produksi dalam negeri. Hal ini menunjukkan ketergantungan Indonesia yang
sangat besar terhadap impor kedelai. Selain kedelai, susu juga merupakan produk
yang banyak dipenuhi dari pasar internasional. Impor susu pada tahun 2007
merupakan 66,7% dari kebutuhan susu. Persentase ini menurun dibandingkan
dengan yang terjadi pada tahun 2003, yaitu sebesar 93,89%.
Komoditas ubi kayu, ubi jalar, buah-buahan, minyak goreng, daging ayam
dan telur, seluruhnya atau hampir seluruhnya dipenuhi dari produksi dalam negeri.
Untuk bahan makanan pokok masyarakat, yaitu: beras dan jagung, besarnya
persentase impor masih relatif kecil, yakni masing-masing 4,12% dan 5,52% pada
tahun 2007. Sebagian besar, yaitu masing-masing 95,88% dan 94,48% kebutuhan
masyarakat akan beras dan jagung dipenuhi dari produksi dalam negeri.
Berdasarkan data impor beras dan umbi-umbian, dapat diketahui bahwa
upaya untuk meminimumkan atau menghilang ketergantungan terhadap impor
beras dapat dilakukan melalui diversifikasi pangan dari beras ke ubi kayu dan ubi
jalar. Mengingat bahwa sebagian masyarakat Indonesia sudah mengenal bahkan
terbiasa dengan makan ubi kayu dan ubi jalar, maka diversifikasi tersebut
diharapkan tidak mengalami hambatan yang berarti.

Gambar 8. Ketersediaan Pangan per Kapita
Sumber: Nuhfil Hanani AR, Indonesia Tahan Pangan dan Gizi 2015, Makalah
Workshop II Ketahanan Pangan di Jawa Timur, 2009.
Terjadinya diversifikasi pangan dari beras ke bahan pangan lain tercermin
dari perubahan pola konsumsi penduduk atas berbagai jenis bahan pangan. Secara
umum, penurunan jumlah konsumsi beras di satu sisi dan kenaikan konsumsi
bahan pangan lainnya di sisi lain menunjukkan adanya diversifikasi pangan yang
tengah berlangsung. Jumlah konsumsi beras, jagung dan terigu selama tahun 1993
sampai dengan 2007 ditunjukkan pada gambar 9.

Gambar 9. Perkembangan Konsumsi Komoditas Pangan
Kelompok Padi-padian Penduduk Indonesia 1993-2007
Sumber: Nuhfil Hanani AR, Indonesia Tahan Pangan dan Gizi 2015, Makalah
Workshop II Ketahanan Pangan di Jawa Timur, 2009.
Berdasarkan gambar 9, selama tahun 1993 sampai dengan 2007, konsumsi
penduduk terhadap beras mengalami penurunan. Namun demikian, penurunan
dimaksud tidak dibarengi dengan kenaikan konsumsi jagung dan terigu. Hal ini

berarti bahwa diversifikasi pangan dari beras ke jagung dan terigu masih belum
terjadi. Agak berbeda dengan konsumsi produk pangan nabati, konsumsi
penduduk terhadap produk pangan hewani yaitu: ikan, telur, daging unggas dan
susu mengalami peningkatan sejak 1993 sampai dengan 2007. Perkembangan
konsumsi pangan hewani penduduk pada periode tersebut ditunjukkan dalam
gambar 10.

Gambar 10. Perkembangan Konsumsi Pangan Hewani
Penduduk Indonesia 1993-2007
Sumber: Nuhfil Hanani AR, Indonesia Tahan Pangan dan Gizi 2015, Makalah
Workshop II Ketahanan Pangan di Jawa Timur, 2009.
Berdasarkan gambar 10, disamping terjadi kenaikan konsumsi beberapa
jenis pangan hewani, juga terdapat konsumsi yang tidak berubah, yaitu: daging
ruminansa. Secara keseluruhan, konsumsi penduduk terhadap pangan hewani
mengalami peningkatan. Hal ini berpengaruh terhadap perbaikan kualitas gizi
masyarakat. Sepanjang tahun 1989 sampai dengan 2005, status gizi masyarakat
mengalami perbaikan. Walaupun status gizi buruk meningkat selama kurun waktu
16 tahun, dari 6,3% di tahun 1989 menjadi 8,8% pada tahun 2005, tetapi status

gizi kurang menurun dari 31,7% di tahun 1989 menurun menjadi 19,2% pada
tahun 2005. Dengan demikian, jumlah gizi buruk dan gizi kurang menurun dari
38,0% di tahun 1989 menjadi 28,0% pada tahun 2005. Perkembangan status gizi
tersebut masyarakat ditunjukkan dalam gambar 11.

Gambar 11. Status Gizi Masyarakat
Sumber: Nuhfil Hanani AR, Indonesia Tahan Pangan dan Gizi 2015, Makalah
Workshop II Ketahanan Pangan di Jawa Timur, 2009.
Meskipun status gizi masyarakat mengalami perbaikan sepanjang tahun
1989-2005 sebagaimana ditunjukkan gambar 11, namun masih perlu diwaspadai
adanya masalah keamanan pangan berupa berbagai pelanggaran terhadap produk
pangan. Terjadinya masalah ini tidak hanya dilatarbelakangi oleh alasan finansial
(meminimumkan biaya produksi) tetapi juga alasan kemudahan memperoleh
bahan dan alasan-alasan lainnya. Pelanggaran terhadap produk pangan perlu
mendapat perhatian karena dapat berpengaruh terhadap kualitas gizi dan
kesehatan sehingga dapat berpengaruh pula terhadap produktivitas kerja
masyarakat.

Beberapa jenis pelanggaran produk pangan yang sering terjadi adalah:
pemanis buatan TMS, pengawet TMS, formalin, boraks, pewarna bukan untuk
makanan, cemaran mikroba TMS, dan lain-lain. Persentase berbagai jenis
pelanggaran produk pangan sejak tahun 2001 sampai dengan 2006 ditunjukkan
pada gambar 12.

Gambar 12. Persentase Pelanggaran Produk Pangan
Sumber: Nuhfil Hanani AR, Indonesia Tahan Pangan dan Gizi 2015, Makalah
Workshop II Ketahanan Pangan di Jawa Timur, 2009.

Dokumen yang terkait

AN ALIS IS YU RID IS PUT USAN BE B AS DAL AM P E RKAR A TIND AK P IDA NA P E NY E RTA AN M E L AK U K A N P R AK T IK K E DO K T E RA N YA NG M E N G A K IB ATK AN M ATINYA P AS IE N ( PUT USA N N O MOR: 9 0/PID.B /2011/ PN.MD O)

0 82 16

ANALISIS FAKTOR YANGMEMPENGARUHI FERTILITAS PASANGAN USIA SUBUR DI DESA SEMBORO KECAMATAN SEMBORO KABUPATEN JEMBER TAHUN 2011

2 53 20

EFEKTIFITAS SENAM TERA TERHADAP KADAR KOLESTEROL PADA LANSIA DI RW. 02 POLOWIJEN KOTA MALANG

13 67 21

FAKTOR – FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYERAPAN TENAGA KERJA INDUSTRI PENGOLAHAN BESAR DAN MENENGAH PADA TINGKAT KABUPATEN / KOTA DI JAWA TIMUR TAHUN 2006 - 2011

1 35 26

A DISCOURSE ANALYSIS ON “SPA: REGAIN BALANCE OF YOUR INNER AND OUTER BEAUTY” IN THE JAKARTA POST ON 4 MARCH 2011

9 161 13

Pengaruh kualitas aktiva produktif dan non performing financing terhadap return on asset perbankan syariah (Studi Pada 3 Bank Umum Syariah Tahun 2011 – 2014)

6 101 0

Pengaruh pemahaman fiqh muamalat mahasiswa terhadap keputusan membeli produk fashion palsu (study pada mahasiswa angkatan 2011 & 2012 prodi muamalat fakultas syariah dan hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)

0 22 0

Pendidikan Agama Islam Untuk Kelas 3 SD Kelas 3 Suyanto Suyoto 2011

4 108 178

ANALISIS NOTA KESEPAHAMAN ANTARA BANK INDONESIA, POLRI, DAN KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 SEBAGAI MEKANISME PERCEPATAN PENANGANAN TINDAK PIDANA PERBANKAN KHUSUSNYA BANK INDONESIA SEBAGAI PIHAK PELAPOR

1 17 40

KOORDINASI OTORITAS JASA KEUANGAN (OJK) DENGAN LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN (LPS) DAN BANK INDONESIA (BI) DALAM UPAYA PENANGANAN BANK BERMASALAH BERDASARKAN UNDANG-UNDANG RI NOMOR 21 TAHUN 2011 TENTANG OTORITAS JASA KEUANGAN

3 32 52