Uji cemaran aflatoksin pada serbuk simplisia daun jati Belanda (Guazumae Folium) yang diperdagangkan di pasar ``X``, pasar ``Y``, dan distributor obat tradisional di Yogyakarta - USD Repository

  

UJI CEMARAN AFLATOKSIN PADA SERBUK SIMPLISIA DAUN JATI

BELANDA (Guazumae Folium) YANG DIPERDAGANGKAN DI PASAR

“X”, PASAR “Y”, DAN DISTRIBUTOR OBAT TRADISIONAL

DI YOGYAKARTA

  

SKRIPSI

  Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm.)

  Program Studi Ilmu Farmasi Oleh:

  Yohana Ayu Astiti Kusumaningtyas NIM : 068114122

  

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2012

  

UJI CEMARAN AFLATOKSIN PADA SERBUK SIMPLISIA DAUN JATI

BELANDA (Guazumae Folium) YANG DIPERDAGANGKAN DI PASAR

“X”, PASAR “Y”, DAN DISTRIBUTOR OBAT TRADISIONAL

DI YOGYAKARTA

  

SKRIPSI

  Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm.)

  Program Studi Ilmu Farmasi Oleh:

  Yohana Ayu Astiti Kusumaningtyas NIM : 068114122

  

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2012

  

Allah yang memulai pekerjaan baik di antara kita

akan menyelesaikannya

(Flp 1:6).

  Kupersembakan karya ini untuk Tuhan Yesus Kristus dan Bunda Maria, Ibu & Bapak tercinta, Mbak Vivien, Abel Almamater yang kuhormati Teristimewa untuk Petrus Bonaventura Yudhasisthasiwi, yang kukasihi.

Terima kasih atas segala doa, dukungan, kepercayaan dan ruang yang kalian berikan

kepadaku untuk menyelesaikan karya ini.

  

Tuhan memberkati.

  

PRAKATA

  Penulis memanjatkan puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa oleh karena berkat dan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Uji Cemaran Aflatoksin pada Serbuk Simplisia Daun Jati Belanda (Guazumae Folium) yang Diperdagangkan di Pasar “X”, Pasar “Y”, dan Distributor Obat Tradisional di Yogyakarta” ini dengan baik. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.) Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

  Penyelesaian skripsi ini tentunya tidak lepas dari bantuan dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Oleh karena itu penulis hendak mengucapkan terima kasih kepada :

  1. Ipang Djunarko, M.Sc., Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

  2. Yohanes Dwiatmaka, M.Si. selaku Dosen Pembimbing Penguji skripsi ini atas segala kesabaran untuk menunggu, mendukung, memotivasi, membimbing, dan memberi arahan dalam penyusunan skripsi ini.

  3. Prof. Dr. C.J. Soegihardjo, M.Si., Apt. selaku Dosen Penguji skripsi atas bantuan dan masukan kepada penulis demi kemajuan skripsi ini.

  4. Maria Dwi Budi Jumpowati, S.Si. selaku Dosen Penguji skripsi atas bantuan dan masukan kepada penulis demi kemajuan skripsi ini.

  5. C.M. Ratna Rini Nastiti, M.Pharm., Apt. selaku Dosen Pembimbing Akademik yang senantiasa mendukung, memotivasi, dan mengingatkan

  6. Mas Wagiran, Mas Sigit, Pak Mukminin, Mas Sarwanto, Mas Andre, Pak Timbul dan semua staf laboratorium Farmasi yang telah bersedia membantu dan menemani selama penelitian berlangsung, atas segala kesabaran, bantuan dan dinamika selama di laboratorium.

  7. Sahabat-sahabat terbaik dalam hidupku yang berada di berbagai belahan bumi ini, terima kasih untuk dukungan dan motivasi yang telah kalian berikan.

  8. Teman-teman FST angkatan 2006 atas kebersamaan, persahabatan, suka dan duka selama ini.

  9. Pihak-pihak lain yang turut membantu penulis namun tidak dapat disebutkan satu persatu.

  Penulis menyadari bahwa tidak ada manusia yang sempurna, termasuk penulis. Oleh karena itu, penulis mengharapkan adanya kritik, saran dan masukan dari berbagai pihak demi kemajuan di masa yang akan datang.

  Akhir kata, penulis berharap bahwa skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak, baik mahasiswa, lingkungan akademis, masyarakat, serta dapat memberikan sumbangan kecil bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya di bidang kefarmasian.

  Penulis

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

  Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

  Apabila di kemudian hari ditemukan indikasi plagiarisme dalam naskah ini, maka saya bersedia menanggung segala sanksi sesuai peraturan perundang- undangan yang berlaku.

  Yogyakarta, 1 Maret 2012 Penulis

  Yohana Ayu Astiti Kusumaningtyas

  

UJI CEMARAN AFLATOKSIN PADA SERBUK SIMPLISIA DAUN JATI

BELANDA (Guazumae Folium) YANG DIPERDAGANGKAN DI PASAR

“X”, PASAR “Y”, DAN DISTRIBUTOR OBAT TRADISIONAL DI

YOGYAKARTA

  

INTISARI

  Masyarakat Indonesia sejak dahulu mengenal dan mengkonsumsi seduhan serbuk simplisia daun jati belanda (Guazumae Folium) sebagai jamu pelangsing. Serbuk simplisia daun jati belanda harus memenuhi standar kualitas supaya aman dikonsumsi oleh masyarakat, salah satunya mengenai batas cemaran aflatoksin. Aflatoksin merupakan toksin karsinogenik yang dihasilkan oleh kapang Aspergillus flavus dan

  A. parasiticus. Kadar aflatoksin yang

  diperbolehkan dalam simplisia menurut Persyaratan Obat Tradisional yang dikeluarkan oleh Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 661/MENKES/SK/VII/1994 adalah kurang dari 30 bagian per juta (bpj).

  Penelitian ini merupakan jenis penelitian non-eksperimental dan deskriptif komparatif yang bertujuan untuk menguji apakah cemaran aflatoksin yang terkandung dalam serbuk simplisia daun jati belanda yang diperjualbelikan di pasar tradisional “X” dan “Y”, serta di sebuah distributor obat tradisional melebihi standar kadar yang diperbolehkan. Uji cemaran aflatoksin ditetapkan secara kualitatif sesuai Parameter Standar Umum Ekstrak Tanaman Obat yang ditetapkan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia, menggunakan metode Kromatografi Lapis Tipis (KLT) dengan fase diam silica GF dan fase gerak kloroform - aseton (9:1).

  254

  Berdasarkan analisis kualitatif yang ditinjau dari perbandingan antara nilai Rf dan intensitas warna bercak serbuk simplisia daun jati belanda dengan standar aflatoksin berkonsentrasi 25 µg/ml, sampel serbuk simplisia daun jati belanda yang diperdagangkan di Pasar “Y” memenuhi persyaratan yang ditetapkan, dan pada sampel serbuk simplisia daun jati belanda yang diperdagangkan di Pasar “X” hanya ditemukan satu sampel yang tidak memenuhi persyaratan, sedangkan sampel serbuk simplisia daun jati belanda yang diperdagangkan di distributor obat tradisional tidak memenuhi persyaratan yang ditetapkan.

  

Kata kunci : aflatoksin, serbuk simplisia daun jati belanda (Guazumae Folium),

  Kromatografi Lapis Tipis (KLT)

  

ABSTRACT

  Since many years ago, the Indonesian have already known and used the boiled water of bastard cedar’s leaves (Guazumae Folium) as a slimming medicinal herbs. The simplisia powder of Guazumae Folium must have a quality standart so it is safe to be consumed by people. One of the quality standart is about aflatoxin level. Aflatoksin is a toxic compound produced by the mold

  

Apergillus flavus and A. parasiticus which is carcinogenic for human. Aflatoxin

  maximum level that allowed in the traditional medicine is less than 30 part per million (ppm) based on the requirements set forth Traditional Medicine by the Decree of the Minister of Health of the Indonesian Republic No. 661/MENKES/SK/VII/1994.

  This is non-experimental research with a comparative description in order to find out the aflatoxin level in Guazumae Folium traded in “X” market, “Y” market, and the traditional medicinal distibutor in Yogyakarta. Aflatoxin contamination test is qualitatively determined according to the General Standard Parameters of Medicinal Plant’s Extract established by the Food and Drug Administration of Indonesian Republic, using Thin Layer Chromatography (TLC) measurements with silica gel as stationer phase and chlorofom-acetone (9:1) as the mobile phase.

  Based on the result of qualitative analysis, according to the comparation of Rf value and the color intensity measurement between Guazumae Folium and 25 µg/ml aflatoxin standart, non of Guazumae Folium traded in “Y” market contains Aflatoxin, only one of the Guazumae Folium sample traded in “X” Market contain Aflatoxin, and Guazumae Folium traded in Traditional Medicine’s Distributor is contain the Aflatoxin.

  Key words : aflatoxin, simplicia powder of bastard cedar’s leaves (Guazumae

Folium), Thin Layer Chromatography

  DAFTAR ISI

  HALAMAN JUDUL .................................................................................... i HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................ ii HALAMAN PENGESAHAN ...................................................................... iii HALAMAN PERSEMBAHAN ................................................................... iv LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI .................................................... v PRAKATA .................................................................................................. vi PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ....................................................... viii

  INTISARI .................................................................................................... ix ABSTRACT ................................................................................................ x DAFTAR ISI ................................................................................................ xi DAFTAR TABEL ....................................................................................... xiv DAFTAR GAMBAR ................................................................................... xv DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................ xvi BAB I PENDAHULUAN ..........................................................................

  1 A. Latar Belakang ...................................................................................

  1 B. Perumusan Masalah .............................................................................

  3 C. Keaslian Penelitian .............................................................................

  4 D. Manfaat Penelitian ..............................................................................

  4 E. Tujuan Penelitian ................................................................................

  5 BAB II PENELAAHAN PUSTAKA ..........................................................

  6 A. Jati Belanda ........................................................................................

  6

  2. Deskripsi daun tanaman jati belanda ............................................

  6 3. Pemerian daun jati belanda ...........................................................

  7 B. Simplisia .............................................................................................

  8 C. Serbuk Simplisia .................................................................................

  13 D. Aflatoksin ...........................................................................................

  14 E. Destilasi Toluena ................................................................................

  16 F. Kromatografi Lapis Tipis ....................................................................

  18 G. Landasan Teori ...................................................................................

  20 H. Hipotesis .............................................................................................

  22 BAB III METODOLOGI PENELITIAN ......................................................

  23 A. Jenis dan Rancangan Penelitian ...........................................................

  23 B. Variabel dan Definisi Operasional ......................................................

  23 1. Klasifikasi variabel ......................................................................

  23 2. Definisi operasional .....................................................................

  24 C. Bahan .................................................................................................

  24 D. Alat .....................................................................................................

  25 E. Jalannya Penelitian .............................................................................

  25 1. Pengambilan serbuk simplisia daun jati belanda ...........................

  25 2. Identifikasi serbuk simplisia daun jati belanda .............................

  26

  3. Pengukuran kadar air serbuk simplisia daun jati belanda dengan Metode destilasi toluen ................................................................

  26 4. Pembuatan fase gerak untuk KLT ................................................

  26 5. Pembuatan pelarut ........................................................................

  27

  6. Preparasi sampel serbuk simplisia daun jati belanda .....................

  27 7. Identifikasi aflatoksin dalam serbuk simplisia daun jati belanda ...

  28 F. Analisis Data ......................................................................................

  29 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ......................................................

  30 A. Pengumpulan Bahan ...........................................................................

  30 B. Identifikasi Serbuk Simplisia Daun Jati Belanda .................................

  31 C. Pengukuran Kadar Air Serbuk Simplisia Daun Jati Belanda ................

  33 D. Preparasi Sampel Serbuk Simplisia Daun Jati Belanda ........................

  35 E. Identifikasi Aflatoksin ........................................................................

  37 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................

  45 A. Kesimpulan .........................................................................................

  45 B. Saran ..................................................................................................

  45 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................

  46 LAMPIRAN ................................................................................................

  49 BIOGRAFI PENULIS .................................................................................

  53

  DAFTAR TABEL Tabel I. Hasil identifikasi serbuk simplisia daun jati belanda ..................

  32 Tabel II. Kadar air rata-rata serbuk simplisia daun jati belanda .................

  34 Tabel III. Pengukuran nilai Rf kromatogram serbuk simplisia daun jati belanda dengan deteksi sinar UV 365 nm ................................................

  42

  DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Struktur aflatoksin .....................................................................

  15 Gambar 2. Skema destilasi toluena ..............................................................

  16 Gambar 3. Kromatografi kolom ..................................................................

  28 Gambar 4. Kromatogram replikasi 1 dan 2 di bawah sinar UV 254 nm .......

  38 Gambar 5. Kromatogram replikasi 1 dan 2 di bawah sinar UV 365 nm .......

  39 Gambar 6. Kromatogram replikasi 3 di bawah sinar UV 254 nm .................

  39 Gambar 7. Kromatogram replikasi 3 di bawah sinar UV 365 nm .................

  40 Gambar 8. Struktur aflatoksin B

  1

  , B

  2

  , G

  

1

  , dan G

  2 ........................................

  41

  DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Data penimbangan untuk preparasi sampel ............................

  50 Lampiran 2. Data perhitungan kadar air ....................................................

  50 A. Serbuk simplisia daun jati belanda yang diperdagangkan di Pasar “X”

  50 B. Serbuk simplisia daun jati belanda yang diperdagangkan di Pasar “Y”

  51 C. Serbuk simplisia daun jati belanda yang diperdagangkan di Pasar “X”

  51 Lampiran 3. Foto-foto lain ........................................................................

  52 A. Alat destilasi toluena ...........................................................................

  52 B. Penambahan NaCl 0,1% .....................................................................

  52 C. Penambahan heksana ..........................................................................

  53 D. Penambahan kloroform .......................................................................

  53 E. Chamber KLT ....................................................................................

  54 Lampiran 4. Fragmen serbuk simplisia daun jati belanda dalam monografi (Dirjen POM RI, 1978) .........................................................

  54 Lampiran 5. Fragmen serbuk simplisia daun jati belanda dilihat dari mikroskop ..............................................................................

  55 A. Rambut penutup berbentuk bintang .....................................................

  55 B. Epidermis dan butir kristal oksalat ......................................................

  55 C. Pembuluh kayu dengan penebalan tangga ...........................................

  56

BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Masyarakat Indonesia sejak dahulu mengenal dan mengkonsumsi jamu

  sebagai warisan turun-temurun dari nenek moyang. Banyak manfaat yang didapatkan dari mengkonsumsi jamu. Jamu dipercaya bisa meningkatkan fungsi dan kerja tubuh. Selain itu, jamu biasa digunakan memperbaiki metabolisme tubuh dan merawat kecantikan diri. Jamu yang sering dikonsumsi masyarakat sebagai bentuk perawatan tubuh adalah jamu pelangsing. Salah satu simplisia yang lazim terdapat di dalam komposisi jamu pelangsing adalah jati belanda (Guazuma ulmifolia Lamk.).

  Menurut Rini (2007), seduhan daun kering daun jati belanda dapat berpengaruh terhadap penurunan berat badan tikus putih. Selain itu, terdapat penelitian bahwa pemberian infusa daun jati belanda dan daging daun lidah buaya berpengaruh terhadap penurunan berat badan tikus putih jantan galur Wistar (Setiyani, 2005). Rahardjo (2004) menyebutkan bahwa ekstrak etanol daun jati belanda berpengaruh terhadap penurunan aktivitas enzim lipase serum Rattus

  

norvegicus . Hal ini juga yang mendorong produsen jamu tradisional

  menggunakan daun jati belanda sebagai bahan baku jamu, khususnya sebagai jamu pelangsing.

  Daun jati belanda bisa dikonsumsi baik dalam bentuk campuran dengan belanda diperjualbelikan secara bebas di pasar tradisional ataupun di berbagai distributor obat tradisional. Di Yogyakarta, terdapat beberapa pasar tradisional yang menyediakan bahan-bahan obat tradisional, termasuk serbuk simplisia daun jati belanda, antara lain adalah pasar "X" dan pasar "Y". Selain di pasar-pasar tradisional, serbuk daun jati belanda juga bisa diperoleh di distributor obat tradisional.

  Bahan obat tradisional, termasuk pula serbuk simplisia daun jati belanda, harus memenuhi persyaratan mutu dan kualitas yang meliputi SQE (Safety, ) supaya bisa dikonsumsi oleh masyarakat. Walaupun sekarang

  Quality, Efficacy

  ini pengolahan jamu telah mengalami kemajuan yang cukup pesat, tidak bisa dipungkiri bahwa masih banyak kelemahan dalam segi produksi, mulai dari proses penyiapan bahan baku simplisia, pembuatan simplisia, penyimpanan di pasaran, dan pengemasan. Salah satu persyaratan keamanan simplisia yang dapat dikonsumsi masyarakat adalah mengenai batas kandungan cemaran aflatoksin yang bersifat karsinogenik. Daun jati belanda, terutama yang diproses oleh para petani dengan pengetahuan kebersihan minimal, memperbesar kemungkinan pencemaran kapang, tidak terkecuali kapang penghasil aflatoksin, seperti

  

Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus, sehingga memungkinkan adanya

cemaran aflatoksin di dalamnya (Kuswandi dan Yuswanto, 1981).

  Perdagangan serbuk simplisia daun jati belanda sebagai bahan baku jamu pelangsing di pasar "X", pasar "Y", dan distributor obat tradisional di Yogyakarta tidak luput dari ancaman pertumbuhan kapang penghasil aflatoksin. Sumber tanaman serta proses pengolahan dari saat pemanenan daun jati belanda hingga menjadi serbuk simplisia hingga didistribusikan di tempat-tempat perdagangan tersebut tidak diketahui secara pasti sehingga menimbulkan kecurigaan adanya cemaran kapang dalam serbuk simplisia. Dilihat dari faktor wadah dan cara penyimpanan di lokasi pasar “X”, pasar “Y”, dan distributor obat tradisional di Yogyakarta, serbuk simplisia hanya dikemas dalam wadah plastik tidak kedap udara dan seluruhnya disimpan di rak-rak kayu tanpa adanya pemisahan antara simplisia yang satu dengan simplisia lainnya. Lamanya rentang waktu hingga serbuk simplisia daun jati belanda terjual dapat dilihat dari kemasan serbuk simplisia yang berdebu serta tidak tercantum waktu (tanggal) perolehan dari petani (tidak ada penerapan metode first in first out), serta faktor lingkungan antara lain lokasi blok pedagang jamu tradisional di kedua pasar yang lembab memungkinkan pertumbuhan kapang penghasil aflatoksin yang dapat mencemari serbuk simplisia daun jati belanda.

  Apabila kapang yang mengkontaminasi serbuk simplisia daun jati belanda merupakan kapang penghasil aflatoksin dan aflatoksin yang dihasilkan melebihi persyaratan yang ditetapkan dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 661/MENKES/SK/VII/1994 tentang Persyaratan Obat Tradisional, yaitu tidak lebih dari 30 µg/kg (Dirjen POM RI, 1994), maka akan sangat berbahaya apabila dikonsumsi masyarakat.

B. Perumusan Masalah

  Berdasarkan latar belakang di atas, timbul suatu permasalahan, yaitu apakah serbuk simplisia daun jati belanda yang diperdagangkan di pasar “X”, pasar “Y”, dan distributor obat tradisional memenuhi persyaratan cemaran aflatoksin yang diperbolehkan menurut Persyaratan Obat Tradisional yang dikeluarkan oleh Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 661/MENKES/SK/VII/1994?

  C. Keaslian Penelitian

  Sejauh penelusuran pustaka yang dilakukan penulis, penelitian mengenai pengujian cemaran aflatoksin pada serbuk simplisia daun jati belanda yang diperdagangkan di pasar “X”, pasar “Y”, dan distributor obat tradisional di Yogyakarta belum pernah dipublikasikan. Beberapa penelitian yang telah dilakukan antara lain:

  1. Deteksi aflatoksin dalam simplisia ramuan jamu dan jamu oleh Kuswandi dan Yuswanto (1981).

  2. Uji cemaran aflatoksin pada rimpang kunyit (Curcuma domestica Val.) oleh Apsari (2010).

  3. Uji cemaran aflatoksin pada rimpang temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) oleh Wibowo (2010).

  D. Manfaat Penelitian

  1. Manfaat teoritis Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan mengenai obat tradisional, terutama mengenai pengujian cemaran aflatoksin pada serbuk simplisia daun jati belanda.

  2. Manfaat praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada akademisi tentang metode pengujian cemaran aflatoksin dalam serbuk simplisia daun jati belanda. Selain itu, pelitian ini dapat memberikan informasi kepada masyarakat mengenai salah satu aspek kualitas, yaitu cemaran aflatoksin, pada serbuk simplisia daun jati belanda yang diperdagangkan di pasar “X”, pasar “Y”, dan distributor obat tradisional di Yogyakarta.

E. Tujuan Penelitian

  Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui kualitas serbuk simplisia daun jati belanda yang diperdagangkan di pasar “X”, pasar “Y”, dan distributor obat tradisional di Yogyakarta, berdasarkan persyaratan kadar cemaran aflatoksin yang diperbolehkan menurut Persyaratan Obat Tradisional yang dikeluarkan oleh Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 661/MENKES/SK/VII/1994.

BAB II PENELAAHAN PUSTAKA A. Jati Belanda (Guazuma ulmifolia Lamk.)

1. Keterangan botani

  Sistem klasifikasi tanamam jati belanda Kingdom: Plantae (Tumbuhan) Subkingdom: Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh) Super Divisi: Spermatophyta (Menghasilkan biji) Divisi: Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga) Kelas: Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil) Sub Kelas: Dilleniidae Ordo: Malvales Famili: Sterculiaceae Genus: Guazuma Spesies: Guazuma ulmifolia Lamk

  Jati belanda (Guazuma ulmifolia Lamk.) merupakan anggota suku

  

Sterculiaceae (Dirjen POM, 1978). Tanaman jati belanda lebih dikenal di

  Sumatera dengan nama jati belanda (Melayu), di pulau Jawa dikenal dengan nama jati landa, atau jatus landi (Heyne, 1987).

  2. Daun jati belanda (Guazumae Folium)

  Daun jati belanda (Guazumae Folium) adalah daun tanaman Guazuma ulmifolia Lamk. Var. tomantosa. K. Schum (Dirjen POM, 1978).

  3. Pemerian daun jati belanda

  Bentuk daun jati belanda yaitu bundar telur sampai lanset, panjang helai daun 4 sampai 22,5 cm, lebar daun 2 sampai 10 cm. Pangkal menyerong berbentuk jantung yang kadang-kadang tidak setangkup, bagian ujung meruncing, pinggirnya bergigi, permukaan daun bagian atas berambut jarang namun permukaan bagian bawah berambut rapat. Warna daunnya hijau kecoklatan hingga coklat muda, tangkai daun memiliki panjang antara 5 sampai 25 mm, mempunyai daun penumpu berbentuk lanset atau berbentuk paku, panjang 3 sampai 6 mm (Dirjen POM RI, 1978).

  Daun jati belanda memiliki bau aromatik lemah dengan rasa agak kelat. Ciri-ciri mikroskopik daun jati belanda antara lain epidermis atas terdiri dari satu lapis sel, berambut penutup, berambut kelenjar, kutikula agak besar, dan tidak terdapat stomata. Epidermis bawah memiliki ciri yang sama dengan epidermis atas, hanya saja selnya lebih kecil dan memiliki stomata. Rambut penutup berbentuk menyerupai bintang yang terdiri dari beberapa rambut bersel tunggal, sedangkan rambut kelenjar terdiri dari dua sampai tiga sel tangkai dan tiga sel kepala, dengan satu sel kepala lebih besar dari dua sel lainnya. Mesofil terdiri dari jaringan palisade dan bunga karang, yang di dalamnya terdapat hablur kalsium oksalat berbentuk prisma (Dirjen POM, 1978). Serbuk daun jati belanda berwarna berbentuk bintang; rambut kelenjar; hablur kalsium oksalat berbentuk prisma; fragmen epidermis atas dan bawah; serta pembuluh kayu dengan penebalan tangga (Dirjen POM RI, 1978).

B. Simplisia

  Simplisia merupakan bentuk jamak dari kata simplek yang berasal dari kata simple, dan memiliki arti “sederhana”. Istilah simplisia biasanya digunakan untuk menyebut bahan-bahan obat alam yang belum mengalami perubahan bentuk atau masih dalam bentuk aslinya. Menurut Depertemen Kesehatan RI, simplisia adalah bahan alamiah yang digunakan sebagai obat dan belum mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali dinyatakan lain, umumnya berupa bahan yang telah dikeringkan. Secara umum, simplisia dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu simplisia nabati, simplisia hewani, dan simplisia pelikan atau mineral.

  Simplisia nabati ialah simplisia yang berupa tanaman utuh, bagian suatu tanaman, eksudat tanaman, atau gabungan dari ketiganya. Yang dimaksud eksudat tanaman ialah isi sel yang keluar dari tanaman secara spontan atau secara sengaja dengan cara tertentu (Gunawan dan Mulyani, 2004).

  Selanjutnya, simplisia diolah untuk menjadi produk kefarmasian yang siap dipakai atau siap untuk diproses pada tahap selanjutnya dalam beberapa bentuk, antara lain: (1) siap dipakai dalam bentuk serbuk halus, yang digunakan dengan cara diseduh sebelum diminum (jamu), (2) siap dipakai untuk selanjutnya dicacah dan digodog sebagai jamu godogan (infusa), dan (3) diproses selanjutnya menjadi bentuk sediaan farmasi lain, yang umumnya melalui proses ekstraksi (Gunawan dan Mulyani, 2004).

  Suatu simplisia yang digunakan sebagai bahan baku (awal) atau sebagai produk yang siap dikonsumsi secara langsung, minimal harus dapat memenuhi parameter standar umum mengenai:

  1. Kebenaran jenis (identifikasi), kemurnian (bebas dari segala kontaminasi kimia maupun biologis), dan kestabilan (dalam wadah, penyimpanan, dan proses distibusi transportasi).

  2. Tiga paradigma parameter produk kefarmasian, yaitu Safety, Quality, Efficacy (aman, bermutu, dan bermanfaat).

  3. Informasi komposisi (jenis dan kadar) senyawa yang terkandung di dalamnya (Dirjen POM RI, 2000).

  Oleh karena itu, untuk memenuhi persyaratan tersebut, ada beberapa faktor penting yang berpengaruh, antara lain: (1) bahan baku simplisia, (2) proses pembuatan simplisia, dan (3) cara pengepakan dan penyimpanan simplisia (Dirjen POM RI, 1985).

  Berdasarkan bahan bakunya, simplisia bisa diperoleh dari tanaman yang dibudidayakan atau dari tanaman liar. Keseragaman umur, masa panen, galur (asal usul, garis keturunan) tanaman budidaya dapat dipantau. Namun tidak demikian dengan tanaman liar. Banyak kendala dan variabilitas yang tidak bisa dikendalikan seperti umur, asal tanaman, dan tempat tumbuh. Variasi seperti itulah yang dapat mengurangi mutu simplisia (Gunawan dan Mulyani, 2004).

  Pembuatan simplisia meliputi beberapa tahapan. Secara umum, tahapan pembuatan simplisia adalah sebagai berikut.

  1. Pengumpulan bahan baku Tahapan pengumpulan bahan baku merupakan tahap yang sangat menentukan kualitas bahan baku. Faktor yang paling berperan dalam tapan ini ialah masa panen. Misalnya pada bahan baku daun atau herba. Untuk mendapatkan daun atau herba yang berkualitas, pemanenan dilakukan pada saat proses fotosintesis berlangsung maksimal. Proses tersebut ditandai saat tanaman mulai berbunga atau buah mulai masak, sedangkan untuk pengambilan pucuk daun, dianjurkan dipetik ketika warna pucuk daun berubah menjadi daun tua (Gunawan dan Mulyani, 2004).

  2. Sortasi basah Sortasi basah merupakan pemilihan hasil panen ketika tanaman masih segar. Sortasi basah bertujuan untuk memisahkan kotoran-kotoran atau bahan asing, memisahkan bahan tanaman yang berukuran besar atau kecil, serta memisahkan bahan tanaman yang tua dengan yang muda (Sembiring, 2007).

  Sortasi antara lain dilakukan terhadap tanah dan kerikil, rumput-rumputan liar, bahan tanaman lain atau bagian lain dari tanaman yang tidak digunakan, serta bagian tanaman yang rusak (misalnya dimakan ulat) (Gunawan dan Mulyani, 2004).

  3. Pencucian Pencucian simplisia dilakukan untuk menghilangkan kotoran yang menempel pada tanaman, terutama kotoran yang berasal dari dalam tanah, dan bahan-bahan kimia seperti pestisida (Gunawan dan Mulyani, 2004). Pencucian juga bertujuan untuk mengurangi mikroba yang melekat pada bahan. Pencucian dilakukan dengan menggunakan air bersih dan dalam waktu sesingkat mungkin (Dirjen POM RI, 1985). Menurut Gunawan dan Mulyani (2004), pencucian sayuran sebanyak satu kali akan menurunkan jumlah mikroba sebanyak 25%.

  Namun pencucian yang dilakukan sebanyak tiga kali hanya akan menurunkan mikroba sebesar 58%.

  4. Pengubahan bentuk Cepat lambatnya proses pengeringan bahan baku simplisia dipengaruhi oleh luas permukaan bahan baku. Untuk memperluas permukaan bahan baku diperlukan proses pengubahan bentuk simplisia. Proses pengubahan bentuk ini meliputi beberapa perlakuan sebagai berikut.

  (a) Perajangan untuk rimpang, daun, dan herba, (b) pengupasan untuk buah, kayu, kulit kayu, dan biji-bijian berukuran besar, (c) pemisahan biji dari bonggol, seperti pada jagung, (d) pemotongan untuk akar, batang, kayu, kulit kayu, dan ranting, dan (e) penyerutan untuk kayu (Gunawan dan Mulyani, 2004).

  Perlu diperhatikan bahwa semakin luas dan tipis permukaan suatu bahan baku maka akan semakin cepat penguapan air, sehingga waktu pengeringan semakin cepat. Namun jika permukaan bahan terlalu luas atau ketebalannya terlalu tipis, maka dapat menyebabkan hilangnya zat-zat yang mudah menguap, sehingga komposisinya dapat berubah (Dirjen POM RI, 1985).

  5. Pengeringan Pengeringan merupakan tahapan yang penting diperhatikan dalam pembuatan simplisia. Kesalahan dalam pengeringan akan menyebabkan kerusakan berupa hilangnya komponen penting ataupun kontaminasi jamur dan kotoran. Kandungan air pada simplisia akan mempengaruhi daya tahan simplisa tersebut terhadap serangan jamur (Winarno, 1980). Selain bertujuan untuk menghilangkan kandungan air, pengeringan juga bertujuan untuk menghilangkan aktivitas enzim yang bisa menguraikan kandungan zat aktif dan mempermudah proses selanjutnya (bahan menjadi ringkas, mudah disimpan, tahan lama) (Gunawan dan Mulyani, 2004).

  Faktor-faktor yang perlu diperhatikan pada suatu proses Pengeringan adalah waktu pengeringan, suhu pengeringan, kelembaban udara di sekitar tempat pengeringan, ketebalan bahan baku, sirkulasi udara, serta luas permukaan bahan. Faktor-faktor tersebut perlu disesuaikan dengan variasi bahan yang akan dikeringkan. Misalnya pengeringan bahan berupa daun-daunan seperti jati belanda, pengeringan dapat dilakukan dengan menggunakan sinar matahari, oven, ataupun blower. Jika suhu pengeringan terlalu tinggi, dikhawatirkan akan merusak kandungan zat aktif dalam bahan, sehingga mutunya menurun. Pada umumnya, bahan yang sudah kering memiliki kandungan air sekitar 8%-10% (Sembiring, 2007).

  6. Sortasi kering Sortasi kering ialah pemilihan bahan setelah mengalami proses pengeringan (Gunawan dan Mulyani, 2004). Pemilihan dilakukan terhadap bahan- bahan yang terlalu gosong akibat pengeringan, pengotor-pengotor lain yang tertinggal pada simplisia kering, maupun bagian tanaman yang tidak diinginkan (Dirjen POM RI, 1985).

  7. Pengepakan dan penyimpanan Setelah tahap sortasi kering, simplisia perlu ditempatkan dalam suatu wadah agar tidak saling bercampur antar simplisia satu dan yang lain (Sembiring,

  2007). Wadah yang dapat digunakan memiliki beberapa persyaratan antara lain harus inert; tidak beracun bagi bahan yang diwadahi; mampu melindungi simplisia dari cemaran mikroba, kotoran, maupun serangga; mampu melindungi simplisia dari penguapan kandungan zat aktif; serta mampu melindungi simplisia dari pengaruh oksigen, cahaya, dan uap air (Gunawan dan Mulyani, 2004).

C. Serbuk Simplisia

  Serbuk simplisia dihasilkan dari simplisia yang mengalami suatu proses pembuatan serbuk (penyerbukan). Simplisia dibuat menjadi serbuk simplisia dengan menggunakan peralatan tertentu hingga mencapai derajat kehalusan tertentu (Dirjen POM RI, 2000). Pembuatan serbuk simplisia bertujuan untuk mempermudah penggunaan oleh konsumen. Serbuk simplisia dapat dikonsunmsi dengan cara diseduh dengan air panas, atau diolah untuk menjadi bentuk lainnya yang sesuai dengan kabutuhan konsumen seperti misalnya bentuk param, pilis, pil, kapsul, tablet, dan suspensi (Sutrisno, 1986).

  Bentuk serbuk simplisia memiliki keuntungan dan kerugian antara lain:

  1. Mempermudah konsumen untuk mengkonsumi karena hanya perlu diseduh dan kemudian disaring, sehingga air seduhan serbuk simplisia bisa langsung dikonsumsi. Serbuk simplisia juga bisa diubah bentuknya menjadi bermacam- macam bentuk sediaan tergantung kepada fungsi dan tujuan pemakaiannya (Sutrisno, 1986).

  2. Semakin halus suatu simplisia, semakin rumit peralatan yang digunakan untuk filtrasi, namun proses ekstraksinya akan semakin efektif.

  3. Pada saat proses penyerbukan, terjadi gesekan antara simplisia dengan peralatan yang digunakan (misalnya logam). Panas yang timbul karena adanya gesekan tersebut dapat berpengaruh pada kandungan senyawa dalam simplisia .

  (Dirjen POM RI, 2000) 4. Pada serbuk simplisia tidak dapat dilakukan analisis secara makroskopik.

  Pemeriksaan mutu yang dapat dilakukan hanya melalui pemeriksaan mikroskopik dan kimiawi. Selain itu, semakin halus derajat serbuknya, semakin sulit pula pengenalan sel-sel atau jaringan tananmannya (Sutrisno, 1986).

D. Aflatoksin

  Aflatoksin (aspergillus flavus toxin) adalah suatu jenis mikotoksin yang terdapat pada bahan pangan. Aflatoksin ditemukan sekitar tahun 1960 akibat seratus ribu ekor korban ternak. Aflatoksin secara alami terdapat pada tanaman pangan, terutama pada kacang-kacangan. Bahan-bahan ini ditumbuhi kapang selama pemanenan dan penyimpanan dalam kondisi lembab. Toksin ini dihasilkan dari kapang Aspergillus flavus dan genus aspergillus lainnya, yang diproduksi

  o o

  pada suhu antara 7,5-40

  C, dengan suhu optimum 24-28

  C. Aflatoksin dapat menyebabkan toksigenik (menimbulkan keracunan), mutagenik (menimbulkan mutasi), teratogenik (menimbulkan penghambatan pada pertumbuhan janin), dan karsinogenik (menimbulkan kanker) (Makfoeld,1993).

  Secara garis besar, aflatoksin terdiri dari enam komponen induk (Gambar 1.), yaitu aflatoksin B (AfB ), aflatoksin B (AfB ), aflatoksin G (AfG ),

  1

  1

  2

  2

  1

  1

  aflatoksin G (AfG ), aflatoksin M (AfM ), aflatoksin M (AfM ). Dari keenam

  2

  2

  1

  1

  2

  2

  komponen induk tersebut, Makfoeld (1993) menyebutkan bahwa komponen aflatoksin yang paling berbahaya adalah AfB dan jumlahnya paling banyak

  1 terdapat di alam.

  Gambar 1. Struktur Aflatoksin Alflatoksin tahan terhadap panas, pencampuran, dan beberapa bahan kimia. Menurut Manik (2003), aflatoksin memiliki sifat khas, yaitu dapat berfluoresensi jika terpapar sinar ultraviolet, sehingga sifat tersebut dapat digunakan untuk uji kualitatif maupun kuantitatif. Aflatoksin B berfluoresensi biru (Blue), sedangkan Aflatoksin G berfluoresensi hijau (Green). Aflatoksin bersifat sangat tidak larut dalam air, larut dalan aseton atau kloroform, dengan Aw (water activity) minimal 0,78 dan optimal 0,98 (Muchtadi, 2005).

E. Destilasi Toluena

  Destilasi toluen, atau yang biasa disebut metode azeotropi merupakan salah satu metode yang digunakan untuk menetapkan kadar air pada suatu bahan.

  Metode ini didasarkan pada perbedaan berat jenis dan polaritas antara air dan toluen (Dirjen POM RI, 1995).

  Keterangan : A = Labu kaca 500 ml B = Perangkap C = Pendingin refluks D = Tabung penghubung E = Tabung penerima kapasitas 5 ml

  Gambar 2. Skema destilasi toluen

F. Kromatografi Kolom

  Kromatografi adalah suatu proses pemisahan senyawa. Dahulu, kromatografi digunakan untuk memisahkan senyawa-senyawa berwarna. Namun saat ini, kromatografi juga digunakan untuk memisahkan senyawa-senyawa yang tidak berwarna, termasuk di antaranya berbentuk gas. Pada dasarnya semua metode kromatografi menggunakan dua fase, yaitu fase diam (stationary phase) dan fase gerak (mobile phase) (Sastrohamidjojo, 2002). Fase diam dapat berupa bahan padat (porus) dalam bentuk cairan, sedangkan fase gerak dapat berupa cairan atau gas (Rohman, 2009).

  Kromatografi kolom sering disebut dengan kromatografi serapan (absorption chromatography). Bahan yang sering digunakan sebagai penyerap antara lain silika gel dan aluminium oksida. Bahan-bahan tersebut dimasukkan dalam tabung kaca atau kwarsa dengan ukuran tertentu dan mempunyai lubang pengalir keluar dengan ukuran tertentu (Dirjen POM RI, 1979 b).

  Sampel yang diperiksa dilarutkan dalam sedikit pelarut, kamudian dimasukkan melalui puncak kolom dan dibiarkan mengalir melalui zat penyerap.

  Zat tertentu nantinya akan diserap dari larutan oleh bahan penyerap. Selanjutnya, dengan atau tanpa tekanan udara, masing-masing zat tersebut akan bergerak turun dengan kecepatan yang spesifik, sehingga terjadi suatu pemisahan dalam kolom yang disebut kromatogram. Kecepatan bergerak zat akan dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti daya serap bahan penyerap, sifat pelarut, dan suhu sistem kromatografi (Dirjen POM RI, 1979).

  Pemisahan yang banyak dilakukan selama ini model kromatogram mengalir, yaitu pemisahan dengan cara mengalirkan pelarut melalui kolom, sehingga zat yang dikehendaki keluar dari dalam kolom. Kromatografi ini juga dapat dilakukan dengan mengalirkan pelarut yang sama atau pelarut yang berbeda, yang memiliki daya elusi lebih kuat (Dirjen POM RI, 1979).

  Kecepatan pergerakan zat terlarut melalui fase diam ditentukan oleh perbandingan distribusinya (D), dan besarnya D ditentukan oleh afinitas relatif zat pada fase diam dan fase gerak. Nilai D, dalam konteks kromatografi, didefinisikan sebagai perbandingan antara konsentrasi zat dalam fase diam (Cs) dengan konsentrasi zat dalam fase gerak (Cm). Semakin besar nilai D maka migrasi zat semakin lambat, dan sebaliknya, semakin kecil nilai D, maka migrasi zat akan semakin cepat (Rohman, 2009).

G. Kromatografi Lapis Tipis

  Kromatografi lapis tipis (KLT) adalah metode pemisahan komponen- komponen atas dasar perbedaan adsorbsi atau partisi oleh fase diam di bawah gerakan pelarut pengembang (fase gerak) atau campuran pelarut pengembang (Mulya dan Suharman, 1995). Kromatografi ini merupakan salah satu metode kromatografi planar. Fase diam KLT berupa lapisan yang seragam pada permukaan bidang datar yang didukung oleh suatu lempengan kaca, pelat aluminium, ataupun pelat plastik (Rohman, 2009).

  Pemilihan fase gerak untuk pengembangan sangat dipengaruhi oleh polaritas dan macam zat-zat kimia yang dipisahkan. Fase diam yang umum digunakan adalah silika gel yang dicampur dengan kalsium sulfat untuk menambah daya ikat partikel silika gel pada pendukung (pelat). Fase diam lainnya yang banyak digunakan antara lain alumina, serbuk selulose, kanji, dan sephadex (Mulya dan Suharman, 1995).

  Parameter suatu kromatografi lapis tipis adalah faktor retensi (Rf), yaitu perbandingan jarak yang ditempuh solut dengan jarak yang ditempuh fase gerak.

  Rumusnya pengukuran Rf adalah sebagai berikut: Harga Rf umumnya lebih kecil dari 1, dan apabila dikalikan dengan 100, maka akan berharga 1-100, sehingga parameter ini dapat digunakan untuk perhitungan kualitatif dalam pengujian sampel dengan menggunakan metode kromatografi lapis tipis (Sumarno, 2001).

  Pemisahan yang optimal pada kromatografi lapis tipis akan diperoleh hanya jika penotolah sampel dilakukan dengan ukuran bercak sekecil dan sesempit mungkin. Seperti pada prosedur kromatografi lainnya, jika sampel yang digunakan terlalu banyak maka akan menurunkan resolusi. Penotolan sampel yang tidak tepat akan menyebabkan bercak melebar dan munculnya puncak ganda. Diameter bercak yang direkomendasikan untuk tujuan KLT densitometri adalam 2 mm untuk volume sampel 0,5 µl (Gholib dan Rohman, 2007).

  Reprodusibilitas kromatogram dapat dipertahankan dengan cara menotolkan sampel dengan volume minimal 0,5 µl. Jika volume sampel yang akan ditotolkan lebih besar dari 2-10 µl, maka penotolan harus dilakukan bertahap pengembangan sampel dalan bejana kromatografi. Bagian bawah lempeng lapis tipis yang telah ditotoli sampel dicelupkan ke dalam fase gerak, kurang lebih setinggi 0,5-1 cm. Tinggi fase gerak harus berada di bawah totolan sampel yang diuji (Gholib dan Rohman, 2007).

  Perlu diingat bahwa sebelum penotolan sampel, bejana kromatografi harus dijenuhkan terlebih dahulu dengan uap fase gerak yang digunakan. Biasanya bejana dilapisi oleh kertas saring, kemudian fase gerak dimasukkan ke dalamnya, dan bejana ditutup rapat. Jika fase gerak sudah mencapai ujung permukaan atas kertas saring, maka dapat dikatakan bahwa bejana dan fase gerak telah jenuh dan siap digunakan (Gholib dan Rohman, 2007).

  Bercak pemisahan pada KLT umumnya adalah bercak tidak berwarna. Deteksinya dapat dilakukan secara fisika maupun kimia. Deteksi secara fisika yang dapat dilakukan adalah dengan fluoresensi sinar ultraviolet dan pencacahan radioaktif. Fluoresensi sinar ultraviolet bisa digunakan untuk senyawa yang dapat berfluoresensi. Deteksi secara kimia dapat dilakukan melalui penyemprotan pelat dengan reagen yang spesifik untuk senyawa yang diteliti (Gholib dan Rohman, 2007).

H. Landasan Teori

  Tahapan-tahapan dalam pembuatan serbuk simplisia daun jati belanda dapat mempengaruhi kualitasnya, terutama mengenai kandungan cemaran aflatoksin yang dapat dipicu oleh kadar air yang terdapat di dalamnya. Kadar air dalam serbuk simplisia dapat mempengaruhi pertumbuhan kapang, tidak

  

flavus dan Aspergillus parasiticus. Jika kadar air meningkat, maka ada

  kemungkinan pertumbuhan kapang Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus juga meningkat. Suhu dan kelembaban udara di lokasi pengambilan sampel juga dapat mendukung pertumbuhan kapang tersebut. Apabila pertumbuhan kapang

  

Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus meningkat, maka dapat memicu

Dokumen yang terkait

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keputusan Konsuemn dalam Berbelanja di pasar tradisional dan pasar modern

39 217 90

Identifikasi cemaran escherichia coli pada daging ayam yang dijual di pasar tradisional dan pasar modern daerah Bogor Barat

1 7 27

Uji cemaran kapang, khamir dan bakteri staphylococcus aureus pada simplisia jamu kunyit di pasar gede Surakarta AWAL

0 0 14

Uji angka kapang/khamir dalam jamu gendong beras kencur yang beredar di 3 pasar di Kotamadya Yogyakarta - USD Repository

0 0 94

Uji Escherichia coli pada jamu gendong beras kencur yang beredar di 3 pasar di Kotamadya Yogyakarta - USD Repository

0 0 100

Uji cemaran aflatoksin pada rimpang kunyit (Curcuma domestica Val.) basah yang dikeringkan dan rimpang kunyit kering yang diperdagangkan di pasar \"x\" - USD Repository

0 0 73

Uji cemaran aflatoksin pada rimpang temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) yang dikeringkan dan simplisia rimpang temulawak yang diperdagangkan di Pasar Beringharjo Yogyakarta - USD Repository

0 0 93

Uji cemaran logam berat timbal dan cadmium pada ekstrak rimpang kunyit dari petani kunyit di Wonogiri dan pasar Beringharjo Yogyakarta dengan spektrofotometer serapan atom - USD Repository

0 0 81

Angka Salmonella dalam jamu kunyit asam yang dijual di pasar tradisional Kecamatan Gondomanan Kotamadya Yogyakarta - USD Repository

0 0 81

Angka Staphylococcus aureus dalam jamu kunyit asam yang dijual di pasar tradisional Kecamatan Gondomanan Kotamadya Yogyakarta - USD Repository

0 0 101