KEKUASAAN DALAM KONTEKS NEGARA HUKUM

Makalah
KEKUASAAN DALAM KONTEKS NEGARA HUKUM
(Kajian dari Aspek Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi)

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ide tentang “negara hukum” telah muncul dalam bentuk yang bervariasi dalam sistem
hukum yang berbeda-beda. Secara historis, ada dua istilah atau konsep yang sangat
berpengaruh di dunia terkait ide negara yang berdasarkan atas hukum, yaitu konsep
“rechtsstaat” yang berkembang di Eropa Kontinental (abad XIX) dan konsep “rule of law”
yang berkembang di negara-negara Anglo Saxon.
Keberadaan paham Rechtsstaat didasarkan pada filsuf liberal yang individualistik
maka ciri individualistik yang sangat menonjol adalah pemikiran atau paham Eropa
Kontinental sehingga disebut paham negara hukum liberal. Pemikiran konsep negar hukum
ini diintroduksir oleh Immanuel Kant yang kemudian pemikiran Kant disempurnakan oleh
Friederich Julius. Paham negara hukum ditandai dengan unsur-unsur yakni :
(1) pengakuan adanya hak-hak asasi manusia (grondrechten);
(2), pemisahan kekuasaan (Scheiding van machten);
(3), pemerintahan berdasar atas undang-undang (wetmatigheid van bestuur); dan
(4) peradilan administrasi (administratieve rechtspraak).

Sedangkan paham Rule of law berkembang diawali pada praktik ketatanegaraan masa
pemerintahan Henry II tahun 1164 menghasilkan Constitution of Clarendom yang kemudian
disusul pada tahun 1215 dengan Magna Charta yang isinya tentang pembatasan atas
kekuasaan raja. Magna Charta ini merupakan embrio penyusunan Bill of Rights, yakni
piagam yang menjamin hak- hak asasi warga negara, dan pengaturan tentang kewajiban raja
untuk menaati hukum. Paham negara hukum di negara Anglo Saxon dari Inggris ini

dipelopori oleh AV Dicey (1885) dengan sebutan Rule of Law. Sebagaiman dijelasakan oleh
John Alder paham Rule of law Dicey memiliki tiga ciri yaitu :
(1), supremasi hukum (supremacy of law);
(2), persamaan di depan hukum (equality before the law) dan;
(3), konstitusi yang didasarkan pada hak-hak perseorangan (constitution based on individual
rights).
Kedua konsep tersebut berkaitan dengan tipologi negara dipandang dari segi
hubungan antara negara (pemerintah) sebagai pihak yang memerintah (mengusai) dan warga
negara sebagai pihak yang dikuasai (yang diperintah). Konsep rechtsstaat yang bertumpu
pada sistem civil law lahir dari suatu perjuangan panjang menentang absolutisme kekuasaan
negara (machtstaat), sedangkan konsep rule of law bertumpu pada sistem common law yang
bersifat memutus perkara yang didelegasikan kepada hakim berdasarkan hukum kebiasaan di
Inggris (common custom of England).

Negara hukum tidak dapat diwujudkan apabila kekuasaan negara masih bersifat
absolut atau tidak terbatas, karena pada paham negara hukum terdapat keyakinan bahwa
kekuasaan negara harus di jalankan atas dasar hukum yang baik dan adil.Jadi pada negara
hukum dapat dipahami, bahwa hubungan antara yang memerintah dan yang diperintah tidak
berdasarkan kekuasaan belaka, melainkan berdasarkan suatu norma obyektif yang mengikat
pihak yang memerintah. Adapun yang dimasud dengan norma obyektif adalah hukum yang
tidak hanya berlaku secara formal tetapi juga dipertahankan ketika berhadapan dengan idea
hukum.
Meskipun, antara konsep rechtsstaat dan rule of law mempunyai perbedaan latar
belakang historis, tetapi pada dasarnya keduanya berkenaan dengan perlindungan atas hakhak kebebasan sipil warga negara dari kemungkinan tindakan sewenang-wenang kekuasaan
negara.
Secara ontologis, kekuasaan itu adalah kemampuan seseorang untuk memaksakan
kehendaknya atas pihak lain. Dalam konteks negara hukum, sumber dan batas-batas
kekuasaan ditentukan oleh hukum dan harus dipergunakan dalam koridor hukum. Dari
epistemologis, supaya terhindar dari penumpukan kekuasaan yang dapat mengarah pada
tindakan penyalahgunaan kekuasaan, maka dalam konsep negara hukum juga disyaratkan
adanya pemisahan atau pembagian kekuasaan. Sedangkan secara aksiologis, kekuasaan yang
bersifat menentukan tidak semata-mata karena diperoleh dengan cara menundukkan pihak
yang lemah melalui kekuatan fisik, melainkan terletak dalam kekuasaan terhadap suara hati
nurani manusia.


B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang maka dapat dirumuskan masalah yaitu :
Bagaimanakah kekuasaan dalam konteks negara hukum ditinjau dari :
1

Aspek ontologi (mengenai hakikat dan sumber kekuasaan)

2

Aspek epistemologi (tentang rule of law sebagai cara atau metode untuk
membatasi kekuasaan)

3. Aspek aksiologi (mengenai pandangan kaum idealis dan empiris tentang hubungan
hukum dan kekuasaan)

BAB II
PEMBAHASAN
1. Aspek Ontologi
Kekuasaan dalam bahasa Inggris disebut power, macht (dalam bahasa Belanda) dan

pouvoir atau puissance (dalam bahasa Perancis).. Istilah kekuasaan berbeda maknanya
dengan kewenangan. Dalam literatur berbahasa Inggris istilah kewenangan atau wewenang
disebut authority atau competence, sedang dalam bahasa Belanda disebut gezag atau
bevoegdheid. Wewenang adalah kemampuan untuk melakukan suatu tindakan hukum publik
atau kemampuan bertindak yang diberikan oleh undang-undang yang berlaku untuk
melakukan hubungan-hubungan hukum.
Berdasarkan definisi tersebut di atas, kekuasaan secara sosiologis adalah kemampuan
untuk mempengaruhi pihak lain agar mengikuti kehendak pemegang kekuasaan, baik dengan
sukarela maupun dengan terpaksa. Sedangkan, kewenangan adalah kekuasaan yang
diformalkan (secara hukum) baik terhadap segolongan orang tertentu maupun terhadap suatu
bidang pemerintahan tertentu.
Dalam suatu kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang menganut
sistem negara hukum, kekuasaan sering bersumber dari wewenang formal (formal authority)
yang memberikan kekuasaan atau wewenang kepada seseorang dalam suatu bidang tertentu.
Hal ini berarti kekuasaan itu bersumber pada hukum, yaitu ketentuan-ketentuan hukum yang
mengatur pemberian wewenang tadi. Mengingat bahwa hukum itu memerlukan paksaan bagi
penaatan ketentuan-ketentuannya, maka dapat dikatakan bahwa hukum memerlukan
kekuasaan bagi penegakannya.

Tanpa kekuasaan, hukum itu tak lain akan merupakan kaidah sosial yang berisikan

anjuran belaka. Hubungan hukum dan kekuasaan dalam masyarakat, oleh Mochtar
Kusumaatmadja digambarkan sebagai berikut: “hukum memerlukan kekuasaan bagi
pelaksanaannya, sebaliknya kekuasaan itu sendiri ditentukan batas-batasnya oleh hukum.
Secara populer, kesimpulan ini barangkali dapat dirupakan dalam slogan bahwa: “hukum
tanpa kekuasaan adalah angan-angan, kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman”.
Secara analitik dapatlah dikatakan bahwa kekuasaan merupakan suatu fungsi dari
masyarakat yang teratur. Kekuatan fisik (force) dan wewenang resmi (formal authority)
merupakan dua sumber kekuasaan. Kekuasaan bukan wewenang dan kekuatan.Wewenang
formal dan kekuatan fisik bukan satu-satunya sumber kekuasaan. Memang dalam kenyataan,
orang yang memiliki pengaruh politik atau keagamaan dapat lebih berkuasa dari pada orang
yang berwenang atau memiliki kekuatan fisik. Kekayaan (uang) atau kekuatan ekonomi
lainnya juga merupakan sumber-sumber kekuasaan yang penting, sedangkan dalam keadaankeadaan tertentu kejujuran, moral yang tinggi dan pengetahuan pun tak dapat diabaikan
sebagai sumber-sumber kekuasaan. Jadi, kekuasaan adalah fenomena yang beraneka ragam
bentuknya dan banyak macam sumbernya. Hanya, pada hakekatnya kekuasaan itu tetap sama,
yaitu kemampuan seseorang untuk memaksakan kehendaknya atas pihak lain.

2. Aspek Epistemologi
Menurut pengamatan sejarah, kekuasaan itu mempunyai suatu sifat yang khas, yakni
ia cenderung untuk merangsang bagi yang memilikinya untuk lebih berkuasa lagi. Kekuasaan
haus akan lebih banyak lagi kekuasan. Semakin besar kekuasaan, akan semakin besar pula

kecenderungan untuk disalahgunakan.
Dalam konsep negara hukum, sumber untuk memperoleh dan menggunakan
kekuasaan serta batas-batasnya harus secara jelas diatur dan dipertanggungjawabkan menurut
peraturan perundang-undangan. Inilah esensi kekuasaan menurut konsep negara hukum (rule
of law; rechtsstaat). Dari perspektif sosiologis, ide rule of law mengandung makna bahwa
otoritas harus diberi bentuk hukum dan bahwa kekuasaan harus dilaksanakan dengan caracara hukum.. Secara epistemologis, baik atau buruknya kekuasaan itu sendiri sangat
tergantung dari bagaimana cara menggunakan kekuasaan. Artinya, baik buruknya kekuasaan
senantiasa harus diukur dengan kegunaannya untuk mencapai suatu tujuan yang sudah
ditentukan.

Unsur pemegang kekuasaan merupakan faktor penting dalam hal digunakannya
kekuasaan yang dimilikinya sesuai dengan kehendak masyarakat. Karena bagi pemegang
kekuasaan diperlukan syarat antara lain kejujuran dan rasa pengabdian yang tinggi terhadap
kepentingan masyarakat. Ia merupakan suatu yang mutlak bagi kehidupan masyarakat yang
tertib, bahkan bagi setiap organisasi yang teratur (seperti negara). Akan tetapi karena sifat dan
hakikatnya, supaya baik dan bermanfaat harus ditetapkan ruang lingkup, arah dan batasbatasnya. Sekali ditetapkan, hendaknya pengaturan kekuasaan dipegang teguh. Inilah inti dari
pengertian bahwa kekuasaan itu harus tunduk pada hukum.
Mengingat sifat dan hakikat kekuasaan, jelas kiranya bahwa tidak setiap orang dengan
begitu saja dapat diserahi kekuasaan, harus dipersiapkan untuk itu. Seorang pemegang
kekuasaan harus memiliki semangat mengabdi kepentingan umum (sense of public service).

Sebaliknya, mengenai sikap orang yang dikuasai, di satu pihak ia mempunyai kewajiban
tunduk pada penguasa (the duty of civil obedience), tetapi di pihak lain ia pun harus sadar
akan haknya untuk memperoleh perlindungan hukum terhadap diri dan harta bendanya. Yang
dimaksud “penguasa” dalam hal ini tidak lain adalah pemerintah yang menjalankan fungsi
pemerintahan dalam suatu negara.Adapun tugas “penguasa” menurut van Apeldoorn, dibagi
dalam empat bidang perundang-undangan, peradilan, polisi, dan pemerintahan. Tugas
penguasa di bidang perundang-undangan adalah membentuk undang-undang dalam arti
materiil, yakni menentukan peraturan-peraturan yang umum mengikat. Di bidang peradilan,
menetapkan hukum dalam hal-hal yang konkrit. Di bidang kepolisian, tugas penguasa adalah
pengawasan dari penguasa atas paksaan yang dilakukannya, supaya orang-orang mentaati
hukum yang telah ditetapkan. Sedang, di bidang pemerintahan, tugas penguasa adalah
mencakup semua tindakan penguasa yang tidak termasuk perundang-undangan, peradilan,
dan polisi. Istilah “tugas penguasa” dalam hal ini mencakup seluruh tugas “negara” yang
dijalankan oleh lembaga legislatif, eksekutif, dan yudisial.
Pada negara yang berdasarkan atas hukum (rule of law), maka hukum ditempatkan
sebagai acuan tertinggi dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahannya (supremasi
hukum). Dalam hal ini dianut suatu “ajaran kedaulatan hukum” yang menempatkan hukum
pada kedudukan tertinggi. Hukum dijadikan guiding principle bagi segala aktivitas organorgan negara, pemerintahan, pejabat-pejabat beserta rakyatnya. Pemerintahan yang
berdasarkan hukum merupakan pemerintahan yang menjunjung supremasi hukum dan tidak
berdasarkan kepada kemauan manusianya. Hal ini sejalan dengan prinsip “pembagian

kekuasaan pemerintahan (distribution of power) yang dianut oleh UUD 1945” yang

dimaksudkan untuk membatasi dan mencegah kemungkinan penumpukan maupun
penyalahgunaan kekuasaan pada badan/lembaga atau pejabat penyelenggara pemerintahan.
Penggunaan kekuasaan pemerintah harus berlangsung di dalam batasan-batasan
peraturan yang berlaku bagi cukup banyak kategori orang dan tindakan. Segenap peraturan
ini, apapun bentuknya, harus diberlakukan secara seragam. Kehendak pembuat undangundang (lawgiver) harus diwujudkan lewat peraturan-peraturan umum. Pembuat undangundang (legislator) tidak dapat menghukum ataupun memihak individu-individu tertentu
secara langsung, sehingga terhindar pula dari melakukan kontrol personal secara langsung.
Pelaksana undang-undang (administrator) berurusan dengan individu hanya sebatas aturanaturan yang ditentukan, dan aturan-aturan ini bukan dia yang membuatnya. Maka,
berdasarkan pemikiran ini, pelaksana undang-undang terhindar dari upaya penggunaan
kekuasaan publik untuk mencapai tujuan pribadi. Sebab, untuk bertindak dalam batas-batas
yang ditentukan oleh undang-undang harus ada orang lain dengan kewenangan terakhir untuk
menentukan makna hukum, dan dalam pelaksanaannya membutuhkan metode yang berbeda
dengan metode administratif. Pejabat ini adalah hakim (judge).
Jika pelaksana hukum juga merangkap sebagai hakim, maka mungkin saja makna
aturan-aturan hukum yang wajib dilaksanakannya malah “dipelintir” sedemikian rupa agar
sesuai dengan tujuan-tujuan pribadinya. Selain itu, bisa pula timbul kekacauan dalam metode
administratif dan metode peradilan, sebab masing-masing metode memiliki keutamaan
sendiri dan tidak bisa diabaikan demi penyelenggaraan negara dengan sebaikbaiknya.Perhatian pelaksana hukum terpusat pada sarana terefektif untuk mewujudkan
tujuan-tujuan kebijakan yang sudah ditentukan di dalam batasan-batasan hukum. Baginya,

rule of law adalah kerangka tempat pengambilan keputusan dilaksanakan. Sebaliknya, bagi
hakim, hukum disahkan dari batas luar ke pusat perhatian. Hukum adalah bidang kajian
utama bagi aktivitasnya. Ajudikasi membutuhkan jenis perdebatan tersendiri; integritasnya
menuntut institusi dan personel khusus.
Supaya terhindar dari penumpukan kekuasaan yang dapat mengarah pada tindakan
penyalahgunaan kekuasaan, maka dalam konsep negara hukum juga disyaratkan adanya
pemisahan atau pembagian kekuasaan (separation of power), di samping peradilan yang
bebas, perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia dan supremasi hukum. Pada abad ke-17
dan 18, pandangan John Locke mengenai hak-hak asasi manusia dan asas pemisahan
kekuasaan semakin diperkuat oleh pemikiran Montesquieu yang menghendaki pemisahan
kekuasaan negara secara tegas ke dalam organ legislatif, eksekutif dan yudisial, serta
pemikiran J.J. Rousseau tentang paham “kedaulatan rakyat”. Asas pemisahan kekuasaan dan

paham kedaulatan rakyat dari ketiga ahli pikir tersebut boleh dikatakan sangat besar
pengaruhnya terhadap berdirinya negara-negara modern di Eropa Kontinental dan AngloSaxon pada abad ke-17 sampai ke-19, tentu saja perjuangan politik yang panjang dan revolusi
kerakyatan berdasarkan paham kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum yang kemudian
dituangkan dalam konstitusi negara-negara hasil dari revolusi tersebut.
Terkait dengan teori pemisahan kekuasaan, baik John Locke maupun Montesquieu
sama-sama membagi kekuasaan negara menjadi tiga bidang, tetapi ada perbedaannya. John
Locke mengatakan bahwa kegiatan negara bersumber dari tiga kekuasaan negara, yaitu

kekuasaan legislatif (legislative power), kekuasaan eksekutif (executive power), dan
kekuasaan federatif (federative power). Sedang Montesquieu melalui ajaran Trias Politica
membelah seluruh kekuasaan negara secara terpisah-pisah (separation of power; separation
du pouvoir) dalam tiga bidang (tritochomy), yakni bidang legislatif, eksekutif dan yudikatif.
Ajaran Trias Politika didasarkan pada pemikiran bahwa kekuasaan negara harus dipisahkan
(separation of powers) dan tidak boleh berada dalam satu tangan (concentration of powers).
Berbeda dengan Montesquieu, Hans Kelsen membagi segenap unsur “power” dalam negara
itu dalam dua bidang pokok, yakni: “legislatio” yang meliputi “law creating function”; dan
“legis executio”, yang meliputi: legislative power dan judicial power.
Tugas “legis executio” menurut Kelsen bersifat luas, yakni melaksanakan “the
constitution” beserta seluruh undang-undang yang ditetapkan oleh kekuasaan legislatif.
Dengan demikian, ia mencakup selain kekuasaan administratif juga seluruh “judicial power”.
Selanjutnya Kelsen membagi kekuasaan administratif itu dalam dua bidang, yaitu:
(a) “political function” yang disebutnya “government” dan meliputi tugas kepolisian;
(b) “administrative function” (Verwaltung; Bestuur).
Pembagian kekuasaan negara dalam dua bidang ini disebutnya “dichotomy”. Demikian juga
pendirian Hans Nawiasky yang pendapatnya, ini sangat dekat dengan teori “dichotomy”-nya
Kelsen. Adanya pemisahan kekuasaan itu dimaksudkan untuk lebih menjamin hak-hak
kebebasan warga masyarakat dalam kehidupan bernegara. Kendatipun demikian, dalam
prakteknya ajaran pemisahan kekuasaan tidak dapat dijalankan secara konsekuen. Pemisahan

kekuasaan secara absolut yang meniadakan sistem pengawasan atau keseimbangan (checks
and balance) antara cabang kekuasaan yang satu dengan cabang kekuasaan yang lain dapat
menimbulkan kesewenang-wenangan dalam lingkungan masing-masing cabang kekuasaan
itu.
Negara Indonesia tidak menganut ajaran Trias Politika sebagaimana dikemukakan
oleh Montesquieu yang menghendaki adanya pemisahan kekuasaan (separation of power).

Berdasarkan UUD 1945, Negara Indonesia hanya mengenal sistem “pembagian kekuasaan”
(division of powers) yang menekankan adanya pembagian fungsi-fungsi pemerintahan, bukan
pada pemisahan organ-organnya. Adapun UUD 1945 menggunakan istilah-istilah yang
berasal dari ajaran Trias Politika dari Montesquieu seperti legislative power, executive power
dan judicial power, hal itu tidak boleh diartikan bahwa UUD 1945 menganut ajaran tersebut.
Penggunaan peristilahan itu sekedar memberikan penjelasan dan perbandingan semata
mengenai sistem ketatanegaraan yang sesungguhnya diikuti oleh UUD 1945. Meskipun
Montesquieu hanya membagi dalam tiga cabang kekuasaan, tetapi dalam praktek ada negaranegara tertentu yang mempunyai lebih dari tiga cabang kekuasaan yang dimaksud. Di
antaranya adalah Indonesia yang ternyata mempunyai 6 (enam), bahkan lebih, cabang
kekuasaan negara yang tercermin dalam lembaga-lembaga negara yang ada (MPR, DPR,
BPK, MA, Mahkamah Konstitusi (MK), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Presiden)
(Bagir Manan, 1999: 11). Di samping itu, dalam amandemen UUD 1945 juga dikenal
lembaga Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Komisi Yudisial (KY).
3. Aspek Aksiologi
Pandangan tentang hubungan hukum dan kekuasaan itu sebenarnya tidaklah tunggal.
Antara kaum idealis yang berorientasi pada das sollen dan kaum empiris yang lebih melihat
hukum sebagai das sein, memberikan pandangan yang berbeda. Namun, kedua pandangan itu
sama-sama sependapat bahwa seharusnya hukum itu supreme atas kekuasaan. Ketika kita
melihat teori yang ditawarkan oleh Roscue Pound, bahwa “law as a tool as social
engineering”, maka kita akan melihat bahwa hukum harus mempengaruhi kehidupan
masyarakat. Jika kita mengacu ajaran Von Savigny, yang mengatakan bahwa “hukum berubah
jika masyarakatnya berubah”, maka hukum semestinya harus mampu mengikuti
perkembangan dan memenuhi tuntutan masyarakat.
Kenyataan-kenyataan di lapangan secara empirik menunjukkan juga betapa hukum
seringkali tidak memiliki otonomi yang kuat, karena energinya lebih lemah dari pada energi
sub-sistem politik, sehingga dapat dilihat bukan hanya materi hukum itu yang sarat dengan
cerminan “konfigurasi kekuasaan”, melainkan juga penegakannya kerapkali dintervensi oleh
kekuasaan, sehingga hukum sebagai penunjuk atau rel menjadi terabaikan. Dari kenyataan
empirik yang seperti itulah kemudian muncul teori tentang “hukum sebagai produk politik”,
yang menurut Mahfud MD materi hukum itu tidak lain merupakan kristalisasi dari kehendakkehendak politik yang saling bersaingan yang kemudian dimenangkan oleh pemegang
kekuasaan politik yang dominan atau kompromi politik antar faksi-faksi yang bersaing.

Bertitik tolak dari pandangan tersebut, maka bagi orang yang melakukan telaah
tentang hukum akan menemukan minimal dua model yang dapat digunakan untuk menilai
hubungan hukum dan kekuasaan, yaitu:
a. Hukum menentukan dan mempengaruhi kekuasaan (politik) yang menyertai
wawasan negara hukum yang das sollen; di sini hukum, terutama hukum dasar
(konstitusi) menjadi pemberi batas yang tegas atas lingkup kekuasaan agar tidak
terjadi kesewenang-wenangan.
b. Hukum dipengaruhi, ditentukan, bahkan diintervensi oleh politik (kekuasaan)
seperti yang sering terlihat di dalam kenyataan empirik (das sein); di sini hukum
lebih dijadikan sebagai alat justifikasi (pembenar) atas kehendak-kehendak
pemegang kekuasaan politik yang dominan, sehingga hukum tidak dapat
memainkan perannya sebagai alat kontrol dan penjaga batas kekuasaan.
Dalam kajian ini, tak perlu dipertentangkan mana yang benar di antara kedua model ini.
Sebab, yang namanya teori biasanya hanya memotret apa yang ada dan terjadi secara ajeg.
Dalam konteks inilah dua model atau pandangan mengenai hubungan hukum dan kekuasaan
dapat diberi tempat. Sehingga kebenarannya menjadi benar menurut model dan asumsi yang
dipergunakan oleh sang analisis; tinggal model mana yang akan dipergunakan. Idealnya,
memang hukum dan kekuasaan, paling tidak, saling melengkapi. Dalam arti, hukum harus
ditegakkan dengan kekuasaan, agar daya paksanya bisa efektif. Sebaliknya, kekuasaan harus
dijalankan di atas prinsip-prinsip hukum, agar tidak sewenang-wenang. Tetapi, apa yang ideal
itu kerapkali tidak realistik, sehingga kerapkali pula terlihat bahwa kekuasaan menjadi
supreme atas hukum.
Dalam kenyataan justru sangat banyak kasus di mana hukum sangat bergantung dan
ditentukan oleh kekuasaan, sehingga timbul berbagai kondisi yang lebih realistik sejak zaman
dulu yang melihat hukum sebagai wujud dari keinginan penguasa belaka. Keinginan ini
menurut John Austin dinyatakan secara rasional oleh penguasa, yang bagi pihak lain
merupakan hal yang harus dilakukan atau dihindari.
Apeldoorn mencatat, paling tidak, ada empat pengikut paham empirik yang
mengatakan bahwa hukum identik dengan kekuasaan itu sendiri.
1

Kaum Sophist di Yunani mengatakan bahwa keadilan itu tidak lain dari apa yang
berfaedah bagi orang yang lebih kuat.

2

Lasalle mengatakan bahwa konstitusi suatu negara bukanlah undang-undang dasar
tertulis yang sebenarnya hanya merupakan secarik kertas, melainkan merupakan

hubungan kekuasaan yang nyata; orang kecil bisa menjadi bagian dari konstitusi
hanya kekecualian dan dalam keadaan yang luar biasa, yaitu pada waktu revolusi.
3

Gumplowics mengatakan bahwa hukum itu berdasar penaklukan yang lemah oleh
yang kuat, ia merupakan susunan definisi yang dibentuk pihak yang kuat untuk
mempertahankan kekuasaannya.

4

Bahkan sebagian dari pengikut aliran positivisme berpendapat bahwa kepatuhan
kepada hukum tidak lain dari tunduknya orang yang lebih lemah pada kehendak
yang lebih kuat, sehingga hukum itu merupakan hak orang yang terkuat.

Dari aspek aksiologis, kekuasaan yang bersifat menentukan tidak semata-mata karena
diperoleh dengan cara menundukkan pihak yang lemah melalui kekuatan fisik, melainkan
sebagaimana yang diajarkan oleh Spinoza terletak dalam kekuasaan terhadap suara hati
manusia. Hukum dapat timbul dari kekuasaan, termasuk kekuatan fisik, asal saja ia
berkembang menjadi kekuasaan susila (kekuatan moral), yakni kekuasaan yang berkuasa atas
suara hati orang. Kekuasaan susila tersebut membentuk hukum, karena ia bercita-citakan
keadilan, artinya bercita-cita memberi pada tiap-tiap orang apa yang menjadi bagiannya.
Mengapa dikatakan “bercita-citakan”, karena keadilan yang sungguh-sungguh tak dapat
dicapai oleh hukum, karena pertama, hukum terpaksa mengorbankan keadilan sekedarnya
untuk mencapai tujuannya (bersifat kompromi), dan kedua, hukum itu dibuat manusia yang
tidak dikaruniai Tuhan untuk mengetahui apa yang adil dan tidak adil secara mutlak.
Keadilan, menurut falsafah bangsa Romawi, adalah kehendak yang tetap dan yang tak ada
akhirnya, untuk memberi pada tiap-tiap orang apa yang menjadi haknya (Justitia est constans
et perpetua voluntas ius suum cuique tribuere).

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Kajian tentang kekuasaan dalam konteks negara hukum secara dapat dilihat dari tiga aspek,
yaitu aspek ontologis, epistemologis dan filosofis.
1

Dari aspek ontologi, pada hakekatnya kekuasaan itu adalah kemampuan seseorang
untuk memaksakan kehendaknya atas pihak lain. Dalam konteks negara hukum,
sumber dan batas-batas kekuasaan ditentukan oleh hukum dan harus dipergunakan
dalam koridor hukum. Hukum memerlukan kekuasaan bagi pelaksanaannya,
sebaliknya kekuasaan itu sendiri ditentukan batas-batasnya oleh hukum.

2

Dari aspek epistemologi, supaya terhindar dari penumpukan kekuasaan yang dapat
mengarah pada tindakan penyalahgunaan kekuasaan, maka dalam konsep negara
hukum juga disyaratkan adanya pemisahan atau pembagian kekuasaan. Legislator
tidak dapat menghukum individu-individu secara langsung. Administrator atau
pejabat eksekutif berurusan dengan individu hanya sebatas aturan-aturan yang
ditentukan, supaya ia terhindar dari upaya penggunaan kekuasaan publik untuk
mencapai tujuan pribadi. Untuk bertindak dalam batas-batas yang ditentukan oleh
undang-undang, harus ada pejabat lain dengan kewenangan terakhir untuk
menentukan makna hukum, yang dalam pelaksanaannya membutuhkan metode yang

berbeda dengan metode administratif. Pejabat ini adalah hakim, yang memiliki
kekuasaan mengadili menurut (prosedur) hukum.
3

Dari aspek aksiologi, kekuasaan yang bersifat menentukan tidak semata-mata karena
diperoleh dengan cara menundukkan pihak yang lemah melalui kekuatan fisik,
melainkan terletak dalam kekuasaan terhadap suara hati nurani manusia. Hukum
dapat timbul dari kekuasaan, termasuk kekuatan fisik, asal saja ia berkembang
menjadi kekuasaan susila (kekuatan moral), yakni kekuasaan yang berkuasa atas suara
hati orang. Kekuasaan susila tersebut membentuk hukum, karena ia bercita-citakan
keadilan. Meskipun, keadilan yang sungguh-sungguh tak dapat dicapai oleh hukum,
karena hukum itu dibuat manusia yang tidak dikaruniai Tuhan untuk mengetahui apa
yang adil dan tidak adil secara mutlak. Dalam perspektif ini, hukum tidak bebas nilai,
karena terkait dengan hati nurani (moral), termasuk di dalamnya nilai-nilai keadilan.

DAFTAR PUSTAKA
Amrah Muslimin, Beberapa Asas dan Pengertian Pokok tentang Administrasi dan Hukum
Administrasi, Alumni, Bandung, 1985
Apeldoorn, L.J. van, Pengantar Ilmu Hukum, Cet. Ke-29, Pradnya Paramita, Jakarta, 2001
Attamimi, A. Hamid S., Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, Disertasi, Fakultas Pascasarjana Universitas
Indonesia, Jakarta, 1990
Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan, PSH UII dan Gama Media, Yogyakarta, 1999
Hendra Nurtjahjo, Ilmu Negara: Pengembangan Teori Bernegara dan Suplemen,
RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2005
I Made Arya Utama, Sistem Hukum Perizinan Berwawasan Lingkungan Hidup dalam
Mewujudkan Pembangunan Daerah yang Berkelanjutan, Disertasi, Program Pascasarjana
Universitas Padjadjaran, Bandung, 2005
Ismail Sunny, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Aksara Baru, Jakarta, 1983
Kuntjoro Purbopranoto, Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan Peradilan
Administrasi Negara, Alumni, Bandung, 1985
Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum, Mandar Maju, Bandung,
2002
Mahfud MD, Moh., “Menegakkan Supremasi Hukum Melalui Demokrasi”, dalam Dahlan
Thaib dan Mila Karmila Adi, Hukum dan Kekuasaan, FH-UII, Yogyakarta, 1998

Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 1993
Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional,
Binacipta, Jakarta, t.t.
Mukthie Fadjar, A., Reformasi Konstitusi Dalam Masa Transisi Paradigmatik, In-Trans,
Malang, 2003
Peters, A.A.G., dan Koesriani S., Hukum dan Perkembangan Sosial, Buku III, Pustaka Sinar
Harapan, Jakarta, 1990
Soerjono Soekanto, Pengantar Sosiologi Hukum, Bhratara Karya Aksara, Jakarta, 1977
Unger, Roberto M., Teori Hukum Kritis: Posisi Hukum dalam Masyarakat Modern,
Nusamedia, Bandung, 2007