Faktor – Faktor Berpengaruh pada Ekstraksi Minyak dari Biji Alpukat (Persea Americana Mill) Menggunakan Pelarut N-Heptana

(1)

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ALPUKAT (Persea Americana Mill)

2.1.1 Kandungan dan Manfaat Buah Alpukat

Tanaman alpukat berasal dari Amerika tengah yang beriklim tropis dan telah menyebar hampir ke seluruh negara sub-tropis dan tropis termasuk indonesia. Di samping daging buahnya, biji alpukat juga memiliki potensi karena proteinnya tinggi bahkan alpukat memiliki kandungan minyak yang cukup tinggi sehingga biji alpukat dapat dijadikan sebagai sumber minyak nabati [2]. Buah alpukat merupakan salah satu jenis buah yang digemari banyak orang karena selain rasanya yang enak, buah alpukat juga kaya antioksidan dan zat gizi. Sebagian besar masyarakat memanfaatkan alpukat pada buahnya saja sedangkan bagian lain seperti biji kurang dimanfaatkan [5]. Umumnya alpukat memiliki daging buah tebal berwarna hijau kekuningan dengan biji di tengahnya berwarna kecoklatan [6].

Alpukat sangat banyak manfaatnya, mulai dari buah, daun, batang, biji buah, hingga kulit buah ada manfaatnya. Saat ini, alpukat banyak dimanfaatkan di bidang kesehatan dan kecantikan. Dalam dunia pengobatan misalnya, alpukat telah banyak digunakan sebagai obat tradisional untuk mengobati berbagai macam penyakit. Daging buahnya dapat mengurangi rasa sakit, mengobati sariawan mencegah pengerasan arteri, melancarkan peredaran darah dan saluran kencing, menurunkan kadar LDL, antibiotik, mencegah mual-mual pada awal kehamilan, membantu perkembangan otak dan tulang belakang janin, merangsang pembentukan jaringan kolagen, menjaga kesehatan kulit, menghitamkan rambut, dan sebagai pendingin muka (masker). Daun buah alpukat biasanya digunakan untuk mengobati nyeri saraf, nyeri lambung, menurunkan darah tinggi, mengobati batu ginjal, sakit kepala, sakit perut, sakit tenggorokan, dan pendarahan. Selain buah dan daunnya, biji buah alpukat juga bisa digunakan untuk mengurangi kadar gula dalam darah, mengobati sakit gigi dan kencing manis [6,15].


(2)

6

Klasifikasi lengkap tanaman alpukat adalah sebagai berikut: Divisi : Spermatophyta

Anak divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledoneae Bangsa : Ranales

Keluarga : Lauraceae Marga : Persea

Varietas : Persea americana Mill [15]

Selain kandungan minyak yang tinggi, alpukat juga memiliki kandungan gizi yang tinggi dengan komposisi yang dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 2.1 Kandungan Gizi di Dalam 100 gram Buah Alpukat [15] Zat Gizi Jumlah

Kalori 85,0 kal Protein 0,9 gram

Lemak 6,5 gram

Karbohidrat 7,7 mg Kalsium 10,0 mg Fosfor 20,0 mg

Besi 0,9 S.I

Vitamin A 180,0 mg Vitamin B1 0,05 mg Vitamin C 13,0 mg Air 84,3 gram

Disamping kandungan gizi, biji alpukat juga dilaporkan beberapa kandungan toksisitasnya, diantaranya menurut Marlinda, 2012 nilai LC50 dari ekstrak etanol 96% biji buah alpukat (Persea americana Mill) didapatkan antara 34,302 – 42,270 mg/L. Nilai LC50 < 1000 mg/L menunjukkan ekstrak etanol biji buah alpukat (Persea americana Mill) memiliki potensi toksisitas akut [6]. Hal ini juga didukung oleh beberapa penelitian yang menguji toksisitas biji alpukat dan sama-sama menyatakan bahwa biji alpukat bersifat toksik [16], [17].


(3)

7 2.1.2 Kandungan Minyak pada Biji Alpukat

Menurut Rachimoellah pada penelitiannya mengenai produksi biodiesel dari minyak biji alpukat, terdapat kandungan minyak sebesar 15% [18]. Hasil penelitian Prasetyowati, dkk., 2010 juga menyatakan biji alpukat mengandung minyak 15-20% [2]. Menggunakan pelarut n-heksana dengan variasi massa biji alpukat (30 dan 50 gram), volume pelarut (200, 300, 400 ml), dan waktu ekstraksi (60, 90, 120 menit) dihasilkan yield minyak biji alpukat berkisar antara 16,62 – 25,15% [2]. Penelitian Pramudono, dkk, 2008 menggunakan variasi pelarut n-heksana dan iso propil alkohol dengan rasio massa terhadap pelarut 20/250 gram dan waktu ekstraksi 2 jam menghasilkan yield minyak biji alpukat 18,69 dan 17,87% [3].

Berikut merupakan komposisi asam lemak minyak biji alpukat serta sifat fisika kimianya dengan ektraksi menggunakan pelarut heksana.

Tabel 2.2 Komposisi Asam Lemak Minyak Biji Alpukat [19]

Asam Lemak %

Asam Lemak Jenuh 32,495

Hexanoic Acid C6:0 0,800 ± 0,045

Heptanoic Acid C7:0 0,290 ± 0,097

Octanoic Acid C8:0 0,278 ± 0,052

Nonanoic Acid C9:0 0,217 ± 0,006

Dodecanoic Acid C12:0 0,278 ± 0,051

Tridecanoic Acid C13:0 0,166 ± 0,011

Tetradecanoic Acid C14:0 0,537 ± 0,052

Pentadecanoic Acid C15:0 2,334 ± 0,110

Hexadecanoic Acid C16:0 20,847 ± 0,843

Heptadecanoic Acid C17:0 1,725 ± 0,022

Octadecanoic Acid C18:0 1,185 ± 0,011

Nonadecanoic Acid C19:0 0,610 ± 0,341

Eicosanoic Acid C20:0 0,043 ± 0,020

Docosanoic Acid C22:0 1,114 ± 0,023

Tetracosanoic Acid C24:0 1,685 ± 0,045

Asam Lemak Tak Jenuh Tunggal 20,712

9-tetradecenoic Acid C14:1 0,251 ± 0,002

10-Pentadecenoic Acid C15:1 0,321 ± 0,159

9-Hexadecenoic Acid C16:1 1,786 ± 0,325

10-Heptadecenoic Acid C17:1 0,372 ± 0,083

9-Octadecenoic Acid C18:1 17,410 ± 0,058

11-Eicosenoic Acid C20:1 0,448 ± 0,277


(4)

8

Asam Lemak Tak Jenuh Jamak 46,726

9,12- Octadecadienoic Acid C18:2 38,892 ± 0,585

9,12,15- Octadecatrienoic Acid C18:3 6,577 ± 0,028

11,14,17-Eicosatrienoic Acid C20:3 1,257 ± 0,030

Asam lemak tak jenuh/jenuh 2,07

Asam lemak tak jenuh jamak/jenuh 1,44

Asam oleat/linoleat 0,45

2.2 EKTRAKSI

Ekstraksi adalah proses pemisahan satu atau lebih komponen dari suatu campuran homogen menggunakan pelarut cair (solvent) sebagai separating agent. Dengan kata lain terjadi pemisahan fisika berdasarkan prinsip beda konsentrasi dan beda kelarutan. Hasil yang didapatkan kemudian dipisahkan menjadi dua bagian yaitu ekstrak dan rafinat. Ekstrak tersebut mengandung solut dan pelarut sedangkan rafinat mengandung inert, sisa pelarut dan sisa solut.

2.2.1 Macam-macam Metode Ekstraksi

Berdasarkan metode operasinya, ekstraksi dibagi menjadi dua, yaitu ekstraksi tahap tunggal dimana kontak antar umpan dan pelarut dilakukan satu kali dan ekstraksi tahap banyak, ekstraksi tahap banyak ini dibagi menjadi tiga berdasarkan arah alirannya yaitu aliran searah (co-current flow), aliran silang (cross flow) dan aliran berlawanan arah (counter current flow) [20]. Pembagian ekstraksi berdasarkan bahan yang diekstrak, yaitu:

2.2.1.1Ekstraksi padat-cair (leaching)

Proses pemisahan zat terlarut dari padatan dengan cairan sebagai pelarutnya. Proses dapat digunakan untuk memperoleh larutan mengandung bahan padatan berharga di dalamnya maupun untuk menghilangkan padatan yang tidak terlarut, seperti pigmen, dari bahan terlarut yang terkontaminasi. Metode yang digunakan untuk ekstraksi ditentukan berdasarkan proporsi konstituen zat terlarut yang ada, distribusi terhadap padatan, jenis padatan, dan ukuran partikel. Jika zat terlarut terdispersi seragam di dalam padatan, material yang dekat dengan permukaan akan terlarut terlebih dahulu. Umumnya, tahapan ekstraksi terbagi menjadi tiga yaitu: pertama perubahan fasa zat terlarut seiring terlarut terhadap solven, kedua difusi melalui solven dari dalam pori padatan ke luar partikel, dan ketiga transfer zat terlarut dari larutan pada kontak dengan partikel ke larutan. Ketiga tahapan ini sangat menentukan laju ekstraksi, biasanya tahap pertama


(5)

9

terjadi sangat cepat sehingga dapat diabaikan pada perhitungan laju keseluruhan [21].

2.2.1.2Ekstraksi cair-cair

Proses pemisahan cairan dengan menggunakan solven dimana komponen yang diinginkan lebih larut terhadap salah satu solven. Salah satu contohnya dalam produksi bahan bakar pada industry nuklir, pemisahan hidrokarbon pada industry petroleum [21].

Metode ekstraksi yang biasa digunakan antara lain :

2.2.1.3Sokhlet

Sokhlet merupakan proses pemisahan berulang dengan sampel berupa padatan. Sampel yang akan diekstrak biasanya padatan yang telah dihaluskan. Padatan ini lalu dibungkus dengan kertas saring lalu dimasukkan dalam alat sokhlet. Alat ini pada bagian atas dihubungkan dengan pendingin balik sedangkan bagian bawah terdapat labu alas bulat sebagai tempat pelarut. Pemanasan dengan suhu tertentu akan menguapkan pelarut. Uap akan naik ke atas mengalami proses pendinginan. Ruang sokhlet akan dipenuhi oleh pelarut yang telah mengembun hingga batas tertentu pelarut tersebut akan membawa solut dalam labu. Proses ini berlangsung terus menerus. Keuntungan metode ini adalah ekstraksi berlangsung cepat, cairan pengekstraksi yang dibutuhkan sedikit, dan cairan pengekstraksi tidak pernah mengalami kejenuhan [22].


(6)

10

2.2.1.4Maserasi

Maserasi merupakan cara ekstraksi paling sederhana yang dilakukan dengan merendam serbuk kasar simplisia dengan cairan pengekstraksi selama 4-10 hari dan disimpan terlindung dari cahaya langsung (mencegah reaksi yang dikatalisis cahaya atau perubahan warna). Keuntungan dari maserasi adalah hasil ekstraksi banyak serta dapat menghindarkan perubahan kimia terhadap senyawa-senyawa tertentu oleh karena pemanasan namun demikian proses maserasi membutuhkan waktu yang relatif lama. Kerugian cara maserasi adalah penyarian kurang sempurna karena terjadi kejenuhan cairan penyari dan membutuhkan waktu yang lama. Walaupun demikian, maserasi merupakan proses ekstraksi yang masih umum digunakan karena cara pengerjaan dan peralatannya sederhana dan mudah [22].

Ekstraksi akan lebih menguntungkan jika dilaksanakan dalam jumlah tahap yang banyak. Setiap tahap menggunakan pelarut yang sedikit. Kerugiannya adalah konsentrasi larutan ekstrak makin lama makin rendah, dan jumlah total pelarut yang dibutuhkan menjadi .besar, sehingga untuk mendapatkan pelarut kembali biayanya menjadi mahal [23].

Cara kerja ekstraksi dengan pelarut yaitu dengan cara memasukkan bahan yang diekstraksi ke dalam sokhlet. Ekstraksi berlangsung secara sistematik pada suhu tertentu dengan menggunakan pelarut. Pelarut akan berpenetrasi ke dalam bahan. Minyak hasil ekstraksi dengan pelarut mempunyai keunggulan yaitu bau yang mirip bau alamiah [2].

2.2.2 Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Ekstraksi

Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi efisiensi ekstraksi, diantaranya metode ekstraksi, jenis dan konsentrasi pelarut, ukuran parttikel dari bahan yang akan diekstraksi, waktu ekstraksi, suhu ekstraksi, rasio pelarut terhadap bahan, dan pH ekstraksi [24].

2.2.2.1Suhu

Kelarutan bahan yang diekstraksi dan difusitas biasanya akan meningkat dengan meningkatnya suhu, sehingga diperoleh laju ekstraksi yang tinggi. Pada beberapa kasus, batas atas untuk suhu operasi ditentukan oleh beberapa faktor,


(7)

11

salah satunya adalah perlunya menghindari reaksi samping yang tidak diinginkan [25].

2.2.2.2Ukuran partikel

Semakin kecil ukuran partikel, semakin besar luas bidang kontak antara padatan dan solvent, serta semakin pendek jalur difusinya, yang menjadikan laju transfer massa semakin tinggi [25].

2.2.2.3Waktu Ekstraksi

Semakin lama waktu ekstraksi akan semakin banyak solut yang terlarut pada solvent hingga batas waktu tertentu dan batas kandungan solut. Namun tergantung kepada kesesuaian terhadap pelarut dan selektifitasnya [25]. Temperatur yang lebih tinggi dan waktu yang lebih lama lebih dibutuhkan pada ekstraksi menggunakan pelarut heptana dibandingkan ekstraksi dengan pelarut heksana [14]. Waktu yang dibutuhkan untuk mengekstraksi suatu bahan akan berbeda untuk setiap tipe pelarut dan jenis peralatan yang digunakan [26]. Waktu ekstraksi sangat penting pengaruhnya dikarenakan penentuan waktu ekstraksi yang tepat dapat menghemat biaya dan waktu pengerjaan. Sesuai dengan hukum Fick’s yang kedua mengenai difusi, dimana pada suatu waktu, aka nada kesetimbangan antara zat terlarut dan pelarut. Sehingga, waktu ekstraksi yang berlebih sebenarnya tidak diperlukan [24]. Terdapat dua tahapan dalam ekstraksi minyak dari biomassa. Tahap pertama merupakan ekstraksi minyak dari permukaan luar partikel yang merupakan proses yang sangat cepat sedangkan tahap kedua merupakan ekstraksi minyak dari partikel bagian dalam dimana prosesnya lebih lambat. Peningkatan waktu ekstraksi hingga mencapai batasan kandungan minyak merupakan indikasi bahwa ekstraksi telah selesai [27].

2.2.2.4Faktor solvent

Jika zat yang akan diekstraksi merupakan senyawa nonpolar (misalnya minyak) maka juga digunakan pelarut yang nonpolar (seperti heksana, heptana dan pelarut nonpolar lainnya) [25]. Ekstraksi dengan pelarut bergantung pada selektifitas kelarutan dari satu atau lebih komponen dalam campuran terhadap pelarut yang sesuai. Prinsip dasar ekstraksi merupakan pemisahan suatu campuran dengan pelarut yang tidak larut dengan campuran aslinya. Pelarut juga dapat larut dengan komponen spesifik yang terkandung dalam campuran. Dua fase terbentuk


(8)

12

setelah penambahan pelarut akibat perbedaan densitas. Pelarut dipilih sehingga zat terlarut dalam campuran dapat lebih larut terhadap pelarut. Sehingga perpindahan massa dari zat terlarut dari campuran ke pelarut terjadi hingga pemisahan tercapai ketika komponen yang akan dipisahkan terlarut dalam pelarut. Metode ekstraksi minyak yang paling dikenal adalah dengan penggunaan sokhlet [9].

Telah bertahun-tahun heksana menjadi pelarut yang dipilih untuk mengektraksi minyak. Perhatian terhadap lingkungan dan kesehatan baru-baru inni menyarankan untuk pembatasan penggunaan heksana, sehingga dibutuhkan pengganti dari pelarut tersebut. Heptana hampir sama dengan heksana tetapi tidak memiliki masalah terhadap lingkungan dan kesehatan. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan Conkerton, et. al yaitu membandingkan antara pelarut heksana dan heptana sebagai pelarut ekstraksi biji kapas. Disimpulkan dari penelitian ini, meskipun heptana membutuhkan temperatur yang lebih tinggi dan waktu ekstraksi yang lebih lama dibandingkan dengan ekstraksi menggunakan heksana, namun heptana merupakan alternatif yang potensial untuk dipilih dikarenakan efek terhadap lingkungan dan kesehatan yang lebih rendah dibandingkan heksana [14]. Umumnya, pelarut dengan viskositas rendah lebih disukai. Namun yang paling penting adalah keamanan terhadap kesehatan dan lingkungan [20]. Karena pelarut merupakan material utama dalam proses ekstraksi, karakteristik dan sifat-sifatnya harus dipertimbangkan pemilihannya.

Berikut beberapa pertimbangan dalam pemilihan pelarut: Tabel 2.3 Karakteristik Pelarut yang diinginkan [20] Kesesuaian Proses  Selektifitas tinggi

 Kemampuan regenerasi  Koefisien distribusi tinggi

 Perolehan solut tinggi untuk jumlah pelarut yang sedikit

 Solubilitas terhadap rafinat rendah  Kesesuaian dengan solute

Proses dan Peralatan Viskositas rendah

 Perbedaan densitas dari umpan (>2%, lebih baik >5%)

 Tegangan antarmuka sedang

 Mengurangi kecendrungan membentuk fase ketiga


(9)

13

 Korosifitas rendah Keamanan terhadap kesehatan dan

lingkungan  Tidak mudah terbakar Toksisitas rendah

 Dampak terhadap lingkungan rendah, Volatilitas rendah atau biaya penghilangan rafinat rendah

Keseluruhan Harga murah dan mudah didapat

2.2.3 N-heptana sebagai Pelarut pada Proses Ekstraksi

n-Heptana adalah cairan tidak berwarna yang mudah menguap dengan bau yang khas. n-Heptana digunakan sebagai pelarut pengekstraksi, sebagai pelarut industri (untuk perekat, pernis dan tinta pada pencetakan) dan juga digunakan dalam pembuatan plastik serta sintesis toluen dan alkilbenzen [14]. Sifat fisika n-heptana dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 2.4 Sifat Fisika n-Heptana [28] Sifat Fisika

Rumus kimia C7H16

Rumus molekul 100,21 g/mol Titik didih 98oC

Titik leleh -90,7oC

Specific gravity 0,6838

Tekanan uap 5,3 kPa (@ 20oC)

n-Heptana merupakan senyawa yang mudah menyala namun stabil pada kondisi normal bahkan saat terjadi kebakaran dan tidak reaktif dengan air. Penggunaan n-heptana sebagai pelarut pengekstraksi dianggap lebih aman penggunaannya dibandingkan dengan n-heksana mengingat penggunaannnya yang mulai dibatasi karena menimbulkan masalah lingkungan dan kesehatan. Pada tahun 1992, Texaco Chemical Co. (Houston, TX) telah mendiskusikan mengenai penggunaan heptana sebagai solvent alternatif. Heptana tidaka memberikan masalah lingkungan dan kesehatan dibanding dengan heksana, dan juga karena kesamaan jenis pelarut, hanya saja diperlukan sedikit perubahan pada pemrosesannya. Pada awal 1937, MacGee mencatat solvent petroleum yang baik untuk ekstraksi minyak dari biji-bijian adalah yang memiliki rentang titik didih


(10)

14

yang rendah yaitu fraksi heksana dan heptana. Hal ini didasarkan pada stabilitas, bau dan rasa dari produk, kehilangan pada saat penguapan yang rendah dan kurangnya korosi dan residu berminyak di peralatan [14]. Ayers dan Dooley [13] mengekstraksi biji kapas pada skala laboratorium dengan berbagi macam pelarut termasuk pelarut heksana dan heptana. Jumlah minyak yang di ekstraksi oleh kedua pelarut tersebut sama, tetapi kehilangan akibat refining dan warna minyak bervariasi. Mereka juga mencatat bahwa perbedaan warna minyak tergantung pada kandungan asam lemak bebas (FFA) dari bji. Secara umum minyak yang diekstraksi dengan heksana memiliki warna yang lebih tajam dibanding dengan heptana dan juga fosfolipid yang diekstraksi dengan heptana lebih tinggi dibanding dengan heksana [14].

Heksana sangat beracun bagi sistem saraf perifer sedangkan heptana hanya sedikit beracun. Ini merupakan keuntungan besar bagi hepatana. Selain itu heptana juga memiliki titik didih 98oC pada 1 atm yang 30oC lebih besar dari titik didih heksana. Menggunakan pelarut dengan titik didih tinggi lebih menguntungkan karena proses difusi lebih cepat pada suhu yang lebih tinggi dan membran sel lebih mudah pecah dan mengeluarkan minyak. Karena heptana kurang volatil dibandingkan heksana, maka akan sedikit residu yang tertinggal pada peralatan [29]. Minyak biji alpukat hasil ekstraksi akan dilakukan beberapa analisa diantaranya analisis komposisi asam lemak dengan menggunakan instrument GC-MS (gas chromatography-mass spectrometry).

2.3 ANALISIS KOMPOSISI ASAM LEMAK MINYAK BIJI ALPUKAT DENGAN GAS CHROMATOGRAPHY (GC)

2.3.1 Gas Chromatography (GC)

Archer J.P. Martin dan Anthony T. James pertama kali memperkenalkan kromatografi partisi cair-gas pada tahun 1950 di London, inilah yang menjadi dasar pengembangan kromatografi gas. Kromatografi gas dengan cepat diterima oleh umum karena diperkenalkan pada saat peningkatan kontrol analitis yang diperlukan dalam industri petrokimia dan teknik-teknik baru yang diperlukan untuk mengatasi keterbatasan metode laboratorium lama. Saat ini, kromatografi gas adalah teknik yang matang, banyak digunakan di seluruh dunia untuk analisis


(11)

15

hampir setiap jenis senyawa organik, bahkan senyawa yang tidak stabil dalam keadaan aslinya tetapi dapat dikonversi ke derivatif yang mudah menguap [30].

Kromatografi gas adalah suatu teknik pemisahan komponen dari sebuah sampel partisi yang terdiri dari 2 fasa yaitu fasa diam dan fasa gas pembawa (fasa gerak). Menurut keadaan fasa diam, kromatografi gas dapat diklasifikasikan menjadi kromatografi gas-padat (GSC), di mana fasa diam adalah padat, dan kromatografi gas-cair (GLC) yang menggunakan cairan sebagai fasa diam. GLC sebagian besar lebih banyak digunakan daripada GSC. Selama pemisahan GC, sampel diuapkan dan dibawa oleh fasa gas pembawa melalui kolom. Pemisahan komponen yang berbeda dicapai berdasarkan tekanan uap relatifnya dan afinitas untuk fasa diam. Afinitas zat terhadap fasa diam dapat digambarkan dalam istilah kimia sebagai konstanta kesetimbangan yang disebut konstanta distribusi (Kc), yang juga dikenal sebagai koefisien partisi. Kc bergantung pada suhu dan juga sifat kimia fasa diam. Dengan demikian, suhu dapat digunakan sebagai cara untuk meningkatkan pemisahan senyawa yang berbeda melalui kolom, atau dengan fasa diam yang berbeda [30].

Selama 10 tahun terakhir telah terjadi peningkatan penggunaan GC, dalam pengkombinasian dengan spektrometri massa (MS). Spektrometer massa telah menjadi detektor standar yang memungkinkan untuk batas deteksi yang lebih rendah dan tidak memerlukan pemisahan dari semua komponen yang ada dalam sampel. Spektroskopi massa adalah salah satu jenis deteksi yang menyediakan informasi yang hanya memerlukan mikrogram sampel. Identifikasi kualitatif senyawa yang tidak diketahui serta analisis kuantitatif sampel dapat menggunakan GC-MS. Ketika GC digabungkan ke spektrometer massa, senyawa yang terelusi dari kolom GC terionisasi dengan menggunakan elektron (EI, ionisasi elektron) atau pereaksi kimia (CI, ionisasi kimia). Fragmen yang dikenakan fokus, dipercepat menjadi analyzer massa : biasanya analyzer massa quadrupole. Fragmen dengan massa yang berbeda akan menghasilkan sinyal yang berbeda, sehingga setiap senyawa yang menghasilkan ion dalam rentang massa dari analyzer massa akan terdeteksi [30].


(12)

16

2.4 RANCANGAN DAN PENGOLAHAN DATA DENGAN RESPONSE SURFACE METHODOLOGY (RSM)

Untuk memahami seberapa jauh suatu proses yang optimum dipengaruhi oleh sejumlah variabel, sering diperlukan data-data percobaan dalam jumlah besar dan membutuhkan waktu lama, yang secara otomatis juga akan memerlukan biaya dalam jumlah yang besar. Beberapa teknik statistika dan matematika sering dipakai untuk melakukan pendekatan guna memperoleh pemahaman terhadap kondisi optimum dari suatu proses, tanpa memerlukan data yang terlampau banyak. Diantara metode yang sering dipakai adalah metode permukaan respon [31].

Response Surface Methodology (RSM) merupakan salah satu metode

Design of Experiments (DOE) selain faktorial, mixture, taguchi, box-behnken, D-optimal, dll. Secara umum, tujuan suatu eksperimen adalah untuk memperoleh keterangan tentang bagaimana respon yang diberikan oleh suatu obyek pada berbagai keadaan tertentu yang ingin diperhatikan [31].

Metode permukaan respon (response surface methodology) merupakan sekumpulan teknik matematika dan statistika yang berguna untuk menganalisis permasalahan dimana beberapa variabel independen mempengaruhi variabel respon dan tujuan akhirnya adalah untuk mengoptimalkan respon. Ide dasar metode ini adalah memanfaatkan desain eksperimen berbantuan statistika untuk mencari nilai optimal dari suatu respon. Metode ini pertama kali diajukan sejak tahun 1951 dan sampai saat ini telah banyak dimanfaatkan baik dalam dunia penelitian maupun aplikasi industri. Misalnya, dengan menyusun suatu model matematika, peneliti dapat mengetahui nilai variabel-variabel independen yang menyebabkan nilai variabel respon menjadi optimal [31].

Jika suatu percobaan telah didesain, data akan dikumpulkan dalam bentuk seefisien mungkin agar permasalahan dapat terselesaikan. Sebelum memilih desain, beberapa pertanyaan berikut harus dijawab terlebih dahulu, yaitu bagaimana mengukur respons dan faktor yang mempengaruhi, berapa faktor yang mempengaruhi respons, berapa faktor yang akan diselesaikan bersamaan, berapa kali pengulangan dari percobaan diperlukan, tipe analisis data apa yang


(13)

17

dibutuhkan (regresi, ANOVA, dll), dan bagaimana menyatakan pengaruh tersebut signifikan [32].


(1)

12

setelah penambahan pelarut akibat perbedaan densitas. Pelarut dipilih sehingga zat terlarut dalam campuran dapat lebih larut terhadap pelarut. Sehingga perpindahan massa dari zat terlarut dari campuran ke pelarut terjadi hingga pemisahan tercapai ketika komponen yang akan dipisahkan terlarut dalam pelarut. Metode ekstraksi minyak yang paling dikenal adalah dengan penggunaan sokhlet [9].

Telah bertahun-tahun heksana menjadi pelarut yang dipilih untuk mengektraksi minyak. Perhatian terhadap lingkungan dan kesehatan baru-baru inni menyarankan untuk pembatasan penggunaan heksana, sehingga dibutuhkan pengganti dari pelarut tersebut. Heptana hampir sama dengan heksana tetapi tidak memiliki masalah terhadap lingkungan dan kesehatan. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan Conkerton, et. al yaitu membandingkan antara pelarut heksana dan heptana sebagai pelarut ekstraksi biji kapas. Disimpulkan dari penelitian ini, meskipun heptana membutuhkan temperatur yang lebih tinggi dan waktu ekstraksi yang lebih lama dibandingkan dengan ekstraksi menggunakan heksana, namun heptana merupakan alternatif yang potensial untuk dipilih dikarenakan efek terhadap lingkungan dan kesehatan yang lebih rendah dibandingkan heksana [14]. Umumnya, pelarut dengan viskositas rendah lebih disukai. Namun yang paling penting adalah keamanan terhadap kesehatan dan lingkungan [20]. Karena pelarut merupakan material utama dalam proses ekstraksi, karakteristik dan sifat-sifatnya harus dipertimbangkan pemilihannya.

Berikut beberapa pertimbangan dalam pemilihan pelarut: Tabel 2.3 Karakteristik Pelarut yang diinginkan [20] Kesesuaian Proses  Selektifitas tinggi

 Kemampuan regenerasi  Koefisien distribusi tinggi

 Perolehan solut tinggi untuk jumlah pelarut yang sedikit

 Solubilitas terhadap rafinat rendah  Kesesuaian dengan solute

Proses dan Peralatan Viskositas rendah

 Perbedaan densitas dari umpan (>2%, lebih baik >5%)

 Tegangan antarmuka sedang

 Mengurangi kecendrungan membentuk fase ketiga


(2)

13

 Korosifitas rendah Keamanan terhadap kesehatan dan

lingkungan  Tidak mudah terbakar Toksisitas rendah

 Dampak terhadap lingkungan rendah, Volatilitas rendah atau biaya penghilangan rafinat rendah

Keseluruhan Harga murah dan mudah didapat

2.2.3 N-heptana sebagai Pelarut pada Proses Ekstraksi

n-Heptana adalah cairan tidak berwarna yang mudah menguap dengan bau yang khas. n-Heptana digunakan sebagai pelarut pengekstraksi, sebagai pelarut industri (untuk perekat, pernis dan tinta pada pencetakan) dan juga digunakan dalam pembuatan plastik serta sintesis toluen dan alkilbenzen [14]. Sifat fisika n-heptana dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 2.4 Sifat Fisika n-Heptana [28] Sifat Fisika

Rumus kimia C7H16

Rumus molekul 100,21 g/mol Titik didih 98oC

Titik leleh -90,7oC

Specific gravity 0,6838

Tekanan uap 5,3 kPa (@ 20oC)

n-Heptana merupakan senyawa yang mudah menyala namun stabil pada kondisi normal bahkan saat terjadi kebakaran dan tidak reaktif dengan air. Penggunaan n-heptana sebagai pelarut pengekstraksi dianggap lebih aman penggunaannya dibandingkan dengan n-heksana mengingat penggunaannnya yang mulai dibatasi karena menimbulkan masalah lingkungan dan kesehatan. Pada tahun 1992, Texaco Chemical Co. (Houston, TX) telah mendiskusikan mengenai penggunaan heptana sebagai solvent alternatif. Heptana tidaka memberikan masalah lingkungan dan kesehatan dibanding dengan heksana, dan juga karena kesamaan jenis pelarut, hanya saja diperlukan sedikit perubahan pada pemrosesannya. Pada awal 1937, MacGee mencatat solvent petroleum yang baik untuk ekstraksi minyak dari biji-bijian adalah yang memiliki rentang titik didih


(3)

14

yang rendah yaitu fraksi heksana dan heptana. Hal ini didasarkan pada stabilitas, bau dan rasa dari produk, kehilangan pada saat penguapan yang rendah dan kurangnya korosi dan residu berminyak di peralatan [14]. Ayers dan Dooley [13] mengekstraksi biji kapas pada skala laboratorium dengan berbagi macam pelarut termasuk pelarut heksana dan heptana. Jumlah minyak yang di ekstraksi oleh kedua pelarut tersebut sama, tetapi kehilangan akibat refining dan warna minyak bervariasi. Mereka juga mencatat bahwa perbedaan warna minyak tergantung pada kandungan asam lemak bebas (FFA) dari bji. Secara umum minyak yang diekstraksi dengan heksana memiliki warna yang lebih tajam dibanding dengan heptana dan juga fosfolipid yang diekstraksi dengan heptana lebih tinggi dibanding dengan heksana [14].

Heksana sangat beracun bagi sistem saraf perifer sedangkan heptana hanya sedikit beracun. Ini merupakan keuntungan besar bagi hepatana. Selain itu heptana juga memiliki titik didih 98oC pada 1 atm yang 30oC lebih besar dari titik didih heksana. Menggunakan pelarut dengan titik didih tinggi lebih menguntungkan karena proses difusi lebih cepat pada suhu yang lebih tinggi dan membran sel lebih mudah pecah dan mengeluarkan minyak. Karena heptana kurang volatil dibandingkan heksana, maka akan sedikit residu yang tertinggal pada peralatan [29]. Minyak biji alpukat hasil ekstraksi akan dilakukan beberapa analisa diantaranya analisis komposisi asam lemak dengan menggunakan instrument GC-MS (gas chromatography-mass spectrometry).

2.3 ANALISIS KOMPOSISI ASAM LEMAK MINYAK BIJI ALPUKAT

DENGAN GAS CHROMATOGRAPHY (GC)

2.3.1 Gas Chromatography (GC)

Archer J.P. Martin dan Anthony T. James pertama kali memperkenalkan kromatografi partisi cair-gas pada tahun 1950 di London, inilah yang menjadi dasar pengembangan kromatografi gas. Kromatografi gas dengan cepat diterima oleh umum karena diperkenalkan pada saat peningkatan kontrol analitis yang diperlukan dalam industri petrokimia dan teknik-teknik baru yang diperlukan untuk mengatasi keterbatasan metode laboratorium lama. Saat ini, kromatografi gas adalah teknik yang matang, banyak digunakan di seluruh dunia untuk analisis


(4)

15

hampir setiap jenis senyawa organik, bahkan senyawa yang tidak stabil dalam keadaan aslinya tetapi dapat dikonversi ke derivatif yang mudah menguap [30].

Kromatografi gas adalah suatu teknik pemisahan komponen dari sebuah sampel partisi yang terdiri dari 2 fasa yaitu fasa diam dan fasa gas pembawa (fasa gerak). Menurut keadaan fasa diam, kromatografi gas dapat diklasifikasikan menjadi kromatografi gas-padat (GSC), di mana fasa diam adalah padat, dan kromatografi gas-cair (GLC) yang menggunakan cairan sebagai fasa diam. GLC sebagian besar lebih banyak digunakan daripada GSC. Selama pemisahan GC, sampel diuapkan dan dibawa oleh fasa gas pembawa melalui kolom. Pemisahan komponen yang berbeda dicapai berdasarkan tekanan uap relatifnya dan afinitas untuk fasa diam. Afinitas zat terhadap fasa diam dapat digambarkan dalam istilah kimia sebagai konstanta kesetimbangan yang disebut konstanta distribusi (Kc), yang juga dikenal sebagai koefisien partisi. Kc bergantung pada suhu dan juga sifat kimia fasa diam. Dengan demikian, suhu dapat digunakan sebagai cara untuk meningkatkan pemisahan senyawa yang berbeda melalui kolom, atau dengan fasa diam yang berbeda [30].

Selama 10 tahun terakhir telah terjadi peningkatan penggunaan GC, dalam pengkombinasian dengan spektrometri massa (MS). Spektrometer massa telah menjadi detektor standar yang memungkinkan untuk batas deteksi yang lebih rendah dan tidak memerlukan pemisahan dari semua komponen yang ada dalam sampel. Spektroskopi massa adalah salah satu jenis deteksi yang menyediakan informasi yang hanya memerlukan mikrogram sampel. Identifikasi kualitatif senyawa yang tidak diketahui serta analisis kuantitatif sampel dapat menggunakan GC-MS. Ketika GC digabungkan ke spektrometer massa, senyawa yang terelusi dari kolom GC terionisasi dengan menggunakan elektron (EI, ionisasi elektron) atau pereaksi kimia (CI, ionisasi kimia). Fragmen yang dikenakan fokus, dipercepat menjadi analyzer massa : biasanya analyzer massa quadrupole. Fragmen dengan massa yang berbeda akan menghasilkan sinyal yang berbeda, sehingga setiap senyawa yang menghasilkan ion dalam rentang massa dari analyzer massa akan terdeteksi [30].


(5)

16

2.4 RANCANGAN DAN PENGOLAHAN DATA DENGAN RESPONSE

SURFACE METHODOLOGY (RSM)

Untuk memahami seberapa jauh suatu proses yang optimum dipengaruhi oleh sejumlah variabel, sering diperlukan data-data percobaan dalam jumlah besar dan membutuhkan waktu lama, yang secara otomatis juga akan memerlukan biaya dalam jumlah yang besar. Beberapa teknik statistika dan matematika sering dipakai untuk melakukan pendekatan guna memperoleh pemahaman terhadap kondisi optimum dari suatu proses, tanpa memerlukan data yang terlampau banyak. Diantara metode yang sering dipakai adalah metode permukaan respon [31].

Response Surface Methodology (RSM) merupakan salah satu metode Design of Experiments (DOE) selain faktorial, mixture, taguchi, box-behnken, D-optimal, dll. Secara umum, tujuan suatu eksperimen adalah untuk memperoleh keterangan tentang bagaimana respon yang diberikan oleh suatu obyek pada berbagai keadaan tertentu yang ingin diperhatikan [31].

Metode permukaan respon (response surface methodology) merupakan sekumpulan teknik matematika dan statistika yang berguna untuk menganalisis permasalahan dimana beberapa variabel independen mempengaruhi variabel respon dan tujuan akhirnya adalah untuk mengoptimalkan respon. Ide dasar metode ini adalah memanfaatkan desain eksperimen berbantuan statistika untuk mencari nilai optimal dari suatu respon. Metode ini pertama kali diajukan sejak tahun 1951 dan sampai saat ini telah banyak dimanfaatkan baik dalam dunia penelitian maupun aplikasi industri. Misalnya, dengan menyusun suatu model matematika, peneliti dapat mengetahui nilai variabel-variabel independen yang menyebabkan nilai variabel respon menjadi optimal [31].

Jika suatu percobaan telah didesain, data akan dikumpulkan dalam bentuk seefisien mungkin agar permasalahan dapat terselesaikan. Sebelum memilih desain, beberapa pertanyaan berikut harus dijawab terlebih dahulu, yaitu bagaimana mengukur respons dan faktor yang mempengaruhi, berapa faktor yang mempengaruhi respons, berapa faktor yang akan diselesaikan bersamaan, berapa kali pengulangan dari percobaan diperlukan, tipe analisis data apa yang


(6)

17

dibutuhkan (regresi, ANOVA, dll), dan bagaimana menyatakan pengaruh tersebut signifikan [32].