Pengaruh Keadilan Organisasi terhadap Cyberloafing di Bank Sumut Cabang Utama

BAB II
LANDASAN TEORI

Bab ini berisikan teori mengenai kedua variabel, yaitu cyberloafing dan
keadilan organisasi, yang mencakup definisi, aktivitas, dan faktor yang
mempengaruhi cyberloafing, serta mencakup definisi dan dimensi dari keadilan
organisasi. Bab ini juga berisikan dinamika antar kedua variabel penelitian serta
hipotesis penelitian.

A. CYBERLOAFING
1.

Pengertian Cyberloafing
Cyberloafing merupakan isu penting bagi perusahaan. Hal tersebut

disebabkan karena cyberloafing adalah salah satu bentuk kegiatan yang dapat
mengancam produktivitas karyawan. Terdapat beberapa istilah yang digunakan
untuk menjelaskan istilah cyberloafing, seperti cyberslacking, non-work-related
computing, cyber deviance, personal use at work, Internet abuse, workplace
Internet leisure browsing, and junk computing (Vitak, Crouse, & LaRose, 2011).


Mills, Hu, Beldona, dan Clay (2001) menggunakan istilah cyberslacking
sebagai kegiatan yang dilakukan untuk menghabiskan waktu dengan internet pada
saat bekerja. Lim (2002) mendefinisikan cyberloafing sebagai tindakan sukarela
yang dilakukan oleh karyawan untuk menggunakan akses internet perusahaan
selama jam kerja untuk mengakses keperluan pribadi dan untuk memeriksa

12
Universitas Sumatera Utara

(termasuk penerimaan dan pengiriman) e-mail pribadi sebagai penyalahgunaan
internet.
Mastrangelo, Everton dan Jolton (2006) menjelaskan perilaku personal
use of work computer yang melanggar norma organisasi baik informal maupun

formal sebagai deviant computer use at work. Mereka membagi deviant computer
use at work menjadi dua dimensi yang terpisah, yaitu aktivitas non-produktif dan

aktivitas counterproductive. Aktivitas non-produktif merupakan aktivitas yang
lebih umum dan biasanya terdiri dari penggunaan internet untuk koneksi sosial
(misal: mengirim surel, atau chatting) atau aktivitas yang tidak berhubungan

dengan pekerjaan (misal: mengunduh data, belanja online). Sedangkan aktivitas
counterproductive mencakup perilaku yang tidak diterima secara sosial seperti

judi, mengunduh pornografi dan melanggar dan melanggar kerahasiaan.
Menurut

Blanchard

dan

Henle

(2008),

cyberloafing

merupakan

penggunakan email dan internet untuk tujuan pribadi saat bekerja. Blanchard dan
Henle (2008) membagi cyberloafing menjadi dua tipe, yaitu minor dan serious

cyberloafing. Minor cyberloafing merupakan bentuk perilaku cyberloafing yang

ringan seperti mengakses internet untuk mengirim atau menerima email pribadi,
mengunjungi situs berita, olahraga atau mengakses perbankan pribadi. Sedangkan
serious

cyberloafing

mencakup

segala

aktivitas

cyberloafing

yang

menyalahgunakan internet dan berpotensi ilegal seperti perjudian online,
mengunduh musik, melihat situs dewasa/pornografi

Berdasarkan beberapa definisi diatas, Mastrangelo, dkk (2006) dan
Blanchard dan Henle (2008) dalam definisinya menyatakan cyberloafing sebagai

13
Universitas Sumatera Utara

suatu tindakan yang tidak pantas ataupun melanggar norma perusahaan. Mereka
membagi cyberloafing atas tingkat keparahan dari cyberloafing itu sendiri. Minor
cyberloafing yang dikemukakan oleh Blanchard dan Henle (2008) memiliki

pengertian yang mirip dengan tipe aktivitas non-produktif yang dikemukakan oleh
Mastrangelo, dkk (2006). Pengertian dari tipe cyberloafing tersebut berupa
penggunaan internet yang bersifat lebih umum, seperti chatting atau membalas email. Sejalan dengan itu, pengertian serious cyberloafing dengan aktivitas
counterproductive juga memiliki makna yang sama, yaitu penggunaan internet

yang melanggar norma dan berpotensi ilegal seperti judi, membuka situs porno,
dan sebagainya.
Sedangkan Mills, Hu, Beldona, dan Clay (2001) dan Lim (2002)
mengemukakan definisi yang memiliki makna serupa, yaitu kedua definisi
tersebut menyatakan cyberloafing/cyberslacking sebagai penggunaan internet

untuk tujuan pribadi di tempat kerja. Lim (2002) menyatakan bahwa cyberloafing
biasanya hanya akan dilakukan karyawan ketika karyawan menganggap bahwa
cyberloafing tidak akan membahayakan diri mereka sendiri dan organisasi.

Sehingga karyawan akan melakukan kegiatan cyberloafing yang tidak melanggar
norma sekitar mereka, seperti chatting, membuka situs entertainment, bermain
game online, berbelanja online, dan sebagainya.

Berdasarkan definisi diatas maka dapat dikatakan bahwa cyberloafing
merupakan sebuah perilaku yang menggunakan akses internet di tempat kerja
dengan tujuan pribadi dan tidak berkaitan dengan pekerjaan, seperti seperti
memeriksa dan membalas email pribadi, membuka jejaring sosial seperti

14
Universitas Sumatera Utara

facebook, twitter, blog, belanja online, bermain game online, mencari berita atau
entertaiment.

2.


Aktivitas Cyberloafing
Lim dan Chen (2012) membagi cyberloafing menjadi dua aktivitas, yaitu:
a. Browsing Activity
Aktivitas

cyberloafing

ini

merupakan

kegiatan

yang

termasuk

mengunakan akses internet perusahaan untuk browsing hal yang tidak
berkaitan dengan pekerjaan di tempat kerja. Salah satu contoh kegiatan

browsing seperti mengakses berita olahraga, infotaimen, dan sosial media.

b. Emailing Activity
Emailing merupakan kegiatan mengirim, menerima, dan memeriksa email

yang tidak berkaitan dengan pekerjaan saat bekerja.
Jenis cyberloafing yang menjadi fokus penelitian ini ialah jenis yang
dikemukakan oleh Lim dan Chen (2012), yaitu aktivitas browsing dan emailing.
Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Blanchard dan Henle (2008) yang
menyatakan bahwa aktivitas browsing dan emailing merupakan hal umum yang
sering dilakukan oleh karyawan di tempat kerja.

3.

Faktor yang Mempengaruhi Cyberloafing
Ozler dan Polat (2012) mengemukakan faktor penyebab terjadinya

cyberloafing di tempat kerja, yaitu:

15

Universitas Sumatera Utara

a.

Faktor Individual
Terdapat

beberapa

faktor

individual

yang

dapat

mempengaruhi

cyberloafing, yaitu:


1) Persepsi dan Sikap
Individu yang memiliki sikap positif terhadap pemakaian komputer lebih
mungkin menggunakan komputer kantor untuk alasan pribadi dan terdapat
hubungan positif antara sikap mendukung terhadap cyberloafing dengan
cyberloafing (Liberman, dkk, 2011). Individu yang merasa bahwa

penggunaan internet menguntungkan bagi performa kerja mereka lebih
mungkin terlibat dalam cyberloafing (Vitak, Crouse & Larouse, 2011).
2) Sifat/Trait Pribadi
Perilaku dari pengguna internet dapat menggambarkan berbagai motif
psikologis dari individu tersebut (Johnson and Culpa, 2007). Trait pribadi
seperti shyness (rasa malu), loneliness (kesepian), isolation (isolasi), selfcontrol (kontrol diri), self-esteem (harga diri) dan locus of control mungkin

dapat mempengaruhi bentuk penggunaan internet.
3) Kebiasaan dan Adiksi Internet
Kebiasaan mengacu pada rangkaian situasi-perilaku secara otomatis terjadi
tanpa instruksi, fungsi kognisi dan pertimbangan dalam menghadapi
isyarat tertentu di lingkungan (Woon & Pee, 2004). Diperkirakan lebih
dari 50% perilaku media merupakan sebuah kebiasaan (LaRose, 2010).

Adiksi internet dalam tingkat tinggi dapat mengarah kepada perilaku
penyalahgunaan internet (Chen, 2008).

16
Universitas Sumatera Utara

4) Faktor Demografis
Garrett dan Danziger (2008) menemukan bahwa status pekerjaan, persepsi
otonomi di tempat kerja; tingkat pendapatan, pendidikan, dan jenis
kelamin merupakan prediktor yang signifikan dari cyberloafing.
5) Keinginan untuk Terlibat, Norma Sosial dan Kode Etik Personal
Ditemukan bahwa persepsi seseorang mengenai pentingnya larangan etika
dalam hal cyberloafing secara negatif terkait dengan penerimaan perilaku,
dan berhubungan positif dengan keinginan seseorang untuk terlibat dalam
penyalahgunaan.

Selain itu, keyakinan

pandangan negatif mengenai


normatif individu

cyberloafing )

mengurangi

(yaitu,

keinginan

seseorang untuk terlibat dalam cyberloafing. (Vitak, dkk, 2011).

b.

Faktor Organisasi
Terdapat beberapa faktor organisasi yang dapat mempengaruhi karyawan
untuk melakukan cyberloafing. Beberapa faktor organisasi tersebut yaitu:
1) Pembatasan Penggunaan Internet
Dengan membatasi penggunaan komputer saat bekerja melalui kebijakan
perusahaan atau pencegahan penggunaan internet dapat mengurangi
kesempatan karyawan menggunakan internet untuk tujuan pribadi,
sehingga perusahaan dapat meningkatkan regulasi diri karyawan (Garrett
& Danziger, 2008). Dan juga, karyawan yang menghadapi hukuman yang

17
Universitas Sumatera Utara

lebih berat bagi perilaku menyimpang di tempat kerja lebih cenderung
tidak terlibat dalam perilaku cyberloafing (Vitak, dkk, 2011).
2) Hasil yang Diharapkan
Penelitian menemukan bahwa karyawan cenderung tidak melakukan
kegiatan yang mereka anggap memiliki konsekuensi negatif yang serius
bagi organisasi mereka dan menyakiti kepentingan pribadi mereka (Lim &
Teo 2005; Blanchard & Henle, 2008; Lim & Chen, 2012; Vitak dkk, 2011;
Woon & Pee, 2004).
3) Dukungan Manajerial
Dukungan manajerial terhadap penggunaan internet saat bekerja tanpa
menjelaskan bagaimana menggunakan internet dengan jelas malah dapat
meningkatkan penggunaan internet karyawan baik untuk tujuan bisnis
maupun untuk tujuan pribadi. Dukungan ini dapat disalahartikan oleh
karyawan sebagai sebuah dukungan terhadap segala tipe penggunaan
internet, sehingga memunculkan cyberloafing. Diperkirakan bahwa ketika
penggunaan internet menjadi semakin rutin bagi karyawan, maka
karyawan akan cenderung melakukan cyberloafing, terutama karena
penelitian telah menunjukkan bahwa keyakinan tentang penggunaan
teknologi dapat dipengaruhi oleh komitmen manajerial dari perusahaan itu
sendiri (Liberman dkk, 2011).
4) Pandangan Rekan Kerja mengenai Norma Cyberloafing
Penelitian menunjukkan bahwa norma karyawan dengan supervisor yang
membenarkan

cyberloafing

berpengaruh

secara

positif

terhadap

18
Universitas Sumatera Utara

cyberloafing. Blau (2006) menyatakan bahwa karyawan melihat rekan

kerjanya sebagai role model dalam organisasi dan menyebabkan
cyberloafing ini dipelajari dengan meniru perilaku yang dilihatnya dalam

lingkungan organisasi (Liberman dkk, 2011).
5) Sikap Kerja Karyawan
Cyberloafing

sebagai perilaku penyimpangan kerja telah terbukti

merupakan respon emosional atas pengalaman kerja yang tidak
menyenangkan, oleh karena itu dapat dikatakan bahwa sikap kerja
karyawan dapat memengaruhi cyberloafing (Liberman dkk, 2011).
Penelitian sebelumnya telah menemukan bukti empiris yang menunjukkan
bahwa karyawan lebih mungkin untuk terlibat dalam perilaku menyimpsng
ketika mereka miliki sikap kerja yang kurang baik (Garrett dan Danziger,
2008). Terdapat tiga sikap kerja karyawan, yaitu:
a) Injustice (Ketidakadilan)
Lim

(2002)

menemukan

ketiga

bentuk

keadilan

organisasi

berpengaruh secara negatif terhadap cyberloafing dan menemukan
bahwa ketika karyawan mempersepsikan dirinya berada dalam
ketidakadilan dalam bekerja, maka salah satu caranya untuk
menyeimbangkan hal tersebut adalah dengan melakukan cyberloafing.
b) Komitmen Kerja
Penelitian menemukan bahwa ketika karyawan memiliki komitmen
pada pekerjaannya maka mereka cenderung untuk tidak terlibat dalam
penggunaan internet untuk tujuan pribadi.

19
Universitas Sumatera Utara

c) Kepuasan Kerja
Hasil penelitian menunjukkan bahwa karyawan yang memiliki
kepuasan kerja tinggi memiliki perasaan lebih positif terhadap
penyalahgunaan internet. Dalam studi tindak lanjut, beberapa
responden mengungkapkan bahwa mereka melihat penggunaan
internet untuk tujuan pribadi sebagai kegiatan yang dapat membantu
meringankan stres kerja (Woon & Pee, 2004). Namun terdapat
penelitian yang menyatakan jika kepuasan menurun, kemungkinan
untuk terlibat dalam cyberloafing meningkat (Vitak, dkk, 2011).
Sedangkan Garrett dan Danziger (2007) tidak menemukan hubungan
antara kepuasan kerja dan cyberloafing.
6) Karakteristik Pekerjaan
Studi skala yang lebih kecil menemukan efek positif dari cyberloafing,
penelitian tersebut menunjukkan bahwa menghabiskan waktu mengerjakan
hal yang tidak berkaitan dengan pekerjaan dapat mengurangi kebosanan,
kelelahan, atau stres, kepuasan kerja yang lebih besar atau kreativitas,
meningkatkan dalam kesejahteraan, rekreasi dan pemulihan, dan karyawan
secara keseluruhan menjadi lebih bahagia.

c.

Faktor Situasional
Sebuah penelitian menyatakan bahwa terdapat hubungan positif antara
tersedianya fasilitas untuk melakukan cyberloafing dengan tindakan
cyberloafing itu sendiri (Woon & Pee, 2004). Penelitian lain menunjukkan

20
Universitas Sumatera Utara

bahwa kedekatan jarak secara fisik dengan supervisor secara tidak langsung
dapat mempengaruhi perilaku cyberloafing. Hal ini dipengaruhi oleh persepsi
karyawan terhadap kontrol organisasi.
Dari uraian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku
cyberloafing di atas, penelitian ini hanya akan berfokus pada faktor organisasi
yaitu sikap kerja karyawan khususnya pada bagian keadilan organisasi sebagai
salah satu variabel penelitian.

B. KEADILAN ORGANISASI
1.

Pengertian Keadilan Organisasi
Keadilan organisasi pertama sekali berkembang melalui teori relative

deprivation oleh Stouffer, Suchman, DeVinney, Star, dan Williams (1949).

Stouffer, dkk menyatakan bahwa reaksi seseorang terhadap suatu hasil ( outcome)
akan tergantung pada bagaimana perbandingan hasil yang dihasilkan oleh
individu dengan hasil orang lain. Setelah adanya penelitian yang dilakukan oleh
Stouffer, dkk, kemudian muncul beberapa teori mengenai keadilan antara lain,
teori pertukaran sosial oleh Homans (1961), teori role of expectation oleh Blau
(1964), dan teori equity oleh Adams (1963) mengenai keadilan khususnya
keadilan distributif.
Teori equity oleh Adams (1963) merupakan teori yang sering digunakan
dalam literatur mengenai keadilan sampai tahun 1970-an (Ahmadi, dkk, 2011).
Adams (1963) menyatakan bahwa individu akan membandingkan rasio hasil
(outcome) dan masukan (input) yang mereka miliki dengan rasio hasil/masukan

21
Universitas Sumatera Utara

orang lain maupun diri mereka sendiri di masa lalu. Teori equity dari Adams
berfokus pada penjelasan mengenai konsekuensi ketika ketidakadilan ( inequity)
terjadi. Teori ini menyatakan bahwa ketidakadilan yang dirasakan seseorang dapat
memunculkan ketegangan psikologis serta distress yang membuat seseorang
melakukan sesuatu untuk mengembalikan keadilan tersebut (Adams, 1963).
Keadilan

organisasi

berkaitan

dengan

bagaimana

para

pekerja

menyimpulkan apakah mereka telah diperlakukan secara adil dalam pekerjaannya
dan bagaimana kesimpulan tersebut kemudian dapat mempengaruhi variabelvariabel lain yang berhubungan dengan pekerjaan (Moorman, 1991). Colquitt
(2001) menggunakan definisi Greenberg dalam menjelaskan mengenai keadilan
organisasi, Greenberg (1990) menyatakan bahwa keadilan organisasi ialah
persepsi karyawan tentang keadilan dalam organisasi, yang terkait dengan caracara yang tepat untuk mendistribusikan hasil dan tentang memperlakukan orang
lain dengan baik.
Cropanzano, Bowen dan Gilliand (2007) menyatakan keadilan organisasi
merupakan anggapan seseorang mengenai kelayakan moral tentang bagaimana
seharusnya individu diperlakukan di dalam organisasi. Keadilan organisasi
merupakan sebuah evaluasi pribadi mengenai moral dan etika dari pihak
manajerial. Menurut mereka keadilan merupakan suatu esensi dari hubungan
anggota dengan pemilik organisasi. Sebaliknya, ketidakadilan dianggap sebagai
hal yang dapat mengakhiri suatu hubungan dalam organisasi. Ketidakadilan yang
dirasakan oleh individu dalam organisasi dapat merusak individu maupun
organisasi.

22
Universitas Sumatera Utara

Definisi yang dikemukakan oleh Moorman (1991) dan Greenberg (1990)
memiliki arti yang serupa bahwa keadilan organisasi merupakan persepsi
karyawan mengenai keadilan dalam perusahaan baik dalam hal proses pembuatan
keputusan maupun hasil dari keputusan tersebut. Sedangkan definisi keadilan
organisasi menurut Cropanzano, dkk (2007) melihat pentingnya hubungan
anggota dengan organisasi yang di dalam keadilan organisasi itu sendiri terdiri
dari moral dan etika yang dianggap sesuai oleh karyawan.
Berdasarkan uraian dari definisi diatas, keadilan organisasi adalah suatu
persepsi atau anggapan karyawan mengenai keadilan di dalam organisasi yang
mencakup keadilan dari pembagian hasil ataupun keadilan dalam pembuatan
keputusan, keadilan dalam hubungan dengan atasan atau rekan kerja, serta
keadilan dalam cara pemberian informasi yang sesuai bagi karyawan di dalam
perusahaan.

2.

Dimensi Keadilan Organisasi
Dimensi dari keadilan organisasi telah menjadi perdebatan dalam bidang

penelitian. Dimensi yang pertama sekali muncul dari keadilan organisasi ialah
keadilan distributif (Adams, 1963). Kemudian Thibaut dan Walker (1975)
mengusulkan dimensi kedua dari keadilan organisasi, yaitu keadilan prosedural.
Dimensi ketiga dari keadilan organisasi, yaitu keadilan interaksional (Bies dan
Moag, 1986). Dan pada akhirnya Greenberg (1993) mengemukakan empat
dimensi keadilan organisasi. Ia membagi keadilan interaksional menjadi dua
bagian, yaitu keadilan interpersonal dan keadilan informasional, sehingga

23
Universitas Sumatera Utara

Greenberg (1993) menyatakan bahwa keadilan organisasi memiliki empat
dimensi, yaitu distributif, prosedural, interpersonal dan informasional.
Terdapat beberapa penelitian sebelumnya yang hanya menggunakan satu
atau dua dimensi keadilan organisasi (Niehoff, Moorman, 1993; Cohen, White,
Sanders, 2000). Dan terdapat pula penelitian yang menggunakan tiga dimensi
keadilan organisasi, yaitu keadilan distributif, keadilan prosedural, dan keadilan
interaksional (Skarlicki, Folger, 1997; Lim, 2002).
Karena adanya ketidakjelasan mengenai dimensi keadilan organisasi,
Colquitt (2001) melakukan sebuah penelitian mengenai dimensi dari keadilan
organisasi tersebut. Dalam penelitiannya Colquitt (2001) menggunakan empat
dimensi keadilan organisasi yang sesuai dengan dimensi yang dikemukakan
Greenberg (1993). Hasil penelitian tersebut menemukan bahwa keadilan
organisasi lebih baik ketika diukur dengan menggunakan empat dimensi
dibandingkan dengan menggunakan dua atau tiga dimensi.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, penelitian ini menggunakan empat
dimensi yang dikemukakan oleh Colquitt (2001), yaitu:
1) Keadilan Distributif
Keadilan distributif adalah keadilan yang terkait pada pengalokasian hasil
pada karyawan. Pada awalnya, keadilan distributif dikembangkan oleh
Homans (1961) dalam teorinya mengenai keadilan dalam perubahan sosial,
kemudian konsep keadilan distributif dikembangkan secara utuh oleh Adams
melalui teori equity (1963) yang sampai sekarang digunakan dalam penelitian
mengenai masalah keadilan di tempat kerja.

24
Universitas Sumatera Utara

Adams (1963) menyatakan ketika seseorang memiliki rasio hasil/masukan
jauh dibawah rasio perbandingan orang lain, maka ia dapat dikatakan
mengalami underpayment inequity. Sedangkan ketika seseorang memiliki
rasio hasil/masukan yang berlebihan dibandingkan orang lain, maka ia
dikatakan mengalami overpayment inequity. Homans (1961) mengemukakan
bahwa ketika seseorang mengalami underpayment inequity, cenderung
menghasilkan rasa marah dan seseorang yang mengalami overpayment
inequity dapat menghasilkan rasa bersalah.

Teori equity memandang keadilan distributif (disebut dengan equity)
sebagai istilah dalam mempersepsikan rasio hasil dan masukan yang diterima
oleh individu (Greenberg & Colquitt, 2005). Hasil (outcome) adalah hal yang
berkaitan dengan gaji, penghargaan, supervisi yang memuaskan, keuntungan
dari senioritas, status pekerjaan dan berbagai insentif baik formal maupun
informal. Sedangkan masukan (input) termasuk didalamnya pendidikan,
intelegensi, pengalaman, pelatihan, keterampilan, senioritas, usia, jenis
kelamin, latar belakang etnis, status sosial, serta segala upaya yang
dikeluarkan individu dalam pekerjaannya. Keadilan distributif muncul ketika
hasil (outcome) konsisten dengan norma-norma untuk alokasi, seperti ekuitas
atau kesetaraan (Colquitt, 2001).
Berikut ini akan dipaparkan beberapa indikator dari keadilan distributif
(Colquitt, 2001):
a. Keadilan (Equity): Menghargai karyawan berdasarkan kontribusinya

25
Universitas Sumatera Utara

b. Persamaan (Equality): Menyediakan kompensasi yang sama bagi setiap
karyawan
c. Kebutuhan (Need): Menyediakan keuntungan berdasarkan pada kebutuhan
personal seseorang

2) Keadilan Prosedural
Selain keadilan distributif, dimensi lain dari keadilan organisasi ialah
keadilan prosedural. Keadilan prosedural ini muncul melalui suara selama
proses pengambilan keputusan atau pengaruh atas hasil (Thibaut & Walker,
1975). Lind dan Tyler (1988) menyatakan keadilan prosedural merupakan
persepsi karyawan mengenai proses dan prosedur yang digunakan untuk
membuat keputusan yang mengarah kepada hasil. Terdapat 6 aturan keadilan
prosedural yang mendefinisikan kriteria dimana prosedur pengalokasian
dianggap adil (Leventhal, 1980; Colquitt, 2001; Cropanzano dkk, 2007)
adalah:
a. Konsistensi : Prosedur yang adil harus konsisten pada setiap karyawan
b. Minimalisasi bias : Kepentingan-kepentingan pribadi harus dicegah dalam
proses pengalokasian.
c. Informasi yang akurat : Proses pengalokasian keadilan harus didasarkan
pada informasi yang akurat. Informasi dan opini harus dikumpulkan dan
diproses sedemikian rupa sehingga tidak terjadi kesalahan dalam
mengambil keputusan.

26
Universitas Sumatera Utara

d. Dapat diperbaiki : Kesempatan harus ada untuk memperbaiki proses
alokasi. Prosedur yang adil mengandung aturan yang bertujuan untuk
memperbaiki kesalahan yang ada ataupun kesalahan yang mungkin akan
muncul.
e. Representatif : Prosedur dikatakan adil bila sejak awal ada upaya untuk
melibatkan semua pihak yang bersangkutan. Meskipun keterlibatan yang
dimaksudkan dapat disesuaikan dengan sub-sub kelompok yang ada,secara
prinsip harus ada penyertaan dari berbagai pihak sehingga akses untuk
melakukan kontrol juga terbuka.
f. Etis : Prosedur yang adil harus sesuai dengan moral dan nilai- nilai etika
atau sebuah aturan yang disepakati bersama. Dengan kata lain, bila
berbagai hal diatas terpenuhi namun tidak sesuai dengan etika, maka
belum bisa dikatakan adil.

3) Keadilan Interpersonal
Bies dan Moag (1986) menyatakan bahwa keadilan interpersonal
merupakan suatu sensitivitas seseorang terhadap kualitas perlakuan
interpersonal yang diterima selama terjalannya prosedur

organisasi.

Greenberg (1993) juga mengemukakan bahwa keadilan interpersonal
merupakan aspek sosial dari keadilan prosedural. Keadilan interpersonal
didefinisikan sebagai tingkat dimana seseorang diperlakukan dengan sopan,
hormat, dan martabat (Meru & Fajrianthi, 2013). Dalam konteks organisasi,

27
Universitas Sumatera Utara

keadilan interpersonal berkaitan dengan persepsi proses komunikasi antara
atasan dan bawahan.
Colquitt (2001) mengemukakan dua indikator bagi keadilan interpersonal,
yaitu:
a. Respect
Pihak otoritas sebaiknya memperlakukan bawahan dengan tulus dan
bermartabat dan menahan diri untuk tidak bertindak kasar dan menyerang
bawahan.
b. Propriety
Pihak otoritas sebaiknya menahan diri untuk tidak menyatakan pernyataan
yang mengandung prasangka dan menghindari untuk bertanya mengenai
pertanyaan yang tidak sesuai seperti, ras, etnis, agama, dan lain-lain.

4) Keadilan Informasional
Greenberg (1993) menyatakan bahwa keadilan informasional merupakan
determinan/faktor sosial dari keadilan prosedural. Keadilan informasional
dapat muncul dengan memberikan informasi tentang proses dan prosedur
dalam mengambil keputusan. Informasi tersebut diberikan agar menunjukkan
bahwa organisasi/atasan memperhatikan hal yang menjadi kekhawatiran
bawahan. Misalnya, ketika seseorang menerima hasil negatif seperti proposal
ditolak atau pekerjaan ditolak, lebih mungkin untuk menerima hasil sebagai
suatu keadilan ketika mereka menerima penjelasan yang masuk akal tentang
prosedur yang digunakan saat pengambilan keputusan. Bies dan Shapiro

28
Universitas Sumatera Utara

(1987) mendeskripsikan keadilan informasi sebagai persepsi apakah pihak
yang menentukan keputusan telah memberikan penjelasan mengenai
outcomes yang mempengaruhi individu.
Berikut merupakan indikator dari keadilan informasional (Colquitt, 2001;
Greenberg & Colquitt, 2005):
a. Truthfulness
Pihak otoritas sebaiknya berkomikasi secara terbuka, jujur, dan terus
terang dalam mengimplementasikan prosedur pembuatan keputusan dan
berusaha untuk menghindari munculnya kecurangan.
b. Justification
Pihak otoritas sebaiknya memberikan penjelasan yang memadai dan jelas
mengenai hasil dari pembuatan keputusan.
Penelitian ini menggunakan empat dimensi keadilan organisasi yang
dikemukakan oleh Colquitt (2001). Colquitt memisahkan dimensi keadilan
interaksional menjadi dua bagian yang terpisah yaitu, keadilan interaksional dan
keadilan interpersonal. Sesuai dengan pernyataan dari hasil penelitian Colquitt
(2001) bahwa keadilan organisasi lebih baik jika diukur melalui empat dimensi
(distributif, prosedural, interpersonal dan informasional) dibandingkan dengan
tiga dimensi (distributif, prosedural dan interaksional).

29
Universitas Sumatera Utara

C. DINAMIKA PENGARUH KEADILAN ORGANISASI TERHADAP
CYBERLOAFING
Menurut Lim (2002), cyberloafing merupakan salah satu bentuk dari
penyimpangan kerja, yaitu penyimpangan produksi kerja. Salah satu penyebab
terjadinya penyimpangan kerja ialah faktor keadilan organisasi (Bennett &
Robinson, 2000; Fox, Spector, & Miles, 2001). Hal tersebut disebabkan adanya
suatu gagasan mengenai keadilan retributif, yang menyatakan ketika seseorang
memberikan perlakuan tidak adil kepada orang lain, maka orang tersebut pantas
untuk dihukum agar dapat mengembalikan keseimbangan dalam keadilan
(Carlsmith, Darley, & Robinson, 2002; Okimoto, Wenzel, & Feather, 2009).
Sehingga memungkinkan karyawan untuk melakukan perilaku menyimpang yang
dapat merugikan perusahaan, seperti cyberloafing, pada saat karyawan merasakan
adanya ketidakadilan di tempat kerja.
Teori social exchange (Blau, 1964) merupakan teori yang sesuai untuk
menjelaskan hubungan antara keadilan organisasi dengan cyberloafing. Dalam
kerangka berpikir teori social exchange , karyawan yang melakukan hal yang tidak
pantas, merupakan sebuah respon terhadap perlakukan tidak adil yang diberikan
organisasi kepada karyawan tersebut (Greenberg & Scott, 1996). Cyberloafing
merupakan salah satu perilaku yang tidak pantas untuk dilakukan karyawan di
tempat kerja. Pandangan ini menggambarkan keadilan organisasi dan cyberloafing
sebagai dinamika sebab-akibat yang menyatakan bahwa ketika karyawan merasa
diperlakukan tidak adil maka memiliki kecenderungan untuk melakukan perilaku

30
Universitas Sumatera Utara

negatif, salah satunya seperti penyalahgunaan internet di perusahaan (Zoghbi,
2009).
Jika dikaitkan langsung dengan cyberloafing, berdasarkan hasil penelitian
yang dilakukan oleh Ogut, dkk (2013) menyatakan bahwa keadilan organisasi
berpengaruh negatif terhadap cyberloafing, dengan kata lain ketika karyawan
merasa bahwa organisasi tidak adil maka dapat memungkinkan karyawan untuk
melakukan cyberloafing. Penelitian tersebut menyatakan bahwa cyberloafing
merupakan salah satu cara negatif yang dilakukan karyawan untuk mengatasi
ketidakadilan di tempat kerja. Hal tersebut hampir sama dengan melakukan coffee
break pada saat jam kerja, melakukan panggilan pribadi, atau mengobrol dengan

rekan kerja.
Greenberg (1993) membagi keadilan organisasi menjadi empat dimensi,
yaitu keadilan distributif, keadilan prosedural, keadilan interpersonal dan keadilan
informasional. Ditinjau berdasarkan keadilan distributif, ketidakadilan yang
dirasakan karyawan pada dimensi ini dapat memunculkan reaksi tertentu, salah
satu reaksinya adalah dapat memicu rasa marah atau reaksi yang tidak
menyenangkan

(Homans,

1961)

Sehingga

karyawan

yang

merasakan

ketidakadilan dalam hal imbalan di tempat kerja, dapat memunculkan reaksi
negatif yang mengarah pada organisasi. Sesuai dengan pernyataan Ogut, dkk
(2013) bahwa salah satu reaksi negatif yang dapat dilakukan karyawan untuk
mengatasi ketidakadilan ialah dengan melakukan cyberloafing.
Ditinjau dari dimensi keadilan interpersonal dan informasional, Barling
dan Phillips (1993) dalam penelitiannya menggunakan istilah keadilan

31
Universitas Sumatera Utara

interaksional yang merupakan gabungan antara keadilan interpersonal dan
keadilan informasional. Penelitian tersebut menemukan bahwa keadilan
interaksional memiliki pengaruh terhadap perilaku withdrawal di tempat kerja,
yang merupakan salah satu bentuk dari counterproductive work behavior (CWB).
Dengan itu dapat dikatakan bahwa karyawan yang merasakan ketidakadilan
interaksional (interpersonal dan informasional) lebih mungkin untuk melakukan
bentuk perilaku dari CWB, seperti cyberloafing.
Secara keseluruhan, tindakan seperti CWB dan cyberloafing yang
dilakukan karyawan tidak harus dibedakan berdasarkan dimensi dari keadilan
organisasi (Cohen-Charash & Spector, 2001). Pada penelitian ini, secara
keseluruhan dimensi keadilan organisasi diasumsikan mempengaruhi cyberloafing
yang dilakukan karyawan.

D. HIPOTESA PENELITIAN
Berdasarkan uraian di atas, maka hipotesa yang diajukan dalam penelitian
ini adalah terdapat pengaruh negatif keadilan organisasi terhadap perilaku
cyberloafing.

32
Universitas Sumatera Utara