FAKTOR RISIKO KEJADIAN GIZI KURANG PADA (1)
FAKTOR RISIKO KEJADIAN GIZI KURANG PADA BALITA
DI TINJAU DARI POLA MAKAN, TINGKAT PENGETAHUAN
GIZI IBU DAN PENYAKIT INFEKSI
KARYA TULIS ILMIAH / SKRIPSI
Oleh:
................
NIM. ...............
DEPARTEMEN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KESEHATAN DEPKES ........
JURUSAN ........
PROGRAM STUDI ................
TAHUN 2011
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pembangunan di bidang kesehatan pada hakikatnya merupakan bagian
integral dari pembangunan kesejahteraan bangsa secara berkesinambungan,
terus menerus dilakukan bangsa Indonesia untuk menggapai cita-cita luhur,
yakni terciptanya masyarakat yang adil dan makmur, baik spiritual maupun
material. GBHN 1999 mengamanatkan perlunya meningkatkan mutu sumber
daya manusia dan lingkungan yang saling mendukung melalui pendekatan
paradigma sehat, dengan memberikan prioritas pada upaya peningkatan
kesehatan, pencegahan, penyembuhan , pemulihan, dan rehabilitasi (Aditama
dan Hastuti, 2006).
Keberhasilan pembangunan suatu bangsa ditentukan oleh ketersediaan
sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, yaitu SDM yang memiliki
fisik yang tangguh, mental yang kuat, kesehatan yang prima, serta cerdas.
Bukti empiris menunjukkan bahwa hal ini sangat ditentukan oleh status gizi
yang baik. Status gizi yang baik ditentukan oleh jumlah asupan pangan yang
dikonsumsi. Masalah gizi kurang dan buruk dipengaruhi langsung oleh faktor
konsumsi pangan dan penyakit infeksi. Secara tidak langsung dipengaruhi
oleh pola asuh, ketersediaan pangan, faktor sosial ekonomi, budaya dan
politik. Apabila gizi kurang dan gizi buruk terus terjadi dapat menjadi faktor
penghambat dalam pembangunan nasional. Secara perlahan kekurangan gizi
akan berdampak pada tingginya angka kematian ibu, bayi, dan balita, serta rendahnya umur
harapan hidup. Selain itu, dampak kekurangan gizi terlihat juga pada rendahnya partisipasi
sekolah, rendahnya pendidikan, serta lambatnya pertumbuhan ekonomi (Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional, 2007 ).
Kesepakatan global berupa Millenium Development Goals (MDGS)
yang terdiri dari 8 tujuan, 18 target dan 48 indikator, menegaskan bahwa
pada tahun 2015 setiap negara menurunkan kemiskinan dan kelaparan separuh
dari kondisi pada tahun 1990. Untuk Indonesia, indikator yang digunakan
adalah peresentase anak berusia di bawah 5 tahun (balita) yang mengalami
gizi buruk (severe underweight) dan persentase anak-anak berusia 5 tahun
(balita) yang mengalami gizi kurang (moderate underweight) (Ariani, 2007).
Salah satu masalah pokok kesehatan di negara sedang berkembang
adalah masalah gangguan terhadap kesehatan masyarakat yang disebabkan
oleh kekurangan gizi. Masalah gizi di Indonesia masih didominasi oleh
masalah Kurang Energi Protein (KEP), Anemia zat Besi, Gangguan Akibat
Kekurangan Yodium (GAKY), dan kurang Vitamin A (KVA). Penyakit
kekurangan gizi banyak ditemui pada masyarakat golongan rentan, yaitu
golongan yang mudah sekali menderita akibat kurang giuzi dan juga
kekurangan zat makanan. Penyakit gizi kurang banyak ditemui pada
masyarakat golongan rentan, yaitu golongan yang mudah sekali menderita
akibat kurang gizi dan juga kekurangan zat makanan (Syahmien Moehji,
2005).
Kebutuhan setiap orang akan makanan tidak sama, karena kebutuhan
akan berbagai zat gizi juga berbeda. Umur, Jenis kelamin, macam pekerjaan
dan faktor-faktor lain menentukan kebutuhan masing-masing orang akan zat
gizi. Anak balita (bawah lima tahun) merupakan kelompok yang
menunjukkan pertumbuhan badan yang pesat, sehingga memerlukan zat-zat
gizi yang tinggi setiap kilogram berat badannya. Anak balita ini justru
merupakan kelompok umur yang paling sering dan sangat rawan menderita
akibat kekurangan gizi yaitu KEP.
Kurang gizi atau gizi buruk dinyatakan sebagai penyebab tewasnya 3,5
juta anak di bawah usia lima tahun (balita) di dunia. Mayoritas kasus fatal gizi
buruk berada di 20 negara, yang merupakan negara target bantuan untuk
masalah pangan dan nutrisi. Negara tersebut meliputi wilayah Afrika, Asia
Selatan, Myanmar, Korea Utara, dan Indonesia. Hasil penelitian yang
dipublikasikan dalam jurnal kesehatan Inggris The Lanchet ini
mengungkapkan, kebanyakan kasus fatal tersebut secara tidak langsung
menimpa keluarga miskin yang tidak mampu atau lambat untuk berobat,
kekurangan vitamin A dan Zinc selama ibu mengandung balita, serta menimpa
anak pada usia dua tahun pertama. Angka kematian balita karena gizi buruk
ini terhitung lebih dari sepertiga kasus kematian anak di seluruh dunia (Malik, 2008).
Kekurangan gizi merupakan salah satu penyebab tingginya kematian
pada bayi dan anak. Apabila anak kekurangan gizi dalam hal zat karbohidrat
(zat tenaga) dan protein (zat pembangun) akan berakibat anak menderita
kekurangan gizi yang disebut KEP tingkat ringan dan sedang, apabila hal ini
berlanjut lama maka akan berakibat terganggunya pertumbuhan, terganggunya
perkembangan mental, menyebabkan terganggunya sistem pertahanan tubuh,
hingga menjadikan penderita KEP tingkat berat sehingga sangat mudah
terserang penyakit dan dapat berakibat kematian (Syahmien Moehji, 2005).
Berbagai penelitian membuktikan lebih dari separuh kematian bayi
dan balita disebabkan oleh keadaan gizi yang jelek. Risiko meninggal dari
anak yang bergizi buruk 13 kali lebih besar dibandingkan anak yang normal.
WHO memperkirakan bahwa 54% penyebab kematian bayi dan balita didasari
oleh keadaan gizi anak yang jelek (Irwandy, 2007).
Faktor penyebab langsung terjadinya kekurangan gizi adalah
ketidakseimbangan gizi dalam makanan yang dikonsumsi dan terjangkitnya
penyakit infeksi. Penyebab tidak langsung adalah ketahanan pangan di
keluarga, pola pengasuhan anak dan pelayanan kesehatan. Ketiga faktor
tersebut berkaitan dengan tingkat pendidikan, pengetahuan dan ketrampilan
keluarga serta tingkat pendapatan keluarga (I Dewa Nyoman Supariasa, 2007).
Faktor ibu memegang peranan penting dalam menyediakan dan
menyajikan makanan yang bergizi dalam keluarga, sehingga berpengaruh
terhadap status gizi anak (I Dewa Nyoman Supariasa, 2007).
Prevalensi nasional Gizi Buruk pada Balita adalah 5,4%, dan Gizi
Kurang pada Balita adalah 13,0%. Keduanya menunjukkan bahwa baik target
Rencana Pembangunan Jangka Menengah untuk pencapaian program
perbaikan gizi (20%), maupun target Millenium Development Goals pada
2015 (18,5%) telah tercapai pada 2007. Namun demikian, sebanyak 19
provinsi mempunyai prevalensi Gizi Buruk dan Gizi Kurang diatas prevalensi
nasional, yaitu Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Sumatera Barat,
Riau, Jambi, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat,
Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi
Tengah, Sulawesi Tenggara, .........., Sulawesi Barat, Maluku, Maluku Utara,
Papua Barat dan Papua (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Depkes RI, 2008). Masalah kurang gizi merupakan akibat dari interaksi antara berbagai
faktor, akan tetapi yang paling utama adalah dua faktor yaitu konsumsi pangan
dan infeksi, adanya ketidakseimbangan antara konsumsi zat energi dan zat
protein melalui makanan, baik dari segi kuantitatif dan kualitatif. Dideritanya
panyakit infeksi, yang umumnya infeksi saluran pernafasan dan infeksi
saluran pencernaan, maka keadaan kurang gizi akan bertambah parah. Namun
sebaliknya penyakit-penyakit tersebut dapat bertindak sebagai pemula
terjadinya kurang gizi sebagai akibat menurunnya nafsu makan, adanya
gangguan penyerapan dalam saluran pencernaan serta meningkatnya
kebutuhan gizi akibat adanya penyakit (Syahmien Moehji, 2005).
Selain dari penyebab utama tersebut banyak sekali faktor yang
menyebabkan terjadinya masalah kurang gizi yaitu ketersediaan pangan di
tingkat rumah tangga, pola pengasuhan anak, kondisi lingkungan atau
penyediaan air bersih serta pelayanan kesehatan yang tidak memadai serta
faktor sosial budaya dan ekonomi seperti tingkat pendapatan keluarga, besar
anggota keluarga, pantangan atau tabu dalam hal makanan dan adat kebiasaan
yang merugikan (Syahmien Moehji, 2005).
Di provinsi .......... angka penderita gizi kurang yaitu sebesar 12,75%
dari 336.111 balita yang di ukur menurut dinas kesehatan .......... tahun 2008.
Berdasarkan data yang diperoleh dari survey Pemantauan Status Gizi
(PSG) tahun 2008 bahwa jumlah balita di kabupaten ........ yaitu 11.657 jiwa,
dimana penderita gizi buruk sebanyak 628 (5,4 %) jiwa dan jumlah penderita
gizi kurang sebanyak 2.493 (21,4 %) jiwa.
Data mengenai status gizi balita di Puskesmas ........ Kecamatan ........
tahun 2009 menunjukkan dari sejumlah 823 balita terdapat 426 balita gizi
baik, 136 balita gizi kurang (16,16%) dan 11 balita gizi buruk (1,33%). Dari
data di atas dapat dilihat bahwa masih tingginya jumlah kasus, baik kasus gizi
kurang maupun kasus gizi buruk pada tahun 2009 di wilayah kerja Puskesmas
......... Dari jumlah penderita gizi buruk diatas, dapat dikategorikan masih
tinggi dibanding jumlah standar nasional yang ditetapkan yaitu
DI TINJAU DARI POLA MAKAN, TINGKAT PENGETAHUAN
GIZI IBU DAN PENYAKIT INFEKSI
KARYA TULIS ILMIAH / SKRIPSI
Oleh:
................
NIM. ...............
DEPARTEMEN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KESEHATAN DEPKES ........
JURUSAN ........
PROGRAM STUDI ................
TAHUN 2011
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pembangunan di bidang kesehatan pada hakikatnya merupakan bagian
integral dari pembangunan kesejahteraan bangsa secara berkesinambungan,
terus menerus dilakukan bangsa Indonesia untuk menggapai cita-cita luhur,
yakni terciptanya masyarakat yang adil dan makmur, baik spiritual maupun
material. GBHN 1999 mengamanatkan perlunya meningkatkan mutu sumber
daya manusia dan lingkungan yang saling mendukung melalui pendekatan
paradigma sehat, dengan memberikan prioritas pada upaya peningkatan
kesehatan, pencegahan, penyembuhan , pemulihan, dan rehabilitasi (Aditama
dan Hastuti, 2006).
Keberhasilan pembangunan suatu bangsa ditentukan oleh ketersediaan
sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, yaitu SDM yang memiliki
fisik yang tangguh, mental yang kuat, kesehatan yang prima, serta cerdas.
Bukti empiris menunjukkan bahwa hal ini sangat ditentukan oleh status gizi
yang baik. Status gizi yang baik ditentukan oleh jumlah asupan pangan yang
dikonsumsi. Masalah gizi kurang dan buruk dipengaruhi langsung oleh faktor
konsumsi pangan dan penyakit infeksi. Secara tidak langsung dipengaruhi
oleh pola asuh, ketersediaan pangan, faktor sosial ekonomi, budaya dan
politik. Apabila gizi kurang dan gizi buruk terus terjadi dapat menjadi faktor
penghambat dalam pembangunan nasional. Secara perlahan kekurangan gizi
akan berdampak pada tingginya angka kematian ibu, bayi, dan balita, serta rendahnya umur
harapan hidup. Selain itu, dampak kekurangan gizi terlihat juga pada rendahnya partisipasi
sekolah, rendahnya pendidikan, serta lambatnya pertumbuhan ekonomi (Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional, 2007 ).
Kesepakatan global berupa Millenium Development Goals (MDGS)
yang terdiri dari 8 tujuan, 18 target dan 48 indikator, menegaskan bahwa
pada tahun 2015 setiap negara menurunkan kemiskinan dan kelaparan separuh
dari kondisi pada tahun 1990. Untuk Indonesia, indikator yang digunakan
adalah peresentase anak berusia di bawah 5 tahun (balita) yang mengalami
gizi buruk (severe underweight) dan persentase anak-anak berusia 5 tahun
(balita) yang mengalami gizi kurang (moderate underweight) (Ariani, 2007).
Salah satu masalah pokok kesehatan di negara sedang berkembang
adalah masalah gangguan terhadap kesehatan masyarakat yang disebabkan
oleh kekurangan gizi. Masalah gizi di Indonesia masih didominasi oleh
masalah Kurang Energi Protein (KEP), Anemia zat Besi, Gangguan Akibat
Kekurangan Yodium (GAKY), dan kurang Vitamin A (KVA). Penyakit
kekurangan gizi banyak ditemui pada masyarakat golongan rentan, yaitu
golongan yang mudah sekali menderita akibat kurang giuzi dan juga
kekurangan zat makanan. Penyakit gizi kurang banyak ditemui pada
masyarakat golongan rentan, yaitu golongan yang mudah sekali menderita
akibat kurang gizi dan juga kekurangan zat makanan (Syahmien Moehji,
2005).
Kebutuhan setiap orang akan makanan tidak sama, karena kebutuhan
akan berbagai zat gizi juga berbeda. Umur, Jenis kelamin, macam pekerjaan
dan faktor-faktor lain menentukan kebutuhan masing-masing orang akan zat
gizi. Anak balita (bawah lima tahun) merupakan kelompok yang
menunjukkan pertumbuhan badan yang pesat, sehingga memerlukan zat-zat
gizi yang tinggi setiap kilogram berat badannya. Anak balita ini justru
merupakan kelompok umur yang paling sering dan sangat rawan menderita
akibat kekurangan gizi yaitu KEP.
Kurang gizi atau gizi buruk dinyatakan sebagai penyebab tewasnya 3,5
juta anak di bawah usia lima tahun (balita) di dunia. Mayoritas kasus fatal gizi
buruk berada di 20 negara, yang merupakan negara target bantuan untuk
masalah pangan dan nutrisi. Negara tersebut meliputi wilayah Afrika, Asia
Selatan, Myanmar, Korea Utara, dan Indonesia. Hasil penelitian yang
dipublikasikan dalam jurnal kesehatan Inggris The Lanchet ini
mengungkapkan, kebanyakan kasus fatal tersebut secara tidak langsung
menimpa keluarga miskin yang tidak mampu atau lambat untuk berobat,
kekurangan vitamin A dan Zinc selama ibu mengandung balita, serta menimpa
anak pada usia dua tahun pertama. Angka kematian balita karena gizi buruk
ini terhitung lebih dari sepertiga kasus kematian anak di seluruh dunia (Malik, 2008).
Kekurangan gizi merupakan salah satu penyebab tingginya kematian
pada bayi dan anak. Apabila anak kekurangan gizi dalam hal zat karbohidrat
(zat tenaga) dan protein (zat pembangun) akan berakibat anak menderita
kekurangan gizi yang disebut KEP tingkat ringan dan sedang, apabila hal ini
berlanjut lama maka akan berakibat terganggunya pertumbuhan, terganggunya
perkembangan mental, menyebabkan terganggunya sistem pertahanan tubuh,
hingga menjadikan penderita KEP tingkat berat sehingga sangat mudah
terserang penyakit dan dapat berakibat kematian (Syahmien Moehji, 2005).
Berbagai penelitian membuktikan lebih dari separuh kematian bayi
dan balita disebabkan oleh keadaan gizi yang jelek. Risiko meninggal dari
anak yang bergizi buruk 13 kali lebih besar dibandingkan anak yang normal.
WHO memperkirakan bahwa 54% penyebab kematian bayi dan balita didasari
oleh keadaan gizi anak yang jelek (Irwandy, 2007).
Faktor penyebab langsung terjadinya kekurangan gizi adalah
ketidakseimbangan gizi dalam makanan yang dikonsumsi dan terjangkitnya
penyakit infeksi. Penyebab tidak langsung adalah ketahanan pangan di
keluarga, pola pengasuhan anak dan pelayanan kesehatan. Ketiga faktor
tersebut berkaitan dengan tingkat pendidikan, pengetahuan dan ketrampilan
keluarga serta tingkat pendapatan keluarga (I Dewa Nyoman Supariasa, 2007).
Faktor ibu memegang peranan penting dalam menyediakan dan
menyajikan makanan yang bergizi dalam keluarga, sehingga berpengaruh
terhadap status gizi anak (I Dewa Nyoman Supariasa, 2007).
Prevalensi nasional Gizi Buruk pada Balita adalah 5,4%, dan Gizi
Kurang pada Balita adalah 13,0%. Keduanya menunjukkan bahwa baik target
Rencana Pembangunan Jangka Menengah untuk pencapaian program
perbaikan gizi (20%), maupun target Millenium Development Goals pada
2015 (18,5%) telah tercapai pada 2007. Namun demikian, sebanyak 19
provinsi mempunyai prevalensi Gizi Buruk dan Gizi Kurang diatas prevalensi
nasional, yaitu Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Sumatera Barat,
Riau, Jambi, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat,
Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi
Tengah, Sulawesi Tenggara, .........., Sulawesi Barat, Maluku, Maluku Utara,
Papua Barat dan Papua (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Depkes RI, 2008). Masalah kurang gizi merupakan akibat dari interaksi antara berbagai
faktor, akan tetapi yang paling utama adalah dua faktor yaitu konsumsi pangan
dan infeksi, adanya ketidakseimbangan antara konsumsi zat energi dan zat
protein melalui makanan, baik dari segi kuantitatif dan kualitatif. Dideritanya
panyakit infeksi, yang umumnya infeksi saluran pernafasan dan infeksi
saluran pencernaan, maka keadaan kurang gizi akan bertambah parah. Namun
sebaliknya penyakit-penyakit tersebut dapat bertindak sebagai pemula
terjadinya kurang gizi sebagai akibat menurunnya nafsu makan, adanya
gangguan penyerapan dalam saluran pencernaan serta meningkatnya
kebutuhan gizi akibat adanya penyakit (Syahmien Moehji, 2005).
Selain dari penyebab utama tersebut banyak sekali faktor yang
menyebabkan terjadinya masalah kurang gizi yaitu ketersediaan pangan di
tingkat rumah tangga, pola pengasuhan anak, kondisi lingkungan atau
penyediaan air bersih serta pelayanan kesehatan yang tidak memadai serta
faktor sosial budaya dan ekonomi seperti tingkat pendapatan keluarga, besar
anggota keluarga, pantangan atau tabu dalam hal makanan dan adat kebiasaan
yang merugikan (Syahmien Moehji, 2005).
Di provinsi .......... angka penderita gizi kurang yaitu sebesar 12,75%
dari 336.111 balita yang di ukur menurut dinas kesehatan .......... tahun 2008.
Berdasarkan data yang diperoleh dari survey Pemantauan Status Gizi
(PSG) tahun 2008 bahwa jumlah balita di kabupaten ........ yaitu 11.657 jiwa,
dimana penderita gizi buruk sebanyak 628 (5,4 %) jiwa dan jumlah penderita
gizi kurang sebanyak 2.493 (21,4 %) jiwa.
Data mengenai status gizi balita di Puskesmas ........ Kecamatan ........
tahun 2009 menunjukkan dari sejumlah 823 balita terdapat 426 balita gizi
baik, 136 balita gizi kurang (16,16%) dan 11 balita gizi buruk (1,33%). Dari
data di atas dapat dilihat bahwa masih tingginya jumlah kasus, baik kasus gizi
kurang maupun kasus gizi buruk pada tahun 2009 di wilayah kerja Puskesmas
......... Dari jumlah penderita gizi buruk diatas, dapat dikategorikan masih
tinggi dibanding jumlah standar nasional yang ditetapkan yaitu