KOMUNIKASI POLITIK DALAM SISTEM POLITIK

TUGAS UJIAN AKHIR SEMESTER
MATA KULIAH KOMUNIKASI POLITIK
KOMUNIKASI POLITIK DALAM SISTEM POLITIK

Dosen : Olih Solihin, S.Sos., M.I.Kom.

Oleh :
Anggi Fahmi Maulana
41814004
Ilmu Komunikasi 1

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA
BANDUNG
2016

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Pengantar Mengenai Studi Komunikasi Politik

Ketika bangunan jangkung setinggi 110 lantai Twin Tower World Trade
Center (WTC) di kota Manhattan New York collapse (rontok) akibat
serangan bunuh diri teroris yang menabrakkan pesawat komersial ke
badan bangunan kembar tersebut, opini publik dunia diarahkan kepada
sosok Arab bernama Osama Bin Laden. Bagi publik Amerika Serikat,
khususnya, sosok “menakutkan” ini merupakan otak di balik segala
terror yang melanda publik dan instansi-instansi vital milik Amerika
Serikat pada satu decade terakhir ini.

anggifahmimaulana@gmail.com

2

Akibat peristiwa tanggal 11 September 2001 itu, dengan konstan
dan cepat terbentuk opini bahwa kelompok Islam fundamentalis
merupakan pelakunya di bawah komando Osama ben Laden. Meskipun
Osama sendiri menafikan tuduhan-tuduhan itu. Di Amerika seorang
kakek bersorban dari agama Sikh diserang oleh sekelompok pemuda
yang marah, mengira sang kakek adalah orang Arab Muslim. Di
Australia terjadi penyerangan terhadap mesjid-mesjid dan pelecehan

terhadap penganut Agama Islam. Orang-orang Arab Muslim di Amerika
merasakan ketakutan terror balik dari publik Amerika non Muslim.
Mengapa publik dunia begitu cepat mengarahkan tuduhan kepada
kelompok muslim fundamentalis. Apa yang membentuk opini publik
begitu cepat. Mengapa tiba-tiba di dalam masyarakat rasional dan
liberal seperti Amerika Serikat berubah menjadi masyarakat yang
primordial dan etnosentris. Kita coba menelusuri secara jelas mengenai
terbentuknya opini publik dunia. Siaran TV Cabel CNN, Fox News, dan
di Asia Channel News Asia berkali-kali mengutip pernyataan para
pemimpin AS mulai dari Presiden Bush, Jaksa Agung Ashcroft, pejabat
seperti Collin Powell (mantan Sekretaris Negara), Dick Cheney
(Wapres), dan lain-lain yang berulangkali mengarahkan tuduhannya
kepada Osama, meskipun yang bersangkutan sendiri menafikannya.
Publik Amerika Serikat dalam polling yang diadakan oleh The New York
Times dan CBS News Poll sebanyak 98 persen menjawab “setuju”
untuk aksi militer terhadap negara yang melindungi para pelaku terror
meskipun orang-orang sipil tak berdosa ikut terbunuh. Tergambar jelas
semangat balas dendam yang membara dalam opini publik Amerika.
Sebanyak 85 persen publik AS menyetujui serangan untuk menghabisi
Afganistan yang dianggap melindungi Osama. Meskipun mereka tahu

Afganistan merupakan negara miskin yang sedang terpuruk oleh perang
anggifahmimaulana@gmail.com

3

saudara di dalam negeri mereka yang mengakibatkan ribuan warganya
menjadi pengungsi di merata dunia. Demikian pula kasus yang terjadi
pada invasi AS terhadap Iraq.
Dari gambaran kisah dramatis di atas, secara sederhana kita
dapat menarik analisis bagaimana dahsyatnya efek dari penggunaan
media komunikasi seperti TV, Internet dan Koran dalam pembentukan
opini publik. Kalau opini itu diciptakan dan disebar oleh pejabat politik,
maka terbentuklah semacam sikap politik (opini politik). Kita ketahui,
bagaimana malunya para pejabat AS bila tidak dapat melindungi
masyarakatnya

dari

kejadian


memilukan

itu.

Publik

AS

akan

mempertanyakan kembali seberapa kuatkah sebenarnya militer dan
intelijen AS ?, seberapa canggihkah sistem pertahanan AS untuk
melindungi warganya? Dan pemerintah yang berkuasa, dalam hal ini
Bush, berkepentingan merebut simpati publik bagi kepentingan politik
mereka. (Ingat Bush yang berasal dari Partai Republik hanya menang
tipis atas Al Gore dari Partai Demokrat dalam pemilihan Presiden AS,
itupun masih terjadi perdebatan hukum di tingkat Mahkamah Agung).
Terlalu banyak contoh tentang pembentukan opini publik dan
peranan media massa untuk menjelaskan studi tentang komunikasi
politik ini. Anda dapat merujuknya mulai dari pengamatan sederhana di

lingkungan terdekat Anda, seperti kisah sukses dan kisah ironis di
tengah proses reformasi yang sekarang ini sedang dihadapi oleh
bangsa

kita.

Misalnya

bagaimana

kemampuan

media

massa

mengeksploitasi atau dieksploitasi oleh opini publik untuk mengangkat
atau menjatuhkan seseorang. Kadang-kadang seseorang yang tidak
memiliki opini yang substansial dapat menjadi pemimpin opini, karena
olahan media. Pasca reformasi ini kita dapat menemukan semakin

anggifahmimaulana@gmail.com

4

tersebarnya tokoh-tokoh masyarakat yang muncul baik secara “kagetan”
maupun tidak di tengah-tengah masyarakat. Apabila mereka mampu
menguasai media massa, maka ia dapat memanfaatkan sumber daya
ini untuk memperkuat sumber daya politiknya. Pada akhirnya ia dapat
memimpin opini publik untuk membela kepentingan dirinya.
Terbentuknya opini publik untuk kepentingan politik merupakan
salah satu bidang kajian komunikasi politik. Studi komunikasi politik ini
sebenarnya merupakan bidang studi yang masih sangat baru, meskipun
cikal bakal studi ini sudah dirintis sejak Harold D. Lasswell meneliti
tentang opini publik, propaganda dan komunikasi (1935). Sejak itu
Lasswell

“dinobatkan”

sebagai


perintis

dan

pelopor

penelitian

propaganda dan komunikasi politik. Wilbur Schramm (1980) salah satu
sarjana yang objek studinya pada komunikasi menganggap Lasswell
sebagai Bapak Ilmu Komunikasi.
Di Eropa, meskipun studi komunikasi politik telah dirintis sejak
tahun 1922 ketika sarjana sosiologi terkenal Ferdinand Tonnies
menerbitkan hasil penelitiannya tentang sifat opini publik pada
masyarakat massa, atau bahkan pada akhir abad ke-19 ketika Bagehot,
Maine, David Bryce dan Graham Wallace di Inggris menelaah peranan
pers dalam pembentukan opini publik, namun studi komunikasi politik
sebagai disiplin yang berdiri sendiri baru hadir pada tahun 1960-an.
Sebagai


sebuah

disiplin

baru,

studi

komunikasi

politik

telah

memanfaatkan sumbangan dari berbagai disiplin ilmu lain. Sifat
multidisipliner dari studi ini ditegaskan oleh Dan Nimmo (1981) bahwa
“political communication as a field of inquiry is cross disciplinary”.
Misalnya: Antropologi dan Sosiologi yang mempelajari sosiolinguistik
dan simbolisme berjasa bagi studi bahasa politik.


Psikologi dan

anggifahmimaulana@gmail.com

5

Psikologi Sosial memberikan kontribusi bagi landasan studi efek pesan
politik, konstruk politik, dan sosialisasi politik. Retorika menyediakan
metode historis, kritis, dan kuantitatif untuk menganalisis retorika politik.
Ilmu politik sendiri menyediakan landasan bagi studi perilaku pemilih
(voting behavior) dan pemimpin politik.

Sibernetika menyediakan

pendekatan system untuk memandang komunikasi politik secara
holistic.

Serta filsafat eksistensialisme dan fenomenologi melahirkan

teori kritis dalam komunikasi politik. Oleh karena sifatnya yang

multidisipliner,

disamping

memperkaya

bidang

kajiannya,

studi

komunikasi politik seringkali juga menjadi terlalu luas. Misalnya mulai
dari pengkajian komunikasi politik melalui media massa seperti yang
dilakukan oleh Davis & Kraus yang menerbitkan “The Effects of Mass
Communications

Political

Behavior”


(1976),

simbolisme

politik

(perlambang) yang dirintis oleh Harold Lasswell (1935), politikolinguistik
oleh Fishmen, 1970, Franck dan Weisband, 1972, sampai pada
hubungan komunikasi dengan system politik oleh Chaffee 1975, dan
Davis & Kraus 1976.
Fagen mendefinisikan komunikasi politik sebagai “communicatory
activity considered political by virtue of its consequences, actual and
potential, that it has for the functioning of political systems” ( aktifitas
komunikasi yang bersifat politis yang akibat-akibatnya, baik nyata
maupun terpendam, dapat menjadikan sistem politik berjalan secara
fungsional). ( R. Fagen; Politics and Communication, Little Brown,
Boston, 1966, hal. 20).
berkomunikasi

yang

Komunikasi politik merupakan kegiatan

dianggap

politis

berdasarkan

atas

segala

konsekuensinya baik yang nyata maupun terpendam, sehingga ia
berpengaruh terhadap jalannya sistem politik. Jelas definisi ini masih
terlalu luas (all encompassing). R.B. Meadow dalam tulisannya “Politics
anggifahmimaulana@gmail.com

6

as Communication” mendefinisikan bahwa “political communication
refers to any exchange of symbols or messages that to a significant
extent have been shaped by or have consequences for the political
system” (komunikasi politik merujuk kepada berbagai pertukaran simbolsimbol atau pesan-pesan sehingga sampai pada taraf tertentu telah
diberi bentuk oleh, atau memiliki akibat bagi, sistem politik).
Nimmo

sendiri

“communication

mendefinisikan
(activity)

komunikasi

considered

political

politik
by

virtue

Dan

sebagai
of

its

consequences (actual or potential) which regulate human conduct under
the condition of conflict” (aktifitas komunikasi yang bersifat politis
dengan segala konsekuensinya – baik nyata atau terpendam – yang
mengatur perilaku manusia di bawah syarat konflik).
Memang sulit kita menemukan sebuah definisi yang disepakati
ramai ahli, sehingga setelah mempelajari materi ini anda dapat
merumuskan sendiri definisi tentang komunikasi politik. Tetapi Nimmo
telah menggunakan taksonomi Lasswell untuk membuka wacana
tentang komunikasi politik, yaitu Who says what with what channel to
whom with what effect. Who says adalah para komunikator; aktifis
politik, pemerintah atau pengamat. What adalah pesan-pesan atau
simbol politik; permainan bahasa atau eufemisme untuk mempengaruhi
dan meyakinkan publik melalui propaganda, iklan, dan retorika. What
channel adalah dengan saluran atau media apa; interpersonal,
organisasional, maupun massal.To whom adalah khalayak atau publik.
What effect adalah kesan dan akibat dari proses komunikasi politik;
terprovokasi, bertindak politik, mendukung, dan lain sebagainya.

anggifahmimaulana@gmail.com

7

1.2. Makna Komunikasi Politik dalam Sistem Politik
Istilah komunikasi politik masih relatif baru dalam ilmu politik. Istilah
tersebut mulai banyak disebut-sebut semenjak terbitnya tulisan Gabriel
Almond (1960:3-64) dalam bukunya berjudul The Politics of the
Development Areas, dia membahas komunikasi politik secara rinci.
Sebelum tahun 1960, ilmu politik tidak mengenal istilah komunikasi
politik. Hal ini bukan berarti tidak ada studi yang dilakukan oleh para ahli
sosial (ahli politik, ahli komunikasi, sosiolog, ataupun psikolog) terhadap
masalah yang menjadi objek studi dari komunikasi politik. Studi
komunikasi politik mencakup dua disiplin dalam ilmu-ilmu sosial: ilmu
politik dan ilmu komunikasi (Sumarno, 1989:30). Hal ini dapat dijadikan
suatu kajian oleh ahli komunikasi seperti halnya ahli politik. Buku-buku
teks tentang komunikasi politik lebih banyak ditulis oleh ahli komunikasi
daripada ahli politik. Hal ini menandakan ilmu komunikasi lebih erat
berhubungan dengan komunikasi politik, daripada ilmu politik. Kegiatan
yang mempelajari materi komunikasi politik telah ada semenjak lama,
walaupun tidak di bawah bendera komunikasi politik. Studi tentang
tingkah laku pemilih, propaganda dan perang urat syaraf, serta
perubahan attitude dalam proses komunikasi telah diadakan semenjak
lama (Sumarno, 1989:143-188). Semua studi ini telah meletakkan dasar
yang kokoh bagi pengembangan studi komunikasi politik pada masa
setelah 1960.
Menurut Almond (1960:12-17), komunikasi politik adalah salah
satu fungsi yang selalu ada dalam setiap sistem politik sehingga terbuka
kemungkinan bagi para ahli politik untuk memperbandingkan berbagai
sistem politik dengan latar belakang budaya yang berbeda. Dengan
demikian, menurut Almond, komunikasi politik merupakan salah satu
anggifahmimaulana@gmail.com

8

dari tujuh fungsi yang dijalankan oleh setiap sistem politik. Almond
(1960: 45) menulis: All of the functions performed in the political system,
political socialization and recruitment, interest articulation, interest
aggregation, rule making, rule application, and rule adjudication,are
performed by means of communication (Semua fungsi-fungsi dalam
system politik, apakah itu sosialisasi dan rekrutmen politik, artikulasi
kepentingan, agregasi kepentingan, pembuatan aturan, penerapan
aturan, dan penghakiman aturan, semuanya ditunjukkan melalui sarana
komunikasi).
Di segi ini, keberadaan politikus tidak bisa dalam pembicaraan
komunikasi politik. Sebab, politikus itu peran dan fungsinya menjadi
salah satu elemen komunikasi politik. Baik sebagai komunikator politik,
atau sebaliknya menerima pesan-pesan politik yang disampaikan rakyat
kepada politikus. Misalnya di saat pemerintah menaikkan harga BBM
pada 1 Oktober 2005 lalu, banyak unjuk rasa atau demonstrasi yang
ditujukan kepada lembaga legislatif/DPR.
politikus yang duduk sebagai legislatif.

Di situ berkumpul para

Rakyat telah memilih anda,

sehingga anda dapat duduk menjadi seorang anggota legislative yang
mereka

harapkan

satu

saat Anda

(para

anggota

DPR)

mau

memperhatikan nasib mereka. Ini merupakan sebuah contoh betapa
kentalnya komunikasi politik dengan kehidupan politik.

Ulasan

mengenai komunikator politik, pesan-pesan politik dan komponen
komunikasi politik lainnya, akan kita bahas dalam uraian tersendiri.
1.3. Pandangan Ahli Politik
Pendapat para ahli politik agak berbeda dengan pandangan para ahli
komunikasi dalam melihat dan memahami komunikasi politik. Apabila
anggifahmimaulana@gmail.com

9

ahli komunikasi lebih banyak membahas peranan media massa dalam
komunikasi

politik

(dengan

sedikit

perhatian

pada

komunikasi

antarpribadi), para ahli politik mengartikan komunikasi politik sebagai
proses komunikasi yang melibatkan pesan-pesan politik dan aktor-aktor
politik dalam setiap kegiatan kemasyarakatan. Ahli komunikasi menilai
saluran komunikasi dalam bentuk media massa merupakan saluran
komunikasi politik yang sangat urgen. Sebaliknya ahli politik menilai
saluran media massa dan saluran tatap muka memainkan peranan yang
sama pentingnya.
Arti

penting

sumbangan

pemikiran

Almond

terletak

pada

pandangannya bahwa semua sistem politik yang pernah ada di dunia
ini, yang ada sekarang, dan yang akan ada nanti mempunyai
persamaan-persamaan yang mendasar, yaitu adanya kesamaan fungsi
yang dijalankan oleh semua sistem politik.

Hal ini membantah

pandangan yang dianut semenjak lama bahwa sistem politik yang satu
sangat berbeda dari sistem politik lainnya karena adanya perbedaan
budaya, pengalaman, lingkungan, watak, dan lain sebagainya.
Pandangan Almond menyadarkan para pembaca, perbedaanperbedaan yang terlihat di antara sistem-sistem politik hanya bersifat
superficial (tampak permukaannya saja) dan tidak bersifat mendasar.
Menurut Almond, kita tidak boleh tertipu oleh struktur politik yang
nampak berbeda, karena fungsi-fungsi yang dijalankan oleh struktur
politik dalam setiap sistem politik adalah sama. Tingkah laku para
pemilih dalam pemilihan umum sudah lama menjadi perhatian para ahli
politik.

Yang

menjadi

pertanyaan

terpenting

para

ahli

politik,

sehubungan dengan studi voting behavior: “Apa alasan-alasan seorang
pemilih untuk memilih partai politik tertentu dalam suatu pemilihan
anggifahmimaulana@gmail.com

10

umum? Dan apa alasan seorang pemilih untuk mengubah pilihannya
dengan memilih partai politik lain?”. Bukankah dua pertanyaan tersebut,
selalu jadi pembicaraan audiens dimanapun berada. Tidak hanya
politikus, juga abang beca, di kedai kopi asik membahas teori
komunikasi politik dalam aplikasi politik ketika Pemilu atau Pilkada
sedang berlangsung. Dengan demikian, hampir semua kita tidak bisa
lepas dari kajian dan praktik komunikasi politik.
Berdasarkan penjelasan di atas, kendati studi komunikasi politik
merupakan konsumsi insan kampus (materi kuliah mahasiswa), tapi
dalam praktiknya, komuniaksi politik sangat kental dalam kehidupan
sehari-hari. Sebab, dalam aktivitas sehari-hari, tidak satu pun manusia
tidak berkomunikasi, dan kadang-kadang sudah terjebak dalam analisis
dan kajian komunikasi politik

anggifahmimaulana@gmail.com

11

BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Komunikasi Politik Dalam Pers Indonesia
Pers Indonesia memiliki latar belakang sejarah yang erat berhubungan
dengan pergerakan nasional untuk memperjuangkan kemerdekaan
nasional, dan dengan itu perjuangan untuk memperbaiki kehidupan
rakyatnya. Meski posisi dan peranan pers mengalami pergeseran
sesuai dengan perkembangan sejarah negara dan sistem politiknya,
namun pers Indonesia memiliki karakter yang konstan, yakni komitmen
sosial-politik yang kuat. Media massa umumnya tunduk pada sistem
pers yang berlaku di mana sistem itu hidup, sementara sistem pers itu
sendiri tunduk pada sistem politik yang ada. Dengan kata lain, sistem
pers merupakan subsistem dari sistem politik yang ada. Maka dalam
setiap liputan pemberitaan dengan sendirinya akan memperhatikan
keterikatan tersebut.
Indonesia saat ini resminya menganut sistem pers yang bebas dan
bertanggungjawab. Konsep ini mengacu ke teori "pers tanggungjawab
sosial." Asumsi utama teori ini adalah bahwa kebebasan mengandung
di dalamnya suatu tanggung jawab yang sepadan. Maka pers harus
bertanggungjawab pada masyarakat dalam menjalankan fungsi-fungsi
penting komunikasi massa dalam masyarakat modern. Ini menimbulkan
kesulitan tersendiri bagi pers yang kritis dan mencoba menjalankan
kontrol sosial. Ada rambu-rambu yang tidak tertulis, yang tidak bisa
dilanggar. Misalnya: sulit dibayangkan pers Indonesia secara lugas dan

anggifahmimaulana@gmail.com

12

terbuka bisa memuat isu tuduhan korupsi/kolusi/monopoli terhadap
Presiden atau keluarganya. Padahal di negara demokratis, pemberitaan
kritis adalah biasa saja dan jabatan Presiden bukan jabatan suci yang
tak bisa disentuh. Namun kalau toh rambu-rambu itu bisa diterima,
bahkan batas-batas rambu itu sendiri tidak pernah jelas, bisa mulurmungkret tergantung selera penguasa. Di era regim Orde Baru ini,
ketika suatu penerbitan dianggap pemberitaannya "bertentangan
dengan pembangunan", menghadapi risiko dibreidel.
Pencabutan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP), yang
berkali-kali dilakukan regim Orde Baru, hakekatnya adalah sama
dengan pembreidelan, karena itu dilakukan atas alasan isi pemberitaan.
Padahal UU Pokok Pers tegas mengatakan tidak ada pembreidelan.
SIUPP seharusnya hanya berkaitan dengan faktor ekonomis/usaha,
bukan isi berita. Di Indonesia, kalau kita bicara tentang "kebebasan
pers," maka kita kenal sebutan "Pers Pancasila." Di sini akan terlihat,
bagaimana Pancasila "diobral" dan dijadikan dalih untuk melegitimasi
berbagai tindakan dan praktek pembatasan kebebasan pers. Sidang
Pleno XXV Dewan Pers (Desember 1984) merumuskan Pers Pancasila
sebagai berikut: "Pers Indonesia adalah Pers Pancasila dalam arti pers
yang orientasi, sikap dan tingkah lakunya berdasarkan pada nilai-nilai
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945." Hakekat Pers Pancasila
adalah pers yang sehat, yakni pers yang bebas dan bertanggungjawab
dalam menjalankan fungsinya sebagai penyebar informasi yang benar
dan objektif, penyalur aspirasi rakyat dan kontrol sosial yang konstruktif.
Terkait buku Sistem Pers Indonesia (Atmadi:1985), disebutkan, akar dari
sistem kebebasan pers Indonesia adalah landasan idiil, ialah Pancasila,
dengan landasan konstitusional, UUD 1945. Kemudian disebutkan, pers
adalah salah satu media pendukung keberhasilan pembangunan.
anggifahmimaulana@gmail.com

13

Bentuk dan isi pers Indonesia perlu mencerminkan bentuk dan isi
pembangunan.
kepentingan

Kepentingan

pembangunan

pers

nasional

nasional.

Inilah

perlu

mencerminkan

yang

disebut

"pers

pembangunan," model yang juga banyak diterapkan di negara sedang
berkembang lainnya.
Meski sepintas kedengarannya juga masih bagus, implikasinya
adalah: karena pembangunan dianggap sudah merupakan program
regim Orde Baru, maka pers harus mendukung pemerintah Orde Baru.
Pers sangat tidak diharapkan memuat pemberitaan yang isinya bisa
ditafsirkan tidak sejalan atau bertentangan dengan posisi pemerintah.
Lalu siapa yang berhak menafsirkan bahwa isi pemberitaan pers itu
bertentangan atau tidak bertentangan dengan pembangunan? Dalam
prakteknya, itu ditentukan oleh pemerintah sendiri. Dan karena
pemerintah sangat dominan dalam berbagai aspek kehidupan sosialpolitik, ini sangat membuka peluang bagi penyelewengan dan
pembatasan kebebasan pers. Pemerintah (Deppen) bertindak sebagai
jaksa, hakim dan sekaligus algojo, dalam membungkam pers yang
dianggap "melanggar batas."
2.2. Manfaat Komunikasi Politik
Mengenai apa arti dan manfaatnya komunikasi politik dalam tatanan
kehidupan politik sehari-hari maka seharusnya masyarakat sudah
menangkap dengan jelas keberadaan model-model komunikasi yang
ditimbulkan dalam perpolitikan, peran komunikasi memegang peran
penting dalam mengupayakan kepekaaan setiap kejadian politik yang
berlangsung dewasa ini. Setelah kita memahami apakah komunikasi
dan dan definisi politik maka kita secara tidak langsung akan memahami
anggifahmimaulana@gmail.com

14

pola hubungan komunikasi yang terjadi didalamnya. Secara umum juga
dijelaskan bagaimana komunikasi politik muncul sebagai suatu bidang
studi yang mencoba untuk berdiri sendiri.
Dalam memahami mata kuliah ini diperkenalkan juga berbagai
pendekatan teoritik maupun metodologis yang mampu menjelaskan
komunikasi politik sebagai suatu suatu disiplin ilmu. Secara operasional
komunikasi politik ini juga memberikan contoh-contoh konkrit dalam
interaksi komunikasi maupun politik, baik dalam lingkup nasional,
regional maupun internasional. Oleh karena itu pembahasan juga akan
menyentuh
internasional,

disiplin

lain

hubungan

secara

terbatas,

internasional,

seperti

maupun

komunikasi

dalam

lingkup

international political communication.
Dalam substansi operasionalnya akan dibahas mengenai batasan
komunikasi politik, baik dalam arti sempit maupun dalam arti luas.
Kemudian akan dibahas juga secara mendalam komunikasi persuasive
dalam komunikasi politik seperti bahasa politik, retorik politik, iklan
politik propaganda dan debat politik, sampai kepada sosialisasi politik,
kampanye politik, pendapat umum dan lainnya kesemuanya dikaitkan
dengan peran komunikasi sebagai komponen yang dominan. Ketika kita
berbicara masalah komunikasi politik maka kita mau tidak mau akan
berbicara masalah komunikasi dan politik, dan akan berbicara masalah
komponen dan segala sesuatunya yang terdapat didalamnya. Mata
rantai disiplin ilmu kemudian akan nampak bahwa komunikasi politik
juga berhubungan dengan masalah sosial, budaya, agama dan lain
sebagainya. Sehingga jelas bahwa disini komunikasi politik memberikan
peluang untuk para praktisi mempelajarinya guna memperkaya
khasanah keilmuan dan mempertajam daya analisis.
anggifahmimaulana@gmail.com

15

DAFTAR PUSTAKA

Almond, Gabriel A, and Powell, G Bingham,. 1972. Comparative Politics: A
Developmental Approach. New York: Amerind Publishing. Co. Pvt. Ltd.
Anwar Arifin, Prof.Dr. 2003. Komunikasi Politik: Paradigma, Teori, Aplikasi,
Strategi dan Komunikasi Politik Indonesia. Jakarta: PT. Balai Pustaka.
Nimmo, Dan. 1999. Komunikasi Politik: Komuniktor, Pesan, dan Media.
Bandung: Penerbit PT. Remaja Rosdakarya.
Nimmo, Dan. 2000. Komunikasi Politik: Khalayak dan Efek. Bandung:
Penerbit PT. Remaja Rosdakarya.

anggifahmimaulana@gmail.com

16