PERAN UNI EROPA DALAM TATA KELOLA KESEHA

Naomi Resti Anditya
14/364286/SP/26076
HI UGM

PERAN UNI EROPA DALAM TATA KELOLA KESEHATAN GLOBAL:
BANTUAN UNI EROPA UNTUK WABAH EBOLA DI AFRIKA BARAT
Pendahuluan
Pada awal Agustus tahun 2014, dunia digemparkan dengan pernyataan resmi dari World
Health Organization (WHO) bahwa virus Ebola mewabah dan Afrika Barat, yaitu di Sierra
Leone, Liberia, dan Guinea setelah sebelumnya pada bulan April, virus ini telah mulai meluas.
Wabah ini telah mencapai 28.000 kasus dan membunuh 11.000 jiwa per tanggal 17 Februari
2016. Pengamat tata kelola kesehatan dunia, atau biasa disebut Global Health Governance
(GHG) melihat bahwa wabah ini merupakan pertanda adanya krisis dalam GHG. Virus Ebola
sebenarnya dapat ditangani dan dibatasi penyebarannya apabila ada penanganan yang cepat dan
tepat. Akan tetapi kasus ini memberikan sinyal adanya ketimpangan global dalam sumber daya
kesehatan, baik di aspek manusia-nya maupun di aspek finansial.
Sebagai bagian dari ‘pemimpin dunia’ dalam bidang kesehatan serta partisipan yang
cukup memimpin dalam GHG, Uni Eropa merespon wabah ini dengan memberikan bantuan
hingga mencapai 2 triliun dolar AS dan berbagai bantuan lain untuk kebutuhan riset. Situasi ini
tidak hanya mengundang Uni Eropa untuk memprioritaskan kesehatan publik tetapi juga
memberikan sinyal bahwa Uni Eropa juga perlu melindungi warganya dari terjangkit virus ini.

Sebelum wabahc Ebola di Afrika Barat, Uni Eropa merupakan organisasi regional yang
mencurahkan banyak perhatian bagi GHG dalam berbagai cara, baik dalam skema internalnya
maupun sebagai bagian dari pendukung dan donor WHO. Keyakinan mereka bahwa kesehatan
merupakan hak yang harus diciptakan dan dibuka bagi seluruh manusia membawa mereka
kepada kepedulian terhadap disparitas global dalam sumber daya kesehatan. Tulisan ini akan
bertanya bagaimana peran Uni Eropa dan GHG ditinjau dari pengalaman wabah Ebola di Afrika
Barat, serta bagaimana normative power Uni Eropa dapat tersampaikan melalui perannya dalam
GHG ini. Untuk menjawab pertanyaan itu, tulisan ini akan menggunakan perspektif kewargaan
untuk melihat hak dari pemikir Yahudi dan penyintas Holocaust, Hannah Arendt, sebagai

jembatan bagi sebuah ide mengenai hak atas kesehatan (rights to health) dan kaitannya dengan
inklusi politik yang dipromosikan oleh Uni Eropa dalam GHG dan secara spesifik dalam kasus
Ebola di Afrika Barat. Tulisan ini berargumen bahwa upaya bantuan dan inisiatif Uni Eropa
dalam GHG serta dalam wabah Ebola adalah respon dari panggilan tanggung jawab dunia untuk
mempromosikan inklusivitas dalam hak-hak atas kesehatan.
Landasan Konseptual: Konsep Hak Manusia oleh Hannah Arendt
Sebagai penyintas dari tragedy Holocaust, Arendt merefleksikan pengalaman horornya
dengan kaitannya terhadap asumsi orang-orang mengenai hak asasi (natural rights). Menurutnya,
tidak ada sesuatu yang disebut ‘hak dasar’ atau ‘hak asasi’ karena hak sendiri tidak ada tanpa
kepemilikan dalam sebuah komunitas politik. Kutipannya yang terkenal mengatakan demikian:

“the world found nothing sacred in the abstract nakedness of being human”. Maka
membicarakan persoalan hak adalah membicarakan persoalan kewargaan, atau dalam kata lain,
keanggotaan dalam sebuah komunitas politik [ CITATION Han58 \l 1033 ]. Hak pertama-tama
tidak datang saat manusia lahir, tetapi saat ia diakui sebagai bagian dari komunitas politik
melalui inklusi. Hak bukan hanya klaim moral, tetapi juga klaim keanggotaan. Karena mereka
yang tidak berdaya dan tereksklusi dari sebuah komunitas politik tidak dapat mengemansipasi
dirinya sendiri, maka menurut Arendt, sentralitas/pusat hak berada di tangan komunitas politik
yang dapat menjamin ‘hak untuk mendapat hak’ (the right to have rights).
Klaim moral bagi keanggotaan seseorang-lah yang menjadi fokus Arendt ketika ia
berbicara mengenai wajah dari hak. Sebagai hasil dari sebuah proses politik dalam sebuah
komunitas yang sangat kontekstual dan terus ‘menjadi’, hak manusia memiliki wajah yang
secara kultur sangat spesifik. Pada saat yang bersamaan juga universal karena martabat manusia
harus terus ditegakkan dan hal ini hanya dapat dijamin apabila ada partisipasi dalam komunitas
politik [ CITATION Hanrk \l 1033 ]. Melalui pemikiran Arendt mengenai hak (nantinya akan
berkaitkelindan dengan kewargaan atau citizenship), maka ada beberapa hal yang perlu dipahami
dalam kasus GHG dan wabah Ebola: 1) Hak atas kesehatan bukanlah fitur manusia yang ada
ketika manusia terlahir, 2) Untuk mengklaim hak tersebut, maka manusia harus menjadi anggota
dari sebuah komunitas politik, di mana ‘yang politik’ itu sendiri tidak pernah deterministik—
selalu dalam proses menjadi, 3) Emansipasi hak atas kesehatan ini harus dilakukan oleh
komunitas politik yang dapat menjamin ‘hak untuk mendapat hak’, dan 4) Hak, meskipun


berwajah kultural, juga memiliki wajah universal, artinya ia dapat ditegakkan ketika ada
partisipasi dalam berbagai komunitas politik. Keempat poin ini mendasari argumen hak atas
kesehatan harus terus dibentuk dan dikampanyekan dengan membuka kanal inklusivitas dalam
berbagai komunitas politik—memberikan panggilan global untuk terus melakukan berbagai aksi
politis agar seluruh manusia mendapatkan hak atas kesehatan, terutama dalam kasus Ebola ini
adalah seluruh penduduk di Afrika Barat maupun penduduk di negara-negara miskin yang tidak
memiliki cukup sumber daya kesehatan.
Wabah Ebola sebagai krisis dalam Global Health Governance
Wabah Ebola merupakan krisis kesehatan. Ketakutan akan wabah ini menyebar ke
berbagai dunia, tidak hanya di Afrika Barat. Ada ketakutan akan destabilisasi ekonomi di Afrika
Barat yang disebabkan wabah ini, juga menyebarnya perasaan tidak aman bagi seluruh orang.
Akan tetapi, wabah Ebola pada tahun 2014 bukan hanya krisis kesehatan, tetapi juga krisis
institusi kesehatan yang telah banyak dipelajari dalam literatur GHG, juga rujukan sentralnya
kepada WHO. Dalam hal ini, Sophie Harman memberikan penjelasan mengapa krisis Ebola juga
merupakan krisis dalam GHG. Sebelumnya, perlu dijelaskan bahwa asumsi yang berkembang
mengenai meluasnya virus Ebola ini karena sistem kesehatan dan sistem pendidikan yang buruk
di negara-negara terjangkit di Afrika Barat. Sumber daya kesehatan di Afrika Barat tidak
memenuhi standar minimum kesehatan, baik dalam sumber daya manusia maupun finansial.
Disebutkan pula problem struktural mengenai jurang kepercayaan antara publik dan pemerintah,

karena pemerintah tidak menginvestasikan anggarannya untuk infrastruktur-infrastruktur
kesehatan. Pada intinya, komunitas kesehatan lokal-lah yang menanggung beban kesalahan.
Harman mengkritik argumen tersebut karena ia memberi kesan bahwa kesalahan hanya ada pada
pemerintah dan aktor-aktor kesehatan lokal. Kenyataannya, ketiga negara yang paling terjangkit
di Afrika Barat merupakan penerima bantuan kesehatan dan berada di bawah norma dan institusi
dalam GHG. Negara-negara tersebut menerima bantuan dana yang digunakan untuk mencapai
MDG (Millenium Development Goals), dan mereka fokus pada 3 poin MDGs: poin 4) untuk
mengurangi kematian anak, 5) untuk menghindari kematian ibu, dan 6) untuk menangani
HIV/AIDS, Malaria, TBC, dan penyakit lain. Hal ini berarti krisis Ebola bukan hanya
permasalahn pemerintah lokal, tetapi juga masalah antarpemerintah dan institusi-institusi
kesehatan lain dalam GHG.

Harman menyebut bahwa GHG terlambat merespon virus Ebola yang mewabah karena
beberapa hal, yaitu defisit kepemimpinan, kebingungan, dan adanya kompetisi antarinstitusi.
Seharusnya WHO menjadi pusat dari GHG, namun karena berbagai tantangan internal dan defisit
kepemimpinan dari WHO, ia menjadi tidak dinamis untuk beradaptasi dalam GHG, sehingga
banyak institusi di luar WHO yang muncul dan mengintervensi ‘bisnis’ dalam GHG di luar
norma yang ditetapkan oleh WHO, misalnya Joint United Nations Programme on HIV/AIDS
(UNAIDS); the Global Fund to Fight AIDS, Tuberculosis and Malaria; and GAVI, World Bank,
the United Nations Children’s Fund (UNICEF), bahkan NGO seperti Bill and Melinda Gates

Foundation, juga donor-donor bilateral dan aktor swasta seperti perusahaan farmasi—semuanya
berkompetisi. Di dalam kompetisi ini, Harman berargumen bahwa tidak ada kolaborasi yang
baik, sehingga respon dari apa yang disebut ‘GHG’ datang sangat terlambat ketika Ebola telah
mewabah dan meluas [ CITATION Har14 \l 1033 ].
Charles Clift juga membincangkan mengenai masalah struktural yang terjadi antara
kantor pusat WHO dengan kantor perwakilan regional di Afrika. Desentralisasi ini seakan
menghambat penanganan Ebola dengan cepat, bahkan Clift menyayangkan bahwa keduanya
tidak dapat menyelesaikan jurang ini dengan baik [ CITATION Glo16 \l 1033 ]. Namun isu
mengenai sentralisasi/desentralisasi masih dalam perdebatan. Mackey, di sisi lain, juga
mengatakan bahwa bantuan dana dari WHO kurang fleksibel untuk kasus-kasus darurat
(emergency) sehingga diperlukan sebuah upaya mereformasi alokasi bujet WHO; tidak hanya
untuk kasus darurat tetapi juga untuk meningkatkan kepatuhan (compliance) terhadap IHR
(International Health Regulation). Argumen lain datang dari João Nunes yang mengatakan
bahwa GHG memproduksi kelalaian (neglect), yang datang dari sebuah prioritisasi isu yang
melibatkan emosi. Menurutnya, wabah Ebola digelapkan oleh media dan politik yang melihat hal
ini sebagai ‘masalah Afrika’, sehingga hasilnya adalah respon jangka-pendek dalam pengelolaan
krisis dan mengurangi solusi struktural jangka panjang [ CITATION Nun16 \l 1033 ]. Tradisi
keilmuan Hubungan Internasional juga mencari relevansinya dalam fenomena ini dengan
merujuk pada teori Barry Buzan mengenai sekuritisasi, secara spesifik sekuritisasi kesehatan.
Negara-negara Barat merespon krisis Ebola, meski terlambat, atas dasar logika keamanan,

sehingga mereka mengeluarkan banyak tenaga dan sumber daya untuk farmasi, dalam keadaan di
mana farmasi mungkin tidak dapat tersedia saat itu pula [ CITATION Roe16 \l 1033 ].

Ada berbagai argumen yang ditawarkan akademisi dari berbagai tradisi untuk melihat
masalah masalah wabah Ebola bukan hanya masalah penyakit tetapi juga masalah dalam institusi
kesehatan global dan tata kelolanya. Meskipun GHG dalam kasus ini dipertanyakan
globalitasnya, namun apa yang penting dari ide mengenai ‘krisis GHG’ adalah bahwa klaim
normatif mengenai inklusivitas komunitas dan akses kesehatan sudah ada. Dalam rangka
menciptakan suatu inklusi politik ini, GHG terus berproses dengan memuat kontestasi wacana, di
mana setiap entitas, baik institusi maupun norma yang ada di dalamnya membawa logika mereka
masing-masing untuk menciptakan komunitas kesehatan global yang tegas. Maka kemudian di
titik ini kita dapat berangkat untuk mengulas komitmen Uni Eropa, sebagai salah satu institusi
regional yang penting dalam GHG.
Komitmen Uni Eropa dalam GHG
Uni Eropa dapat dikatakan merupakan institusi regional yang paling kuat di dunia saat
ini, terlepas dari ketegangan internal dan wacana mengenai defisit demokrasi di dalam badannya
sendiri. Melalui soft power diplomacy, Uni Eropa konsisten dalam menyebarkan nilai-nilai yang
diyakininya, yaitu demokrasi, HAM, kebebasan, rule of law, dan perdagangan bebas. Komitmen
khususnya bagi HAM sendiri merupakan sesuatu yang patut diapresiasi. Pada tahun 2010, Uni
Eropa menyumbang 65% bagian dari ODA. Sampai tahun 2015, Uni Eropa merupakan donor

terbesar di dunia, dengan dana bantuan yang ia keluarkan sebesar 15.56 triliun dolar yang ia
berikan ke berbagai bagian dunia, tentu saja dengan bagian yang berbeda-beda. Menurut EU Aid
Explorer, terdapat 10 sektor yang menjadi fokus tujua bantuan Uni Eropa. Bantuan Uni Eropa
bagi kesehatan global sendiri tersebar di beberapa sektor, seperti humanitarian aid, government
and civil society, banking and financial services, education, dan others [ CITATION Eur17 \l
1033 ]. Tidak ada sektor khusus bagi kesehatan global dalam skema bantuan Uni Eropa, Komisi
Eropa memasukkan aspek kesehatan dalam berbagai sektornya, karena mereka meyakini bahwa
kesehatan global dalam skema bantuan seharusnya interdependen satu sektor dengan sektor yang
lainnya [ CITATION Glo17 \l 1033 ]. Biasanya dalam skema bantuan EU, ada 28 institusi; 27
dari negara anggota dan 1 dari institusi Uni Eropa sendiri.
Laman daring WHO menyertakan kolaborasi dari kedua institusi ini untuk kesehatan
global sebagai berikut [ CITATION Wor171 \l 1033 ]:

Kerja sama Komisi Eropa dan WHO merupakan salah satu dari skema partisipasi Uni
eropa dalam GHG, di mana Komisi Eropa mengakui WHO sebagai institusi yang memimpin
dalam GHG. Selain bersama WHO, Uni Eropa juga secara inisiatif memiliki program kesehatan
global secara independen maupun multilateral.

Multilateral
Global Health Security

Initiative (2001)

Global Partnership for
Effective Development
Cooperation (GPEDC)

As a member of the Global
Health
Security
Initiative
(GHSI),
the
European
Commission has been working
closely with the WHO and the
"G7+" states (USA, Canada,
UK, France, Germany, Italy,
Japan and Mexico) in an effort
to create an effective and wellorganised global strategy for
preparedness and responses to

the potential health threats.
GPEDC is a unique global
multi-stakeholder forum, which
brings together all actors
relevant
for
development
cooperation,
including
traditional donors, developing
countries, emerging economies,
civil society, local government,

Health Security Community

Independent/E
U internal +
representatives
of other
institutions


5 Meetings of the Global
Health Forum (2014)

European Civil Protection
and Humanitarian Aid
Protections (ECHO)

philanthropic foundations and
the private sector. GPEDC
works to make progress on the
commitments made in Busan as
part of a shift from aid
effectiveness to wider effective
development cooperation.
The Health Security Committee
supports the Member States in
their efforts to prepare for
health crises, to tackle health
crises efficiently and to

mitigate the impacts of health
crisis on citizen and society. It
ensures the coordination of
response to public health crises
at EU level. Its role is: 1. to
ensure
that
effective
preparedness mechanisms are
in place 2. to coordinate
public health risk assessment
and management of serious
cross‐border health threats in
the EU, in particular in crisis
situation.
The main objective of the
Global Health Policy Forum is
to ensure an open dialogue
between
the
Commission
Services and key stakeholders.
This should help to strengthen
the EU's voice in global health
by ensuring coherence between
its internal and external health
policies in attaining global
health goals.
The European Commission
aims to save and preserve life,
prevent and alleviate human
suffering and safeguard the
integrity and dignity of
populations affected by natural
disasters and man-made crises.
EU assistance, amounting to
one of the world's largest,
is enshrined in the Treaty of
Lisbon and supported by EU
citizens an as expression of
European solidarity with any
person or people in need.

Tabel 1. Inisiatif Uni Eropa dalam berbagai kerangka institusi kesehatan global

Pada 15 Oktober 2009, Komisi Eropa mengadakan sebuah nobel forum seminar yang
mendiskusikan perihal Uni Eropa sebagai aktor kesehatan global. Dalam issue paper yang ditulis
oleh Komisi Eropa, institusi ini menyatakan demikian:
“The EU needs to act in coordination with the rest of the world in order to generate
greater coherence and impact on a global scale. EU Member States are gradually
recognising the need for a strategic course, policy coherence and common values on
global health. A stronger EU commitment would guarantee multifaceted support for
multilateral organisations and for countries receiving development assistance. The
European Commission has a key role to play in this process.” (European
Commission Issues Paper: The EU Role in Global Health)

Dalam pernyataan tersebut, komisi Eropa menekankan bahwa ada kesadaran yang meningkat di
antara negara-negara anggota untuk berkontribusi dalam kesehatan global, baik melalui Komisi
Eropa maupun secara independen.
Selain daripada itu, dalam pertemuan ini, ada beberapa hal yang menjadi kunci dari
keinginan Komisi Eropa dalam partisipasinya sebagai aktor kesehatan global (dalam GHG), dan
hal ini penting untuk melihat wacana yang terbentuk. 1) UE percaya dengan adanya global
public goods yang harus terus dijaga, 2) Menjamin global public goods berarti harus
memperkuat solidaritas internasional antarinstitusi, mengurangi kompetisi, 3) juga menyadari
bahwa ia harus bekerja sama dengan civil society 4) UE sangat menekankan dan fokus pada
sistem kesehatan secara mendasar, spesifiknya pada MDG 8, dan terakhir 5) Evaluasi dalam
sistem pasar yang menghambat kinerja kesehatan global [ CITATION Kar09 \l 1033 ].
Melalui poin-poin ini, dapat dilihat bahwa Uni Eropa sangat menekankan dan meyakini
bahwa untuk mewujudkan kesehatan global yang baik, artinya harus disadari perlunya
inklusivitas kesehatan, yaitu akses kepada global public goods tersebut. Masalahnya, tidak ada
yang namanya global public goods secara natural. Manusia tidak lahir dengan akses tak terbatas
pada kesehatan. Global public goods tidak ada karena selalu ada eksklusi, baik eksklusi hukum,
eksklusi politik, maupun eksklusi pasar dalam sebuah komunitas politik. Global public goods
harus disediakan secara sengaja dan Uni Eropa menyadari bahwa hanya merekalah yang
memiliki hak atas kesehatan ini yang dapat memberdayakan orang-orang yang ter-eksklusi dalam
komunitas politik. Dalam hal ini, Uni Eropa berkomitmen membuka kanal-kanal inklusivitas

dengan mekanisme yang dekat dengan liberalisme atau mekanisme pasar. Tentu ada limit dalam
proses ini, tetapi kita akan fokus pada nilai-nilai yang mereka bawa.
Bantuan UE dalam Ebola
Komitmen Uni Eropa untuk ber-partisipasi secara serius dalam GHG telah dibuktikan
melalui beberapa aksinya bersama dalam skema multilateral maupun independen. Dalam dua
tahun belakangan, Komisi Eropa dan negara anggota fokus membantu penanganan wabah Ebola
di Afrika Barat. Uni Eropa memberikan bantuan dalam dua skema: yaitu melalui skema WHO,
dan secara independen sebagai institusi regional yang juga berkontestasi di dalam GHG. Harus
diakui bahwa seperti institusi dalam GHG lainnya, Uni Eropa terlambat untuk merespon
penyebaran virus Ebola di Afrika Selatan. Kemungkinan juga karena ada masalah internal dan
ketidaksiapan ketika menghadapi kondisi darurat seperti ini, kemungkinan juga karena Uni
Eropa mencurahkan perhatian dan bantuannya untuk menangani bidang kesehatan lain selain
Ebola. Meskipun demikian, Uni Eropa tetap membantu dan peduli mengenai persoalan ini.
Pada skema bersama-sama dengan WHO, Uni Eropa dalam satu institusi di bawah ECHO
bukanlah donor terbanyak. Ia menyumbang sebanyak tiga kali dalam 2 tahun dengan total dana
9.500.182 dolar AS. Penyumbang terbesarnya sendiri dari merespon Ebola melalui skema WHO
ada World Bank, African Development Bank, Bill and Melinda Gates Foundation, USAID,
UNDP, Kementerian Luar Negeri Jepang, dsb. Memang cukup disayangkan bahwa nama Uni
Eropa ternyata tidak memberikan dana bantuan terbanyak, akan tetapi negara-negara anggotanya
sendiri memberikan kontribusi yang besar, seperti NORAD (Norwegia), DFIF (Inggris), dan GIZ
(Jerman), juga negara-negara di Uni Eropa yang lebih kecil dari ketiga kekuatan tersebut
[ CITATION Wor16 \l 1033 ]. Negara-negara anggota tersebut telah memberikan dana bantuan
secara independen maupun dalam skema Uni Eropa. Sampai sekarang, Eropa (bukan Uni Eropa)
masih menjadi kontinen yang paling sigap dan ‘dermawan’ dalam memberikan bantuan.
Secara independen sebagai satu kesatuan unit, Uni Eropa telah telah merespon kasus
Ebola dengan memberikan dana bantuan sebesar 2 triliun dolar AS secara total bagi Afrika Barat.
Dana ini diberikan secara konsekutif. Uni Eropa dengan sigap pada saat itu membuat pertemuan
European Council di Brussel dan sepakat membuat Ebola Task Force, dalam kerangka
Emergency Response Coordination Centre (ERCC) di bawah ECHO. Sejak Maret 2014, progress
terus ada dalam bantuan-bantuan Uni Eropa. Evaluasi pada saat itu datang dari MEP tiap negara,

yang mengatakan bahwa Uni Eropa saat itu secara sistemik memiliki halangan untuk bisa cepat
tanggap menangani kasus ini, karena kurangnya koordinasi yang baik dan efektif. Banyak pihak
yang juga menekankan kebutuhan akan pendekatan yang komprehensif dalam membantu
penanganan Ebola [ CITATION ECP14 \l 1033 ].
Dana bantuan tersebut, seperti komunitas internasional lain, digunakan untuk membiayai
persediaan medis, laboratorium, serta ahli epidemiologi. Dengan special, Uni Eropa juga
memperhatian hak kesehatan bagi para pekerja kesehatan di sana dengan menyediakan evakuasi
medis bagi pekerja di sana. Uni Eropa menyadari bahwa ini adalah alarm bagi GHG untuk lebih
reponsif dalam keadaan darurat. Atas dasari evaluasi dari hal ini, Uni Eropa menetapkan
pembentukan European Medical Corps (EMC) atas dasar usulan dari Jerman dan Inggris. EMC
dibentuk untuk khusus meningkatkan kapasitas Uni Eropa dalam menanggapi pandemi di
berbagai daerah. Badan ini spesial karena tidak dimiliki oleh institusi lain. Uni Eropa memiliki
kapasitas untuk secara bersama-sama dapat menyediakan tenaga-tenaga dan fasilitas terbaik
dalam EMC [ CITATION The164 \l 1033 ].
Selain EMC, Uni Eropa juga secara inisiatif membentuk apa yang disebut European
Mobile Laboratories (EMlabs) yang dikerahkan di daerah-daerah yang terjangkit dan mungkin
terjangkit oleh wabah ini. Ia mengerahkan EMlabs di tiap negara di Afrika Barat tetapi juga
secara terpusat di Afrika Barat secara keseluruhan. Uni Eropa menggelontorkan dana sebanyak
3.35 juta euro untuk mengoperasikan EMlabs. Skema yang lain adalah skema kerja sama dengan
Uni Afrika dan mendukung semua misi dan cara yang dilakukan Uni Afrika untuk menghadapi
Ebola, dengan menyumbangkan 5 juta euro kepada Uni Afrika.
Melalui pemaparan tersebut, maka dapat diketahui bahwa Uni Eropa merupakan salah
satu donor terbesar bagi krisis Ebola, baik secara kesatuan maupun secara Eropa (negara-negara
anggotanya). Komitmen Uni Eropa bagi rights to health membawanya turut mengevaluasi kerja
terlambat GHG dalam menangani pandemic dan menginsipirasi Uni Eropa untuk membentuk
berbagai badan yang khusus meningkatkan kapasitas Uni Eropa untuk merespon pandemi di
berbagai daerah, sehingga tidak lebih banyak nyawa yang melayang karena GHG tidak responsif
dalam memberikan bantuan dan monitoring. Adaptivitas dan sikap yang responsive terhadap
pandemi merupakan hal yang sangat penting untuk menjamin bahwa semua orang juga memiliki
hak atas kehidupan, untuk selamat dari kematian yang harusnya dapat terhindarkan, dan Uni
Eropa terpanggil untuk menjadi bagian dari ‘penyelamat’ tersebut. Ada batasan, tentu. Biasanya

skema Uni Eropa merupakan skema yang didasari atas berbagi asumsi liberal mengenai
spillover, terpusat pada bantuan, dan secara jangka panjang juga bergantung pada mekanisme
pasar.
Kesimpulan
Wabah Ebola merupakan suatu trauma tersendiri, baik baik Afrika Barat maupun bagi
Global Health Governance secara keseluruhan juga bagi Uni Eropa, karena wabah ini bukan saja
berarti krisis kesehatan, tetapi juga krisis dalam institusi kesehatan global dalam menanggapi dan
merespon pandemi. Kesadaran ini menunjukkan bahwa di era ini, krisis kesehatan di suatu
negara bukan hanya disebabkan oleh gagalnya tata kelola kesehatan yang berlaku secara lokal
tetapi juga secara global, karena ini adalah era interdependensi. Afrika Barat yang berada di
bawah skema WHO, mematuhi MDG, juga terkena dampak dari tidak responsifnya GHG.
Komunitas internasional meyakini bahwa ada jurang struktural bagi negara-negara miskin untuk
bisa mendapatkan akses dan rights to health, sehingga mereka gencar memberikan bantuan
sebagai tanggung jawab struktural tersebut; tanggung jawab untuk menciptakan inklusivitas
dalam akses kesehatan bagi siapa saja.
Peran Uni Eropa dalam GHG cukup besar, ditunjukkan dengan keterlibatannya dengan
berbagai forum kesehatan global, baik secara multilateral, maupun secara inisiatif di internal EU.
Wacana yang berkembang dalam komitmen EU merupakan wacana bahwa global public goods
tidak ada secara alami, tetapi harus diciptakan. Untuk mengadakan global public goods, Uni
Eropa memanggil dan sangat menekankan solidaritas internasional, karena sesuai yang dikatakan
oleh Arendt, hanya mereka yang diberdayakan dalam komunitas politik-lah yang dapat
mematahkan eksklusi manusia dari komunitas politik, baik eksklusi hukum, eksklusi politik,
maupun eksklusi pasar.
Uni Eropa merespon Ebola juga sama terlambatnya dengan yang lain, tetapi meskipun
demikian, ia memberikan bantuan besar dalam 3 skema: melalui WHO, secara independen
sebagai kesatuan Uni Eropa, dan dalam kerja sama multilateral dengan berbagai institusi
internasional lain. Kedua skema ini juga mengerahkan dana yang sangat besar. Dalam
evaluasinya, Uni Eropa juga akhirnya mendirikan 2 badan penting yang sengaja dibentuk untuk
meningkatkan kapasitas Uni Eropa dalam merespon pandemi, yaitu EMC dan EMlabs. Uni
Eropa cukup trauma karena ketidaksiapan dan sikap tidak responsive GHG telah menghilangkan

nyawa yang sangat banyak. Badan-badan cepat tanggap pandemi ini diupayakan oleh EU agar
semakin terbukanya akses kesehatan atau rights to health dalam keadaan darurat, sehingga tidak
ada lagi nyawa yang melayang sia-sia karena bobroknya institusi kesehatan.
Daftar Pustaka
Arendt, H. (1958). The Human Condition. Chicago: The University of Chicago Press.
Arendt, H. (New York). The Origins of Totalitarianism. 1951: Harcourt, Brace & Co.
ECPDM. (2014, October 24). A Step in the Right Direction for the EU’s Fight Against Ebola. Retrieved
June 8, 2017, from ECPDM: http://ecdpm.org/talking-points/step-right-direction-eu-fight-ebola/
European Commission. (2017, June 7). EU Aid Explorer. Retrieved June 7, 2017, from European
Commission: https://euaidexplorer.ec.europa.eu/
Global Health Europe. (n.d.). The EU Role in Global Health: Answers from Global Health Europe.
Retrieved June 7, 2017, from Global Health Europe:
http://www.globalhealtheurope.org/index.php/publications/ghe-position-statements/247-the-eurole-in-global-health-answers-from-global-health-europe
Global Health Governance. (2016, April 25). Ebola: Implications For Global Health Governance.
Retrieved June 6, 2017, from Global Health Governance:
https://blogs.shu.edu/ghg/2016/04/25/ebola-implications-for-global-health-governance/
Harman, S. (2014, October 20). Ebola and the Politics of a Global Health Crisis. Retrieved June 6, 2017,
from E-IR: http://www.e-ir.info/2014/10/20/ebola-and-the-politics-of-a-global-health-crisis/
Karolinska Institute and Global Helath Europe. (2009). NOBEL FORUM SEMINAR: The European
Union as a Global Health Actor. Stockholm: Karolinska Institutet Research Network for Public.
Nunes, J. (2016). Ebola and the production of neglect in global health. Third World Quarterly, 37(3), 542–
556.
Roemer-Mahlera, A., & Rushtonb, S. (2016). Introduction: Ebola and International Relations. Third
World Quarterly, 37(2), 373–379.
The Parliament. (2016, Maret 21). EU has learned the lessons from the Ebola crisis. Retrieved June 8,
2017, from The Parliament: https://www.theparliamentmagazine.eu/articles/opinion/eu-haslearned-lessons-ebola-crisis
World Health Organization. (2016, April). West Africa Ebola outbreak: Funding. Retrieved June 8, 2017,
from World Health Organization: http://www.who.int/csr/disease/ebola/funding-requirements/en/
World Health Organization. (n.d.). Partnerships, interagency coordination and resource mobilization:
European Union. Retrieved June 6, 2017, from World Health Organization:
http://www.searo.who.int/entity/partnerships/topics/intergovernmental_european_union/en/