SENYAWA BERACUN DALAM BAHAN BAHAN PANGAN

BAB X
SENYAWA BERACUN DALAM BAHAN BAHAN PANGAN

A. Senyawa Beracun Alamiah
Sejumlah jenis bahan makanan sudah mengandung bahan beracun secara
alamiah sejak asalnya. Racun ini berupa ikatan organik yang disintesa (hasil
metabolisme) bahan makanan, baik makanan nabati maupun bahan makanan
hewani, seperti jenis ikan tertentu, kerang-kerangan dan sebagainya.
Biasanya masyarakat setempat telah mengetahui dari pengalaman, bahwa
jenis-jenis makanan tersebut mengandung bahan beracun, tetapi mereka tokh
mengkonsumsinya karena berbagai sebab. Ada yang karena terpaksa tak ada
bahan makanan lain lagi karean daerahnya dan juga masyarakatnya sangat miskin.
Tetapi ada juga karena bahan makanan yang beracun tersebut merupakan makana
yang sangat disenangi dan erupakan suatu kelesatan tersendiri, kalau mengetahui
cara mengolah dan memasaknya sebelum dikonsumsi. Tambahan pula keracunan
tidak selalu timbul, hanya kadang-kadang saja, sehingga tidak dirasakan sebagai
suatu bahaya yang terlalu besar.
Singkong (Manihot utilissima) merupakan bahan makanan pokok di daerahdaerah tertentu yang tanahnya kurang subur dan kurang air serta masyarakat
miskin. Kandungan sianida dalam singkong sangat bervariasi. Kadar sianida ratarata dalm singkong manis dibawah 50 mg/kg berat asal, sedangkan singkong pahit
diatas 50 mg/kg. Menuut FAO, singkong dengan kadar 50 mg/kg masih aman
untuk dikonsumsi manusia. Bahan makanan ini suatu ikatan organic yang dapat

menghasilkan racun biru (HCN) yang sangat toksik: bahkan dahulu dipergunakan
untuk melaksanakan hukuman mati kepada terhukum. Rakyat di daerah khusus
tersebut mempergunakan singkong sebagai bahan pokok ini sebagai pengganti
beras dan jagung, karena tanah yang tadinya subur telah kehilangan kesuburannya
dan menjadi gersang kekurangan air, sedangkan rakyatnya sangat miskin. Juga
beberapa jenis kacang koro (Macuna spp) dikonsumsi di daerah-daerah tertentu
pada masa paceklik, padahal jenis kacang tersebut juga mengandung bahan
beracun yang menghasilkan HCN. Tergantung jumlahnya hidrogen sianida dapat

176

menyebabkan sakit sampai kematian (dosis yang mematikan 0,5-3,5 mg HCN/kg
berat badan).
Jengkol (Pithecolobium lobatum) juga telah diketahui oleh masyarakat yang
mengkonsumsinya, dapat menimbulkan penyakit jengkolan; tambahan pula jenis
sayur buah ini baunya tidak sedap bagi sebagian besar anggota masyarakat.
Namun bagi sebagian masyarakat yang menyukainya, sebaliknya jengkol ini
merupakan makanan khusus yang baunya sangat disukai, sehingga jengkol yang
mengandung asam jengkol yang menimbulkan gejala-gejala keracunan jengkol ini
dipandang sebagai suatu makanan khusus dan menjadi suatu kelesatan tersendiri.

Urine mereka yang mengkonsumsi jengkol inipun mempunyai bau yang khas
jengkol ini.
Tempe Bongkrek yang dikonsumsi oleh sebagian besar masyarakat di
daerah Banyumas. Setiap tahun masih terus jatuh korban kematian karena
keracunan setelah mengkonsumsi tempe bongkrek ini, tetapi masyarakat masih
tetap menyukai dan mengkonsumsinya.
Komprey (symphytum sp) pernah sangat populer di Indonesia sebagai obat
kanker, baik dalam bentuk kapsul, pil, atau teh. Komprey juga merupakan satusatunya tanaman yang telah diketahui mengandung vitamin B12 (6,3 mg/g).
Sebaliknya komprey setelah diteliti ternyata mengandung dua jenis alkaloid
pirolizidina yang dikenal sebagai simfitin dan ekidimin. Konsentrasi ekidimin
bisanya hanya sepertiga konsentrasi simfitin yang disuntikkan intapertonal
sebanyak 13 mg/kg berat badan pada tikus-tikus percobaan (20 ekor) ternyata
menyebabkan 40% dari tikus-tikus percobaan tersebut setelah 650 hari menderita
tumor hati (Winarno, 1982).
Bermacam–macam senyawa beracun yang sering kali terdapat dalam
bahan nabati dapat dilihat pada tabel berikut ini.

177

Table 9.6. Batas Maksimum Penggunaan Pemutih dan Pematang Tepung (Flour

Treatment Agent)
Nama Toksin
Proteasa
Inhibitor

Senyawa kimia
Protein
BM: 4.000-24.000

Hemaglutinin

Protein
BM: 10.000-124000

Saponin

Glikosida

Glikosinolat


Tioglikosida

Sianogen

Glukosida
sianogenetik

Pigmen
gosipol

Gosipol

Latirogen

ß-aminopropio-nitril
dan turunannya asam
ß-N-Oksalil-L-α, ßdiamino
Protein (?)

Alergen

Sikasin
Favison

Fitoaleksin

Pirolizidin
alkaloid
Safrol

Metilazoksimetanol
Vasin dan
konvisin
(pirimidin-ßglukosida)
Furan sederhana
(ipomeamarone)
Benzofuran
(prosalin)
Asetilenat furans
(wyrone)
Isoflavonoid

(pisatin dan
faseolin)
dihipropiroles
Allyl-sibtutited

Sumber
Kacang-kacangan,
kacang polong,
kentang, ubi jalar,
biji-bijian
Kacang-kacangan,
kacang polong,

Kedelai, bit, kacang
tanah, bayam,
asparagus
Kol dan sejenisnya,
lobak, mustard
Kacang-kacangan,
kacang polong, rami,

buah-bauhan berbiji
keras, singkong,
linseed
Biji kapas
Vetch, chickpea
Chikpea
Semua bahan
pangan
Biji-bijian dari
genus Cycas
Kacang-kacang fava
beans
Ubi jalar
Seledri, parsnips

Gejala Keracunan
Pertumbuhan dan
penggunaan makanan
kurang baik, pembesaran
kelenjar pankreas

Pertumbuhan dan
penggunaan
makanan kurang
baik, penggupalan
butir darah merah
(invitro)
Hemolisis butir darah
merah
Hipotiroid dan
pembengkakan kelenjar
tiroid
Keracunan HCN

Kerusakan hati,
pendarahan,
pembengkakan.
Osteolatirisme (susunan
kerangka tak sempurna)
Neurolatirisme
Alergi

Kanker hati dan organ
lain.
Anemia hemolitik yang
akut
Merangsang syaraf pusat,
kelumpuhan organ
pernapasan
Pulmonary edema,
kerusakan hati dan
ginjal
Sensivitas kulit terhdap
sinar matahari

Broad beans
Peas, french beans

Cell lysis in vitro

Families compositae
and borag inaccae;

herbal teas
Sassafras, lada hitam

Kerusakan hati dan paru –
paru, karsinogen
Karsinogen

178

α- Amantin

benzene
Bicyclic octapeptides

Amanita phalloid,
jamur

Salvia, muntahmuntah, konvulsi,
meninggal
Glikogen deplesi


Theistle
(Atractylis
gummifera)
Pikirizida ** (?)
Biji bengkuang
*fennema (1997) ** Poerwosoedarmo dan sediaoetama (1977) dalam Winarno (2002)
Atraktilosida

Glikosida steroid

Kandungan racun dalam bahan makanan biasanya rendah sehingga bila
dikonsumsi dalam jumlah normal oleh orang yang kesehatannya normal tidak
banyak membahayakan tubuh. Penganekaragamanan makanan dalam menu sangat
penting ditinjau dari kemungkinan zat racun tersebut mencapai jumlah ynag
membahayakan.
Pengolahan ternyata dapat mengurangi atau bahkan menghilangkan
kandungan racun dalam bahan pangan. Seperti misalnya singkong, kulitnya
dikupas dulu sebelum diolah, singkongnya dikeringkan, direndam sebelum
dimasak, dan difermentasi selama beberapa hari. Dengan perlakuan tersebut
linamarin banyak yang rusak dan hidrogen sianidanya ikut terbuang keluar
sehingga tinggal sekitar 10-40 mg/kg. Disamping itu hidrogen sianida akan
mudah hilang oleh penggodokan, asal tidak ditutup rapat. Dengan pemanasan,
enzim yang bertanggung jawab terhadap pemecahan linamarin menjadi inaktif
sehingga hidrogen sianida tidak dapat terbentuk. Glikosidanya sendiri pada
umumnya bukan merupakan racun. Walaupun demikian, masih terdapat banyak
kontradiksi terhadap akibat konsumsi glikosida yang belum terurai, karena
ternyata bakteri–bakteri yang ada pada saluran pencernaan bagian bawah dapat
memecah glikosida tersebut menjadi hidrogen sianida.
Mimosin, banyak terdapat di dalam biji lamtoro atau petai cina (Leucae
naglauca), bersifat sangat mudah larut dalam air. Cara menghilangkan atau
menurunkan senyawa beracun tersebut dilakukan dengan merendam biji lamtoro
dengan air pada suhu 70oC (24 jam) atau pada 100oC selam 4 menit. Dengan cara
tersebut kandungan mimosin dapat diturunkan dari 4,5% menjadi 0,2% atau
penurunan sebanyak 95% (Costillo, 1962 dalam Winarno, 2002). Demikian juga
dengan proses pembuatan tempe kadar mimosin dapat banyak dikurangi,
kandungan mimosin dalam biji lamtoro gung 63 mg/kg dan dalam tempe lamtoro
tinggal 0,001 mg/kg (Dewi Slamet, 1982 dalam Winarno, 2002). Bila bereaksi

179

dengan logam, misalnya besi, mimosin akan membentuk senyawa kompleks yang
berwarna merah.

Gambar 10.1 Struktur asam jengkolat
Biji kapas mengandung 0,4-1,7% pigmen gosipol dan pigmen lain yang
serupa. Senyawa gosipol ini reaktif dan menyebabkan gejala-gejala keracunan
pada hewan peliharaan maupun hewan percobaan. Adanya gosipol dalam biji
kapas akan menurunkan nilai nutrisi tepung biji kapas yang merupakan sumber
protein nabati.

Gambar 10.2. Gosipol
B. Senyawa Racun dari Mikroba
Sebelum membahas senyawa racun dari mikroba, perlu terlebih dahulu
dipahami dua istilah yang mirip pengertiannya, yaitu infeksi dan keracunan.
Infeksi adalah suatu istilah yang digunakan bila seseorang setelah mengkonsumsi
makanan atau minuman yang mengandung bakteri patogen mendapat gejalagejala

penyakit.

Keracunan

yang

disebut

juga

intoksikasi

disebabkan

mengkonsumsi makanan yang telah mengandung senyawa beracun yang
diproduksi oleh mikroba, baik bakteri maupun kapang.
Beberapa senyawa racun yang dapat menyebabkan intoksikasi adalah
bakteri clostridium botulinum, Staphylococcus aureus, dan Pseudomonas
cocovenenans sedang dari kapang, biasanya disebut mikotoksin yaitu Aspergillus
flavus, Penicillium sp, dan lain sebagainya.

180

Pencemaran makanan dapat pula terjadi dengan mikroba atau jasad renik
yang kemudian menghasilkan racun dan ikut tertelan bersama makanan tersebut;
dapat menyebabkan keracunan makanan (Food intoxication) .
Jenis coccus sering mencemari makanan kue basah, yang tidak disimpan
cukup hygenik dan telah aak lama disimpan di udara terbuka sebelumm
dikonsumsi. Jenis coccus yang pathogen dapat tumbuh subur dan menghasilkan
exotoxin maupun endotoxin; bahan toksik ini kemudian ikut termakan. Exotoxin
ialah racun yang dihasilkan kemudian dikeluarkan dari sel mikroba, sedangkan
endotoxin tetap di dalam sel mikroba, tetapi setelah mikroba mati dan
dihancurkan di dalam saluran pencernaan, endotoxin tersebut keluar sari sel dan
menyebabkan keracunan. Di sini yang menyebabkan penyakit bukan mikrobanya
secara infeksi, tetapi bahan beracunnya yang telah dihasilkan oleh mikroba
tersebut, tidak peduli mikrobanya masih hidup atau tidak.
1. Clostridium botulinum
Senyawa beracun yang diproduksi clostridium botulinum disebut botulinin
dan keracunan yang ditimbulkan akibat mengkonsumsi makanan yang
mengandung botulinin disebut botulisme. Botulinin merupakan neurotoksin yang
sangat berbahaya bagi manusia dan sering kali akut damn menyebabkan kematian.
Gejala-gejala botulisme timbul dalam waktu 12 hingga 36 jam. Dimulai
dengan gangguan pencernaan yang akut, mual, muntah-muntah, serta pusing.
Kemudian diikuti dengan terjadinya pandangan ganda, setiap benda terlihat
menjadi dua, sulit menelan dan berbicara, kemudian diikuti klumpuhan saluran
pernapasan dan jantung dan kematian terjadi karena kesulitn bernapas. Korban
dapat meninggal dalam waktu tiga sampai enam hari.
Botulinin merupakan sebuah molekul protein dengan daya keracunan yang
sangat kuat; satu mikrogram saja sudah cukup membunuh seorang manusia.
Untungnya karena merupakan protein, botulinin bersifat termolabil dan dapat
diinaktifkan dengan pemanasan pada suhu 80oC selam 30 menit.
Botulinin dapat diproduksi oleh beberapa jenis clostridium botulinum yaitu
tipe A,B C, D, E, F, dan G. Tipe yang paling berhaya adalah tipe A dan B,
sedangkan tipe E dan F dalam derajat yang lebih lemah juga tetap berbahaya bagi
manusia. Garam dengan konsentrasi 8% atau lebih serta pH 4,5 atau kurang dapat

181

menghambat pertumbuhan C, botulinum sehingga produksi botulinin dapat
dicegah.
2. Pseudomonas cocovenenans
Senyawa beracun yang dapat diproduksi oleh Pseudomonas cocovenenans
adalah toksoflavin dan asam bongkrek. Kedua senyawa beracun tersebut
diproduksi dalam jenis makanan yang disebut tempe bongkrek, suatu tempe yang
dibuat dengan bahan utama ampas kelapa. Pada umumnya tempe bongkrek yang
jadi atau berhasil dengan baik (kompak dan berwarna putih) hanya ditumbuhi
kapang tempe rhizopus oligosporus, tetapi tempe yang gagal dan rapuh disamping
R. Oligosporus biasanya juga tumbuh sejenis bakteri yang diebut Pseudomonas
cocovenenans, bakteri yang sebenarnya tidak dikehendaki ada dalam tempe
bongkrek. Bakteri inilah yang menyebabkan terbentuknya toksin dalam tempe
bongkrek.
Toksoflavin (C7H7N5O2) merupakan pigmen berwarna kuning, bersifat
flouresens, dan stabil terhadap oksidator. LD50 toksoflavin adalah 1,7 mg per kg
berat badan.

Gambar 10.3. Asam bongkrek
Asam bongkrek (C28H38O7) merupakan asam trikarboksilat tidak jenuh.
Dosis fatal untuk monyet 1,5 mg per kg berat badan, sedangkan untuk tikus 1,41
kg per berat badan. Asam bongkrek bersifat sangat fatal dan biasanya merupakan
penyebab kematian. Hal ini disebabkan toksin tersebut dapat mengganggu
metabolisme glikogen dengan memobilisasi glikogen dari hati sehingga terjadi
hiperglikimia

yang

kemudian

berubah

menjadi

hipoglikimia.

Penderita

hipoglikimia biasanya meninggal empat hari setelah mengkonsumsi tempe

182

bongkrek yang beracun. Tempe bongkrek banyak dikonsumsi di daerah Banyumas
dan Tegal di Jawa Tengah.

Pertumbuhan Pseudomonas cocovenenans

dilaboratorium dapat dicegah bila pH subtrat diturunkan dibawah 5,5 atau dengan
penambahan garam NaCl pada subtrat pada konsentrasi 2,75-3,0%.
3. Staphylococcus aureus
Senyawa beracun yang diproduksi Staphylococcus aureus disebut
enterotoksin dan dapat berbentuk dalam makanan karena pertumbuhan bakteri
tersebut. Disebut enterotoksin karena menyebakan gastro enteritis. Enterotoksin
sangat stabil terhadap panas, dan paling tahan panas ialah enterotoksin tipe B.
Pemanasan yang dilakukan oleh proses pemasakan normal tidak akan mampu
menginaktifkan toksin tersebut dan tetap dapat menyebabkan keracunan.
Sumber penularan Staphylococcus aureus adalah manusia atau hewan
melalui hidung, tenggorokan, kulit, dan luka yang bernanah. Gejala keracunan
yang terjadi adalah banyak mengeluarkan ludah, mual, muntah, kejang perut,
diare, sakit kepala, berkeringat dingin yang terjadi hanya satu dan dua hari.
Sesudah itu, penderita akan sembuh. Biasanya jarang terjadi kematian.
C. Mikotoksin
Mikotoksin sebagai metabolit sekunder dari kapang (fungi) merupakan
senyawa toksik yang dapat mengganggu kesehatan manusia dan hewan berupa
mikotoksikosis dengan berbagai bentuk perubahan klinis dan patologis yang
ditandai dengan gejala muntah, sakit perut, pru-paru bengkak, kejang, koma, dan
pada kasus yang jarang terjadi dapat menyebabkan kematian. Namun, perlu
dijelaskan bahwa tidak semua kapang memproduksi toksin, bahkan beberapa
diantaranya berguna bagi proses pengolahan makanan seperti tempe, tauco, kecap,
dan keju. Hingga saat ini telah dikenal 300 jenis mikotoksin, lima jenis
diantaranya sering ditemukan dalam bebijian yaitu aflatoksin, vomitoksin,
okratoksin A, fumonisin dan zearalenon.

183

Tabel 10.1. Mikotoksin dalam Beberapa Komoditas dan Efeknya
Mikotoksin
Aflatoksin B1, B2,
G1 G2

Komoditas
Jagung, kacang
tanah dan
komoditas lainnya

Sumber Kapang
A. flavus

Deoksinivalenol
(DON)

Gandum,
jagung dan
barley

F. graminearium
F. croowellense
F. Culmorum

Fumosin B1

Jagung,

F. moniliforme

Okratoksin A

Barley, gandum,
dan komoditasnya

A.

Zaralenon

Jagung, gadum

F. graminearium
F. croowellense
F. Culmorum

Ochraceus,
penicillium,
verrucosum

Efek Kesehatan
Aflatoksin B1 oleh IARC
diidentifikasikan sebagai
karsinogen potensial bagi
manusia. Mempunyai efek
terhadap kesehatan pada
bebbagai hewankhususnya
ayam.
Toksisitas pada manusia terjadi
di India, Cina, Jepang, dan
Korea. Toksik pada hewan
terutama babi.
IARC menduga karsinogen pada
manusia. Toksik terhadap babi
dan unggas. Penyebab ELEM
(Euguine
Leucoencephalomalacia),
penyakit fatal pada kuda.
IARC menduga sebagai
karsinogen pda manusia.
Karsinogen pada uji
laboratorium hewan dan babi.
IARC mengindentifikasi sebagai
karsinogen potensial pada
manusia. Mempengaruhi sistem
reproduksi pada babi betina.

1. Aflatoksin
Aflatoksin adalah senyawa beracun yang diproduksi oleh Aspergillus
flavus, atau oleh jenis Asprgillus lain misalnya A. Parasiticus, aflatoksin dapat
digolongkan menjadi aflaktoksi B (flouresencens biru) dan aflatoksin G
(flouresencens hijau) serta turunan-turunannya. Jenis-jenis aflatoksin yang telah
dikenal dan berhasil diisolasi adalah aflatoksin B1, B2, G1, G2, M1, M2, GM1,
B2a, Ro, B3, 1-OCH3B2, dan 1-CH3G2.
Aflatoksin B2 dan G2 adalah aflatoksin B1 dan G1 yang telah mengalami
dehidrasi, sedangkan aflatoksin M1 dan M2 merupakan derivat hidroklisasi dari
aflatoksin B1 dan B2. Dari berbagai jenis aflatoksin tersebut, aflatoksin B1
merupakan jenis yang paling beracun terhadap beberapa jenis ternak terutama
kalkun dan bersifat karsinogenik pada hati.

184

Gambar 10.4. Aflatoksin
Batas maksimum kandungan aflatoksin yang diperbolehkan dalam bahan
makanan di Amerika Serikat adalah 20 ppb, sedang di Australia 15 ppb untuk
kacang tanah dan 5 ppb untuk bahan bukan kacang tanah. Untuk menangani
masalh KKP di daerah miskin, FAO/WHO mengijinkan sampai batas maksimum
bagi makanan yang diberiakn sebagai bahan makanan campuran (BMC). Hal ini
mungkin memberi peluang agar sumber protein lokal dapat digunakan lebih
banyak. Dilaporkan bahwa hasil ternak seperti susu segar, telur dan daging di
Pulau Jawa telah tercemar oleh aflatoksin M1 dan B1 seperti disajikan pada
Tabel 10.2.
Tabel 10.2. Cemaran Aflatoksin pada Produk hasil peternakan di Pulau Jawa
Bahan pangan
Susu, Boyolali (25)*
Susu, Bogor (12)
Telur itik, Blitar (10)
Hati ayam broiler, Jabar (31)
Telur ayam ras, Bandung (20)
Daging ayam broiler (31)
Daging sapi, Jabar (30)
Hati sapi, Jabar (20)
Susu sapi, Jabar (37)
*total Sampel

Aflatoksin
M1
M1
B1
M1
M1
M1
B1
B1
M1

Kadar rata – rata
1,69
0,04-0,17
0,37
12,07
0,123
7,36
0,456-1,139
0,33-1,44
0,13

2. Deoksinivalenol (DON)
Deoksinivalenol (DON, vomitoksin) adalah mikotoksin jenis trikotesena
tipe B yang paling polar dan stabil yang diproduksi oleh kapang (fusarium

185

graminerium (Gibberella zeae) dan F. Culmorum): stabil secara termal karena itu
sangat sulit untuk menghilangkannya dari komoditas pangan. Keberadaan DON
kadangkala disertai pula oleh mikotoksin lain yang dihasilkan oleh Fusarium
seperti zearalenon, nivalenon (dan trikotesena lain) dan juga fumonisin. DON
antara lain dapat menyebabkan terjadinya mikotoksikosis pada hewan.
DON banyak terdapat pada tanaman biji-bijian seperi gandum, barley, oat,
gandum hitam, tepung jagung, sorgum, tritikalus, dan beras. Pembentukan DON
pada tanaman pertanian tergantungpada iklim dan sangat bervariasi antara daerah
dengan geografis tertentu. Karena senyawa ini stabil, DON dapat pula ditemukan
pada produk sereal seperti sereal untuk sarapan, roti, mie instan, makanan bayi,
malt dan bir.

Gambar 10.5. Deaoksinivalenol
Toksisitas akut DON diperlihatkan pada babi dengan gejala keracunan
seperti muntah-muntah, tidak mau makan, penurunan berat badan dan diare.
Menurut IARC tahun1993, DON tidak diklasifikasikan bersifat karsinogen pada
manusia. DON tidak mutagen pada bakteri, namun pada studi in vivo dan in vitro
ditemukan adanya penyimpangan pada kromosom yang mengindikasikan DON
genotoksik.
3. Fumonisin
Fumonisin termasuk kelompok toksin fusarium yang dihasilkan oleh
kapang Fusarium sp., terutam F.moniliforme dan F.proliferatum. Kapang lain
yang juga mampu memproduksi fumonisin, yaitu F. Nygamai, F. Anthiphilum,
F.diamini dan F.napiforme.
F.moniliforme tumbuh pada suhu optimal antara 22,5-27,50 oC dengan
suhu maksimum 32-370oC. Kapang fusarium ini tumbuh dan tersebar diberbagai

186

negara di dunia, terutama negara beriklim tropis dan subtropis. Komoditas
pertanian yang sering dicemari kapang ini adalah jagung, gandum, sorgum, dan
berbagai produk pertanian lainnya.
Hingga saat ini telah diketahui 11 jenis senyawa Fumonisin, yaitu
Fumonisin B1 (FB1), FB2, FB3, dan FB4, FA1, FA2, FC1, FC2, FP1, FP2, dan
FP3. Diantara jenis fumonisin tersebut, FB1 mempunyai toksisitas yang dan
dikenal dengan juga dengan nama makrofusin. FB1 dan FB2 banyak mencemari
jagung dalam jumlah cukup besar dan FB1 juga ditemukan pada beras yang
terinfeksi oleh F.proliferatum.
4. Okratoksin A
Okratoksin A (OTA) merupakan jenis mikotoksin yang banyak
mengkontaminasi komoditas pertanian dan pakan. Okratoksin A ini diketahui
pertama kali pada tahun 1965 di Afrika Selatan yang diproduksi oleh kapang
Aspergillus ochraceus. OTA dapat juga dihasilkan oleh kapang penecillium
verrucosum dan P. Viridicatum (umumnya subtropis) dan A. Carbonarius
(umumnya

tropis).

Selain

OTA

terdapat

okratoksin

B

(C 20H19NO6),

C (C22H22ClNO6) a dan b. OTA merupakan molekul yang cukup stabil, dan dapat
bertahan pada produk olahan bahan pangan.
OTA pertama kali ditemukan sebagai kontaminan alami pada sampel
jagung. Konsentrasi OTA biasanya kurang dari 50 mcg/kg (ppb); namun jika
diproduk pangan tersebut disimpan dengan cara yang tidak baik maka konsentrasi
OTA tersebut bisa meningkat. Senyawa ini terdapat pada produk seperti kopi, bir,
buah kering, wine, kakao, dan kacang-kacangan. Keberadaan OTA juga
ditemukan selama proses pembuatan bir, roti, sereal sarapan dan pengolahan kopi,
pakan, dan daging.

Gambar 10.6. Okratoksin

187

OTA merupakan mikotoksin yang bersifat teratogenik, mutagenik dan
karsinogenik dan berpotensi menyebabkan kerusakan terutama pada hati dan
ginjal (akut maupun kronis). OTA dapat pula menyebabkan gangguan pada sistem
kekebalan untuk sejumlah spesies mamalia.
5. Zearalenon
Zearalenon merupakan toksin estrogenik yang dihasilkan oleh kapang
fusarium graminearum, F. Tricinctum, dan F. Moniliforme. Kapang ini tumbuh
pada suhu optimum 20-250oC dan kelembaban 40-60%. Zearalenon pertama kali
diisolasi pada tahun 1962. Mikotoksin ini cukup stabil dan tahan terhadap suhu
tinggi.

Gambar 10.7. Zearalenon
Hingga saat ini paling sedikit terdapat 6 macam turunan zearalenon,
diantranya α-zearalenon yang memiliki aktifitas estrogenik 3 kali lipat daripada
senyawa induknya. Senyawa turunan lainnya adalah 6,8-dihidroksizearalenon,
8-hidroksizearalenon,

3-hidroksizearalenon,

7-dehidrozearalenon,

dan

5-formilzearalenon. Komoditas yang banyak tercemar zearalenon adalah jagung,
gandum, kacang kedelai, beras dan serelia lainnya.
D. Residu Peptisida dan Insektisida
Peptisida yag jumlahnya ratusan bahkan ribuan yang telah beredar dipasaran
dapat digolongkan menjadi beberapa kelompok: 1) berdasarkan zat kimianya,
menjadi pestisida organik dan anorganik; 2) berdasarkan tujuan dan sasarannya,

188

pestisida dapat dibedakan menjadi golongan insektisida (serangga), herbisida,
fungisida, nematosida (cacing), rodentisida (tikus), bakterisida dan sebagainya.
Berbagai jenis insektisida pada mulanya berasal dari zat anorganik, yaitu
logam berat yang beracun seperti misalnya timbal, antimon, arsen, merkuri,
selenium, sulfur, thallium, zink dan fluorine. Sebelum Perang Dunia II, praktis
seluruh insektisida berasal dari zat anorganik. Baru setelah perang dunia berakhir
muncul

insektisida

sintesis

dari

bahan

organik

yang

disebut

DDT

(Dichlorodiphenyltrichloroethan), yang sangat manjur dalam memberantas hama
tanaman. Daya racunnya terutama dapat mengganggu transmisi axonic dari
impuls-impuls syaraf, dan karena itu mengganggu sistem syaraf terutama otak.
Sejak itu beberapa senyawa sejenis DDT, yang dikenal sebagai insektisida
organokhlorin, mulai, berkembang pesat. Diantara senyawa-senyawa tersebut
yang memiliki toksisitas tinggi adalah endrin, sedangkan sisanya memiliki
toksisistas sedang seperti : DDT, aldrin, lindane, BHC, heptachlor, chlordane,
dicofol dan lain sebagainya.
Insektisida organophosphorus pertama muncul dengan nama tepp dan
psarathion, diikuti malthion dan kemudian disusul dengan diazinon. Kini bahkan
telah dapat dihasilkan organophosphorus yang berbentuk cairan dan padatan yang
masing-masing dikenal sebagai phosposphorothioathes dan phosphorodithioathes.
Daya kerja kedua racun tersebut pada serangga dan mamalia ialah dengan
cara menghambat enzim chlorineterase (ChE) yang secara normal dapat
memecahkan neurotransmitter acetylcholine (Ach). Karena itu daya kerjanya
bukan pada axonic tetapi pada ganglion, jadi mula-mula hiperaktif, konvrilsi dan
kemudian diikuti dengan kelumpuhan. Pada tahun 1953, kembali muncul
insektisida organik yang baru, yang disebut kelompok carbamate. Insektisida
pertama muncul dengan nama carbaryl (Sevin), memiliki kerja analog, yaitu
carbamylating enzim, sehingga menghambat cholorienasterase.
Carbaryl serta carbamate lainnya sangat cepat dimetabolisis baik oleh
tanaman maupun dalam sistem biologis hewan. Hal ini berarti proses
degradasinya sangat cepat, sehingga sebagian besar ternak dapat mengeluarkan
sebagian besar carbaryl yang tercerna dalam waktu 24 jam.

189

Carbofuran (furadan) termasuk kelompok insektisida carbamate yang
banyak digunakan dipertanian untuk berbagai tujuan. Tingkat toksisitasnya pada
mamalia cukup tinggi bila dikonsumsi melalui mulut. Insektisida ini jug sangat
cepat termetabolisis oleh tanaman dan serangga serta binatang berderajat tinggi.
Kini beberapa jenis carbamate banyak ditemui dipasaran diantaranya
propoxur (Baygon), pirimicarb, metal adicarb, kamat, methiocarb, dan lain
sebagainya. Golongan carbamate yang tinggi daya toksisitasnya adalah
adicarboxamyl carbofuran (Furadan), methomyl, methyocarb, dan zeetran.
Organokhlorin merupakan insektisida yang banyak digunakan dibanding
dengan pestisida lain karena memiliki afinitas terhadap tenunan biologi sangat
tinggi. Hal ini berarti semakin tinggi derajat makhluk tersebut, semakin mudah
menyerap residu. Insektisida organophosphorus sulit diserap dalam tenunan
biologi, kecuali pada makhluk air terutama moluska yang mampu menyerap
diazinon sampai 450 ppm dari air atau tanah. Jumlah tersebut akan dapat
membahayakan bila dikonsumsi oleh manusia maupun ternak. Bila insektisida
tersebut terserap oleh ikan, biasanya akan menyebabkan ikan mati. Karena
insektisida tersebut sangat beracun pada ikan, maka bila terserap oleh jaringan
tubuh ikan, senyawa tersebut jarang terdapat secara utuh dalam waktu lebih lama
dari satu minngu (Macek, 1970).
1. Polychlorinated Biphenlys (PCBs)
Polychlorinated Biphenlys adalah senyawa yang mengandung klorin tinggi
yang biasanya berasal dari industri plastik, sering dibuang dan mencemari
lingkungan. Senyawa ini tidak pernah digunakan sebagai pestisida. Tetaapi karena
struktur kimianya mirip dengan insektisda organoklorin, maka penting dibahas
disini, sebab dalam analisis sering dilaporkan sebagai DDT. Dalam menganalisis
residu PCB menggunakan gas liquid chromatography, ternyata waktu retensi dari
PCB, DDT, dan DDE, serta organoklorin lainnya yang hampir sama. Sehingga
tidaklah mustahil bahwa beberapa hasil analisis DDT mungkin keliru dengan
PCB. Untuk menghindari hal tersebut, perlu dilakukan analisis pembanding
dengan menggunakan TLC, clumn Chomatography atau Mass Spectrography.
PCB bersifat racun pada burung dan biasanya terikut dalam rantai
makanan manusia. Selain itu, PCB bekerja sinergis dengan organokhlorin. Maught

190

(1973) menyatakan kemungkinan terjadinya PCB dari uap DDT oleh sinar
matahari di atmosfir.
2. Fungisida dan Herbisida
Sebagian besar fungisida organik bersifat “biodegradable” dan terdapat
dalam tanah hanya beberapa hari saja. Selain itu memiliki daya keracunan
terhadap mamalia yang rendah, tidak terserap oleh bahan biologis, dan diserap
oleh lingkungan dalam jumlah yang kecil.
Jenis fungisida yang sering digunakan diperkebunan buah dan sayur adalah
benomyl dan methyl thiophanate. Pestisida yang mengandung merkuri banyak
digunakan dalam bentuk fungisida untuk benih-benih biji tanaman, dengan dosis
10 ppm. Keracunan merkuri pada ternak dan manusia biasanya disebabkan oleh
lingkungan dalam jumlah kecil.
Penggunaan herbisida masih jauh lebih rendah bila dibanding dengan
organokhlorin, demikian juga dengan daya keracunannya terhadap mamalia.
Herbisida biasanya tidak terakumulasi dalam bahan biologi. Sedangkan dalam
tanah, sebagian besar herbisida organik dapat dipecahsangat cepat, meskipun ada
kekecualiannya, seperti cetrazine, momizon, dan sebagainya. Sedangkan herbisida
yang paling tahan dalam tanah adalah propazin, diikuti oleh pichloran dan
simazin.
Masalah utama bagi kesehatan adalah apabila mengkonsumsi benih yang
telah diberi herbisida atau fungisida tersebut secara tidak sengaja. Pada tahun
1973 suatu malapetaka serius terjadi di Irak, dimana sebanyak 500 orang
meninggal dunia dan 6.000 orang terpaksa harus dirawat karena mengkonsumsi
benih yang telah diberi herbisida (Edwards, 1981).
Arsen banyak digunakan untuk pembuatan herbisida dengan zat aktifnya
sodium arsenat, meskipun sangat beracun tetapi arsen yang masuk ke tubuh
melalui mulut (makanan) sebagian besar akan dikeluarkan dari badan secara
cepat, dan hanya sedikit sekali yang tersimpan dalam tenunan tubuh. Keracunan
arsen lebih banyak terjadi karena sengaja atau kecelakaan karena kekeliruan,
sedangkan keracunan akibat residu masih sangat jarang terjadi.
Meskipun menggunakan DDT telah dilarang digunakan sejak tahun 1974
dan penggunaan terbatas untuk memberantas faktor penyakit malaria sampai akhir

191

tahun 1995, hingga saat ini masih ditemukan residu organoklorin pada produk
ternak serta produk lainnya.
Selain itu, simplisa daun wungu (Graptophyllum pictum (L)
Grift) di Tawamangu mengandung residu lindan dengan kadar
0,24 mg/kg dan aldrin 0,31 mg/kg serta pegagan di Mabako
mengandung heptaklor 0,15 mg/kg dan op-DDE 0,11 mg/kg.
Lebih jauh dilaporkan bahwa lemak ASI ibu-ibu, tiga diantaranya
sebagai petani sayur di wilayah puncak Bogor juga tercemar DDT
dengan kadar hingga 17,7 mg/kg.

Batas

yang

disarankan

(WHO/FAO, 1972) untuk DDT dan dieldrin masing-masing 1,25 dan 0,15 ppm.
E. Residu Obat Ternak
Residu obat-obatan ternak yang dimaksud meliputi senyawa induk
(parent compound) serta hasil metabolisme yang tertinggal sebagai residu pada
bagian hasil ternak yang dapat dimakan, demikian pula dengan residu yang ada
kaitannya dengan pencemaran (impurities) yang terdapat pada obat-obatan ternak
itu sendiri. Pada umumnya obat-obatan ternak digunakan untuk beberapa tujuan
yang berbeda, yaitu untuk tujuan pencegahan dan pengobatan penyakit,
perangsang pertumbuhan, mengendalikan reproduksi, dan menekan terjadinya
stress pada ternak sebelum ternak dipotong. Obat-obatan yang banyak digunakan
adalah obat anti bakteri, anti kuman, anti jamur, anti parasit dan obat anti cacing.
Obat-obatan ternak yang kini populer bagi ternak adalah obat-obatan yang
dirancang dapat digunakan untuk seluruh ternak, baik dengan aplikasi melalui
ransum atau melalui air melalui air minumnya.
Salah satu praktik yang biasa dilakukan di peternakan adalah
penambahan obat-obatan ternak anti bakteri ke dalam ransum pakannya untuk
tujuan meningkatkan laju pertambahan berat atau meningkatkan laju efiensi
ransum, contohnya ionosphores. Ionosphores ini adalah suatu jenis antibiotika
yang penting peranannya dalam pemindahan ion-ion. Mula-mula zat tersebut
digunakan dan dikembangkan sebagai anti penyakit koksidiosis pada ayam, tetapi
selama dasawarsa terakhir ini penggunaan obat-obatan tersebut meningkat tajam,
khususnya bagi ternak sapi pedaging dan unggas agar laju pertumbuhannya cepat.

192

Disamping

itu

obat-obatan

anabiotik

atau

hormon

perangsang

pertumbuhan sering pula digunakan untuk memprbaiki poduksi daging daging
sapi, domba dan unggas. Berbagai jenis hormon yang memiliki potensi keaktifan
tinggi sering digunakan untuk mengendalikan reproduksi pada ruminan maupun
babi, baik untuk mengendalikan fertilitas maupun program breeding, seperti
prostaglandins serta analog-analognya.
Beberapa obat penenang (tranquilizers) dibaerikan kepada ternak-ternak
sebelum dipotong untuk mencegah ternak berontak atau mengamuk sebelum
ternak tersebut dipotong. Demikian juga betaadrenogenic blocking agent
diberikan pada ternak untuk menekan terjadinya stress selama transportasi ternak.
Akan tetapi ternak-ternak yang baru saja mendapat suntikan obat-obatan dan
harus segera dipotong, tentu saja dapat meninggalkan residu obat-obatan di dalam
dagingnya dalam jumlah yang besar. Sedangkan jumlah residu obat-obatan ternak
dalam tenunan hasil ternak dapat mempengaruhi kesehatan manusia. Gangguan
terhadap kesehatan manusia ini dapat dikelompokkan menjadi tiga aspek, yaitu
aspek toksikologis, mikrobiologis, dan immunopathologis.
Konsekuensi toksikologis dari residu obat-obatan ternak persis sama dengan
residu pestisida dan zat-zat aditif. Karena itu metoda yang telah dikembangkan
untuk senyawa tersebut seperti penentuan ADI (acceptable daily intake) dapat
diterapkan dalam evaluasi keamanan bagi residu obat-obatan ternak dalam
makanan, yaitu dengan menetukan nilai atau kadar residu maksimum yang
diizinkan yang dikenal sebagai nilai MRL (Maximum Residu Limit).
Guna menentukan tingkat berbahaya atau tidaknya obat ternak perlu
diketahui withdrawal time, yaitu kurun waktu antara obat dimasukkan ke dalam
tubuh ternak sampai residu obat tersebut memasuki rantai pangan, misalnya susu,
daging atau telur. Residu obat-obatan yang diperkirakan akan mampu bertindak
sebagai karsinogen (perangsang timbulnya kanker) harus diamati kasus demi
kasus, karena senyawa karsinogen tidak memiliki nilai ADI. Residu obat-obatan
yang dianggap dapat menjadi karsinogen adalah nitrofurans, nitroimidazoles,
grisoefelum, dan beberapa turunan stilbene.
Sebagian

besar

residu

obat-obatan

anti

kuman

penyakit

tidak

menimbulkan masalah. Sebenarnya yang perlu mendapat perhatian adalah daya

193

anti kumannya. Karena ada kalanya dosis obat-obatan tersebut begitu rendah
sehingga mengakibatkan timbulnya turunan bakteri (kuman penyakit tipus
misalnya)

yang

resisten

terhadap

obat-obatan.

Kuman

tersebut

dapat

mengakibatkan atau menularkan penyakit kepada manusia. Hal itu sering terjadi
pada pemberian obat ke dalam makanan ternak dengan dosis di bawah dosis
pengobatan.
Beberapa obat-obatan dapat bersifat alergi, baik pada ternak maupun
manusia, contohnya penisilin. Pada kondisi tertentu hampir semua obat dapat
bertindak sebagai antigen yang menghasilkan kekebalan. Khususnya obat-obatan
yang telah kadaluarsa atau zat pencemar yang terdapat dalam obat-obatan itu
sendiri. Meskipun secara teoritis dapat dibuat suatu pedoman, tetapi dalam
prakteknya sulit sekali membuat standar atau batas residu maksimum (MRL)
sebagai batas yang memastikan tidak akan timbul immunopathologis.
F.

Pencemaran Logam Berat

1. Timbal
Timbal (Plumbum, Pb) disebut juga timah hitam adalah jenis logam tertua
yang pernah dikenal manusia. Hal itu dibuktikan dengan telah ditemukannya
peninggalan benda arkeologi dari timbal yang telah berumur 3000 tahun sebelum
Masehi. Timbal juga merupakan jenis logam berat yang terbesar ada dalam
deposit perut bumi. Timbal ditambang bersama penambangan sulfide dalam
bentuk galena, yang mengandung kadar timbal sekitar 1-6%.
Di jaman peradaban kuno, timbal telah banyak digunakan sebagai bahan
pengemas atau wadah, atap rumah, saluran air, alat-alat rumah tangga serta
berbagai hiasan. Dalam bentuk oksida, timbal banyak digunakan sebagai pigmen
atau zat pewarna dalam industry kosmetik dan glace, serta warna dan dekorasi
pada keramik, termasuk peralatan dapur. Timbal banyak digunakan untuk mematri
atau menyambung logam, seperti; air dan menyolder kemasan kaleng untuk
makanan.
Pencemaran timbal pada lingkungan begitu hebat sehingga makanan yang
kita konsumsi, air yang kita minum, dan udara yang kita hirup, biasanya telah
terkontaminasi timbal. Karena itu, timbal merupakan non-essential trace element
yang paling tinggi kadarnya dalam tubuh manusia, yaitu 100-400 mg per orang,

194

tergantung berat badan. Meskipun hampir di setiap tenunan tubuh terdapat residu
timbal, tetapi sebagian besar terkontaminasi di dalam tulang serta jeroan hati dan
ginjal. Karena alasan tersebut hasil ternak tersebut tinggi kandungan timbalnya.
Sumber kontaminasi timbal berasal dari udara yang tercemari akibat
banyaknya gedung-gedung yang dirubuhkan, dari asap yang dikeluarkan melalui
knalpot mobil, serta air yang melalui pipa saluran dari timbal atau pematrian
timbal. Kontaminasi dalam makanan dapat terjadi melalui kemasan kaleng yang
dipatri, zat warna tekstil, atau makanan yang tercemari oleh udara dan air yang
telah tercemar oleh timbal. Makanan/jajanan di berbagai stasiun bus dan angkot
banyak terekspos debu timbal di udara dengan kadar 2-8 mikrogram/m 3.
Demikian juga para petugas karcis tol berpeluang menghirup debu timbal pada
kadar yang tinggi setiap hari. Di Bandung, sekitar 30-46% pengemudi dan polisi,
serta 50% pedagang kaki lima, memiliki kadar timbal di atas normal dalam
darahnya, yakni lebih besar dari 40μg/dl darah.
Setiap makanan, termasuk ASI (Air Susu Ibu) telah pula tercemar oleh
timbal. Makanan yang dilaporkan tinggi kadar timbalnya adalah makanan kaleng
(50-100 μg/kg); jeroan terutama hati, ginjal ternak (150 μg/kg), ikan (170 μg/kg)
dan kelompok paling tinggi adalah kerang-kerangan (molusca) dan udangudangan (crustacean) rata-rata lebih tinggi dari 250 μg/kg.
Jenis makanan yang tergolong rendah derajat kontaminasi timbalnya
adalah susu sapi, buah-buahan dan sayuran serta biji-bijian (15-20 μg/kg) sedang
daging masih termasuk kadar medium (50 μg/kg). Biasanya hasil tanaman rendah
kandungan timbalnya, sayur-sayuran berbentuk daun, lebih tinggi daripada ubi
atau biji-bijian. Hasil tanaman yang berasal dari daerah dekat jalan raya atau jalan
tol 10 kali lebih tinggi kadar timbalnya dibanding dari daerah pedalaman atau di
pedesaan, misalnya kangkung dan bayam yang ditanam di tepi jalan Kota Jakarta
kandungan timbalnya rata-rata 28,78 ppm, jauh di atas ambang batas 2 ppm yang
diizinkan Ditjen Pengawasan Obat dan makanan.
Yang mengejutkan adalah kadar timbal dalam ASI rata-rata (20-30 μg/kg)
relative lebih tinggi dari susu sapi. ASI ibu-ibu yang berdomisili di daerah
pinggiran kota lebih tinggi kadar timbalnya (10-30 μg/kg) dari ASI ibu-ibu yang
berdomisili di daerah (1-2 μg/kg). jadi ASI ibu pedesaan lebih bersih terhadap

195

cemaran timbal. Telah diperkirakan bahwa jumlah rata-rata konsumsi timbal per
orang yang masuk melalui makanan saja lebih dari 300 mg per hari.
Kaleng kemasan dan alat-alat dapur juga dapat merupakan sumber
kontaminasi timbal, khususnya alat dapur yang terbuat dari kuningan/tembaga
yang dilapisi timah hitam dan timah putih. Kandungan timbal pada peralatan
tersebut banyak terlepas dan larut dalam sayur dan lauk pada saat pemasakan.
2. Keracunan timbal
Secara umum tertimbunnya timbal dalam tubuh akan bersifat racun
kumulatif, yang dapat mengakibatkan efek yang kontinyu. Terutama pada sistem
hematopoietic dan urat syaraf dan ginjal serta mempengaruhi perkembangan otak
anak balita. Pada wanita hamil muda, kadar timbal yang tinggi dapat
menyebabkan keguguran atau kelahiran premature. Pada kadar yang agak tinggi
akan menghambat perkembangan sistem syaraf dan otak janin (fetus) dalam
kandungan.
Ion timbal ikut menyebar di setiap kalsium yang bergerak dalam sistem
syaraf, sehingga hal itu akan mempengaruhi biokimia dan perkembangan sel-sel
otak tanpa membunuh si jabang bayi itu sendiri. Karena air susu ibu sebagian
besar berasal dari darah, adanya timbal dalam darah merupakan ancaman
tersendiri pada bayi yang akan disusuinya.
Pada wanita usia setengah lanjut maupun yang telah lanjut usia, keracunan
timbal dapat mengakibatkan osteoporosis. Osteoporosis adalah penyakit rapuh
tulang yang mengakibatkan bengkoknya tulang punggung sehingga menjadi
bungkuk. Dr. Ellen Silbergerd (1989) menyatakan bahwa kadar timbal di dalam
darah wanita akan meningkat setelah menopause. Hal ini terjadi karena timbal
yang biasanya telah disimpan oleh tubuh di dalam tulang, hati dan ginjal; pada
saat

memasuki

menopause

terjadi

proses

perubahan

hormonal

yang

mengakibatkan timbal yang telah dipindahkan ke tulang dan bagian tubuh lain
beberapa tahun sebelumnya ditarik kembali masuk ke dalam darah.
Kadar timbal yang cukup tinggi di dalam darah dapat menginaktifkan
vitamin D dan akibatnya akan mempengaruhi penggunaan ion kapur (kalsium) di
dalam tubuh, dimana adanya vitamin D dan kalsium diperlukan untuk
memperkuat struktur tulang. Semakin tinggi kadar timbal dalam tulang wanita

196

semasa muda akan mempertinggi peluang terjadinya osteoporosis ketika wanita
tersebut memasuki usia lanjut.
Perubahan hormonal dapat juga mempengaruhi kadar timbal dalam
tenunan tubuh wanita yang sedang mengandung atau menyusui. Timbal yang
disimpan dalam tulang sebelu wanita itu mengandung, apabila telah mengandung
maka timbal ditarik kembali ke dalam darah dan akhirnya masuk ke dalam janin
(fetus) melalui ari-ari (placenta).
Anak kecil dan bayi senang sekali pada benda yang manis. Cat mainan
anak yang mengandung timbal dan cadmium justru banyak yang manis rasanya,
dengan demikian anak-anak senang menggigitnya. Ditambah dengan konsumsi
air, makanan dan ASI yang tercemar timbal akan berakibat sangat serius pada
anak, yakni sangat membahayakan bagi kecerdasan si anak.
Keracunan timbal pada balita sangat membahayakan perkembangan
kecerdasannya. Hal ini disebabkan karena tahun pertama pada kehidupannya, otak
mengalami perkembangan yang sangat cepat. Pada saat perkembangan, otak
sangat peka terhadap keracunan timbal. Perlu diketahui bahwa pada anak usia 7
tahun, lebih dari 95%pembentukan sel-sel otak telah selesai dan otak telah
memiliki ukuran yang sama dengan otak orang dewasa.
Sejak tahun 1972 JECFA (Joint Expert Committee on Food Additives)
telah mengeluarkan pedoman batas toleransi konsumsi timbal per minggu, yaitu
maksimum 50 μg/kg beratbadan orang dewasa. Sedang untuk bayi dan anak
maksimum 25 μg/kg berat badan. Codex Alimentarius Commision (FAO/WHO)
telah pula menentukan batas maksimum timbal pada sari buah dan nectar, yang
diolah memakai alat-alat logam, yaitu berturut-turut 0,3 dan 0,2 mg/kg.
Sedangkan oleh ISO (International Standart Organization) telah ditentukan batas
maksimum timbal yang boleh terlepas (bermigrasi) masuk kedalam makanan
melalui alat-alat dapur dan alat makan yang etrbuat dari keramik adalah 1,7
mg/dm2 untuk alat yang datar dan 2,5 sampai 5,0 mg/L bagi wadah yang cekung.
Berbagai Negara secara aktif telah melarang produksi kaleng untuk
makanan yang sambungannya masih dipatri dengan timbal dan disarankan untuk
dilakukan dengan electric welding. Seperti diketahui bahwa makanan yang

197

disimpan dalam kaleng yang dipatri mengandung timbal cukup tinggi (50-100
μg/kg), sedangkan kaleng yang dilas kandungan timbalnya hanya 10 μg/kg.
3. Merkuri
Logam merkuri bila menguap akan mengumpul di udara. Di udara gas
merkuri akan turun ke bumi lewat air hujan dan kembali ke tanah dan perairan di
muka bmi ini dari danau, sungai hingga laut. Sebagin besar merkuri akan
menempel

pada sediment dan diubah menjadi metal merkuri oleh bakteri

Methanohacterium omellanskii. Merkuri yang sudah berubah menjadi senyawa
metil merkuri tetap akan larut dalam air. Di perairan, metal merkuri masuk ke
tubuh ikan lalu terakumulasi pada pemangsa alaminya hingga meracuni manusia.
Daya serap metil merkuri di tubuh mencapai 95 persen.
Batas maksimum merkuri yang boleh dikomsumsi adalah 0,3 mg/orang per
minggu atau 0,005 mg/kg berat badan, dan dari jumlah tersebut tidak boleh lebih
dari 0,0033 mg/kg berat badan sebagai metil merkuri. Merkuri selain meracuni
ikan, juga bertanggung jawab terhadap keracunan bahan makanan. Pada gambar
10.8, dapat dilihat jalur keracunan merkuri pada manusia melalui makanan, baik
secara langsung maupun tidak langsung.

Gambar 10.8. Jalur keracunan merkuri pada manusia melalui makanan (Wilson et al, 1975).

G. Residu Monomer Kemasan Plastik
Bahan kemasan pastik dibuat dan disusun melalui proses yang disebut
polimerisasi dengan menggunakan bahan mentah monomer, yang tersusun

198

sambung menyambung menjadi satu dalam polimer. Dalam plastic juga berisi
beberapa “aditif” yang diperlukan untuk memperbaiki sifat-sifat fisika kimia
plastik itu sendiri. Bahan aditif yang ditambahkan itu disebut komponen
nonplastik, berupa senyawa anorganik atau organic yang memiliki berat molekul
rendah. Bahan aditif tersebut dapat berfungsi sebagai pewarna, antioksidan,
menyerap ultraviolet, anti kanker, fungisida dan masih banyak lagi (Crompton,
1979).
Dalam terminology kemasan, migrasi digunakan untuk mendeskripsikan
perpindahan dari bahan-bahan yang terdapat dalam kemasan umumnya material
plastic ke dalam bahan makanan. Bahan-bahan yang berpindah ke dalam bahan
makanan tersebut merupakan hasil dari kontak atau interaksi antara makanan
dengan material kemasan. Bahan yang berpindah itu berupa residu polimer
(monomer), penstabil, penghalang panas (flame retardant), pewarna dan lain-lain.
Bahan “aditif” ini terikat secara kimia atau fisika pada polimer, dalam bentuk asli
atau sudah berubah.
Migrasi biasanya dibedakan atas migrasi global dan migrasi spesifik. Pada
migrasi global terjadi perpindahan semua komponen kemasan ke dalam bahan
makanan, baik yang bersifat toksik maupun tidak. Sedangkan migrasi spesifik
adalah perpindahan satu komponen tertentu ke dalam bahan makanan. Migrasi
dipengaruhi oleh empat factor, yaitu : luas permukaan yang kontak dengan
makanan, kecepatan migrasi, jenis bhan plastic, dan suhu serta lama waktu
kontak.
Migrasi zat-zat plastic, monomer maupun zat-zatr pembantu polimerisasi,
dalam kadar tertentu dapat larut ke dalam makanan padat atau cair berminyak
(non polar) maupun cairan tak berminyak (polar), tergantung dari jenis plastic
yang digunakan. Perpindahan dan pergerakan molekul-molekul kecil dari
kemasan plastik berlangsung sacara difusi melalui proses sorbsi. Pergerakan
kinetik dari molekul-molekul seperti halnya monomer sangat tergantung pada
keadaan dan konsentrasi zat-zat yang termigrasi serta sifat plastiknya sendiri,
yaitu apakah plastic transparan (glassy) atau opague (rubbery). Proses sorbsi dan
pergerakan molekul-molekul kecil dalam polimer yang glassy lebih rumit.

199

Penggunan PVC sebagai bahan pengemas makanan merupakan sumber
migrasi vinil klorida. Dilaporkan bahwa sari buah jeruk dan minyak makan
mengandung monomer vinil kloria sebanyak 10-40 ppb. Data yang terbaru
menyatakan bahwa minyak makan mengandung monomer vinil klorida sebanyak
50 ppb atau kurang dalam 6% sample, 50-1000 ppb dalam 27% sampel, dan 10002000 ppb dalam 7% sampel.
Residu vinil klorida termigrasi dengan laju migrasi cukup bervariasi,
tergantung kepada lingkungannya. Pada konsentrasi residu vinil klorida awal 0,35
ppm akan termigrasi sekitar 0,020 ppm selama 106 hari kontak pada suhu 25 oC.
Manomer akrilonitril terlepas keluar plastik menuju makanan atau minuman
secara total setelah 180 hari kontak pada suhu 49oC (Sacharow, 1979).
Dalam penggunaan kemasan plastic perubahan fisiko kimia pada wadah
dan makananya tidak mungkin dihindari 100 persen. Para industrialis hanya
mampu menekan laju perubahan termasuk migrasi tersebut hingga tingkat
minimum sehingga masih dapat memenuhi persyaratan yang ditentukan. Semakin
tinggi suhu makanan, maka semakin banyak zat plastic yang mengalami migrasi,
masuk dan bercampur dengan makanan., sehingga setiap kita mengkomsumsi
makanan tersebut, kita secara tidaksadar mengkomsumsi zat-zat yang termigrasi
itu. Semakin lama produk disimpan, maka batas maksimum komponen-komponen
yang termigrasi semakin dilampaui. Karena alasan tersebut keterangan batas
ambang waktu kadaluarsa bagi produk yang dikemas plastic perlu diberitahukan
secara jelas kepada konsumen.
Pada umumnya daya keracunan plastik mengalami migrasi ke dalam
makanan, sangat tergantung pada beberapa factor, yaitu : jenis monomer atau
oligomer yang terdapat dalam pastik; proporsi yang termigrasi; potensinya
bereaksi dengan makanan ; jenis aditif yang dapat digunakan; serta jumlah
makanan yang dikomsumi, yang telah mengalami kontak langsung dengan bahan
kemas plastic tersebut.
Monomer atau bahan plastic lain termigrasi ke dalam makanan, bila
dikomsumsi akan masuk ke dalam pembuluh darah dan akhirnya tertimbun dalam
jaringan tubuh dan beberapa di antaranya bersifat karsinogen, yaitu merupakan
penyebab terjadinya kanker. Manomer vinil klorida dan akrilonitril merupkan

200

monomer-monomer yang berbahaya karena cukup tinggi potensinya untuk
menimbulkan kanker pada hewan dan manusia. Kemasan plastic yang memiliki
potensi keracunan memiliki batas ambang maksimum yang lebih rendah misalnya
ethyleneglycol 0,5 mg/kg, formaldehyde 5 mg/kg dan vinil klorida 0,005 mg/kg.
Bahaya penggunan kemasan plastic untuk makanan tidak hanya berasal
dari komponen plastic itu saja, tapi juga dapat diakibatkan oleh reaksi antara
komponen bahan pangan dengan komponen dalam plastic. Sebagai contoh adalah
timbulnya senyawa nitrosoamine yang bersifat karsinogen.
The Codex Commite untuk bahan tambahan dan kontaminan telah
merekomendasikan batas 0,01 ppm monomer vinil klorida di dalam makanan.
Demkian pula di berbagai Negara maju, berbagai petunjuk dan peraturan
penggunaan kemasan plastic telah diberikan. Sebagai contoh Perancis
mensyaratkan bahwa kemasan plastic mesti “inert”, tidak merusak citarasa
makanan, dan tidak beracun. Italia memberi batas maksimum migrasi tidak boleh
dari 50 ppm untuk kemasan berukuran lebih besar dari 250 ml, dan kemasan kecil
mempunyai batas maksimum 8 mg/dm2 lembaran film. Di Inggris pengendalian
kadar residu vinil klorida dalam VC polymer, tidak melebihi 1 mg/kg bahan. Dan
yang digunakan sebagai bahan kemasan yang bersentuhan langsung dengan
makanan tidak boleh ada yang bermigrasi ke dalam bahan makanan lebih dari
batas deteksi 0,01 mg/kg bahan pangan.
Belanda memberikan toleransi maksimum 60 ppm migrasi komponen
plastic ke dalam makanan dan 0,12 mg per cm 2 permukaanplastik. Sedangkan di
Jerman Barat 0,06 mg per cm2 lembaran plastic dan bagi bahan berbahaya
setingkat dengan manomer vinil klorida maksimum 0,01 ppm. Sedangkan Jepang
mensyaratkan migrasi maksimum 30 ppm untuk aditif dan monomer yang tidak
berbahaya, sedangkan untuk vinil klorida dan monomer lain yang peracunannya
tinggi hanya 0,05 ppm atau kurang (Crompton,1979 ;Sachrow, 1979;Food Safety
Administratinn of Japan, 1984 dalam Winarno, 2002).

Soal Latihan
1. Apa perbedaan infeksi dengan intoksitasi?

201

2. Apakah senyawa beracun