DOMINASI KEKUASAAN DALAM PENDIDIKAN Tesi

Jurnal Interaksi. 2014.
Vol. 8 (1), p. 28-39.

DOMINASI KEKUASAAN DALAM PENDIDIKAN:
Tesis Bourdieu dan Foucault tentang Pendidikan
Nanang Martono
(Jurusan sosiologi Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto;
email: nanang_martono@yahoo.co.id)

Abstract
This article describes on Bourdieu and Foucault’s ideas about power in education. Bourdieu argued that
there is a symbolic power that influenced educational practices. Bourdieu has been seen that the
dominant class become the subject of symbolic power because they have a lot of "capital" than lower
class. Meanwhile, Foucault argued that power is not only owned by a few people. Power is spread. There
are many forms of power in education practice, that is disciplinary mechanism through observations
(panopticon), normalization, and examination systems.
Keywords: Bourdieu, Foucault, power, education, school

Abstrak
Tulisan ini menggambarkan pemikiran Bourdieu dan Foucault mengenai kekuasaan dalam pendidikan.
Menurut Bourdieu, ada kekuasaan simbolik yang bekerja memengaruhi praktik-praktik pendidikan.

Bourdieu melihat bahwa kelas dominan merupakan subjek kekuasaan simbolik ini karena mereka
memiliki kelebihan “modal” yang tidak dimiliki kelas bawah. Sementara, Foucault melihat bahwa
kekuasaan tidak hanya dimiliki segelintir orang saja. Kekuasaan bersifat menyebar. Ada banyak wujud
kekuasaan dalam praktik pendidikan, yaitu melalui mekanisme pendisiplinan yang melibatkan
pengamatan (melalui panopticon), standarisasi, serta sistem pemeriksaan.
Kata Kunci: Bourdieu, Foucault, kekuasaan, pendidikan, sekolah

Pendahuluan
Tidak banyak yang mengetahui kapan istilah pendidikan mulai dikenal manusia. Namun yang pasti,
proses pendidikan telah menjadi bagian kehidupan manusia sejak masyarakat belum mengenal tulisan

(jaman prasejarah, pramodern). Pada masa itu, proses pendidikan berlangsung secara alamiah,
sederhana, tanpa disadari, serta dilakukan antargenerasi: dari orang tua kepada anak-anak mereka

(Haralambos & Holborn, 2004). Para orang tua mewariskan banyak keterampilan kepada anaknya:
memburu binatang, memanah, memancing, mengolah tanah, merawat tanaman, memasak, dan
keterampilan lainnya. Masa tersebut adalah masa ketika anggota keluarga menjadi bagian unit
ekonomi keluarga (Klemp, et. al., 2012).

Dalam praktiknya, setiap keluarga memiliki cara yang berbeda dalam mendidik anak-anak mereka.

Selain mewariskan keterampilan tertentu, pendidikan juga digunakan untuk menanamkan nilai-nilai
sosial kepada anak-anak, terutama nilai-nilai agama. Ketika keluarga tidak mampu lagi menjalankan

peran untuk mengajarkan nilai-nilai agama, pendidikan sedikit demi sedikit diserahkan kepada

lembaga informal di luar keluarga dengan bantuan seseorang yang memahami ajaran agama tertentu.

Pendidikan masih bersifat lokal, belum dikelola negara secara ketat dan terpusat (Rappleye, 2012).
Pada abad pertengahan yang dimulai pada abad IV, kehidupan sosial mulai dibayang-bayangi

kekuasaan gereja yang menjadi penguasa tertinggi pada masa. Meskipun secara formal negara

memiliki peran sebagai penguasa, akan tetapi dalam praktiknya negara masih berada di bawah
kekuasaan gereja (Canning, 1996). Pendidikan pun kemudian berubah menjadi sebuah prosesi formal
yang diatur dan dilegitimasi pihak tunggal, yaitu gereja (Rappleye, 2012).

Kondisi ini masih berlangsung hingga abad XIV, ketika masyarakat memasuki era industri (Rury,
2005) seiring terjadinya revolusi industri di Eropa. Perkembangan teknologi merupakan pemicu
utama perubahan sosial ini. Cowen (1996) menjelaskan bahwa praktik pendidikan di era ini lebih
mengutamakan tujuan politis daripada tujuan ekonomi, selain bertujuan melanggengkan dan


melegitimasi kekuasaan gereja. Maksudnya adalah pendidikan digunakan sebagai tempat
menghasilkan intelektual muda yang akan mengisi posisi penting pemerintahan untuk menjaga

kestabilan politik. Peran gereja yang semakin dominan dalam pengawasan pendidikan menunjukkan
bahwa pendidikan telah masuk dalam jaringan kekuasaan (gereja). Gereja sebagai institusi sakral
kemudian menjadi lembaga penentu kebijakan pendidikan, bahkan gereja menjadi institusi yang

cukup otoriter di masa itu. Ia mampu memaksakan berbagai doktrin agama kepada masyarakat dan
mengklaim dirinya sebagai satu-satunya sumber kebenaran.

Industrialisasi mengarahkan lembaga pendidikan terintegrasi dengan sistem ekonomi, yaitu sebagai

unit ekonomi yang berperan menyiapkan tenaga kerja untuk memenuhi kebutuhan sektor industri.
Durkheim (1965) menjelaskan bahwa ada saling keterkaitan antara pendidikan (sekolah) dengan
dunia industri ketika mereka memerlukan banyak tenaga kerja. Untuk itu, sekolah memiliki peran
baru yaitu menyiapkan tenaga kerja terampil dengan mengajarkan setiap individu berbagai
keterampilan yang diperlukan dunia kerja.

Perubahan peran institusi pendidikan tersebut mengindikasikan bahwa ada subjek aktif yang turut


memengaruhi praktik pendidikan di masyarakat. Bila pada awalnya pendidikan dipengaruhi gereja,

kemudian pendidikan dipengaruhi kepentingan industri. Foucault (1966) menyebut subjek tersebut
dengan istilah kekuasaan; Bourdieu (1984, 1991, 1993) menyebutnya dengan istilah kekuasaan

simbolik dan dominasi; Marx dan Gramsci (Gramsci, 1995; Marshall, 1998) menggunakan istilah

hegemoni; dan Giddens (1984) menamakannya struktur. Dalam perkembangannya, kekuasaan
2

Jurnal Interaksi. 2014.
Vol. 8 (1), p. 28-39.

memiliki bentuk yang sangat beragam, dan ada banyak pihak yang turut memengaruhi praktik
pendidikan ini.

Analisis kekuasaan dalam pendidikan adalah isu yang cukup menarik dan menjadi isu sentral dalam

studi ilmu sosial; ia menjadi konsep pokok untuk memahami masyarakat (Haugaard & Clegg, 2009;

Turner, 2005), ia juga menjadi isu pokok ketika mempelajari sifat-sifat keteraturan sosial (Wolin,
2004). Kekuasaan merupakan dinamisator atau penggerak sistem sosial yang mengatur bekerjanya
setiap unsur dalam sistem sosial.

Pendidikan sebagai salah satu sistem sosial juga tidak lepas dari pengaruh kekuasaan ini. Bourdieu
dan Foucault adalah dua teoritikus sosiologi pendidikan yang berupaya menganalisis keterlibatan
kekuasaan dalam praktik pendidikan. Pemikiran keduanya dalam menganalisis praktik pendidikan

memiliki banyak kesamaan. Terutama dalam mengkaji keterkaitan kekuasaan dan pendidikan. Tulisan
ini menggambarkan pemikiran Bourdieu dan Foucault mengenai kekuasaan dalam pendidikan. Ini
juga mengidentifikasi aktor-aktor yang memengaruhi praktik pendidikan, baik secara langsung

maupun tidak langsung, serta cara kerja atau wujud campur tangan aktor tersebut menurut Bourdieu
dan Foucault.

Bourdieu: Kekuasaan Simbolik
Istilah kekuasaan dalam sosiologi dapat dengan mudah dijumpai dalam pembahasan mengenai

perspektif konflik. Perspektif ini dimotori pemikiran Karl Marx (Haralambos & Holborn, 2004;


Meighan; 1981; Meighan & Blatchford, 1998). Keberadaan kekuasaan bermula ketika sebagian
kelompok memiliki kepentingan untuk menguasai sumber daya sosial tertentu, dan sumber daya

tersebut bersifat terbatas dan pokok. Pada dasarnya, sumber daya tersebut juga diperebutkan
kelompok yang lain, namun hanya ada sebagian kelompok yang berhasil mendapatkan sumber daya

tersebut karena mereka memiliki “modal”. Dalam pandangan Marx, modal ekonomi atau kepemilikan

materi adalah sumber kekuasaan sekaligus penyebab ketidaksetaraan sosial dalam masyarakat (Marx,

1976). Ketidaksetaraan ini berimbas pada terjadinya konflik sosial karena pada dasarnya sumber daya
sosial selalu bersifat terbatas, sementara semua individu menginginkan sumber daya tersebut.
Kekuasaan dapat dimiliki individu maupun kelompok sosial.

Secara sederhana, kekuasaan dimaknai sebagai kemampuan individu atau kelompok tertentu untuk

memengaruhi pihak lain yang berada dalam keadaan tergantung (Budiardjo, 2000; Turner, 2005)
karena mereka memiliki sumber daya yang diinginkan, dihargai, atau dibutuhkan pihak lain (Turner,
2005). Weber (1968, 1998) memaknai kekuasaan sebagai peluang seseorang atau sekelompok orang


dalam hubungan sosial untuk mengajak orang lain mengikuti kemauan-kemauannya, sekaligus
menerapkannya dalam tindakan-tindakan orang atau golongan tertentu.

3

Jurnal Interaksi. 2014.
Vol. 8 (1), p. 28-39.

Bourdieu (1991) menggunakan konsep kekuasaan simbolik sebagai “kekuatan membangun realitas",

yaitu sebuah kekuatan yang tidak terlihat ketika orang lain tidak mengetahui tahu bahwa mereka

sebenarnya sedang dipengaruhi dan tunduk pada kekuasaan tertentu. Kekuasaan simbolik menurut
Bourdieu dilakukan secara tidak sadar dan alamiah. Sama halnya dengan Marx, Bourdieu juga

meyakini bahwa modal (atau capital) merupakan sumber kekuasaan. Namun, makna modal dalam

tesis Bourdieu lebih luas, bukan hanya modal ekonomi (materi). Modal ini meliputi: modal ekonomi,
modal budaya, modal sosial, dan modal simbolik (Bourdieu, 1986). Modal ekonomi terkait dengan
kondisi ekonomi individu. Modal ini meliputi segala hal yang dimiliki individu yang dapat dinilai


dengan uang. Modal budaya meliputi penguasaan individi atas sumber-sumber informasi dan
pengetahuan, termasuk budaya. Ini juga berhubungan dengan latar belakang pendidikan, tingkat

intelektual, dan apresiasi terhadap budaya. Modal sosial diperoleh melalui hubungan sosial dan
keanggotaan dalam suatu kelompok sosial tertentu, termasuk hubungan sosial individu dengan orang

yang berkuasa. Modal simbolik adalah kepemilikan individu yang telah mendapat pengakuan dari
orang-orang di sekitarnya, seperti status sosial, kekuasaan, dan otoritas.

Individu yang memiliki modal-modal tersebut akan memiliki kekuatan untuk mendominasi sistem

sosial meskipun dari sisi jumlah, individu yang memiliki modal ini jumlahnya sedikit, sehingga dalam
praktiknya justru kelompok minoritaslah yang memiliki kekuasaan ini. Cara yang ditempuh kelompok
minoritas tersebut adalah melalui –apa yang dinamakan— sosialisasi habitus, yaitu serangkaian nilai,

norma, gaya hidup, atau kecenderungan yang menuntun perilaku seseorang melalui sosialisasi
(Wacquant, 2013). Habitus dimiliki dan mencerminkan posisi atau kelas sosial tertentu bagi
pemiliknya (Haralambos & Holborn, 2004). Habitus dapat ditularkan dari kelas sosial yang satu ke


kelas sosial yang lain melalui sosialisasi yang berlangsung secara implisit, sehingga kelompok yang

“meniru” habitus sosial tersebut melakukan imitasi tanpa menyadarinya (Bourdieu, 1984). Sosialisasi

habitus dilakukan menggunakan instrumen bahasa untuk memengaruhi pengetahuan individu
(Bourdieu & Passeron, 1977). Untuk itu, bagi Bourdieu (1991) bahasa bukan sekedar alat komunikasi,
melainkan juga menjadi instrumen kekuasaan simbolik ini.

Kekuasaan simbolik yang diwujudkan dalam kepemilikan berbagai modal simbolik merupakan
instrumen untuk melakukan dominasi terhadap kelompok sosial lainnya. Inilah yang kemudian

dinamakan mekanisme kekerasan simbolik. Kekerasan ini merupakan proses memaksakan habitus
kelompok tertentu kepada kelompok yang lain yang dilakukan secara halus, sehingga kelompok yang
menjadi objek kekerasan tidak menyadari bahwa dirinya sedang menjadi objek kekerasan tersebut.

Menurut Bourdieu (Bourdieu & Passeron, 1977), dalam praktiknya sekolah menjalankan fungsi

reproduksi sosial ketika sekolah lebih banyak melayani kebutuhan kelas atas atau kelas dominan.
Sekolah gagal digunakan sebagai alat mobilitas sosial individu kelas bawah. Sebaliknya, sekolah
digunakan kelas atas untuk mempertahankan posisi dan dominasinya terhadap kelas bawah,


4

Jurnal Interaksi. 2014.
Vol. 8 (1), p. 28-39.

akibatnya mereka akan selalu membatasi akses kelas bawah untuk menikmati fasilitas pendidikan
yang lebih tinggi. Ketika kelas bawah berhasil memasuki sekolah dengan berbagai cara (mendapatkan

beasiswa, atau mendapat fasilitas sekolah gratis dari negara misalnya), kelas atas akan membuat
suasana di sekolah menjadi tidak nyaman bagi individu kelas bawah. Mereka menggunakan kekuasaan
simbolik. Kelas atas memosisikan dirinya sebagai kelas dominan, sementara kelas bawah diposisikan
sebagai objek dominasi.

Selanjutnya, sekolah secara perlahan telah melakukan apa yang disebut kekerasan simbolik (Bourdieu
& Passeron, 1977). Ini dilakukan dengan cara menyosialisasikan habitus-habitus atau budaya kelas
atas secara terus menerus di sekolah dengan berbagai cara. Sementara, siswa dari kelas bawah tanpa

sadar telah dipaksa mengikuti habitus tersebut. Budaya memakai seragam, dasi, sepatu adalah budaya
kelas atas yang dipaksakan kepada siswa kelas bawah. Siswa kelas bawah dipaksa memakai berbagai

atribut “milik kelas atas” tersebut.

Kekerasan simbolik juga dilakukan melalui materi pelajaran di sekolah. Buku-buku pelajaran di
sekolah ternyata lebih banyak menggambarkan budaya kelas atas melalui tulisan maupun gambar.

Kebiasaan-kebiasaan siswa kelas atas setiap hari diajarkan di sekolah: bertamasya, merayakan ulang

tahun, mencuci mobil, berangkat ke kantor, dan sebagainya. Sementara, budaya siswa kelas bawah

sedikit digambarkan dalam buku-buku pelajaran. Selain itu, deskripsi mengenai kebiasaan kelas
bawah lebih banyak menggunakan sudut pandang orang ketiga, seperti dia atau mereka. Ini
menunjukkan bahwa posisi kelas bawah seolah-olah ditempatkan di luar sana, sedangkan siswa yang

membaca buku-buku pelajaran diposisikan sebagai kelas atas dengan menggunakan kata aku atau
saya (Martono, 2012). Siswa dari kelas bawah dipaksa menerima materi tersebut meskipun mereka
sebenarnya berada dalam posisi marginal.

Berkaitan dengan kepemilikan modal, meskipun siswa dari kelas atas dan kelas bawah diberi

kesempatan yang sama, namun mereka tetap memiliki perbedaan dalam masalah pencapaian prestasi.
Sekolah memang telah berupaya melakukan meritokrasi ketika keduanya dapat mengenyam

pendidikan di tempat yang sama, akan tetapi bagi Bourdieu meritokrasi tidak serta merta menghapus
meritokrasi dalam masalah prestasi belajar. Siswa dari kelas bawah tetap saja memiliki prestasi yang

berbeda karena mereka selamanya tidak mampu menyamai modal yang dimiliki siswa dari kelas atas.
Di rumah, siswa kelas atas dapat melampaui pengetahuan yang telah diperoleh kelas bawah melalui,

misalnya, les di luar jam sekolah. Di rumah mereka memiliki fasilitas belajar dan sumber pengetahuan
yang lebih lengkap, mereka juga memiliki banyak pengalaman yang sulit dimiliki siswa kelas bawah,

misalnya karena mereka sering melakukan rekreasi. Sementara siswa dari kelas bawah sulit
melakukannya. Bourdieu menyatakan bahwa pengalaman budaya (modal budaya) berkorelasi dengan
prestasi siswa (Sullivan, 2002). Meskipun ada pendapat yang mengatakan bahwa ada siswa kelas

5

Jurnal Interaksi. 2014.
Vol. 8 (1), p. 28-39.

bawah yang mampu meraih prestasi melampaui kelas atas, namun itu jumlahnya hanya sedikit. Secara
umum, siswa kelas atas lebih berpotensi meraih prestasi tinggi daripada siswa dari kelas bawah.

Foucault: Wacana dalam Kekuasaan

Foucault tidak menjelaskan makna kekuasaan secara eksplisit. Namun ia menjelaskan bahwa

kekuasaan tidak hanya terjadi ketika satu kelompok terdominasi oleh kelompok lainnya. Ia tidak
sependapat dengan Marx yang memaknai kekuasaan sebagai hubungan yang tidak seimbang yang

menimbulkan konflik antarkelas (Martono, 2014). Bagi Foucault, kekuasaan bersifat divergen atau

menyebar, ia tidak berada di satu tempat. Kekuasaan juga tidak dimiliki orang-orang tertentu saja.
Akan tetapi, kekuasaan berada di mana-mana, dalam wujud yang nyata maupun yang tersembunyi.
Bahkan, kekuasaan juga dapat bersumber dari mana saja, dan dimiliki siapa saja. Ketika ada interaksi

atau hubungan (relasi) sosial –meski hanya melibatkan dua orang saja—, di dalamnya akan muncul

praktik-praktik kekuasaan. Selain itu, kekuasaan tidak selalu bermakna negatif, berhubungan dengan
pemerintahan, pemaksaan, pelarangan, penekanan (plesure), penyaringan (censor), dan dominasi yang
seragam, akan tetapi ia bersifat produktif dan kreatif (Cronin, 1996; Simola, et. al., 1998).

Foucault menyatakan bahwa penggunaan kekuasaan tidak selalu hanya terkait dalam hal

penggulingan institusi, organisasi, birokrasi, atau negara. Penggunaan kekuasaan juga meliputi proses
redistribusi pengaruh serta kemampuan mengubah cara berpikir seseorang untuk kemudian
memberikan waktu dan keadaan yang tepat, sehingga memungkinkan terjadinya perubahan
kelembagaan (Oliver, 2010).

Foucault (1966) menjelaskan lima proposisi mengenai kekuasaan:

“... Pertama, kekuasaan bukanlah sesuatu yang dapat dimiliki atau tidak dapat dimiliki,
melainkan ia selalu dilakukan dari setiap titik dalam setiap hubungan apapun. Kedua, kekuasaan
tidak hanya diterapkan dan muncul secara eksternal dalam hubungan ekonomi, pengetahuan,
atau seks. Sebaliknya, ia berada di dalam hubungan ini dan menentukan struktur internal
mereka. Ketiga, kekuasaan tidak hanya datang dari atas, dan tidak semua hubungan kekuasaan
dibentuk sesuai keinginan penguasa atau pemerintah. Keempat, meskipun ada kemungkinan
untuk mengidentifikasi desain dan strategi hubungan kekuasaan, namun tidak ada subjek
individu yang menjalankan kekuasaan ini. Kelima, resistensi (penolakan) merupakan bagian
hubungan kekuasaan, dan tidak berada di luarnya ....”.

Berdasarkan pandangan tersebut, kekuasaan tidak dimiliki oleh individu atau kelompok tertentu

(Smart, 1985). Dalam praktik kekuasaan, individu berfungsi sebagai kendaraan atau alat kekuasaan,

bukan sebagai objek atau tempat melaksanakan kekuasaan. Kekuasaan selalu muncul dalam bentuk

sistem kontrol yang membatasi aktivitas manusia serta mampu memengaruhi praktik sosial seharihari. Untuk itu, kekuasaan harus dianalisis sebagai sesuatu yang selalu berubah (Foucault, 1966).

6

Jurnal Interaksi. 2014.
Vol. 8 (1), p. 28-39.

Kekuasaan bekerja melalui pengetahuan dan wacana. Untuk menjelaskan ini, Foucault (1966)

menggunakan konsep sejarah pengetahuan atau episteme. Episteme adalah cara sebuah objek menjadi

berada yang muncul dalam bidang tersebut, memberikan persepsi manusia setiap hari dengan
menggunakan kekuatan teoretis, dan mendefinisikan kondisi tempat ia dapat mempertahankan
wacana mengenai hal-hal yang diakui untuk menjadi kenyataan. Menurut Foucault (1966) episteme

mengendalikan dan mengontrol pengetahuan manusia melalui tiga hal: ketabuan, kegilaan, dan
ketidakbenaran. Pengetahuan manusia dikonstruksi untuk membedakan “mana yang tabu dan mana

yang pantas”; “mana yang gila dan mana yang normal (waras)”; dan “mana yang benar dan mana yang
salah”.

Menurut Foucault (1966) ada hubungan antara bahasa dan realitas. Bahasa digunakan untuk
melegitimasi kebenaran. Bahasa adalah alat untuk mengatur pengetahuan manusia, sehingga ia selalu

bekerja secara aktif. Bahasa adalah bagian wacana (Garrity, 2010) yang merefleksikan perbedaan
bentuk budaya, kebiasaan, adat, dan pengetahuan. Selanjutnya, wacana diguanakan untuk

melegitimasi kekuasaan tertentu. Wacana menyediakan kondisi materiil ketika individu diproduksi –
baik sebagai subjek atau sebagai objek. Ini merupakan bentuk kekuasaan yang dilaksanakan melalui
wacana hukum, kedokteran, psikologi dan pendidikan (Codd, 1988).

Wacana dipengaruhi pengetahuan dan kekuasaan secara bersama-sama. Kekuasaan menentukan
pengetahuan apa saja yang dianggap sebagai sebuah kebenaran, kenormalan, sehingga ia dapat
menjadi wacana umum. Wacana membantu menjelaskan mekanisme distribusi kekuasaan, sehingga
dapat menjadi alat menyebarkan dan mewujudkan kekuasaan. Wacana disebarkan melalui berbagai

cara, salah satunya adalah melalui sosialisasi kepada individu. Wacana juga ada yang disebarkan
menggunakan paksaan atau kekerasan dengan melibatkan unsur kekuasaan (Martono, 2014).

Kekuasaan negara dalam pendidikan diwujudkan dalam serangkaian wacana “khusus”, yaitu wacana

resmi dari negara yang berkaitan dengan pendidikan kebijakan. Kurikulum, sistem penilaian,

manajemen sekolah adalah contoh wacana yang menjadi instrumen dan objek kekuasaan (Jardine,

2005; Kenway, et. al., 1994). Kekuasaan menetapkan sejumlah standarisasi penilaian di sekolah yang
digunakan sebagai alat untuk mengklasifikasikan siswa dalam berbagai kategori menurut tingkat

kecerdasannya (Liasidou, 2010). Akibatnya, sekolah memiliki kekuasaan untuk memetakan dan

menilai apakah seorang siswa termasuk kategori siswa “jenius atau idiot”, “cerdas atau tidak cerdas”,
“pintar atau bodoh”, “rajin atau malas”, “aktif atau pasif” berdasarkan kriteria penilaian tertentu.

Sekolah-sekolah menjadi “ruang perilaku yang terorganisasi” yang menetapkan norma-norma
mengenai kemampuan divergensi anak sehingga kemampuan mereka dapat dipetakan (Allen, 2012;

Rose 1999). Dalam praktiknya, guru juga dapat diposisikan sebagai unsur kekuasaan yang
berhubungan secara langsung dengan siswa karena dialah yang memberikan penilaian secara
langsung di sekolah.

7

Jurnal Interaksi. 2014.
Vol. 8 (1), p. 28-39.

Foucault menjelaskan bahwa sekolah dalam masyarakat modern telah mengotak-kotakkan

pengetahuan dalam beberapa kategori yang “saling terpisah”. Mereka memisahkan subjek, mata

pelajaran, jurusan atau program studi, yang kemudian berdampak pada masa depan siswa (Martono,
2014). Sebelumnya sekolah juga telah menerapkan sistem seleksi untuk memilih dan memilah

individu mana yang layak menikmati pendidikan di tempat mereka. Mekanisme seleksi masuk sekolah
menjadi mekanisme bekerjanya kekuasaan dalam pendidikan. Agar individu dapat menikmati fasilitas

pendidikan di sekolah tertentu, mereka harus memenuhi serangkaian kriteria yang telah ditentukan
sekolah.

Dalam buku “Surveiller et punir: naissance de la prison” Foucault (1975) menguraikan beberapa aspek

sosial dalam proses pendisiplinan dan penghukuman melalui sistem penjara yang dalam

perkembangannya proses ini berimplikasi dalam praktik pendidikan modern. Tujuan utama Foucault
dalam buku ini adalah menjelaskan perubahan disiplin tradisional menuju disiplin masyarakat

modern (Ball, 2013). Disiplin tradisional didominasi penggunaan hukuman secara fisik yang dilakukan
di depan publik. Mekanisme ini kemudian mengalami perubahan ketika masyarakat memandang

bahwa hukuman fisik dinilai sebagai hukuman yang tidak manusiawi. Perubahan ini juga terjadi dalam

mekanisme hukuman di sekolah. Menurut Pongratz (2007), dalam masyarakat modern “tidak ada
alasan yang membenarkan hukuman secara fisik di sekolah”. Hukuman fisik dinilai bukan merupakan

hukuman yang mendidik, dan cenderung menyebabkan si anak yang dihukum memiliki niat untuk

melakukan balas dendam atau meluapkan kekecewaanya dengan kekerasan pula. Pendidikan modern
lebih mengedepankan hukuman “yang mendidik”, yaitu bentuk hukuman yang membuat siswa
menjadi belajar dan menyadari kesalahannya.

Menurut Foucault (1975), telah terjadi perubahan hukuman metode penghukuman yang semula
menggunakan hukuman fisik kemudian berganti dengan hukuman melalui mekanisme pendisiplinan.

Pendisiplinan menjadi karakter masyarakat modern, yaitu sebuah proses mengubah diri individu agar
mau bertindak sesuai norma dan nilai masyarakat. Pendisiplinan bekerja melalui proses dan jaringan
hubungan untuk mengontrol aktivitas masyarakat (Joas, 2008; Walshaw, 2007). Disiplin berfungsi

untuk mengendalikan, mengoreksi, mengatur, dan mengawasi tubuh menggunakan norma sebagai
standar (Foucault, 1975).

Pendisiplinan dilakukan melalui tiga metode utama. Pertama, pengamatan. Foucault (1975)

menawarkan metode pengamatan melalui metode panopticon. Pengamatan ini dilakukan tanpa
sepengetahuan individu yang diamati, sehingga individu tidak menyadari bahwa dirinya sedang

menjadi objek yang diamati setiap saat. Ini adalah manifestasi kekuasaan yang tersembunyi. Dalam

pendidikan, panopticon diterapkan dalam berbagai cara: seragam sekolah menjadi wujud panoticon
karena ketika mengenakan seragam sekolah, siswa tidak dapat berperilaku secara bebas. Ketika

membolos dengan mengenakan seragam, maka ia akan mudah dikenali; di sekeliling gedung sekolah
8

Jurnal Interaksi. 2014.
Vol. 8 (1), p. 28-39.

biasanya dipasang pagar pembatas agar siswa tidak sembarangan keluar masuk lingkungan sekolah.

Pintu gerbang akan ditutup selama jam belajar di sekolah berlangsung, dan siswa tidak dengan mudah
membuka pintu gerbang ini. Mereka selalu diawasi. Pagar sekolah menjadi panopticon yang menjaga

lingkungan sekolah dan mencegah siswa membolos pada jam sekolah (Martono, 2014). Dalam proses
pembelajaran, siswa mendapatkan pengawasan dari guru, sehingga siswa adalah objek yang selalu

diawasi di sekolah (Walshaw, 2007). Pengawasan ini dilakukan melalui supervisi, pengamatan,
pemantauan, bahkan dalam kasus tertentu dapat dilakukan dengan ancaman (Gore, 1998).

Mekanisme kedua adalah normalisasi atau standarisasi, yaitu sebuah metode yang digunakan untuk
mengukur, mengelompokkan, dan mengategorikan individu sesuai standar atau norma tertentu (Allan,

2013; Jardine, 2005). Melalui normalisasi, seorang individu tidak hanya dinilai dari kebaikan dan

kesalahan yang dilakukannya, akan tetapi ia dinilai dengan membandingkannya dengan individu lain
menggunakan standar tertentu (Foucault, 1975; Gutting, 2005). Standar norma di sekolah diwujudkan

dalam “standar prestasi”. Kemampuan, kecerdasan, atau prestasi siswa akan distandardisasi,
kemudian standardisasi ini menjadi bahan perbandingan prestasi antarsiswa (Martono, 2014). Tata

tertib sekolah juga merupakan wujud standarisasi perilaku siswa. Melalui tata tertib ini, sekolah dapat

dengan mudah mengklasifikasikan “mana siswa yang disiplin dan mana yang tidak disiplin”, “mana

siswa yang patuh, mana yang membangkang”, “mana siswa yang layak mendapat pujian, dan mana
siswa yang layak mendapat hukuman”. Ini semua ditentukan berdasarkan tata aturan yang berlaku di
sekolah.

Sekolah juga tidak luput dari standarisasi ini. Negara menyusun instrumen standarisasi melalui proses
akreditasi. Akreditasi adalah wujud standarisasi pendidikan, sekaligua wujud campur tangan negara
sebagai pemangku kekuasaan dalam penyelenggaraan pendidikan.

Ketiga, ujian, yaitu lokus utama kekuasaan atau pengetahuan modern yang menggabungkan kekuatan

(kemampuan, kecerdasan) dan kebenaran dalam satu kesatuan yang utuh (Gutting, 2005; Jardine,
2005). Hasil ujian digunakan untuk memberikan ganjaran atau hukuman kepada individu melalui

mekanisme sebelumnya, yaitu pengamatan bertingkat dan normalisasi penilaian. Sistem ujian
mengelompokkan siswa ke dalam kategori-kategori tertentu sesuai standar penilaian yang telah
ditetapkan sekolah. Standar ini memisahkan kemampuan siswa secara sederhana, ia menganalisis

kompetensi secara individual, dan mengurutkan kemampuan individu, serta memberikan latihan
kepada individu untuk memperbaiki hasilnya (Devine-Eller, 2004).

Dalam “Histoire de la sexualite 1: La volonte de savoir”, Foucault (1976) menjelaskan contoh bagaimana

kekuasaan telah mengubah cara pandang masyarakat mengenai wacana seksualitas. Kekuasaan

berperan dalam mengubah pemikiran manusia mengenau seksualitas, dan memosisikan seksualitas
sebagai batas antara apa yang dilarang dan apa yang diperbolehkan, antara apa yang benar dan apa

9

Jurnal Interaksi. 2014.
Vol. 8 (1), p. 28-39.

yang salah, antara apa yang normal dengan apa yang tidak normal, antara yang tabu dan tidak
(Martono, 2014).

Wacana seksualitas dimasukkan dalam kurikulum melalui pendidikan seks. Sebelumnya wacana ini

tidak mendapatkan tempat di sekolah karena tekanan kekuasaan yang menabukan seksualitas di

muka umum (Oliver, 2010). Seksualitas kemudian menjadi bahan diskusi penting dari aspek

pendidikan dan kesehatan. Ini kemudian memicu wacana seksualitas masuk dalam ranah pendidikan
karena berkaitan dengan masalah sosialisasi kesehatan (reproduksi), perkembangan psikologis,

moralitas anak, etika, dan norma sosial. “Seksualitas bukan sekedar fakta individu, namun merupakan
sebuah konsep budaya. Setiap individu tidak dilahirkan sebagai makhluk seksual, namun ia belajar
bagaimana menjadi diri mereka dengan bertindak sesuai peran budaya” (Drazenovich, 2011).

Wacana seksualitas dapat dengan mudah ditemukan dengan melihat pemisahan berbagai ruang antara

laki-laki dan perempuan. Sekolah tertentu memisahkan ruang kelas untuk laki-laki dan perempuan.
Fasilitas sekolah di setiap sekolah (misalnya kamar mandi) juga memisahkan tempat untuk laki-laki
dan perempuan.

Kesimpulan

Kekuasaan merupakan unsur dalam pendidikan yang eksistensinya dapat bersifat nyata maupun tidak
nyata, dapat disadari maupun tidak disadari. Kekuasaan mewujudkan tujuannya dengan berbagai cara.
Bourdieu menyebut kekuasaan bergerak melalui simbol-simbol sosial yang kemudian ia menyebutnya
sebagai kekuasaan simbolik. Kekuasaan ini menggerakkan dan menjiwai proses pendidikan secara

halus. Sulit bagi individu mengenali mekanisme kerja kekuasaan yang sebenarnya ada di sekitar
mereka. Bahkan, melalui kekuasaan simbolik, setiap individu hampir tidak menyadari bahwa dirinya
sedang menjadi objek kekuasaan. Bagi Bourdieu, sekolah merupakan tempat yang strategis bagi kelas
dominan untuk melakukan kekerasan simbolik ini. Mereka melakukannya dengan berbagai cara:

melalui gaya hidup yang disosialisasikan di sekolah dan melalui materi pelajaran di sekolah yang lebih
banyak menghadirkan habitus kelas dominan daripada habitus kelas bawah. Kelas dominan
menggunakan sekolah sebagai tempat melanggengkan kekuasaan dan mempertahankan posisinya.

Berbeda dengan Foucault, ia tidak eksplisit menyebutkan siapa pihak yang berkuasa dan siapa yang

dikuasai. Pada intinya Foucault menyatakan bahwa siapa pun dapat memiliki kekuasaan karena
kekuasaan bersifat “dapat dipindahkan”. Dalam pendidikan, kekuasaan bekerja menggunakan wacana

yang muncul dalam wujud nyata melalui berbagai regulasi negara, misalnya: wacana kurikulum,

penilaian. Kekuasaan juga dapat muncul dalam mekanisme pengawasan terhadap individu di sekolah

secara langsung maupun tersembunyi. Standarisasi dalam pendidikan juga merupakan wujud
kekuasaan yang mampu membedakan setiap individu dalam beberapa kategori. Standarisasi ini

dikolaborasikan dengan sistem penilaian, sehingga sekolah mampu membedakan siswa dalam

10

Jurnal Interaksi. 2014.
Vol. 8 (1), p. 28-39.

kategori pintar-bodoh, jenius-idiot dan pengategorian lainnya. Foucault juga menganalisis perubahan
perlakuan terhadap manka seksualitas dalam pendidikan. Ketika sebelumnya seksualitas dianggap
sebagai bentuk ketabuan, namun akhirnya kekuasaan membuka wacana seksualitas ini di ruang

publik, termasuk dalam pendidikan. Wacana seksualitas masuk dalam pendidikan dalam berbagai

bentuk: pendidikan seks, kesehatan reproduksi, serta wacana pemisahan ruang antara laki-laki dan
perempuan di sekolah dalam fasilitas pendidikan.

Daftar Pustaka

Allan, J. (2013). Foucault and his acolytes: Discourse, power, and ethics, in M. Murphy (ed.). Social
theory and education research: Understanding Foucault, Habermas, Bourdieu, and Derrida.
London: Routledge.

Allen, A. (2012). Using Foucault in education research. British Educational Research Association. on-line
resource:
http://www.bera.ac.uk/system/files/Using
%20Foucault%20in%20education%20research.pdf, last accessed November 4, 2013.
Ball, S. J. (2013). Foucault, Power, and Education. London: Routledge.

Bourdieu, P. (1984). Distinction: A social critique of the judgment of taste. London: Routledge.

Bourdieu, P. (1986). The forms of capital, in J. Richardson (ed.) Handbook of theory and research for the
sociology of education. New York: Greenwood.

Bourdieu, P. (1991). Languange and symbolic power. Cambridge: Polity Press.

Bourdieu, P. (1993). The field of cultural production: Essays on art and literature. Cambridge: Polity
Press.

Bourdieu, P., & Passeron, J. C. (1977). Reproduction in education, society, and culture. London: SAGE
Publications.
Budiardjo, M. (2000). Dasar-dasar ilmu politik. Jakarta: Gramedia.

Canning, J. (1996). A history of medieval political thought 300-1450. London: Routledge.

Codd, J. (1988). The construction and deconstruction of educational policy documents. Journal of
Education Policy. Vol. 3 (3), 235-247.

Cowen, R. (1996). “Last past the post: Comparative education, modernity, and perhaps post
modernity”, in Comparative education. Vol. 32 (2), 155-170.
Cronin, C. (1996). Bourdieu and Foucault on Power and Modernity, in Philosophy Social Criticism. Vol.
22 (6), 55-85.

Devine-Eller, A. (2004). Applying Foucault to education. retrieved: October 12, 2013, from
http://issuu.com/gfbertini/docs/applying_foucault_to_education.

Drazenovich, G. (2011). Queering sex education. Literacy Information and Computer Education Journal
(LICEJ). Vol. 2 (2), 377-81.
Durkheim, E. (1956). Education and sociology. New York: The Free Pres.

Foucault, M. (1966). Les mots et les choses: Une archéologie des sciences humaine. Paris: Tel Gallimard.

Foucault, M. (1975). Surveiller et punir: Naissance de la prison. Paris: Tel Gallimard.

11

Jurnal Interaksi. 2014.
Vol. 8 (1), p. 28-39.

Foucault, M. (1976). Histoire de la sexualité I: La volonté du savoir. Paris: Gallimard.

Garrity, Z. (2010). Discourse analysis, Foucault and social work research identifying some
methodological complexities. Journal of Social Work. Vol. 10 (2), 193–210.

Giddens, A. (1984). The constitution of society: Outline of the theory of structuration. Cambridge: Polity
Press.
Gore, J. M. (1998). “Disciplining bodies: On the continuity of power relations in pedagogy”, in T. S.
Popkewitz & M. Brennan (eds.). Foucault’s challenge: Discourse, knowledge, and power in
education. New York: Teacher College.
Gramsci, A. (1995). Further Selections from the prison notebooks. Minneapolis: University of Minnesota
Press.
Gutting, G. (2005). Foucault: A very short introduction. Oxford: Oxford University Press.

Haralambos and Holborn. (2004). Sociology: Themes and perspectives 6th edition. London: Harper
Collins Publisher.

Haugaard, M. & Clegg, S. R. (2009). “Introduction: Why power is the central concept of the social
sciences”, in M. Haugaard & S. R. Clegg. The SAGE handbook of power. London SAGE Publications.
Jardine, G. M. (2005). Foucault and education. New York: Peter Lang Publishing, inc.

Joas, H. (2008). Punishment and respect the sacralization of the person and its endangerment. Journal
of Classical Sociology. Vol. 8 (2), 159–177.
Kenway, J. et. al. (1994) New education in new times. Journal of education policy. Vol. 9 (4), 317–33.

Klemp, M. et. al. (2012). Family investment strategies in pre-modern societies: Human capital,
migration, and birth order in seventeenth and eighteenth century England. EHES working papers
in economic history. No. 18.
Liasidou, A. (2010). Unequal power relations and inclusive education policy making: A discursive
analytic approach. Educational Policy. Vol. 25 (6), 887-907.

Marshall, G. (1998) "Hegemony." A dictionary of sociology. 1998. Retrieved October 31, 2014 from
Encyclopedia.com: http://www.encyclopedia.com/doc/1O88-hegemony.html.

Martono, M. (2012). Kekerasan simbolik di sekolah: Sebuah ide sosioogi pendidikan Pierre Bourdieu.
Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Martono, M. (2014). Sosiologi pendidikan Michel Foucault. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Marx, K. (1976). Capital volume I. Harmondsworth: Penguin Books.

Meighan, R. & Blatchford, S. B. (1998). A sociology of educating 3rd edition. New York: Wellington House.

Meighan, R. (1981). Sociology of educating. New York: Holt Education.

Oliver, P. (2010). Foucault the key ideas. United States: McGraw-Hill Companies, inc.

Pongratz, L. (2007). “Freedom and discipline: Transformations in pedagogic punishment”, in M. A.
Peters & T. A. C. Besley (eds.). Why Foucault? New direction in educational research. New York:
Peter Lang.
Rappleye, J. (2012). Educational policy transfer in an era of globalization: Theory, history, comparison.
Frankfurt: Peter Lang.
12

Jurnal Interaksi. 2014.
Vol. 8 (1), p. 28-39.

Rose, N. (1999). Governing the soul: the shaping of the private self – 2nd edition. London: Free
Association Books.

Rury, J. L. (2005). Education and Social Change: Themes in the History of American Schooling. New
Jersey: Mahwah.

Simola, H., et. al. (1998). A catalog of possibilities: Foucaultian history of truth and education resarch,
in T. Z. Popkewitz & M. Brennan (eds). Foucault’s challenge: Discourse, knowledge, and power in
education. New York: Teacher College Press.
Smart, B. (1985). Michel Foucault. New York: Routledge.

Sullivan, A. (2002). Bourdieu and education: How useful is bourdieu's theory for researchers? The
Netherlands journal of social sciences. Vol. 38 (2), 144-166.

Turner, J. C. (2005) Explaining the nature of power: A three-process theory. European journal of social
psychology. 35, 1-22.

Wacquant, L. (2013). Symbolic power and group-making: On Pierre Bourdieu’s reframing of class.
Journal of classical sociology. Vol. 13 (2), 274-291.

Walshaw, M. (2007). Working with Foucault in education. Rotterdam: Sense Publishers.

Weber, M. (1968). On charisma and institution building. Chicago: University of Chicago Press.
Weber, M. (1998). From Max Weber: Essays in sociology. London: Routledge.

Wolin, S. S. (2004). Politics and vision: Continuity and innovation in western political thought expanded
edition. Princenton: Princeton University Press.

13

Jurnal Interaksi. 2014.
Vol. 8 (1), p. 28-39.