PERKAWINAN BEDA AGAMA DALAM TINJAUAN HUK (1)

Jurnal. Asman, Perkawinan Beda Agama Dalam Tinjauan Hukum Islam Dan Hukum
Indonesia.

PERKAWINAN BEDA AGAMA
DALAM TINJAUAN HUKUM ISLAM
DAN HUKUM INDONESIA
Oleh : Asman (F02916204)
Abstract: Phenomenon of different religion marriage is not a
new thing in Indonesia although the Marriage Act No.1 of 1974
did not regulate the marriage with one of the couple has a
different religion. While all of recognized religion in Indonesia
did not permit the marriage if both of bride and bridegroom
have different religion. In this condition there is a law vacancy
for them who will do a marriage. He marriage regulation in
Indonesia requires a recording of the marriage either in
Indonesia. The problem in this thesis in what the position of
different religion marriage in law system in Indonesia and law
system in islamic, This research applies normative juridical
method to study the regulations and the jurisdiction. As a
normative law research, the data collecting method in this
study is a library research. Recording of marriagemean sthat

them arriage was not legal under Indonesian law. Recording
only the fulfillment of administrative duties and provide status
in social life and give status in life of society so that clear legal
status as citizens.
Keywords: Interfaith Marriage

A. PENDAHULUAN
Perkawinan beda agama antara muslim dengan non muslim pada
masa pemerintahan kolinial termasuk dalam lingkup perkawinan campuran
yang diatur dalam Penetapan Raja tanggal 29 September 1896 No.
(Stb.1898 No.158) yang dikenal dengan Regeling op de gemengde
huwelijken (GHR). 1 Pada masa itu pernikahan beda agama tidak menjadi
penghalang sahnya perkawinan, dan perkawinan dianggap sah jika
mengikuti peraturan Negara. Kebolehan pernikahan antar agama dipertegas
1

Pasal 1 GHR menyebutkan bahwa perkawinan campuran melingkupi; perkawinan campuran
internasional, perkawinan campuran anatar tempat, perkawinan campuran antar golongan, dan
perkawinan campuran anatar agama.


1

Jurnal. Asman, Perkawinan Beda Agama Dalam Tinjauan Hukum Islam Dan Hukum
Indonesia.

pada pasal 7 ayat (2) GHR yang menetapkan bahwa “perbedaan agama,
bangsa atau asal usul sama sekali tidak menjadi penghalang untuk
melakukan perkawinan”.
Pada masa kemerdekaan dikeluarkanlah Undang-Undang Perkawinan
No.1 tahun 1974 (selanjutnya disingkat UUP) untuk memenuhi kebutuhan
hukum perkawinan. Dalam pasal 2 ayat (1) dinyatakan bahwa “perkawinan
adalah sah, apabila dilakukan menurut masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu”. Pasal ini ditafsirkan bahwa perkawinan dianggap sah
jika dilansungkan kepada agama para pihak. Maka jika pernikahan
dianggap tidak sah oleh agamanya, maka Negara tidak akan mengakuinya.
Perdebatan tentang keboleh atau tidak perkawinan beda agama
menjadi hangat ketika dikeluarkannya putusan Mahkamah Agung nomor
1400/K/Pdt/1986 yang mengizinkan pernikahan berbeda agama dengan
mengganggap salah satu pihak tidak lagi menghiraukan status agamanya
(in casu agama islam), sehingga diperbolehkan dicatatkan di Kantor

Catatan Sipil. Diskusi ini mencuat kembali saat ini dengan diajukannya
Judicial Review pasal 2 ayat (1) UUP yang dianggap tidak memberikan
kepastian hukum bagi yang akan melakukan perkawinan beda agama di
Indonesia sehingga dianggap bertentangan dengan UUD 1945.
Pernikahan beda agama menjadi pembahasan yang menarik dan tidak
berkesudahan, karena pasal 2 ayat (1) masih menimbulkan banyak
perbedaan

penafsiran.

Sedangkan

masalah

dimasyarakat

tentang

perkawinan beda agama semakin berkembang dan membutuhkan kepastian
hukum.

Dalam membahas masalah ini pemakalah menggunakan pendekatan
normatif-yuridis

dengan

mengkaji

undang-undang

yang

ada,

serta

mengutip beberapa penafsiran para fuqaha’ dan ahli hukum yang sudah
ada untuk menjawab permasalahan yang ada.

2


Jurnal. Asman, Perkawinan Beda Agama Dalam Tinjauan Hukum Islam Dan Hukum
Indonesia.

B. PERKAWINAN BEDA AGAMA DALAM HUKUM ISLAM
1. Dasar Hukum dan Tafsir Para Ulama
Para ulama sepakat bahwa pernikahan beda agama antara muslim dan
non muslim tidak diperbolehkan. 2 Dengan menggunakan landasan hukum
Al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 221.

          
          
            
         
3

Artinya :



“dan janganlah kamu kawini Dengan perempuan-perempuan kafir

musyrik sebelum mereka beriman (memeluk agama Islam); dan
Sesungguhnya seorang hamba perempuan Yang beriman itu lebih
baik daripada perempuan kafir musyrik sekalipun keadaannya
menarik hati kamu. dan janganlah kamu (kawinkan perempuanperempuan Islam) Dengan lelaki-lelaki kafir musyrik sebelum
mereka beriman (memeluk ugama Islam) dan Sesungguhnya seorang
hamba lelaki Yang beriman lebih baik daripada seorang lelaki
musyrik, sekalipun keadaannya menarik hati kamu. (yang demikian
ialah kerana orang-orang kafir itu mengajak ke neraka sedang Allah
mengajak ke syurga dan memberi keampunan Dengan izinNya. dan
Allah menjelaskan ayat-ayatNya (keterangan-keterangan hukumNya)
kepada umat manusia, supaya mereka dapat mengambil pelajaran
(daripadanya)”.
Namun penafsiran menjadi berbeda ketika pernikahan terjadi antara
laki-laki

muslim

dengan

perempuan


2

ahli

kitab.

Sebagian

ulama’

Abdul Aziz Dahlan, et.al, Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 4 (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van
Hoeve, 1997), 1409.
3
Al-Qur’an. Surat Al-Baqarah : 221

3

Jurnal. Asman, Perkawinan Beda Agama Dalam Tinjauan Hukum Islam Dan Hukum
Indonesia.


memperbolehkan nikah beda agama laki-laki muslim dengan ahli kitab
berdasarkan pada tafsir Al-Qur’an surat al-Maidah ayat 5 yang merupakan
tahsin atas surat al-Baqarah 221.

           
          

         

            
4



Artinya:
“pada masa ini Dihalalkan bagi kamu (memakan makanan) Yang
enak-enak serta baik-baik. dan makanan (sembelihan) orang-orang
Yang diberikan Kitab itu adalah halal bagi kamu, dan makanan
(sembelihan) kamu adalah halal bagi mereka (tidak salah kamu

memberi makan kepada mereka). dan (dihalalkan kamu berkahwin)
Dengan perempuan-perempuan Yang menjaga kehormatannya di
antara perempuan-perempuan Yang beriman, dan juga perempuanperempuan Yang menjaga kehormatannya dari kalangan orang-orang
Yang diberikan Kitab dahulu daripada kamu apabila kamu beri
mereka maskahwinnya, sedang kamu (dengan cara Yang demikian),
bernikah bukan berzina, dan bukan pula kamu mengambil mereka
menjadi perempuan-perempuan simpanan. dan sesiapa Yang ingkar
(akan syariat Islam) sesudah ia beriman, maka Sesungguhnya
gugurlah amalnya (yang baik) dan adalah ia pada hari akhirat kelak
dari orang-orang Yang rugi”.
Perdebatan muncul ketika menafsirkan siapa ahli kitab? Secara
bahasa ahl al-kitab adalah penganut al-kitab. 5 Sedangkan secara istilah
para ulama’ berbeda pendapat tentang siapa mereka. Sebagian ulama’
berpendapat bahwa maksud musyrik adalah umum mencakup semua

musyrik baik menyembah berhala, majusi maupun ahli kitab. Pendapat ini
berdasarkan pengertian bahwa setiap kafir pada hakikatnya adalah
4
5


Al-Qur’an. Al-Midah : 5.
Warson Munawwir, Kamus Al-Munawir (Surabaya: Pustaka Progres, 1997), 46.

4

Jurnal. Asman, Perkawinan Beda Agama Dalam Tinjauan Hukum Islam Dan Hukum
Indonesia.

musyrik, juga didasarkan pada suatu riwayat Ibn Umar yang melarang
mengawini perempuan nasrani dan yahudi. Sebab, menurutnya Allah SWT
telah mengharamkan laki-laki muslim menikahi perempuan musyrik dan ia
tidak pernah tahu adakah syirik yang lebih besar dari seseorang yang
beriktikad bahwa Nabi Isa AS atau hamba Allah SWT yang lainnya adalah
Tuhannya.
Jumhur ulama’ lain berpendapat bahwa lafadz al-musyrikat tidak
mencakup ahli kitab. Dalam surat al-Bayyinah ayat 1 dengan jelas
membedakan antara musyrik dan ahli kitab dengan pernyataan yang
menggunakan kata penghubung atau huruf wawu ‘ataf. Menurut Rasyid
Rida kata penghubung wawu ‘ataf yang berarti “dan” ini menggandung
arti berbeda di antara kedua hal yang dihubungkan, berarti ahli kitab dan

musyrik tidaklah sama atau berbeda. 6 Imam Syafi’i menjelaskan bahwa
ahli kitab adalah terbatas pada keturunan bani Israil atau orang-orang yang
berpegang teguh pada kitab Taurat pada masa Nabi Musa dan kitab Injil
pada masa Nabi Isa.
Ibn Taimiyah menafsirkan surat al-Maidah ayat 5 membolehkan lakilaki muslim mengawini perempuan ahli kitab. Ibnu Rusyd menyatakan
bahwa ulama sepakat atas kehalalan menikahi perempuan ahli kitab dengan
syarat ia merdeka. 7 Ibn Munzir menyatakan tak ada dari sahabat yang
mengharamkan laki-laki muslim menikahi ahli kitab kecuali Ibn Umar.
Imam madzhab yang empat pada prinsipnya mempunyai pendapat
yang sama yaitu kebolehan mengawini perempuan ahli kitab. Madzhab
Hanafiyah berpendapat haram menikahi perempuan ahli kitab yang
berdomisili di wilayah yang sedang berperang dengan Islam (dar al-harb),
karena dikhawatirkan suami muslim akan patuh pada istri yang akan
membawa anak-anaknya kepada agama yang bukan Islam, dan suami
tersebut akan memberdaya dirinya sendiri serta tidak menghiraukan aliansi
dari perintah negarannya.
6
7

Muhammad Rasyid Rida, Tafsir al-manan (Beirut: Dar al-Fikrt, t.t), II, 394.
Ibn Rusyd, Bidayah, 33.

5

Jurnal. Asman, Perkawinan Beda Agama Dalam Tinjauan Hukum Islam Dan Hukum
Indonesia.

Pendapat madzhab Malikiyah terbagi dua; kelompok pertama,
menikahi ahli kitab baik di dar al harb ataupun zimmi hukumnya makruh
mutlak. Kelompok kedua, memandang tidak makruh mutlak sebab zahir
surat al-Maidah ayat 5 membolehkan secara mutlak tetapi tetap saja
makruh,

karena

digantung

kemakruhannya

itu

berkaitan

dengan

pemerintah islam. Sebab perempuan ahli kitab tetap saja tidak haram
minum khamr, memakan babi, dan pergi ke gereja.
Sebagaimana Malikiyah, madzhab Syafi’i memperbolehkan laki-laki
muslim menikah dengan perempuan ahli kitab. Karena Nabi Musa AS dan
Nabi Isa AS hanya diutus untuk orang-orang bangsa Israel dan Lafal min
qablikum (umat sebelum kamu) dalam surah al-Ma'idah ayat 5 menunjuk
kepada kedua kelompok Yahudi dan Nasrani bangsa Israel.
8

‫اﳌﺴﻠﻤﺔ ﻻﲢﻞ ﳌﴩك ﲝﺎل واﳌﺮ ٔ ة اﳌﴩﻛﺔ ﻗﺪﲢﻞ ﻠﻤﺴﲅ ﲝﺎل وﱓ ٔن‬
‫ﻜﻮن ﻛﺘﺎﺑﯿﺔ وﻻ ﺗﻨﻜﺤﻮ اﳌﴩﻛﲔ‬

Hambali

menghukumi

lain,

laki-laki

muslim

boleh

menikahi

perempuan ahli kitab tanpa makruh sama sekali, dengan syarat perempuan
tersebut ahli kitab dan merdeka.
2. Fatwa MUI
Pada tanggal 1 Juni 1980 MUI mengeluarkan fatwa keharaman
menikah orang muslim dengan non muslim, termasuk menikahi perempuan
ahli kitab. 9 Metode yang digunakan adalah istinbat al-ahkam dengan
berdasarkan kepentingan masyarakat Islam. Dan pada tanggal 30 September
MUI Jakarta menegaskan sekali lagi agar kaum muslimin untuk tidak
melakukan perkawinan beda agama.10
8

“perempuan muslimah tidak halal (menikah) dengan laki-laki musyrik dengan keadaan apa pun,
dan perempuan musyrik itu kadang-kadang halal (boleh menikah) bagi lelaki Islam dengan
sesuatu hal dan perempuan itu perempuan kitabi”. Al-Imam Abi Abdullah Muhammad bin Idris
al-Syafi’i, Al-Umm, (Beirut Libanon: Dar al-Kutub al-Ilmiah, tth), juz 4, 287
9
Muhammad Atho Mudzar, Fatwa-fatwa Majlis Ulama Indonesia: Sebuah Studi Tentang
Pemikiran Hukum Islam di Indonesia 1975-1988 (Jakarta: INIS, 1993), 99.
10
Abd Salam Arief, Pembaharuan Pemikiran Hukum Islam Antara Fakta dan Realita: Kajian
Pemikiran Mahmud Shaltuh (Jakarta; Lesfi, 2003), 130.

6

Jurnal. Asman, Perkawinan Beda Agama Dalam Tinjauan Hukum Islam Dan Hukum
Indonesia.

Musyawarah Nasional MUI ke-VII pada tanggal 26-29 Juli 2005 di
Jakarta memutuskan dan menetapkan bahwa: 1) Perkawinan beda agama
adalah haram dan tidak sah; 2) Perkawinan laki-laki muslim dengan
wanita ahli kitab menurut qaul mu’tama adalah haram dan tidak sah.
Keputusan fatwa tersebut didasarkan pada pertimbangan: a) bahwa
belakangan ini disinyalir banyak terjadi perkawinan beda agama; b) bahwa
perkawinan beda agama ini bukan saja mengandung perdebatan di antara
sesama umat Islam, akan tetapi juga mengandung keresahan di tengahtengah masyarakat; c) bahwa di tengah-tengah masyarakat telah muncul
pemikiran yang membenarkan perkawinan beda agama dengan dalih hak
asasi manusia dan kemaslahatan, dan; d) bahwa untuk mewujudkan dan
memlihara ketenteraman kehidupan berumahtangga, MUI memandang
perlu menetapkan fatwa tentang perkawinan beda agama untuk dijadikan
pedoman sebagaimana disebutkan di atas.11
Hasil dari rumusan diatas bahwa fatwa MUI tentang perkawian
beda agama merujuk dalam al-Qur’an surah al-Nisa [4]: 3, al-Rum [30]:
21, al-Tahrim [66]: 6, al-Maidah [5]: 5, al-Baqarah [2]: 221, alMumtahanah [60]: 10, al-Nisa [4]: 25. Beserta hadits Rasulullah SAW
yang artinya : “Wanita itu (boleh) dinikahi karena empat hal: (1) karena
hartanya (2) karena (asal-usul) keturunan-nya (3) karena kecantikannya
(4) karena agamanya. Maka hendaklah kamu berpegang teguh (dengan
perempuan) yang memeluk agama Islam; (jika tidak), akan binasalah
kedua tangan-mu”. (hadis riwayat muttafaq alaih dari Abi Hurairah r.a.)
dan Qa’idah Fiqh yaitu : “Mencegah kemafsadatan lebih didahulukan
(diutamakan) dari pada menarik kemaslahatan”. Jadi hasil kesepakatan
dalam fatwa MUI adalah menyatakan bahwa :
1. Perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah.
2. Perkawinan laki-laki muslim dengan wanita Ahlu Kitab, menurut
qaul mu’tamad, adalah haram dan tidak sah.

11

Majlis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa MUI Sejak 1975 (Jakarta 2011), 477-481

7

Jurnal. Asman, Perkawinan Beda Agama Dalam Tinjauan Hukum Islam Dan Hukum
Indonesia.

C. PERKAWINAN BEDA AGAMA DALAM HUKUM INDONESIA
a. Perkembangan Hukum Perkawinan Beda Agama di Indonesia
Jauh sebelum diundangkannya Undang-Undang Perkawinnan nomr 1
tahun 1974, pada masa penjajahan belanda telah diatur berkaitan dengan
perkawinan campuran.
Pengertian Perkawinan Campuran Masa Pemerintahan Kolonial
Beslit Kerajaan 29 Desember 1896 No. 23 Staatsblad 1896/158 (Regeling
op de gemengde huwelijken, selanjutnya disingkat GHR) memberi defenisi
sebagai berikut: Perkawinan dari orang-orang yang di Indonesia berada di
bawah hukum yang berlainan ( Pasal 1 ). Menurut Pasal 1 GHR tersebut,
maka yang masuk dalam lingkup perkawinan campuran yaitu: 12
a. Perkawinan campuran internasional, yaitu antara warganegara dan
orang asing, antara orang-orang asing dengan hukum berlainan, dan
perkawinan yang dilangsungkan di luar negeri.
b. Perkawinan campuran antar tempat, misalnya seperti perkawinan antara
seorang Batak dengan perempuan Sunda seorang pria Jawa dengan
wanita Lampung, antara orang Arab dari Sumbawa dan Arab dari
Medan dan sebagainya yang disebabkan karena perbedaan tempat.
c. Perkawinan campuran antar golongan (intergentiel). Adanya perkawinan
campuran antar golongan adalah disebabkan adanya pembagian golongan
penduduk oleh Pemerintah Kolonial kepada 3 (tiga) golongan yaitu: (1)
Golongan Eropa; (2) Golongan Timur Asing; (3) Golongan Bumi Putera
(penduduk asli) sehingga perkawinan yang dilakukan antar mereka yang
berbeda golongan disebut perkawinan campuran antar golongan.
Misalnya: (1) antara Eropa dan Indonesia; (2) antara Eropa dan
Tionghoa; (3) antara Eropa dan Arab; (4) antara Eropa dan Timur
Asing; (5) antara Indonesia dan Arab; (6)antara Indonesia dan

12

Alyasa Abubakar, Perkawinan Muslim dengan Non Muslim Dalam Peraturan Perundang
Undangan, Jurisprudensi dan Praktek Masyarakat., (Aceh: Dinas Syariat Islam Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam, 2008), 13-15.

8

Jurnal. Asman, Perkawinan Beda Agama Dalam Tinjauan Hukum Islam Dan Hukum
Indonesia.

Tionghoa; (7) antara Indonesia dan Timur Asing; (8) antara Tionghoa
dan Arab.
d. Perkawinan Campuran Antar Agama: Perkawinan bagi mereka yang
berlainan agama disebut pula perkawinan campuran. Adanya perkawinan
beda agama dalam sistem hukum perkawinan kolonial disebabkan
Pemerintah Hindia Belanda dalam hal perkawinan mengesampingkan
hukum dan ketentuan agama.
Perkawinan antar agama terdapat pertentangan dalam praktek dan
banyak perkawinan dari masyarakat dan kaum agamawan namun oleh
pemerintah kolonial tetap dipertahankan, bahkan pada tahun 1901 M
dianggap perlu untuk menambah GHR dengan ketentuan pasal 7 ayat (2)
yang menetapkan bahwa "Perbedaan agama, tak dapat digunakan sebagai
larangan terhadap suatu perkawinan campuran." Penambahan ayat 2 pada
pasal 7 GHR itu adalah akibat pengaruh konferensi untuk hukum
Internasional di Den Haaq pada Tahun 1900. 13
Paska kemerdekaan diundangkan UUP Nomor 1 tahun 1974 dengan
menyatakan bahwa “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu”. Undang-undang
ini disambut baik oleh Umat Islam, karena dasar terbentuknya UUP adalah
berdasarkan pada hukum Islam. Terutama pasal 2 ayat (1) yang dapat
diartikan menutup kemungkinan terjadinya perkawinan beda agama yang
semula diperbolehkan oleh belanda. Karena pada dasarnya dalam hukum
Islam melarang perkawinan beda agama.
Walaupun secara

tertulis

telah diatur tentang ketidakbolehan

perkawinan beda agama, namun hal ini tidak menjadikan tidak adanya
perkawinan beda agama. Di lapangan terdapat berbagai pernikahan agama
baik itu secara sembunyi-sembunyi maupun secara terang-terangan.

13

Ibid.,19.

9

Jurnal. Asman, Perkawinan Beda Agama Dalam Tinjauan Hukum Islam Dan Hukum
Indonesia.

Salah satu putusan hukum yang lahir berkaitan dengan nikah beda
agama adalah keptusan Mahkamah Agung Nomor 1400/k/Pdt./1986.
Dalam putusan tersebut MA memberikan beberapa pertimbangan: 14
a. UUP tidak mengatur perkawinan beda agama dan perbedaan agama
tidak dijadikan penghalang untuk melangsungkan perkawinan oleh
undang-undang karena itu ada kekosongan hukum.
b. Adanya perbedaan asas antara UUP dengan peraturan perkawinan
peninggalan belanda khususnya GHR. Peraturan belanda bersifat
sekluler, sedangkan UUP bersifat religius.
c. Pemohon dianggap in cassu Islam atau tidak menghiraukan agamanya
dan dianggap keluar dari agama Islam karena telah berupaya
mencatatkan perkawinan di Kantor Catatan Sipil. Sehingga tidak ada
lagi penghalang dalam perkawinannya tersebut.
d. Kantor Catatan Sipil adalah satu-satunya instansi yang berwenang
untuk melangsungkan atau membantu melangsungkan perkawinan
dengan kedua calon suami-istri yang tidak beragama Islam.
Dalam putusan tersebut secara tidak langsung Mahkamah Agung
telah mengakui adanya kekosongan hukum terhadap perkawinan beda
agama. Maka problematika ini akan terus berkembang selama tidak ada
ketentuan hukum yang secara pasti mengatur perkawinan beda agama dan
mengakibatkan beberapa pasangan yang menikah beda agama tidak
mendapatkan kejelasan status hukum.
b. Perdebatan tentang Sah atau Tidaknya Perkawinan Beda Agama
Dalam UUP pasal 2 ayat (1) disebutkan “Perkawinan adalah sah,
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan
itu.” Dalam penjelasannya dikatakan bahwa: tidak ada perkawinan di luar
hukum masing-masing agama dan kepercayaan itu, sesuai dengan UUD
1945. Pasal 8 (f) dijelaskan “perkawinan dilarang antara dua orang yang

14

Ibid.,118-136.

10

Jurnal. Asman, Perkawinan Beda Agama Dalam Tinjauan Hukum Islam Dan Hukum
Indonesia.

mempunyai hubungan oleh agamanya atau peraturan lain berlaku, dilarang
kawin”.
Dalam KHI (Komplikasi Hukum Islam) tentang larangan perkawinan
beda agama disebutkan dalam bab VI pasal 40, “Dilarang melangsungkan
perkawinan antara seorang pria dengan seorang perempuan karena keadaan
tertentu: (c) seorang perempuan yang tidak beragama Islam.” Dan Pasal
44, “Seorang perempuan Islam dilarang melangsungkan perkawinan
dengan seorang pria yang tidak beragama Islam”. KHI pasal 40 secara
tegas telah melarang perkawinan antara laki-laki muslim dan perempuan
non muslim. Melihat kitab mereka Taurat dan Injil yang telah di nasakh
oleh al-Qur’an, sehingga perkawinan antara laki-laki muslim dengan
perempuan ahli kitab tidak diperbolehkan lagi. 15
Pasal 2 ayat (1) UUP oleh sebagian kalangan ahli hukum diartikan
bahwa pernikahan yang sah adalah apabila dilakukan berdasarkan agama
dan keyakinan masing-masing. Sedangkan sebagian lain menafsirkan
bahwa pasal tersebut tidak mengatur pernikahan beda agama.
Hilman Hadikusuma menafsirkan klausul “hukum masing-masing
agamanya” berarti hukum dari salah satu agama bukan hukum agamanya
masing-masing yaitu hukum yang dianut agamanya masing-masing. Maka
jika perkawinan dilakukan dengan menggunakan agama Islam kemudian
dilakukan kembali dengan menggunakan agama lain maka menjadi tidak
sah, begitu sebaliknya. 16
Hal yang sama juga disampaikan oleh Hazairin. Ia mengatakan
bahwa pasal 2 ayat (1) UUP ada kaitannya dengan UUD 1945 sebagai
landasan dasar penyusunan UU dibawahnya. Menurutnya, materi pasal 2
ayat (1) yang berisi klausul “masing-masing agamanya” merupakan
konsistensi dari pasal 29 ayat (1) UUD 1945 bahwa Negara menjamin

15

Ahmad Rafiq, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia., (Yogyakarta: Gama Media, 2001),
345.
16
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundang-Undangan Hukum
Adat, Hukum Agama, cet-3 (Bandung; Bandar Maju, 2007), 25.

11

Jurnal. Asman, Perkawinan Beda Agama Dalam Tinjauan Hukum Islam Dan Hukum
Indonesia.

kemerdekaan tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan
untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaan itu. 17
Pasal 2 ayat (2) UUP menambahkan bahwa sahnya hukum adalah
dicatatkannya perkawinan yang merupakan salah satu pembaharuan hukum
perkawinan di Indonesia sebagai bentuk perlindungan hak-hak keperdataan
warga

Negara.

Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa

“Tiap-tiap

perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Dalam PP No. 9 tahun 1975 pasal 2, disebutkan bahwa perkawinan antara
orang-orang yang beragama Islam dicatatkan di Kantor Urusan Agama
(KUA), sedangkan perkawinan antara orang-orang yang tidak beragama
Islam dicatatkan di Kantor Catatan Sipil (KCS).
Banyak yang berpendapat bahwa status hukum perkawinan beda
agama tidak sah. Mayoritas dari mereka menjadikan pasal 2 ayat (1) dan
pasal 8 huruf (f) sebagai argument dasarnya. Tetapi ada juga yang
berpendapat bahwa karena perkawinan beda agama tidak diatur dalam
UUP, maka solusinya harus mengikuti pasal 66 UUP. Peraturan yang tidak
ada dalam UUP diberlakukan kembali sepanjang tidak diatur didalamnya
maka harus menunjuk GHR. Ahli hukum Islam sendiri masih terdapat
perbedaan pendapat berkaitan dengan tidak atau diperbolehkannya seorang
laki-laki muslim menikah dengan perempuan ahli kitab berdasarkan pada
surat al-Baqarah ayat 221 yang dianggap telah ditahsin dengan surat alMaidah ayat 5.
Terdapat alasan yang mengatakan bahwa diperbolehkannya laki-laki
muslim menikahi perempuan ahli kitab adalah karena keyakinan bahwa
laki-laki dipandang memiliki kekuasaan untuk mengatur keluarga sehingga
tidak dikhawatirkan akan mudah tergoyah imannya, sedangkan jika
perempuan muslimah dilarang menikah dengan laki-laki non muslim
karena ditinjau dari aspek psikologi memang seorang istri mudah

17

Sayuti Thalib, Hukum Keluarga Indonesia, Berlaku Bagi Umat Islam, (Jakarta: UI Press, 1982),
34.

12

Jurnal. Asman, Perkawinan Beda Agama Dalam Tinjauan Hukum Islam Dan Hukum
Indonesia.

terpengaruh oleh pola pikir suami yang dominan, baik karena sang istri
takut atau terbawa oleh persaaannya.
Sebagaimana kita ketahui bersama kondisi perempuan pada zaman
sekarang jauh berbeda dengan kondisi zaman dulu, dimana sekarang
perempuan mempunyai posisi setara dengan laki-laki, bahkan perempuan
bisa menjadi decision maker di dalam keluarganya. Banyak faktor yang
menjadikan perempuan berperan dominan dalam sebuah keluarga. Jadi
adanya perbedaan pembolehan laki-laki muslim menikahi perempuan ahli
kitab sedangkan perempuan muslimah dilarang tidak relevan lagi untuk
digunakan. Mengenai kemungkinan seorang laki-laki bisa membawa istri
ke agama Islam, perempuan muslimah pun bisa melakukan hal yang sama.
Sebaliknya laki-laki muslim mungkin juga menjadi lemah dan terpengaruh
oleh perempuan ahli kitab. 18
Fenomena pernikahan beda agama akan menimbulkan berbagai
masalah sebagai akibat tidak adanya hukum yang mengatur secara pasti.
Diantara masalah yang muncul adalah masalah pencatatan perkawinan.
Telah disebutkan diatas bahwa perkawinan dianggap sah jika dicatatkan di
KUA bagi yang melakukan pernikahan berdasarkan agama Islam, dan KCS
bagi yang melaksanakan pernikahan selain agama Islam.
Perdebatan perkawinan beda agama menjadi tidak berkesudahan,
maka dalam memaknai masalah ini harus penuh kehati-hatian. Pertama,
melihat dalam kaidah fiqih saddu az-zari’ah, dimana kaidah ini
menekankan sikap preventive dan antisipatif berdasarkan pengalaman dan
analisis psikologis dan sosiologis untuk mencegah bahaya terjadinya
pemurtadan dan hancurnya rumah tangga akibat konflik idiologis dan
akidah akibat perkawinan beda agama. 19

18

Berkaitan dengan ketidak adilan Gender dengan anggapan perempuan sebagai makhluk kurang
akal dan kurang agama baca, Hamim Ilyas, “Kodrat Perempuan; Kurang Akal dan Kurang
Agama?”, dalam Perempuan Tertindas, (Yogyakarta; eLSAQ Press&PSW, 2003), 33-50.
19
Ali Sodiqin, Fiqh Ushul Fiqh, Sejarah,Metodologi dan Implementasinya di Indonesia. Cet-2
(Yogyakarta: Beranda Publishing, 2012), 97.

13

Jurnal. Asman, Perkawinan Beda Agama Dalam Tinjauan Hukum Islam Dan Hukum
Indonesia.

Kedua, kaidah fiqih dar’ul mafasid muqaddam ‘alajabil masalih
yang menunjukkan sekala prioritas dalam menentukan pilihan hidup yaitu
bahwa mencegah dan menghindari mafsadah atau resiko yang dalam hal
ini bisa berupa kemurtadan dan perceraiian harus diutamakan daripada
harapan mencari manfaat dan kemaslahatan berupa menarik pasangan
hidup dan anak-anak keturunanya nanti serta keluarga besar pasangan
yang berbeda agama untuk masuk islam. Hal ini masih terkait dengan
pertimbangan perkawinan beda agama dapat menjadi sumber konflik yang
dapat mengancam keutuhan dan kebahagiaan rumah tangga serta eksistensi
aqidah Islam.
Ketiga, pada prinsipnya agama Islam mengharamkan perkawinan
beda agama. Sedangkan adanya izin kawin seorang pria muslim dengan
seorang perempuan ahli kitab berdasarkan surat al-Maidah ayat 5 itu
hanyalah sebuah dispensasi bersyarat (rukhsah).
Yusuf al-Qardawi mengemukakan bahwa dibalik pernikahan dengan
ahli kitab itu akan terjadi fitnah, mafsadah atau kemudharatan, makin
besar kemudaratannya makin besar tingkat larangannya. Lebih lanjut
Yusuf al-Qardawi mengingatkan banyaknya mudarat yang mungkin terjadi
dalam perkawinan beda agama, diantaranya suami mungkin akan
terpengaruh oleh agama istrinya, demikian juga anaknya, apabila hal ini
terjadi maka fitnah akan benar-benar menjadi nyata. Dan juga perbedaan
agama akan mempersulit hubungan suami istri dan pendidikan anakanaknya. Melihat banyaknya kemudaratan yang lebih besar dibandingkan
dengan manfaat yang akan diperoleh, maka dalam kaidah ushul fiqh
maqasid asy-syariah adalah mengutamakan maslahah yang dharuriyyah
yaitu menjaga agama, jiwa, akal, harta dan keturunan. 20

20

Satria Effendi, M.zein. Ushul Fiqh, cet-3 (Jakarta: Kencana, 2009), 149.

14

Jurnal. Asman, Perkawinan Beda Agama Dalam Tinjauan Hukum Islam Dan Hukum
Indonesia.

D. KESIMPULAN
1. Bahwa permasalahan perkawinan beda agama tidak hanya dalam ranah
teoritis, namun juga dalam ranah praktis. Perbedaan pendapat tentang
sah atau tidaknya perkawinan beda agamapun bergulir dan tidak ada
kesepakatan pasti baik dalam ranah hukum Islam maupun hukum positif
di Indonesia (UUP). Bahkan MA telah mengakui adanya kekosongan
hukum,

sehingga

keluarlah

putusan

Mahkamah

Agung

nomor

1400/K/Pdt/1986. Yurisprudensi ini kemudian diajadikan dasar hokum
dalam memenuhi kekosongan hukum perkawinan beda agama yang
tidak diatur dalam UUP. Petusan tersebut diikuti dengan surat edaran
MA bernomor KMA/72/IV/1981 bertanggal 20 April 1981 kepada
Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri mengenai “pelaksanaan
perkawinan campuran.”
2. Permasalahan mencuat kembali ketika diajukannya judisial review pasal
2 ayat (1) UUP yang dianggap telah melanggar hak konstitusional untuk
melakukan perkawinan dan tidak memberikan kepastian hukum bagi
perkawinan mereka. Pasal tersebut dianggap bertentangan dengan pasal
27 ayat (1), pasal 28B ayat (1), pasal 28D ayat (1), pasal 28E ayat (1)
dan (2), pasal 28I ayat (1) dan pasal 29 ayat (2) UUD 1945.
3. Penjabaran diatas dapat kita gunakan sebagai pisau analisis masalah ini,
ketika mereka menggap bahwa pasal 2 ayat (2) melanggar hak asasi
manusia dalam kebebasan beragama dan melakukan ibadah sesuai
dengan agama dan kepercayaan masing masing tidak dapat dibenarkan.
Karena perkawinan adalah suatu ikatan yang meliputi hukum agama,
sosial dan yuridis.
4. Melihat banyaknya kemudaratan yang lebih besar dibandingkan dengan
manfaat yang akan diperoleh, maka dalam kaidah ushul fiqih maqasid
asy-syariah adalah mengutamakan maslahah yang dharuriyyah yaitu
menjaga agama, jiwa, akal, harta dan keturunan.

15

Jurnal. Asman, Perkawinan Beda Agama Dalam Tinjauan Hukum Islam Dan Hukum
Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA
Abubakar, Alyasa. Perkawinan Muslim dengan Non Muslim Dalam
Peraturan Perundang Undangan, Jurisprudensi dan Praktek
Masyarakat. Aceh: Dinas Syariat Islam Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam, 2008.
Arief, Abd Salam. Pembaharuan Pemikiran Hukum Islam Antara Fakta
dan Realita: Kajian Pemikiran Mahmud Shaltuh. Jakarta; Lesfi,
2003.
Atho Mudzar, Muhammad. Fatwa-fatwa Majlis Ulama Indonesia: Sebuah
Studi Tentang Pemikiran Hukum Islam di Indonesia 1975-1988.
Jakarta: INIS, 1993.
Aziz Dahlan, Abdul, et.al. Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 4. Jakarta: PT.
Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997.
Hadikusuma, Hilman. Hukum Perkawinan Indonesia Menurut PerundangUndangan Hukum Adat, Hukum Agama, cet-3. Bandung: Bandar
Maju, 2007.
Majlis Ulama Indonesia. Himpunan Fatwa MUI Sejak 1975. Jakarta 2011.
Munawwir, Warson. Kamus Al-Munawir. Surabaya: Pustaka Progres,
1997.
Rafiq, Ahmad. Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia. Yogyakarta:
Gama Media, 2001.
Rasyid Rida, Muhammad. Tafsir al-manan. Beirut: Dar al-Fikrt, t.t, II.
Sodiqin, Ali. Fiqh Ushul Fiqh, Sejarah,Metodologi dan Implementasinya
di Indonesia. Cet-2. Yogyakarta: Beranda Publishing, 2012.
Thalib, Sayuti. Hukum Keluarga Indonesia, Berlaku Bagi Umat Islam.
Jakarta: UI Press, 1982.
Zein, Satria Effendi, Ushul Fiqh, cet-3. Jakarta: Kencana, 2009.

16