V ANALISA VISUAL POSTER PROPAGANDA DI NE

V ANALISA VISUAL POSTER PROPAGANDA
DI NEGARA RUSIA PERIODE 1920 - 1950
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Seminar I
SR3090

Oleh:
Yosefa Pratiwi Aulia
(17009004)
STUDIO SENI PATUNG
PROGRAM STUDI SENI RUPA
FAKULTAS SENI RUPA DAN DESAIN
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
2012

ABSTRAK
ANALISA VISUAL POSTER PROPAGANDA
DI NEGARA RUSIA PERIODE 1920 - 1950
Oleh:
YOSEFA PRATIWI AULIA
NIM: 17009004


Keberadaan media poster sebagai alat propaganda politik telah dikenal luas
terutama di negara-negara berideologi sosialis. Rusia adalah salah satu negara yang
mempopulerkan poster sebagai salah satu strategi utama dalam penyebaran doktrin
ideologi maupun propaganda perang. Tujuan dari penelitian ini ialah untuk
mengetahui unsur-unsur visualisasi poster Rusia dari tahun 1920-1950, serta
dampaknya bagi keberhasilan pemerintah Rusia dalam menyebarkan informasi yang
bersifat persuasif terutama pada masa revolusi dan perang dunia. Rancangan
penelitian deskriptif dengan metode yang digunakan adalah metode kualitatif. Data
yang diolah diambil dari sumber pustaka dan internet. Teknik analisis yang digunakan
ialah analisa perbandingan dengan pembacaan semiotika, teori Marxisme dan
Gramsci serta diasosiasikan dengan kritik seni dari Feldman. Dari analisa
perbandingan tersebut, penulis mendapati bahwa poster Rusia dapat menghadirkan
efek psikologis yang tepat bila disesuaikan dengan teori poster sebagai media
komunikasi dengan kebanyakan menggunakan unsur warna-warna primer dengan
penggunaan ikon dari tokoh-tokoh pemimpin Rusia, para pekerja, dan perempuan.
Tujuannya ialah menarik simpati rakyat Rusia dalam mendukung kebijakan-kebijakan
pemerintah, serta alat komunikasi persuasif dalam merekrut tenaga untuk perang.
Dalam prakteknya pada masa rezim Stalin yang berkuasa, banyak seniman yang
akhirnya terpaksa hengkang akibat ditetapkannya realisme sosial sebagai aliran dalam

berkesenian sehingga poster-poster yang dihasilkan pun merupakan cerminan dari
ideologi politik Rusia pada saat itu.

Kata Pengantar

Puji Syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas penyertaan-Nya
sehingga makalah ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya. Ucapan terima kasih
juga penulis sampaikan kepada Dr. Ira Adriati, M.Sn selaku dosen pembimbing yang
telah sangat membantu penulis dalam proses pengerjaan makalah ini. Terima kasih
juga kepada Bapak Odang yang telah direpotkan selama proses pencarian bahan
penelitian. Penulis berharap tulisan ini tidak hanya sekedar menjadi artefak yang
menambah koleksi makalah seminar di perpustakaan, namun juga bisa memberi
manfaat bagi para pembaca.

Bandung, 5 Juni 2012
Penulis

Daftar Isi
Abstrak
Kata Pengantar

Daftar Isi
Daftar Gambar
Daftar Tabel
BAB I

PENDAHULUAN
I.1

Latar Belakang

I.2

Rumusan Masalah

I.3

Tujuan Penelitian

I.4


Manfaat Penelitian

I.5

Hipotesis

I.6

Kajian Teori

I.7

Metodologi Penelitian

I.8

Sistematika Penulisan

I.9


Alur Kerja

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN TEORI
II.1 Definisi dan Sejarah Poster
II.1.1
Definisi Poster
II.1.2
Sejarah Poster
II.2 Definisi dan Sejarah Propaganda
II.2.1
Definisi Propaganda
II.2.2
Sejarah Propaganda
II.3 Definisi dan Sejarah Realisme Sosial
II.3.1

Definisi Realisme Sosial

II.3.2


Sejarah Realisme Sosial

II.4 Seni Konstruktivisme dan Realisme Sosial dan
Perannya dalam Propaganda Politik di Negara Rusia
II.4.1

Seni Konstruktivisme

II.4.2

Seni Realisme Sosial

II.5 Pendekatan Teori

II.5.1

Teori Poster sebagai Media Komunikasi

II.5.2


Teori Kritik Seni Feldman

II.5.3

Teori Estetika Marxis

II.5.4

Teori Estetika Gramsci

BAB III
III.1
III.2
III.3
BAB IV
IV.1
IV.2
IV.3

DESKRIPSI VISUAL POSTER PROPAGANDA RUSIA

Visualisasi Poster Periode 1920-an
Visualisasi Poster Periode 1930-an
Visualisasi Poster Periode 1940-an
ANALISA PERBANDINGAN VISUALISASI POSTER RUSIA
Tabel Perbandingan Unsur Visual Poster
Analisa Perbandingan Semiotika Visual Poster
Perbandingan Teori dengan Aplikasi Poster
IV.3.1 Teori Poster sebagai Media Komunikasi
IV.3.2 Teori Estetika Marxis dan Gramsci
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
V.1 Kesimpulan
V.2 Saran
Daftar Pustaka

Daftar Gambar
Gambar 2.1
Gambar 2.2
Gambar 3.1.1
Gambar 3.1.2

Gambar 3.1.3
Gambar 3.1.4
Gambar 3.1.5
Gambar 3.2.1
Gambar 3.2.2
Gambar 3.2.3
Gambar 3.2.4
Gambar 3.2.5
Gambar 3.2.6
Gambar 3.3.1
Gambar 3.3.2
Gambar 3.3.3
Gambar 3.3.4
Gambar 3.3.5
Gambar 3.3.6

Gambar 3.3.7
Gambar 3.3.8

Daftar Tabel

Tabel 1.1
Tabel 4.1
Tabel 4.2
Tabel 4.3

Bab I
I.I

Pendahuluan

Latar Belakang
Poster yang kita kenal sekarang adalah bentuk seni cetak yang dibuat dalam

copy atau turunan berganda karena sifatnya yang memang direproduksi secara luas.
Alasan pembuatannya pun beragam disesuaikan dengan fungsi masing-masing poster.
Ada poster yang bersifat promosi dari perusahaan jasa dan produk, lalu ada juga yang
berfungsi sebagai media publikasi untuk mengumumkan adanya rangkaian acara atau
event. Untuk event ini pun poster beragam, ada poster film, musik, seni dan olahraga.
Selain hal-hal tersebut, poster juga memiliki peran penting sebagai media untuk
memupuk rasa cinta tanah air dengan kewajiban-kewajibannya sebagai warga negara

meskipun kebanyakan pembuatan poster di negara-negara yang berideologi sosialis
cenderung bertujuan sebagai propaganda politik dalam memupuk semangat revolusi
dan kebanggaan bernegara.
Realisme sosial, konsep dalam berkesenian seni rupa dan satra yang muncul
pada abad 20 sebagai hasil pengaruh pemikiran Karl Marx, dengan memperhatikan
dan menampilkan golongan pekerja, petani dan buruh, yang selama ini menjadi pihak
yang dikalahkan oleh para Kapitalis dan Borjuis yang banyak menikmati kehidupan
berkesenian tinggi.
Di belahan negara-negara yang berideologi sosialis-komunis tersebut
perkembangan poster sangat beragam dan hampir mempunyai kemiripan visual yang
berakar dari tema revolusi yang diangkat atau juga patronase politik dan pesan-pesan
propaganda resmi pemerintah/negara. Biasanya pula negara-negara tersebut
mengalami krisis ideologi dan kepemimpinan serta berakhir dengan kudeta sehingga
menghasilkan `negara' baru. Pemerintah dan negara baru inilah kemudian yang
diyakini beberapa pengamat desain grafis sedang mengadakan `repositioning'
terhadap citraan pemerintahan yang baru untuk membentuk dan membutuhkan
legitimasi sekaligus mobilisasi massa (Supriyanto, 2003).

Di Negara Rusia, sejarah sosialis dimulai dari zaman pasca keruntuhan Tsar,
yaitu pada masa Lenin memunculkan gagasan revolusi dimulai dari kalangan petani,
sehingga lahirlah golongan Bolshevik dan golongan Menshevik yang memicu
revolusi pertama di Rusia. Lenin yang merupakan seorang ahli propaganda
membangkitkan dan membakar semangat rakyat dengan gagasan propaganda yang
disebarluaskan melalui poster. Ide ini juga diikuti dengan Era Stalin yang juga
melakukan propaganda untuk mempertahankan kekuasaannya dengan memunculkan
figur Stalin pada surat kabar, majalah, poster yang membakar semangat rakyat,
menanamkan rasa simpati pada pemimpin rezim yang berkuasa (Sunarto, 2006).
Sangat menarik melihat bagaimana karya seni pada masa itu memegang
peranan yang sangat penting dalam mendukung terciptanya revolusi budaya di
negara-negara berideologi sosialis-komunis terutama negara Rusia. Maka dari itu,
penulis mencoba untuk mengkaji bagaimana peranan poster propaganda, unsur-unsur
pembentuknya, serta pengaruhnya bagi

perkembangan system pemerintahan di

Rusia.
I.II

Rumusan Masalah
1.

Bagaimana unsur-unsur pembentuk dan simbol-simbol yang digunakan

dalam poster propaganda Rusia?
2. Bagaimana pengaruh seni propaganda Rusia dalam mendukung revolusi
dan patriotisme di negara Rusia?
I.III

Batasan Masalah
1. Objek

berupa

gambar-gambar

poster

yang

diteliti

merupakan

dokumentasi dari sebuah pameran poster Rusia yang di gelar di Galeri
Soemardja FSRD ITB pada tanggal 25 April sampai 11 Mei 2006 serta
sumber-sumber pustaka dan internet.

2. Penulis hanya memfokuskan penelitian pada beberapa sampel gambar
poster yangmenggambarkan keseluruhan suatu periode tertentu di Rusia:
1920-an, 1930-an, dan 1940-an.
I.IV

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji bagaimana peranan poster

propaganda,

unsur-unsur

pembentuknya,

serta

pengaruhnya

bagi

revolusi

pemerintahan di Rusia.

I.V

Manfaat Penelitian
1. Dapat mengetahui unsur-unsur pembentuk dan makna dari simbolsimbol yang digunakan dalam poster propaganda Rusia.
2. Dapat mengetahui peranan poster propaganda dalam mendukung
revolusi pemerintahan dan budaya, serta patriotisme di negara Rusia.

I.VI

Hipotesis
Melalui poster propaganda, rakyat diajak untuk menumpas segala bentuk

oposisi yang bermunculan, membakar patriotisme rakyat yang tidak mengerti arah
yang akan ditempuh sehingga mereka mendukung kemauan rezim yang berkuasa
dengan mengagungkan revolusi Rusia. Pada periode pasca perang, poster Rusia
semakin dikenal oleh banyak kalangan dan cara visualisasinya (dengan Stalin sebagai
figur sentral) menyebabkan terdoktrinasinya rakyat Rusia secara ideologi dan politik.
I.VII

Kajian Teori
1.
2.

Definisi dan analisa poster dalam konteks propaganda.
Definisi dan analisa realisme sosial.

3.

Deskripsi dan analisa visual poster-poster propaganda di Negara Rusia

4.

dalam kajian semiotika.
Deskripsi dan analisa poster-poster propaganda di Negara Rusia
berdasarkan teori kritik seni Feldman, estetika Marxis, dan Gramsci.

I.VIII
a.

Metodologi Penelitian
Pendekatan Keilmuan
Pendekatan keilmuan yang digunakan peneliti dalam menganalisis citraan

visual poster Rusia adalah pendekatan non ilmiah, dimana penelitian berbasis dari
pengumpulan data dengan sumber pustaka dan internet.
b.

Metode Analisis
Metode analisis yang digunakan peneliti dalam menjawab rumusan masalah

adalah metode kualitatif.
c.

Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara studi

pustaka: mengumpulkan data sejarah dan teori-teori tentang revolusi pemerintahan di
Rusia dan negara-negara sosialis, teori tentang bahasa rupa poster, teori semiotika,
dan berbagai ilmu pendukung lainnya.

I.IX
BAB I

Sistematika Penulisan
Pendahuluan

Bab ini berisi pendahuluan dari penelitian yang meliputi latar belakang,
rumusan masalah, batasan masalah, tujuan masalah, manfaat penelitian, asumsi dasar
(hipotesis), metodologi penelitian, alur kerja dan sistematika penulisan.
BAB II

Kajian Pustaka dan Teori

Bab ini berisi teori dan variabel yang terkait dalam penelitian yang meliputi
kajian estetika, kajian sejarah, dan kajian semiotika.
Pengumpulan Data
Poster,

Sejarah,

BAB III

Data

dan

Poster Propaganda Rusia
dan Teori
Bab ini berisi paparan
Perumusan Teori
lapangan berupa koleksi gambar

Deskripsi
Teori Poster
data
poster

Rusia yang didapat dari narasumber beserta analisa formalnya.
BAB IV

Analisis Perbandingan

Estetika Feldman
Estetika Marxis
Estetika Gramsci

Dalam bab ini data yang telah diperoleh tentang visualisasi
poster propaganda Rusia akan diperbandingkan dengan citraan visual poster
propaganda pada masa sebelum dan sesudah revolusi pemerintahan sesuai dengan
rumusan masalah berdasarkan teori dan batasan yang digunakan.
BAB V

Kesimpulan dan Saran

Bab ini berisi ringkasan penelitian, hasil dari analisis, jawaban dari rumusan
masalah yang diajukan, kendala yang diperoleh di lapangan, dan tingkat keberhasilan
penelitian.

I.X

Alur Kerja

Pengklasifikasian
Data Poster dan

Periode 1920-an
Periode 1930-an

Sejarah
Periode 1940-an

Analisa Perbandingan
Teori dan Visual Poster

Kesimpulan

Saran

Bab II

II.1

Kajian Pustaka dan Teori

Definisi dan Sejarah Poster
II.1.1 Definisi Poster

Dalam kamus Oxford online, poster didefinisikan sebagai sebuah gambar yang
diprint, disebarkan, atau iklan yang dipajang di ruang publik. Contohnya: sebuah
poster pemilu. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, poster atau plakat
adalah karya seni atau desain grafis yang memuat komposisi gambar dan huruf di atas
kertas berukuran besar. Pengaplikasiannya dengan ditempel di dinding atau
permukaan datar lainnya dengan sifat mencari perhatian mata sekuat mungkin.
Karena itu poster biasanya dibuat dengan warna-warna kontras dan kuat.
II.1.2 Sejarah Poster
Adalah Perancis, khususnya Kota Paris, di akhir abad 19 hingga beberapa
dekade awal abad 20, yang menjadi pusat perkembangan poster modern. Penulis
Perancis Guillaume Apollinaire menggambarkan hubungan berbagai jenis publikasi
modern dan kehidupan Kota Paris masa itu: Katalog, poster, dan berbagai pamflet
iklan. ”Semua ini adalah puisi zaman (modern) kita. Seni(man) poster benar-benar
mendapat peran penting dalam dinamika kehidupan kota di masa itu.”
Awalnya, ini dipicu oleh perkembangan teknik cetak warna litografi yang
sudah berkembang sejak abad 18. Seniman cetak grafis Jules Cheret dengan litografi
multiwarnanya membangkitkan gairah seniman sezamannya untuk menjelajahi
kemungkinan baru dalam seni poster. Pamflet dan poster sebelum inovasi Cheret
kebanyakan hanya berukuran kecil dan dipenuhi teks. Cheret mengubah semua itu:
poster menjadi sangat pictorial, didominasi gambar dan teks jadi menciut porsinya.

Tapi tentu saja ada gerak sosio-ekonomi, faktor yang lebih mendasar, yang
ikut mendorong perkembangan seni poster ini. Sejak akhir abad ke-19, industrialisasi
memicu produksi barang-barang konsumsi, tempat berpijak jasa periklanan modern.
Melalui karya-karya Henri de Toulouse-Lautrec, seni poster ikut mengisi khazanah
perkembangan seni rupa modern Barat sampai paruh awal abad ke-20. Poster
karyanya untuk panggung hiburan Moulin Roug’ (1898) dengan stilisasi sosok
gemulai artis Jane Avril, dengan warna cerah dalam bidang-bidang lebar, dianggap
memberi pembaruan pada poster: masuknya cita rasa artistik seni rupa modern ke
dalam bidang komunikasi massa dan niaga.
Sampai awal abad ke-20, Toulouse–Lautrec dan rekan-rekan segenerasinya
membanjiri kota-kota penting Eropa dengan poster bercorak Art Nouveau. Sebagian
besar seniman poster terkemuka dari masa serba indah ini, Belle Epoque, hidup dan
berkarya di Paris, melahirkan berbagai varian Art Nouveau yang memperkaya corak
seni rupa modern Barat. Pada awal abad ke-20, Toulouse-Lautrec meninggal dunia
(1901). Gaya Art Nouveau pada akhirnya telah menjadi begitu dominan dan akhirnya
mengalami stagnansi. Pembaruan yang penting baru terjadi di awal tahun 1920-an
ketika Adolphe Mouron Cassandre (1901-1968) menghadirkan poster-poster
transportasi pariwisata dalam corak Art Deco. Karya-karya Cassandre yang bercorak
semi-abstrak dan geometris, menghadirkan profil kapal laut atau kereta api yang
megah, dan merupakan pencitraan sempurna optimisme kaum modernis akan janji
kemakmuran dunia industri.
Cassandre adalah seniman pop dari dunia komersial yang meriah di awal
abad 20. Ia menyerap seluruh khazanah pemikiran dan gaya seni rupa yang
ditawarkan kaum garda-depan, dari Kubisme, Surealisme, hingga Futurisme, untuk
diabdikan bagi kepentingan komersial.

Dan, seperti yang dicatatkan keluar dari

pernyataan Cassandre, poster dirancang untuk menjawab kebutuhan tertentu. Poster
punya tugas komersial yang jelas. Cassandre tidak sekadar sedang bertutur tentang
peran dan fungsi poster. Ia sedang menjelaskan arti penting dunia niaga dan industri
sebagai patron yang membutuhkan sekaligus menghidupkan poster. Dan, ketika dunia

niaga dan industri ini ambruk terimpit dua Perang Dunia, poster bisa tetap hidup dan
mengambil peran baru, dibawah patron barunya: negara dan pemerintah.
Dalam sebuah esai, Goenawan Mohammad menuliskan bahwa poster tak
akan menemukan bentuknya seperti sekarang seandainya tak ada kehidupan politik
yang makin demokratis, gerakan-gerakan revolusioner, dan dorongan-dorongan
modal dan kekuasaan yang menderu-deru sejak abad ke-19. Ia juga mencatat bahwa
zaman ini juga merupakan lahirnya massa sebagai bagian sentral dari masyarakat.
Media

poster

di

Rusia

mempunyai

beberapa

pengaruh

dalam

pembentukannya. Ada beberapa hal yang mempengaruhinya antara lain adalah tradisi
dan pergerakan seni. Lubok, sebagai tradisi seni grafis sudah ada di Rusia sejak abad
ke 17 Cetakan kertas atau kain dari cukilan kayu yang berupa suatu ilustrasi yang
disertai teks. Lubok bisa berisi cerita rakyat, kisah religius atau komentar-komentar
sosial. Ia juga bisa berisi lagu, satire sosial, puisi, dan bisa juga berfungsi sebagai
pengumuman atau semacam koran.(Pudjomartono, 2006)

Gambar 2.1
Sumber: http://dgi-indonesia.com/poster-rusia/

Poster woodblock, sebuah tradisi yang telah dibangkitkan kembali dan
diadaptasi sebagai alat propaganda jaman perang dunia pertama (1914) di Eropa,

sebagai bentuk visual yang dikenal sebagai Rosta Windows, bulletin satu muka,
sering berisi ilustrasi komik naratif, sering digantungkan di etalase dan di stasiun
kereta-api. (Widiatmoko, 2009).

II.2

Definisi dan Sejarah Propaganda
II.2.1 Definisi Propaganda
Menurut Oxford Dictionary, propaganda merupakan: chiefly derogatory

information, especially of a biased or misleading nature, used to promote or publicize
a particular political cause or point of view. Sedangkan menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia, propaganda adalah: (1) penerangan (paham, pendapat, dsb) yg
benar atau salah yg dikembangkan dng tujuan meyakinkan orang agar menganut
suatu aliran, sikap, atau arah tindakan tertentu: biasanya disertai dengan janji yg
muluk-muluk; (2) reklame (spt menawarkan obat, barang dagangan, dsb)
(dari bahasa Latin modern: propagate yang berarti mengembangkan atau
memekarkan) adalah rangkaian pesan yang bertujuan untuk memengaruhi pendapat
dan kelakuan masyarakat atau sekelompok orang. Propaganda tidak menyampaikan
informasi secara obyektif, tetapi memberikan informasi yang dirancang untuk
memengaruhi pihak yang mendengar atau melihatnya.
Propaganda consists of the planned use of any form of public or massproduced communication designed to affect the minds and emotions of a
given group for a specific purpose, whether military, economic, or political.
Setidaknya ada tujuh jenis teknik propaganda yang dapat dipergunakan untuk
menyamarkan tujuan sebernarnya1:
1. NameCalling
Teknik ini melibatkan penggunaan label atau memberikan sebuah nama
1 Identifikasi terhadap seperangkat metoda tersebut biasa disebut ”seven common propaganda devices”
dilakukan oleh Institute of Propaganda Analysis (IPA) sejak tahun 1937.

untuk memproyeksikan atau menonjolkan sebuah ide terhadap sesuatu
yang kita sukai atau tidak kita sukai. Teknik ini termasuk yang paling
sering digunakan dan biasanya untuk memberikan cap negatif terhadap
lawan.
2. GlitteringGenerality
Teknik ini adalah kecendrungan untuk mengasosiasikan sebuah isu atau
kesan dengan istilah yang mulia atau luhur. Para propagandis akan
menggunakan kata-kata yang bermakna "positif". Kunci utama dalam
melakukan teknik ini adalah penggunaan istilah yang definisinya tidak
jelas.
3. Testimonial
Ini adalah teknik yang sering digunakan. Propagandis akan menggunakan
tokoh-tokoh atau public figure, selebritis, juga bahkan orang yang tidak
populer, untuk mendukung sebuah ide, gerakan, kandidat politik, produk,
dll kepada khalayak. Orang yang menjadi idola atau panutan khalayak
tersebut akan didengarkan oleh khalayak, dan khalayak secara sadar atau
tidak akan mengikuti segala perkataannya.
4. ImageTransfer
Teknik ini memanfaatkan kekuasaan, kehormatan, dan reputasi positif
pada sebuah entitas, konsep, tokoh, simbol, dan lain sebagainya.
Propagandis akan mencoba mengasosiasikan citra positif tersebut kepada
sebuah produk, individu, kelompok, program, dll agar apa yang
dipropagandakannya mendapat citra positif yang sama sesuai dengan
keinginan sang propagandis.
5. PlainFolks
Teknik ini adalah cara bagaimana seorang propagandis mencoba
meyakinkan khalayak dengan menempatkan dirinya ditengah-tengah
khalayak dan berbaur dengan mereka, menggunakan apa yang khalayak
pakai, dan berlaku seperti apa yang khalayak lakukan.
6. CardStaking
Teknik ini digunakan dengan memilih fakta-fakta tertentu dan distorsi,
penjelasan dan kesimpangsiuran, dan juga melalui pernyataan yang logis

dan bahkan tidak logis. Ini adalah salah satu cara propagandis untuk
menutup-nutupi kartu kebenaran dengan kartu lainnya, card stacking.
Sebuah propaganda bisa saja memang benar apa adanya, namun hal itu
disampaikan secara selektif, fakta terlebih dahulu disaring dan sesuai atau
sejalan dengan agenda propagandis, ada beberapa fakta yang tidak
dimasukkan karena ditakutkan akan menjatuhkan atau mengacaukan
agendasangpropagandis.
7. Bandwagon
Teknik ini berusaha menyakinkan khalayak dan mengajak khalayak untuk
melakukan hal yang telah dilakukan oleh orang-orang kebanyakan.
"Everybody is doing it, You should do it too", "We are all doing it". Jadi
khalayak akan berfikir untuk mendukung dan melakukan hal yang sama.
Propaganda dari segi isi dan sumber informasi dapat terbagi menjadi:
1.

Propaganda putih (white propaganda) adalah propaganda dengan sumber
dan ketepatan berita yang akurat, dan dapat diidentifikasi dengan jelas
dan terbuka. Berberapa contohnya misalnya kampanye pemilihan umum,
peresmian proyek ataupun prasasti, dan sebagainya.
Propaganda hitam (black propaganda) adalah propaganda yang isi berita

2.

dan sumbernya tidak jelas dan tidak faktual. Jenis propaganda ini disebut
juga sebagai “propaganda terselubung”; seolah-olah menunjukkan
sumber informasi, namun bukan sumber yang sebenarnya.
Propaganda abu-abu (grey propaganda) berada di antara propaganda

3.

hitam dan putih; sumbernya jelas tetapi berita yang disebar seolah-olah
berasal dari sumber yang netral tetapi sebenarnya berseumber dari pihak
lawan.
II.2.2

Sejarah Propaganda

Kelahiran propaganda, secara historis dapat kita sebut dimulai dari senimanseniman Mesir kuno dimana mereka menulis di atas lembaran daun papirus ataupun

membuat tulisan hieroglyph di dinding batu. Tugas utama mereka ialah
menyebarkan,menggambarkan, dan mengabadikan titah, kekuasaan, dan kebesaran
penguasa-penguasa Mesir pada masanya.
Memasuki abad pertengahan hingga Renaisans, seni dan arsitektur menjadi
sarana propaganda kelompok-kelompok dominan dalam masyarakat seperti institusi
keagamaan ataupun kerajaan dan aristokrasi. Para seniman pun memperoleh banyak
keuntungan , baik dari segi materi maupun kedudukan sosial karena pihak gereja,
bangsawan, dan kerajaan selalu bertindak sebagai patron yang melindungi mereka.
Setelah Johannes Gutenberg mengembangkan teknik baru dalam mesin cetak,
mereka-para seniman-tetap berkarya dengan mengangkat sejumlah tema sesuai
permintaan kerajaan dan lembaga keagamaan maupun sebagai ekspresi pribadi si
seniman akan lingkungan sosial pilitik dan sekitarnya.
Pada abad ke-16 dimana pada masa itu terjadi perselisihan antara gereja
Katolik Roma dengan para pengikut Martin Luther (1483-1546), seni dan desain
grafis menjadi wahana propaganda yang terbukti sangat ampuh. Kedua belah pihak
lebih banyak menggunakan teknik seni grafis ketimbang seni lukis. Alasannya, selain
karena mampu menghasilkan karya estetik juga mudah direproduksi berlipat ganda
sementara seni lukis, yang tampak lebih eksklusif, tidak direproduksi dalam waktu
singkat dan hanya dapat dipajang di ruang-ruang terbatas. Pada masa itu, seni lukis
lebih cenderung berperan sebagai media wacana dalam lingkungan terbatas, terutama
untuk menunjang kepentingan politik atau sosial suatu golongan masyarakat tertentu.
Sebagai bagian dari ilmu komunikasi dan seni rupa-khususnya desain grafis,
propaganda banyak memanfaatkan dan menggabungkan keahlian seniman atau
desainer grafis dengan pelbagai teknologi grafis, cetak, fotografi, hingga media
elektronik. Semakin umum sifat suatu media, semakin luas daya jangkau propaganda.
Sebelum itu, satu-satunya media propaganda adalah kemampuan olah wicara atau
orasi. Dengan diksi yang hebat, nada dan intonasi yang tepat dan gestikulasi yang
memikat, seorang propagandis dapat mempengaruhi khayalak sasaran dengan cepat.
Setelah ditemukannya mesin cetak Gutenberg, propagandis mampu menulis
dan memperbanyak pesan-pesan propangandistik dalam bentuk pamflet dan poster.

Institusi keagamaan yang diuntungkan oleh temuan baru itu pun dapat lebih leluasa
memproduksi berbagai materi cetakan. Begitu pula dengan perluasan gerakan
Reformasi Martin Luther pada 1520-1521. Mereka tersebar melalui media cetak,
terutama pamflet yang dirancang dan dibuat oleh beberapa seniman grafis Jerman.
Propaganda menebar satuan ideologi melalui berbagai jenis media sehingga
makna ideologi dominan dapat dikonstruksi dengan lebih komprehensif. Apabila
politik didefinisikan sebagai kegiatan manusia secara kolektif yang mengatur perilaku
mereka di dalam situasi konflik sosial, maka komunikasi adalah kegiatan komunikasi
yang dilakukan berdasarkan konsekuensi-konsekuensinya (aktual maupun potensial)
yang mengatur perbuatan manusia di dalam kondisi-kondisi konflik. Komunikasi
politik selalu bertujuan mempengaruhi khalayak, disengaja, dan mempunyai tujuan.
Istilah propaganda sendiri mulai populer pada masa Perang Dunia I dan II
serta pada masa Perang Dingin tahun 1950-an, umumnya mengandung proses
penyampaian pesan dalam suatu keadaan tertentu yang bersifat mengimbau,
mengajak dan bahkan cenderung mempengaruhi kondisi psikologis suatu masyarakat
dan dalam hal ini ialah pada masa perang.
Selama Perang Dunia I, Edward L Bernays, penerbit industri hiburan yang
juga keponakan Sigmund Freud, melakukan pengembangan propaganda yang
menggunakan pamflet untuk Komite Informasi Publik (Committee of Public
Information) yang dipimpin oleh George Creel. Pada tahun 1928 Bernay dalam
sebuah bukunya, Propaganda, menuliskan bahwa propaganda adalah alat yang sangat
bermanfaat bagi pemerintahan demokrasi. Bernay disebut sebagai Bapak Hubungan
Masyarakat. Dialah yang memberikan landasan filosofis untuk Public Relation.
Dalam tulisannya pada tahun 1923, Crystallizing Public Opinion, dia mengatakan
"Jika kita memahami mekanisme dan motif dari pemikiran sebuah kelompok, maka
itu akan menjadi suatu hal yang memungkinkan bagi kita untuk mengendalikan dan
mengatur khalayak berdasarkan keinginan kita tanpa pernah mereka sadari".
Adolf Hitler Percaya bahwa salah satu faktor kemenangan dari Pasukan
Aliansi pada Perang Dunia I adalah karena propaganda, untuk itu kemudian Hitler
mendirikan

Reich

Ministry

of

Public

Enlightenment

and

Propaganda

(Reichsministeriumfür Volksaufklärung und Propaganda or Propagandaministerium)
yang dipimpin oleh Joseph Goebbels. Tujuannya untuk mengendalikan informasi dan
memelihara budaya NAZI.
Propaganda politik sebagai bagian dari komunikasi politik merupakan sebuah
mekanisme dalam pelukisan dan pendefinisian “realitas politik” agar sesuai dengan
ideology politik tertentu. Propaganda politik adalah cara bagaimana pikiran
masyarakat dipengaruhi melalui mekanisme representasi ideologis dan manipulasi
kesadaran. Mekanisme manipulasi kesadaran inilah yang membuat propaganda selalu
mempunyai persoalan ideologis, yaitu persoalan objektivitas dan kebenaran
pengetahuan tentang realitas yang ditampilkan (truth).
Propaganda merupakan sebuah mekanisme pembingkaian realitas (framming)
sedemikian rupa, sehingga sebuah bagian dari realitas dibuat terlihat sangat jelas
(visible), sementara bagian realitas lainnya dibuat tersembunyi (invisible), samarsamar, kabur atau tertutup sama sekali. Kemampuan propaganda dalam
menampakkan dan menyembunyikan realitas sertra mempengaruhi masyarakat
melalui “bingkai realitas” tersebut, merupakan ukuran bagi keberhasilan propaganda.
Propaganda kerap menggunakan sisi gelap ideologi sebagai “sistem gagasan,
kepercayaan, dan kesadaran semu” (Raymond Williams 1977, dalam Arief Adityawan
S, 2008).
II.3

Definisi dan Sejarah Realisme Sosial

II.3.1 Definisi Realisme Sosial
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, realisme adalah: (1) suatu paham
atau ajaran yang selalu bertolak dari kenyataan; (2) aliran kesenian yang berusaha
melukiskan (menceritakan sesuatu sebagaimana kenyataanya); -sosialis estetika dan
filsafat seni yang dirancang oleh Lenin, yangtunduk pada kaidah komunis dan
menggambarkan perjuangan kaum proletar melawan kaum borjuis.

II.3.2 Sejarah Realisme Sosial
Sosialisme (sosialism) secara etimologi berasal dari bahasa Perancis yang
berarti kemasyarakatan. Istilah sosialisme pertama kali muncul di Perancis sekitar
1830. Umumnya istilah tersebut digunakan oleh golongan-golongan tertentu yang
ingin mewujudkan masyarakat yang mempunyai hak kepemilikan bersama terhadap
alat-alat produksi, agar produksi tidak lagi diselenggarakan oleh orang-orang atau
lembaga perorangan atau swasta yang hanya memperoleh laba tetapi semata-mata
untuk melayani kebutuhan masyarakat. Dalam arti tersebut ada empat macam aliran
yang dinamakan sosialisme: (1) sosial demokrat, (2) komunisme,(3) anarkisme, dan
(4) sinkalisme (Ali Mudhofir, 1988). Sosialisme ini muncul kira-kira pada awal abad
19, tetapi gerakan ini belum berarti dalam lapangan politik. Baru sejak pertengahan
abad 19 yaitu sejak terbit buku Marx, Manifesto Komunis (1848), sosialisme itu
(seakan-akan) menjadi faktor yang sangat menentukan jalannya sejarah umat
manusia.
Marx memakai istilah “sosialisme” dan ”komunisme” secara bergantian
dalam pengertian yang sama. Hal ini dilakuakn sebab Marx ingin membedakan
teorinya yang disebut “sosialisme ilmiah” dari “ sosialisme utopia” untuk
menghindari kekaburan istilah dua sosialisme dan juga karena latarbelakang
sejarahnya. Marx memakai istilah “komunisme” sebagai ganti “sosialisme” agar
nampak lebih bersifat revolusioner (Sutarjo Adisusilo, 1991: 127).
Dalam perkembangannya, Lenin dan Stalin berhasil mendirikan negara
“komunis”. Istilah “sosialis” lebih disukai daripada “komunis” karena dirasa lebih
terhormat dan tidak menimbulkan kecurigaan. Mereka menyebut masa transisi dari
Negara kapitalis ke arah Negara komunis atau “masyarakat tidak berkelas” sebagai
masyarakat sosialis dan masa transisi itu terjadi dengan dibentuknya “ Negara
sosialis”, kendati istilah resmi yang mereka pakai adalah “negara demokrasi rakyat”.
Di pihak lain Negara di luar “Negara sosialis”, yaitu Negara yang diperintah oleh
partai komunis, tetap memakai sebutan komunisme untuk organisasinya, sedangkan

partai sosialis di Negara Barat memakai sebutan “sosialis demokrat” (Meriam
Budiardjo, 1984: 5).
II.4

Seni Konstruktivisme dan Realisme Sosial dan Perannya dalam
Propaganda Politik di Negara Rusia
II.4.1. Peran Seni Konstruktivisme dalam Propaganda Politik di Negara
Rusia
Pada tahun 1920-an di Rusia berkembang sebuah gerakan yang bernama

konstruktivisme (setelah Revolusi Oktober) yang dipelopori oleh Vladimir Tatlin
(1885-1953), Alexander Mikhailovich Rodchenko (1891-1956), dan Lazar Marcovivh
Lissitzky (1890-1941). Rodchenko sendiri pernah diangkat sebagai Direktur Dana
Museum dan Pembelian oleh Pemerintah Rusia pada 1920 yang ditugaskan untuk
mereorganisasi sekolah-sekolah dan museum seni.
Konstruktivisme adalah sebuah konstruksi yang mengatur pada sistem
sosial, yang ditandai oleh penggunaan metode industri untuk menciptakan objek
geometris. Gerakan ini menjadi sebuah kekuatan yang aktif sampai sekitar tahun
1934, dan mengalami masa kejayaan dalam pemerintahan republik Weimar, sebelum
akhirnya digantikan oleh Realisme Sosial. Konstruktivisme Rusia berpengaruh pada
penggunaan huruf sans-serif berwarna merah dan hitam diatur dalam blok asimetris
dan juga merupakan gabungan dari kata dan gambar sebagai pengalaman visual yang
terjadi secara serentak. Fotogram, foto-montase-superimposisi (saling bertumpuk),
fokus yang berlainan, tipografi konkrit.
Pendekatan ini menggunakan bahan-bahan sisa hasil industri dan
menggunakan rancangan yang berbentuk garis dan bidang, dan merupakan gerakan
yang tumbuh pesat menyusul Revolusi Oktober 1917. Sementara Lissitzky ialah
seorang desainer grafis, fotografer, guru, tipografer, dan arsitek yang cukup disegani
dalam kelompok kontruktivis.

Karya konstruktivis pada masa Rusia tengah dilanda perang saudara ketika
itu salah satunya merupakan karya Lissitzky “Hantamlah Si Putih dan Pantek Merah”
(Beat the Whites with the Red Wedge) pada 1919 yang hanya berisi empat kata yang
tidak beraturan, bentuk-bentuk geometris merah, abu-abu, hitam, dan putih yang
mengesankan gerak dan benturan. “Merah” symbol kaum revolusioner dan komunis
sedangkan “Putih” symbol kaum monarki, konservatif, liberal, dan sosialis yang
menentang Revolusi Bolshevik.

Gambar 2.2 Beat the Whites with the Red Wedge, 1920.
L.M. Lissitzky (http://russianposters.blogspot.com)

Karya lainnya dibuat pada tahun 1941 dimana poster propaganda dibuat
“mengajak” rakyat Rusia memproduksi lebih banyak kendaraan tank untuk melawan
Nazi Jerman. Dalam perkembangan terakhir, konstruktivisme lebih banyak
menekankan “seni produksi”, yakni menjalin kerjasama dengan dunia industri dengan
menciptakan benda-benda fungsional untuk kepentingan massa.
II.4.2 Peran Seni Realisme Sosial dalam Propaganda Politik di Negara
Rusia

Pengaruh dari seniman-seniman konstruktivis memudar saat Lenin
memberlakukan Kebijakan Ekonomi Baru pada tahun 1921. Pada masa itu
konstruktivisme mulai dikecam dan ditolak karena dianggap tidak cocok dengan
“semangat “ rakyat jelata dan proyek propaganda partai komunis. Begitu pula dengan
seniman-seniman yang tergabung dalam Association of Easel Painters atau The
Society of Easel Painters (OST). Pada awal tahun 1930-an, Realisme dan idiomidiom modernis OST mulai diserang dan dikritik sebagai “formalisme” dan “borjuis”.
Imtil ,mengontrol kerja para seniman, Partai Komunis Uni Soviet membentuk Serikat
Seniman Soviet pada 1932.
Puncaknya ialah saat Stalin pada tahun 1934 mencanangkan “Realisme
Sosialis” sebagai doktrin resmi dalam seni propaganda. Seniman wajib berkarya
menurut kuota dan tema yang ditentukan dalam partai komunis. Seni harus mudah
dicerna, mendukung perjuangan, dan menggugah semangat kaum proletar. Sejak itu
pula hanya ada satu subjek dalam setiap poster propaganda: Joseph Stalin.
II.5

Pendekatan Teori
II.5.1 Teori Poster sebagai Media Komunikasi
Gambar adalah sumber informasi vital tetapi sebagaimana semua

representasi, gambar membentuk bagian diskursus ideologis. Gambar tak hanya
merupakan salah satu cara komunikasi sejarawan desain, melainkan juga bagian dari
objek studi mereka. Gambar dengan sendirinya bisa dikaji sebagai artefak hasil
desain. Kini, jutaan foto glossy dan full-colour barang-barang kebutuhan konsumen
muncul di halaman iklan majalah berilustrasi. Gambar-gambar ini memegang peran
penting dalam menjual barang-barang dan dalam menanamkan merek atau’citra’
perusahaan

dalam

benak

publik.

Seringkali

foto-foto

ini

tidak

sekadar

memublikasikan produk. Foto-foto itu mengomunikasikan kesuluruhan gaya hidup
dan seperangkat nilai spesifik. Sebagai contoh mengenai dampak ilustrasi, berikut
tuduhan Reyner Banham atas ‘argumen melenceng’ yang ditujukan kepada Le

Corbusier, dimana bukunya Towards a New Architecture (1923) menjajarkan foto
kuil-kuil Yunani kuno dan mesin mobil modern:
Pemelencengan itu ditutupi oleh fakta bahwa argumen tersebut sebagian
bersifat verbal dan sebagian bersifat visual. Landasan verbal adalah nilai positif
standarisasi dan dalam konteksnya, beginilah cara membacanya, tetapi tertium
comparitionis argumen tersebut adalah pretensi yang tidak jujur.
TEMA FUNGSI DESIGN
1. Rasional
Media yang mengarah ke rasional yang berfokus pada praktek, fungsi, atau kebutuhan
masyarakat, akan memberikan tekanan atau manfaat baginya untuk menerima berita
yang diinformasikan / dikomunikasikan.
2. Humor atau jenaka
Penampilan humor atau jenaka merupakan strategi mencapai sasaran komunikasi
grafis komunikasi untuk memicu perhatian terhadap yang dikomunikasikan
3. Rasa takut
Rasa takut lebih efektif digunakan untuk memperbaiki motivasi
Tujuan :



Mengindentifikasi konsekuensi negatif jika menggunakan produk.
Mengidentifikasi konsekuensi negatif terhadap perilaku yang tidak aman,
misalnya minum-minuman keras, merokok, menelpon sambil nyetir mobil,
merusak lingkungan, dan sebagainya

4. Patriotik
Tampilan visual patriotic (hero) kadang dihadirkan untuk menambah rasa
kepercayaan masyarakat terhadap berita yang diinformasikan / dikomunikasikan.
5. Kesalahan
Tujuan media yang bersifat kesalahan ini agar audience (masyarakat) yang
melihatnya/ membacanya bisa memperbaiki adegan/ berita kesalahan yang
diinformasikan/dikomunikasikan
6. Kaidah

Kaidah biasanya hubungannya dengan aturan-aturan yang tidak menyinggung suku,
adat-istiadat, ras, dan agama (SARA). Unsur ini sangat riskhan dan harus berhatihati,
agar media grafis yang diciptakannya tidak terjadi kesalahpahaman di dalam
masyarakat
7. Simbol


Simbol adalah tanda yang mempunyai hubungan dengan obyek yang



mempunyai peraturan yang sifatnya umum.
Simbol merupakan jembatan menginterpetasikan (mengartikan) suatu obyek
kepada orang lain sesuai dengan pengalamannya

8. Pengandaian
Pengandaian merupakan harapan atau angan-angan ke depan sebuah tujuan.
Pengandaian merupakan sebuah impian yang seakan-akan menjadi kenyataan
9. Emosional


Sebagian

masyarakat

tertarik

pada

berita

yang

diinformasikan/dikomunikasikan melaui pendekatan emosional dengan
perasaan si penghayat yang mengesampingkan akribut dari lembaga yang


menginformasikan
Teknik emosional lebih mengena dan membuat penasaran, khususnya
masyarakat yang merasa lebih maju

II.5.2

Teori Kritik Seni Feldman

Dari apa yang dipaparkan Feldman dalam teori estetikanya, disebutkan
bahwa seni rupa, seperti seni yang lainnya, dapat berfungsi sebagai apresiasi dan
perayaan, kemarahan dan protes, deskripsi sosial, satir dan konyol. Seni dapat
mempengaruhi perilaku suatu kelompok tertentu, dan dapat berdampak pada cara
berpikir, merasakan sesuatu, dan bahkan cara mereka berperilaku. Selama masa

perang, melalui poster, pemerintah membangkitkan kebencian terhadap musuh, atau
mempersuasikan sesuatu, atau untuk meningkatkan produksi. Pada masa tenang,
seniman diarahkan untuk mempengaruhi hampir setiap jenis perilaku kelompok.
Menurut Feldman terdapat empat tahap dalam kritik seni:
1. Deskripsi
Adalah suatu pengumpulan data karya seni yang tersaji langsung kepada
pengamat. Dalam hal ini kritikus dituntut untuk menyajikan keterangan secara
objektif yang bersumber pada fakta yang terdapat dalam karya seni.
2. Analisis
Tahap ini kritikus menguraikan kualiats elemen seni, pencahayaan, penataan
figure,. Lokasi, ruang, dan volume. Jika seorang kritikus music memberikan
penilaian terhadap penyanyi, maka disamping ia menafsirkan nilai penampilan
sang artis, dia juga menganalisis segi tekniknya, misalnya, vocal, jangkauan
suara, acting, kefasihan, dan kualitas bunyi yang diciptakan.
3. Interpretasi
Adalah proses mengemukakan arti atau makna karya seni dari hasil deskripsi
dan analisis yang cermat. Kegiatan ini tidak bermaksud menemukan nilai
verbal yang setara dengan pengalaman yang diberikan karya seni. Juga bukan
dimaksudkan sebagai proses penilaian. Penilaian nanti akan dikemukakan
dalam pembahasan sendiri.
4. Evaluasi
Adalah menetapkan rangking sebuah karya dalam hubungannya dengan karya
lain yang sejenis, untuk menentukan kadar artistik dan faedah estetiknya.
Dalam hal ini dikenal dengan studi komparatif historis.

II.5.3

Teori Estetika Marxis

Estetika Marxis sejak awal telah menandaskan kesatuan antara wujud
dengan isi dalam seni, yakni kesalingtergantungan keduanya. Ditekankan pula
keunggulan isi di atas wujud. Wujud seni apa pun yang mencapai tingkat kebenaran

lebih tinggi pasti menemukan wujud ekspresi lebih tinggi pula. Para estetikus Rusia
lambat laun menghapus dari Marxisme hal-hal penting yang diperoleh dari Hegel,
yakni, pengidentifikasian yang indah dengan yang benar, kemudian memandang seni
dengan kenyataan, serta keindahan dan kebenaran adalah oposisi yang tidak
terdamaikan. Sikap identifikasi tersebut mengikuti pengabaian yang total terhadap
“wujud” dalam seni di bawah Stalin, dan oposisi total terhadap “formalisme” yang
mendominasi Rusia antara 1921-1925. Formalisme telah mereduksi seni sampai tidak
ada yang tersisa selain wujud dan gaya, dan tetap tidak peduli dengan “isi”-nya.
Adalah teoretikus Rusia, G.V. Plekhanov, yang mempertegas pendekatan
Marxian terhadap seni. Sebagai pendukung gerakan “seni untuk seni” di Rusia, ia
menolak gagasan otonomi mutlak seni dan menegaskan kriteria objektif untuk
menganalisis gejala estetik. Dengan melakukan hal itu, ia mengeliminir komponen
subjektif seni. Seni dipandang pada hakikatnya sebagai gejala sosial. Suatu seni
dipandang progresif atau reaksioner tergantung pada apakah ia menerima atau tidak
prinsip revolusioner kelas proletar. Dengan cara itu, maka seni pun terasing dari
status otonomnya dalam teori Marxis dan dibuat tergantung pada status kekuatan
produktif masyarakat.
Lenin menggiring argumen Plekhanov selangkah lebih jauh dan lebih
memberi perhatian langsung terhadap masalah menciptakan kesenian dan sastra
sosialis. Dalam esainya yang kejam pada 1905 tentang “Sastra Organisasi dan Partai”,
atas nama Marxisme dan revolusi proletar, ia mencela segala wujud sastra yang tidak
punya komitmen, dan menyatakan pensubordinasian total kehidupan budaya kepada
partignost (semangat partai).
Lenin selanjutnya membubarkan ilusi kebebasan seni di masyarakat borjuis
yang dipandang sebagai ekspresi anarki kapitalis dan menganjurkan pendekatan kritis
terhadap seni masa silam. Seni sosialis mendapat tugas untuk menolak kepalsuan dan
mengekspos kemunafikan seni borjuis. Seni yang demikian disangkal kemengadaan
otonomnya dan menjadi instrumen aksi politik dan pemujaan partai.
Leon Trotsky adalah satu di antara sedikit penentang “pempartai-an” seni.
Dalam bukunya, Literature and Revolution, ia menolak istilah budaya “proletar” yang

diartikan sebagai budaya yang secara kualitatif inferior, dan membela prinsip otonomi
snei baik dalam hal isi maupun wujud. Trotsky mendorong segala jenis eksperimen
kesenian, bahkan yang futuris sekalipun. Karena itu, Stalin menuduhnya sebagai
penganjur formalisme seni, sebuah kecenderungan yang memandang bahwa teknik
memiliki tujuannya sendiri dan terhadap gejala seni mereka mengutamakan wujud
daripada isi. Hal ini kemudian disanggah: pemisahan wujud dari isi mengandaikan
pemisahan pemikiran dengan praksis dan merupakan watak filsafat idealis.
Semakin terkonsolidasi sosialisme di Rusia, semakin kaku estetika Marxis.
Para novelis Rusia seperti Belinski dan Chernishevsky mensubordinasikan seni ke
dalam kenyataan. Semakin seni merefleksikan kenyataan, kehidupan proletar dan
kehidupan Rusia, semakin ia terbebani gagasan akan kesempurnaan. Dengan cara
demikian, ia menyangkal komponen subjektif dalam gejala seni. Pendekatan
“realisme sosialis” ternyata diidentifikasi sebagai estetika Marxis tout court. Gorky,
Stalin, dan Zhdanov menjadi pembela keras metode “realisme sosial” ini, yang
menganggap seni sebagai instrumen ideologis untuk pendidikan massa menuju
sosialisme. Seni, tulis mereka, harus menjadi representasi kongkret kenyataan dalam
perkembangan revolusionernya.

II.5.4

Teori Estetika Gramsci

Minat Gramsci dalam estetika, sebagaimana dapat disimak, bukanlah
filsafati ataupun teoritis, melainkan sosiologis. Alih-alih mempersoalkan apa yang
indah dalam seni, ia lebih fokus terhadap permasalahan bagaimana suatu kesenian
dinikmati publiknya, bagaimana kepopulerannya tidak ditentukan oleh “keindahan”,
melainkan ada muatan spesifik yang mampu menarik massa.
Gramsci berusaha memcahkan masalah kompleks estetika Marxis dengan
memasukkan pengertian dialektika. Hanya dengan menerima perspektif dialektika

dapat dihindarkan bahaya formalisme, psikologisme, sosiologisme atau bentuk
dogmatism, dan determinasi lain.
Seni bagi Gramsci:
1. Harus dikatikan dengan sejarah manusia dan relasi-relasi sosialnya yang
konkrit (dalam hal ini praksis politik).
2. Seni harus diberi otonomi dalam hal berpolitik. Seni muncul secara spontan
dan tidak mungkin dipaksakan dari atas atau dari luar (sebagaimana pernah
terjadi pada kesenian Stalin atau fasis).
3. Seni harus memfasilitasi pengembangan bebas kekuatan-kekuatan progresif
revolusioner.
Gramsci menghampiri subjek seni dari perspektif politis. Seni dianggap
sebagai proses sosial yang menyejarah, dan sebagaimana kegiatan intelektual lain,
membaurkan diri dan mempesona manusia karena anasir-anasir praktis dan
eksternalnya. Gramsci menolak memandang seni sebagai pantulan pasif dari
kepentingan kelas. Seni itu otonom dan mengandung nilai-nilai yang tidak mengenal
waktu.

Bab III

III.1

Visualisasi Poster Propaganda Rusia

Visualisasi Poster Propaganda Rusia pada Periode 1920-an

Gambar 3.1.1 Death to The World of Imperialism,
Dr. Moor, 1920 (Sumber: http://russianposters.com/)

Dalam poster ini terlihat ikon sebuah ular super besar yang membelit sebuah
bangunan pabrik dimana rakyat Rusia berperang melawannya dengan menggunakan
senjata-senjata khas buruh dan petani dengan teks dalam bahasa Rusia: Kematian
untuk Dunia Imperialisme. Pada masa ini industrialisasi sedang marak terjadi akibat
imperialisme dan kapitalisme sehingga menyebabkan tereksploitasinya sumber daya
manusia baik dari kalangan perempuan hingga anak-anak.
Poster ini mempersonifikasikan imperialisme sebagai sebuah ular raksasa,
dan para pekerja digambarkan tidak dapat membiarkan ia mengambil alih produksipabrik maupun agrikultur. Poster ini tidak hanya dimaksudkan untuk kepentingan
dalam negeri saja, tetapi juga untuk menyalakan api revolusi di negara-negara lain
yang berujung pada Komunisme Dunia tanpa batas.

Gambar 3.1.2 God exists, but We don’t recognize him
in Atheist at the Machine Sit Magazine, 1925 subscription.
D. Moor (Orlov), 1924 (Sumber:Ibid.)

Selama tahun-tahun perang komunisme, partai komunis secara brutal
melawan gereja ortodoks. Gereja selalu menjadi bagian dari negara dan secara aktif
mendukung monarki, dan diatas semuanya sebelum revolusi, gereja telah menjadi
pemilik tanah terbesar kedua di Rusia. Salah satu dari propaganda yang terorganisir
dalam praktik melawan gereja adalah majalah “Atheist at the Machine Sit” yang
diterbitkan pada periode 1923-1928. Dalam waktu singkat majalah tersebut beralih
menjadi edisi umum yang dikemas dengan berbagai variasi topic seperti
permasalahan komunitas sosialis, kehidupan baru, berita internasional, medis,
agrikultur, hingga sejarah revolusi. Majalah tersebut menjadi terkenal di kalangan
kelompok sosial Soviet dan tersedia di setiap perpustakaan. Artikel dan artwork –nya
pun dibuat sedemikian berkualitas sehingga dapat tersebar hingga ke internasional.
Gereja katolik sangat menentang majalah tersebut dan melarang peredarannya di
beberapa negara di Eropa. Archbishop of Canterbury –pemimpin dari Curch of
England bahkan menaikkannya menjadi kasus dalam parlemen Inggris.

Gambar 3.1.3 The Battleship Potemkin movie poster
Stenberg G. A., 1929 (Sumber:Ibid.)

The Battleship Potemkin merupakan sebuah film yang disutradarai oleh
Sergei Eisenstein dan diproduksi oleh sebuah rumah produksi Rusia Mosfilm pada
tahun 1925. Potemkin telah disebut-sebut sebagai salah satu dari film yang paling
berpengaruh sepanjang masa dan bahkan telah dinobatkan sebagai film terbaik
sepanjang masa dalam World’s Fair di Brussels, Belgia pada tahun 1958. Film ini
menceritakan tentang kejadian nyata yang terjadi pada tahun 1905 dimana prajurit
angkatan laut Rusia berperang melawan pihak tentara kerajaan dalam masa
pemerintahan Tsar Nikolas II.
Film ini dibuat dalam rangka memperingati dua puluh tahun dari Revolusi
Rusia yang pertama pada tahun 1905. Di Rusia film ini sukses menjadi hit bahkan
hingga skala internasional dan di kalangan professional film. Pada masa itu film ini
secara tidak langsung memberi keuntungan pada kaum revolusioner Rusia karena
secara tidak langsung juga menjadi sebuah propaganda tersendiri dalam mengobarkan
kembali semangat revolusi Rusia.

Gambar 3.1.4 Worker and peasant women – all should go to the polls!
N. Valerianov, 1925 (Sumber:Ibid.)

Worker and peasant women – all should go to the polls!
Gather under the Red Banner along with men,
We bring fear to the bourgeoisie!
Dalam poster ini digambarkan para perempuan pekerja dalam pakaian
tradisional sarafan dan pakaian pekerja berbaris dalam gestur yang menantang dan
melempar seorang tuan tanah ataupun pemilik pabrik. Poster ini berasal dari tahun
’20 –an yang menggambarkan tipikal seorang kapitalis gemuk dalam sebuah jas, topi,
dan jam rantai. Selanjutnya gambaran tersebut seringkali digunakan dalam buku
ilustrasi anak, poster, serta berbagai propaganda lain.
Sistem pemilihan umum di Soviet terlihat demokratis, namun pada
kenyataannya jauh dari hal tersebut. Rakyat memilih pemimpin dari pekerja di semua
tingkatan –termasuk kandidat nomor satu dari USSR, namun pemilu tersebut bersifat
formal dan non-kompetitif. Semua kandidat sebelumnya telah disetujui oleh superior

mereka dalam partai. Bagaimanapun, prosedur pemilihan umum tersebut diharapkan
menjadi kesempatan yang sangat baik untuk propaganda dan dalam kasus ini sebelum
revolusi, perempuan masih buta huruf, belum diberi pendidikan yang layak dan tidak
memiliki hak untuk memilih.

Gambar 3.1.5 A spectre is haunting Europe - the spectre of Communism
Scherbakov V., 1920 (Sumber:Ibid.)

Judul dari poster ini merupakan kalimat pertama dari Manifesto Partai
Komunis -sebuah dokumen yang hamper menjadi pengaruh yang ekstrim dalam
sejarah abad ke-20. Dokumen ini ditulis pada tahun 1848 oleh pemikir Jerman
Friedrich Engels dan Karl Marx. Buku ini dilarang di Rusia pada masa pemerintahan
Tsar namun terdapat beberapa edisi illegal selama periode 1880.
Dokumen ini memberi sumbangan dasar teori bagi Revolusi Oktober 1917.
Lenin

-pemimpin

Bolshevik,

berdasarkan

ideologi

dari

partai

komunis,

mendeklarasikan akhir dari kepemilikan dari properti, tanah dan produksi missal.
Selama masa revolusi pada tahun 1917, kelas pekerja melaksanakan penggulingan
kalangan borjuis dan mendeklarasikan masyarakat tanpa kelas. Negara menjadi milik
rakyat