Faktor Risiko yang Berhubungan dengan Infeksi TBC pada Anak Kontak Serumah dengan Penderita Tuberkulosis Paru Dewasa di Puskesmas Kawangu Kabupaten Sumba Timur.

(1)

SKRIPSI

FAKTOR RISIKO YANG BERHUBUNGAN DENGAN INFEKSI TBC PADA ANAK KONTAK SERUMAH DENGAN PENDERITA

TUBERKULOSIS PARU DEWASA DI PUSKESMAS KAWANGU KABUPATEN SUMBA TIMUR

Oleh

DORCE DAMALERO NIM. 1302115016

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR


(2)

ii

FAKTOR RISIKO YANG BERHUBUNGAN DENGAN INFEKSI TBC PADA ANAK KONTAK SERUMAH DENGAN PENDERITA

TUBERKULOSIS PARU DEWASA DI PUSKESMAS KAWANGU KABUPATEN SUMBA TIMUR

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Keperawatan

Oleh

DORCE DAMALERO NIM. 1302115016

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR


(3)

PER}IYATAAN KEASLIAN TULISAI\I

Saya yang bertandatangan di bawah ini :

Nama NIM Fakultas Jurusan

Dorce Danralero 1302115016

Kedokteran Universitas Udayana

Keperawaffi

menyatakan dengan sebenarnya bahwa Tugas

Alftir

yang saya tulis

ini

benar-benar hasil karya saya sendiri, bukan

me'nrpkan

alihan tulism atau pikiran orang lain yang saya akui sebogai tulisan atau pikiran saya sendiri.

Apabila dikemudian hari dapat dibuktikan bahwa Tugas

Atfiir

ini

adalah hasil

jiplakan, maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatm tersebut.

Denpasar,

Februari20l5

Yang membuat pernyataan,

iii


(4)

LEMBAR PERSETUJUAN

SKRIPSI

FAKTOR RISIKO YA}[G BERIIUBUNGAIT DENGAI{ INTEKSI TBC

PADA ANAK KONTAK SERT]MAH DENGAN PENDERITA

TUBERKT]LOSIS PARU DEWASA DI PUSKESMAS

KAWANGU KABUPATEN SI]MBA TIMUR

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarj ana Keperawatan

OIeh

DORCE DAMALERO

NIM. 1302115016

TELAH MENI'APATKAN PERSETUJUAN I]NTUK DIUJI

Pembimbing Utama

N.L.K. Sulisnadewi. M.Kep. Ns.Sp.Kep.An

NIP. 197406221998A3 2 001

lv

Pembimbing Pendamping


(5)

HALAMA}T PENGESAHAN SKRIPSI

FAKTOR RISIKO YANG BERHUBLINGAN DENGA}I INT'EKSI TBC

PADA ANAK KONTAK SERUMAH DENGAN PENDERITA

TT}BERIil'LOSIS PARU DEWASA DI PUSKESMAS

KAWAFTGU KABT}PATEN ST'MBA TIMT]R

Oloh

rxlRCE pAMALERO I\trM. 1302115016

TELAU DTUJIKAI\i

III

HADAPAI{

TIM

PENGUJI PADA

I{ARI

: RABU

TAI\IGGAL

: 18 PEBRUARIZO1S

TIM PENGUJI:

1. N.L.IC Sulisnadewi. M.Kep. Ns.Sp.Kep.An

2. Ns. Kadek Eka Swedarma S.Kep-M.Kes

,/Q>u4

.(,

(Sekretaris)---

-r,

3. Ns. Francisca Shanti K.. .M.Kep. Sp.Keo.An (Pembahas)

MENGETAIITI

I

198003 1 015


(6)

vi

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi berjudul

Faktor Risiko yang Berhubungan dengan Infeksi TBC pada Anak Kontak Serumah dengan Penderita Tuberkulosis Paru Dewasa di Puskesmas Kawangu Kabupaten Sumba Timur.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu menyelesaikan skripsi ini. Ucapan terima kasih penulis berikan kepada:

1. Prof. Dr .dr. Putu Astawa, Sp.OT (K), M.Kes sebagai Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.

2. Prof. Dr. Ketut Tirtayasa MS, AIF, sebagai Ketua Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.

3. N.L.K. Sulisnadewi, M.Kep. Ns.Sp.Kep.An, sebagai pembimbing utama yang telah memberikan bantuan dan bimbingan sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini tepat waktu.

4. Ns. Kadek Eka Swedarma, S.Kep.M.Kes, sebagai pembimbing pendamping yang telah memberikan bantuan dan bimbingan sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini tepat waktu.

5. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Sumba Timur Propinsi Nusa Tenggara Timur yang telah mengijinkan penulis untuk melakukan studi pendahuluan di Puskesmas Kawangu dan membantu dalam menyediakan data sekunder yang diperlukan dalam melengkapi data ini.


(7)

vii

6. Kepala Puskesmas Kawangu Kabupaten Sumba Timur yang telah membantu dalam penyediaan data sekunder yang diperlukan dan menyediakan tempat untuk melakukan penelitian ini.

7. Pengelola Program TB Paru Puskesmas Kawangu Kabupaten Sumba Timur yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian ini.

8. Teman-teman seperjuangan yang telah banyak membantu serta memberikan dorongan moril kepada penulis dalam menyelesaian penulisan skripsi.

9. Keluarga tercinta, Papa (alm), Mama, ketiga saudari saya Iche, Debi, Nita, serta keponakan tersayang Jheremy, Christian dan Meychena yang telah memberi semangat dan dukungan, pengertian dan kasih sayang selama ini. 10. Seluruh pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan proposal ini.

Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis membuka diri untuk menerima segala saran dan masukan yang membangun.

Akhirnya, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi yang membutuhkan.

Denpasar, Februari 2015


(8)

viii

ABSTRAK

Damalero, Dorce. 2015. Faktor Risiko yang Berhubungan dengan Infeksi TBC pada Anak Kontak Serumah dengan Penderita Tuberkulosis Paru Dewasa di Puskesmas Kawangu Kabupaten Sumba Timur. Tugas Akhir, Program Studi Ilmu Keperawatan, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana Denpasar. Pembimbing (1) N.L.K. Sulisnadewi, M.Kep. Ns.Sp.Kep.An; (2) Ns. Kadek Eka Swedarma, S.Kep.M.Kes

TBC anak sebagian besar berasal dari penderita dewasa. Selama penderita dewasa masih menjadi permasalahan, maka TBC anak tetap menjadi permasalahan karena penderita dewasa akan menjadi sumber penularan bagi lingkungannya. Risiko penularan tergantung dari derajat sputum Basil Tahan Asam (BTA) dewasa, lamanya kontak, dan status gizi anak. Penelitian ini bertujuan mengetahui hubungan derajat sputum BTA dewasa, lamanya kontak, status gizi anak dengan infeksi TBC anak serta faktor risiko yang dominan berhubungan dengan infeksi TBC anak. Penelitian ini menggunakan pendekatan cross sectional dengan sampel 36 orang penderita TBC paru dewasa kontak serumah dengan anak usia ≤ 14th. Pengumpulan data dengan kuisioner untuk mengetahui lamanya kontak, lembar observasi untuk mengetahui infeksi TBC anak, mengukur berat badan dan tinggi badan untuk mengetahui status gizi anak, Register TB-01 untuk mengetahui derajat sputum BTA dewasa. Hasil penelitian didapatkan 12 orang BTA negatif dan 24 orang BTA positif, 9 orang kontak < 8jam dan 27 orang kontak > 8jam, 21 orang gizi baik dan 15 orang gizi kurang, 20 anak tidak terinfeksi TBC dan 16 anak terinfeksi TBC. Uji chi-square mendapatkan hubungan yang bermakna antara derajat sputum BTA dewasa dengan infeksi TBC anak (p=0,018), tidak ada hubungan yang bermakna antara lamanya kontak dengan infeksi TBC anak (p=0,439), ada hubungan yang bermakna antara status gizi anak dengan infeksi TBC anak (p=0,025). Faktor risiko yang dominan berhubungan dengan infeksi TBC anak adalah derajat sputum BTA dewasa (OR=7,5) artinya derajat sputum BTA positif lebih berisiko menyebabkan infeksi TBC anak dibandingkan dengan derajat sputum BTA negatif. Derajat sputum BTA dewasa dan status gizi anak mempengaruhi infeksi TBC anak sebesar 69,4% dan 30,6% dipengaruhi oleh faktor lain.


(9)

ix

ABSTRACT

Damalero, Dorce.2015. The Risk of Factor Related Tubercolosis Infection in Children Household Contacts with Adult Pulmonary Tubercolosis Patients on Kawangu Health Centre, East Sumba. Final Project, Study Program of Nursing Science, Faculty of Medicine, Udayana University Denpasar. Supervisor (1) N.L.K. Sulisnadewi, M.Kep.Ns.Sp.Kep.An; (2) Ns. Kadek Eka Swedarma, S.Kep.M.Kes

Almost all tubercolosis in children derives from spreading of adult pulmonary tubercolosis. During the adult pulmonary tubercolosis is still being a problem, then the children tubercolosis remains a problem because them will be a source of spreading for their environment. The risk of spreading depends on degree of adult sputum acid-resistant bacilli, length of contact and children’s nutrient status. This research aims not only to know the relation between degree of adult sputum acid-resistant bacilli, length of contact, children’s nutrient status with tubercolosis infection in children but also to know the dominant risk factors related with tubercolosis infection in children. This research is including the type of corelational analysis with cross section approach. The sample amount to 36 pulmonary tubercolosis patients household contact with children age ≤ 14 years that selected by total sampling. The collection of data by questionnaire to knowing length of contact; observation sheet to knowing tubercolosis infection in children, measure of weight and height to knowing children’s nutrient status; and register TB-01 to knowing degree of adult sputum acid-resistant bacilli. The research results from 36 samples was obtained the 12 person negative acid-resistant bacilli and 14 person positive acid-acid-resistant bacilli, the 9 person contact < 8 hours and 27 person contact > 8 hours, the 21 children in good nutrition and 15 children in decrease nutrition, the 31 children not infected tubercolosis and 5 children infected tubercolosis. The result of chi-square test obtained that strength relation between degree of adult sputum acid-resistant bacilli and tubercolosis infection in children (p=0,018), there was not strenght relation between length of contact and tubercolosis infection in children (p=0,439), that strenght relation between nutrient status and tubercolosis infection in children (p=0,025). The result of multiply regretion obtained the dominant risk factors which related with tubercolosis infection in children that is degree of adult sputum acid-resistant bacilli (OR-7,5), it means positive degree of sputum acid-resistant bacilli more at risk to causes tubercolosis infection in children than negative. The degree of adult sputum acid-resistant bacilli and children’s nutrient status influence tubercolosis infection in children as big as 69,4% and 30,6% influenced by other factors.


(10)

x

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN SAMPUL DEPAN ... i

HALAMAN SAMPUL DALAM ... ii

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ... iii

LEMBAR PERSETUJUAN... iv

HALAMAN PENGESAHAN ... v

KATA PENGANTAR ... vi

ABSTRAK ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

DAFTAR SINGKATAN ... xv

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 6

1.3 Tujuan Penelitian ... 6

1.4 Manfaat Penelitian ... 7

1.5 Keaslian Penelitian ... 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Tuberkulosis ... 11

2.2 Penyebab Tuberkulosis ... 11

2.3 Cara Penularan Tuberkulosis ... 12

2.4 Pathogenesis Tuberkulosis ... 13

2.5 Klasifikasi Penyakit Tuberkulosis ... 14

2.6 Gejala Tuberkulosis ... 16

2.7 Diagnosis Tuberkulosis ... 17

2.8 Faktor Risiko TBC ... 22

2.9 Pengobatan Penderita Tuberkulosis ... 29

2.10 Program PenanggulanganTBC Paru di Puskesmas ... 33

2.11 Pencegahan Tuberkulosis ... 34

BAB III KERANGKA KONSEP 3.1 Kerangka Konsep ... 35

3.2 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 36

3.3 Hipotesis ... 37

BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Jenis Penelitian ... 38

4.2 Kerangka Kerja ... 39


(11)

xi

4.4 Populasi, Sampel dan Teknik Sampling Penelitian ... 40

4.5 Jenis dan Cara Pengumpulan Data ... 40

4.6 Pengolahan dan Analisa Data ... 45

4.7 Etika Penelitian ... 48

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Penelitian ... 49

5.2 Pembahasan Hasil Penelitian ... 54

5.3 Keterbatasan Penelitian ... 63

BAB VI PENUTUP 6.1 Kesimpulan ... 64

6.2 Saran ... 65

DAFTAR PUSTAKA Lampiran


(12)

xii

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1. Sistem Skoring (scoring system) Gejala dan Pemeriksaan Penunjang

TBC di Fasyankes ... 22

Tabel 2. Paduan OAT ... 30

Tabel 3. Dosis Kombinasi pada TB Anak ... 32

Tabel 4. Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 37

Tabel 5. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Derajat Sputum BTA Dewasa, Lamanya Kontak, Status Gizi Anak dan Infeksi TBC Anak .. 51

Tabel 6. Hubungan Derajat Sputum BTA Dewasa dengan Infeksi TBC Anak ... 52

Tabel 7. Hubungan Lamanya Kontak dengan Infeksi TBC Anak ... 53

Tabel 8. Hubungan Status Gizi Anak dengan Infeksi TBC Anak... 53

Tabel 9. Hasil Uji Interaksi ... 54


(13)

xiii

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1. Kerangka Konsep Penelitian ... 35 Gambar 2. Kerangka Kerja Penelitian ... 39


(14)

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Jadwal Penelitian Lampiran 2 : Pengantar Kuesioner

Lampiran 3 : Surat Persetujuan Menjadi Responden Lampiran 4 : Kuesioner Pengumpulan Data

Lampiran 5 : Rencana Anggaran Dana Penelitian

Lampiran 6 : Standar Antropometri Penilaian Status Gizi

Lampiran 7 : Surat Permohonan Ijin Melakukan Pengambilan Data Penelitian Lampiran 8 : Surat Izin Penelitian

Lampiran 9 : Surat Keterangan Selesai Penelitian Lampiran 10 : Lembar Konsultasi


(15)

xv

DAFTAR SINGKATAN

BB : Berat Badan

BPMPP : Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perijinan BTA : Basil Tahan Asam

DOTS : Directly Observed Treatment Shortcourse Chemoterapy

GF : Global Fund

IDAI : Ikatan Dokter Anak Indoneisa INH : Isoniazid

OAT : Obat Anti Tuberkulosis

OAT-KDT : Obat Anti Tuberkulosis-Kombinasi Dosis Tetap P2M : Program Pemberantasan Penyakit Menular PAUD : Pendidikan Anak Usia Dini

PMO : Pengawas Menelan Obat PRM : Puskesmas Rujukan Mandiri

PS : Puskesmas Satelit

SD : Sekolah Dasar

SLTA : Sekolah Lanjutan Tingkat Atas SLTP : Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama SPS : Sewaktu Pagi Sewaktu

TB : Tinggi Badan

TBC : Tuberkulosis

TK : Taman Kanak-Kanak

UPK : Unit Pelayanan Kesehatan WHO : World Health Organization


(16)

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Tuberkulosis (TBC) adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh

Mycobacterium Tuberculosis dan bersifat kronis serta bisa menyerang siapa saja (laki-laki, perempuan, tua, muda, miskin, kaya, dan sebagainya) (Misnadiarly, 2006). Penyakit ini menyebar melalui droplet orang yang telah terinfeksi basil tuberkulosis dan umumnya terjadi di dalam ruangan dimana droplet dapat tinggal di udara dalam waktu lebih lama. Basil tuberkel dapat mati dengan cepat di bawah sinar matahari langsung tetapi dalam ruangan yang gelap dan lembab dapat bertahan sampai beberapa jam. Faktor penentu keberhasilan pemaparan tuberkulosis pada individu baru yakni konsentrasi droplet dalam udara dan panjang waktu individu bernapas dalam udara yang terkontaminasi tersebut di samping daya tahan tubuh yang bersangkutan (Wahid dan Suprapto, 2014).

Sejak tahun 1993, World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa TBC merupakan kedaruratan global bagi kemanusiaan. Walaupun strategi Directly Observed Treatment Shortcourse Chemoterapy (DOTS) telah terbukti sangat efektif untuk pengendalian TBC, tetapi beban penyakit TBC di masyarakat masih sangat tinggi. Dengan berbagai kemajuan yang dicapai sejak tahun 2003, diperkirakan masih terdapat sekitar 9,5 juta kasus baru TBC, dan sekitar 0,5 juta orang meninggal akibat TBC di seluruh dunia (Kepmenkes RI, 2009). Kegelisahan global ini didasarkan pada fakta bahwa pada sebagian besar negara di


(17)

2

dunia, penyakit tuberkulosis tidak terkendali, hal ini disebabkan banyak penderita yang tidak berhasil disembuhkan, terutama penderita menular (Wahid & Suprapto, 2014). Indonesia termasuk ke dalam kelompok negara dengan risiko tinggi, menempati urutan ketiga setelah India dan China (Kepmenkes RI, 2009). India, Cina dan Indonesia berkontribusi lebih dari 50% dari seluruh kasus TBC yang terjadi di 22 negara. Tahun 2010 Indonesia turun ke peringkat ke-5 dunia dalam hal jumlah penderita TBC (WHO, 2010).

Jumlah kasus baru Basil Tahan Asam (BTA) positif yang ditemukan di Indonesia pada tahun 2012 sebanyak 202.301 kasus. Jumlah tersebut sedikit lebih tinggi bila dibandingkan kasus baru BTA (+) yang ditemukan tahun 2011 yang sebesar 197.797 kasus. Jumlah kasus tertinggi yang dilaporkan terdapat di propinsi dengan jumlah penduduk yang tinggi yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Kasus baru di tiga propinsi tersebut sekitar 40% dari jumlah seluruh kasus baru di Indonesia (Kemenkes RI, 2013).

Proporsi kasus TBC Anak di antara semua kasus TBC di Indonesia yang tercatat dalam program TBC berada dalam batas normal yaitu 8-11%, tetapi apabila dilihat pada tingkat propinsi sampai fasilitas pelayanan kesehatan menunjukkan variasi proporsi yang cukup lebar yaitu 1,8-15,9%. Data TBC anak di Indonesia menunjukkan proporsi kasus TBC Anak di antara semua kasus TBC pada tahun 2010 adalah 9,4%, kemudian menjadi 8,5% pada tahun 2011 dan 8,2% pada tahun 2012. Kasus BTA positif pada TBC anak tahun 2010 adalah 5,4% dari semua


(18)

3

kasus TBC anak, sedangkan tahun 2011 naik menjadi 6,3% dan tahun 2012 menjadi 6% (Kemenkes RI, 2013).

Tuberkulosis anak adalah penyakit TBC yang terjadi pada anak usia 0-14 tahun dan merupakan masalah khusus yang berbeda dengan TBC pada orang dewasa. Tuberkulosis anak merupakan faktor penting di negara-negara berkembang karena jumlah anak berusia kurang dari 14 tahun adalah 40−50% dari jumlah seluruh populasi. Sekurang-kurangnya ada 500.000 anak di dunia yang menderita TBC setiap tahunnya dan 70.000 anak meninggal setiap tahun akibat TBC (Kemenkes RI, 2013). Tuberkulosis anak hampir selalu berasal dari penularan tuberkulosis paru orang dewasa, dimana selama tuberkulosis paru dewasa masih menjadi permasalahan, maka tuberkulosis anak akan tetap menjadi permasalahan karena penderita tuberkulosis dewasa akan menjadi sumber penularan bagi keluarga dan lingkungannya (Kuswantoro, 2002). Anak usia di bawah lima tahun mempunyai risiko lebih besar mengalami progresi infeksi menjadi sakit TBC karena imunitas selulernya belum berkembang sempurna (Ajis, 2009).

Faktor risiko penularan TBC pada anak berdasarkan banyak penelitian yang sudah dilakukan diantaranya dipengaruhi oleh kepadatan hunian, pencahayaan, ventilasi, kelembaban udara, kontak erat, status gizi, perilaku pencegahan, status imunisasi BCG, status sosial ekonomi, kebiasaan merokok, dan pengetahuan (Diani, 2011). Menurut Kemenkes RI (2013), faktor risiko penularan TBC pada anak yang


(19)

4

paling mendasar tergantung dari tingkat penularan (derajat sputum BTA penderita dewasa), lamanya kontak, dan status gizi anak.

Pasien TBC dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko penularan lebih besar dari pada pasien TBC dengan BTA negatif, meskipun masih memiliki kemungkinan menularkan penyakit TBC. Tingkat penularan pasien TBC BTA positif adalah 65%, pasien BTA negatif dengan hasil kultur positif adalah 26% sedangkan pasien TBC dengan hasil kultur negatif dan foto thoraks positif adalah 17% (Kemenkes RI, 2013). Semakin sering terpajan dan lama kontak, makin besar pula kemungkinan terjadi penularan. Sumber penularan bagi bayi dan anak yang disebut kontak erat adalah orangtuanya, orang serumah atau orang yang sering berkunjung dan sering berinteraksi langsung.

Penularan TBC pada anak juga dipengaruhi oleh daya tahan tubuh anak. Daya tahan tubuh adalah sesuatu yang dimiliki oleh semua orang yaitu kemampuan yang dimiliki tubuh kita untuk melindungi diri dari berbagai serangan penyakit dan serangan kuman. Akan tetapi yang membedakannya dari setiap orang adalah daya tahan tubuh yang satu dengan yang lainnya berbeda dipengaruhi oleh nutrisi, lingkungan, pola hidup dan genetik. Status gizi seseorang sangat erat kaitannya dengan permasalahan individu, karena merupakan faktor predisposisi yang dapat memperparah penyakit infeksi, juga dapat menyebabkan terjadinya gangguan kesehatan.


(20)

5

Keadaan malnutrisi atau kekurangan kalori, vitamin, protein, zat besi, dan lain-lain akan mempengaruhi daya tahan tubuh seseorang sehingga rentan terhadap penyakit termasuk tuberkulosis. Keadaan ini merupakan faktor penting yang berpengaruh, baik pada orang dewasa maupun pada anak-anak. Berat badan adalah salah satu parameter yang memberikan gambaran masa tubuh. Masa tubuh sangat sensitif terhadap perubahan-perubahan yang mendadak seperti terkena infeksi. Berdasarkan karakteristik ini, maka indeks berat badan dibagi umur digunakan sebagai salah satu cara pengukuran status gizi. Gizi buruk akan berpengaruh terhadap menurunnya daya tahan tubuh seseorang yang akhirnya akan mempengaruhi seseorang menderita tuberkulosis (Depkes RI, 2000).

Program penanggulangan TBC dengan strategi DOTS di Kabupaten Sumba Timur sudah dimulai sejak tahun 1995, namun pengelolaan program dengan dukungan dana yang memadai baru dikembangkan pada tahun 2004 dengan bantuan Global Fund (GF) yang menetapkan 6 Puskesmas Rujukan Mandiri (PRM) dan 15 Puskesmas Satelit (PS). Berdasarkan data 4 tahun terakhir (tahun 2010-2013), ditemukan kasus TBC Paru sebanyak 1.521 orang dengan kasus TBC Anak sebanyak 122 orang. Tahun 2012 ditemukan sebanyak 375 kasus TBC Paru dan TBC anak sebanyak 31 kasus, tahun 2013 sebanyak 456 kasus TBC Paru dan kasus TBC anak sebanyak 24 kasus. Kasus TBC anak tertinggi tahun 2013 terdapat di wilayah kerja Puskesmas Kawangu yaitu sebanyak 5 kasus dari total 24 kasus TBC anak Kabupaten dengan kasus TBC Paru dewasa sebanyak 49 orang. Data terakhir tahun 2014, ditemukan penderita TBC Paru dewasa sebanyak


(21)

6

41 orang dan kasus TBC anak sebanyak 16 orang (Dinas Kesehatan Kabupaten Sumba Timur, 2014).

Melihat masih tingginya angka kejadian TBC Paru dewasa dan kejadian infeksi TBC anak yang tinggal serumah dengan penderita dan faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya infeksi tersebut maka sangat diperlukan penanganan yang tepat terkait dengan program penanggulangan infeksi TBC anak pada tinggal serumah. Bertitik tolak dari permasalahan tersebut maka peneliti tertarik untuk

meneliti “Faktor risiko yang berhubungan dengan infeksi TBC pada anak yang tinggal serumah dengan pasien Tuberkulosis Paru dewasa di Puskesmas Kawangu

Kabupaten Sumba Timur Nusa Tenggara Timur”

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang diatas maka masalah penelitian dapat

dirumuskan yaitu “Faktor risiko apa yang berhubungan dengan infeksi TBC pada anak kontak serumah dengan penderita Tuberkulosis Paru dewasa di Puskesmas Kawangu Kabupaten Sumba Timur?”

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui faktor risiko yang berhubungan dengan infeksi TBC pada anak kontak serumah dengan penderita Tuberkulosis Paru dewasa di Puskesmas Kawangu Kabupaten Sumba Timur.


(22)

7

1.3.2. Tujuan Khusus

a. Mengidentifikasi derajat sputum BTA penderita tuberkulosis paru dewasa. b. Mengidentifikasi lamanya kontak penderita tuberkulosis paru dewasa dengan

anak yang terinfeksi kuman TBC.

c. Mengidentifikasi status gizi anak yang terinfeksi kuman TBC yang kontak serumah dengan penderita tuberkulosis paru dewasa.

d. Menganalisis hubungan derajat sputum BTA terhadap infeksi TBC anak yang kontak serumah dengan penderita tuberkulosis paru dewasa.

e. Menganalisis hubungan lamanya kontak penderita tuberkulosis paru dewasa yang kontak serumah terhadap infeksi TBC anak.

f. Menganalisis hubungan status gizi terhadap infeksi TBC anak yang kontak serumah dengan penderita tuberkulosis paru dewasa.

g. Menganalisis faktor risiko yang dominan berhubungan dengan infeksi TBC anak kontak serumah dengan penderita tuberkulosis paru dewasa.

1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1. Manfaat Praktis

a. Memberikan gambaran pada keluarga tentang gejala TBC pada anak serta faktor risiko yang mempengaruhi timbulnya TBC pada anak.

b. Memberikan gambaran kepada pengelola program TBC Puskesmas dalam pengembangan promosi dan preventif pada penatalaksanaan program TBC.


(23)

8

c. Sebagai dasar pengambilan keputusan bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Sumba Timur dalam mencegah dan memberantas penyakit TBC di Kabupaten Sumba Timur.

1.4.2. Manfaat Teoritis

a. Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dibidang penyakit infeksi menular.

b. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai data dasar untuk melaksanakan penelitian lebih lanjut.

1.5. Keaslian Penelitian

Penelitian tentang faktor risiko yang yang berhubungan dengan infeksi TB pada anak yang tinggal serumah dengan penderita tuberkulosis paru dewasa belum pernah dilakukan di Puskesmas Kawangu, namun ada beberapa penelitian sejenis yang pernah dilakukan:

1.5.1. Penelitian oleh Yulistyaningrum dan Dwi Sarwani Sri Rejeki (2010)

Hubungan riwayat kontak penderita Tuberkulosis paru (TB) dengan kejadian TB paru anak di Balai Pengobatan Penyakit Paru-paru (BP4) Purwokerto. Penelitian ini mencari hubungan riwayat kontak TB dengan kejadian TB paru anak dan hubungan antara variabel perancu (status ekonomi, status imunisasi BCG dan keberadaan perokok di dalam rumah) dengan variabel bebas (riwayat kontak TB) dan variabel terikat (kejadian TB paru anak). Penelitian ini menggunakan metode survei analitik dengan pendekatan Case Control Study. Penelitian dilakukan di Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru (BP4) Purwokerto dengan sampel penelitian


(24)

9

berjumlah 76 orang yaitu 38 sampel kasus dan 38 sampel kontrol. Analisis data meliputi analisis bivariat dengan uji Chi-Square dan analisis berstrata dengan uji

Mantel Haenszel. Hasil penelitian didapatkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara riwayat kontak TB dengan kejadian TB paru anak di BP4 Purwokerto dan tidak dipengaruhi oleh variabel status ekonomi, status imunisasi BCG dan keberadaan perokok di dalam rumah.

1.5.2. Nur Lina, Lilik Hidayanti, Eti Rahmawati (2008)

Beberapa faktor yang berhubungan dengan kejadian tuberkulosis pada anak di kota Tasikmalaya (studi di Puskesmas Cigeureung, Cipedes, Bantarsari kota Tasikmalaya). Penelitian ini mencari hubungan antara status imunisasi BCG, status gizi, luas ventilasi rumah, adanya kontak dengan penderita, dan pengetahuan ibu dengan kejadian tuberkulosis pada anak. Penelitian dilakukan dengan metode survei, jenis penelitian adalah explanatory dengan pendekatan

cross sectional. Populasi penelitian adalah anak usia 3 bulan sampai dengan 14 tahun yang berobat ke Puskesmas Bantarsari, Cigeureung, Cipedes Kota Tasikmalaya dari bulan April sampai dengan bulan September 2008 sebanyak 56 orang. Sampel penelitian merupakan total populasi. Analisis data dengan analisis univariat dan analisis bivariat dengan uji statistik chi-square. Hasil penelitian didapatkan ada hubungan bermakna antara status imunisasi BCG, status gizi, luas ventilasi rumah, kontak dengan penderita batuk lama dan tingkat pengetahuan ibu dengan kejadian tuberkulosis pada anak.


(25)

10

1.5.3. Anwar Musadad (2002)

Hubungan faktor lingkungan rumah dengan penularan TB paru kontak serumah. Penelitian ini merupakan studi cross sectional. Populasi penelitian adalah seluruh rumah tanggga yang didalamnya terdapat penderita TB paru dewasa dengan sampel adalah seluruh rumah tangga yang didalamnya terdapat penderita TB paru dan mempunyai balita. Analisis data dilakukan uji beda proporsi dengan menggunakan chi-square. Dari penelitian ini disimpulkan bahwa angka kejadian penularan TB paru kontak serumah sebesar 13%. Faktor yang berperan dalam penularan kontak serumah tersebut adalah masuknyasinar matahari langsung ke dalam rumah.

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di atas, terdapat perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan diantaranya variabel bebas yang akan diteliti yang mana lebih difokuskan pada sumber penularan dan transmisinya (darajat sputum BTA dan lamanya kontak) serta daya tahan tubuh anak (status gizi). Terdapat perbedaan pula pada sampel yang diteliti serta waktu dan tempat penelitian yang akan dilakukan. Mengingat keterbatasan peneliti dalam masalah kepustakaan, tidak menutup kemungkinan bahwa variabel dan teknik pengukuran yang diteliti adalah sama dengan peneliti lain yang belum penulis temukan sebagai referensi.


(26)

11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Tuberkulosis

Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TBC (Mycobacterium tuberculosis) (Kemenkes RI, 2013). Tuberkulosis adalah penyakit infeksius, yang terutama menyerang parenkim paru. Sebagian besar kuman TBC menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya termasuk meninges, ginjal, tulang, dan nodus limfe (Smeltzer & Bare, 2002). Tuberkulosis merupakan infeksi bakteri kronik yang disebabkan oleh

Mycobacterium tuberculosis dan ditandai oleh pembentukan granuloma pada jaringan yang terinfeksi dan oleh hipersensifitas yang diperantarai sel ( cell-mediated hypersensitivity) (Wahid dan Suprapto, 2014).

2.2. Penyebab Tuberkulosis

Penyakit tuberkulosis disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. Kuman ini berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan. Oleh karena itu disebut pula sebagai Basil Tahan Asam (BTA) (Depkes RI, 2008). Basil ini tidak berspora sehingga mudah dibasmi dengan pemanasan, sinar matahari dan sinar ultraviolet (Nurarif dan Kusuma, 2013), tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat dormant, tertidur selama beberapa tahun (Depkes RI, 2008). Ada dua macam mikobakteria tuberkulosis yaitu tipe human dan tipe bovin. Basil tipe bovin berada dalam susu sapi yang menderita mastitis


(27)

12

tuberkulosis usus. Basil tipe human bisa berada di bercak ludah (droplet) di udara yang berasal dari penderita TBC terbuka (Nurarif dan Kusuma, 2013).

2.3. Cara Penularan Tuberkulosis

Sumber penularan adalah penderita TBC BTA (+) yang ditularkan dari orang ke orang oleh transmisi melalui udara. Pada waktu berbicara, batuk, bersin, tertawa atau bernyanyi, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet (percian dahak) besar (>100 µ) dan kecil (1-5 µ). Droplet yang besar menetap, sementara droplet yang kecil tertahan di udara dan terhirup oleh individu yang rentan (Smeltzer & Bare, 2002). Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan di udara pada suhu kamar selama beberapa jam dan orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup kedalam saluran pernapasan.

Setelah kuman TBC masuk ke dalam tubuh manusia melalui pernapasan, kuman TBC tersebut dapat menyebar dari paru ke bagian tubuh lainnya, melalui saluran peredaran darah, sistem saluran limfe, saluran nafas, atau penyebaran langsung ke bagian-bagian tubuh lainnya. Daya penularan dari seorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak, makin menular penderita tersebut (Depkes RI, 2008). Kemungkinan seseorang terinfeksi TBC ditentukan oleh tingkat penularan, lamanya pajanan/kontak dan daya tahan tubuh (Kemenkes RI, 2013).


(28)

13

Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya tahan tubuh seluler, sehingga jika terjadi infeksi oportunistik, seperti tuberkulosis, maka yang bersangkutan akan menjadi sakit parah bahkan bisa mengakibatkan kematian. Bila jumlah orang terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah penderita TBC akan meningkat, dengan demikian penularan TBC di masyarakat akan meningkat pula.

2.4. Pathogenensis Tuberkulosis 2.4.1. Infeksi Primer

Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan kuman TBC. Droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya, sehingga dapat melewati sistem pertahanan mukosilier bronkus, dan terus berjalan sehingga sampai di alveolus dan menetap disana. Infeksi dimulai saat kuman TBC berhasil berkembangbiak dengan cara pembelahan diri di paru, yang mengakibatkan peradangan di dalam paru. Saluran limfe akan membawa kuman TBC ke kelenjar limfe di sekitar hilus paru, dan ini disebut sebagai kompleks primer. Waktu antara terjadinya infeksi sampai pembentukan kompleks primer adalah sekitar 4-6 minggu. Adanya infeksi dapat dibuktikan dengan terjadinya perubahan reaksi tuberkulin dari negatif menjadi positif (Depkes RI, 2008).

Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung dari banyaknya kuman yang masuk dan besarnya respon daya tahan tubuh (imunitas seluler). Pada umumnya reaksi daya tahan tubuh tersebut dapat menghentikan perkembangan kuman TBC. Meskipun demikian, ada beberapa kuman akan menetap sebagai kuman persister


(29)

14

atau dormant (tidur). Kadang-kadang daya tahan tubuh tidak mampu menghentikan perkembangan kuman, akibatnya dalam beberapa bulan yang bersangkutan akan menjadi penderita TBC. Masa inkubasi, yaitu waktu yang diperlukan mulai terinfeksi sampai menjadi sakit, diperkirakan sekitar 6 bulan (Depkes RI, 2008). Tanpa pengobatan, setelah lima tahun, 50% dari penderita TBC akan meninggal, 25% akan sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh tinggi,

dan 25% sebagai “kasus kronik” yang tetap menular (WHO, 1999).

2.4.2. Tuberkulosis Pasca Primer

Tuberkulosis pasca primer biasanya terjadi setelah beberapa bulan atau tahun sesudah infeksi primer, misalnya karena daya tahan tubuh menurun akibat terinfeksi HIV atau status gizi yang buruk. Ciri khas dari tuberkulosis pasca primer adalah kerusakan paru yang luas dengan terjadinya kavitas atau efusi pleura (Depkes RI, 2008).

2.5. Klasifikasi Penyakit Tuberkulosis 2.5.1. Tuberkulosis Paru

Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru (parenkim paru) tidak termasuk pleura (selaput paru). Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak, menurut Depkes RI (2008), TBC paru dibagi dalam :

a. Tuberkulosis Paru BTA Positif

Sekurang-kurang 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. Satu spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto rontgen dada menunjukkan gambar tuberkulosis aktif. Satu spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan


(30)

15

biakan kuman TBC positif. Satu atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasil BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT

b. Tuberkulosis Paru BTA Negatif

Pemeriksaan 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif. Foto rontgen dada menunjukkan gambar tuberkulosis aktif. TBC paru BTA negatif rontgen positif dibagi berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan. Bentuk berat bila gambar foto rontgen dada memperlihatkan gambar kerusakan paru yang luas dan/atau keadaan umum penderita buruk (Depkes RI, 2008). Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT. Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.

2.5.2. Tuberkulosis Ekstra Paru

Tuberkulosis ekstra paru adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium) kelenjar lymfe, tulang persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin dan lain-lain.

TBC ekstra paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakit yaitu : a. TBC Ekstra Paru Ringan

Misalnya TBC kelenjar limfe, pleuritis eksudativa unilateral tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjar adrenal.


(31)

16

b. TBC Ekstra Paru Berat

Misalnya meningitis, millier, perikarditis, peritionitis, pleuritis eksudativa duplex, TBC tulang belakang, TBC usus, TBC saluran kencing dan alat kelamin (Depkes RI, 2008).

2.6. Gejala Tuberkulosis

Gejala utama yang terjadi adalah batuk terus menerus dan berdahak selama tiga minggu atau lebih. Gejala tambahan yang sering terjadi yaitu batuk darah atau dahak bercampur darah, sesak nafas, nyeri dada, badan lemas, keletihan, nafsu makan menurun, berat badan menurun, rasa kurang enak badan (malaise), berkeringat malam walaupun tanpa aktifitas fisik, demam meriang lebih dari sebulan.

Gejala umum TBC anak adalah sebagai berikut:

a. Berat badan turun selama tiga bulan berturut-turut tanpa sebab yang jelas atau berat badan tidak naik dengan adekuat atau tidak naik dalam satu bulan setelah diberikan upaya perbaikan gizi yang baik.

b. Demam yang lama (≥2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas (bukan demam tifoid, infeksi saluran kemih, malaria, dan lain-lain). Demam umumnya tidak tinggi. Keringat malam saja bukan merupakan gejala spesifik TBC pada anak apabila tidak disertai dengan gejala-gejala sistemik/umum lain.


(32)

17

c. Batuk lama ≥3 minggu, batuk bersifat non-remitting (tidak pernah reda atau intensitas semakin lama semakin parah) dan sebab lain batuk telah dapat disingkirkan.

d. Pembesaran kelenjar limfe superfisialis yang tidak sakit, biasanya multipel, paling sering di daerah leher, ketiak dan lipatan paha.

e. Nafsu makan tidak ada (anoreksia) atau berkurang, disertai gagal tumbuh (failure to thrive).

f. Lesu atau malaise, anak kurang aktif bermain.

g. Diare persisten/menetap (>2 minggu) yang tidak sembuh dengan pengobatan baku diare.

2.7. Diagnosis Tuberkulosis

2.7.1. Diagnosis Tuberkulosis Pada Orang Dewasa.

Diagnosis pasti TBC seperti lazimnya penyakit menular yang lain adalah dengan menemukan kuman penyebab TBC yaitu kuman Mycobacterium Tuberculosis

pada pemeriksaan sputum, bilas lambung, cairan serebrospinal, cairan pleura ataupun biopsi jaringan (Kemenkes RI, 2013). Diagnosis tuberkulosis ditegakkan dengan mengumpulkan riwayat kesehatan, pemeriksaan fisik, rontgen dada, usap BTA, kultur sputum, dan tes kulit tuberkulin (Smeltzer & Bare, 2002).

Pemeriksaan yang paling sering dilakukan adalah pemeriksaan 3 spesimen dahak Sewaktu Pagi Sewaktu (SPS) yaitu:

a. Sewaktu (S): pengambilan dahak saat penderita pertama kali berkunjung ke tempat pengobatan dan dicurigai menderita TBC.


(33)

18

b. Pagi (P): pengambilan dahak pada keesokan harinya, yaitu pada pagi hari segera setelah bangun tidur.

c. Sewaktu (S): pengambilan dahak saat penderita mengantarkan dahak pagi ke tempat pengobatan.

Hasil pemeriksaan dinyatakan positif bila sekurang-kurang 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya positif. Bila hanya 1 spesimen yang positif perlu diadakan pemeriksaan lebih lanjut yaitu foto rontgen dada atau pemeriksaan dahak SPS diulang. Bila hasil rontgen mendukung TBC, maka penderita didiagnosis menderita TBC BTA positif, namun bila hasil rontgen tidak mendukung TBC, maka pemeriksaan dahak SPS diulangi. Apabila fasilitas memungkinkan, maka dapat dilakukan pemeriksaan biakan/kultur. Pemeriksaan biakan/kultur memerlukan waktu yang cukup lama serta tidak semua unit pelaksana memilikinya, sehingga jarang dilakukan (Depkes RI, 2008).

Saat ini di Indonesia, uji tuberkulin tidak mempunyai arti dalam menentukan diagnosis TBC pada orang dewasa, sebab sebagian besar masyarakat sudah terinfeksi dengan Mycobacterium Tuberculosis karena tingginya prevalensi TBC. Suatu uji tuberkulin positif hanya menunjukkan bahwa yang bersangkutan pernah terpapar dengan Mycobacterium Tuberculosis. Dilain pihak, hasil uji tuberkulin dapat negatif meskipun orang tersebut menderita tuberkulosis, misalnya pada penderita HIV/AIDS, malnutrisi berat, TBC milier dan morbili (Depkes RI, 2008).

2.7.2. Diagnosis Tuberkulosis Pada Anak.

TBC anak adalah penyakit TBC yang terjadi pada anak usia 0-14 tahun. Diagnosis paling tepat adalah dengan ditemukannya kuman TBC dari bahan yang diambil


(34)

19

dari penderita. Tetapi pada anak hal ini sangat sulit dan jarang didapat, sehingga sebagian besar diagnosis TBC anak didasarkan atas gambaran klinis, gambaran foto rontgen dada dan uji tuberkulin. Selain melihat gejala umum TBC anak, seorang anak harus dicurigai menderita tuberkulosis bila mempunyai sejarah kontak erat (serumah) dengan penderita TBC BTA positif dan terdapat reaksi kemerahan cepat setelah penyuntikan BCG (dalam 3-7 hari) (Depkes RI, 2008). a. Uji Tuberkulin (Mantoux)

Uji tuberkulin dilakukan dengan cara Mantoux (pernyuntikan intrakutan) dengan semprit tuberkulin 1 cc jarum nomor 26. Tuberkulin yang dipakai adalah tuberkulin PPD RT 23 kekuatan 2 TU. Pembacaan dilakukan 48-72 jam setelah penyuntikan. Diukur diameter transveral dari indurasi yang terjadi. Ukuran dinyatakan dalam milimeter, uji tuberkulin positif bila indurasi >10 mm (pada gizi baik ), atau >5 mm pada gizi buruk. Bila uji tuberkulin positif, menunjukkan adanya infeksi TBC dan kemungkinan ada TBC aktif pada anak. Namun uji tuberkulin dapat negatif pada anak TBC dengan anergi (malnutrisi, penyakit sangat berat pemberian imunosupresif, dll). Jika uji tuberkulin meragukan dilakukan uji ulang (Depkes RI, 2008).

b. Reaksi Cepat BCG

Saat penyuntikan BCG terjadi reaksi cepat (dalam 3-7 hari) berupa kemerahan dan indurasi > 5 mm, maka anak tersebut dicurigai telah terinfeksi Mycobacterium tubercolosis (Depkes RI, 2008).


(35)

20

c. Foto Rontgen dada

Gambar rontgen TBC paru pada anak tidak khas dan interpretasi foto biasanya sulit, harus hati-hati kemungkinan bisa overdiagnosis atau underdiagnosis. Paling mungkin kalau ditemukan infiltrat dengan pembesar kelenjar hilus atau kelenjar paratrakeal. Gejala lain dari foto rontgen yang mencurigai TBC adalah milier, atelektasis/kolaps konsolidasi, infiltrat dengan pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal, konsolidasi (lobus), reaksi pleura dan atau efusi pleura, kalsifikasi, bronkiektasis, kavitas, destroyed lung. Bila ada diskongruensi antara gambar klinis dan gambar rontgen harus dicurigai TBC. Foto rontgen dada sebaiknya dilakukan PA (postero-anterior) dan lateral, tetapi kalau tidak mungkin PA saja (Depkes RI, 2008).

d. Pemeriksaan mikrobiologi dan serologi

Pemeriksaan BTA secara mikroskopis langsung pada anak biasanya dilakukan dari bilasan lambung karena dahak sulit didapat pada anak. Pemeriksaan BTA secara biakan (kultur) memerlukan waktu yang lama. Cara baru untuk mendeteksi kuman TBC dengan cara Polymery Chain Reaction (PCR) atau Bactec masih belum dapat dipakai dalam klinis praktis. Demikian juga pemeriksaan serologis seperti Elisa, Pap, Mycodot dan lain-lain masih memerlukan penelitian lebih lanjut untuk pemakaian dalam klinis praktis (Depkes RI, 2008).

e. Diagnosis TB anak dengan Sistem Skoring

Pada waktu menegakkan diagnosis TBC anak, semua prosedur diagnostik dapat dikerjakan, namun apabila dijumpai keterbatasan sarana diagnostik yang tersedia, dapat menggunakan suatu pendekatan lain yang dikenal sebagai sistem skoring.


(36)

21

Sistem skoring tersebut dikembangkan diuji coba melalui tiga tahap penelitian oleh Ikatan Dokter Anak Indoneisa (IDAI), Kemenkes dan didukung oleh WHO dan disepakati sebagai salah satu cara untuk mempermudah penegakan diagnosis TBC anak terutama di fasilitas pelayanan kesehatan dasar. Sistem skoring ini membantu tenaga kesehatan agar tidak terlewat dalam mengumpulkan data klinis maupun pemeriksaan penunjang sederhana sehingga diharapkan dapat mengurangi terjadinya underdiagnosis maupun overdiagnosis TBC.

Penilaian/pembobotan pada sistem skoring dengan ketentuan sebagai berikut: parameter uji tuberkulin dan kontak erat dengan pasien TBC menular mempunyai nilai tertinggi yaitu 3, uji tuberkulin bukan merupakan uji penentu utama untuk menegakkan diagnosis TB pada anak dengan menggunakan sistem skoring, pasien dengan jumlah skor ≥6 harus ditatalaksana sebagai pasien TB dan mendapat OAT. Diagnosis TB Anak ditegakkan oleh Dokter. Jika dijumpai skrofulderma, maka langsung didiagnosis TBC. Setelah dinyatakan sebagai pasien TBC anak dan diberikan pengobatan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) harus dilakukan pemantauan hasil pengobatan secara cermat terhadap respon klinis pasien. Apabila respon klinis terhadap pengobatan baik, maka OAT dapat dilanjutkan sedangkan apabila didapatkan respons klinis tidak baik maka sebaiknya pasien segera dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan rujukan untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.


(37)

22

Tabel 1. Sistem Skoring (scoring system) Gejala dan Pemeriksaan Penunjang TBC di Fasyankes

Parameter 0 1 2 3 Skor

Kontak TBC Tidak jelas - Laporan

keluarga, BTA (-) / BTA tidak jelas/ tidak tahu

BTA (+)

Uji tuberkulin (Mantoux)

Negatif - - Positif (≥10 mm

atau ≥5 mm pada

imunokompromais) Berat Badan/

Keadaan Gizi

- BB/TB<90% atau

BB/U<80% Klinis gizi buruk atau BB/TB<70% atau BB/U<60% -

Demam yang tidak diketahui

penyebabnya

- ≥2 minggu - -

Batuk kronik - ≥3 minggu - -

Pembesaran kelenjar limfe kolli, aksila, inguinal

- ≥1 cm, lebih dari 1 KGB, tidak nyeri - - Pembengkakan tulang/sendi panggul, lutut, falang

- Ada

pembengkakan

- -

Foto toraks Normal/

kelainan tidak jelas Gambaran sugestif (mendukung) TB - - Skor Total

Sumber: Kemenkes RI, 2013

2.8. Faktor Risiko TBC

Faktor risiko adalah hal-hal atau variabel yang terkait dengan peningkatan suatu risiko dalam hal ini penyakit tertentu. Faktor risiko di sebut juga faktor penentu, yaitu menentukan seberapa besar kemungkinan seorang yang sehat menjadi sakit. Faktor penentu kadang-kadang juga terkait dengan peningkatan dan penurunan risiko terserang suatu penyakit. Beberapa faktor risiko yang berperan dalam kejadian penyakit TBC antara lain:


(38)

23

2.8.1. Faktor Predisposisi

a. Umur.

Tuberkulosis dapat menyebabkan kematian pada kelompok anak-anak dan pada usia remaja. Kejadian infeksi TBC pada anak usia dibawah 5 tahun mempunyai risiko 5 kali dibandingkan anak usia 5-14 tahun. Di Indonesia diperkirakan 75% penderita TB Paru adalah kelompok usia produktif yaitu 15-50 tahun (Depkes, 2008).

b. Pendidikan dan Pengetahuan

Tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi pengetahuan seseorang diantaranya mengenai rumah yang memenuhi syarat kesehatan dan pengetahuan penyakit TB Paru, sehingga dengan pengetahuan yang cukup maka seseorang akan mencoba untuk mempunyai perilaku hidup bersih dan sehat (Lina, 2009). c. Perilaku

Perilaku seseorang yang berkaitan dengan penyakit TBC adalah perilaku yang mempengaruhi atau menjadikan seseorang untuk mudah terinfeksi/tertular kuman TB misalnya kebiasaan membuka jendela setiap hari, menutup mulut bila batuk atau bersin, meludah sembarangan, merokok dan kebiasaan menjemur kasur ataupun bantal. Perilaku dapat terdiri dari pengetahuan, sikap dan tindakan. Pengetahuan penderita TBC Paru yang kurang tentang cara penularan, bahaya dan cara pengobatan akan berpengaruh terhadap sikap dan perilaku sebagai orang sakit dan akhirnya berakibat menjadi sumber penularan bagi orang disekelilingnya (Misnadiarly, 2006).


(39)

24

d. Imunisasi

Proses terjadinya penyakit infeksi dipengaruhi oleh faktor imunitas seseorang. Anak merupakan kelompok rentan untuk menderita tuberkulosis, oleh karena itu diberikan perlindungan terhadap infeksi kuman tuberkulosis berupa pemberian vaksinasi BCG pada bayi berusia kurang dari dua bulan. Pemberian vaksinasi BCG belum menjamin 100% seseorang tidak akan terkena infeksi TBC namun setidaknya dapat menghindarkan terjadinya TBC berat pada anak (Misnadiarly, 2006).

e. Status Gizi

Status gizi merupakan variabel yang sangat berperan dalam timbulnya kejadian TBC Paru, tetapi hal ini sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor yang lainnya seperti ada tidaknya kuman TBC pada paru. Kuman TBC merupakan kuman yang dapat

“tidur” bertahun-tahun dan apabila memiliki kesempatan “bangun” dan

menimbulkan penyakit maka timbullah kejadian penyakit TBC Paru. Oleh sebab itu salah satu upaya menangkalnya adalah dengan status gizi yang baik (Achmadi, 2005).

f. Kontak Penderita

Seseorang dengan BTA positif sangat berisiko untuk menularkan pada orang disekelilingnya terutama keluarganya sendiri khususnya anak-anak. Semakin sering seseorang melakukan kontak dengan penderita BTA positif maka semakin besar pula risiko untuk tertular kuman tuberkulosis, apalagi ditunjang dengan kondisi rumah dan lingkungan yang kurang sehat (Depkes, 2008).


(40)

25

g. Status Sosial Ekonomi

WHO (2003) menyebutkan penderita TBC Paru didunia menyerang kelompok sosial ekonomi lemah atau miskin. Walaupun tidak berhubungan secara langsung namun dapat merupakan penyebab tidak langsung seperti adanya kondisi gizi memburuk, perumahan tidak sehat, dan ekses terhadap pelayanan kesehana juga menurun kemampuannya. Apabila status gizi buruk maka akan menyebabkan kekebalan tubuh yang menurun sehingga memudahkan terkena infeksi TBC Paru. Menurut perhitungan rata-rata penderita TBC kehilangan tiga sampai empat bulan waktu kerja dalam setahun. Mereka juga kehilangan penghasilan setahun secara total mencapai 30% dari pendapatan rumah tangga (Achmadi, 2005).

2.8.2. Faktor Pendukung

a. Kepadatan Hunian

Persyaratan kepadatan hunian untuk seluruh rumah biasanya dinyatakan dalam m2/orang. Luas minimum per orang sangat relatif tergantung dari kualitas bangunan dan fasilitas yang tersedia. Untuk rumah sederhana luasnya minimum 10 m2/orang. Untuk kamar tidur diperlukan luas lantai minimum 3 m2/orang. Untuk mencegah penularan penyakit pernapasan, jarak antara tepi tempat tidur yang satu dengan yang lainnya minimum 90 cm. Kamar tidur sebaiknya tidak dihuni oleh lebih dari dua orang, kecuali untuk suami istri dan anak di bawah 2 tahun (Depkes RI, 2001).

Luas lantai bangunan rumah sehat harus cukup untuk penghuni di dalamnya, artinya luas lantai bangunan rumah tersebut harus disesuaian dengan jumlah


(41)

26

penghuninya agar tidak menyebabkan overload. Hal ini tidak sehat, sebab disamping menyebabkankurangnya konsumsi oksigen juga bila salah satu anggota keluarga terkena penakit infeksi, akan mudah menularkan kepada anggota keluarga yang lain ( Notoatmodjo, 2003).

b. Pencahayaan

Rumah yang sehat memerlukan cahaya yang cukup, tidak kurang dan tidak terlalu banyak. Kurangnya cahaya yang masuk ke dalam ruangan rumah, terutama cahaya matahari disamping kurang nyaman, juga merupakan media atau tempat yang baik untuk hidup dan berkembangnya bibit-bibit enyakit. Sebaliknya, terlalu banyak cahaya didalam rumah akan menyebabkan silau dan akhirnya dapat merusakkan mata (Notoatmodjo, 2003). Cahaya ini sangat penting karena dapat membunuh bakteri-bakteri patogen di dalam rumah, seperti basil TBC, karena itu sangat penting rumah untuk mempunyai jalan masuk cahaya yang cukup.

c. Ventilasi dan Kelembaban Udara

Rumah yang sehat harus memiliki ventilasi untuk menjaga agar aliran udara didalam rumah tersebut tetap segar, sehingga keseimbangan oksigen yang diperlukan oleh penghuni rumah tersebut tetap terjaga. Kurangnya ventilasi juga menyebabkan kelembaban di dalam ruangan meningkat. Kelembaban ini akan menjadi media yang baik untuk pertumbuhan bakteri-bakteri patogen/bakteri penyebab penyakit, misalnya kuman TBC. Kuman TBC Paru akan cepat mati bila terkena sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup selama beberapa jam ditempat yang gelap dan lembab (Achmadi, 2005).


(42)

27

2.8.3. Faktor Pendorong

a. Ketinggian Wilayah

Ketinggian secara umum mempengaruhi kelembaban dan suhu lingkungan. Setiap kenaikan 100 meter, selisih udara dengan permukaan air laut sebesar 0,5 oC. Selain itu berkaitan juga dengan kerapatan oksigen, mycobacterium tiberculosis

sangat aerob, sehingga diperkirakan kerapatan pegunungan akan mempengaruhi viabilitas kuman TBC (Achmadi, 2005).

Menurut Kemenkes RI (2013), faktor risiko penularan TBC pada anak yang paling mendasar tergantung dari:

a. Tingkat penularan

Faktor risiko infeksi TBC anak salah satunya dipengaruhi oleh tingkat penularan (derajat sputum BTA). Pasien TBC dewasa dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko penularan lebih besar dari pada pasien TBC dengan BTA negatif, meskipun masih memiliki kemungkinan menularkan penyakit TBC. Tingkat penularan pasien TBC BTA positif adalah 65%, pasien BTA negatif dengan hasil kultur positif adalah 26% sedangkan pasien TBC dengan hasil kultur negatif dan foto thoraks positif adalah 17% (Kemenkes RI, 2013).

b. Lamanya kontak

Sumber penularan yang paling berbahaya adalah penderita TBC paru dewasa dan orang dewasa yang menderita TBC paru dengan kavitas (lubang pada paru-paru). Kasus seperti ini sangat infeksius dan dapat menularkan penyakit melalui batuk, bersin dan percakapan. Semakin sering terpajan dan lama kontak, makin besar


(43)

28

pula kemungkinan terjadi penularan. Sumber penularan bagi bayi dan anak yang disebut kontak erat adalah orangtuanya, orang serumah atau orang yang sering berkunjung dan sering berinteraksi langsung (Kemenkes RI, 2013).

c. Daya tahan tubuh anak.

Menurut WHO (1999), pencetus infeksi TBC anak yang berat adalah daya tahan tubuh yang rendah, di antaranya infeksi HIV/AIDS dan malnutrisi (gizi buruk). HIV merupakan faktor risiko yang paling kuat bagi yang terinfeksi TBC menjadi sakit TBC. Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya tahan tubuh seluler (cellular immunity), sehingga jika terjadi infeksi penyerta (oportunistic) seperti tuberkulosis, maka yang bersangkutan akan menjadi sakit parah bahkan bisa mengakibatkan kematian. Kekurangan gizi pada seseorang juga akan berpengaruh terhadap kekuatan daya tahan tubuh dan respon immunologik terhadap penyakit.

TBC menyebabkan keadaaan gizi anak memburuk dan merupakan salah satu penyebab lingkaran sebab akibat dari kurang gizi dan infeksi. Pemenuhan gizi yang seimbang berkorelasi langsung dengan pembentukan sistem imun tubuh anak. Makin baik gizinya, makin baik pula imunitas tubuhnya. Berat badan adalah salah satu parameter yang memberikan gambaran masa tubuh. Masa tubuh sangat sensitif terhadap perubahan-perubahan yang mendadak seperti terkena infeksi. Berdasarkan karakteristik ini, maka indeks berat badan dibagi umur digunakan sebagai salah satu cara pengukuran status gizi.


(44)

29

2.9. Pengobatan Penderita Tuberkulosis

Tujuan pemberian pengobatan menurut Kemenkes RI (2013) adalah: menyembuhkan, mempertahankan kualitas hidup dan produktivitas pasien, mencegah kematian akibat TBC aktif atau efek lanjutan, mencegah kekambuhan TBC, menurunkan tingkat penularan TBC kepada orang lain, mencegah perkembangan dan penularan resisten obat anti tuberkulosis (OAT).

Jenis OAT terdiri dari Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z), Etambutol (E) dan Streptomisin (S). Pengobatan TBC diberikan dalam dua tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan. Pada tahap intensif (awal) penderita mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya penderita menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu dua minggu. Sebagian besar penderita TBC BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam dua bulan. Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persisten sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.

Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan Tuberkulosis di Indonesia:

a. Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3.

b. Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3.

Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan obat sisipan (HRZE) c. Kategori Anak: 2HRZ/4HR


(45)

30

Paduan OAT kategori 1 dan kategori 2 disediakan dalam bentuk paket berupa obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT), yang terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan penderita. Paduan OAT disediakan dalam bentuk paket, dengan tujuan untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan (kontinuitas) pengobatan sampai selesai. Satu paket untuk satu penderita dalam satu masa pengobatan. Paket kombipak adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin, Pirazinamid dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan OAT ini disediakan program untuk digunakan dalam pengobatan penderita yang mengalami efek samping OAT KDT.

Tabel 2. Paduan OAT

Kategori Rumus Indikasi Tahap intensif Tahap lanjutan

I 2HRZE/

4H3R3

• Penderita baru TB paru BTA

positif.

• Penderita TBC paru BTA negatif foto toraks positif

• Penderita TB ekstra paru

Selama 2 bulan, frekuensi 1 kali sehari menelan obat, jumlah 60 kali menelan obat

Selama 4 bulan, frekuensi 3 kali seminggu, jumlah 54 kali menelan obat

II 2HRZES/

HRZE/ 5H3R3E3

• Penderita kambuh (relaps) • Penderita gagal

• Penderita dengan pengobatan

setelah putus berobat (default)

Satu bulan

berikutnya selama 1 bulan, 1 kali sehari, jumlah 30 kali menelan obat.

Selama 5 bulan, 3kali seminggu, jumlah total 66 kali menelan obat.

Anak 2RHZ/

4RH

Prinsip dasar pengobatan TB adalah minimal 3 macam obat dan diberikan

dalam waktu 6 bulan. Dosis obat harus disesuaikan dengan berat

badan anak

Selama 2 bulan setiap hari

Selama 4 bulan setiap hari

Sumber: Depkes RI, 2008

Paduan OAT Sisipan (HRZE), bila pada akhir tahap intensif pengobatan penderita baru BTA positif dengan kategori 1 atau penderita BTA positif pengobatan ulang


(46)

31

dengan kategori 2, hasil pemeriksaan dahak masih BTA positif, diberikan obat sisipan (HRZE) setiap hari selama satu bulan (Depkes, 2008).

2.9.1. Paduan OAT Anak

Prinsip pengobatan TBC anak adalah OAT diberikan dalam bentuk kombinasi minimal tiga macam obat untuk mencegah terjadinya resistensi obat dan untuk membunuh kuman intraseluler dan ekstraseluler, waktu pengobatan TBC pada anak 6-12 bulan. Pemberian obat jangka panjang selain untuk membunuh kuman juga untuk mengurangi kemungkinan terjadinya kekambuhan. Pengobatan TBC pada anak dibagi dalam 2 tahap yaitu tahap intensif, selama dua bulan pertama. Pada tahap intensif, diberikan minimal tiga macam obat, tergantung hasil pemeriksaan bakteriologis dan berat ringannya penyakit. Tahap Lanjutan, selama 4-10 bulan selanjutnya, tergantung hasil pemeriksaan bakteriologis dan berat ringannya penyakit.

Selama tahap intensif dan lanjutan, OAT pada anak diberikan setiap hari untuk mengurangi ketidakteraturan minum obat yang lebih sering terjadi jika obat tidak diminum setiap hari. Pada TBC anak dengan gejala klinis yang berat, baik pulmonal maupun ekstra pulmonal seperti TBC milier, meningitis TBC, TBC tulang, dan lain-lain dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan rujukan. Pada kasus TBC tertentu yaitu TBC milier, efusi pleura TBC, perikarditis TBC, TBC endobronkial, meningitis TBC, dan peritonitis TBC, diberikan kortikosteroid (prednison) dengan dosis 1-2 mg/kg BB/hari, dibagi dalam 3 dosis. Dosis maksimal prednisone adalah 60mg/hari. Lama pemberian kortikosteroid adalah


(47)

2-32

4 minggu dengan dosis penuh dilanjutkan tappering off dalam jangka waktu yang sama. Tujuan pemberian steroid ini untuk mengurangi proses inflamasi dan mencegah terjadi perlekatan jaringan.

Paduan OAT untuk anak yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia adalah kategori anak dengan 3 macam obat: 2HRZ/4HR dan kategori anak dengan 4 macam obat: 2HRZE(S)/4-10HR. Paduan OAT Kategori Anak diberikan dalam bentuk paket berupa obat Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 3 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien. OAT untuk anak juga harus disediakan dalam bentuk OAT kombipak untuk digunakan dalam pengobatan pasien yang mengalami efek samping OAT KDT.

Tabel 3. Dosis kombinasi pada TB anak Berat badan

(kg)

Intensif (2 bulan) RHZ (75/50/150)

Lanjutan (4 bulan) (RH (75/50)

5-7 1 tablet 1 tablet

8-11 2 tablet 2 tablet

12-16 3 tablet 3 tablet

17-22 4 tablet 4 tablet

23-30 5 tablet 5 tablet

Cat: BB > 30 kg diberikan 6 tablet atau menggunakan KDT dewasa Sumber: Kemenkes RI, 2013

2.10. Program Penanggulangan TBC Paru di Puskesmas

Untuk dapat memberikan pelayanan kesehatan menyeluruh, puskesmas menjalankan beberapa program pokok salah satunya adalah Program Pemberantasan Penyakit Menular (P2M) seperti program penanggulangan TB


(48)

33

Paru yang dilakukan dengan strategi DOTS dan Penyuluhan Kesehatan. Pada tahun 1995, program nasional penanggulangan TB mulai menerapkan strategi DOTS dan dilaksanakan di Puskesmas secara bertahap. Sejak tahun 2000 strategi DOTS dilaksanakan secara Nasional di seluruh Unit Pelayanan Kesehatan (UPK) terutama Puskesmas yang di integrasikan dalam pelayanan kesehatan dasar (Depkes RI, 2008).

Fokus utama Directly Observed Treatment Shortcourse (DOTS) adalah penemuan dan penyembuhan penderita, prioritas diberikan kepada penderita TBC tipe menular. Strategi ini akan memutuskan penularan TBC dan dengan demikian menurunkan insidens TBC di masyarakat. Menemukan dan menyembuhkan penderita merupakan cara terbaik dalam upaya pencegahan penularan TBC. WHO telah merekomendasikan strategi DOTS sebagai strategi dalam penanggulangan TBC sejak tahun 1995. Bank Dunia menyatakan strategi DOTS sebagai salah satu intervensi kesehatan yang paling efektif. Integrasi ke dalam pelayanan kesehatan dasar sangat dianjurkan demi efisiensi dan efektifitasnya (Depkes RI, 2008). Strategi DOTS terdiri dari 5 komponen yaitu:

a. Komitmen politik dari para pengambil keputusan termasuk dukungan dana. b. Penemuan penderita dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis.

c. Pengobatan dengan paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) jangka pendek dengan pengawasan langsung oleh Pengawas Menelan Obat (PMO).

d. Jaminan tersedianya OAT jangka pendek secara teratur, menyeluruh dan tepat waktu dengan mutu terjamin.


(49)

34

e. Sistem pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan penilaian terhadap hasil pengobatan penderita dan kinerja program secara keseluruhan.

2.11. Pencegahan Tuberkulosis

Pencegahan dapat dilakukan dengan cara: a. Terapi pencegahan.

b. Diagnosis dan pengobatan TB paru BTA positif untuk mencegah penularan.

c. Pemberian imunisasi BCG pada bayi usia 0-11 bulan untuk meningkatkan daya tahan tubuh terhadap kuman tuberkulosis.

Pemberian proflaksis INH pada balita sehat yang memiliki kontak dengan pasien TB dewasa dengan BTA sputum positif (+), namun pada evaluasi dengan tidak didapatkan indikasi gejala dan tanda klinis TB.

Terapi pencegahan:

Kemoprofilaksis diberikan kepada penderita HIV atau AIDS. Obat yang digunakan pada kemoprofilaksis adalah Isoniazid (INH) dengan dosis 5 mg/kg BB (tidak lebih dari 300 mg) sehari selama minimal 6 bulan (Depkes RI, 2008).


(1)

2.9. Pengobatan Penderita Tuberkulosis

Tujuan pemberian pengobatan menurut Kemenkes RI (2013) adalah: menyembuhkan, mempertahankan kualitas hidup dan produktivitas pasien, mencegah kematian akibat TBC aktif atau efek lanjutan, mencegah kekambuhan TBC, menurunkan tingkat penularan TBC kepada orang lain, mencegah perkembangan dan penularan resisten obat anti tuberkulosis (OAT).

Jenis OAT terdiri dari Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z), Etambutol (E) dan Streptomisin (S). Pengobatan TBC diberikan dalam dua tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan. Pada tahap intensif (awal) penderita mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya penderita menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu dua minggu. Sebagian besar penderita TBC BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam dua bulan. Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persisten sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.

Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan Tuberkulosis di Indonesia:

a. Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3.

b. Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3.

Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan obat sisipan (HRZE) c. Kategori Anak: 2HRZ/4HR


(2)

Paduan OAT kategori 1 dan kategori 2 disediakan dalam bentuk paket berupa obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT), yang terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan penderita. Paduan OAT disediakan dalam bentuk paket, dengan tujuan untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan (kontinuitas) pengobatan sampai selesai. Satu paket untuk satu penderita dalam satu masa pengobatan. Paket kombipak adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin, Pirazinamid dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan OAT ini disediakan program untuk digunakan dalam pengobatan penderita yang mengalami efek samping OAT KDT.

Tabel 2. Paduan OAT

Kategori Rumus Indikasi Tahap intensif Tahap lanjutan

I 2HRZE/

4H3R3

• Penderita baru TB paru BTA positif.

• Penderita TBC paru BTA negatif foto toraks positif • Penderita TB ekstra paru

Selama 2 bulan, frekuensi 1 kali sehari menelan obat, jumlah 60 kali menelan obat

Selama 4 bulan, frekuensi 3 kali seminggu, jumlah 54 kali menelan obat

II 2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3

• Penderita kambuh (relaps) • Penderita gagal

• Penderita dengan pengobatan setelah putus berobat (default)

Satu bulan

berikutnya selama 1 bulan, 1 kali sehari, jumlah 30 kali menelan obat.

Selama 5 bulan, 3kali seminggu, jumlah total 66 kali menelan obat. Anak 2RHZ/

4RH

Prinsip dasar pengobatan TB adalah minimal 3 macam obat dan diberikan

dalam waktu 6 bulan. Dosis obat harus disesuaikan dengan berat

badan anak

Selama 2 bulan setiap hari

Selama 4 bulan setiap hari

Sumber: Depkes RI, 2008

Paduan OAT Sisipan (HRZE), bila pada akhir tahap intensif pengobatan penderita baru BTA positif dengan kategori 1 atau penderita BTA positif pengobatan ulang


(3)

dengan kategori 2, hasil pemeriksaan dahak masih BTA positif, diberikan obat sisipan (HRZE) setiap hari selama satu bulan (Depkes, 2008).

2.9.1. Paduan OAT Anak

Prinsip pengobatan TBC anak adalah OAT diberikan dalam bentuk kombinasi minimal tiga macam obat untuk mencegah terjadinya resistensi obat dan untuk membunuh kuman intraseluler dan ekstraseluler, waktu pengobatan TBC pada anak 6-12 bulan. Pemberian obat jangka panjang selain untuk membunuh kuman juga untuk mengurangi kemungkinan terjadinya kekambuhan. Pengobatan TBC pada anak dibagi dalam 2 tahap yaitu tahap intensif, selama dua bulan pertama. Pada tahap intensif, diberikan minimal tiga macam obat, tergantung hasil pemeriksaan bakteriologis dan berat ringannya penyakit. Tahap Lanjutan, selama 4-10 bulan selanjutnya, tergantung hasil pemeriksaan bakteriologis dan berat ringannya penyakit.

Selama tahap intensif dan lanjutan, OAT pada anak diberikan setiap hari untuk mengurangi ketidakteraturan minum obat yang lebih sering terjadi jika obat tidak diminum setiap hari. Pada TBC anak dengan gejala klinis yang berat, baik pulmonal maupun ekstra pulmonal seperti TBC milier, meningitis TBC, TBC tulang, dan lain-lain dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan rujukan. Pada kasus TBC tertentu yaitu TBC milier, efusi pleura TBC, perikarditis TBC, TBC endobronkial, meningitis TBC, dan peritonitis TBC, diberikan kortikosteroid (prednison) dengan dosis 1-2 mg/kg BB/hari, dibagi dalam 3 dosis. Dosis maksimal prednisone adalah 60mg/hari. Lama pemberian kortikosteroid adalah


(4)

2-4 minggu dengan dosis penuh dilanjutkan tappering off dalam jangka waktu yang sama. Tujuan pemberian steroid ini untuk mengurangi proses inflamasi dan mencegah terjadi perlekatan jaringan.

Paduan OAT untuk anak yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia adalah kategori anak dengan 3 macam obat: 2HRZ/4HR dan kategori anak dengan 4 macam obat: 2HRZE(S)/4-10HR. Paduan OAT Kategori Anak diberikan dalam bentuk paket berupa obat Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 3 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien. OAT untuk anak juga harus disediakan dalam bentuk OAT kombipak untuk digunakan dalam pengobatan pasien yang mengalami efek samping OAT KDT.

Tabel 3. Dosis kombinasi pada TB anak

Berat badan (kg)

Intensif (2 bulan) RHZ (75/50/150)

Lanjutan (4 bulan) (RH (75/50)

5-7 1 tablet 1 tablet

8-11 2 tablet 2 tablet

12-16 3 tablet 3 tablet

17-22 4 tablet 4 tablet

23-30 5 tablet 5 tablet

Cat: BB > 30 kg diberikan 6 tablet atau menggunakan KDT dewasa Sumber: Kemenkes RI, 2013

2.10. Program Penanggulangan TBC Paru di Puskesmas

Untuk dapat memberikan pelayanan kesehatan menyeluruh, puskesmas menjalankan beberapa program pokok salah satunya adalah Program Pemberantasan Penyakit Menular (P2M) seperti program penanggulangan TB


(5)

Paru yang dilakukan dengan strategi DOTS dan Penyuluhan Kesehatan. Pada tahun 1995, program nasional penanggulangan TB mulai menerapkan strategi DOTS dan dilaksanakan di Puskesmas secara bertahap. Sejak tahun 2000 strategi DOTS dilaksanakan secara Nasional di seluruh Unit Pelayanan Kesehatan (UPK) terutama Puskesmas yang di integrasikan dalam pelayanan kesehatan dasar (Depkes RI, 2008).

Fokus utama Directly Observed Treatment Shortcourse (DOTS) adalah penemuan dan penyembuhan penderita, prioritas diberikan kepada penderita TBC tipe menular. Strategi ini akan memutuskan penularan TBC dan dengan demikian menurunkan insidens TBC di masyarakat. Menemukan dan menyembuhkan penderita merupakan cara terbaik dalam upaya pencegahan penularan TBC. WHO telah merekomendasikan strategi DOTS sebagai strategi dalam penanggulangan TBC sejak tahun 1995. Bank Dunia menyatakan strategi DOTS sebagai salah satu intervensi kesehatan yang paling efektif. Integrasi ke dalam pelayanan kesehatan dasar sangat dianjurkan demi efisiensi dan efektifitasnya (Depkes RI, 2008). Strategi DOTS terdiri dari 5 komponen yaitu:

a. Komitmen politik dari para pengambil keputusan termasuk dukungan dana. b. Penemuan penderita dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis.

c. Pengobatan dengan paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) jangka pendek dengan pengawasan langsung oleh Pengawas Menelan Obat (PMO).

d. Jaminan tersedianya OAT jangka pendek secara teratur, menyeluruh dan tepat waktu dengan mutu terjamin.


(6)

e. Sistem pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan penilaian terhadap hasil pengobatan penderita dan kinerja program secara keseluruhan.

2.11. Pencegahan Tuberkulosis Pencegahan dapat dilakukan dengan cara:

a. Terapi pencegahan.

b. Diagnosis dan pengobatan TB paru BTA positif untuk mencegah penularan.

c. Pemberian imunisasi BCG pada bayi usia 0-11 bulan untuk meningkatkan daya tahan tubuh terhadap kuman tuberkulosis.

Pemberian proflaksis INH pada balita sehat yang memiliki kontak dengan pasien TB dewasa dengan BTA sputum positif (+), namun pada evaluasi dengan tidak didapatkan indikasi gejala dan tanda klinis TB.

Terapi pencegahan:

Kemoprofilaksis diberikan kepada penderita HIV atau AIDS. Obat yang digunakan pada kemoprofilaksis adalah Isoniazid (INH) dengan dosis 5 mg/kg BB (tidak lebih dari 300 mg) sehari selama minimal 6 bulan (Depkes RI, 2008).