KINERJA PROFESIONAL GURU DALAM PELAKSANAAN TUGAS SEBAGAI PENGEMBANG KURIKULUM :Studi Kasus Pada MTs Negeri 2 Kota Bandung.

(1)

v

Halaman

LEMBAR PENGESAHAN PERNYATAAN

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

UCAPAN TERIMA KASIH ... iii

DAFTAR ISI ... iv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... B. Perumusan Masalah dan Pembatasan Masalah ………. C. Pertanyaan Penelitian ... D. Defenisi Istilah . ... .... E. Tujuan Penelitian ... F. Manfaat Penelitian ... 1 28 29 30 31 33 BAB II KINERJA PROFESIONAL GURU DALAM MENGEMBANGKAN KURIKULUM DI SEKOLAH A. Guru Sebagai Pengembang Kurikulum di Sekolah ... 38

B. Kompetensi Profesional Guru ... 47

C. Kinerja Guru ... 68

D. Kriteria Kualitas Kinerja Guru ... 109

E. Peran dan Fungsi Guru ... 126 BAB III METODE PENELITIAN

A. Pendekatan ... B. Lokasi dan Sumber Data ...

134 138


(2)

v

E. Analisis Data... 148 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Hasil Penelitian ………... 152 1. Keadaan /Potensi MTs Negeri 2 Kota Bandung ………...

2. Kinerja Guru MTs Negeri 2 Kota Bandung ...

152 156 a. Kinerja Profesionalis Guru dalam melaksanakan Tugas

Sebagai Pengembang Kurikulum ... b. Apa saja yang Mempengaruhi Kinerja Profesional Guru

dalam melaksanakan Tugas sebagai Pengembang kurikulum c. Hubungan Kinerja Guru dan Hasil Belajar Siswa ...

156 166 178 B. Interpretasi ... 181

1. Kinerja Profesional Guru dalam melaksanakan tugas Sebagai Pengembang Kurikulum ... 2. Apa saja yang mempengaruhi Kinerja Guru dalam

Melaksanakan tugas sebagai pengembang kurikulum ... 3. Hubungan Kinerja Guru dan Hasil Belajar Siswa ...

181

185 187 C. Pembahasan Hasil Penelitian ... 189

1. Kinerja Profesional Guru Dalam Melaksanakan Tugas sebagai Pengembang Kurikulum ... 2. Apa saja yang Mempengaruhi Kinerja Profesional Guru Dalam

Melaksanakan Tugas Sebagai Pengembang Kurikulum... 3. Hubungan Kinerja Guru dan Hasil Belajar Siswa ...

189

203 205 BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

A. Kesimpulan ... B. Rekomendasi ...

216 220 DAFTAR PUSTAKA ...

DAFTAR LAMPIRAN


(3)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sedikitnya terdapat tiga syarat utama yang harus diperhatikan dalam pembangunan pendidikan agar dapat berkontribusi terhadap peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM), yakni : (1) sarana gedung, (2) buku yang berkualitas, (3) guru dan tenaga kependidikan yang profesional. Demikian yang diungkapkan mantan Menteri Pendidikan Nasional Wardiman Djoyonegoro dalam wawancaranya dengan Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) tanggal 16 Agustus 2004. Dalam pada itu, dikemukakan bahwa ”hanya 43% guru yang memenuhi syarat”; artinya sebagian besar guru (57%) tidak atau belum memenuhi syarat, tidak kompeten, dan tidak profesional. Pantas kalau kualitas pendidikan kita jauh dari harapan, dan kebutuhan. Padahal dalam kapasitasnya yang sangat luas, pendidikan memiliki peran dan berpengaruh positif terhadap segala bidang kehidupan dan perkembangan manusia dengan berbagai aspek kepribadiannya.

Pengaruh pendidikan dapat dilihat dan dirasakan secara langsung dalam perkembangan serta kehidupan masyarakat, kehidupan kelompok, dan kehidupan setiap individu. Jika bidang-bidang lain seperti ekonomi, pertanian, perindustrian berperan menciptakan sarana dan prasarana bagi kepentingan manusia, maka pendidikan berurusan langsung dengan pembentukan manusianya. Pendidikan menentukan


(4)

model manusia yang akan dihasilkannya. Pendidikan juga memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap kemajuan suatu bangsa, dan merupakan wahana dalam menterjemahkan pesan-pesan konstitusi, serta sarana dalam membangun watak bangsa (Nation Character

Building). Mastarakat yang cerdas akan memberi nuansa kehidupan

yang cerdas pula, dan secara progresif akan membentuk kemandirian, dan kreativitas. Bangsa Indonesia bisa merdeka juga tidak terlepas dari peran pendidikan. Para pahlawan Pendidikan, seperti Ki Hajar Dewantara, Dr. Cipto Mangunkusumo, dan Dr. Douwes Dekker merupakan bukti peran pendidikan dalam pembangunan bangsa Indonesia. Mereka merintis pendidikan Nasional dengan mendirikan Taman Siswa pada tahun 1922, dan secara bertahap meningkatkan pemahaman, kesadaran, serta kecerdasan masyarakat Indonesia, sehingga menjadi bangsa yang merdeka, dan berdaulat seperti sekarang ini.

Menyadari hal tersebut, untuk mewujudkan masyarakat madani dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang lebih demokratis, transparan, dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia hanya dapat dilakukan melalui pendidikan. Hanya melalui pendidikan yang benar bangsa ini dapat membebaskan diri dari belenggu krisis multidimensi yang berkepanjangan. Melalui pendidikan, bangsa ini membebaskan masyarakat dari kemiskinan, dan keterpurukan. Melalui pendidikan pula, bangsa ini mengembangkan sumber daya manusia


(5)

yang memiliki rasa percaya diri untuk bersanding dan bersaing dengan bangsa-bangsa lain didunia, bahkan dalam era kesemrawutan global. Tanpa pendidikan yang kuat, dapat dipastikan bangsa Indonesia akan terus tenggelam dalam keterpurukan. Tanpa pendidikan yang memadai, bangsa Indonesia akan terus dililit oleh kebodohan, keterbelakangan, dan kemiskinan. Tanpa pendidikan yang baik, bangsa Indonesia sulit meraih masa depan yang cerah, damai, dan sejahtera.

Persoalannya, pendidikan yang harus dikembangkan untuk membebaskan masyarakat dari keterpurukan, agar dapat mengangkat harkat dan martabat bangsa, serta membebaskan bangsa dari ketergantungan terhadap dari negara lain, adalah pendidikan yang dapat mengembangkan potensi masyarakat, mampu menumbuhkan kemauan, serta membangkitkan nafsu generasi bangsa untuk menggali berbagai potensi, dan mengembangkannya secara optimal bagi kepentingan pembangunan masyarakat secara utuh dan menyeluruh. Pendidikan demikianlah yang mampu menghasilkan sumber daya manusia (SDM) berkualitas serta memiliki visi, transparansi, dan pandangan jauh kedepan; yang tidak hanya mementingkan diri dan kelompoknya, tetapi senantiasa mengedepankan kepentingan bangsa dan Negara dalam berbagai aspek kehidupan. Hal tersebut, sekarang banyak diabaikan, bahkan kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia rendah jika dibandingkan dengan negara-negara lain; dari empat puluh tiga Negara, hampir dalam seluruh bidang kehidupan


(6)

Indonesia berada urutan sepuluh terakhir. Index pengembangan sumber daya manusia (Human Development Index/HDI) Indonesia hanya menempati urutan ke 109 dari 174 negara yang terukur. Dalam hal daya saing, peringkat Indonesia juga menurun dari urutan ke 41 diantara 46 negara pada tahun 1996 menjadi urutan ke 46 diantara 47 negara pada tahun 2001. Sementara itu, hasil survey The Political and Economic Risk Consultancy (PERC) yang dimuat The Jakarta Post (3 september 2001) menunjukkan betapa rendahnya kualitas Pendidikan Indonesia disbanding Negara lain di Asia, bahkan berada dibawah Vietnam. Sehubungan dengan itu, untuk meningkatkan HDI (Human

Development Index) dan tingkat persaingan, perlu strategi perencanaan

pembangunan pendidikan yang tepat dalam upaya mengembangkan SDM berkualitas dan profesional, sehingga mampu bersanding dan bersaing dalam era globalisasi yang sedang kita masuki.

Tilaar (1994) mengemukakan tujuh masalah pokok sistem pendidikan Nasional yaitu:

o Menurunnya akhlak dan moral peserta didik

o Pemerataan kesempatan belajar

o Masih rendahnya efisiensi internal sistem pendidikan

o Status kelembagaan

o Manajemen pendidikan yang tidak sejalan dengan pembangunan nasional, dan


(7)

Menghadapi hal tersebut diatas, perlu dilakukan penataan sistem pendidikan secara kaffah (menyeluruh), terutama berkaitan dengan kualitas pendidikan, serta relevansinya dengan kebutuhan masyarakat dan dunia kerja. Pendidikan juga harus lebih mengedepankan kreativitas (creativity quotient) untuk menumbuhkan kemandirian dan aspek kewirausahaan dalam pribadi peserta didik.

Dalam kaitannya kondisi masyarakat, dapat disaksikan bahwa percepatan arus informasi, dan globalisasi telah mempengaruhi berbagai sendi kehidupan, bahkan telah mengikis nilai-nilai spritual, sehingga membuat masyarakat kehilangan identitas, serta terasing dari diri, lingkungan, dan nilai-nilai moral yang dianutnya. Disini, pendidikan dihadapkan pada masalah yang sangat mendasar. Disatu sisi, dituntut mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, agar menjadi wahana untuk mengembangkan potensi peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Disisi lain, kondisi masyarakat yang sedang sakit dan media massa yang sering menayangkan berbagai suasana kurang sehat, tidak menunjang terhadap pembentukan kualitas SDM yang diharapkan; bahkan akhir-akhir ini banyak tayangan media yang merupakan pembodohan massa, banyak program Televisi dan CD yang tidak sesuai dengan usia peserta didik padahal diperuntukkan bagi mereka, tidak sedikit tayangan yang bertentangan


(8)

dengan ajaran agama, dan banyak pula program-program yang menyesatkan. Ini adalah tantangan berat terutama bagi perkembangan dunia pendidikan.

Sejalan dengan pemikiran diatas, Soedijarto (1999) mendiagnosis berbagai faktor dan memberikan rekomendasi bagi pembaruan pendidikan yang relevan dengan tuntutan pembangunan, yang intinya berkesimpulan bahwa:

1) Pelaksanaan pendidikan belum secara terencana dan sistematik diperdayakan untuk melaksanakan fungsi dan mencapai tujuan pendidikan Nasional secara optimal

2) Pendidikan Nasional sebagai wahana sosialisasi dan pembudayaan berbagai warisan budaya bangsa, nilai-nilai kebudayaan nasional dan nilai-nilai yang dituntut oleh masyarakat global yang dikuasasi oleh IPTEK dan persaingan global belum sepenuhnya terlaksana 3) Pendidikan Nasional yang sudah dilaksanakan secara merata belum

berhasil mengembangkan insan pembangunan yang mampu mengolah dan mengelola sumber daya alam, mengelola modal, mengembangkan teknologi, menghasilkan komoditi yang mutunya mampu bersaiang dan mampu mengembangkan sistem perdagangan.

4) Pendidikan Nasional belum sepenuhnya mampu mengembangkan Indonesia yang Religius, berakhlak, berwatak ksatria dan patriotik. 5) Agar pendidikan Nasional benar-benar mampu melaksanakan


(9)

fungsinya dan mencapai tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa serta mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, perlu dikembangkan dan dilaksanakan program pendidikan pada semua jenis dan jenjang yang dapat berfungsi sebagai lembaga sosialisasi dan pembudayaan berbagai kemampuan, nilai, sikap dan akhlak yang dituntut oleh masyarakat Indonesia yang maju, adil dan makmur serta demokratis berdasarkan pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Memahami uraian tersebut, diperlukan pendidikan yang dapat menghasilkan SDM berkemauan dan berkemampuan untuk senantiasa meningkatkan kualitasnya secara terus menerus dan berkesinambungan (continuous quality inprovement). Hal ini penting, terutama ketika dikaitkan dengan Undang-Undang Republik Indonesia No 20 tahun 2003, tentang Pendidikan Nasional (Undang-Undang Sisdiknas), yang mengemukakan bahwa Pendidikan Nasional bertujuan mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggungjawab dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Tujuan Pendidikan tersebut telah digariskan pula dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN)

Untuk merealisasikan tujuan tersebut, pemerintah telah menetapkan empat strategi pokok pembangunan pendidikan nasional,


(10)

yaitu : (1) peningkatan pemerataan kesempatan pendidikan, (2) relevansi pendidikan dengan pembangunan, (3) kualitas pendidikan, dan (4) efisiensi pengolahan pendidikan. Strategi tersebut jika dilaksanakan secara proposional dan profesional, maka akan dapat menyelesaikan berbagai masalah pendidikan. Paling tidak dapat mendekatkan pendidikan dengan kebutuhan masyarakat dan lingkungannya.

Kebijakan dalam bidang pemerataan misalnya, dimaksudkan agar semua warga negara Indonesia memperoleh kesempatan yang sama untuk mengenyam dan mengikuti pendidikan yang berkualitas. Idealnya, warga negara yang tinggal di pedalaman dan daerah terpencil bisa memperoleh pendidikan gratis yang berkualitas seperti saudaranya yang ada di kota. Demikian halnya, warga negara yang miskin harus mendapatkan pendidikan yang sama kualitasnya dengan mereka yang kaya, sehingga pendidikan berkualiatas menjadi milik bersama seluruh warga masyarakat Indonesia.

Pelaksanaan kebijakan pemerataan pendidikan ini pada awalnya menunjukkan hasil yang cukup lumayan, seperti gerakan wajib belajar enam tahun yang dimulai pada tahun 1984, pada tahun 1994 diperluas menjadi sembilan tahun, dengan harapan semua warga negara Indonesia dapat menempuh pendidikan minimal setara dengan tamatan Sekolah Lnjutan Tingkat Pertama. Dilihat dari pemerataan akses, SD Impres yang dibangun secara melauas di seluruh nusantara telah


(11)

memberikan kesempatan pendidikan yang merata. Jika pada akhir Pelita I 1969/1970 persentase anak usia 7 – 12 tahun yang bersekolah hanya sebesar 41,4%, maka sampai akhir Pelita V, angka partisipasi tersebut telah mencapai 93,49%. Hal tersebut merupakan suatu keberhasilan yang cukup menggembirakan, bahkan pada saat itu dianggap sebagai hasil yang monumental. Namun krisis yang berkempanjangan telah mengembalikan kondisi tersebut pada titik awal, bahkan lebih parah lagi, karena banyak anak-anak yang lebih suka turun ke jalan dari pada bersekolah dengan biaya mahal. Krisis yang berkempanjangan telah menurunkan kemampuan orang tua untuk membiayai pendidikan anaknya, terutama pada masyarakat lapisan bawah, yang berdampak meningkatnya jumlah angka putus sekolah. Padahal mereka juga memiliki hak untuk memperoleh pendidikan yang berkualitas dan pemerintah wajib mengupayakannya.

Kebijakan relevansi Pendidikan dititikberatkan pada keterkaitan dan kesepadanan antara materi yang di ajarkan di sekolah dengan kondisi dan kebutuhan lapangan. Perhatian terhadap masalah relevansi mulai nampak sejak digunakannya kurikulum 1984 dengan muatan lokal yang disispkan pada berbagai bidang study yang sesuai, dan hal ini lebih diintensifkan lagi pelaksanaannya dalam kurikulum 1994. Dalam kurikulum ini muatan lokal tidak lagi disisipkan pada setiap bidang study, tetapi menggunakan pendekatan monolitik berupa bidang studi, baik bidang studi wajib maupun pilihan. Pengembangan


(12)

kurikulum muatan lokal dimaksudkan terutama untuk mengimbangi kelemahan-kelemahan pengembangan kurikulum sentralisasi, dan bertujuan agar peserta didik mencintai dan mengenal lingkungannya, serta mau dan mampu melestarikan dan mengembangkan sumber daya alam, kualitas sosial, dan kebudayaan yang mendukung pembangunan Nasional maupun pembangunan setempat, sehingga peserta didik tidak terlepas dari akar sosial budaya lingkungannya.

Dalam Implementasi kurikulum 2004 selain melalui mata pelajaran muatan lokal, keterkaitan ini lebih ditekannkan lagi dengan pendekatan kompetensi (kurikulum berbasis kompetensi), melalui Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) sejalan dengan kebijakan sentralisasi pendidikan dalam konteks otonomi daerah. Melalui komptensi Dasar yang pengembangannya dilakukan oleh daerah dan sekolah, diharapkan peserta didik dapat menerapkan hasil pendidikan secara langsung untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas masyarakat, serta memecahkan berbagai persoalan bangsa, khususnya dalam bidang pendidikan, dengan mempersiapkan peserta didik, melalui perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi terhadap sistem pendidikan secara efektif, efisien, dan berhasil guna.

Pemberian otonomi yang luas pada sekolah merupakan kepedulian pemerintah terhadap gejala-gejala yang muncul dimasyarakat serta upaya peningkatan mutu pendidikan secara umum. Pemberian Otonom ini menuntut pendekatan manajemen yang lebih


(13)

kondusif di sekolah agar dapat mengakomodasi seluruh keinginan sekaligus memberdayakan berbagai komponen masyarakat secara efektif, guna mendukung kemajuan dan sistem yang ada disekolah.

Kebijakan dalam peningkatan kualitas pendidikan dimulai dari peningkatan mutu pendidikan di Sekolah Dasar. Dalam upaya dan pengembangan pendidikan di sekolah dasar, pemerintah mengembangkan suatu sistem pembinaan yang dikenal Sistem Pembinaan Profesional (SPP). Sistem ini dilaksanakan dengan pendekatan gugus sekolah, sehingga beberapa sekolah yang lokasinya berdekatan dikelompokkan dalam satu gugus (3 sampai 8 sekolah). Satu sekolah ditunjuk sebagai sekolah inti, dan lainnya meruapakan SD imbas. Pembinaan mutu pendidikan tersebut dilaksanakan dengan mengguanakan prinsip whole school development, yang memandang sekolah sebagai suatu keutuhan. Oleh karena itu, pembinaan dan pengembangan ditekankan pada semua aspek dan komponen yang menentukan mutu pendidikan di sekolah. Sedikitnya terdapat lima komponen yang diperhatikan, yaitu kegiatan pembelajaran, manajemen, buku dan sarana belajar, fisik dan penampilan sekolah, serta partisipasi masyarakat, yang semuanya belum dapat dilakukan secara optimal.

Sejalan dengan urian diatas, berbagai upaya untuk meningkatkan kinerja guru dalam pembelajaran dilakukan melalui berbagai pelatihan; seperti pelatihan model pembelajaran, pelatihan pembuatan alat praga,


(14)

pelatihan pengembangan silabus dan pelatihan pembuatan materi standar. Pembinaan dan pengembangan lain untuk mendukung pembelajaran yang efektif juga dilaksanakan, seperti manajemen kelas, manajemen sekolah, manajemen gugus, pengadaan dan penerimaan buku serta sarana belajar. Untuk sekolah-sekolah yang kurang terlayani (underserved schools), dilakukan pemberian bantuan khusus dalam rangka peningkatan kegiatan pembelajaran. Bahkan, untuk meningkatkan peluang peserta didik mengikuti pembelajaran secara optimal di sekolah, diadakan program ”Pemberian Makanan Tambahan bagi Anak Sekolah (PMT-AS), meskipun dalam pelaksanaannya masih dihadapi berbagai kendala, terutama berkaitan dengan model pelaksanaan berbentuk proyek, yang sering hanya menghambur-hamburkan dana, yang diperparah oleh sikap mental para pelaksananya. Upaya lain yang sedang dilakukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan adalah Bantuan Operasional Manajemen Mutu (BOMM). Bantuan ini berbentuk hibah yang langsung diberikan ke sekolah melalui rekening sekolah.

Dal am sist em p en did ikan d an p en gajaran peranan g uru sangatlah strategis dalam upaya menghantarkan peserta didik kearah t u j u an yan g h en d ak d i cap ai . R ak a J o n i d al am S eni awan dan Soedijarto, (1991: 119) mengatakan, "secara makro tugas guru berhubungan dengan pengembangan sumber daya manusia yang pada akhirnya akan paling menentukan kelestarian dan kejayaan


(15)

kehidupan bangsa". Lebih-lebih jika peranan guru dikaitkan dengan jenjang pendidikan dasar maka kita akan melihat betapa seorang guru ak an menj adi fakt or yan g s an gat p enti n g d an st rategis d alam meletakan fondasi bagi pengembangan sumber daya manusia, karena jenjang yang Iebih tinggi pada dasarnya akan mudah dikelola jika fondasi dasar siswa sudah kuat.

Menurut Sudjana (1989: 1) "kurikulum diuntukan bagi siswa, melalui guru yang secara nyata memberi pengaruh kepada siswa pada saat terjadinya proses pengajaran". Mengingat peranan guru yang sentral dalam proses belajar mengajar, dapat dikatakan bahwa kualitas pendidikan di sekolah itu sangat ditentukan oleh kualitas kemampuan guru, meskipun ada faktor lain yang terkait. Konsekuensinya, apabila kualitas proses pendidikan pada suatu jenjang pendidikan ditingkatkan maka kualitas kemampuan guru perlu ditingkatkan pula. Demikian juga sebaliknya, apabila kualitas pendidikan itu disinyalir kurang sesuai dengan harapan masyarakat, tentu yang lebih dulu mendapat tudingan a d a l a h g u r u . Bahkan Natawidjaja (1992: 11) mengungkapkan bahwa kritikan masyarakat terhadap kualitas guru yang tidak memadai dalam menyesuaikan dirinya terhadap perubahan dan perkembangan yang terjadi dalam bidang pendidikan. Mewujudkan sosok pribadi guru yang sesuai dengan harapan masyarakat, dalam arti dapat berperan sebagai pendidik dan pengajar bukanlah pekerjaan yang mudah, akan merupakan pekerjaan yang sulit dan


(16)

teramat sulit sudah barang tentu hal ini terkait dengan sejumlah aspek, baik yang melekat pada pribadi guru seperti aspek kognitif, afektif dan psikomotor. Disamping hal-hal diluar guru seperti: Kurikukulum, sarana belajar, organisasi sekolah dan lainnya.

Mengingat demikian strategisnya peranan seorang guru dalam menghantarkan tujuan pendidikan, maka guru dituntut untuk memiliki kompetensi profesional. Hal ini ditegaskan oleh Syaodih (1998) mengemukakan bahwa guru memegang perang yang cukup penting baik dalam perencanaan maupun pelaksanaan kurikulum. Lebih lanjut dikemukakannya bahwa guru adalah perencana, pelaksana dan pengembang kurikulum bagi kelasnya. Karena guru juga merupakan barisan pengembang kurikulum yang terdepan, maka guru pulalah yang selalu melakukan evaluasi dan penyempurnaan terhadap kurikulum. Menyadari hal tersebut, betapa penting nya untuk meningkatkan aktivitas, kreativitas, kualitas, dan profesionalisme guru. Hal tersebut lebih nampak lagi dalam pendidikan yang dikembangkan secara desentralisasi sejalan dengan kebijakan otonomi daerah, karena disini guru diberi kebebasan untuk memilih dan mengembangkan materi standar dan kompetensi dasar yang sesuai dengan kondisi serta kebutuhan daerah dan sekolah. Simon dan Alexander (1980) telah merangkum lebih dari 10 hasil penelitian di negara-negara berkembang, dan menunjukkan adanya dua kunci penting dari peran guru yang berpengaruh terhadap peningkatan prestasi belajar peserta didik; yaitu: jumlah waktu efektif yang digunakan guru untuk melakukan pembelajaran


(17)

di kelas, dan kualitas kemampuan guru.. Dalam hal ini, guru hendaknya memiliki standar kemampuan profesional untuk melakukan pembelajaran yang berkualitas.

Mulyasa (2008 :13-14) mengatakan kualitas guru dapat ditinjau dari dua segi, dari segi proses dan dari segi hasil. Dari segi proses guru dikatakan berahasil apabila mampu melibatkan sebagia besar peserta didik secara aktif, baik fisik, mental, maupun sosial dalam proses pembelajaran. Disamping itu, dapat dilihat dari gairah dan semangat mengajarnya, serta adanya rasa percaya diri. Sedangkan dari segi hasil, guru dikatakan berhasil apabila pembelajaran yang diberikannya mampu mengubah perilaku sebagian besar peserta didik ke arah penguasaan kompetensi dasar yang lebih baik. Untuk memenuhi tuntutan tersebut diperlukan berbagai kompetensi pembelajaran.

Pengembangan kualitas guru merupakan suatu proses yang kompleks, dan melibatkan berbagai faktor yang saling terkait. Oleh karena itu, dalam pelaksanaannya tidak hanya menuntut keterampilan teknik dari para ahli terhadap pengembangan kompetensi guru, tetapi harus pula dipahami berbagai faktor yang mempengaruhinya. Sehubungan dengan itu, perlu dilakukan berbagai upaya untuk meningkatkan kualitas guru dalam mengembangkan berbagai aspek pendidikan dan pembelajaran. Hal tersebut lebih terfokus lagi dalam implementasi kurikulum 2004 yang berbasis kompetensi, dengan manajemen berbasis sekolah, dalam konteks desentralisasi pendidikan dan otonomi daerah. Pelaksanaan berbagai kebijakan tersebut secara


(18)

benar dan transparan dapat meningkatkan mutu pendidikan pada setiap jenis dan jenjang pendidikan.

Dalam pelaksanaan berbagai kebijakan diatas, guru dituntut untuk menjadi ahli penyebar informasi yang baik, karena tugas utamanya antara lain menyampaikan informasi kepada peserta didik. Guru juga berperan sebagai perencana (designer), pelaksana (implementer), dan penilai (evaluator) pembelajaran. Apabila pembelajaran diarahkan untuk memenuhi kebutuhan pribadi para peserta didik dengan penyediaan ilmu yang tepat dan latihan keterampilan yang mereka perlukan, haruslah ada ketergantungan terhadap materi standar yang efektif dan terorganisasi. Untuk itu diperlukan peran baru dari para guru, mereka dituntut memiliki keterampilan-keterampilan teknis yang memungkinkan untuk mengorganisasikan materi standar serta mengelolanya dalam pembelajaran dan pembentukan kompetensi peserta didik.

Dalam kurikulum 2004 yang berbasis kompetensi, guru terutama berperan dalam mengembangkan materi standar dan membentuk kompetensi peserta didik. Sehubungan dengan itu, guru harus kreatif, profesional, dan menyenangkan. Guru harus kreatif dalam memilah dan memilih, serta mengembangkan materi standar sebagai bahan untuk membentuk kompetensi peserta didik. Guru harus profesional dalam membentuk kompetensi peserta didik sesuai dengan karakteristik individual masing-masing. Guru juga harus menyenangkan, tidak saja


(19)

bagi peserta didik, tetapi juga bagi dirinya. Artinya, belajar dan pembelajaran harus menjadi makanan pokok guru sehari-hari, harus dicintai, agar dapat membentuk dan membangkitkan rasa cinta dan nafsu belajar peserta didik. Dalam kondisi dan perubahan yang bagaimanapun dahsyatnya, guru harus tetap guru; jangan terpengaruh oleh isu, dan jangan bertindak terburu-buru.

Kompetensi guru merupakan kemampuan seorang guru dalam melaksanakan tugas profesinya secara layak dan bertanggungjawab (Usman: 1999:14). Sejalan dengan hal tersebut. Dahlan dalam makalah bahan diskusi Pelatihan Pengelolaan Madrasah Aliyah Dirjen Kelembagaan Agama Islam Depag RI tanggal 14-31 Mei 2000 di Griya Astuti Cisarua Bogor, mengungkapkan setidaknya ada sepuluh standar kemampuan dasar guru yaitu;

1. Penguasaan bahan pelajaran beserta konsep-konsep dasar keilmuannya.

2. Pengelolaan program belajar mengajar

3. Pengelolaan Kelas

4. Penggunaan media dan sumber pembelajaran

5. Penguasaan landasan-landasan kependidikan

6. Pengelolaan interaksi belajar mengajar.

7. Penilaian prestasi siswa

8. Pengenalan fungsi dan program bimbingan dan penyuluhan

9. Pengenalan dan penyelenggaraan administrasi sekolah.

10.Pemahaman prinsip-prinsip dan pemanfaatan hasil penelitian pendidikan untuk kepentingan peningkatan mutu pengajaran

Standar kemampuan guru tersebut adalah merupakan modal yang penting dalam upaya melakukan proses pembelajaran yang mendukung bagi tercapainya tujuan yang ditetapkan. Kompotensi Guru


(20)

yang dimilikinya sebagai pengembang kurikulum di sekolah sudah barang tentu ini merupakan modal penting d al am m en cip t ak an s i tu as i ed u k at i f ya n g k o n d us i f, s ehi ng ga diharapkan dengan modal kompetensi guru yang memadai siswa dapat mencapai hasil belajar yang optimal. Sebaliknya jika kompetensi guru sangat lemah dalam mengelola sistem kependidikan maka meskipun fasilitas di sekolah serba ada sangat sulit diharapkan hasil pendidikan tersebut dapat mecapai tujuan yang optimal. Bahkan dalam surat keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara nomor 26 tahun 1989 tentang angka kredit bagi jabatan guru dalam lingkungan Depdiknas, guru dituntut untuk senantiasa meningkatkan kemampuan profesionalnya baik secara individu maupun secara bersama-sama. Lebih lanjut PP nomor 38 tahun 1992 tentang tenaga kependidikan, fasal 31 mengungkapkan bahwa: Tenaga kepndidikan berkewajiban untuk berusaha mengembangkan kemampuan profesionalnya sesuai den gan perkembangan ilmu pengetahuan d an teknologi serta pembangunan bangsa. Sukadi (2006), Tugas dan Peran Guru, merupakan suatu proses yang meliputi : mendidik, mengajar, dan melatih peserta didik. Mendidik berarti meneruskan dan mengembangkan nilai-nikai hidup (efektif). Mengajar berarti meneruskan dan mengembangkan Ilmu pengetahuan dan teknologi (kognitif), Adapun melatih berarti mengembangkan keterampilan para siswa (psikomotor).


(21)

dan tidak terpisah-pisah. Artinya, dalam melaksanakan tugas mengajar, seorang guru tidak bisa mengabaikan nilai-nilai kehidupan dan keterampilan. Mereka mengajarkan ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi tidak mengesampingkan niali-nilai penggunaan Ilmu dan teknologi tersebut. Demikian pula dalam melatih para siswa, seorang guru tidak bisa mengabaikan tugasnya sebagai pengajar dan pendidik. Untuk melaksanakan ketiga tugas pokok tersebut, seorang guru dituntut mempunyai beberapa kemampuan sebagai berikut :

1. Berwawasan luas, menguasasi bidang ilmunya, dan mampu mentransfer serta menerangkan kembali kepada siswa

2. Mempunyai sikap dan tingkah laku (kepribadian) yang patut diteladani sesuai dengan nilai-nilai kehidupan (values) yang dianut masyarakat dan bangsa

3. Memiliki keterampilan sesuai dengan bidang ilmu yang dimilikinya Peningkatan kualitas guru menuju kemampuan profesional guru adalah merupakan perwujudan dari upaya .meningkatkan mutu pendidikan secara keseluruhan. Guru merupakan sosok manusia yang diberi amanat untuk membimbing dan mengarahkan generasi bangsa yang akan datang. Guru yang berkualitas dalam kinerjanya akan dapat mencerminkan nasib bangsa dan negara yang akan datang. Hal ini dengan asumsi bahwa jabatan apapun atau pekerjaan apapun pasti melalui proses pendidikan dan orang yang melakukan proses tersebut p a s t i s e l a l u b e r i r i n g a n d e n g a n s o s o k g u r u , k a r e n a k u a l i t a s


(22)

pembelajaran akan b erjalan dengan balk apabila guru mampu melakukannya.

Fenomena di lapangan menunjukan bahwa masih terdapat anggapan bahwa untuk menjadi guru, yang penting memiliki kemauan persoalan kemampuan pada gilirannya akan mengikuti. Anggapan tersebut s ud ah b aran g t en tu ku ran g kon d usif bagi p embi naan profesionalisme guru dalam menjalankan tugas, peran dan fungsinya dalam menghantarkan peserta didik kearah tujuan yang dikehendaki.

Ace Suryadi dari Balitbang Depdiknas yang dikutif oleh Usman (2001) menyatakan bahwa:

" B e r b a g a i t e m u a n p e n e l i t i a n m e n u n j u k a n b e b e r a p a kekhawatiran jika guru-guru kita ternyata belum sepenuhnya menguasai kemampuan profesinya. Berdasarkan salah satu penelitian, penguasaan guru terhadap mata pelajaran memang masih berada di bawah standar yang diharapkan. Oleh karena i t u m ak a ti d akl ah men gh eran k an j i k a guru b el um d ap at melaksanakan pekerjaannya secara profesional".

Sudah barang tentu guru yan g masih Iemah kompetensi professionalnya akan sulit diharapkan tujuan pendidikan nasional akan tercapai. Sebagaimana tercantum dalam undang-undang sistem pendidikan Nasional bahwa tujuan pendidikan adalah dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan


(23)

dan kebangsaan.

Membicarakan perbaikan kurikulum, pengadaan sarana dan prasarana pendidikan sampai kepada Kriteria sumberdaya manusia yang diinginkan oleh usaha pendidikan maka semua pasti bermuara pada kualitas guru (Muhibinsyah, 1995: 224). Dengan demikian maka dapat ditarik benang merah betapa urgennya posisi guru dalam dunia pendidikan.

Peran guru dalam mengembangkan kurikulum dalam ruangan kelas posisinya sangat menentukan berhasil tidaknya sebuah proses pembelajaran. Sukmadinata (1988: 212) mengemukakan bahwa:

" O f f i c i a l c u r r i c u l u m m e r u p a k a n k u r i k u l u m n ya t a y a n g dilaksanakan oleh sekolah atau kelas, suatu "reality". Kurikulum nyata atau actual curriculum merupakan implementasi dari official curriculum oleh guru di dalam kelas. Beberapa ahli menyatakan betapapun bagusnya suatu kurikulum (official), tetapi hasilnya sangat bergantung pada upaya yang dilakukan oleh guru dan ju ga murid dalam kelas (actual). Den gan demikian guru memegang peranan penting baik di dalam penyusunan maupun pelaksanaan kurikulum".

Kurikulum dapat dipahami, tidak hanya dokumen tertulis akan tetapi sebagai sebuah rencana pelajaran didalam ruangan kelas, dalam hal ini Beauchamp (1968: 6) mengungkapkan bahwa "a curriculum is written document wich may contain many ingredients, but basically it is a plan for education of pupils during their enrollmen in given schooll". Dengan demikian implementasi kurikulum dapat dikembangkan oleh guru dalam ruangan kelas sesuai dengan keadaan dan kebutuhan siswa atau peserta belajar.


(24)

Dengan demikian kinerja profesional dalam melaksanakan tugas sebagai pengembang kurikulum , dalam hal ini merupakan kemampuan guru dalam melaksanakan kurikulum di kelas yang meliputi perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.

Sejalan dengan hal tersebut Johnson (1978) Menurutnya kompetensi merupakan perilaku rasional guna mencapai tujuan yang dipersyaratkan sesuai dengan kondisi yang diharapkan. Dengan demikian, suatu kompetensi ditunjukan oleh penampilan atau unjuk kerja yang dapat dipertanggung jawabkan (rasional) dalam upaya mencapai suatu tujuan.

Sebagai suatu profesi, terdapat sejumlah kompetensi yang dimiliki oleh seorang guru, yaitu meliputi kompetensi pribadi, kompetensi profesional dan kompetensi sosial kemasyarakatan.

Kompetensi Pribadi, guru sering dianggap sebagai sosok yang

memiliki kepribadian ideal. Oleh karena itu, pribadi guru sering dianggap sebagai model atau panutan (yang harus di-gugu dan ditiru). Sebagai seorang model guru harus memiliki kompetensi yang berhubungan dengan pengembangan kepribadian (personal competencies), di antaranya:

a. Kemampuan yang berhubungan dengan pengalaman ajaran agama sesuai dengan keyakinan agama yang dianutnya.

b. Kemampuan untuk menghormati dan menghargai antarumat beragama.

c. Kemampuan untuk berprilaku sesuai dengan norma, antara dan sistem nilai yang berlaku di masyarakat

d. Mengembangkan sifat-sifat terpuji sebagai seorang guru misalnya, sopan santun dan tata krama

e. Bersifat demokratis dan terbuka terhadap pembaruan dan kritik.


(25)

berhubungan dengan penyelesaian tugas-tugas keguruan. Kompetensi ini merupakan yang sangat penting, oleh sebab langsung berhubungan dengan kinerja yang ditampilkan. Oleh sebab itu , tingkat keprofesionalan seorang guru dapat dilihat dari kompetensi ini di antaranya:

a. Kemampuan untuk menguasai landasan kependidikan, misalnya paham akan tujuan pendidikan yang harus dicapai baik tujuan nasional, tujuan instruksional, tujuan kurikuler, dan tujuan pembelajaran

b. Pemahaman dalam bidang psikologi pendidikan misalnya, paham tentang tahapan perkembangan siswa, paham tentang teori-teori belajar, dan lain sebagainya.

c. Kemampuan dalam penguasaan materi pelajaran sesuai dengan bidang studi yang diajarkannya.

d. Kemampuan dalam mengaplikasikan berbagai metodologi dan strategi pembelajaran

e. Kemampuan merancang dan memanfaatkan berbagai media dan sumber belajar.

f. Kemampuan dalam melaksanakan evaluasi pembelajaran. g. Kemampuan dalam menyusun program pembelajaran.

h. Kemampuan dalam melaksanakan unsur-unsur penunjang, misalnya, paham akan administrasi sekolah, bimbingan, dan penyuluhan.

i. Kemampuan dalam melaksanakan penelitian dan berpikir ilmiah untuk meningkatkan kinerja.

Kompetensi Sosial Kemasyarakatan. Kompetensi ini berhubungan

dengan kemampuan guru sebagai anggota masyarakat dan sebagai makhluk sosial, yang meliputi:

a. Kemampuan untuk berinteraksi dan berkomonikasi dengan teman sejawat untuk meningkatkan kemampuan profesional.

b. Kemampuan untuk mengenal dan memahami fungsi-fungsi setiap lembaga kemasyarakatan.

c. Kemampuan untuk menjalin kerja sama baik secara individual maupun secara kelompok

Guru sebagai pengembang kurikulum dalam tulisan ini dipahami dalam pengertian mikro, yaitu mengembangkan kurikulum


(26)

dalam ruangan kelas. Sejalan dengan hal ini Kusnandar (2007 : 42-43), ada beberapa paradigma baru yang harus diperhatikan guru dewasa ini adalah sebagai berikut :

1. Tidak terjebak pada rutinitas belaka, tetapi selalu mengembangkan dan memperdayakan diri secara terus menerus untuk meningkatkan kualifikasi dan kompetensinya, baik melalui pendidikan formal maupun pelatihan, seminar, lokakarya, dan kegiatan sejenisnya. Guru jangan terjebak pada aktivitas datang, mengajar, pulang, begitu berulang-ulang sehingga lupa mengembangkan potensi diri secara maksimal

2. Guru mampu menyusun dan melaksanakan strategi dan model Pembelajaran yang Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan (PAIKEM) yang dapat menggairahkan motivasi belajar peserta didik. Guru harus menguasai berbagai macam strategi dan pendekatan serta model pembelajaran sehingga proses belajar-mengajar berlangsung dalam suasana yang kondusif dan menyenangkan.

3. Dominasi guru dalam pembelajaran, dikurangi sehingga memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk lebih berani, mandiri, dan kreatif dalam proses belajar-mengajar 4. Guru mampu memodifikasi dan memperkaya bahan

pembelajaran sehingga peserta didik mendapatkan sumber belajar yang lebih bervariasi

5. Guru menyukai apa yang diajarkannya dan menyukai mengajar sebagai suatu prefesi yang menyenangkan

6. Guru mengikuti perkembangan Ilmu pengetahuan dan teknologi yang mutakhir sehingga memiliki wawasan yang luas dan tidak tertinggal dengan informasi terkini

7. Guru mampu menjadi teladan bagi peserta didik dan masyarakat luas dengan selalu menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji dan mempunyai integritas yang tinggi

8. Guru mempunyai visi ke depan dan mampu membaca tantangan zaman sehingga siap menghadapi perubahan dunia yang tak menentu yang membutuhkan kecakapan dan kesiapan yang baik.

Beberapa hal tersebut di atas, mengisyaratkan bahwa pada dasarnya peranan guru dalam ruangan kelas adalah merupakan hubungan antar pribadi. Dalam hal ini pula menunjukan bahwa proses


(27)

belajar mengajar bukan hanya sekedar kegiatan instruksional akan tetapi juga merupakan perilaku guru yang secara utuh diserap oleh siswa.

Dengan demikian, guru dituntut selalu inovatif, kreatif, dan mampu mengimplementasikan sepuluh standar kemampuan dasar dalam upaya menghantarkan tujuan pendidikan secara optimal. Salah satunya melibatkan siswa dalam proses belajar mengajar dengan pola komoniakasi multi trafic (multi trafic communication). Dalam pola komunikasi multi trafic ini, komonikasi terjadi antara guru dengan siswa dan siswa dengan siswa. Apabila digambarkan tanpak sebagai berikut :

Gambar 1. Pola multi trafic communacation

Pola komonikasi multi trafic memungkinkan aktivitas pembelajaran tidak hanya terpusat pada guru sebagai pembicara, akan tetapi tarjadi aktivitas yang merata, guru maupun siswa sama-sama aktif berfikir dan bekerja.

SISWA

SISWA


(28)

Dengan pola komonikasi seperti ini, antara siswa dengan guru maupun siswa dengan siswa lainnya terjadi pertukaran (sharing) pengetahuan dan pengalaman sehingga proses belajar mengajar lebih bermakna.

Untuk menciptakan pola semacam ini, guru harus memiliki beberapa keterampilan sebagai berikut:

o Memiliki keterampilan bertanya yang meliputi: pertanyaan menggiring, pertanyaan untuk merangsang siswa berfikir dan mengemukakan gagasan, pertanyaan mengarahkan, dan pertanyaan yang bersifat mengendalikan arus komonikasi.

o Memiliki keterampilan memberikan reward dan bentuk-bentuk penghargaan atas pendapat, gagasan, dan pertanyaan siswa.

o Terampil dan memilih dan mempergunakan metode dan media pembelajaran yang mendukung terjadinya pola komonikasi multi

trafic.

o Memiliki keterampilan memilih dan menyampaikan permasalahan yang dapat merangsang siswa mau berpikir dan melibatkan emosi dalam pembelajaran

o Memahami dan mampu menerapkan pola pendekatan Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) dengan segenap metode dan media yang mendukungnya.

Selain dengan cara-cara tersebut, keterlibatan siswa dalam proses belajar mengajar dapat dirangsang dengan cara sebagai


(29)

berikut:

o Memberikan kemerdekaan kepada siswa untuk mengemukakan ide, gagasan, pendapat, komentar, saran, dan kritik yang membangun.

o Menciptakan suasana belajar mengajar yang terbuka (fair) dalam batas-batas yang wajar dan etis.

o Memberikan penghargaan atas keterlibatan siswa dalam proses belajar mengajar dengan cara memberikan nilai tambah.

o Membangun rasa percaya diri siswa dihadapan teman-temannya.

o Mengurangi dominasi guru dalam proses pemelajaran.

Berangkat dari pemikiran diatas, maka terdapat suatu perkembangan di MTs Negeri 2 Kota Bandung menyangkut kinerja professional guru dalam melaksanakan tugas sebagai pengembang kurikulum. Hal ini mengingat tiga Tahun terakhir (2005/2008) MTs Negeri 2 Bandung mengalami peningkatan UAN yang sangat signifikan. Selain itu juga guru MTsN tersebut tidak mengandalkan kewajibannya sebagai pengajar tetapi juga selalu melakukan mengayaan atau proses pembelajaran tambahan (Less).

Mengingat begitu pentingnya peningkatan kompetensi profesional guru dalam melaksanakan tugas sebagai pengembang kurikulum khususnya dalam dimensi kegiatan, maka hal inilah yang menjadi landasan berfikir penulis untuk melakukan penelitian tentang kompentensi profesional guru dalam melaksanakan tugas sebagai pengembang kurikulum.


(30)

B. Perumusan dan Pembatasan Masalah

Kinerja professional merupakan hal yang harus dimiliki oleh setiap guru, hal ini didasarkan pada asumsi bahwa guru adalah merupakan jabatan professional. Kinerja yang dimaksudkan disini adalah "performance yang berarti "the execution of an action". Wolf, (1997:851) dengan demikian kinerja di sini berarti pelaksanaan suatu kegiatan. Kinerja juga dapat diartikan sebagai penampilan kerja atau perilaku kerja yang mencerminkan hasil atau out put dari suatu proses

Pada dasarnya kualitas pendidikan dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti; pendidik, terdidik, kurikulum dan lingkungan. Faktor--faktor tersebut satu sama lain saling mempengaruhi dan tidak bisa berdiri sendiri. Namun demikian pada penelitian ini penulis membatasi diri pada faktor guru sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas pendidikan.

Dalam pandangan Sudjana (1989: 1) guru mempunyai peranan yang sangat penting dalam hubungannya dengan pengembangan kurikulum di sekolah. Dia harus mampu menterjemahkan, menjabarkan dan mentransformasikan nilai-nilai yang terdapat dalam kurikulum kepada anak didik melalui proses belajar mengajar. Dengan demikian d a l am m en g i m p l em en t as i k a n k u ri k u l u m ya n g a d a d i s ek o l ah hendaknya guru tidak hanya sekedar melakukan proses pengajaran akan tetapi harus berupaya mengorientasikan bagaimana membuat


(31)

siswa belajar. Guru sebagai pengembang kurikulum dipahami sebagai seorang yang senantiasa menciptakan situasi kelas yang kondusif serta mengembangkan segala sarana dan fasilitas yang ada menjadi bahan ajar yang efektif efisien serta terus menerus melakukan inovasi d al a m m en g e m b an g k a n m a t er i ya n g s e s u ai d en g an t u n t u t an kebutuhan siswa serta berupaya untuk melakukan metode pengajaran yang bervariasi, sehingga siswa tidak merasa jenuh mengikuti proses belajar mengajar.

Berangkat dari hal tersebut, maka inti permasalahan dalam penelitian ini adalah:

Bagaimana kinerja profesional Guru sebagai Pengembang kurikulum dan faktor-faktor apa yang mempengaruhinya ?

C. Pertanyan Penelitian

Berdasarkan inti permasalahan dalam penelitian, maka diajukan beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana kinerja profesional guru dalam: a. Perencanaan pembelajaran ?

b. Pelaksanaaan pembelajaran ? c. Evaluasi pembelajaran ?

2. Apa saja yang mempengaruhi kinerja profesional guru dalam melaksanakan tugas sebagai pengembang kurikulum ?


(32)

D. Defenisi Istilah

Sebagai dasar dalam melakukan penelitian ini, penulis akan merumuskan definisi istilah sebagai berikut:

1. Kinerja profesional.

Pada dasarnya kinerja dipahami sebagai performance yang berarti penampilan kerja atau perilaku kerja. Dengan demikian kinerja adalah merupakan hasil atau out put dari suatu proses. Perilaku dalam kaitannya dengan kinerja disini adalah merupakan kemampuan guru dalam merencanakan tujuan pembelajaran, melaksanakan konten/ isi kurikulum, merencanakan proses pembelajaran dan mengevaluasi pembelajaran ditingkat satuan pendidikan. Sehingga kinerja disini dipahami sebagai kemampuan mengimplementasikan kurikulum dilapangan.

2. Guru sebagai Pengembang Kurikulum.

Guru sebagai pengembang kurikulum dapat dipahami sebagai seorang yang memiliki keterampilan mengajar yang memadai yang terdiri dari:

a . K e g i a t a n P e r e n c a n a a n

- Merumuskan tujuan pengajaran

- Mencari alternatif prosedur pencapaian tujuan b . P e l a k s a n a a n

- Keterampilan menyajikan - Keterampilan bertanya


(33)

−Keterampilan berkomunikasi

−Pengelolaan kelas c. Evaluasi pembelajaran

- Memilih alat ukur yang memadai

−Menuliskan alat ukur hasil belajar

−Mengembangkan daftar cek kinerja siswa

−Menguraikan penggunaan hasil penilaian.

E. Tujuan Penelitian

Dalam melakukan penelitian ini penulis ingin mengungkapkan data empiris yang terjadi dilapangan sehingga akan di dapatkan sejumlah informasi yang berkaitan dengan kompetensi profesional guru dalam melaksanakan tugas sebagai pengembang kurikulum. Dalam hal ini, guru adalah salah satu faktor penting dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Oleh karena itu meningkatkan mutu pendidikan, berarti juga meningkatkan mutu guru. Meningkatkan mutu guru bukan hanya dari segi kesejahteraannya, tetapi juga profesionalnya. UU No. 14 tahun 2005 pasal 1 ayat (1) menyatakan guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama pendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Sebagai seorang profesional guru


(34)

harus memiliki kompetensi keguruan yang cukup. Kompetensi keguruan itu tampak pada kemampuannya menerapkan sejumlah konsep, asas kerja sebagai guru, mampu mendemontrasikan sejumlah strategi maupun pendekatan pengajaran yang menarik dan interaktif, disiplin, jujur, dan konsisten.

Kompetensi profesional berkaitan dengan bidang studi menurut Slamet PH. (Dalam Sagala 2009) terdiri dari Sub-Kompetensi (1) memahami mata pelajaran yang telah dipersiapkan untuk mengajar, (2) memahami standar kompetensi dan standar isi mata pelajaran yang tertera dalam peraturan Menteri serta bahan ajar yang ada dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP), (3) memahami struktur, konsep, dan metode keilmuan yang menaungi materi ajar, (4) memahami hubungan konsep antar mata pelajaran yang terkait, dan (5) menerapkan konsep-konsep keilmuan dalam kehidupan sehari-hari. Peranan guru sangat menentukan keberhasilan proses pembelajaran, guru yang digugu dan ditiru adalah suatu profesi yang mengutamakan intelektualitas, kepandaian, kecerdasan, keahlian berkomonikasi, kebijaksanaan dan kesabaran tinggi. Tidak semua orang dapat menekuni profesi guru dengan baik. Karena jika seseorang tampak pandai dan cerdas bukan penentu keberhasilan orang tersebut menjadi guru.

Up a ya p en g u n gk ap a n d at a t e rs e b u t merupakan bagian penting dalam menunjukan keadaan sesungguhn ya tentang


(35)

keberadaan guru dalam proses p em b el aj aran (b el aj ar m en gaj ar) p ad a s is wa M Ts N 2 Ko t a Ban d u n g.

Secara khusus tujuan penelitian ini adalah untuk :

1. Mengetahui bagaimana kinerja profesional guru dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembelajaran

2. Mengetahui apa saja yang mempengaruhi kinerja professional guru dalam melaksanakan tugas sebagai pengembang kurikulum

3. Mengetahui bagaimana hubungan kinerja guru dan hasil belajar siswa

F. Manfaat Penelitian

Dalam penelitian ini diharapkan dapat menemukan 2 manfaat, yaitu manfaat secara teoritis dan manfaat secara praktis.

1. Manfaat teoritis.

Guru profesional sudah terbentang dalam UU No. 14/2005 tentang Guru & Dosen. Pda Bab 1 pasal 1 angka 1 disebutkan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama (pokok) mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Sedangkan pada Bab 1 pasal 1 angka 6 UU Sisdiknas, pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan.


(36)

terhadap keberhasilan implementasi kurikulum KTSP, karena gurulah yang pada akhirnya akan melaksanakan kurikulum di dalam kelas. Gurulah gerda terdepan dalam implementasi kurikulum. Guru adalah kurikulum berjalan. Sebaik apa pun kurikulum dan sistim pendidikan yang ada, tanpa didukung mutu guru yang memenuhi syarat, maka semuanya akan sia-sia. Peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia tidak cukup dengan pembenahan di bidang kurikulum saja, tetapi harus juga diikuti dengan peningkatan mutu guru, semangat tersebut tidak akan mencapai harapan yang dinginkan (Kusnandar, Kompas, 2

Oktober 2006)

Oleh karena itu, keberadaan guru yang profesional tidak bisa ditawar-tawar lagi. Guru yang profesional adalah guru yang memiliki kompetensi yang dapat menunjang tugasnya. Ada empat kompetensi yang harus dimiliki oleh guru, yakni kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi soaial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi (UU nomor 14 2005 tentang Guru dan Dosen pasal 10 ayat 2).

Pandangan yang dikembangkan oleh Havighurst (peneliti Amerika serikat) dengan teorinya tentang tugas-tugas perkembangan (developmental tasks). Tugas-tugas perkembangan yang dimaksud adalah tugas yang secara nyata harus dipenuhi oleh setiap anak/individu sesuai dengan tingkat perkembangan yang dituntut oleh lingkungannya. Apabila tugas-tugas itu tidak terpenuhi, maka pada taraf perkembangan berikutnya


(37)

anak/individu tersebut akan mengalami masalah. Melalui tugas-tugas ini, anak akan berkembang dengan baik dan beroperasi secara kumulatif dari yang sederhana menuju kearah yang lebih kompleks

Pandangan tentang anak sebagai makhluk yang unik sangat berpengaruh terhadap perkembangan kurikulum pendidikan Indonesia. Setiap anak merupakan pribadi tersendiri, memiliki perbedaan disamping persamaannya. Impilikasi dari hal tersebut terhadap pengembangan kurikulum yaitu:

o Setiap anak diberi kesempatan untuk berkembang sesuai dengan bakat, minat, dan kebutuhannya

o Disamping disediakan pelajaran yang sifatnya umum (program inti) yang wajib dipelajari setiap anak disekolah, disediakan pula pelajaran-pelajaran pilihan yang sesuai dengan minat anak

o Kurikulum disamping menyediakan bahan ajar yang bersifat kejuruan juga menyediakan bahan ajar yang bersifat akademik. Bagi anak-anak yang berbakat dibidang akademik diberi kesempatan untuk melanjutkan studi kejenjang pendidikan berikutnya

o Kurikulum menurut tujuanya mengandung pengetahuan, nilai/sikap, dan keterampilan yang menggambarkan keseluruhan pribadi yang utuh lahir dan batin.

Teori Yang dikemukakan para ahli tokoh pendidikan ini diharapkan menjadi bahan kajian lebih lanjut dalam pengembangan


(38)

kompetensi professional guru guna melaksanakan tugas sebagai pengembang kurikulum yang pada gilirannya diharapkan dapat menuju pelaksanaan proses belajar mengajar yang optimal.

2. Manfaat praktis.

Setelah penelitian ini selesai diharapkan dapat memberikan s u m b a n g a n ya n g k o n g k r i t b a g i u p a y a p e n i n g k a t a n m u t u pendidikan yang diharapkan pada tingkat dasar, terutama kualitas guru dalam mengembangkan kurikulum di sekolah.

Secara spesifik hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi:

a. Kepala sekolah

Dengan mengungkapkan data empiris diharapkan kepala sekolah dapat membuat rencana dan strategi pengembangan s i s t e m p e n d i d i k a n y a n g s e s u a i d e n g a n k e a d a a n d a n kemampuan lingkungan sekolahnya, baik yang menyangkut sistem rekruitmen guru maupun upaya berkelanjutan dalam memberdayakan dan meningkatkan kinerja guru.

b. G u r u .

G u r u y a n g m e r u p a k a n u j u n g t o m b a k d a l a m u p a y a menghantarkan tujuan pendidikan diharapkan selalu berupaya meningkatkan kualitas profesinya dengan terus melakukan introspeksi baik yang menyangkut kualitas teknis maupun kualitas sosial. Sehingga ferformance guru akan sesuai dengan tuntutan profesinya.


(39)

c. S i s w a

Siswa yang merupakan subyek dan obyek pendidikan akan memperoleh pelayanan pembelajaran yang optimal. Hal ini d i d as ark an p ad a asu m s i b ah wa ji k a kin erj a gu ru d ap at dilaksanakan secara baik maka pelayanan kepada siswa pun akan menjadi baik.

d. Bagi Departemen Agama hasil penelitian ini diharapkan akan

memberikan bahan-bahan untuk kemudian dipertimbangkan dalam mengola dan mengambil kebijakan pendidikan khususnya yang berhubungan upaya meningkatkan profesionalisme guru

e. Bagi peneliti selanjutnya, hasil penelitian ini dapat dijadikan

sebagai bahan rujukan dan mungkin dapat dijadikan sebagai bahan literature pensinkronan masalah yang akan diteliti berkaitan dengan kinerja profesinal guru.


(40)

1 BAB III

METODE PENELITIAN

A. Pendekatan

Ditelaah dari aspek pendekatan metodologi. penelitian yang dilaksanakan ini menggunakan pendek atan kualitatif yan g dalam pandangan Bogdan dan Biklen (1982 : 3) lebih dikenal dengan sebutan "naturalistik fenomologis". Sesuai dengan karakteristik masalah yang dikaji, kegiatan penelitian ini didasarkan pada kajian

deskriptif evaluatif. P en eli t i an d es k rip tif m en u ru t Nas ut i on

(1 9 9 2 : 9 ) yai t u b eru s ah a mengumpulkan data deskriptif yang banyak dituangkan dalam bentuk laporan dan uraian, penelitian ini tidak mengutamakan angka-angka dan . statistik, walaupun tidak menolak data kuantitaif. Karakteristik dari penelitian kualitatif ditandai oleh kegiatan untuk mengamati orang dalam situasi nyata baik dalam lingkungan berinteraksi, maupun untuk memahami perilaku orang yang diamati tersebut.

Secara operasional, Nana Sukmadinata mengatakan Validitas pengumpulan data kulitatif meliputi dua hal yaitu : Keterpercayaan dan Keterpahaman.

Keterpercayaan (trustworthiness) pengumpulan data dalam


(41)

karakteristik-karakteristik berikut:

1) Kredibilitas, kemampuan peneliti memahami dan mengumpulkan data dari situasi yang kompleks dan mengungkap pola-pola yang sukar dijelaskan. Ini bisa dicapai melalui: penelitian yang relatif lama, observasi yang berulang-ulang, bekerja dalam tim, mengadakan trianguluasi, pengumpulan dokumen-dokumen, melakukan pengecekan pada partisipan lain, melakukan penyempurnaan, melakukan pembandingan-pembandingan.

2) Transferabilitas, penelitian kualitatif tidak menghasilkan generalisasi, tetapi sampai sejaumana, temuan-temuan dalam penelitian ini dapat digunakan atau diterpkan pada situasi lain. Ini dapat dilakukan melalui pengumpulan data yang rinci, sehingga memungkinkan diperbandingkan antara satu konteks dengan konteks yang lainnya, dan melalui pembuatan deskripsi tentang konteks yang mendetail sehingga bisa dilakukan penilaian kecocokannya pada konteks lain.

3) Keabsahan, menunjukkan bahwa data yang diperoleh adalah benar, dicek kepada beberapa pihak hasilnya hampir sama. Keabsahan data diperoleh melalui tringulasi dan member check.

4) Konfirmabilitas, menunjukkan bahwa data yang diperoleh adalah netral atau objektif, menggambarkan keadaan yang sebenarnya, bukan rekaan.


(42)

Keterpahaman (understanding), berkenaan dengan kejelasan dan

kemudahan data untuk dipahami. Maxwell (1992) mengemukakan lima kriteria keterpahaman pengumpulan data kualitatif yaitu sebagai berikut:

1) Validitas deskriptif , menunjukkan ketepatan data yang dikumpulkan

2) Validitas interpretif, menunjukkan kepedulian peneliti terhadap pandangan-pandangan partsipan

3) Validitas teoretis, kemampuan peneliti menjelaskan fenomena-fenomena yang dipelajari dan dideskripsikan.

4) Kebergunaan, menunjukkan bahwa data yang dihasilkan dapat digunakan dalam komonitas yang diteliti dan komonitas yang lebih luas. Dalam penelitian kualitatif kebergunaan ini adalah dalam komonitas yang diteliti.

5) Validitas evaluatif, menunjukkan kemampuan peneliti untuk menghasilkan data yang bukan perkiraan.

Bogdan dan Biklen (1982 : 27 – 29) , mengemukakan lima karakteristik utama dari penelitian kualitatif, yaitu sebagai berikut 1. Peneliti sendiri sebagai instruman utama untuk mendatangi secara

langsung sumber data


(43)

cenderung dalam bentuk kata-kata daripada angka-angka

3. Menjelaskan bahwa hasil penelitian lebih menekankan kepada proses, tidak semata-mata pada hasil.

4. Melalui analisis induktif peneliti mengungkapkan makna dari keadaan yang diamati, dan

5. Mengungkapkan makna sebagai hal yang esensial dari pendekatan kualitatif.

Sejalan dengan ungkapan di atas Nana Sudjana dan R. Ibrahim (1989: 195) mengemukakan lima ciri pokok penelitian kualitatif, yaitu: (1) penelitian kualitatif menggunakan Iingkungan alamiah sebagai sumber data langsung, (2) penelitian kualitatif sifatnya deskriptif analitik, (3) tekanan penelitian kualitatif ada pada proses bukan pada hasil, (4) penelitian kualitatif sifatn ya induktif, dan (5) penelitian kualitatif mengutamakan makna. Lebih lanjut dinyatakan bahwa penelitian kualititif pada dasarnya adalah untuk menghasilkan grounded theory, yakni teori yang timbul dari data bukan dari hipotesis seperti dalam penelitian kuantitatif

Pendekatan yang dilakukan melalui penelitian kualitatif-naturalitik ini didasari oleh adanya suatu upaya untuk memahami bagaimana guru mampu menunjukkan tingkat keprofesionalannya sebagai seorang pengembang kurikulum. Sebagaimana dikemukakan oleh Sanafiah Faisal (1990: 22) bahwa "dengan memahami makna yang mendasari tingkah laku partisipan lebih sesuai dengan


(44)

menggunakan penelitian kualitatif'.

Berdasarkan pada situasi permasalahan yang dikaji maka dalam penelitian ini peneliti menggunakan pendekatan kualitatif-naturalistik, dimana peneliti mencatat permasalahan secara seksama masalahmasalah yang muncul terkait dengan objek yang diteliti, kemudian masalah ini dideskripsikan secara apa adanya.

B. Lokasi dan Sumber Data Penelitian

P e n e l i t i a n d i l a k u k a n d i N T s N 2 K o t a B a n d u n g J a w a B a r a t didasarkan pada berbagai pertimbangan, antara lain: Pertama, Di Kota Bandung cenderung lembaga pendidikan setingkat MTs telah tersebar diberbagai pelosok. Hal ini memungkinkan akan terjadinya kompetisi atau persaingan yang sehat diantara sekolah. Persaingan itu ditunjukkan oleh kualitas kinerja guru.. Kedua, Kota Bandung merupakan salah satu Kota yang dapat dijadikan sebagai aset pendidikan Madarasah Tingkat Sanawiyah yang ada di Jawa Barat. Aset itu dapat berupa tersedian ya lembaga pendidikan setingkat SLTP yang mampu menunjang cita-cita dan tujuan pembangunan Nasional. Ketiga, MTsN 2 Kota Bandung merupakan salah satu Madarasah yang diunggulkan / dibanggakan oleh Masyarakat setempat . Dalam rangka menghimpun data yang diperlukan maka dalam penelitian ini peneliti akan mengambil data dari berbagai sumber baik sumber manusia maupun sumber non manusia. Sumber data manusia


(45)

diambil berdasarkan hal-hal sebagai berikut: bahwa subyek sudah cukup lama dan intensif menyatu dalam aktivitas yang ada hubungannya dengan fokus penelitian, subyek juga dipandang masih ada dalam kegiatan bidang tersebut dan subyek masih memiliki waktu yang cukup untuk dimintai informasi berkaitan dengan fokus penelitian( Sparley dalam Uzer Usman). Sedangkan pengambilan data dari non manusia yang berupa dokumen resmi (tertulis) dengan asumsi bahwa data tersebut dapat dipandang sesuai untuk memperkaya data yang dibutuhkan dalam penelitian ini. Nasution (1996) mengungkapkan bahwa dokumen pada dasarnya dapat memberikan informasi yang Iebih luas dan dalam menyangkut obyek penelitian, sehingga dapat dijadikan bahan triangulasi untuk mengecek kesesuaian data.

Berdasarkan pada pemikiran di atas, maka sumber data penelitian akan dijadikan sebagai bahan menguraikan fokus penelitian sebagai berikut:

1. Para guru dan kepala sekolah yang merupakan orang yang terlibat Iangsung dalam proses belajar mengajar.

2. Dokumen tertulis berupa kurikulum yang berlaku

C. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data merupakan unsur penting dalam memperoleh data-data yang diperlukan dalam penelitian. Untuk itu, keberhasilan sebuah penelitian kualitatif sangat tergantung kepada


(46)

ketelitian, kelengkapan catatan lapangan dan keterbukaan antara peneliti dengan responden. Untuk itu, sejalan dengan pendapat Nasution (1988 : 56-58) mengatakan bahwa catatan lapangan tersebut disusun berdasarkan teknik observasi, wawncara, dan studi dokumentasi. Dalam rangka mengumpulkan data-data dan informasi yang berkenaan dengan penelitian ini, maka peneliti menggunakan teknik observasi, wawncara, dan studi dokumentasi. Untuk itu, yang utama peneliti membangun relasi dengan civitas akademik dan lingkungan setempat yang dimulai dengan perkenalan sampai dengan muncul keakrabatan sehingga tidak ada sket atau batasan kononikasi antara peneliti dengan responden penelitian. Persaudaraan dan keakrabatan sudah terjalin dengan peneliti sehingga memulai mencatat fenomena-fenomena penting yang muncul dilapangan.

Adapun langkah-langkah dalam teknik pengumpulan data dalam penelitian ini akan dimulai dengan observasi, wawncara, dan studi dokumentasi.

1. Observasi.

Obsevasi merupakan suatu teknik atau cara mengumpulkan data dengan jalan mengadakan pengamatan terhadap kegiatan yang sedang berlangsung. Obsevasi dapat dilakukan dengan melalui metode partisipatif atau nonpartisipatif, Sukamadinata (2007 : 220) . Partisipatif adalah pengamat ikut serta dalam kegiatan yang sedang berlangsung. Sedangkan nonpartsipatif (nonpaticipatory observation). Partisipatif adalah pengamat


(47)

ikut serta dalam kegiatan, dan peneliti berperan sebagai pengamat kegiatan, tidak ikut dalam kegiatan.

Dalam penelitian ini digunakan teknik obsevasi partisipatif. Yakni lebih menonjol diri sebagai peneliti atau pengamat meskipun kadang-kadang juga ikut serta sebagai pelaku kegiatan. Observatif partisipatif ini dilakukan dikelas untuk memahami atau mengamati kegiatan proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru pada MTsN 2 Kota Bandung. Diantaranya observasi yang akan dilakukan bagaiamana persiapan guru mengajar dan cara atau metode penyajian materi pelajaran dan sekaligus mengamati aktivitas siswa merespon dalam sistim pembelajaran yang diberikan oleh guru terhadap siswanya.

Adapun penulis melakukan kegiatan observasi secara berulang-ulang didalam kelas dengan guru berinisial B, sampai memperoleh data yang diperlukan. Pelaksanaan observasi yang berulang-ulang ini memberikan keuntungan dimana responden yang diamati akan terbiasa dengan kehadiran peneliti sehingga responden berperilaku seperti biasanya tidak dibuat-buat. Hasil observasi merupakan data yang sangat penting karena: 1) Peneliti akan memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang konteks

atau hal-hal yang diteliti

2) Observasi memungkinkan peneliti untuk bersikap terbuka, berorientasi pada penemuan darpada pembuktian dan mempertahankan pilihan untuk mendekati masalah secara induktif.


(48)

3) Observasi memungkinkan peneliti melihat hal-hal yang oleh responden sendiri kurang disadari.

4) Observasi memungkinkan peneliti memperoleh data-data tentang hal-hal karena berbagai sebab tidak diungkapkan oleh responden secara terbuka dalam wawancara.

5) Observasi memungkinkan peneliti merefleksikan dan bersikap introspektif terhadap penelitian yang dilakukan. Impresi dan perasaan pengamat/peneliti akan menjadi bagian dari data yang pada gilirannya dapat dimanfaatkan untuk memahami fenomena yang diteliti.

Untuk memahami permasalahan dilapangan tersebut, peneliti perlu mengklarifikasi data temuan melalui kegiatan wawancara dengan responden penelitian, baik kepada responden utama maupun responden pelengkap secara triangulasi. Dari kegiatan ini peneliti mengumpulkan data secara rinci dan akurat yang untuk selanjutnya dilakukan analisis data yang memperoleh berbagai kesimpulan penelitian. Sebelum peneliti melakukan wawancara juga melakukan observasi untuk memahami problem utama dalam wawncara. Wawancara akan dilakukan secara mendalam sehingga data-data yang dibutuhkan dalam penelitian ini akan terungkap dengan secara jelas dan komprehensif.

2. Wawancara

Wawancara atau interviuw adalah bentuk komonikasi verbal, dengan bentuk semacam percakapan yang bertujuan untuk memperoleh informasi (Nasution, 2003 : 113). Wawancara merupakan teknik pengumpulan data


(49)

melalui kegiatan percakapan secara tatap muka langsung dengan responden penelitian. Sukmadinata (2007 : 216-217) responden penelitian bisa dalam bentuk individu maupun berkelompok. Lebih lanjut dikatakan bahwa wawancara merupakan teknik pengumpulan data yang utama dalam penelitian kualitatif. Pedoman wawancara dalam penelitian ini tidak disusun secara rinci namun hanya merupakan garis-garis besarnya saja atau hal-hal pentingnya saja dalam rangka mengangkat kinerja profesionalisme guru dalam merencanakan, pelaksanakan, dan penilaian pembelajaran, serta apa saja yang mempengaruhi kinerja profesionalisme guru dalam melaksanakan tugas sebagai pengembang kurikulum. Pedoman wawncara ini hanya berfungsi sebagai acuan wawancara, dan menjadikan daftar pengecek (check list) apakah aspek-aspek relevan tersebut telah dibahas atau ditanyakan. Oleh sebab itu yang terpenting dan perlu mendapat perhatian adalah pada saat persiapan wawancara, seperti melakukan pendekatan dengan responden. Keterbukaan antara peneliti dan responden dalam rangka memberikan respon atau jawaban kepada peneliti secara obyektif sangat ditentukan hubungan baik yang dibangun antara peneliti dengan responden, menumbuhkan apresiasi dan kepercayaan kepada responden. Jika terjadi keretakan kepercayaan atau hubungan baik antara peneliti dengan responden. Untuk itu peneliti harus membina persaudaraan, keakrabatan, dengan responden dapat mengakibatkan kegagalan wawancara. Kegagalan wawancara dalam arti peneliti tidak mendapatkan data seperti apa yang diharapkan, baik objektivitas maupun


(50)

kelengakapannya. Untuk menghindari terjadinya kegagalan wawancara, maka pada tahap persiapan dilakukan berdasarkan parameter pengumpulan data yang dikemukakan oleh Miles dan Huberman (1984) yaitu sebagai berikut:

a) The setting, seperti perlu mengetahui kondisi lapangan penelitian yang

sebenarnya untuk membantu dalam merencanakan pengambilan data. Hal-hal yang perlu diketehui untuk menunjang pelaksanaan pengambilan data meliputi tempat pengambilan data, waktu lamanya wawancara, serta biaya yang dibutuhkan.

b) The actors, mendapatkan data tentang karakteristik calon partisipan.

Didalamnya termasuk situasi yang lebih disukai partisipan, kalimat pembuka, pembicaraan pendahuluan dan sikap peneliti dalam melakukan pendekatan.

c) The events, menyusun protokol wawancara, meliputi: a) pendahuluan, b)

pernyataan pembuka, c) pernyataan kunci, dan d) probing.

d) The process, berdasarkan persiapan pada bagian pertama sampai ketiga,

maka disusunlah strategi pengumpulan data secara keseluruhan. Strategi ini mencakup seluruh perencanaan pengambilan data mulai dari kondisi, strategi pendekatan dan bagaimana pengambilan data dilakukan.

Adapun data yang diperoleh dengan teknik wawncara, maka akan diolah dan dikonfirmasikan melalui tahapan triangulasi, dan member chek. Hal ini dilakukan untuk memperoleh masukan mengenai data yang sebenarnya terjadi.


(51)

3. Studi Dokumentasi

Studi dokumentasi merupakan teknik pengumpulan data dengan

menghimpun dan menganalisis dokumen-dokumen, baik dokumen tertulis, gambar maupun elektronik, Sukmadinata (2007 : 221). Studi dokementasi yang dilakukan peneliti adalah melakukan kajian-kajian terhadap dokumen tertulis KTSP dalam perencanaan , pelaksanaan, dan evaluasi pembelajaran, ataupun yang berhubungan dengan administrasi guru pada sekolah MTsN 2 Kota Bandung.

Ada beberapa alasan menggunakan studi dokumentasi seperti yang dikemukakan oleh Lincoln dan Guba (1989 : 276) adalah sebagai berikut:

1) Dokumen dan catatan ini selalu dapat digunakan terutama karena diperoleh dan relatif mudah.

2) Merupakan sumber informasi yang mantap, baik dalam pengertian merefleksikan situasi secara akurat maupun dapat dianalisis ulang tanpa melalui perubahan didalamnya.

3) Dokumen dan catatan merupakan informasi yang kaya.

Tidak seperti pada manusia baik dokumen, catatan non-reactive, tidak memberikan reaksi ataupun respon atas perlakuan peneliti. Meskipun istilah dokumen dan catatan seringkali digunakan untuk menunjukkan satu arti, tetapi pada dasarnya kedua istilah tersebut mempunyai arti yang berbeda bila ditinjau dari tujuan dan analisis yang digunakan


(52)

D. Tahap-Tahap Penelitian

Dalam penelitian kualitatif, prosedur pengumpulan data tidak memiliki pola yang pasti, sebab disain serta fokus penelitian dapat mengalami perubahan yang bersifat “emergent”, akan tetapi untuk mempermudah pengumpulan data peneliti menggunakan prosedur yang dikemukakan oleh Nasution ( 1996 : 33), yaitu : 1). Tahap Orientasi, 2). Tahap Eksplorasi dan 3). Tahap Member Check.

1. Tahap Orientasi

Pada awal penelitian peneliti sendiri belum mengetahui dengan jelas apa sebenarnya yang harus dicari, karena belum nyata benar apa yang akan diambil sebagai fokus penelitian, walaupun peneliti mempunyai suatu gambaran umum. Untuk itu, peneliti akan melakukan pra survey ke lokasi penelitian dan sekaligus melakukan perkenalan dengan kepala sekolah, wakil bidang kurikulum dan para dewan guru di MTsN 2 Kota Bandung. Dari hasil pra survey akan dilanjutkan kestudi dokumentasi sekolah secara umum yang berada di MTsN 2 Kota Bandung maupun dokumentasi dan arsip-arsip yang dimiliki Kantor Departemen Agama Kota Bandung yang sekaligus sebagai atasan langsung MTsN 2 Kota Bandung. Dari hasil pra survey dan studi dokumentasi secara umum peneliti melakukan bimbingan dan pengarahan dari pembimbing tesis dan untuk selanjutnya mengurus surat perizinan untuk melakukan pengumpulan data dilapangan.


(53)

2. Tahap Eksplorasi

Pada tahap eksplorasi focus telah lebih jelas, sehingga dapat dikumpulkan data yang lebih terarah dan lebih spesifik. Observasi dapat dilakukan kepada hal-hal yang berhubungan dengan studi kinerja profesional guru dalam pelaksanaan tugas sebagai pengembang kurikulum pada MTs Negeri 2 Bandung. Wawancara juga tidak lagi umum dan terbuka, akan tetapi sudah lebih terarah, untuk memperoleh informasi yang lebih mendalam mengenai aspek-aspek yang menonjol dan penting yang diperoleh berdasarkan wawancara dan observasi pada fase pertama. Selanjutnya dari hasil observasi dan wawancara baik yang dilakukan kepada guru, kepala madrasah, wakil kepala madrasah maupun kepala tata usaha untuk selanjutnya akan dicocokkan dengan dokumentasi atau sarana dan prasarana pendukung. Jika terdapat suatu kejanggalan atau suatu perbedaan maka peneliti akan melakukan kembali wawancara dengan para responden. Sehingga pada akhirnya peneliti dapat menarik suatu kesimpulan sementara. Hasil kesimpulan sementara supaya lebih akurat dan dapat dipertanggungjawabkan akan dilakukan member check pada responden.

3. Member Check

Tahap member check ini akan dilakukan pada setiap memperoleh data dan informasi baik melalui observasi, wawancara, maupun studi dokumentasi. Para responden diberi kesempatan untuk menilai kembali data dan informasi yang telah diberikannya, apakah ada data dan informasi yang


(54)

baru, atau data dan informasi tersebut perlu untuk direvisi dalam rangka melengkapi data. Terlebih jika pengumpulan data dengan menggunakan wawancara, peneliti akan merangkum hasil wawancaranya dan dimungkinkan akan terjadi kesalahan dalam mengartikan, maka peneliti meminta kepada responden untuk melakukan member check.

E. Analisis Data.

Analisis data merupakan salah satu kegiatan krusial dalam suatu penelitian. Hal ini dikarenakan melalui analisis data ini akan diperoleh uraian yang mendasar mengenai hasil penelitian yang telah dilakukannya.

Berkaitan dengan analisis data, Patton (Nasution, 1992) mengemukakan bahwa analisis data adalah proses mengatur data mengorganisasikan ke dalam suatu pola, kategori, dan satuan uraian dasar. la membedakannya dengan penafsiran yaitu memberikan arti yang signifikan terhadap analisis, menjelaskan pola urutan, dan mencari hubungan diantara dimensi uraian-uraian.

Dalam penelitian kualitatif, konsep dan fungsi penelitian dekriptif penggunaanya adalah untuk memecahkan masalah, jenis informasi yang digali, dengan jenis penelitian study kasus. Pelaksanaan analisis data dilakukan sepanjang pen elitian itu dan secara terus menerus, mulai tahap pengumpulan data sampai akhir. Sebagaimana dikemukakan oleh Miles dan Huberman (1992: 2) bahwa "analisis data kualitatif merupakan upaya berlanjut, berulang dan terus menerus.


(55)

Menurut mereka ada tiga tahap analisis, yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan/ terefikasi.

1. Reduksi Data

Data yang terkumpul baik dari teknik observasi, wawancara maupun studi dokumentasi masih merupakan bahan mentah. Semua data yang terkumpul akan diolah dan dianalisis sehingga memberikan suatu informasi yang berkenaan dengan tujuan penelitian. Pengelolaan datadata tersebut dimulai dari merangkum atau meringkas, bankan data-data tersebut dipilih-pilih atau direduksi kembali dengan cara dikalsifikasikan dan dikelompokkan hal-hal penting yang berkaitan dengan penelitian.

Data yang direduksi memberikan gambaran lebih tajam tentang hasil observasi, wawancara, dan studi dokumentasi dan juga mempermudah peneliti untuk mencari kembali data yang diperoleh bila diperlukan.

2. Display Data

Display data berguna untuk melihat gambaran keseluruhan hasil penelitian, baik dalam bentuk matriks maupun dalam bentuk pengkodean. Untuk itu, data hasil penelitian oleh peneliti akan diklasifikasi atau dikelompokkan dengan membuat keterangan-keterangan yang lengkap terhadap temuan yang ada. Tujuannya adalah agar data dengan mudah dibaca dan diolah lebih lanjut.


(56)

Selain itu diharapkan agar peneliti menguasai data dan tidak tenggelam dalam tumpukan data temuan dilapangan. Kegiatan ini dinamakan display data tanpa melakukan seperti ini peneliti akan mengalami kebingungan ketika menempatkan data temuan kedalam posisi yang sebenarnya.

3. Pengambilan Kesimpulan dan verifikasi.

Pengambilan kesimpulan adalah merupakan intisari dari hasil penelitian. Sedangkan verifikasi adalah upaya untuk mempelajari kembali data-data yang sudah dikumpulkan dengan meminta pertimbangan dari berbagai pihak yang relevan dengan penelitian ini.

Untuk mendapat data dan informasi seperti ini penulis mengumpulkan semua informasi untuk dikaji dan dianalisa baik melalui wawancara maupun dengan informasi lainnya. Antara lain melalui kegiatan, 1) kategori data, menghinpun data-data lapangan melalui kategori yang diperoleh dari responden dilapangan sehingga memperoleh data yang akurat tentang tingkat profesionalisme guru dalam melakukan pembelajaran di kelas, 2) reduksi data mengelompokkan data berdasarkan suatu jawaban yang sama atau relevan dengan apa yang dinginkan dengan demikian merupakan suatu titik maksimal dari hasil penelitian, 3) penyajian data dimaksudkan sebagai informasi yang diterapkan dari hasil penelitian yang telah dilakukan dilapangan hal ini degan wawancara dan observasi atas data-data yang telah diberikan, dan 4) merupakan pengambilan kesimpulan dari semua temuan-temuan yang telah diperoleh


(57)

dilapangan. Pengambilan kesimpulan juga dilakukan untuk menyelaraskan data lapangan denga permasalahan yang diteliti sebagaimana yang dituangkan dalam pertanyaan penelitian. Informasi dilakukan dengan mengumpulkan semua data yang ada dengan wawancara, observasi dan studi dokumentasi lapangan.


(1)

11

dikembangkan, peneliti selanjutnya hendaknya perlu untuk lebih menyempurnakan dan sekaligus memperluas struktur bahasa dalam setiap pertanyaan yang diajukan dalam wawancara, sehingga mudah dipahami oleh responden. Disamping itu pertanyaan dalam wawancara dapat ditambah, diperbaiki, dan diperjelas maksudnya sehingga dapat dihasilkan suatu pedoman wawancara yang lebih akurat dan mungkin sekaligus baku. Oleh karena itu, diharapkan peneliti selanjutnya harus jeli dalam menelaah pedoman wawancara yang akan diajukan kepada responden.


(2)

1

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Majid, (2008), Perencanaan Pembelajaran, Mengembangkan stándar Kompetensi Guru. PT. Remaja Rosdakarya Bandung. Ametembun, N.A. (1987). Perencanaan Pengajaran Suatu Pendekatan

Kompetensi Profesional dalam proses Mengajar Belajar. Bandung: IKIP

---. (1985). Kerelevansian Gaya-gaya mengajar dan Belajar Suatu tinjauan Analitik, Bandung: FIP IKIP .

Ansyar, Moh. (1988). Pengembangan Kurikulum. Jakarta: P2LPTK Ditjen Dikti Depdikbud.

Anwar, Q. Dan Sagala, H.S. (2004). Profesi Jabatan Kependidikan dan Guru sebagai Upaya Menjamin Kualitas Pembelajaran. Jakarta: Uhamka Press.

Aqib Zainal, (2007). Membangun Profesionalisme guru dan Pengawas sekolah. CV. Yrama Widya, Bandung

Bl o o m . Be n j am i n S . , (1 9 5 4 ) T a xo n o my o f ed u ca t i o n Ob j ect i ve ; t h e Classification of Educational Goal. New York: Longman, Inc.

Cole Peter, G. et. al. (1987). Teaching Principles and Practise, New York; Prentice Hall.

Depdikbud. (1991). Landasan, Program dan pengembangan Kurikulum Pendidikan Dasar 1994, Jakarta, Setjen Depdikbud.

Djamarah, Syaiful Bahri (2005). Guru dan Anak Didik Dalam Interaksi Edukatif. PT. Rineka Cipta.

---. (1996). Penyelenggaraan Pendidikan di Sekolah Dasar. Jakarta: Dikdasmen.

Doll Ronald, C. (1974). Curriculum Improvement, Decision Making and Process. Boston: Aly and Bacon. Inc

E n g k o s w a r a . ( 1 9 9 2 ) . P e n g e m b a n g a n P e r f o r m a n c e G u r u , J u r n a l Pendidikan.(7) 31-50.

Ekowardono, B. Karno. (1993). Penggunaan Bahsa Indonesia dalam Tulisan Ilmiah. Makalah. IKIP Semarang


(3)

2

Hasan. H. S. (2008). Evaluasi Kurikulum. Bandung : Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia dengan PT. Remaja Rosdakarya ---(1988). Evaluasi Kurikulum. Jakarta: P2LPTK Ditjen Dikti. Joni, T. Raka, (1980), Pengembangan Kurikulum IKIP/FIP/FKG; Suatu Kasus

Pendidikan Guru Berdasarkan Kompetensi. Jakarta; P3G. Dedikbud. Kusnandar (2007), Guru Profesional, Implementasi KTSP dan persiapan

menghadapi sertifikasi guru. PT. RajaGrafindo Persada. Yakarta.

Martinis. (2007), Kiat Membelajarkan Siswa. Gaung Persada Press Jakarta Bekerjasama dengan Center for Learning Inovation (CLI) Jakarta.

Moleong, L. J. (1992). Metedologi Penelitian Kualitatif. Bandung; Remaja Rosdakarya

---. (2000). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda karya

Moh. Uzer Usman, (1992). Menjadi Guru Profesional. Bandung Remaja Rosda karya

--- (1999), Menjadi Guru Profesional, Bandung: Remaja Rosda Karya.

---(2005). Menjadi Guru Profesional. Bandung; Remaja Rosdakarya.

---, (1990). Tehnik penyajian Materi. Yakarta: BP7 Pusat. Wayan Nurkancana dan P.P.N. Sunartana. 1983. Evaluati Pendidikan. Surabaya; Usaha Nasional

Muhajir, Noeng. (1988). Metode Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Sake Sarasin

MTsN 2 Kota Bandung (2008). Dokumen Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)

Mulyasa. E (2007). Menjadi Kepala Sekolah Profesional. Bandung : Remaja Rosdakarya


(4)

Rosdakarya

---. (2003). Kurikulum Berbasis kompetensi CONSEP. Karakteristik, dan Implementasi. Bandung. Rosda Karya.

_________, (2005). Menjadi guru profesional. Bandung Rosda Karya. _________, (2005). Implementasi Kurikulum 2004. Bandung Rosda Karya

---, (2007). Metode Penelitian Pendidikan Atas Kerja sama SPS UPI dengan PT Remaja Rosdakarya

Nasution, S. (1986). Didaktik Asas-asas Mengajar. Bandung: CV. Jemars, (1990). Asas-asas Kurikulum, Bandung: CV. Jemarst

---, (2003). Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Tarsito Bandung.

Natawidjaya, Rochman. (1992). "Peningkatan Kualitas Profesi. S e k o l a h D a s a r m e l a l u i P e m a n t a p a n L e m a b a g a Mimbar Pendidikan. No. 1 Tahun XI April 1992. Bandung: IKIP

Oliva, Peter F. (1992). Developing the Curriculum. New York: Harper Collins Publisher.

Pudji Jogyanti, Clara R. (1988). Konsep Diri Dalam Pendidikan. Yakarta: Arcan Rusman, (2009). Manajemen Kurikulum. Rajawali Pers. Divisi Buku Perguruan

Tinggi. PT. RajaGrafindo Persada.

Roestiyah. N.K (1989). Masalah-masalah Ilmu Keguruan. Jakarta; PT. Bina Aksara.

Sagala, S. (2009), Kemampuan Profesional Guru dan Tenaga Kependidikan. Alpabeta, Bandung

Sanjaya , Wina. (2008), Kurikulum dan Pembelajaran. Teori & Praktik Pengembangan kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Kencana Prenada Media Group. Jakarta.

Sobry Sutikno, M (2006), Pendidikan Sekarang dan Masa Depan. NTP Press Mataram.


(5)

4

Bandung, Sinar Baru.

---,(1989), Cara Belajar Siswa Aktif dalam Proses Belajar Mengajar., Bandung: Sinar Baru.

---, dan Ib r a h i m R . ( 1 9 8 9 ) . P e n e l i t i a n d a n P e n i l a i a n Pendidikan.

Bandung: Sinar Baru.

Sukadi, (2006), Guru Powerful / Guru Masa Depan. Kalbu Bandung.

Sukmadinata. N. S. (2007), Metodologi Penelitian. Bandung Remaja Rosdakarya.

---, (2004). Kurikulum dan Pembelajaran Kompetensi, Bandung Yayasan Kusuma Karya.

---, (2002) Pengembangan Kurikulum (teori dan praktek), Bandung Remaja Rosdakarya

---,.(1997). P r i n s i p d a n L a n d a s a n Pengembangan Kurikulum, Jakarta: P2LPTK Ditjen Dikti

Surya, Muhammad, (2005), Membangun Profesionalisme Guru, Makalah Seminar Pendidikan. 6 Mei 2005. Di Yakarta.

Taba, Hilda (1962). Curriculum Development; Theory and Practice. New York: Hartcourt, Brace and World.

Tanner, D. and Tanner. L.N. (1962). Curriculum Development. New York: Macmillan Publishing Co. Inc.

Tyler, R. W. (1949), Basic Principles of Curriculum and Instruction. Cicago & London: The University of Chicagho press.

Tilaar, H.A.R. (1994).Manajemen Pendidikan Nasional. Kajian Pendidikan Masa Depan. Bandung:Remaja Rosdakarya. Tim Dosen MKDK, (2002), Kurikulum dan Pembelajaran.

Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan FIP Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional


(6)

Winkel, W.S, (1991). Psikologi Pengajaran, (terj.). Jakarta; Gresindo.

Zais Robert, S. (1976). Curriculum Principles and Foundation. New York: Harper & Row, Publisher, Inc.