KEDUDUKAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA

KEDUDUKAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA BERDASARKAN HUKUM
INDONESIA

MAKALAH
Dibuat untuk Melengkapi Tugas Mata Kuliah HUKUM DAN HAM

Oleh :
ADITYA PRANATA (1271010039)

KELAS B PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL "VETERAN" JAWA TIMUR
SURABAYA
2014

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Negara Republik Indonesia dibentuk dengan tujuan untuk melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Semua komponen anak bangsa secara
bersama-sama sejak awal berjuang bahu membahu untuk memperjuangkan kemerdekaan,

melawan penindasan dan mengisi kemerdekaan tersebut. Pengalaman sejarah bangsa
melawan penjajah menunjukkan adanya benang merah perjuangan dalam perlindungan Hak
Asasi Manusia ( HAM). Kemerdekaan memberikan makna kebebasan diantaranya bebas dari
rasa takut, bebas untuk berkumpul dan berpendapat, bebas untuk memeluk agama dan
kebebasan lainnya yang ada sebagai hak kodrati manusia itu sendiri. Dengan lahirnya UU
No.39 Tahun 1999 diharapkan dapat membantu dalam penegakan dan perlindungan HAM di
Indonesia.
Penegakan Hak Azasi Manusia (HAM) merupakan salah satu isu penting dalam
kehidupan bernegara dan bermasyarakat di Indonesia, karena masih banyak pelanggaran
HAM di Indonesia yang belum terselesaikan dengan baik. Banyak pihak yang masih raguragu akan penegakan HAM tersebut. Penegakan dan perlindungan HAM merupakan
tanggung jawab pemerintah sebagaimana yang diamanatkan oleh Pasal 28 A-J UUD 1945
dan dipertegas lagi pada Pasal 71-72 UU No.39 Tahun 1999.

Pemerintah wajib dan

bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakkan dan memajukan HAM yang
diatur dalam UU ini serta peraturan lain baik nasional maupun internasional tentang HAM
yang diakui oleh Indonesia. Salah satu upaya pemerintah untuk menegakkan dan melindungi
HAM adalah melahirkan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Undang-undang
ini merupakan hukum formil dari UU No.39 Tahun 1999.

Diharapkan dengan adanya UU Pengadilan HAM dapat mengurangi dan mencegah
terjadinya pelanggaran HAM diIndonesia. Namun, tidak semua pelanggaran HAM dapat
diselesaikan pada Pengadilan HAM, hanya kasus-kasus tertentu yang menjadi kewenangan
dari Pengadilan HAM dan menggunakan hukum acara sebagaimana yang diatur pada
undang-undang tersebut.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Kedudukan HAM dalam Hukum Indonesia
Membahas mengenai sistem hukum Indonesia tidak bisa dilepaskan dari sistem
hukum yang berlaku di dunia. Terdapat beberapa sistem hukum di dunia yang mempengaruhi
sistem hukum Indonesia, diantaranya civil law system, Common Law Sistem dan Religion
Law Sistem atau Sistem Hukum Islam. Di Indonesia, pemahaman HAM sebagai nilai, konsep
dan norma yang hidup dan berkembang di masyarakat dapat diketahui dari sejarah
perkembangan HAM yang dimulai dari zaman pergerakan hingga sekarang, yaitu ketika
amandemen terhadap UUD 1945 yang secara eksplisit memuat pasal-pasal HAM. Seperti
halnya konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia (Konstitusi RIS dan UUDS 1950), UUD
1945 amandemen juga memuat pasal-pasal tentang HAM dalam kadar dan penekanan yang
berbeda, disusun secara kontekstual sejalan dengan suasana dan kondisi sosial dan politik

pada saat penyusunannya di awal era Reformasi.
Pengaturan HAM di Indonesia tidak hanya terbatas pada konstitusi yakni Amandemen
UUD 1945, melainkan diatur juga dalam peraturan perundang-undangan. Berdasarkan
ketentuan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan dalam Pasal 8 telah menentukan dalam pembentukan suatu peraturan
perundang-undangan didasari pada materi muatan mengenai HAM.
Sebagai salah satu syarat negara hukum yang demokrasi harus ada jaminan HAM
dalam konstitusi maupun dalam semua peraturan perundang-undangan. Jaminan HAM dalam
negara meliputi sistem hukum yang dianut dan penerapannya melalui unsur-unsur dalam
sistem hukum yang menurut Lawrence Meir Friedman (1975,1998) terdapat tiga unsur dalam
sistem hukum, yakni Struktur (Structure), substansi (Substance) dan Kultur Hukum (Legal
Culture). Hal ini perlu dilakukan untuk mengetahui eksistensi HAM dalam sistem hukum
Indonesia selain pada tataran konsep juga dalam tataran praktek.

Berikut penjelasan unsur – unsur dalam sistem hukum menurut Lawrence Meir Friedman :
2.1.1. Substansi Hukum (Legal Substance)

Substansi merupakan produk yang dihasilkan oleh orang yang berada dalam sistem
hukum yang mencakup keputusan yang mereka keluarkan, aturan baru yang mereka susun.
Substansi juga mencakup hukum yang hidup (living law), bukan hanya aturan yang ada

dalam kitab undang-undang (law books). Idealnya tatanan hukum nasional di bentuk untuk
menyelengarakan warga negara dan masyarakat yang baik dan taat hukum. Substansi hukum
berkaitan dengan proses pembuatan suatu produk hukum yang dilakukan oleh pembuat
undang-undang. Nilai-nilai yang berpotensi menimbulkan gejala hukum dimasyarakat
dirumuskan dalam suatu peraturan perundang-undangan. Sedangkan pembuatan suatu produk
perundang-undangan dipengaruhi oleh suasana politik dalam suatu negara.
Dalam kaitannya dengan HAM, negara Indonesia merupakan salah satu negara di
dunia yang menghormati dan menjunjung tinggi HAM. Hal tersebut dapat ditelusuri dalam
Pancasila sebagai dasar negara Indonesia yang terdiri atas lima sila, ditambah dengan
Pembukaan UUD 1945 dalam alinea pertama yang menyatakan: Kemerdekaan ialah hak
segala bangsa serta penjajahan harus dihapuskan. Serta dalam alinea kedua yang menyatakan:
Kemerdekaan negara menghantarkan rakyat merdeka, bersatu, adil dan makmur.
Sebagaimana telah dijelaskan diatas, konsep HAM yang berlaku secara universal
membebankan kepada Indonesia untuk meratifikasi kedalam peraturan perundang-undangan
sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Salah satu contoh adalah
Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil (International Covenan on Civil and Political Rights)
Dimana Substansi dari HAM itu sendiri terbagi menjadi 2, yaitu :
1. Non Derogable (Absolut)
Non Derogable adalah Hak-hak yang bersifat absolut yang tidak boleh dikurangi
pemenuhannya oleh negara, walaupun negara dalam kondisi darurat. Hak yang termasuk

jenis ini, yakni:
1. Hak atas hidup
2. Hak bebas dari penyiksaan
3. Hak bebas dari perbudakan
4. Hak bebas dari penahanan karena gagal dari memenuhi perjanjian (seperti: hak bebas
dari pemidanaan yang berlaku surut, hak sebagai subyek hukum, hak atas kebebasan
berfikir, keyakinan dan agama).

Pelanggaran terhadap hak jenis ini akan mendapatkan kecaman sebagai pelanggaran serius
HAM (Gross Violation of Human Rights).
2. Derogable (tidak mutlak)
Derogable adalah hak-hak yang boleh dikurangi atau dibatasi pemenuhannya oleh negara.
Termasuk dalam jenis hak ini yakni:
1. Hak atas kebebasan berkumpul secara damai
2. Hak atas kebebasan berserikat termasuk membentuk dan menjadi anggota serikat
buruh
3. Hak atas kebebasan menyatakan pendapat atau berekspresi termasuk kebebasan
mencari, menerima dan memberikan informasi dan segala macam gagasan (lisantulisan).
Negara diperbolehkan mengurangi atas kewajiban dalam memenuhi hak-hak tersebut.
Akan tetapi pengurangan hanya dapat dilakukan apabila sebanding dengan ancaman yang

dihadapi dan tidak diskriminatif, yaitu demi menjaga keamanan nasional, ketertiban umum,
menghormati hak atau kebebasan orang lain. Dewasa ini, Pembentukan hukum oleh lembaga
legislatif tidak sejalan dengan tujuan awal, banyak pembentukan hukum sekarang hanya
untuk kepentingan sebagian orang. Sehingga substansi dari hukum itu sendiri telah berubah
dari fungsi awal yang bertujuan mensejahterakan masyarakat. Begitu juga dengan HAM,
walaupun substansi dari pembentukan UU HAM bertujuan demi terciptanya dan terjaganya
HAM. Tetapi dalam implementasinya dari substansi tersebut berbeda dengan realita yang ada
di masyarakat.
Walaupun sudah ada UU yang di bentuk untuk menjamin HAM setelah Reformasi,
Masih banyak tindak pelanggaran HAM yang terjadi di masyarakat yang dilakukan oleh
pejabat ataupun warga negara sendiri. Sehingga nilai dari substansi UU HAM yang sudah di
bentuk tersebut perlu di sosialisasikan kepada masyarakat banyak agar masyarakat
memahami bahwa HAM sekarang lebih di lindungi daripada era orde sebelumnya.
2.1.2 Struktur Hukum (Legal Structure)

Struktur adalah kerangka atau rangkanya, bagian yang tetap bertahan, bagian yang
memberi semacam bentuk dan batasan secara keseluruhan. Struktur hukum disini meliputi
lembaga negara penegak hukum seperti Pengadilan, Kejaksaan, Kepolisian, Advokat dan
lembaga penegak hukum yang secara khusus diatur oleh undang-undang seperti KPK.
Kewenangan lembaga penegak hukum dijamin oleh undang-undang. Unsur – unsur struktur

hukum meliputi :
1. Jumlah dan jenis pengadilan
2. Yurisdiksinya
3. Jumlah hakim agung dan hakim lainnya.
Dalam tataran hukum normatif, dengan amandemen, UUD 1945 sebenarnya sudah dapat
dijadikan sebagai dasar untuk memperkokoh upaya-upaya peningkatan perlindungan HAM.
Lembaga – lembaga yang berhubungan dengan penegakan HAM :


Komisi Nasional HAM (Komnas HAM)
Sebuah lembaga mandiri dengan fungsi melaksanakan kajian, perlindungan,

penelitian, penyuluhan, pemantauan, investigasi, dan mediasi terhadap persoalan-persoalan
hak asasi manusia.


Peradilan HAM (Genosida, Kejahatan perang, Pelanggaran HAM, dll)
Sebagai perangkat kelembagaan dasar peningkatan upaya penghormatan dan

perlindungan HAM melalui proses pengadilan perkara HAM.

Lembaga – lembaga hukum yang berhubungan dengan HAM saat ini sangat banyak
sekali, meliputi Komnas HAM, Peradilan HAM, Kepolisian, dll. Dan ada juga lembaga yang
di bentuk melalui UU maupun swasta. Tujuan dari setiap lembaga yang ada yaitu untuk
terciptanya dan terjaganya HAM di negara Indonesia agar tidak terjadi pelanggaran HAM
seperti jaman terdahulu.
Lembaga – lembaga tersebut berdiri sendiri dimana mereka sebagai pengawas dan
pengaman apabila terjadi pelanggaran HAM di masyarakat. Tetapi, lembaga – lembaga
tersebut tidak bisa berjalan sendiri, mereka juga butuh peran serta masyarakat guna

terciptanya dan terjaganya HAM di dalam masyarakat. Dan juga kelakuan dari pejabat negara
dan pejabat lembaganya harus menjunjung tinggi HAM.
2.1.3 Kultur Hukum (Legal Culture)
Kultur hukum menurut Lawrence Meir Friedman (2001:8) adalah sikap manusia
terhadap hukum dan sistem hukum-kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapannya. Kultur
hukum adalah suasana pemikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana
hukum digunakan, dihindari, atau disalahgunakan.
Dalam konteks HAM, peran serta masyarakat sangatlah penting. Dilihat dari sejarah,
adat kebiasaan, hukum, tata pergaulan dan pola bangsa Indonesia pada umumnya terdapat
indikasi yang cukup kuat bahwa bangsa Indonesia telah memiliki dan mengenal ide yang
berkaitan dengan HAM. Bukti empiris yaitu adanya ungkapan-ungkapan yang sudah dikenal

sejak nenek moyang, seperti istilah rembug desa, adat pusako jo koto, mufakat, gotong
royong, tut wuri handayani, kabukit samo mendaki ka lurah samo menurun, musyawarah,
dan lain-lain.
Diakuinya eksistensi HAM dalam sistem hukum di Indonesia tidak terlepas dari
pengaruh dan pergaulan Internasional. Terlepas dari pelaksanaan penegakan hukum HAM
oleh aparat negara, secara konsep HAM telah tertuang dalam berbagai bentuk peraturan
perundang-undangan baik eksplisit (tersurat) maupun implisit (tersirat) yang tujuan utamanya
memberikan perlindungan hukum terhadap warga negara terhadap tindakan kesewenangan
yang dilakukan penguasa maupun pihak mayoritas.
Kultur hukum sangat mempengaruhi bagaimana HAM di dalam kesehariannya,
karena kultur hukum yang baik akan menciptakan HAM yang di butuhkan masyarakat. Tetapi
apabila kultur hukum yang ada tidak berkesinambungan dengan HAM yang ada, maka akan
terjadi kesewenangan terhadap HAM. Sehingga cita – cita mewujudkan tegaknya HAM di
negara ini hanyalan angan – angan belaka.

2.2 Pengertian Pengadilan HAM
2.2.1 Gambaran Umum

Pengadilan HAM merupakan pengadilan khusus yang berada dibawah peradilan
umum, dan merupakan lex specialis dari Kitab Undang Hukum Pidana. Pengadilan ini

dikatakan khusus karena dari segi penamaan bentuk pengadilannya sudah secara spesifik
menggunakan istilah Pengadilan HAM dan kewenangan pengadilan ini juga mengadili
kejahatan-kejahatan tertentu. Kejahatan yang termasuk dalam pengadilan HAM ini adalah
kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang keduanya merupakan
pelanggaran HAM berat. Penamaan Pengadilan HAM yang mengadili kejahatan terhadap
kemanusiaan dan kejahatan genosida ini dianggap tidak tepat, karena pelanggaran HAM yang
berat dengan dua jenis kejahatan tersebut adalah kejahatan yang merupakan bagian dari
hukum pidana internasional sehingga yang digunakan adalah seharusnya terminologi
“pengadilan pidana”.
Lepas dari penamaan Pengadilan HAM yang kurang tepat tersebut, pembentuk
Undang-Undang menyadari bahwa bahwa penanganan kejahatan terhadap kemanusiaan dan
kejahatan genosida adalah kejahatan luar biasa yang tidak bisa ditangani dengan sistem
peradilan pidana biasa. Pengaturan yang sifatnya khusus ini didasarkan atas kerakteristik
kejahatan yang sifatnya khusus sehingga memerlukan pengaturan dan mekanisme yang juga
sifatnya khusus. Pengaturan khusus ini dimulai sejak tahap penyelidikan dimana yang
berwenang adalah Komnas HAM sampai pengaturan tentang majelis hakim dimana
komposisinya berbeda dengan pengadilan pidana biasa. Dalam pengadilan HAM ini
komposisi hakim adalah lima orang yang mewajibkan tiga orang diantaranya adalah hakim
ad hoc. Namun, meskipun terdapat kekhususan dalam penangannya, hukum acara yang
digunakan, masih menggunakan hukum acara pidana terutama prosedur pembuktiannya.

2.2.2 Pengadilan HAM Setelah Disahkannya UU No. 26 Tahun 2000
Dalam makalah yang ditulis oleh Zainal Abidin (2011) dijelaskan bahwa berdasarkan
ketentuan UU No. 26 tahun 2000, pengadilan HAM mengatur tentang yuridiksi atas kasuskasus pelanggaran HAM berat baik setelah disahkanya UU ini maupun kasus-kasus
pelanggaran HAM berat sebelum disahkannya UU ini. Prosedur pembentukan pengadilan ini
mempunyai perbedaaan yang cukup mendasar. Dalam penanganan kasus-kasus pelanggaran
HAM berat setelah disahkannya UU ini tanpa melalui rekomendasi dan keputusan presiden
sebagaimana dalam pembentukan pengadilan HAM ad hoc.
Prosedur pembentukan pengadilan HAM adalah berdasarkan adanya dugaan telah terjadi
kasus pelanggaran HAM yang berat. Dugaan adanya kasus pelanggaran yang berat ini

kemudian diselidiki oleh Komnas HAM dengan membentuk komisi Penyelidikan
Pelanggaran HAM (KPP HAM). Hasil penyelidikan, jika ditemukan bukti bahwa terdapat
dugaan adanya pelanggaran HAM yang berat maka akan dilimpahkan ke Kejaksaan Agung
untuk dilanjutkan ke tahap penyidikan, dalam tahap ini kalau dari hasil penyidikan
menunjukkan adanya pelanggaran HAM yang berat maka diteruskan untuk tahap penuntutan
yang juga di lakukan oleh Kejaksaan Agung. Berdasarkan bukti-bukti dan penuntutan yang
diwujudkan dalam surat dakwaan, kemudian digelar pengadilan HAM berdasarkan
kompetensi relatif pengadilan. Tempat pengadilan ini berada di pengadilan negeri dimana
locus dan tempos delictie terjadinya pelanggaran HAM yang berat.
2.2.3 Pengadilan HAM Sebelum Disahkannya UU No. 26 Tahun 2000
Pengadilan HAM ad hoc adalah pengadilan yang dibentuk khusus untuk memeriksa
dan mengadili perkara pelanggaran HAM yang berat yang dilakukan sebelum adanya UU No.
26 Tahun 2000, berbeda dengan Pengadilan HAM (permanen) yang dapat memeriksa dan
mengadili perkara pelanggaran HAM yang berat yang terjadi setelah diundangkannya UU
No. 26 Tahun 2000.
2.3 Landasan Yuridis Pengadilan HAM di Indonesia
Landasan yuridis dari pengadilan HAM di Indonesia diawalai ketika terjadi penolakan
penerbitan Perpu Nomor 1 Tahun 1999 dari pemerintah oleh DPR. Setelah adanya penolakan
Perpu oleh DPR maka pemerintah mengajukan rancangan undang-undang tentang pengadilan
HAM. Dalam penjelasannya pengajuan RUU tentang Pengadilan HAM adalah pertama,
merupakan perwujudan tanggung jawab bangsa indonesia sebagai salah satu anggota PBB.
Dengan demikian merupakan salah satu misi yang mengembangkan tanggung jawab moral
dan hukum dalam menjunjung tinggi dan melaksanakan deklarasi HAM yang ditetapkan oleh
perserikatan bangsa-bangsa, serta yang terdapat dalam berbagai instrumen hukum lainnya
yang mengatur mengenai HAM yang telah dan atau diterima oleh negara Indonesia. Kedua,
dalam rangka melaksanakan Tap MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM dan sebagai
tindak lanjut dari pasal 104 ayat 1 Undang-undang No. 39 Tahun 1999. Ketiga, untuk
mengatasi keadaan yang tidak menentu dibidang keamanan dan ketertiban umum, termasuk
perekonomian nasional. Keberadaan pengadilan HAM ini sekaligus diharapkan dapat
mengembalikan kepercayaan masyarakat dan dunia internasional terhadap penegakan hukum
dan jaminan kepastian hukum mengenai penegakan HAM di Indonesia.

Dari ketiga alasan di atas, landasan hukum dari pembentukan pengadilan HAM untuk
mengadili pelanggaran HAM berat adalah alasan yang ketiga dimana terbentuknya
pengadilan HAM ini adalah pelaksanaan dari TAP MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM
dan sebagai tindak lanjut dari Pasal 104 ayat 1 Undangundang No. 39 Tahun 1999. Pasal 104
ayat 1 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Komnas HAM menyatakan
bahwa untuk mengadili pelanggaran HAM yang berat dibentuk pengadilan HAM di
lingkungan peradilan umum. Ayat 2 menyatakan pengadilan sebagaimana dimaksud ayat
dalam ayat 1 dibentuk dengan udang-undang dalam jangka waktu paling lama 4 tahun. Tidak
sampai 4 tahun, undang-undang yang khusus mengatur tentang Pengadilan HAM adalah
Undangundang Nomor 26 Tahun 2000. UU No. 26 Tahun 2000 ini disahkan pada tanggal.
2.4 Prosedur Penerapan Pengadilan HAM di Indonesia
2.4.1 Pengaturan Pengadilan HAM di Indonesia
Pengadilan HAM di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000. Pokokpokok Undang-Undang tersebut menyatakan bahwa untuk ikut serta memelihara perdamaian
dunia dan menjamin pelaksanaan Hak Asasi Manusia serta memberi perlindungan, kepastian,
keadilan, dan perasaan aman kepada perorangan ataupun masyarakat, perlu segera dibentuk
suatu Pengadilan Hak Asasi Manusia untuk menyelesaikan pelanggaran Hak Asasi Manusia
yang berat sesuai dengan ketentuan Pasal 104 ayat (1) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia; Bahwa pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia untuk
menyelesaikan. pelanggaran hak asasi manusia yang berat telah diupayakan oleh Pemerintah
berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1999 tentang
Pengadilan Hak Asasi Manusia yang dinilai tidak memadai, sehingga tidak disetujui oleh
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia menjadi undang-undang, dan oleh karena itu
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tersebut perlu dicabut. Berdasarkan
pertimbangan diatas maka pengadilan HAM perlu dibentuk..
UU No. 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM ini juga dianggap mempunyai banyak
kelemahan yang mendasar dalam pengaturannya. Kelamahan-kelemahan ini karena proses
pengadopsian dari instrumen internasional yang tidak lengkap dan mengalami banyak
kesalahan. Pengadopsian atas konsep kejahatan terhadap kemanusiaan dan tentang delik
tanggung jawab komando tidak memadai sehingga banyak menimbulkan interpretasi dalam
aplikasinya. Kelemahan lainnya adalah tidak ada hukum acara dan pembuktian secara khusus
dan masih banyak menggunkan ketentuan yang berdasarkan KUHP.

2.4.2 Kedudukan Pengadilan HAM
Pengadilan HAM adalah pengadilan khusus yang berada di lingkungan peradilan umum.
Kedudukannya di daerah kabupaten atau daerah kota yang daerah hukumnya meliputi daerah
hukum Pengadilan Negeri yang bersangkutan, sedangkan daerah khusus ibukota pengadilan
HAM berkedudukan di setiap wilayah Pengadilan Negeri yang bersangkutan. pada saat
undang-undang ini berlaku pertama kali maka pengadilan HAM dibentuk di Jakarta Pusat,
Surabaya, Medan, dan Makassar.
Kedudukan dalam pengadilan HAM mengikuti Pengadilan Umum atau Pengadilan Negeri
termasuk dukungan administrasinya. Hal ini membawa konsekuensi bahwa pengadilan HAM
ini akan sangat tergantung dengan dukungan dari pengadilan negeri tersebut. Dukungan
administratif itu adalah :


Ruangan Pengadilan

Ruangan pengadilan yang juga merupakan ruangan pengadilan untuk kasus lainnya dan tidak
ada ruangan yang khusus untuk pengadilan HAM;


Staf Administrasi

Staf administrasi adalah staf yang menangani perkara pengadilan HAM selain panitera yang
juga bertugas untuk membantu para hakim yang mengadili perkara pelanggaran HAM yang
berat;


Panitera

Panitera ini adalah panitera biasa dan bukan panitera yang dibentuk khusus untuk menangani
kasus pelanggaran HAM yang berat. Panitera ini juga menangani kasus lainnya; dan



Ruangan Hakim

Ruangan hakim untuk hakim ad hoc adalah ruangan tersendiri namun untuk hakim karir yang
merupakan hakim pengadilan setempat maka mereka mempunyai ruangan tersendiri (Abidin,
2005:8).

2.4.3 Ruang Lingkup Kewenangan Pengadilan HAM
Pengadilan HAM mempunyai wewenang untuk memeriksa dan mengadili. Pengadilan HAM
berwenang untuk memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM berat yang dilakukan
di luar teritorial wilayah NKRI oleh Warga Negara Indonesia. Hal ini dimaksudkan untuk
melindungi WNI yang melakukan pelanggaran HAM berat yang dilakukan di luar batas
teritorial, dalam arti tetap dihukum sesuai dengan Undang-Undang tentang pengadilan Hak
Asasi Manusia.
UU No. 26 Tahun 2000 memberikan larangan atau membatasi kewenangan untuk memeriksa
dan memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dilakukan oleh
seseorang yang berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun pada saat kejahatan dilakukan.
Disini diartikan bahwa seseorang yang berumur dibawah 18 tahun yang melakukan
pelanggaran HAM yang berat diperiksa dan diputus dalam Pengadilan Negeri. Ketentuan
tentang pembatasan perkecualian yurisdiksi terhadap mereka yang berumur dibawah 18 tahun
pada saat tindak pidana dilakukan (exclusion of jurisdiction over person under eighteen)
sesuai dengan norma yang diatur dalam Statuta Roma 1998.
2.4.4 Hukum Acara Pengadilan HAM
Pasal 10 UU No. 26 Tahun 2000 menyatakan bahwa hukum acara yang digunakan adalah
hukum acara yang berdasarkan hukum acara pidana kecuali ditentukan lain dalam
undangundang ini. Hal ini berarti hukum acara yang akan digunakan untuk proses
pemeriksaan dipengadilan menggunakan hukum acara dengan mekanisme sesuai dengan
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
UU No. 26 Tahun 2000 mengatur Kekhususan pengadilan HAM diluar ketentuan KUHAP
untuk pelanggaran HAM yang berat. Kekhususan dalam penanganan pelanggaran HAM yang
berat dalam UU No. 26 Tahun 2000 adalah:
1. Diperlukan penyelidik dengan membentuk tim ad hoc, penyidik ad hoc, penuntut ad
hoc, dan hakim ad hoc.
2. Diperlukan penegasan bahwa penyelidik hanya dilakukan oleh komisi nasional hak
asasi manusia sedangkan penyidik tidak berwenang menerima laporan atau
pengaduan sebagai mana diatur dalam KUHAP.

3. Diperlukan ketentuan mengenai tenggang waktu tertentu untuk melakukan
penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan dipengadilan.
4. Diperlukan ketentuan mengenai perlindungan korban dan saksi.
5. Diperlukan ketentuan mengenai tidak ada kedaluarsa pelanggaran ham yang berat.
Kekhususan ini kemudian dijabarkan dalam pasal demi pasal dalam UU No. 26/2000 yang
merupakan pengecualian dari pengaturan dalam KUHAP yaitu:


Penangkapan

Kewenangan untuk melakukan penangkapan di tingkat penyidikan dalam pengadilan HAM
ini adalah Jaksa Agung terhadap seseorang yang diduga keras melakukan pelanggaran HAM
berat berdasarkan bukti yang cukup. Prosedur untuk pelaksanaan penangkapan dilakukan
oleh penyidik dengan memperlihatkan surat tugas dan menunjukkan surat perintah
penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dengan menyebutkan alasan
penangkapan, tempat dilakukan pemeriksaan serta uraian singkat perkara pelanggaran HAM
yang berat yang dipersangkakan.


Penahanan

Dalam buku yang berjudul Pendidikan Kewarganegaraan Dalam Konteks Indonesia karangan
Suparlan Al Hakim (2012), dijelaskan bahwa tujuan penahanan adalah agar tersangka/
terdakwa tidak melarikan diri, merusak barang bukti, menghilangkan barang bukti dan tidak
mengulangi pelanggatan Hak Asasi Manusia berat, selain itu juga untuk memudahkan
dilakukannya penyelidikan dan penyidikan.


Penyelidikan

Dalam UU No. 26 Tahun 2000 dijelaskan bahwa penyelidikan diartikan sebagai serangkaian
tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan ada tidaknya suatu peristiwa yang diduga
merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang berat guna ditindaklanjuti dengan penyidikan
sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini. Dalam UU ini yang berhak
melakukan penyelidikan adalah Komnas HAM, kewenangan ini dimaksudkan untuk menjaga
objektivitas hasil penyelidikan karena lembaga Komnas HAM adalah lembaga yang bersifat
independen.



Penyidikan

Dalam UU No. 26 Tahun 2000, pihak yang berwenang melakukan penyidikan terhadap kasus
pelanggaran HAM yang berat adalah Jaksa Agung. Penyidikan ini tidak termasuk untuk
menerima pengaduan dan laporan karena pengaduan dan laporan tersebut merupakan
kewenangan Komnas HAM. Dalam upaya penyidikan ini Jaksa Agung dapat mengangkat
penyelidik ad hoc dari unsur masyarakat dan pemerintah. Penyidikan yang dilakukan wajib
diselesaikan paling lambat 90 hari terhitumg sejak tanggal hasil penyelidikan diterima dan
dinyatakan lengkap oleh penyidik. Perpanjangan dapat dilakukuan selama 90 hari berikutnya
jika selama 90 hari pertama penyidikan belum dapat diselesaikan. Perpanjangan yang kedua
selama 60 hari, baik perpanjangan yang pertama maupun kedua dilakukan oleh ketua
pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya masing-masing.


Penuntutan

UU No. 26 Tahun 2000 mengatur tentang ketentuan penuntutan dalam pasal 23 dan 24. Pasal
23 menyatakan Penuntutan mengenai pelanggaran HAM yang berat dilakukan oleh Jaksa
Agung dan dalam melakukan penuntutan. Jaksa Agung dapat menganggat jaksa penuntut
umum ad hoc. Untuk dapat diangkat menjadi penuntut umum ad hoc harus memenuhi syarat
tertentu. Pasal 24 mengatur tentang jangka waktu penuntuan yaitu selama 70 hari terhitung
sejak tanggal hasil penyelidikan diterima. Ketentuan mengenai jangka waktu ini berbeda
dengan ketentuan dalam KUHAP dimana tidak diatur mengenai adanya jangka waktu
penuntutan.
Pemeriksaan di Sidang Pengadilan
Komposisi Hakim dan Hakim Ad Hoc
Pasal 27 UU No. 26 Tahun 2000 menyatakan bahwa kasus pelanggaran HAM yang berat
diperiksa oleh majelis hakim yang jumlahnya 5 orang yang terdiri dari 2 orang hakim
pengadilan HAM yang bersangkutan dan 3 orang hakim HAM ad hoc. Majelis hakim
tersebut diketuai oleh hakim dari pengadilan HAM yang bersangkutan. Pada tingkat banding
majelis hakimnya berjumlah 5 orang yang terdiri dari 2 orang hakim dari pengadilan
setempat dan 3 orang hakim ad hoc. Demikian juga komposisi mengenai majelis hakim
dalam tingkat kasasi.
Prosedur Pembuktian

Prosedur pembuktian dalam pengadilan HAM tidak diatur tersendiri yang berarti bahwa
mekanisme pembuktian di sidang pengadilan HAM menggunakan mekanisme yang diatur
dalam KUHAP. Pengecualian terhadap mekanisme KUHAP untuk prosedur pembuktian
adalah mengenai proses kesaksian di pengadilan. Dalam rangka melindungi saksi dan korban
pelanggaran HAM yang berat proses pemeriksaan saksi dapat dilakukan dengan tanpa
hadirnya terdakwa. Ketentuan ini terdapat dalam PP No. 2 Tahun 2002 tentang perlindungan
terhadap korban dan saksi pelanggaran HAM yang berat.
Ketentuan Pemidanaan
Ketentuan pidana diatur dalam Bab VII dari pasal 36 sampai dengan pasal 42 UU No. 2
Tahun 2000 . Ketentuan pidana dalam UU No. 26 Tahun 2000 ini menggunakan ketentuan
pidana minimal yang dianggap sebagai ketentuan yang sangat progresif untuk
menjaminbahwa pelaku pelanggaran HAM yang berat ini tidak akan mendapatkan hukuman
yang ringan. Pasal 36 mengatur tentang ketentuan pidana untuk kejahatan genosida yakni
dengab ancaman hukuman mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
lama 25 tahun dan pidana paling singkat 10 tahun.

BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN

Dalam makalah ini, terdapat beberapa kesimpulan diantaranya tentang kedudukan
HAM berdasarkan Hukum Indonesia telah diatur dalam UUD 1945 sebagai dasar dan sumber
hukum di indonesia dan diperkuat dengan adanya eksistensi UU No. 39 Tahun 1999 dan UU
No. 26 Tahun 2006, Bahwa dalam karya tulis ini saya menyimpulkan beberapa hal tentang
hukum acara di Pengadilan HAM di indonesia, terdapat :
1.
Pengadilan Hak Asasi Manusia di Indonesia di bentuk atas dasar dorongan untuk
2.

mengadili pelanggar kejahatan Hak Asasi Manusia yang berat
Pengadilan HAM adalah pengadilan khusus yang berada di lingkungan peradilan

3.

umum
Pengadilan HAM di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun

4.

2000
Pengadilan HAM ad hoc adalah pengadilan yang dibentuk khusus untuk
memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM yang berat yang dilakukan
sebelum adanya UU No. 26 Tahun 2000
Pengadilan HAM mempunyai wewenang untuk memeriksa dan mengadili.
Pengadilan HAM berwenang untuk memeriksa dan memutus perkara pelanggaran
HAM berat yang dilakukan di luar teritorial wilayah NKRI oleh Warga Negara
Indonesia. Hal ini dimaksudkan untuk melindungi WNI yang melakukan
pelanggaran HAM berat yang dilakukan di luar batas teritorial, dalam arti tetap

5.

dihukum sesuai dengan Undang-Undang tentang pengadilan Hak Asasi Manusia
Alur prosesnya pengadilan terhadap pelanggaran HAM yaitu:
a.
Penangkapan
e.
Penuntutan
b.
Penahanan
c.
Penyelidikan
d.
Penyidikan