CONTOH PROPOSISI DALAM ILMU SOSIAL

CONTOH PROPOSISI DALAM ILMU SOSIAL
1) Proposisi dalam teori konflik
Berikut beberapa proposisi teori konflik (lihat:Sutaryo,1992:31-6)
i.
Proposisi Pertama
“The more unequal the distribution of scare resource in a system, the
greater will be the conflict of interest between dominant and
subordinate segments in a system”
Artinya semakin tidak merata distribusi di dalam suatu sistem,
akan semakin besar konflik kepentingan antara segmen dominan dan
segmen lemah di dalam suatu sistem.
Dalam proposisi ini Marx memandang bahwa tingkatketidakmerataan
distribusi sumber, terutama kekuasaan, merupakan determinan konflik
kepentingan objektif di antara mereka yang meliki kekuasaan dan tidak
memiliki kekuasaan. Proposisi ini secara langsung mengikuti asumsi
Marx bahwa, “Di dalam sebuah struktur sosial, distribusi kekuasaan
yang tidak merata pasti menimbulkan konflik kepentingan antara
mereka yang memiliki kekuasaan dan mereka yang tidak memiliki
kekuasaan”(Wirana,2012:62).
Menurut Marx, kesadaran


akan

konflik

kepentingan

dapat

menyebabkan mereka yang lemah mulai mempertanyakan keabsahan
pola distribusi sumber yang ada sekarang. Kondisi-kondisi yang
mengubah kesadaran untuk mempertanyakan masalah keabsahan
distribusi sumber diintisarikan dalam proposisi-proposisi berikut.
ii.

Proposisi Kedua
“The more subordinate segments become aware of their collective
interests, the more likely they are to question the legitimacy of the
unequal distribution of scare resources”
Proposisi ini dengan jelas menyatakan, apabila segmen yang lebih
lemah (subordinate) semakin menyadari akan kepentingan kolektif

mereka, maka akan semakin besar kemungkinan mereka itu akan
mempertanyakan keabsahan distribusi sumber yang tidak merata.

iii.

Proposisi Ketiga

“The more subordinate segments of a system are aware of their
collective interests, the greater their questioning of the legitimacy of
the distribution of scare resources, and the more likely they are to
organize and initiate overt conflict dominant segments of system.”
Artinya apabila segmen yang lemah (subordinate) di dalam suatu
sistem semakin sadar akan kepetingan kelompok mereka, maka semakin
besar kemungkinannya mereka mengorganisasikan untuk memulai
konflik secara terang-terangan terhadap segmen-segmen dominan suatu
sistem.
Proposisi Keempat
“The more subordinate segments are unified by common belief and

iv.


the more developed their political leadership structure, the more the
dominate and subjugated segments of a system will become
polarized.”
Proposisi ini mengandung pengertian, apabila segmen-segmen
subordinate semakin dipersatukan oleh keyakinan umum dan semakin
berkembang struktur kepemimpinan politik mereka, maka segmen
dominan dan segmen yang dikuasai yang lebih lemah akan semakin
terpolarisasi.
2) Proposisi dalam Teori Struktural Fungsional
Proposisi dalam teori struktural fungsional, antara lain:
(1)
“Apabila terjadi ketidakseimbangan muncul

maka

akan

mengundang lembaga lain untuk melakukan penyesusaian.”
Bahwa dalam teori ini dijelaskan masyarakat terdiri atas banyak

lembaga yang akan berinteraksi dan satu sama lain melaksanakan
penyesuaian sehingga di masyarakat akan senantiasa berada pada
keseimbangan. Jika ketidakseimbangan akan muncul, tetapi ini hanya
bersifat sementara. Karena adanya ketidakseimbangan di suatu lembaga
sehingga fungsi lembaga tersebut terganggu, akan mengundang lembaga
(2)

lain untuk menyeimbangkan kembali.
“sistem sosial mengalami pertukaran dengan lingkungannya
sehingga terjadi aksi sosial”
Pendapat ini dikemukakan oleh Parsons dalam mengkaji perilaku
individu dalam organisasi sistem sosial. Sistem tersebut mengalami

pertukaran dengan lingkungannya sehingga terjadi aksi sosial. Dalam
menjalankan peran tersebut, terjadi kesepakatan dan berlangsung
interaksi atau hubungan berpasangan antar-ego dan alter yang telah
dikembangkan. Pola pelembagaan tersebut akan menjadi sistem sosial.
Dalam proses ini terdapat dua mekanisme yaitu, mekanisme sosialisasi
dan mekanisme kontrol sosial.
3) Proposisi dalam Teori Pertukaran Sosial

George C. Homans memperkenalkan teori pertukaran deduktif
tentang tatanan sosial. Menurut Homans, kita hanya dapat menjelaskan
aspek-aspek tatanan dan perubahannya dengan mengacu pada beberapa
jumlah kecil proposisi umum yang bisa dijelaskan. Hal itu merupakan
bentuk spesifik dan runtut terhadap ide-ide dalam suatu teori deduktif.
Untuk memperjelas teorinya, Homans membuat proposisi sebagai
berikut:
(i)
“if in the past the occurrence og a particular stimulus, or set of
stimuli, has been occasion which a person’s action has been
rewarded, then the more similar the present stimuli are to the past
ones, the more likely the persons is to perfom the action, or some
similar action, now”(Sosial Behavior, 1974:22-23).
Sebagaimana dikemukakan dalam psikologi tentang “learning
Theory,” masa lalu seseorang penting bagi tingkah laku sekarang.
Sehubungan dengan proposisi itu, masa lalu dibentuk oleh situasi
dimana orang itu memperoleh ganjaran ataupun hukuman. Beberapa
aspek masa lalu telah menghasilkan kemungkinan tingkah laku
serupa dengan sekarang, artinya sejarah berulang kembali. Tekanan
proposisi Homans tersebut adalah pada respon individu untuk

menyenangkan keadaan dan untuk berkelakuan seperti itu lagi.
(ii)

“For all actions taken by persons, the more often a particular
action of a persons is rewarded, the more likely persons is to
perfume the action”(Social Behavior, 1974:16).
Proposisi mengemukakan bahwa terdapat suatu hubungan
langsung antara frekuensi tingkah laku ber-reward dengan frekuensi
respon terhadap reward.

(iii)

“The more valuable to a person the result of his action, the more
likely he is to perform the action”(Social Behavior,1974:25).
Proposisi ini menjelaskan hubungan antara nilai dengan aktivitas.
Para individu mempunyai ide-idenya sendiri tentang apa yang
bernilai, dan nilai tersebut tidaklah sama bagi semua individu.
Proposisi ini juga meramalkan suatu hubungan langsung antara
frekuensi aktivitas menerima reward yang bernilai dengan derajat
nilai yang terkandung dalam reward.


(iv)

“The more often in the recent past a person has received a
particular reward, the less valuable any further unit of what
reward become for him”(Social Behavior, 1974: 28-29).
Homans dalam proposisi ini membatasi dan memberikan suatu
pernyataan umum tentang jumlah ekstra-aktivitas yang pernah

(v)

diharapkan dalam pertukaran reward yang berkembang.
“The more to a man’sdisanvantage the rule of distributive justice
fail of realization, the more likely he is to display the emotional
behavior we call anger”(Social Behavior, 1974: 75).
Homans menyanggah derajat pertukaran itu dibina antara tingkah
laku dengan sentiment yang saling tukar. Pada umumnya, investasi
yang dibuat seseorang dalam suatu pertukaran diperhitungkan
menurut kesepakatan.


4) Proposisi dalam Teori Interaksi Simbolik

TEORI-TEORI SOSIAL
Bagian 1 Paradigma Fakta Sosial
1.

Teori Struktural Fungsionalis
Pendahuluan
Teori fungsional juga populer disebut teori integrasi atau teori konsensus.
Tujuan utama pemuatan teori integrasi, konsensus, atau fungsional tidak lain
agar pembaca lebih jelas dalam memahami masyarakat secara integral.
Pendekatan fungsional menganggap masyarakat terintegrasi atas dasar
kata sepakat anggota-anggotanya akan nilai kemasyarakatan tertentu.
General Agreements ini memiliki daya yang mampu mengatasi perbedaanperbedaan pendapat dan kepentingan di antara para anggota masyarakat.
Masyarakat sebagai suatu sistem sosial, secara fungsional terintegrasi ke
dalamsuatu bentuk ekuilibrium. Oleh sebab itu, aliran pemikiran tersebut
disebut integration approach, order approach, equilibrium approach, atau
structural-functional approach (Nasikun,1995).
Pada mulanya, teori fungsional struktural diilhami oleh para pemikir
klasiksejak pertengahan abad 19, di antaranya Socrates, Plato, Aguste

Comte, Spencer, Emile Durkheim, Robert K. Merton, dan Talcott Parsons.
Mereka dengan terperinci menuturkan bagaimana perspektif fungsionalisme
memandang dan menganalisis fenomena sosial dan kultural.
Karakteristik Perspektif Struktural Fungsional
Teori ini menekan keteraturan (order) dan mengabaikan konflik dan
perubahan-perubahan dalam masyrakat. Konsep konsep utamanya, antara
lain fungsi, disfungsi, fungsi laten, fungsi manifest, dan keseimbangan
(equilibrium).
Menyangkut hal ini, Wallace dan Alison mengatakan bahwa:
“Functionalists, as we haveseen, look at societies and sosial institution
as system in which all the parts depend on each other and work together
to create equilibrium. They do not deny to existence of conflict; but they
believe society develops ways to control it, and it is these that analyze.
Conflict theorists perception of society could hardly be more different.

Where functionalists see interdependence and unity in society. Conflict
theorists see and area in which groups fight for power, and the control of
conflict simply means that one group is able, temporarily, to suppress its
rivals. Functionalist see civil law, for example, as way of increasing
social integration; but conflict theorists see civil law as a way of defining

at the expense of others. (Wallace and Alison,1986:62)
Functionalist (para penganut pendekatan fungsional) melihat masyarakat
dan lembaga-lembaga sosial sebagai suatu sistem yang seluruh bagiannya
saling tergantung satu sama lain dan bekerja sama menciptakan
keseimbangan (equilibrium). Mereka memang tidak menolak keberadaan
konflik di dalam masyarakat, akan tetapi mereka percaya benar bahwa
masyarakat itu sendiri akan mengembangkan mekanisme yang dapat
mengontrol konflik yang timbul. Inilah yang menjadi pusat perhatian
analisis bagi kalangan fungsionalis.
Menurut teori ini, masyarakat merupakan suatu sistem sosial yang terdiri
atas bagian-bagian atau elemen yang saling berkaitan dan saling menyatu
dalam keseimbangan. Perubahan yang terjadi pada suatu bagian akan
membawa perubahan pula terhadap bagian yang lain.
Asumsi dasarnya adalah setiap struktur dalam sistem sosial fungsional
terhadap yang lain. Sebaliknya, kalau tidak fungsional maka struktur itu
tidak aka nada atau akan hilang dengan sendirinya. Secara ekstrem penganut
teori ini beranggapan bahwa semua peristiwa dan semua struktur adalah
fungsional bagi suatu masyarakat.
Menurut Lawer, teori ini mendasarkan pada tujuh asumsi, yaitu:
1)


Masyarakat harus dianalisis sebagai suatu kesatuan yang utuh yang
terdiri atas bagian-bagian yang saling berinteraksi.

2)

Hubungan yang ada bersifat satu arah atau hubungan yang bersifat
timbal balik.

3)

Sistem sosial yang ada bersifat dinamis; penyesuaian yang ada tidak
perlu banyak mengubah sistem sebagai satu kesatuan yang utuh.

4)

Integrase yang sempurna di masyarakat tidak pernah sempurna,
sehingga di masyarakat senantiasa timbul ketegangan-ketegangan
dan

penyimpangan-penyimpangan,

tetapi

ketegangan

penyimpangan ini akan dinetalisasi lewat proses pelembagaan.

dan

5) Perubahan-perubahan akan berjalan secara gradual dan perlahanlahan sebagai proses adaptasi dan penyesuaian.
6) Perubahan merupakan hasil penyesuaian dari luar, tumbuh oleh
adanya differensiasi dan inovasi.
7) Sistem disintegrasi lewat pemilikan nilai-nilai yang sama.
Sementara itu Pieere L. Van dan

Berghe dalam “Dialectic and

Fungtionalism: Toward a Synthesis” mengungkapkan tujuh ciri umum
mengenai teori structural fungsional ini, yaitu:
1. Masyarakat harus dianalisis secara keseluruhan, selaku sistem yang
terdiri atas bagian-bagian yang saling berhubungan satu sama lain.
2. Hubungan sebab dan akibatnya bersifat jamak dan juga timbal balik.
3. Sistem sosial senantiasa dalam keadaan keseimbangan dinamis,
penyesuaian terhadap kekuatan yang menimpa sistem menimbulkan
perubahan minimal di dalam sistem ini.
4. Integrase sempurna tidak pernah terwujud, setiap sistem mengalami
ketegangan dan penyimpangan namun cenderung dinetralisasi
melalui mekanisme institusionalisasi.
5. Perubahan pada dasarnya berlangsung secara lambat, lebih
merupakan proses penyesuaian ketimbang perubahan revolusioner.
6. Perubahan adalah hasil penyesuaian atas perubahan yang terjadi di
luar sistem, pertumbuhan melalui differensiasi, dan melalui
penemuan-penemuan internal.
7. Masyarakat terintegrasi melalui nilai-nilai bersama.
Berdasarkan uraian di atas, diketahui bahwa kalangan fungsional
memandang masyarakat manusia itu sebagai berikut:
a) Masyarakat dipandang sebagai suatu jaringan kelompok yang
bekerja sama secara terorganisasi yang bekerja dalam suatu cara
yang agak teratur menurut seperangkat peraturan dan nilai yang
dianut oleh sebagian besar masyarakat tersebut.

b) Masyarakat dipandang sebagai suatu sistem yang stabil dengan
kecenderungan kearah keseimbangan, yaitu suatu kecederungan
untuk mempertahankan sistem kerja yang selaras dan seimbang.
c) Setiap kelompok atau lembaga melaksanakan tugas tertentu dan
secara terus menerus karena hal itu fungsional.
d) Corak perilaku timbul karena secara fungsional bermanfaat.
Menurut teori struktural fungsional, masyarakat sebagai suatu sistem
memiliki struktur yang terdiri atas banyak lembaga. Masing-masing
lembaga

memiliki

fungsi tersendiri. Struktur

dan fungsi

dengan

kompleksitas yang berbeda-beda ada pada setiap masyarakat baik
masyarakat modern maupun masyarakat primitif. Semua lembaga tersebut
akan saling berinteraksi dan saling menyesuaikan yang mengarah pada
keseimbangan. Bila terjadi penyimpangan dari suatu lembaga masyarakat
maka lembaga yang lainnya akan membantu dengan mengambil langkah
penyesuaian.
Antara aktor dengan berbagai motif dan nilai yang berbeda-beda
menimbulkan tindakan yang berbeda-beda. Bentuk-bentuk interaksi
dikembangkan sehingga melembaga. Pola-pola pelembagaan tesebut akan
menjadi sistem sosial. Untuk menjaga kelangsungan hidup suatu
masyarakat, setiap masyarakat perlu melaksanakan sosialisasi sistem sosial
yang dimiliki. Caranya dengan mekanisme sosialisasi dan mekanisme kotrol
sosial.
Menurut Parsons, mekanisme sosialisasi merupakan alat untuk
menanamkan pola kultural, seperti nilai-nilai, Bahasa, dan lain-lain. Dengan
proses ini anggota masyarakat akan menerima dan memiliki komitmen atas
norma-norma yang ada. Mekanisme control juga mencakup sistem sosial,
sehingga perbedaan dan ketegangan-ketegangan yang ada di masyarakat
bisa di tekan. Mekanisme control ini antara lain:
a)

Pelembagaan

b)

Sanksi

c)

Aktivitas ritual

d)

Penyelamatan pada keadaan kritis dan tidak normal

e)

Pengintegrasian kembali agar keseimbangan dapat dicapai kembali

f)

Pelembagaan kekuasaan untuk melaksanakan tatanan

Pandangan Tentang Teori Struktural Fungsional Menurut Para Ahli
1. Auguste Comte
Teori Comte tentang tahapan perkembangan masyarakat ini mulai
berkembang

melalui

tiga

tahapan,

sesuai

dengan

tahap-tahap

perkembangan pikiran manusia, yaitu sebagai berikut:
2) Tahap teologis
Pada dasarnya manusia dikuasai oleh alam. Pandangan manusia
tentang alam bersifat theistik/animistik. Semua gejala alam
dipandang sebgai hasil kekuatan-kekuatan gaib.
3) Tahap Matafisik
Pada tahap fenomen alam tidak lagi dipandang sebagai akibat dari
bekerjanya kekuatan gaib, tetapi hanya merupakan bagian dari objek
tatanan alam secara inheren.
4) Tahap Positif
Tahap ini merupakan tahap kematangan ilmu pengetahuan karena
kemampuan

manusia

menjelaskan

seluruh

fenomena

dalam

terminologi beroperasinya hukum-hukum alam.
2. Ralf Dahrendorf dan E. Durkheim.
Ralf Dahrendorf mengembang perspektif integrase antara lain
memahami masyarakat. Pokok-pokok pikiran Dahrendorf, yaitu:
1) Setiap masyarakat secara relatif bersifat langgeng;
2) Setiap masyarakat merupakan struktur elemen yang terintegrasi
dengan baik.
3) Setiap elemen dalam suatu masyarakat memiliki satu fungsi,
yaitu menyumbang pada bertahannya sistem itu.
4) Setiap struktur sosial yang berfungsi didasarkan pada consensus
nilai di antara para anggotanya.

E. Durkheim seorang sosiolog Perancis menganggap bahwa adanya
teori fungsionalisme-struktural merupakan suatu yang ‘berbeda’, hal ini
disebabkan karena Durkheim melihat masyarakat modern sebagai
keseluruhan organisasi yang memiliki realitas tersendiri. Keseluruhan
tersebut menurut Durkheim memiliki seperangkat kebutuhan atau
fungsi-fungsi tertentu yang harus dipenuhi oleh bagian-bagian yang
menjadi anggotanya agar dalam keadaan normal, tetap langgeng. Bila
mana kebutuhan tertentu tadi tidak terpenuhi maka akan berkembang
suatu keadaan yang bersifat “Patologis”. Para fungsionalis kontemporer
menyebut keadaan nomal sebagai ekuilibrium atau sebagaisuatu sistem
yang seimbang, sedang keadaan patologis menunjukkan pada keadaan
tidak seimbang atau perubahan sosial.
3. Robert K. Merton
Merton menyoroti tiga asumsi atau postulat yang terdapat dalam
teori fungsional. Ketiga postulat itu sebagai berikut:
Pertama, kesatuan fungsional masyarakat merupakan suatu keadaan
dimana seluruh bagian dari sistem sosial bekerja sama dalam suatu
tingkat keselarasan atau konsistensi internal yang memadai, tanpa
menghasilkan konflik berkepanjangan yang tidak dapat diatasi atau
diatur.
Kedua, postulat fungsionalisme universal. Postulat ini menganggap
bahwa “seluruh bentuk sosial dan kebudayaan yang sudah baku
memiliki fungsi-fungsi positif”.
Ketiga, postulat indispensability, bahwa “dalam setiap tipe
peradaban, setiap kebiasaan, ide, objek material, dan keprcayaan
memenui beberapa fungsi penting, memilki sejumlah tugas yang harus
dijalankan, dan merupakan bagian penting yang tidak dapat dipisahkan
dalam kegiatan sistem sebagai keseluruhan.
4. Herbert Spencer
Spencer mengembangkan prinsip-prinsip yang berlaku dalm
biologi khususnya konsep organisme yang kemudian digunakan sebagai
analogi masyarakat. Sebagaimna organisme biologis, masyarakat juga

merupakan sebuah organismeyang mengalami evolusi. Seiring jalannya
waktu, masyarakat berkembang dan perkembangan tersebut ditandai
terutama oleh bertambahnya kompleks institusi-institusi di dalamnya.
Dalam hal ini, evolusi menurutSpencer berarti kemajuan. Sebagai suatu
sistem setiap elemen dalam masyarakat memiliki empat masalah dasar,
yakni produksi, reproduksi, regulasi, dan distribusi.
Kontribusi penting Spencer bagi perkembangan teori structural
fungsional terletak pada konsepnya tentang ekuilibrium sosial. Spencer
melihat ekuilibrium sosial sebagai kondisi masyarakat yang berada
dalam kondisi penuh dengan harmoni sosial, stabil dan terintegrasi.
Dalam pandangan teori evolusioner, masyarakat tidak dimulai dari
kondisi ekuilibrium, tetapi selalu bergerak kearah tersebut sepnjang
waktu. Meskipun demikian, Spencer tetap menggunakan konsep
ekuilibrium untuk mencoba mengatasi kontradiksi tersebut yang pada
akhirnya tidak pernah memuaskan.
5. Talcott Parsons
Di dalam menyajikan perkembangan intelektualnya, Parsons membuat
kerangka tiga fase yang berbeda:
Parsons 1, terdiri dari tahap-tahap perkembangan nya atas teori
voluntaristik dari tindakan sosial.
Parsons 2, pembebasan dari kekangan teori tindakan sosial yang
mengarah structural fungsional ke dalam pengembangan suatu
tindakan yang lebih umum yang berisikan konsep-konsep sistem dan
kebutuhan-kebutuhan sistem yang sangat penting.
Parsons 3, mengenal model sibernatika dari sistem-sistem sosial.
Parsons lebih banyak mengkaji perilaku individu dalam organisasi
sistem sosial, hingga melahirkan teori tindakan sosial atau social action.
Dalam sistem sosial, individu menduduki suatu tempat (status) dan
bertindak sesuai norma atau aturan-aturan yang dibuat oleh sistem yang
ada. Selain itu Parsons juga mengkaji perilaku individu dalam organisasi
sistem sosial. Ia menekankan bahwa sistem tersebut mengalami saling
pertukaran dengan lingkungan sehingga terjadi tindakan sosial. Ada dua

mekanisme dalam proses ini, yaitu mekanisme sosialisasi dan
mekanisme control sosial.
Parsons juga mengembangkan cara berpikir individu yang nonlogis
dan irasional dengan mencetuskan teori aksi sukarela. Teori aksi
sukarela ini menempatkan individu sebgai agen daripada sebahagian
dari struktur. Dimana struktur tersebut menurut Parsons bersifat
fungsional yang dijelaskan dengan teori AGIL(adaptation, goal
attainment, integration, laten pattern maintenance).
Paradigma utama dari sitem tindakan menurut Parsons, antara lain
kognitif, cathetic, evaluative dari orientasi motivasional. Argumentasi
tentang sistem sosial menurut Parsons meliputi:
5) Sistem kekerabatan
6) Stratifikasi sosial
7) Territorial dan tekanan
8) Agama dan integrasi nila
2.

Teori Konflik
Pendahuluan
Di dalam realitas masyarakat, konflik sebagai hal yang harus ada dan
kehadirannya tidak ditawar-tawar lagi. adanya perbedaan kekuasaan dapat
dipastikan menjadi sumber konflik dalam sebuah sistem sosial terutama
pada masyarakat yang kompleks dan heterogen. Tidak hanya itu sumber
daya alam yang langka di dalam masyarakat akan membangkitkan kompetisi
di antara pelaku ekonomi yang memperebutkannya dan bukan suatu
kemustahilan akan berujung pada pertikaian akibat persoalan distribusi
sumberdaya tersebut yang tidak merata. Kelompok-kelompok kepentingan
yang berbeda dalam sistem sosial akan saling mengejar tujuan mereka yang
berbeda dan saling bersaing. Kondisi ini dalam banyak kasus kerap
menyebabkan terjadinya konflik terbuka, sebagaimana dinyatakan oleh
Lockwood dalam Jonathan Turner(1978), bahwa kekuatan kekuatan yang
bersaing dalam mengejar kepentingannya masin-masing akan melahirkan
mekanisme ketidakteraturan sosial.

Pandangan Tentang Teori Konflik Menurut Para Ahli
1. Teori Konflik Karl Marx (1818- 1883)
Teori konflik Karl Marx didasarkan pada pemilikan sarana- sarana
produksi sebagai unsur pokok pemisahan kelas dalam masyarakat.
Marx mengajukan konsepsi mendasar tentang masyarakat kelas dan
perjuangannya. Marx tidak mendefinisikan kelas secara panjang lebar
tetapi ia menunjukkan bahwa dalam masyarakat, pada abad ke- 19 di
Eropa di mana dia hidup, terdiri dari kelas pemilik modal (borjuis) dan
kelas pekerja miskin sebagai kelas proletar. Kedua kelas ini berada
dalam suatu struktur sosial hirarkis, kaum borjuis melakukan eksploitasi
terhadap kaum proletar dalam proses produksi.. Eksploitasi ini akan
terus berjalan selama kesadaran semu eksis (false consiousness) dalam
diri proletar, yaitu berupa rasa menyerah diri, menerima keadaan apa
adanya tetap terjaga.
Ketegangan hubungan antara kaum proletar dan kaum borjuis
mendorong

terbentuknya

gerakan

sosial

besar,

yaitu

revolusi.

Ketegangan tersebut terjadi jika kaum proletar telah sadar akan
eksploitasi kaum borjuis terhadap mereka.
2) Teori Konflik Menurut Lewis A. Coser
Konflik dapat merupakan proses yang bersifat instrumental dalam
pembentukan, penyatuan dan pemeliharaan struktur sosial. Konflik
dapat menempatkan dan menjaga garis batas antara dua atau lebih
kelompok. Konflik dengan kelompok lain dapat memperkuat kembali
identitas kelompok dan melindunginya agar tidak lebur ke dalam dunia
sosial sekelilingnya.
Seluruh fungsi positif konflik tersebut dapat dilihat dalam ilustrasi
suatu kelompok yang sedang mengalami konflik dengan kelompok lain.
Misalnya, pengesahan pemisahan gereja kaum tradisional (yang
memepertahankan praktek- praktek ajaran katolik pra- Konsili Vatican
II) dan gereja Anglo- Katolik (yang berpisah dengan gereja Episcopal
mengenai masalah pentahbisan wanita). Perang yang terjadi bertahun-

tahun yang terjadi di Timur Tengah telah memperkuat identitas
kelompok Negara Arab dan Israel.
Coser (1956: 41) melihat katup penyelamat berfungsi sebagai jalan
ke luar yang meredakan permusuhan, yang tanpa itu hubunganhubungan di antara fihak- fihak yang bertentangan akan semakin
menajam. Katup Penyelamat (savety-value) ialah salah satu mekanisme
khusus yang dapat dipakai untuk mempertahankan kelompok dari
kemungkinan konflik sosial.Katup penyelamat merupakan sebuah
institusi pengungkapan rasa tidak puas atas sebuah sistem atau struktur.
Contohnya Badan perwakilan Mahasiswa atau panitia kesejahteraan
Dosen. Lembaga tersebut membuat kegerahan yang berasal dari situasi
konflik tersalur tanpa menghancurkan sistem tersebut.
Menurut Coser konflik dibagi menjadi dua, yaitu:
1) Konflik Realistis, berasal dari kekecewaan terhadap tuntutantuntutan khusus yang terjadi dalam hubungan dan dari
perkiraan kemungkinan keuntungan para partisipan, dan yang
ditujukan pada obyek yang dianggap mengecewakan.
Contohnya para karyawan yang mogok kerja agar tuntutan
mereka berupa kenaikan upah atau gaji dinaikkan.
2) Konflik Non- Realistis, konflik yang bukan berasal dari
tujuan- tujuan saingan yang antagonis, tetapi dari kebutuhan
untuk meredakan ketegangan, paling tidak dari salah satu
pihak. Coser menjelaskan dalam masyarakat yang buta huruf
pembasan dendam biasanya melalui ilmu gaib seperti teluh,
santet dan lain- lain. Sebagaimana halnya masyarakat maju
melakukan

pengkambinghitaman

ketidakmampuan

melawan

sebagai

kelompok

yang

pengganti
seharusnya

menjadi lawan mereka.

3) Teori Konflik Menurut Ralf Dahrendorf
Teori konflik Ralf Dahrendorf merupakan separuh penerimaan,
separuh penolakan, serta modifikasi teori sosiologi Karl Marx. Karl
Marx

Pendapat

Dahrendorf

(1959:

176)

dalam

buku

Sosiologi

Kontemporer halaman 136:Secara empiris, pertentangan kelompok
mungkin paling mudah di analisa bila dilihat sebagai pertentangan
mengenai ligitimasi hubungan- hubungan kekuasaan. Dalam setiap
asosiasi, kepentingan kelompok penguasa merupakan nilai- nilai yang
merupakan ideologi keabsahan kekuasannya, sementara kepentingankepentingan kelompok bawah melahirkan ancaman bagi ideologi ini serta
hubungan- hubungan sosial yang terkandung di dalamnya.
Misalnya kasus kelompok minoritas yang pada tahun 1960-an
kesadarannya telah memuncak, antara lain termasuk kelompokkelompok kulit hitam, wanita, suku Indian dan Chicanos. Kelompok
wanita sebelum tahun 1960-an merupakan kelompok semu yang ditolak
oleh kekuasan di sebagian besar struktur sosial di mana mereka
berpartisipasi. Pada pertengahan tahun 1960-an muncul kesadaran kaum
wanita untuk menyamakan derajatnya dengan kaum laki- laki., yang
kemudian diikuti oleh perkembangan kelompok yang memperjuangkan
kebebasan wanita.

Bagian 2 Paradigma Definisi Sosial
1. Teori Interaksi Simbolik
Bagian 3 Paradigma Perilaku Sosial
2. Teori Pertukaran
Pendahuluan
Teori pertukaran adalah teori yang berkaitan dengan tindakan sosial yang
saling memberi atau menukar objek-objek yang mengandung nilai
antarindividu berdasarkan tatanan sosial tertentu. Adapun objek yang
dipertukarkan itu bukanlah benda nyata, melainkan hal-hal yang tidak nyata.
Ide tentang pertukaran itu juga menyangkut perasaansakit, beban hidup,
harapan, pencapaian sesuatu, dan pernyataan-pernyataan individu. Dengan

demikian, ide tentang pertukaran itu sangat luas tetapi inklusif (Saifuddin
N., 2001:4).
Pertukaran Sebagai Teori Klasik
Ide tentang pertukaran dalam ilmju sosial telah berlangsung sejak abab
ke-18. Adam Smith misalnya, mengemukakan ide memberi dan menerima
antarbangsa, dalam karyanya An Inquiry into the Nature and Cause of the
Wealth of Nation (Irwin, 1963).
Thomas Hobbes, Jean-Jaques Rousseau, dan John Locke mengemukakan
bahwa, para individu dalam suatu masyarakat mempunyai susunan kolektif
dengan kekuatan penguasa (George G. Sabine, 1973). Kekuatan penguasa
memiliki otoritas tak terbatas begitu ia menduduki kekuasaannya. Proposisi
ini menurut Homans mengandung kelemahan.
Ide tentang pasar ekonomi dianalogikan dengan tatanan sosial secara
umum. Keputusan melakukan sesuatu tindakan sosial dalam kehidupan
sehari-hari dapat dipahami seperti dalam membuat keputusan ekonomi.
Dengan demikian, konsep-konsep teori ekonomi dapat digunakan pada
semua transaksi sosial.
Teori Pertukaran Modern
Teori

pertukaran

modernsangat

dipengaruhi

oleh

psikologi

eksperimental. Hal ini berarti mengandung kesamaan dengan teori sosial
mikro. Tinjauan mikro ini menekan pada pertimbangan motivasi. Dalam
kaitannya dengan itu, motif pribadi kadang kala dimanipulasikan secara
eksperimental. Psikologi eksperimental adalah bidang learning theory, yang
secara umum mengemukakan tindakan-tindakan manusia itu dapat
dipertajam, dikonrol, dan diprediksikan oleh perubahan lingkungan
(Skidmore, 1975: 77). Tradisi psikologi eksperimental itu mengandung
kesamaan

dengan

gerakan

filosofis

kuno,

hedonism.

Psikologi

eksperimental membuat asumsi dengan postulat bahwa kita selalu dapat
mengharapkan orang membedakan orang membedakan antara stimulan dan
tindakan atas dasar ganjaran yang diperoleh.

Tujuan teori pertukaran dalam sosiologi ialah mendapatkan sesuatu
perangkat prinsip dasar yang bisa ditarik dari alur pemikiran yang konsisten
dan

saling

melengkapi

antara

individualism,

ekonomi,

psikologi

eksperimantal, dan filsafat hedonisma. Selain itu, tujuan teori pertukaran
adalah membina suatu penjelasan umum yang kohoren tentang tatanan
sosial.
Prinsip-Prinsip Teori Pertukaran
Prinsip teori pertukaran merupakan suatu deskripsi umum tentang unsurunsur teori ini, yaitu satuan analisis, motif, keuntungan, dan persetujuan
sosial.
1) Satuan Analisis
Satuan analisis dalam tatanan sosial adalah sesuatu yang diamati dalam
penelitian dan memainkan peran penting dalam menjelaskan tatanan
sosial dan individu. Teori ini akan mengemukakan hal-hal terkait dengan
intitusi, kelompok, dan sentiment mereka. Teori pertukaran juga tidak
hanya terpusat pada individu, akan tetapi lebih mengarah pada tatanan
dan perubahan.
2) Motif dalam pertukaran mengasumsikan bahwa setiap orang mempunyai
keinginan sendiri. Seseorang akan melakukan perukaran karena
termotifasi oleh gabungan berbagai tujuan dan keinginan yang khas.
Misalnya, penderma yang memberikan barang atau sejumlah uang untuk
menolong nyawa orang yang tenggelam dalam air, tindakan-tindakan
tersebut dapat dijelaskan menurut teori pertukaran, yaitu untuk
memperoleh kepuasan emosional.
3) Faedah atau Keuntungan
Memberikan sesuatu kepada orang lain sebagai upaya yang diperlukan
guna memperoleh suatu kepuasan, ditambah dengan reward yang
pontensial yang akan diperoleh apabila melakukan sesuatu. Kepuasan
atau reward yang diperoleh seseorang itu dapat dinilai sebagai sebuah
keuntungan.
4) Pengesahan Sosial
Pengesahan sosial merupakan suatu pemuas dan merupakan motivator
yang umum dalam sistem pertukaran. Menurut teori pertukaran, reward

ialah ganjaran yang memiliki kekuatan pengesahan sosial (social
approval). Dalam kehidupan sehari-hari, segala sesuatu yang disenangi
akan dicari dalam relasi-relasi sosial mereka. Orang akan lebih
menyenangi atau cocok dengan orang lain yang mengesahkan dirinya.
Tatanan Sosial Menurut Teori Pertukaran
Sebagaimana diketahui, teori sosial bertujuan untuk mencapai kesimpulan
tentang hakikat manusia. Pengamatan yang ditujukan pada individu-individu
yang saling melakukan pertukaran belum tentu menggambarkan tindakan
kelompok sangat berkaitan dengan siapa yang berhubungan secara tetap, siapa
yang memperoleh ganjaran, siapa yang perlu ganjaran, bagaiman mereka
melakukan interaksi, dan bagaimana membina derajat pertukaran dalam interaksi
itu.
Dalam suatu kelompok yang memiliki hierarki, urutan tatanan ditandai
dengan kepatuhan pada siapa, siapa yang duduk “di meja utama” dan indikasiindikasi lainnya. Runtutan posisi dalam kelompok adalah unsur-unsur tatanan
sosial umum yang ada dalam kelompok. Untuk menjelaskan runtutan atau
rangking menurut teori pertukaran, digunakanlah ide-ide tentang nilai dan
kelangkaan. “Nilai” ini mengandung pengertian langka dan berharga.
Teori Pertukaran Deduktif: Proposisi George C. Homans
George

C. Homans memperkenalkan teori pertukaran deduktif tentang

tatanan sosial. Menurut Homans, kita hanya dapat menjelaskan aspek-aspek
tatanan dan perubahannya dengan mengacu pada beberapa jumlah kecil
proposisi umum yang bisa dijelaskan. Hal itu merupakan bentuk spesifik dan
runtut terhadap ide-ide dalam suatu teori deduktif.
Untuk memperjelas teorinya, Homans membuat proposisi sebagai berikut:
(i)

“if in the past the occurrence og a particular stimulus, or set of
stimuli, has been occasion which a person’s action has been
rewarded, then the more similar the present stimuli are to the past

ones, the more likely the persons is to perfom the action, or some
similar action, now”(Sosial Behavior, 1974:22-23).
Sebagaimana dikemukakan dalam psikologi tentang “learning
Theory,” masa lalu seseorang penting bagi tingkah laku sekarang.
Sehubungan dengan proposisi itu, masa lalu dibentuk oleh situasi
dimana orang itu memperoleh ganjaran ataupun hukuman. Beberapa
aspek masa lalu telah menghasilkan kemungkinan tingkah laku serupa
dengan sekarang, artinya sejarah berulang kembali. Tekanan proposisi
Homans tersebut adalah pada respon individu untuk menyenangkan
keadaan dan untuk berkelakuan seperti itu lagi.
(ii)

“For all actions taken by persons, the more often a particular
action of a persons is rewarded, the more likely persons is to
perfume the action”(Social Behavior, 1974:16).
Proposisi mengemukakan bahwa terdapat suatu hubungan langsung
antara frekuensi tingkah laku ber-reward dengan frekuensi respon
terhadap reward.

(iii)

“The more valuable to a person the result of his action, the more
likely he is to perform the action”(Social Behavior,1974:25).
Proposisi ini menjelaskan hubungan antara nilai dengan aktivitas.
Para individu mempunyai ide-idenya sendiri tentang apa yang bernilai,
dan nilai tersebut tidaklah sama bagi semua individu. Proposisi ini juga
meramalkan suatu hubungan langsung antara frekuensi aktivitas
menerima reward yang bernilai dengan derajat nilai yang terkandung
dalam reward.

(iv)

“The more often in the recent past a person has received a
particular reward, the less valuable any further unit of what reward
become for him”(Social Behavior, 1974: 28-29).
Homans dalam proposisi ini membatasi dan memberikan suatu
pernyataan umum tentang jumlah ekstra-aktivitas yang pernah
diharapkan dalam pertukaran reward yang berkembang.

(v)

“The more to a man’sdisanvantage the rule of distributive justice
fail of realization, the more likely he is to display the emotional
behavior we call anger”(Social Behavior, 1974: 75).
Homans menyanggah derajat pertukaran itu dibina antara tingkah
laku dengan sentiment yang saling tukar. Pada umumnya, investasi yang
dibuat seseorang dalam suatu pertukaran diperhitungkan menurut

1.

kesepakatan.
Deduksi dalam Teori Pertukaran
Homans mengemukakan tentang proposisi dan format teori yang
deduktif. Adapun format deduktif itu menghasilkan kesimpulan logis
dari hal-hal yang bersifat abstraksi.
Dengan menggabungkan proposisi kedua, proposisi keberhasilan,
dengan proposisi ketiga atau proposisi nilai, maka individu yang tidak
beruntung digambarkan membuat suatu tawaran mengurangi beban
dengan orang lain, karena memang demikian minatnya menghindarkan

2.

ketidaksukaan.
Institusi dan Sub-Institusi dalam teori Homans
Sifat hipotesisnya mngenai seseorang dan orang lain (person and other)
serta bagaimana mereka berhubungan satu sama lainnya sangat
diperhitungkan dalam teori pertukaran, terutama dalam bahasan tahap
kehidupan intitusional dan sub-institusional.
Homans mengemukakan bahwa institusi memiliki prinsip jaringan
pertukaran kompleks. Kompleksivitas tersebut berkaitan dengan
spesialisasi aktivitas dan relasi-relasi pertukaran tak langsung. Sebagai
hasilnya ialah kemanfaatan yang dilakukan akan tergantung pada
beberapa orang. Tatanan institusional membuat mapannya pertukaran
yang kompleks di antara banyak orang dalam dikaitkannya dengan
partisipasi mereka dalam pembagian tugas atau kerja.
Dasar aktivitas institusi harus memenuhi beberapa “kebutuhan” atau
keinginan yang biasa atau umum bagi semuanya (Homan,1974: 381).
Kebutuhan fundamental dari hakikat manusia dikategorikan Homans
sebagai “Primary Reward” yang tidak dapat diperhitungkan bagi
pertumbuhan institusi itu sendiri karena tidak semua orang melakukan
respon terhadap kecenderungan yang fundamental tersebut. Selain
reward utama, orang kadang kala mengajukan reward kedua yang lebih

memaksa dari pada reward utama, karena reward pertama itu sendiri
3.

belum mampu memuaskan.
Kesepaktan Kolektif Terhadap Norma-Norma Institusional
Contoh yang menggambarkan pendekatan Homans tentang institusi
adalah

ungkapan

kesedihan

atau

dukacita

(expressing)

(Homans,1974:381). Rasa sedih bisa hanya berupa kehendak untuk
melebihkan tindakan sesuai dengan norma-norma yang mengatur
ekspresi dukacita itu.
Institusi bisa menderita

karena

kompleksitas

pertukaran

yang

dilembagakan dan nilai-nilai yang diserahkan. Kompleksitas diartikan
suatu rangkaian pertukaran yang tidak mudah berubah. Keputusan untuk
mengubah perilaku dengan mengacu pada salah satu peranan terlembaga
dapat membawa tingkah serupa dalam relasi.
Pertukaran dan Psikologi Sosial Kelompok : Thibaut dan Kelley
Thibaut dan Kelley (The Social Psychology of Group, 1959) menjelaskan
relasi sebagai suatu perangkat hasil yang dapat diperkirakan atau perhatian
utamanya pada “dyad”, kelompok dua orang. Pertukaran dari kelompok dua
orang itu merupakan titik awal bagi pemahaman tentang kelompok yang lebih
besar.
Thibaut dan Kelley menggunakan ide tentang suatu matriks perilaku sebagai
alat analisisnya dalam menjelaskan ide pertukaran. Pada matrik ini, suatu ruang
dimensional ganda mengemukakan perilaku dua orang. Dengan melakukan
tabulasi silang kedua dimensi tersebut, maka beberapa sel terbentuk. Pada setiap
sel memungkinkan untuk membayangkan keinginan-keinginan berperilaku dari
setiap pasangan interaksi.
Diharapkan bahwa sel yang mewakili keinginan maksimal bagi kedua pelaku
itu adalah sesuatu yang diperkirakan dari setiap tipe perilaku. Diperkirakan ada
tipe relasi di manakedua orang itu terikat. Dalam memutuskan hasil keinginan
seseorang diperluakan ide-idenya senidri tentang reward dan biaya. Variable
determinan tersebut merupakan faktor “oxogenus dan endogenus”. Faktor
exogenous ialah faktor yang dibawa pada relasi oleh pelaku dalam bentuk nilai-

nilai, kebutuhan, keterampilan, atau kualitas lainnya. Faktor endogenus dari
reward dan beban ialah faktor yang hakiki terhadap relasi itu sendiri.
Kekuasaan dan Pertukaran Menurut Peter Blau
Peter Blau dalam bukunya Exchange and Power in Social dengan perhatian
akan menambahkan lebih banyak prinsip teori ekonomi pada pandangan
pertukaran sosial.
Konsentrasi karya Blau berkisar tentang struktur sosial yang tumbuh di luar
pertukaran dengan memperhitungkan tatanan, legitimasi, oposisi, dan kuasa.
Utnuk melakukan pendekatan struktur sosial yang tepat adalah dari pandangan
individualistic. Dengan penjelasan tersebut dapat berlangsung secara halus ke
atas, dari satuan analisis yang terkecil menuju yang terbesar, dengan tepat
memberikan sifat posisi pertukaran mengenai struktur nilai.
1) Pertukaran Tidak Seimbang dan Konsekuensinya
Ketidakseimbangan dalam suatu pertukaran dapat terjadi manakala ia
memberi reward lebih kepada yang lain, dan sebaliknya yang menerima
reward membalasnya. Pihak terkecil dalam pertukaran yang tidak seimbang
itu dapat memperoleh kompensasi dengan atau jenis penguatan umum yang
disebut oleh Homans social approval atau menurut Blau sebagai kerelaan
(compliance atau subordination).
2) Mikrostruktur dan Makrostruktur
Blau menunjukkan bahwa proses

relasi

tatap

muka

merupakan

microstructure. Adapun relasi adalah struktur dalam pengertian aturan-aturan
pemuas, control legitimasi, dan pembagian tugas. Mikro dalam interaksi ini
berada pada tahapan dari orang ke orang. Kemudian akan meluas dan jumlah
yang diakomodasikan akan bertambah sehingga jadi bermakna/ kolektivitas
yang lebih besar itu dengan sendirinya terbentuk oleh makrostruktur. Karena
itu pula anggapan Blau tentang keseluruhan organisasi sosial dalam suatu
masyarakat adalah salah satu kaitan internal antarmakrostruktur.
3) Nilai dan Struktur Sosial
Dalam studi pertukaran telah memperlihatkan bahwa reward bagi
kepentingannya sendiri akan mendorong seseorang bergabung dalam
kelompok-kelompok. Walaupun demikian, nilai-nilai yang berlawanan akan

ditolak. Lebih lanjut Blau membuat perincian sebagai berikut tentang
konsekuensi bagi solidaritas sosial:
a) Kebersamaan merupakan suatu tanda solidaritas bagi mereka
bersama.
b) Kebersamaan yang serupa yang menuju integrase dan kesepakatan
bagi kelompoknya akan menjadi suatu tanda ketidaksamaan bagi
kelompok-kelompok lain.
Dengan demikian, apabila berpegang pada nilai-nilai yang berbeda maka
antarkelompok akan dicirikan oleh ketidaksamaan satu sama lainnya, dan hal
itu dapat menuju kepada permusuhan dan perpecahan antarkelompok.

Daftar Pustaka
https://didanel.wordpress.com/2011/06/23/teori-strukural-fungsional-dalamfakta-sosial/
http://fandi-sos.blogspot.co.id/2011/12/teori-teori-sosial-dalam-sosiologi.html?
m=1
Haryanto,Sindung. 2016. Spekturm Teori Sosial. Jogjakarta: AR-Russ Media.
Wirawan. 2012. Teori-Teori Sosial dalam Tiga Paradigma. Jakarta: Penadamedia
Group.

8) posisi dalam Teori Interaksi Simbolik