MENJAGA LINGKUNGAN DALAM PANDANGAN TEOLO

MENJAGA LINGKUNGAN DALAM PANDANGAN TEOLOGI
PROFETIK KUNTOWIJOYO
Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat mengikuti LK II HMI
Cabang Metro

Disusun Oleh :
Mulkhan Andreza

HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM
Komisariat Fakultas Tarbiyah dan Keguruan
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
CABANG YOGYAKARTA
2016

1

KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta
pertolongan bagi umat-Nya. Shalawat serta salam tak lupa tercurah kepada
baginda Rasulullah SAW, yang membawa dan menyebarkan kebenaran yaitu
agama Islam. Berkat adanya agama Islam dan ajarannya tersebar ke daerah

nusantara, sehingga HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) terlahir sebagai
organisasi mahasiswa islam yang pertama dan tertua di Indonesia.
Dalam penyusunan makalah ini bertujuan untuk mengikuti Latihan Kader
II Cabang Metro, tidak sedikit hambatan yang penulis hadapi. Namun penulis
menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan makalah ini tidak lain karena,
dorongan, bantuan dan bimbingan teman-teman kanda,

yunda, adinda

seperjuangan aktivis HMI, sehingga setiap kendala yang penulis hadapi dapat
teratasi.
Makalah ini disusun agar pembaca dan penulis dapat memperluas serta
memperdalam wawasan mengenai nilai profetik dalam menjaga lingkungan
dengan judul “Menjaga Lingkungan dalam Pandangan Teologi Profetik
Kuntowijoyo”.
Penulis menyadari bahwa makalah ini tidak luput dari kesalahan dan
kekurangan serta jauh dari kata sempurna baik substansi maupun redaksional.
Untuk itu penulis meminta masukan, kritik dan saran yang membangun untuk
perbaikan makalah saya yang akan datang. Semoga makalah ini dapat
memberikan sumbangsih wawasan yang lebih luas dan menjadi kontribusi

pemikiran.

Yogyakarta, 24 Januari 2016

Penyusun

2

DAFTAR ISI
BAB I Pendahuluan ........................................................................................................... 4
A. Latar Belakang Masalah .......................................................................................... 4
B. Rumusan Masalah .................................................................................................... 6
C. Tujuan Penulisan ..................................................................................................... 7

BAB II Pembahasan ....................................................................................................... 8
1. Konsep Lingkungan Dalam Perspektif Umum dan al-Qur’an .............................. 8
2. Akibat dan Penyebab Rusaknya Lingkungan ...................................................... 12
3. Ilmu Sosial Profetik Sebagai Anti Tessa Teologi Transformatif .......................... 14
4. Pandangan Teologi Profetik Dalam Menjaga Lingkungan ................................... 19


BAB III Penutup ............................................................................................................. 22
A. Kesimpulan ........................................................................................................... 22
B. Saran ...................................................................................................................... 23
Daftar Pustaka ................................................................................................................. 24
Curriculum Vitae ............................................................................................................ 25

3

BAB I
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Terjadinya beragam bencana yang menimpa Indonesia dalam
bentuk banjir, longsor, kebakaran lahan, dan sebagainya itu menjadi suatu
peringatan yang luar biasa untuk dipikirkan bersama. Hadirnya bencana
tersebut tentu tidak serta-merta, akan tetapi merupakan proses panjang
penyesuaian alam atas perubahan yang dipelopori oleh tindakan manusia.
Perubahan yang terjadi akibat rusaknya lingkungan ataupun
ekosistem secara keseluruhan cenderung merupakan dampak dari
berubahnya sistem kehidupan manusia yang tidak ramah lingkungan.
Contohnya dalam kasus pembalakan hutan secara liar (illegal logging)

untuk mendapatkan sumber daya murah, proses daur ulang limbah
produksi yang tidak sesuai prosedur sehingga berdampak pada
pencemaran air, sampai hal remeh seperti aturan membuang sampah pada
tempatnya yang tidak dipatuhi.
Melihat kenyataan tersebut, manusia ternyata telah terjebak dalam
sebuah sistem yang rusak dan merusak lingkungan hidupnya. Manusia
hidup dalam sebuah ilusi panjang tentang kemakmuran yang sia-sia, atau
dalam pandangan teori kritis disebut sebagai sebuah kesadaran palsu. Oleh
beberapa ahli, dikatakan bahwa disinilah peran agama, atau ideology
alternative tentang lingkungan lainnya harus mampu menyadarkan
manusia tersebut.
Salah satu kitab suci yang banyak membahas tentang lingkungan
hidup adalah Al-qur’an. Kata al ardh (bumi) saja, setidaknya disebutkan
sebanyak 483 kali dalam kitab suci umat islam tersebut.1 Isu lingkungan
pun telah dibahas melalui berbagai macam perspektif. Terbaru adalah

1

Terdapat banyak kata yang digunakan al-Quran untuk merujuk pada lingkungan. al
Ardh hanyalah satu dari sekian banyaknya kata yang merujuk pada term tersebut. Antara lain al

ala i (71 kali), as Sa a (387 kali), al Biah (18 kali) dll. selengkapnya lihat, Mujiyono Abdillah,
Agama Ramah Lingkungan: Perspektif al-Qur a . (Jakarta: Paramadina, 2001), hlm. 41-49.

4

kajian tafsir tematik al-Qur’an terhadap ayat-ayat bencana yang dilakukan
oleh Quraish Shihab dalam Tafsir al Misbahnya.2
Dalam Al Qur’an, permasalahan lingkungan yang dihadapi oleh
manusia saat ini ketika ditarik jauh ke masa silam ternyata bertemu dengan
sejarah penciptaan ummat manusia (bani adam) itu sendiri. Dijelaskan
bahwa potensi tindakan merusak dalam diri manusia yang menjadi alasan
malaikat mengajukan interupsi ketika Allah mengutarakan kehendak-Nya;
menjadikan manusia sebagai pengelola alam raya ini (khalifah fil Ardh).
Melalui kebijaksanaan-Nya, Allah memberikan manusia petunjuk berupa
wahyu dan ketetapannya yang lain sebagai modal kepada manusia agar
mampu menjalankan tugas yang diemban kepadanya.
Seperti yang diketahui, al-Qur’an telah berusia lebih dari 14 abad
sejak diturunkannya. Ketetapan lain yang diturunkan Allah seperti hukum
alam (sunnatullah) pun telah berjalan sejak alam mini diciptakan. Islam
sebagai sebuah ajaran yang diyakini memberi kontribusi besar dalam

peradaban manusia telah masuk ke usianya yang lebih dari 14 abad pula.
Namun kenyataannya, alam tetap rusak, dan manusia bahkan yang
mengaku islam pun tetap merusak.
Padahal, dalam pandangan pemikir Atheis layaknya Nietzche pun
beranggapan bahwa agama memiliki power tersendiri dalam menentukan
nilai yang berlaku di tataran sosial.3 Sosiolog seperti Weber pun
beranggapan bahwa motivasi berdasarkan paham keagamaan adalah
penggerak paling besar dalam tindakan sosial manusia.4 Namun pada
kenyataannya, terutama mengenai lingkungan, mengapa kerusakan terus
menerus terjadi?.
Oleh kuntowijoyo, seorang pemikir multi-disiplin keilmuan
Indonesia, dikatakan bahwa problem terbesarnya berasal pada keyakinan
ummat beragama itu sendiri terhadap ajaran agamanya. Di kalangan
Ahmad Suhendra, Menelisik Ekologis dalam Al-Qur a , dalam Jurnal Esensia Vol. 14 no.
1. April 2013. Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga. Yogyakarta. Hlm. 7072.
3
Nietzche, Berhala Baru. Dalam Sabda Zarathustra (terj). (Yogyakarta:Pustaka Pelajar,
2014), hlm. 102-103.
4
Weber, Etika Protestan dan Spirit Kapitalisme (terj). (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

2010), hlm. 15.
2

5

terpelajar, bersebab seringnya berbentur dengan wacana pendidikan
sekuler ala barat, telah terjadi kesangsian akademis. Sedangkan ditataran
awam, terjadi disintegration paham keagamaan. Hal inilah yang
menurutnya menjadi sebab mandegnya transformasi nilai kedalam bentuk
tindakan nyata.5
Dalam konteks lingkungan hidup dan cara menjaganya, lemahnya
keimanan dan paham terhadap keimanan itu sendiri mendorong manusia
untuk

merusak lingkungannya. Manusia tanpa keimanan, dalam

pandangan kuntowijoyo, tidak lain tengah merendahkan kemanusiaannya
sendiri. Oleh sebab itu, kesadaran manusia terhadap keimanan harus
kembali dibentuk sehingga mampu mengentaskan problem yang
dialaminya.

Dari pemaparan diatas, penulis merasa tertarik untuk mengkaji
lebih jauh tentang term kerusakan lingkungan ini terutama dalam
pandangan

keislaman.

Dengan

sudut

pandang

yang

diberikan

Kuntowijoyo, dalam hal ini teologi profetik atau dalam istilah lain juga
disebut Ilmu Sosial Profetik, penulis ingin menginterpretasi tentang
ajaran-ajaran al-qur’an, terutama dalam pembahasan tentang lingkungan
itu sendiri. Penulis menghimpunnya dalam karya ilmiah dengan judul

Menjaga Lingkungan dalam Pandangan Teologi Profetik Kuntowijoyo.

B. Rumusan Masalah
Sebagai upaya menghindari interpretasi yang berbeda, maka
penulis merasa perlu untuk membatasi pokok permasalahan dalam
pembahasan penelitian ini. Adapun batasan dari penelitian ini berkisar
pada

Menjaga

Lingkungan

dalam

Pandangan

Teologi

Profetik


Kuntowijoyo yang terumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana konsep lingkungan dalam perspektif umum dan alQur’an?
2. Apa akibat dan sebab kerusakan lingkungan?

5

Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat. Edisi paripurna. (Yogyakarta; Tiara Wacana,
2006), hlm. 109.

6

3. Bagaimana pemikiran teologi profetik Kuntowijoyo?
4. Bagaimana kerusakan lingkungan dibahas dalam pandangan
Teologi Profetik?

C. Tujuan dan Manfaat
Berdasarkan rumusan masalah diatas, tujuan dari penulisan
makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui tentang lingkungan secara umum

2. Mengetahui tentang konsep lingkungan dalam al-Qur’an.
3. Mengetahui Akibat dan sebab rusaknya lingkungan
4. Mengetahui pemikiran teologi profetik Kuntowijoyo
5. Mengetahui tentang pandangan teologi profetik terhaadap
problem kerusakan lingkungan.
Setelah mengetahui tujuan dari penulisan makalah ini, penulis turut
mentargetkan manfaat yang akan dicapai, antara lain:
1. Memperdalam wawasan tentang kajian al-qur’an
2. Memperdalam wawasan tentang pemikiran teologi profetik
Kuntowijoyo.
3. Memahami

problem

kerusakan

lingkungan

dan

cara

mengentaskannya
4. Menjadi sumber rujukan alternative bagi kader HMI dalam
menambah wawasannya terkait permasalahan keislaman dan
keindonesiaan kontemporer.

7

BAB II
PEMBAHASAN

A. Konsep Lingkungan Perspektif Umum dan al-Qur’an
1. Lingkungan Perspektif Umum
Ekosistem berasal dari kata oikos dan system. Oikos berarti rumah
(kemudian diartikan dengan rumah tangga. Bandingkan dengan ilmu
ekonomi sebagai ilmu rumah tangga); sedangkan system (sistem) adalah
suatu kesatuan yang teratur dan terpadu antara keseluruhan bagianbagiannya.6
Ekosistem merupakan suatu sistem ekologis yang terbentuk oleh
hubungan timbal-balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya.
Menurut pengertian, suatu sistem terdiri dari atas komponen-komponen
yang bekerja secara teratur sebagai suatu kesatuan. Selama masing-masing
komponen itu melakukan fungsinya dan bekerja sama dengan baik,
keteraturan ekosistem itu pun terjaga.7
Ada dua bentuk ekosistem yang penting, yaitu ekosistem alamiah
(natural ecosystem) dan ekosistem buatan (artificial ecosystem) hasil kerja
manusia terhadap ekosistemnya. Di dalam ekosistem alamiah akan
terdapat heterogenitas (keanekaragaman) yang tinggi dari organisme hidup
di sana, sehingga mampu mempertahankan proses kehidupan di dalamnya
dengan sendirinya. Sedangkan ekosistem buatan akan mempunyai ciri
kurang sifat heterogenitasnya, hal ini menjadikan ekosistem buatan
bersifat labil dan untuk membuat ekosistem tersebut tetap stabil, perlu
diberikan bantuan energy dari luar yang juga harus diusahakan oleh
manusianya, agar membentuk suatu usaha maintenance atau perawatan
terhadap ekosistem yang dibuat itu.
Perlu diusahakannya untuk menjaga ekosistem agar menjadi stabil,
hal ini dimaksudkan demi kelangsungan hidup dan kesejahteraan manusia
6

Siahaan, N.H.T, Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan. (Jakarta: Erlangga,
2014), hlm. 16.
7
Otto Soemarwoto, Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan. (Jakarta: Djambatan,
1994), hlm. 23-24.

8

dari generasi ke generasi. Di samping itu perlu disadari pula, bahwa
manusia harus berfungsi sebagai subjek dari ekosistemnya, walaupun tidak
boleh mengabaikan arti pentingnya menjadi kestabilan ekosistemnya
sendiri. Perubahan-perubahan yang terjadi di dalam daerah lingkungan
hidupnya akan mempengaruhi eksistensi manusianya, karena manusia
akan banyak sekali bergantung pada ekosistemnya.
Telah disebutkan bahwa yang dimaksud dengan ekosistem adalah
hubungan

timbal

balik

antara

makhluk-makhluk

hidup

dengan

lingkungannya dalam satu kesatuan yang tersusun secara teratur. Bagian
ilmu pengetahuan yang mempelajari hubungan timbal balik demikian
disebut dengan ekologi. Jadi yang dimaksud dengan ilmu ekologi, adalah
ilmu pengetahuan yang mempelajari hubungan timbal balik antara
makhluk hidup dengan lingkungannya. Ekologi berasal dari kata oikos
(lihat pengertiannya diatas) dan logos (ilmu pengetahuan).8
Haeckle memberikan definisi yang cukup komprehensip terkait
ekologi, yakni sebagai suatu keseluruhan pengetahuan yang berkaitan
dengan hubungan-hubungan total antara organisme dengan lingkungannya
yang

bersifat

organik

maupun

anorganik.9

Bahkan

Mujiyono

mendefinisikan ekologi sebagai suatu ilmu yang mempelajari tentang
beberapa hal, yaitu: (1) seluk beluk organisme atau makhluk hidup di
habitatnya, (2) proses dan pelaksanaan fungsi makhluk hidup dan
habitatnya, dan (3) hubungan antar komponen secara keseluruhan.
Setelah melihat paparan dan uraian dari para tokoh di atas, ekologi
secara sederhana dapat dikatakan studi tentang ekosistem, studi tentang
keadaan lingkungan hidup atau studi tentang hubungan makhluk hidup
dengan lingkungannya. Terdapat tiga kata kunci untuk merumuskan
ekologi, yakni hubungan timbal-balik, hubungan antara sesama organisme
dan hubungan organisme dengan lingkungannya.

8

Siahaan, N.H.T, Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan. (Jakarta: Erlangga,
2014), hlm. 16.
9
S.J. Menaughton & Larry. L, Ekologi Umum, (terj). (Yogyakarta: Universitas Gadjah
Mada Press, 1992), hlm. 1.

9

Hal lain yang berkaitan dengan ekologi adalah istilah lingkungan.
Lingkungan berarti semua faktor eksternal yang bersifat biologis dan fisika
yang langsung mempengaruhi kehidupan, pertumbuhan, perkembangan
dan reproduksi organisme. Menurut Otto Soemarwoto, lingkungan hidup
merupakan ruang yang ditempati manusia bersama tumbuhan, hewan dan
jasad renik. Selain makhluk hidup, dalam ruang itu terdapat juga benda tak
hidup, seperti misalnya udara yang terdiri atas bermacam gas, air dalam
bentuk uap, cair, dan padat, tanah dan batu.10
Jadi, lingkungan adalah suatu wadah bagi makhluk hidup, baik
berbentuk benda, kondisi atau keadaan, yang menjadi tempat makhluk
hidup berproses dan berinteraksi. Di samping itu, lingkungan merupakan
objek ekologi dan bagian dari ekosistem. Dengan demikian, ekologi,
ekosistem, dan lingkungan hidup merupakan satu kesatuan yang tidak
dapat terpisahkan.
2. Lingkungan Perspektif al-Qur’an
Konsep lingkungan sendiri dalam al-Qur’an terdapat banyak
terminlogy. Dipenulisan ini hanya beberapa term saja yang akan dituliskan
yang dapat mewakili terkait ekologi dan lingkungan perspektif al-Qur’an.
1. Kata al-‘alamin disebutkan dalam al-Qur’an 71 kali baik dalam
berbagai bentuk kata (frasa, gabungan kata) dalam hal ini
terdapat dua makna kata al-‘alamin, ada yang bermakna alam
secara keseluruhan dan hanya ditujukan kepada manusia.
Adapun jumlah kata yang berkonotasi alam secara keseluruhan
sebanyak 46 kata,11 sedangkan yang berkonotasi manusia
diulang dalam al-Qur’an sebanyak 25 kali.12
2. Kata al-sama yang digunakan untuk memperkenalkan jagad
raya. Kata ini dan derivasinya digunakan dalam al-Qur’an
10

Otto Soemarwoto, Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan. (Jakarta:
Djambatan, 1994), hlm. 51-52.
11
Ayat yang bermakna kata al- ala i ini yang berkonotasi alam antara lain dalam QS.
al-Fatihah: 1, QS. al-Baqarah: 131, dan sebagainya. Lihat, Mujiyono Abdillah, Agama Ramah
Lingkungan Perspektif al-Qur a . (Jakarta: Paramadina, 1999), hlm. 41.
12
Ayat yang bermakna kata al- alaminini yang berkonotasi manusia antara lain dalam
QS. al-Baqarah: 122, QS. al-Maidah: 28, dan sebagainya. Lihat, Mujiyono Abdillah, Agama Ramah
Lingkungan Perspektif al-Qur a . (Jakarta: Paramadina, 1999), hlm. 33.

10

sebanyak 387 kali. Dari sekian kata itu, Mujiyono melakukan
klasifikasi makna yang dibaginya dalam makna jagad raya,
ruang udara, dan ruang angkasa.13
3. Kata al-ardh (bumi) yang digunakan dalam al-Qur’an sebanyak
483 atau 461 kali.14
4. Kata al-biah yang digunakan untuk memperkenalkan istilah
lingkungan sebagai ruang kehidupan. Secara kuantitatif, kata
ini terdapat sebanyak 18 kali.15
5. Allah SWT berkali-bekali mengancam manusia merusak alam
dalam QS. al-Baqarah: 60, QS. al-A’raf: 56, dan sebagainya.
Tindakan merusak alam merupakan bentuk kezaliman dan
kebodohan manusia. Semua perbuatan manusia yang dapat
merugikan kehidupan manusia merupakan perbuatan dosa dan
kemungkaran. Maka, setiap manusia yang melihat tindakan
tersebut, maka wajib menghentikannya melalui segala cara
yang mungkin dan dibenarkan.
Tindakan moral-etik tidak hanya berkaitan

dengan relasi

antarmanusia, tetapi juga dengan alam. Maka hak manusia untuk
memanfaatkan

alam

tidak

berarti

membolehkannya

mengganggu,

merusak, dan bahkan menghacurkan keseimbangan ekologinya yang
memang sudah ditetapkan-Nya dalam pola yang demikian indah dan
harmonis. Pemanfaatan alam menurut Islam sama sekali tidak boleh
mengabaikan eksistensi hewan dan tanaman-tanaman.16

13

Ayat yang bermakna kata al-sama ini antara lain dalam QS. al-Baqarah: 22, QS. alNahl: 79 dan sebagainya. Lihat, Mujiyono Abdillah, Agama Ramah Lingkungan Perspektif alQur a . (Jakarta: Paramadina, 1999), hlm 42-43.
14
Ayat yang bermakna kata al-ardh ini antara lain dalam QS. al-Baqarah: 164, QS. alMaidah: 21 dan sebagainya. Lihat, Mujiyono Abdillah, Agama Ramah Lingkungan Perspektif alQur a . (Jakarta: Paramadina, 1999), hlm 44-46.
15
Ayat yang bermakna kata al-biah ini antara lain dalam QS. al-Baqarah: 61, QS. Ali
‘I ran: 162 dan sebagainya. Lihat, Mujiyono Abdillah, Agama Ramah Lingkungan Perspektif alQur a . (Jakarta: Paramadina, 1999), hlm 42-43
16
Husei Muha
ad, Ma usia da Tugas Kos ik ya Me urut Isla
dala
Fachruddin M. Mangunjaya, dkk, Menanam Sebelum Kiamat: Islam, Ekologi, dan Gerakan
Lingkungan Hidup. (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007), hlm. 6.

11

B. Akibat dan Penyebab Rusaknya Lingkungan
Banyak terjadi bencana yang menimpa seluruh alam dalam bentuk
banjir, longsor, kebakaran hutan dan itu menjadi suatu peringatan yang
luar biasa untuk dipikirkan bersama. Yang terjadi dibalik itu semua
bencana tidak datang begitu saja, tetapi itu merupakan kerusakan yang
dibuat oleh manusia sendiri.
Bencana (disaster ) secara etimologis berasal dari bahasa yunani
kuno, yaitu ‘dus’ yang berarti buruk, dan ‘aster’ berarti bintang. Istilah ini
mengacu kepada fenomena astronomi yang berkonotasi pada sesuatu yang
buruk. Kemunculan bintang-bintang tertentu di cakrawala di yakini
sebagai pertanda akan terjadinya sesuatu yang buruk bagi kehidupan
manusia. Keseluruhan peristiwa alami yang sifatnya destruktif, misalnya
gempa, badai salju, banjir, dan kekeringan, seringkali diterima begitu saja
sebagai bencana (disaster ).17
Kerusakan yang terjadi saat ini juga sudah semakin beragam, mulai
dari kerusakan ekosistem air yang disebabkan oleh berbagai macam
pencemaran, kerusakan ekosistem hutan yang disebabkan oleh banyaknya
pembalakan liar (ilegal logging), dan pembakaran hutan. Rusaknya
keseimbangan

ekosistem

kemudian

berdampak

pada

rusaknya

keseimbangan ekosistem itu sendiri. Akibat perbuatan eksploitasi
lingkungan hidup hingga menimbulkan kerusakan lingkungan (alam) yang
asri dan ramah, kini berubah menjadi sumber bencana ketika sudah tidak
sanggup lagi mengemban fungsinya.
Kurangnya kesadaran dan pemahaman seseorang tentang masalah
lingkungan hidup menjadi penyebab pokok juga dalam kerusakan
lingkungan, selain banyak faktor utama yang mengakibatkan kerusakan
tersebut. Hal itu ditambah lagi dengan lemahnya penegakan hukum bagi
orang-orang yang merusak lingkungan tersebut. Manusia saat ini
tindakannya

semakin

tidak

selaras

dengan

alam,

dengan

sifat

keserakahannya mereka menguras sumber daya alam dengan seenaknya

17

Agus Indiyanto dan Arqom Kuswanjono, Agama, Budaya, dan Bencana: Kajian Integratif Ilmu
Agama dan Budaya. (Yogyakarta: Mizan & ICRS, 2012), hlm. 7.

12

tanpa mempedulikan lingkungan disekitar mereka. Padahal dalam alQur’an sudah dijelaskan untuk tidak melakukan kerusakan di muka bumi
dan manusia dijadikan sebagai khalifah di muka bumi untuk menjaganya.
Dan didalam al-Qur’an sudah diberikan batas-batas tertentu terhadap nilainilai ekologis untuk tetap menjaga bumi tersebut.
Kerusakan lingkungan hidup justru dianggap membahayakan
manusia secara global, karena mempengaruhi semua aspek kehidupan
manusia, mulai dari perlindungan terhadap hutan alam yang merupakan
paru-paru dunia, terjadinya polusi air yang mengakibatkan banyak
manusia tidak dapat lagi menikmati dan memanfaatkan aliran sungai
akibat limbah industri, polusi air laut yang mengakibatkan rusaknya
kehidupan kelautan, dan seterusnya, semua itu berakibat pada kehidupan
dan kesehatan manusia. Masalah ini memerlukan kesadaran semua umat
manusia untuk mengembalikan dunia pada ekosistem ekologi yang normal
berdasarkan hukum alam.18 Dengan dimasukkannya aspek perilaku
manusia sebagai salah satu penyebab bencana, maka cakupan definisi
bencana menjadi semakin kompleks. Bencana mencakup hal, bencana
alam, hingga kesehatan global dan kemiskinan yang keseluruhannya
merupakan akibat perbuatan manusia.19
Bencana dalam al-Qur’an memiliki makna yang beragam, tidak
hanya mengandung makna kehilangan harta benda, tetapi juga terkait
dengan masalah moralitas dan spritualitas seseorang maupun masyarakat
tertentu. Alam raya ini diciptakan Allah dengan sistem yang sangat serasi
dan sesuai dengan kehidupan manusia. Akan tetapi, justru manusia yang
melakukan kerusakan dengan kegiatan buruk yang merusak keseimbangan
tersebut. Dengan demikian, terjadi kepicangan dan ketidakseimbangan
pada sistem alam.20 Al-Qur’an selalu menegaskan akan perlunya
keselarasan karena alam ini diciptakan secara teratur.
18

Nadjamuddin Ramly, Islam Ramah lingkungan: Konsep dan strategi dalam Pengelolaan,
Pemeliharaan, dan Penyelamatan Lingkungan. (Jakarta: Grasindo, 2007), hlm. 13-14.
19
Agus Indiyanto dan Arqom Kuswanjono, Agama, Budaya, dan Bencana: Kajian Integratif Ilmu
Agama dan Budaya. (Yogyakarta: Mizan & ICRS, 2012), hlm. 8.
20
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan, dan keserasian al-Qur a . (Jakarta: Lentera
Hati, 2003), hlm. 76.

13

Bencana dapat terjadi dari krisis ekologis yang merupakan dampak
dari pengerukan kekayaan alam yang terlalu mengikuti nafsu duniawi
manusia itu sendiri, sehingga bencana tidak dapat dihindari. Kerusakan
alam sangat bertolak belakang dengan ajaran Islam, dan islam memiliki
peran besar dalam menjaga dan mencegah krisis ekologis tersebut.
Kerusakan alam yang disebabkan tingkah laku manusia tidak
hanya apa yang diutarakan dalam al-Qur’an dan hadis. Menurut Lynn
White Jr, krisis lingkungan yang tengah terjadi sekarang ini adalah akibat
kesalahan

manusia

menanggapi

persoalan

ekologisnya.21

Dengan

demikian, kerusakan alam, krisis ekologis, dan berbagai bencana secara
langsung dan secara spontan disebabkan oleh perbuatan manusia itu
sendiri.

C. Ilmu Sosial Profetik Sebagai Anti Tessa Teologi Transformatif
1. Teologi Transformatif
Kata teologi berasal dari bahasa Yunani yaitu theologia yang
terdiri dari dua kata yaitu theos yang berarti Tuhan, dan logos yang berarti
wacana atau ilmu. Dengan demikian, maka teologi berarti ilmu atau
pengetahuan tentang Tuhan. Selain itu, teologi juga dapat didefinisikan
sebagai sebuah doktrin, keyakinan, serta pemikiran dari kelompokkelompok keagamaan tertentu maupun seseorang tentang Tuhan. Adapun
teologi yang penulis maksudkan di sini bukanlah teologi dalam pengertian
kajian tentang Tuhan, melainkan teologi dalam arti sebuah kontruksi
pemikiran seseorang secara sistematis, yang dalam hal ini adalah
pemikiran M. Quraish Shihab.22
Sampai sejauh ini, perdebatan tentang teologi di kalangan Islam
masih berkisar pada tingkat semantik. Mereka yang berlatar belakang
tradisi ilmu keislaman konvensional mengartikan teologi sebagai ilmu
kalam, yaitu suatu disiplin yang mempelajari ilmu ketuhanan, bersifat

abstrak, normatif, dan skolastik. Sementara itu bagi mereka yang terlatih
21

Fachruddin M. Mangunjaya, Konservasi Alam Dalam Islam. (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
2005), hlm. 7.
22
Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996), hlm. 1090.

14

dalam tradisi Barat, katakanlah dari cendekiawan Muslim yang tidak
mempelajari Islam dari studi-studi formal, lebih melihat teologi sebagai
penafsiran terhadap realitas dalam perspektif ketuhanan, jadi lebih
merupakan refleksi-refleksi empiris.
Gagasan-gagasan teologi yang bersifat empiris lahir dari dialektika,
bersentuhannya keilmuan-ilmuan islam dengan ilmu-ilmu barat yang
bercorak social-science. Semua itu terjadi karena banyaknya pelajar
muslim yang belajar ke barat dikarnakan terjadi kejumudan dan taklid buta
akan pemahaman-pemahaman dan penafsiran islam yang sempit dalam
memaknai realitas empiris.
Semua itu bisa dilhat dari gagasan yang semula dilontarkan oleh
Moeslim Abdurrahman yang menyiratkan serangkaian kritik tajam
terhadap teologi-teologi tradisional yang dianggap sudah tidak relevan
sehingga perlu ditransformasi. Tentu saja ini mengundang reaksi dari
berbagai pihak, yakni suatu reaksi yang kemudian menimbulkan
perdebatan dan salah paham.
Sebagian besar mengartikan konsep teologi sebagai suatu cabang
dari khazanah ilmu pengetahuan keislaman yang membahas doktrin
tentang ketuhanan, tentang tawhid. Itu sebabnya mereka menganggap
gagasan

mengenai

pembaruan

teologi

sebagai

gagasan

yang

membingungkan dan aneh karena hal itu akan berarti mengubah doktrin
sentral Islam mengenai keesaan Tuhan. Mereka menganggap masalah
teologis di dalam Islam sudah selesai dan oleh karenanya tak perlu diutakatik apalagi dirombak.
Di sinilah, titik tolak kesalahpahaman terjadi. Para penganjur
pembaruan teologi jelas tidak bermaksud seperti itu. Berangkat dari tradisi
pemikiran Barat, mereka mengartikan pembaruan teologi sebagai usaha
untuk melakukan reorientasi pemahaman keagamaan, baik secara
individual maupun kolektif untuk menyikapi kenyataan-kenyataan yang
empiris menurut perspektif ketuhanan. Apa yang mereka tawarkan bukan
rekomendasi untuk mengubah doktrin, tapi mengubah interpretasi
terhadapnya. Jadi, tidak seperti yang dituduhkan oleh kalalangan tadi,
15

mereka hanya menginginkan agar ajaran agama diberi tafsir baru dalam
rangka memahami realitas.
Semangat dari gagasan Teologi Transformatif yang dikemukan
Moeslim Abdurrahman akan lebih tepat misalnya jika diterjemahkan
dengan istilah Ilmu Sosial Transformatif. Dengan mengganti istilah
“teologi” ke “ilmu sosial”, kita ingin menjelaskan sifat dan maksud
gagasan tersebut. Jika gagasan pembaruan teologi adalah agar agama
diberi tafsir baru dalam rangka memahami realitas, maka metode yang
efektif untuk maksud tersebut adalah mengelaborasi ajaran-ajaran agama
ke dalam bentuk suatu teori sosial. Jelas bahwa lingkup yang menjadi
sasaran gagasan tersebut adalah lebih pada rekayasa untuk transformasi
sosial. Oleh karena itu, lingkupnya bukan pada aspek-aspek normatif yang
bersifat empiris, historis, dan temporal.
Menrut kuntowijoyo kata tauhid atau teologi dalam islam memang
sangat sakral, sehingga ketika ada interpretasi terhadap teologi islam di
takutkan merubah hal-hal yang sifatnya transenden dan perdebatannya
sangatlah panjang dan tidak mencapai titik temu. Satu pihak melihat
dengan kacamata transenden dalam melihat yang profan dan pihak yang
lain berbicara sebaliknya. Maka dari itu untuk menghindari kekacauan
interpretasi terhadap tauhid, kuntowijoyo menawarkan Ilmu Sosial
Profetik

sebagai

antitesa

dari

teologi

transformatifnya

Moeslim

abdurrahman.
2. Ilmu Sosial Profetik Kuntowijoyo
Dalam Ilmu Sosial Profetik pemikiran kuntowijoyo, Ilmu Sosial
Profetik tidak sekedar mengubah demi perubahan, tapi mengubah
berdasarkan cita-cita etik dan profetik tertentu. Dalam pengertian ini maka
Ilmu Sosial Profetik ini maka Ilmu Sosial Profetik secara sengaja memuat
kandungan nilai dari cita-cita perubahan yang diidamkan masyarakatnya.
Bagi kita itu berarti perubahan yang didasarkan pada cita-cita
humanisasi/emansipasi, liberasi, dan transendensi, suatu cita-cita profetik
yang diderivasikan dari misi historis Islam sebagaimana terkandung dalam
ayat 110, Surah Ali ‘Imran: Engkau adalah umat terbaik yang diturunkan
16

di tengah manusia untuk menegakkan kebaikan, mencegah kemungkaran

(kejahatan), dan beriman kepada Allah. Tiga muatan nilai inilah yang
mengkarakterisasikan ilmu sosil profetik. Dengan kandungan nilai-nilai
humanisasi, liberasi, dan transendensi, ilmu sosial profetik diarahkan
untuk rekayasa masyarakat menuju cita-cita sosio-etiknya pada masa
depan.23
Jadi pilar dari ilmu sosial profetik itu ada tiga, yaitu amar ma’ruf
(humanisasi),

nahi

(liberasi),

munkar

dan

tu’minuna

billah

(transendensi).24 Dari tiga pilar tersebut memiliki tujuan sebagai berikut:
a. Humanisasi
Tujuan pertama humanisasi adalah memanusiakan manusia,
menghilangkan “kebendaan”, ketergantungan, kekerasan dan kebenciaan
dari manusia. Kita tahu bahwa kita sekarang mengalami proses
dehumanisasi karena masyarakat industrial kita menjadikan kita sebagai
bagian dari masyarakat abstrak tanpa wajah kemanusiaan. Kita mengalami
objektivasi ketika berada di tengah-tengah mesin-mesin politik dan mesinmesin pasar. Ilmu dan teknologi juga telah membantu kecendrungan
reduksionistik yang melihat manusia dengan cara parsial.
Akar dari humanisasi adalah humanisme-teosentris yang berakar
dari tauhid islam yang selalu bersinergi dengan hubungan manusia dengan
Tuhan (hablum minallah), hubungan manusia dengan manusia (hablum
minannas) dan hubungan manusia dengan alam (hablum minal alam).
Konsep humanisasi disini mencoba untuk mengangkat harkat martabat
manusia sendiri yang cendrung mementingkan aspek kebendaan
(matrealisme) yang menyebabkan kerusakan dialam raya dengan mengajak
kembali untuk

memusatkan diri pada Tuhan (transenden) dalam

mengemban amanahnya sebagai pemelihara penjaga bumi (khalifatullah
filard).

23

Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi. (Bandung: Mizan Pustaka, 2008), hlm.
478-483
24
Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Mesjid. (Bandung: Mizan, 2001), hlm. 365.

17

b. Liberasi
Tujuan ke dua liberasi adalah pembebasan bangsa dari kekejaman
kemiskinan, keangkuhan teknologi, dan pemerasan kelimpahan. Dalam
ilmu sosial profetik librasi bukanlah ideologi melainkan ilmu yang
didasari oleh nilai-nilai luhur yang transendental. Jika nilai-nilai liberatif
dalam teolgi pembebasan dipahami dalam konteks ajaran teologis, maka
nilai-nilai liberatif dalam Ilmu Sosial Profetik dipahami dan didudukkan
dalam konteks ilmu sosial yang memiliki tanggung jawab profetik untuk
membebaskan

manusia

dari

kekejaman

kemiskinan,

pemerasan

kelimpahan, dominasi struktur yang menindas dan hegemoni kesadaran
palsu. Jadi ilmu sosial profetik mencari sandaran semangat liberatif pada
nilai-nilai profetik tansendental dari agama yang telah ditransformasikan
dalam ilmu dan amalan kehidupan masyarakat.
Kuntowijoyo menggariskan empat sasaran liberasi yaitu, sistem
pengetahuan, sistem sosial, sistem ekonomi, sistem politik yang
membelenggu manusia sehingga tidak dapat mengaktualisasikan dirinya
sebagai makhluk yang merdeka dan mulia.
Kita menyatu rasa dengan mereka yang miskin, mereka yang
terperangkap dalam kesadaran teknokratis dan mereka yang tergusur oleh
kekuatan ekonomi raksasa. Kita ingin bersama-sama membebaskan diri
dari belenggu-belenggu yang kita bangun sendiri.
c. Transendensi
Yang ketiga tujuan transendensi adalah menambahkan dimensi
transendental (keimanan) dalam kebudayaan. Transendensi hendak
menjadikan nilai-nilai transendental sebagai proses penting dalam
membangun suatu kebudayaan. Transendensi menempatkan nilai-nilai
agama pada kedudukan yang sangat urgen dalam Ilmu Sosial Profetik.
Transendensi mengarahkan rasio kepada nilai guna kemanusiaan yang
membangun peradaban yang maju tanpa mengikis aspek ketuhanan yang
menjadi landasan dalam berprilaku agama. Akhirnya rasio akan
menciptakan suatu kesadaran yang membebaskan dan mempunyai nilai
guna bagi peradaban dan lingkungan hidup.
18

Transendensi adalah dasar dari humanisasi dan liberasi yang
mengarahkan kemana tujuan humanisasi dan liberasi itu dilakukan.
Transendensi dalam hal ini berfungsi sebagai dasar nilai praksis dan
autokritik terhadap arah untuk mengabdi dalam perkembangan peradaban
manusia. Melalui kritik tersebut masyarakat akan dibebaskan dari
kesadaran materilialistik yang membelenggu sistem ekonomi, sistem
politik, dan sosial masyarakat menuju masyarakat berperadaban maju.
Transendensi adalah akar dari humanisasi dan liberasi yang
mengikis aspek hedonisme, materialisme, dan kapitaliseme ekonomibudaya yang dekaden. Kita percaya bahwa sesuatu harus dilakukan, yaitu
membersihkan diri dengan mengingatkan kembali dimensi transendental
yang menjadi bagian sah dari fitrah kemanusiaan. Kita ingin merasakan
kembali dunia ini sebagai rahmat Tuhan. Kita ingin hidup kembali dalam
suasana yang lepas dari ruang dan waktu, ketika kita bersentuhan dengan
kebesaran Tuhan.25

D. Pandangan Teologi Profetik dalam Menjaga Lingkungan
Dari pemikiran Kuntowijoyo yang diuraikan diatas bisa kita
aplikasikan untuk menjaga lingkungan sekitar kita. Dalam gagasan teologi
yang di transformasikan oleh Kuntowijoyo menjadi Ilmu Sosial Profetik
memiliki tiga pilar yaitu humanisasi, liberasi, dan transendensi.
Liberalisme lebih mementingkan yang pertama, Marxisme yang kedua,
dan kebanyakan agama yang ketiga. Ilmu Sosial Profetik mencoba untuk
menggabungkan ketiganya, yang satu tidak terpisah dari yang lain.
Ilmu Sosial Profetik tidak sekedar mengubah demi perubahan, tapi
mengubah berdasarkan cita-cita etik dan profetik tertentu. Dalam
kandungan nilai dari yang dicita-citakan ialah yang diidamkan didalam
masyarakat, lalu diarahkan untuk rekayasa masyarakat menuju cita-cita
sosio-etiknya pada masa depan. Implementasi tiga pilar Ilmu Sosial
Profetik Kuntowijoyo terdapat bagaimana caranya menjaga lingkungan

25

Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi. (Bandung: Mizan Pustaka, 2008), hlm.
483-484.

19

kita. Yang kita tarik dari misi historis Islam sebagaimana terkandung
dalam QS. Ali-Imran: 110: Engkau adalah umat terbaik yang diturunkan
di tengah manusia untuk menegakkan kebaikan, mencegah kemungkaran

(kejahatan), dan beriman kepada Allah.
Dari penafsiran saya manusia ialah makluk yang sempurna dan
memiliki kebebasan dalam berpikir maupun bertindak. Disini manusia
perlu untuk disadarkan kembali akan amanah yang mereka pikul untuk
menjaga bumi ini dari kerusakan dan menjaganya. Dalam menegakkan
kebaikan maka manusia perlu untuk menimbulkan fitrahnya sebagai
seorang manusia yaitu menimbulkan rasa kepekaan terhadap kebenaran
dan mencegah hal-hal yang sangat merugikan lingkungan disekitarnya.
dalam tiga pilar Ilmu Sosial Profetik akan dijelaskan bagaimana pilar ini
menyadarkan manusia dari belenggu-belenggu materialistik dan menjaga
lingkungan di muka bumi ini.
Pilar pertama yaitu humanisasi, kita dapat mengakat martabat
manusia dengan cara memanusiakan manusia. Memanusiakan manusia
yang dimaksud ialah mendidik manusia supaya untuk bisa memerankan
perannya sebagai manusia, yaitu sebagai khalifah dimuka bumi untuk
memikul amanah menjaga dan menyempurnakan bumi sesuai dengan
pola-pola yang telah ditetapkan Tuhan dalam kitab sucinya.
Lalu pilar kedua yaitu liberasi, yaitu membebaskan. Terbebas dari
kekejaman

kemiskinan,

keangkuhan

teknologi,

dan

pemerasan

kelimpahan.
(*)Hal pertama yang dari tujuan liberasi itu ialah terbebas dari
kemiskinan, karena dengan kemiskinan manusia bisa berbuat apa saja
demi memenuhi kebutuhannya. Seperti masyarakat yang membakar hutan
tanpa memikirkan akibat dengan lingkungan sekitarnya demi selembaran
rupiah.
(*)Yang kedua yaitu terbebas dari keangkuhan teknologi, karena
pengaruh dari teknologi itu dalam kehidupan dan lingkungan sangat besar.

20

Berdasarkan ilmu sosial profetik mempunyai prioritas tersendiri untuk hal
ini, yaitu memecahkan persoalan untuk menghadapi masyarakat industri.26
Kita harusnya tidak semena-mena dalam kemudahan teknologi,
karena dari kemudahan teknologi tersebut membawa banyak kerusakan
dalam lingkungan seperti pembuangan limbah pabrik yang berlebihan dan
kemudian merusak dan mencemari lingkungan disekitarnya. pembuangan
limbah pabrik bisa diatasi dengan mengelola limbah tersebut sehingga
pencemaran lingkungan bisa diatasi dengan baik.
(*)Yang ketiga yaitu pemerasan kelimpahan, yang dimaksud
pemerasan kelimpahan ialah mengekpoloitasi sumber daya alam dengan
cara yang berlebihan tanpa memikirkan akibat terhadap lingkungan
sekitarnya. Seperti pengerukan minyak dilaut secara berlebihan sehingga
terjadinya penggeseran lempeng didasar laut dan mengakibatkan tsunami
yang memakan korban jiwa. Dan juga penebangan hutan yang secara
berlebihan dan tidak melakukan reboisasi sehingga terjadinya longsor dan
banjir yang mengakibatkan kerugian yang besar bagi manusia dan
lingkunganya.
Lalu pilar ketiga dalam Ilmu Sosial Profetik yaitu transendensi,
beriman kepada Tuhan dan kembali kepada nilai-nilai keimanan dan
kebenaran. Dan menambahkan dimensi transendental dalam kebudayaan.
Kita harus membersihkan diri dengan meningkatkan dimensi transendental
yang menjadi bagian dari fitrah kemanusiaan. Manusia yang memiliki
nilai-nilai keimanan dan kebenaran akan menjaga lingkungan disekitarnya,
karena transendensi ialah akar dari humanisasi dan liberasi yang
mengarahkan kemana tujuan humanisasi dan liberasi itu dilakukan.
Melalui transendensi tersebut masyarakat akan dibebaskan dari
kesadaran materilialistik yang membelenggu sistem ekonomi, sistem
politik, dan sosial masyarakat menuju masyarakat berperadaban maju.
Sehingga lingkungan dapat terjaga kelestariannya dan dari generasigenerasi umat manusia dapat menikmati keindahan kelestarian lingkungan
yang Tuhan ciptakan.
26

Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Mesjid. (Bandung: Mizan, 2001), hlm. 366.

21

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan.
Permasalahan

lingkungan

hidup

pada

hakikatnya

adalah

permasalahan ekologi. Terdapat tiga kata kunci untuk merumuskan
ekologi, yakni hubungan timbal-balik, hubungan antara sesama organisme
dan hubungan organisme dengan lingkungannya. Alam raya ini diciptakan
Allah dengan sistem yang sangat serasi dan sesuai dengan kehidupan
manusia. Akan tetapi, justru manusia yang melakukan kerusakan dengan
kegiatan buruk yang merusak keseimbangan tersebut. Dengan demikian,
banyaknua bencana alam yang terjadi tidak hanya menjadi sebuah takdir
Ilahi semata, tetapi hal itu lebih banyak disebabkan hukum keseimbangan
alam yang tidak terjaga.
Kehidupan alam dalam pandangan Islam berjalan di atas prinsip
keselarasan dan keseimbangan. Konsep lingkungan yang diperkenalkan
oleh al-Qur’an dengan beragam bentuk dan model kata. Yaitu kata al‘alamin, al-sama , al-ardh, dan al-biah. Dengan beberapa ayat-ayat yang
menerangkang masalah ekologi, Islam seraya menegaskan hubungan
integral antara keimanan dan lingkungan.
Tindakan moral-etik tidak hanya berkaitan

dengan relasi

antarmanusia, tetapi juga dengan alam. Maka hak manusia untuk
memanfaatkan alam tidak berarti juga dengan alam. Maka hak manusia
untuk memanfaatkan alam, tidak berarti membolehkannya mengganggu,
merusak, dan bahkan menghancurkan keseimbangan ekologisnya ynag
memang sudah ditetapkan-Nya. Karena persoalan lingkungan hidup bukan
sekedar masalah sampah, pencemaran, atau pelestarian alam dan
sejenisnya, melainkan sebagai bagian dari suatu pandangan hidup itu
sendiri.
Teologi profetik merupakan teologi transformatif yang membawa
nilai ajaran-ajaran Tuhan (transenden) menuju kehidupan manusia
(Profan). Menurut kuntowijoyo Teologi profetik merupakan transformasi
nilai-nilai keagamaan (Islam) terhadap realitas sosial. Proses transformasi
22

meliputi 3 aspek yang dibahas secara rigit dalam teori ilmu sosial profetik.
Aspek pertama adalah humanisasi artinya memanusiakan manusia,
menghilangkan
kekerasan,

dan

aspek

materialisme,

kebencian

dari

egosentrisme,

manusia

menuju

ketergantungan,
manusia

yang

berperadaban. Aspek kedua yaitu liberasi, merupakan ilmu-ilmu yang
didasari dari nilai-nilai transendental yang membebaskan dari belenggubelenggu sistem ekonomi, sistem politik, sosial, dan budaya. Liberasi
menempatkan diri pada aspek moralitas yang abstrak kepada moralitas
yang konkrit yang didasari dengan nilai humanisme teosentris. Aspek
ketiga ialah transendensi yang merupakan dasar dari humanisasi dan
liberasi yang berperan mengarahkan tujuan hidup manusia agar kembali
kefitrahnya sebagai khalifah fil- ardh.
Teologi profetik bisa dijadikan anti thesa dalam menanggulangi
kerusakan alam yang disebabkan oleh manusia itu sendiri. Kerusakan
tersebut terjadi tidak lain merupakan ulah dari tangan manusia yang
cendrung lebih mementingkan kepentingan materi sesaat. Peran dari
teologi profetik adalah membangun kesadaran manusia untuk sadar dalam
menjaga dan melestarikan alam dengan mengambil semangat humanisasi,
liberasi dan transendensi. Kerusakkan bisa di hindari ketika sudah
terbangun kesadaran bagi manusia untuk pentingnya menjaga alam ini
dengan teologi profetik sebagai aspek penting yang membangun kesadaran
penting untuk manusia dalam menjaga alam.
B. Saran
Demikian penulisan makalah ini mengenai, “Menjaga Lingkungan
dalam Pandangan Teologi Profetik Kuntowijoyo”. Semoga makalah ini
dapat memberi khazanah pengetahuan baru bagi kita dan dapat
mengimplementasikan dalam kehidupan kita sehari-hari. Saya selaku
penulis makalah memohon saran dan kritik yang membangun dari para
pembaca sehingga makalah yang saya buat semakin lebih baik lagi
kedepannya.

23

DAFTAR PUSTAKA
Abdillah, Mujiyono. Agama Ramah Lingkungan Perspektif al-Qur’an, Jakarta:
Paramadina, 1999.
Bagus, Lorens. Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996.
Indiyanto dan Arqom Kuswanjono, Agus. Agama, Budaya, dan Bencana: Kajian
Integratif Ilmu Agama dan Budaya, Yogyakarta: Mizan & ICRS, 2012.

Kuntowijoyo. Budaya dan Masyarakat. Edisi paripurna, Yogyakarta; Tiara
Wacana, 2006.
Kuntowijoyo. Muslim Tanpa Mesjid, Bandung: Mizan, 2001.
Kuntowijoyo. Paradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi, Bandung: Mizan
Pustaka, 2008.
Mangunjaya, Fachruddin M. Konservasi Alam Dalam Islam, Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, 2005.
Mangunjaya, dkk, Fachruddin M. Menanam Sebelum Kiamat: Islam, Ekologi, dan
Gerakan Lingkungan Hidup, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007.

Menaughton & Larry. L, S.J. Ekologi Umum, terj, Yogyakarta: Universitas
Gadjah Mada Press, 1992.
N.H.T, Siahaan. Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan, Jakarta:
Erlangga, 2014.
Nietzche. Berhala Baru. Dalam Sabda Zarathustra , terj, Yogyakarta:Pustaka
Pelajar, 2014.
Ramly, Nadjamuddin. Islam Ramah lingkungan: Konsep dan strategi dalam
Pengelolaan, Pemeliharaan, dan Penyelamatan Lingkungan, Jakarta:

Grasindo, 2007.
Shihab, Quraish M. Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan, dan keserasian al-Qur’an,
Jakarta: Lentera Hati, 2003.
Soemarwoto, Otto Ekologi. Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Jakarta:
Djambatan, 1994.
Suhendra, Ahmad. “Menelisik Ekologis dalam Al-Qur’an” dalam Jurnal Esensia
Vol. 14 no. 1. April 2013.
Weber, Max. Etika Protestan dan Spirit Kapitalisme, terj, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2010.
24

CURRICULUM VITUE

Nama Lengkap

: Mulkhan Andreza

Tempat dan Tanggal : Duri, 28 Agustus 1996
Lahir
Alamat Asal

: Komplek Apel no. 367 perumahan PT. Chevron Pacific
Indonesia,

Kecamatan

Minas,

Kabupaten

Siak

Sri

Indrapura, Provinsi Riau 28885
Alamat Yogyakarta

: Jln. Wahid Hasyim no. 99, Kecamatan Depok, Kabupaten
Sleman, Provinsi Yogyakarta 55281

No. Handphone

: 085767571025

Email

: mulkhanandreza28@gmail.com

Riwayat Pendidikan : -

TK Cendana Duri, 2000 – 2002

-

SD Cendana Duri, 2002 - 2008

-

SMP Cendana Duri, 2008 - 2009

-

SMP Cendana Pekanbaru, 2009-2011

-

SMA Cendana Pekanbaru, Lulus tahun 2011 - 2014

-

UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2014 - ....

Pengalaman Oganisasi: -

Departemen P3A HMI Komisariat Fakultas Tarbiyah
dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Periode
2015-2016

Motto Hidup

: Manajemen Sebagai Displin Hidup

25