KAMPANYE POLITIK DAN PENCEMARAN LINGKUNG
KAMPANYE POLITIK DAN PENCEMARAN LINGKUNGAN
FATKHURI, MA., M.PP.
Dosen FISIP UPNVJ Jakarta, dan Pengurus Pusat Lembaga Penanggulangan
Bencana dan Perubahan Iklim NU (LPBI-NU).
Hingar bingar kampanye politik telah berakhir sejak tanggal 5 April lalu.
Show of force partai politik yang berlomba-lomba menarik simpati
masyarakat tidak lagi diperbolehkan sebab telah memasuki masa tenang
hingga tanggal 8 April. Masa kampanye merupakan saat yang sangat
berharga dari seluruh rangkaian tahapan pemilihan umum, sebab
kampanye menjadi momentum di mana partai politik dan para caleg
memperkenalkan diri kepada masyarakat pemilih. Semua partai politik
akan memanfaatkan semaksimal mungkin masa kampanye untuk
mendekati pemilih. Sayangnya, sebagian besar kontestan pemilu tidak
melaksanakan kampanye sebagaimana ditetapkan di dalam undangundang. Sampai dengan pekan kedua, kelompok pemantau pelanggaran
pemilu seperti MataMassa setidaknya telah mencatat ada sekitar 200 lebih
pelanggaran kampanye, dan jumlah ini tentu telah bertambah. Pelanggaran
tersebut meliputi penggunaan fasilitas negara, pelibatan anak-anak, politik
uang dan sebagainya. Parpol bisa saja berdalih bahwa pelibatan anak-anak
bukanlah faktor kesengajaan, dalam rangka pendidikan politik, atau
bahkan bisa berargumen bahwa hal tersebut tidak diatur di dalam UndangUndang Pemilu. Tetapi, keterlibatan anak-anak jelas tidak bisa dibenarkan
sebab melanggar Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak. Di samping itu, fakta yang tidak kalah penting adalah
hampir sebagian besar partai politik tidak ramah lingkungan dalam
melaksanakan kampanye, di samping kerapkali membuat macet ruas
jalanan, kampanye menyisakan banyak masalah seperti tumpukan sampah
yang berserakan, pohon-pohon yang rusak akibat dijadikan objek
pemasangan alat peraga para caleg. Kondisi ini mengakibatkan lingkungan
menjadi tercemar.
Kampanye dan Kerusakan lingkungan
Di banyak negara di mana demokrasi menjadi pilihan sistem politik,
kampanye adalah sarana efektif yang digunakan oleh peserta pemilu dalam
rangka memengaruhi perilaku pemilih. Kampanye sebagaimana diuraikan
oleh Paisley (1981) memiliki tujuan untuk mempengaruhi pengetahuan
(knowledge), sikap (attitude) dan perilaku (behavior) pemilih. Oleh karena
itu, para politisi akan memanfaatkan berbagai media sebagai sarana
menyampaikan pesan dan gagasan mereka kepada pemilih. Partai politik
dan para caleg akan langsung turun ke bawah dalam rangka menawarkan
visi, misi, dan program kerja atau sekedar mempengaruhi pemilih agar
dapat memilihnya, atau dengan cara memanfaatkan media seperti televisi,
koran dan sebagainya. Di Amerika, tahun 1960 merupakan tonggak
bersejarah di mana televisi mulai beralih fungsi tidak hanya sebagai
penyebar berita tetapi juga sebagai sarana untuk melakukan kampanye.
Beberapa tahun terakhir, Indonesia juga mengalami hal yang sama di mana
banyak para politisi yang memanfaatkan media televisi sebagai agen untuk
memengaruhi preferensi politik pemilih. Sebagai sarana sosialisasi,
kampanye sejatinya merupakan media yang dapat menghubungkan antara
pemberi pesan (aktor politik) dengan penerima pesan (pemilih). Media yang
umum dipakai selain televisi adalah koran, media sosial, alat peraga seperti
spanduk/baliho dan melalui kampanye terbuka. Dari sekian banyak media,
pemasangan alat peraga di tempat-tempat umum dan kampanye terbuka
yang melibatkan ribuan massa merupakan bentuk kampanye yang paling
banyak diminati. Pemasangan alat peraga dapat secara langsung dilihat
oleh masyarakat sebab umumnya dipasang di tempat-tempat umum yang
mudah diakses masyarakat. Sementara, kampanye terbuka dapat menyedot
perhatian publik apalagi dibumbui dengan penampilan beberapa artis yang
sengaja diundang untuk meramaikan kampanye agar lebih semarak.
Problem yang muncul dalam kampanye politik selama ini adalah tidak
diindahkanya peraturan kampanye oleh para peserta pemilu. Undangundang telah mengatur secara jelas berkaitan dengan kapan, di mana, dan
apa saja yang dapat dijadikan sebagai sarana dalam penyampaian pesan
kampanye kepada rakyat pemilih. Faktanya, tidak sedikit dari para politisi
acapkali menghalalkan segala cara sehingga peraturan diindahkan. Alhasil,
pada musim kampanye, mudah kita jumpai di hampir semua tempat
banyak disesaki dengan alat peraga kampanye yang dipasang sembarangan
seperti jalan umum, gedung sekolah/madrasah, tiang listrik, jembatan,
pepohonan bahkan di kendaraan umum seperti angkot. Berkaitan dengan
hal ini, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Jawa Barat mencatat
sebanyak 36.465 pelanggaran tentang pemasangan alat peraga kampanye
sejak dimulainya kampanye sampai dengan tanggal 4 April, di mana13.881
kasus terjadi pada pemasangan alat peraga di luar zona yang ditetapkan,
12.443 kasus pemasangan alat peraga di pohon-pohon, 8.447 kasus
pemasangan di jalan protokol, 577 kasus pemasangan di jalan bebas
hambatan dan lain-lain.
Pemenuhan alat peraga di berbagai tempat di samping mengganggu
ketertiban juga mengakibatkan lingkungan tercermar. Di samping itu,
pemasangan alat peraga tanpa memerhatikan keindahan dan kebersihan
lingkungan melanggar aturan kampanye sebagaimana disebutkan dalam
pasal 102 ayat (2) UU No 8 tahun 2012 bahwa pemasangan alat peraga
kampanye Pemilu harus mempertimbangkan etika, estetika, kebersihan,
dan keindahan kota atau kawasan setempat. Selanjutnya dalam Peraturan
Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 15 tahun 2013 pasal 17 ayat (1a)
juga telah diatur bahwa alat peraga kampanye hendaknya tidak
ditempatkan pada tempat ibadah, rumah sakit atau tempat-tempat
pelayanan kesehatan, gedung milik pemerintah, lembaga pendidikan
(gedung dan sekolah), jalan-jalan protokol, jalan bebas hambatan, sarana
dan prasarana publik, taman dan pepohonan. Ironisnya, sebagaimana
pelanggaran yang disebutkan di atas, peserta pemilu tidak peduli dengan
aturan ini. Realitas ini menunjukan bahwa parpol dan caleg tidak lagi
peduli dengan aspek estetika dan kebersihan sehingga keberlangsungan
lingkungan hidup (keseimbangan ekologi) dipertaruhkan.
Kenapa
demikian? Pemasangan alat peraga kampanye secara sembarangan dan
kampanye terbuka yang melibatkan ribuan massa jelas-jelas menghasilkan
gunungan sampah yang dapat merusak lingkungan. Dalam pasal 1 ayat
(14) UU Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup dinyatakan bahwa Pencemaran lingkungan hidup
adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau
komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga
melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan. Banyaknya
alat peraga yang dipaku di pohon dan tumpukan sampah di area kampanye
berakibat terhadap keseimbangan, stabilitas, dan produktivitas lingkungan
hidup menjadi terganggu. Alhasil, keseimbangan lingkungan terdegradasi
yang pada giliranya berakibat bencana seperti banjir, longsor, dan
sejenisnya. Hal ini terjadi karena pembuangan sampah secara sembarangan
yang mengakibatkan bercampurnya sampah organik dengan non-organik
sebagaimana banyak dijumpai di area tempat yang dijadikan kegiatan
kampanye. Stabilitas dan produktivitas lingkungan terganggu karena
tumpukan sampah mempersulit proses pelapukan sampah organik, dan
pada saat yang sama meningkatkan emisi karbon berupa CO2 dan metan
yang dapat mengakibatkan efek rumah kaca. Hal tersebut berdampak
kepada banjir dan genangan air akibat terjadi pendangkalan dan
penyumbatan saluran drainase dikarenakan adanya pembuangan sampah
secara sembarangan.
Berangkat dari fenomena di atas, semua kontestan pemilu harus menyadari
bahwa mereka adalah calon pemimpin bangsa yang akan menduduki
jabatan penting sebagai pembuat kebijakan. Jika dalam kampanye saja
mereka tidak aware dan care terhadap lingkungan, apakah nantinya
mereka dapat dipercaya sebagai wakil-wakil rakyat yang mampu dan peduli
terhadap kepentingan rakyat banyak, terutama kepada pemenuhan hak
rakyat untuk dapat menghirup udara sehat, mendapatkan akses air bersih,
lingkungan bersih dan sebagainya? Perilaku politisi yang berkampanye
tanpa memerhatikan perlindungan terhadap lingkungan menunjukan
mereka tidak memiliki sensitifitas dan kesadaran akan pemenuhan hak dan
hajat hidup orang banyak. Kontestan pemilu harus memiliki kesadaran
untuk menjaga keseimbangan lingkungan, bukan malah merusaknya.
Kontestan pemilu harus faham bahwa bencana yang teramat dasyat yang
melanda Indonesia di berbagai daerah diakibatkan ulah tangan manusia
yang tidak lagi memiliki kepekaan dan keramahan terhadap
keberlangsungan lingkungan.
Strategi berkampanye ramah lingkungan
Strategi kampanye di masa yang akan datang harus mengacu kepada
desain kampanye yang ramah lingkungan. Seluruh partai politik peserta
pemilu harus memiliki komitmen kuat tidak hanya untuk menghindari
praktik politik uang, tetapi juga harus memberi garansi untuk tidak
merusak lingkungan dalam berkampanye. Kampanye dapat dilakukan
dengan strategi yang lebih cerdas misalnya dengan mengedepankan aspek
edukasi kepada masyarakat seperti mengajak masyarakat untuk menanam
pohon di dapil masing-masing, mengajak masyarakat melakukan kegiatan
bakti sosial, membangun saluran drainase, mengajari masyarakat dalam
melakukan pengelolaan sampah dan sebagainya. Kampanye sejatinya tidak
hanya dipahami sebagai arena untuk mengajak masyarakat untuk
memilihnya, tetapi juga dapat dijadikan sebagai sarana edukasi bagi
masyarakatnya. Sangat disayangkan jika uang miliaran rupiah dikeluarkan
hanya untuk kegiatan yang tidak jelas seperti money politics, sementara
pada saat yang sama tak sepeserpun uang dikeluarkan untuk melakukan
edukasi kepada masyarakat akan pentingnya menjaga kelestarian
lingkungan. Sudah saatnya partai politik harus memilih strategi cerdas
dalam berkampanye, bukan sebatas unjuk kekuatan melalui kampanye
terbuka yang melibatkan ribuan massa, tetapi setelahnya tidak
memberikan manfaat apa pun. Kampanye yang mengeluarkan dana
miliaran rupiah harus dapat menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk
meningkatkan kepedulian dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup serta dapat mengembangkan dan menjaga budaya dan kearifan lokal
dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup. Di atas segalanya,
parpol harus menjadi garda terdepan untuk tidak hanya melakukan
political campaign tetapi juga ecological campaign sehingga masa depan
anak bangsa terselamatkan.
FATKHURI, MA., M.PP.
Dosen FISIP UPNVJ Jakarta, dan Pengurus Pusat Lembaga Penanggulangan
Bencana dan Perubahan Iklim NU (LPBI-NU).
Hingar bingar kampanye politik telah berakhir sejak tanggal 5 April lalu.
Show of force partai politik yang berlomba-lomba menarik simpati
masyarakat tidak lagi diperbolehkan sebab telah memasuki masa tenang
hingga tanggal 8 April. Masa kampanye merupakan saat yang sangat
berharga dari seluruh rangkaian tahapan pemilihan umum, sebab
kampanye menjadi momentum di mana partai politik dan para caleg
memperkenalkan diri kepada masyarakat pemilih. Semua partai politik
akan memanfaatkan semaksimal mungkin masa kampanye untuk
mendekati pemilih. Sayangnya, sebagian besar kontestan pemilu tidak
melaksanakan kampanye sebagaimana ditetapkan di dalam undangundang. Sampai dengan pekan kedua, kelompok pemantau pelanggaran
pemilu seperti MataMassa setidaknya telah mencatat ada sekitar 200 lebih
pelanggaran kampanye, dan jumlah ini tentu telah bertambah. Pelanggaran
tersebut meliputi penggunaan fasilitas negara, pelibatan anak-anak, politik
uang dan sebagainya. Parpol bisa saja berdalih bahwa pelibatan anak-anak
bukanlah faktor kesengajaan, dalam rangka pendidikan politik, atau
bahkan bisa berargumen bahwa hal tersebut tidak diatur di dalam UndangUndang Pemilu. Tetapi, keterlibatan anak-anak jelas tidak bisa dibenarkan
sebab melanggar Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak. Di samping itu, fakta yang tidak kalah penting adalah
hampir sebagian besar partai politik tidak ramah lingkungan dalam
melaksanakan kampanye, di samping kerapkali membuat macet ruas
jalanan, kampanye menyisakan banyak masalah seperti tumpukan sampah
yang berserakan, pohon-pohon yang rusak akibat dijadikan objek
pemasangan alat peraga para caleg. Kondisi ini mengakibatkan lingkungan
menjadi tercemar.
Kampanye dan Kerusakan lingkungan
Di banyak negara di mana demokrasi menjadi pilihan sistem politik,
kampanye adalah sarana efektif yang digunakan oleh peserta pemilu dalam
rangka memengaruhi perilaku pemilih. Kampanye sebagaimana diuraikan
oleh Paisley (1981) memiliki tujuan untuk mempengaruhi pengetahuan
(knowledge), sikap (attitude) dan perilaku (behavior) pemilih. Oleh karena
itu, para politisi akan memanfaatkan berbagai media sebagai sarana
menyampaikan pesan dan gagasan mereka kepada pemilih. Partai politik
dan para caleg akan langsung turun ke bawah dalam rangka menawarkan
visi, misi, dan program kerja atau sekedar mempengaruhi pemilih agar
dapat memilihnya, atau dengan cara memanfaatkan media seperti televisi,
koran dan sebagainya. Di Amerika, tahun 1960 merupakan tonggak
bersejarah di mana televisi mulai beralih fungsi tidak hanya sebagai
penyebar berita tetapi juga sebagai sarana untuk melakukan kampanye.
Beberapa tahun terakhir, Indonesia juga mengalami hal yang sama di mana
banyak para politisi yang memanfaatkan media televisi sebagai agen untuk
memengaruhi preferensi politik pemilih. Sebagai sarana sosialisasi,
kampanye sejatinya merupakan media yang dapat menghubungkan antara
pemberi pesan (aktor politik) dengan penerima pesan (pemilih). Media yang
umum dipakai selain televisi adalah koran, media sosial, alat peraga seperti
spanduk/baliho dan melalui kampanye terbuka. Dari sekian banyak media,
pemasangan alat peraga di tempat-tempat umum dan kampanye terbuka
yang melibatkan ribuan massa merupakan bentuk kampanye yang paling
banyak diminati. Pemasangan alat peraga dapat secara langsung dilihat
oleh masyarakat sebab umumnya dipasang di tempat-tempat umum yang
mudah diakses masyarakat. Sementara, kampanye terbuka dapat menyedot
perhatian publik apalagi dibumbui dengan penampilan beberapa artis yang
sengaja diundang untuk meramaikan kampanye agar lebih semarak.
Problem yang muncul dalam kampanye politik selama ini adalah tidak
diindahkanya peraturan kampanye oleh para peserta pemilu. Undangundang telah mengatur secara jelas berkaitan dengan kapan, di mana, dan
apa saja yang dapat dijadikan sebagai sarana dalam penyampaian pesan
kampanye kepada rakyat pemilih. Faktanya, tidak sedikit dari para politisi
acapkali menghalalkan segala cara sehingga peraturan diindahkan. Alhasil,
pada musim kampanye, mudah kita jumpai di hampir semua tempat
banyak disesaki dengan alat peraga kampanye yang dipasang sembarangan
seperti jalan umum, gedung sekolah/madrasah, tiang listrik, jembatan,
pepohonan bahkan di kendaraan umum seperti angkot. Berkaitan dengan
hal ini, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Jawa Barat mencatat
sebanyak 36.465 pelanggaran tentang pemasangan alat peraga kampanye
sejak dimulainya kampanye sampai dengan tanggal 4 April, di mana13.881
kasus terjadi pada pemasangan alat peraga di luar zona yang ditetapkan,
12.443 kasus pemasangan alat peraga di pohon-pohon, 8.447 kasus
pemasangan di jalan protokol, 577 kasus pemasangan di jalan bebas
hambatan dan lain-lain.
Pemenuhan alat peraga di berbagai tempat di samping mengganggu
ketertiban juga mengakibatkan lingkungan tercermar. Di samping itu,
pemasangan alat peraga tanpa memerhatikan keindahan dan kebersihan
lingkungan melanggar aturan kampanye sebagaimana disebutkan dalam
pasal 102 ayat (2) UU No 8 tahun 2012 bahwa pemasangan alat peraga
kampanye Pemilu harus mempertimbangkan etika, estetika, kebersihan,
dan keindahan kota atau kawasan setempat. Selanjutnya dalam Peraturan
Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 15 tahun 2013 pasal 17 ayat (1a)
juga telah diatur bahwa alat peraga kampanye hendaknya tidak
ditempatkan pada tempat ibadah, rumah sakit atau tempat-tempat
pelayanan kesehatan, gedung milik pemerintah, lembaga pendidikan
(gedung dan sekolah), jalan-jalan protokol, jalan bebas hambatan, sarana
dan prasarana publik, taman dan pepohonan. Ironisnya, sebagaimana
pelanggaran yang disebutkan di atas, peserta pemilu tidak peduli dengan
aturan ini. Realitas ini menunjukan bahwa parpol dan caleg tidak lagi
peduli dengan aspek estetika dan kebersihan sehingga keberlangsungan
lingkungan hidup (keseimbangan ekologi) dipertaruhkan.
Kenapa
demikian? Pemasangan alat peraga kampanye secara sembarangan dan
kampanye terbuka yang melibatkan ribuan massa jelas-jelas menghasilkan
gunungan sampah yang dapat merusak lingkungan. Dalam pasal 1 ayat
(14) UU Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup dinyatakan bahwa Pencemaran lingkungan hidup
adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau
komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga
melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan. Banyaknya
alat peraga yang dipaku di pohon dan tumpukan sampah di area kampanye
berakibat terhadap keseimbangan, stabilitas, dan produktivitas lingkungan
hidup menjadi terganggu. Alhasil, keseimbangan lingkungan terdegradasi
yang pada giliranya berakibat bencana seperti banjir, longsor, dan
sejenisnya. Hal ini terjadi karena pembuangan sampah secara sembarangan
yang mengakibatkan bercampurnya sampah organik dengan non-organik
sebagaimana banyak dijumpai di area tempat yang dijadikan kegiatan
kampanye. Stabilitas dan produktivitas lingkungan terganggu karena
tumpukan sampah mempersulit proses pelapukan sampah organik, dan
pada saat yang sama meningkatkan emisi karbon berupa CO2 dan metan
yang dapat mengakibatkan efek rumah kaca. Hal tersebut berdampak
kepada banjir dan genangan air akibat terjadi pendangkalan dan
penyumbatan saluran drainase dikarenakan adanya pembuangan sampah
secara sembarangan.
Berangkat dari fenomena di atas, semua kontestan pemilu harus menyadari
bahwa mereka adalah calon pemimpin bangsa yang akan menduduki
jabatan penting sebagai pembuat kebijakan. Jika dalam kampanye saja
mereka tidak aware dan care terhadap lingkungan, apakah nantinya
mereka dapat dipercaya sebagai wakil-wakil rakyat yang mampu dan peduli
terhadap kepentingan rakyat banyak, terutama kepada pemenuhan hak
rakyat untuk dapat menghirup udara sehat, mendapatkan akses air bersih,
lingkungan bersih dan sebagainya? Perilaku politisi yang berkampanye
tanpa memerhatikan perlindungan terhadap lingkungan menunjukan
mereka tidak memiliki sensitifitas dan kesadaran akan pemenuhan hak dan
hajat hidup orang banyak. Kontestan pemilu harus memiliki kesadaran
untuk menjaga keseimbangan lingkungan, bukan malah merusaknya.
Kontestan pemilu harus faham bahwa bencana yang teramat dasyat yang
melanda Indonesia di berbagai daerah diakibatkan ulah tangan manusia
yang tidak lagi memiliki kepekaan dan keramahan terhadap
keberlangsungan lingkungan.
Strategi berkampanye ramah lingkungan
Strategi kampanye di masa yang akan datang harus mengacu kepada
desain kampanye yang ramah lingkungan. Seluruh partai politik peserta
pemilu harus memiliki komitmen kuat tidak hanya untuk menghindari
praktik politik uang, tetapi juga harus memberi garansi untuk tidak
merusak lingkungan dalam berkampanye. Kampanye dapat dilakukan
dengan strategi yang lebih cerdas misalnya dengan mengedepankan aspek
edukasi kepada masyarakat seperti mengajak masyarakat untuk menanam
pohon di dapil masing-masing, mengajak masyarakat melakukan kegiatan
bakti sosial, membangun saluran drainase, mengajari masyarakat dalam
melakukan pengelolaan sampah dan sebagainya. Kampanye sejatinya tidak
hanya dipahami sebagai arena untuk mengajak masyarakat untuk
memilihnya, tetapi juga dapat dijadikan sebagai sarana edukasi bagi
masyarakatnya. Sangat disayangkan jika uang miliaran rupiah dikeluarkan
hanya untuk kegiatan yang tidak jelas seperti money politics, sementara
pada saat yang sama tak sepeserpun uang dikeluarkan untuk melakukan
edukasi kepada masyarakat akan pentingnya menjaga kelestarian
lingkungan. Sudah saatnya partai politik harus memilih strategi cerdas
dalam berkampanye, bukan sebatas unjuk kekuatan melalui kampanye
terbuka yang melibatkan ribuan massa, tetapi setelahnya tidak
memberikan manfaat apa pun. Kampanye yang mengeluarkan dana
miliaran rupiah harus dapat menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk
meningkatkan kepedulian dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup serta dapat mengembangkan dan menjaga budaya dan kearifan lokal
dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup. Di atas segalanya,
parpol harus menjadi garda terdepan untuk tidak hanya melakukan
political campaign tetapi juga ecological campaign sehingga masa depan
anak bangsa terselamatkan.