PELAKSANAAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI LI (1)

PELAKSANAAN
PENDIDIKAN
AGAMA
ISLAM
DI
LINGKUNGAN KELUARGA, SEKOLAH, DAN MASYARAKAT

KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah swt, karena atas limpahan
rahmatnya, sehingga penulisan makalah ini dapat terselesaikan dan telah
rampung.
Makalah ini berjudul“PELAKSANAAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
DI LINGKUNGAN KELUARGA, SEKOLAH, DAN MASYARAKAT”.
Dengan tujuan penulisan sebagai sumber bacaan yang dapat digunakan
untuk

memperdalam

pemahaman

dari


materi

ini.

Selain itu, penulisan makalah ini tak terlepes pula dengan tugas mata
kuliah Pendidikan Agama Islam.
Namun penulis cukup menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran
pembaca yang bersifat membangun.
Jakarta, Oktober 2015
Penulis.

DAFTAR ISI
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan

BAB II PEMBAHASAN
A. Pelaksanaan Pendidikan Agama Islam dalam Keluarga
B. Pelaksanaan Pendidikan Agama Islam dalam Sekolah
C. Pelaksanaan Pendidikan Agama Islam dalam Masyarakat
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA

BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Semakin canggihnya ilmu pengetahuan,
semakin majunya peredaran zaman dan manusiapun beragam. kemewahan
di bidang harta tidak akan menjamin kebahagiaan seseorang jika orang
tersebut tidak bisa menikmati kekayaan itu, apalagi bagi orang yang serba
kekurangan atau merasa kurang cukup terus-menerus. Banyak anak-anak
yang tidak patuh lagi kepada orang tuanya, tentunya sangat dikhawatiran
yang mengakibatkan perasaan tidak tenang dan selalu gelisah, bahkan
banyak orang yang mengalami penyakit stress yang mereka sendiri tidak

tahu obatnya, mencari tempat berpegang kepada siapa dan bagaimana cara
menenangkan perasaan yang stress itu, bahkan mereka sering bingung,
dihinggapi rasa takut dan rasa bersalah yang tidak tahu sebabnya.
Oleh karena itu, tentu sangat perlu dijelaskan bagaimana pendidikan anak
sebelum lahir, masa bayi, masa kanak-kanak, dewasa, bahkan sampai
mereka tua. Pendidikan anak pada usia dini juga sangat dianjurkan, hal ini
dimaksudkan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Karena
pendidikan agama islam sejak dini sengat berpengaruh terhadap
pembentukan karakter dan kepribadian peserta didik. Proses belajar dan
pembelajaran bisa dilakukan pada jalur formal maupun informal.
B. Rumusan MasalahBerdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan
masalah yang dibahas dalam makalah ini terinci sebagai berikut.
1. Bagimana pelaksanaan pendidikan agama Islam dalam keluarga?
2. Bagaimanna pelaksanaan pendidikan agama Islam dalam sekolah?
3. Bagaimana pelaksanaan pendidikan agama Islam dalam masyarakat?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui pelaksanaan pendidikan agama Islam dalam keluarga.
2. Mengetahui pelaksanaan pendidikan agama Islam dalam sekolah.
3. Mengetahui pelaksanaan pendidikan agama Islam dalam.


BAB II
PEMBAHASAN
A. Pelaksanaan Pendidikan Agama Islam dalam Keluarga
Agama Islam di lingkungan keluarga berlangsung antara orang-orang
dewasa yang bertanggung jawab atas terselenggaranya pendidikan agama,
dan anak-anak sebagai sasaran pendidikannya. Sedang ibu dalam
kaitannya dengan pendidikan agama di lingkungan keluarga, maka
kedudukannya sebagai pendidik yang utama dan pertama, dalam
kedudukannya sebagai pendidik, maka seorang ibu tidak cukup hanya
memanggil seorang guru agama dari luar untuk mendidik anaknya di
rumah, dan bukan dalam pengertian yang demikianlah yang dimaksud
dengan pendidikan agama di lingkungan keluarga. Akan tetapi lebih
ditekankan adanya bimbingan yang terarah dan berkelanjutan dari orangorang dewasa yang bertanggung jawab di lingkungan keluarga untuk
membimbing anak.
Pengertian yang jelas tentang pendidikan agama yang dilakukan di
lingkungan keluarga interaksi yang teratur dan diarahkan untuk
membimbing jasmani dan rohani anak dengan ajaran Islam, yang
berlangsung di lingkungan keluarga. Dalam pelaksanaannya, maka proses
pendidikan.
Pendidikan pada umumnya terbagi pada dua bagian besar, yakni

pendidikan sekolah dan pendidikan luar sekolah. Hal ini berdasar pada:
“Maka proses belajar itu bagi seseorang dapat terus berlangsung dan tidak
terbatas pada dunia sekolah saja.
Dorongan atau motivasi kewajiban moral, sebagai konsekwensi
kedudukan orang tua terhadap keturunannya. Tanggung jawab moral ini
meliputi nilai-nilai religius spiritual yang dijiwai Ketuhanan Yang Maha
Esa dan agama masing-masing, di samping didorong oleh kesadaran
memelihara
martabat
dan
kehormatan
keluarga.
Dalam kutipan yang pertama di atas dikemukakan bahwa lingkungan
keluarga itu amat dominan dalam memberikan pengaruh-pengaruh

keagamaan terhadap anak-anak, sehingga dapat dikatakan bahwa
lingkungan keluarga dalam kaitannya dengan pendidikan agama sangat
menentukan baik keberhasilannya. Sehingga amat disayangkan kalau
kesempatan yang baik dari lingkungan pertama yaitu keluarga itu disiasiakan atau dilalui anak tanpa pendidikan agama dari pihak ibu dan bapak
serta orang-orang yang bertanggung jawab di sekitarnya.

Dalam hubungannya dengan kelanjutan pendidikan atau kehidupan anak di
masa mendatang, maka pendidikan di lingkungan keluarga, termasuk di
dalamnya pendidikan agama, hal itu merupakan sebagai tindakan
pemberian bekal-bekal kemampuan dari orang tua terhadap anak-anaknya,
dalam menghadapi masa-masa yang akan dilaluinya.
Dalam hubungannya dengan pendidikan di sekolah maka sebagai
persiapan untuk mengikuti pendidikan atau sebagai pelengkap dari
pendidikan yang berlangsung di bangku sekolah. Dan dalam hubungannya
dengan kehidupan bermasyarakat, maka sebagai upaya untuk
mempersiapkan diri agar anak dapat menyesuaikan diri dengan
lingkungannya.
Secara sepintas pembahasan tentang dasar pelaksanaan pendidikan agama
di lingkungan keluarga ini telah disebutkan di atas, yaitu atas dasar cinta
kasih seseorang terhadap darah dagingnya (anak), atas dasar dorongan
sosial dan atas dasar dorongan moral.
Akan tetapi dorongan yang lebih mendasar lagi tentang pendidikan agama
di lingkungan keluarga ini bagi umat Islam khususnya adalah karena
dorongan syara (ajaran Islam), yang mewajibkan bagi orang tua untuk
mendidik anak-anak mereka, lebih-lebih pendidikan agama.
Selain hal-hal yang telah disebutkan di atas, yang dapat mendorong orang

tua agar mendidik anak-anak di lingkungan keluarga, ada lagi satu hal
yang perlu diperhatikan yaitu; mengingat kondisi anak itu sendiri, baik
secara fisik maupun mental ia mutlak memberikan bimbingan dan
pengembangan ke arah yang positif. Kalau tidak maka dikhawatirkan
fitrah yang tersimpan, yang merupakan benih-benih bawaan itu akan
terlantar atau akan menyimpang.
Perlu diingat bahwa pada diri anak itu terdapat kecenderungankecenderungan ke arah yang baik, akan tetapi dilengkapi dengan
kecenderungan ke arah yang jahat. Maka tugas pendidik dalam hubungan
ini adalah menghidup-suburkan kecenderungan ke arah yang baik.

Oleh karena itu benih-benih potensial yang mampu mendorong anak untuk
mengembangkan pribadinya dalam alternatif pemilihan lapangan hidup
manusia di masa dewasanya sesuai bakat dan kemampuan. Pendidikan
Agama dimaksudkan untuk peningkatan potensi spiritual dan membentuk
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Allah SWT dan berakhlak mulia. Akhlak mulia menyangkut etika, budi
pekerti, dan moral sebagai manifestasi dari pendidikan Agama.
Peningkatan potensi spiritual mencakup pengenalan, pemahaman, dan
penanaman nilai-nilai keagamaan, serta pengamalan nilai-nilai tersebut
dalam kehidupan individual ataupun kolektif kemasyarakatan. Peningkatan

potensi spiritual tersebut pada akhirnya bertujuan pada optimalisasi
berbagai potensi yang dimiliki manusia yang aktualisasinya mencerminkan
harkat dan martabatnya sebagai makhluk Allah SWT.
Pendidikan Islam diberikan dengan mengikuti tuntunan bahwa agama
diajarkan kepada manusia dengan visi untuk mewujudkan manusia yang
bertakwa kepada Allah SWT dan berakhlak mulia, serta bertujuan untuk
menghasilkan manusia yang jujur, adil, berbudi pekerti, etis, saling
menghargai, disiplin, harmonis dan produktif, baik personal maupun
social.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dasar pelaksanaan pendidikan
agama di lingkungan keluarga adalah karena didorong oleh beberapa hal
yaitu:
1. Karena dorongan cinta kasih terhadap keturunan
2. Karena dorongan atau tanggung jawab sosial
3. Karena dorongan moral
4. Karena dorongan kewajiban agamis
Dan dorongan agama inilah yang membuat kedudukan orang tua lebih
besar tanggung jawabnya dalam pendidikan karena dorongan kewajiban
ini langsung diperintahkan Allah.
Pendidikan keluarga adalah pendidikan yang diproses oleh seseorang di

dalam lingkungan rumah tangga atau keluarga. Sistem pendidikan ini
merupakan unsur utama dalam pendidikan seumur hidup, terutama karena
sifatnya yang tidak memerlukan formalitas waktu, cara, usia, fasilitas, dan
sebagainya. Pada dasarnya, masing-masing orang tua adalah orang yang
paling bertanggung jawab atas pendidikan bagi anak-anaknya. Mereka
tidak hanya berkewajiban mendidik atau menyekolahkan anaknya ke
sebuah lembaga pendidikan. Akan tetapi mereka juga diamanati Allah

SWT untuk menjadikan anak-anaknya bertaqwa serta taat beribadah sesuai
dengan ketentuan yang telah diatur dalam Al-Qur’an dan Hadits.
Dalam mendidik dan menumbuh kembangkan anak-anak, orang tua atau
tokoh ibu dan bapak sangat memegang peranan yang sangat penting, baikburuknya kelakuan anak, orang tualah yang memegang peranan.
Pendidikan rumah tangga ini disebut juga dengan pendidikan informal.
Peranan ibu dan bapak antara lain:
1. Ibu bapak sebagai pengatur kebersihan anak
2. Ibu bapak sebagai teladan bagi anak
3. Ibu bapak sebagai pendorong dalam tindakan anak
4. Ibu bapak sebagai teman bermain
5. Ibu bapak sebagai pengayom jika anak merasa takut
6. Ibu sebagai penjaga utama kesehatan anak dan sebagai teman bermainan

kepribadian
Dalam hubungan ini orang tua perlu menyadari betapa pentingnya
pendidikan agama bagi anggota keluarga. Khususnya anak, karena akan
sangat berpengaruh positif terhadap pertumbuhan dan perkembangan budi
pekerti dan anak. Oleh sebab itu orang tua berkewajiban untuk
memberikan bimbingan dan contoh konkrit berupa suri tauladan kepada
anak agar mereka dapat hidup selamat dan sejahtera.
Sasaran Pendidikan Agama ditujukan kepada semua manusia sesuai
dengan misi nabi Muhammad SAW yaitu untuk seluruh alam. Ditujukan
mulai kepada anak usia dini, remaja, dewasa dan lanjut usia dalam istilah
pendidikan disebut Long Live Education (pendidikan seumur hidup).
Pendidikan anak usia dini (0-6 tahun) dimulai dari anak dilahirkan sampai
berumur
6
tahun
dengan
tahapan
sebagai
berikut
:

1. Masa bayi (0-2 tahun), di telinga sebelah kanan bagi anak laki-laki dan
diqamatkan
di
telinga
sebelah
kiri
bagi
perempuan.
2. Aqiqah, pada hari ke tujuh kelahiran seorang bayi disunnahkan bagi
orang tua atau walinya untuk melakukan aqiqah yakni menyembelih satu
ekor kambing bagi anak perempuan dan dua ekor kambing bagi anak lakilaki.
3. Khitanan, peranan ibu sangat dominan dalam menanamkan pendidikan
agama kepada anak di usia ini. Setiap hari seorang ibu perlu
memperhatikan perkembangan yang terjadi pada anaknya baik secara
biologis maupun psikisnya. Perkembangan anak sesuai dengan tahap-tahap
umur tertentu yang perlu diketahui orang tua agar bisa memperlakukan

anak dengan benar. Anak berumur 6 tahun tidak disebut bayi lagi, tetapi
sudah disebut anak-anak masanya pun disebut masa kanak-kanak.
B.
Pelaksanaan Pendidikan Agama
Islam
dalam
Sekolah
Pendidikan agama adalah unsur terpenting dalam pendidikan moral dan
pembinaan mental. Pendidikan moral yang paling baik sebenarnya terdapat
dalam agama karena nilai-nilai moral yang dapat dipatuhi dengan
kesadaran sendiri dan penghayatan tinggi tanpa ada unsur paksaan dari
luar, datangnya dari keyakinan beragama. Pendidikan agama di sekolah
mendapat beban dan tanggung jawab moral yang tidak sedikit apalagi jika
dikaitkan dengan upaya pembinaan mental remaja. Usia remaja ditandai
dengan gejolak kejiwaan yang berimbas pada perkembangan mental dan
pemikiran, emosi, kesadaran sosial, pertumbuhan moral, sikap dan
kecenderungan serta pada akhirnya turut mewarnai sikap keberagamaan
yang dianut (pola ibadah).
Pada sekolah-sekolah yang menyiapkan peserta didiknya menjadi ahli
agama atau pemimpin agama seperti di madrasah atau seminari, seluruh
kegiatan pembelajaran umumnya benar-benar diarahkan untuk mendukung
tujuan pendidikan yang ada.
Terdapat tiga karakter sekolah yang terkait dengan pendidikan agama di
sekolah. Pertama sekolah negeri, kedua sekolah swasta umum non yayasan
agama dan sekolah swasta yayasan agama dan sekolah calon ahli atau
pimpinan agama seperti madrasah dan seminari. Varian karakter ini
awalnya terbentuk karena perbedaan sumber pembiayaan, pengawasan dan
otonomi sekolah, serta misi dan intervensi pada kurikulum. Dalam
perkembangannya dinamika sekolah juga turut mempengaruhi karakter
sekolah. Tiga karakter ini pada akhirnya juga terkait dengan persoalan
multikulturalisme dalam masyarakat.
Pada sekolah negeri dan sekolah swasta umum non yayasan keagamaan,
pada jam pelajaran agama siswa dipisah menurut agama yang berbedabeda. Selama puluhan tahun praktek pendidikan agama di sekolah seperti
ini belum ada yang memberikan perhatian secara serius bahwa pemisahan
siswa pada jam pelajaran agama adalah sebuah pembiasaan dan
penanaman kesadaran bahwa agama adalah sesuatu yang memisahkan
(kebersamaan) manusia.
Di kalangan peserta didik di sekolah Negeri pelajaran agama berlangsung
lebih teratur dan siswa beragam agama hampir selalu mendapatkan guru
pelajaran agama sesuai dengan keyakinan para siswa karena secara umum
pemerintah mengusahakan guru agama bagi semua peserta didik. Sebagai

milik pemerintah, semua aktifitas pembelajaran di sekolah negeri
mengikuti secara penuh apa yang menjadi kebijakan pemerintah di bidang
pendidikan.
Pada sekolah-sekolah yang menyiapkan peserta didiknya menjadi ahli
agama atau pemimpin agama seperti di madrasah atau seminari, seluruh
kegiatan pembelajaran umumnya benar-benar diarahkan untuk mendukung
tujuan pendidikan yang ada. Sayangnya keseriusan pada satu bidang ini
menyebabkan kecenderungan kurang terbuka bagi pergaulan yang lebih
luas, yang dengan demikian membatasi pengalam dengan keragaman juga.
Minimnya pengalaman akan keragaman perlu dikaji apakah ada kaitannya
dengan sensitivitas pada yang berbeda. Sensitivitas pada yang berbeda
hanya akan berkembang ketika ada pengalaman dengan yang berbeda dan
menggerti adanya perspektif yang berbeda juga.
Di sekolah umum yayasan keagamaan di mana biaya operasional secara
umum ditanggung oleh yayasan dan wali murid, terdapat kebijakan
sekolah yang menunjukkan keunikan yayasan. Keunikan ini tampak dalam
penerimaan guru, hingga tambahan pelajaran maupun kegiatan
ekstrakurikuler yang mewadahi pemenuhan misi yayasan keagamaan
melalui pendidikan.
Pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah lebih banyak pada soal
jaminan kualitas pendidikan, tetapi umumnya tidak menyentuh pada soal
keunikan sekolah yayasan keagamaan. Baru menjelang penetapan
Undang-Undang no.20 tentang Sistem Pendidikan Nasional tahun 2003,
banyak sekolah di bawah yayasan keagamaan yang merasa otonominya
diganggu terutama berkaitan dengan pasal 13 yang mewajibkan semua
sekolah memberikan pelajaran agama yang sesuai dengan agama yang
dianut oleh siswa. Hingga tahun 2009 ini banyak sekolah yayasan
keagamaan yang tidak bisa memenuhi tuntutan pasal 13 UU no,20 tahun
2003 itu karena alasan teknis pembiayaan guru dan alasan lain adalah
menolak pelanggaran otonomi yayasan yang merasa tidak memaksa siswa
untuk masuk ke sekolah yang mempunyai keunikan tertentu.
Menurut teori pendidikan Islam, teori pendidikan anak dimulai jauh
sebelum anak diciptakan. Dalam hubungan ini orang tua perlu menyadari
betapa pentingnya pendidikan agama islam setiap anggota
keluargakhususnya bagi anak-anak. Pendidikan agama yang ditanamkan
sedini mungkin kepada anak-anak akan sangat berpengaruh positif
terhadap pertumbuhan dan perkembangan budi pekerti dan kepribadian
mereka.

Oleh sebab itu orang tua berkewajiban untuk memberikan bimbingan dan
contoh konkrit berupa suri tauladan kepada anak-anak bagaimana
seseorang harus melaksanakan ajaran agama dalam kehidupan keluarga
dan masyarakat, agar mereka dapat hidup selamat dan sejahtera. Jadi,
keluarga mempunyai fungsi sebagai berikut :
1. Keluarga Sebagai Wadah Utama Pendidikan
2. Pembentukan Keluarga
3. Keluarga ialah masyarakat terkecil sekurang kurangnya terdiri dari
pasangan suami isri sebagai sumber intinya berikut anak-anak yang lahir
dari mereka. Agar tujuan terlaksana maka perlu meningkatkan tentang
bagaimana membina kehidupan keluarga sesuai dengan tuntutan agama
dan ketentuan hidup bermasyarakat .
4. Pembinaan Keluarga
5. Maksudnya adalah segala upaya pengelolaan atau penanganan berupa
merintis, meletakkan dasar, melatih, membiasakan, memelihara,
mencegah, mengawasi, menyantuni, mengarahkan serta mengembangkan
kemampuan suami istri untuk mencapai tujuanmewujudkan keluarga
bahagia sejahtera dengan mengadakan dan menggunakan segala dana dan
daya yang dimiliki.
Sekolah umum di bawah yayasan non keagamaan dan keagamaan
mempunyai peluang yang lebih besar untuk membuat eksperimentasi
pendidikan agama yang salah satunya bisa menjadi tanggapan atas
masyarakat yang multikultural.
C. Pelaksanaan Pendidikan Agama Islam dalam Masyarakat
Dalam kacamata multkulturalisme, kewajiban bagi setiap siswa untuk
mengikuti salah satu dari lima macam pendidikan agama, bagi para
penganut agama dan kepecayaan di luar agama resmi adalah memutus
generasi penerus penganut agama dan kepercayaan tersebut. Dampak dari
pendidikan agama yang dibatasi berdasarkan agama yang dianggap resmi
oleh pemerintah ini terasa setelah beberapa generasi. Namun hingga saat
ini belum ada pihak penganut agama yang termarjinalkan secara sistematis
mempersoalkan pelajaran agama yang pada masa pemerintahan Soeharto
menjadi salah satu syarat kenaikan kelas.
Namun ketika pelajaran agama tidak lagi menentukan kelulusan dan tidak
menjadi mata pelajaran yang diujikan dalam ujian nasional pun tidak ada
tanggapan yang kontra.
Saat ini ketika generasi yang mengalami pendidikan agama yang
memisahkan siswa karena berbeda agama telah menjadi dewasa, sekat

antaranggita masyarakat pun makin terasa. Para orang tua yang tidak puas
dengan pendidikan agama di sekolah yang dua jam mengirim anakanaknya ke sekolah terpadu yang jam pelajaran agamanya jauh lebih
banyak. Anak-anak makin berkurang pengalaman bermainnya dan
berkurang juga kesempatan bertemu dan mengalami kebersamaan dengan
orang-orang yang berbeda.
Sementara di sisi lain Pak Sartana guru agama yang membawakan
pelajaran komunikasi iman mendapat sambutan dari para orang tua siswa
karena telah menemani anak-anak mereka lebih masuk pada lika-liku
kehidupan yang mendewasan bagi anak-anaknya. Meski model
pembelajaran pada komunikasi Iman membingungkan bagi pengawas
pendidikan, pemerintah tidak bisa menghentikan ekperimentasi yang
dilakukan oleh Pak Sartana, terutama karena dukungan masyarakat.
Pendidikan agama yang dibutuhkan dalam masyarakat multikultur adalah
pendidikan agama yang senantiasa menghadirkan kehidupan yang penuh
keragaman, baik latar belakang manusia maupun keragaman sudut
pandang. Untuk itu pelajaran agama sebaiknya berbasis pengalaman akan
memecah kebekuan ajaran agama yang tertutup dan tidak melihat realitas
secara hitam putih. Di sekolah yang melakukan pemisahan siswa beda
agama pada jam pelajaran agama perlu ada antisipasi agar pemisahan tidak
berpengaruh buruk pada rasa aman dan nyaman dengan penganut agama
yang berbeda. Hilangnya rasa aman dan nyaman akan merusak saling
percaya antar anggota masyarakat yang mana saling percaya ini
merupakan modal sosial yang dibutuhkan dalam kehidupan bersama yang
adil dan beradab.
Pendidikan agama berbasis pengalaman meniscayakan perubahan
paradigma dalam melihat relasi guru-peserta didik maupun dalam melihat
sumber belajar serta proses pembelajaran. Pengalaman hanya mungkin
menjadi sumber belajar ketika guru dan murid merasa setara, masingmasing merasa mempunyai kelebihan dan kekuarangan untuk mengkaji
bersama dengan berbagai sudut pandang. Dalam menilai keberhasilan atau
kegagalan belajar, pendidikan agama membutuhkan model evaluasi yang
tidak menggunakan angka, tetapi harus didasarkan pada praktek hidup
yang partisipatif dan bertanggungjawab pada diri sendiri dan lingkungan.
Penilaian bukan dengan angka tetapi narasi yang menunjuk pada kualitas.
Pelajaran agama untuk siswa dari beragam agama bisa dilakukan dengan
saling berbagi pengalaman penghayatan keimanan, berbagi informasi dan
pengetahuan siswa tentang agamanya. Cara belajar seperti ini mendorong

siswa untuk lebih aktif dan bertanggung jawab dalam mendalami
agamanya dan pada saat bersamaan membiasakan sikap hormat dan
simpati bagi penganut agma yang berbeda.
Masyarakat merupakan kumpulan dari orang banyak yang berbeda-beda
yang menyatu dan mematuhi peraturan yang ditetapkan, mempunyai
hubungan kekerabatan yang baik, baik antar suku maupun antar bangsa.
Untuk memberikan pendidikan agama pada masyarakat, bisa dengan cara
mendirikan majlis taklim atau pengajian-pengajian di desa masing-masing.
Pengajian ini dilaksanakan dari satu tempat ke tempat lain dengan
mendatangkan narasumber yang diminta untuk memberikan suatu materi
pendidikan sesuai dengan kebutuhan mereka.
Dalam pendidikan agama Islam ada 3 istilah umum yang digunakan, yaitu
al-Tarbiyat, al-Ta’lim dan al-Ta’dib. Tarbiyat mengandung arti
memelihara, membesarkan dan mendidik yang kedalamnya sudah
termasuk makna mengajar atau allama. Berangkat dari pengertian ini maka
tarbiyat didefinisikan sebagai proses bimbingan terhadap potensi manusia
(jasmani, ruh, dan akal) secara maksimal agar dapat menjadi bekal dalam
menghadapi kehidupan dan masa depan.
Selanjutnya, Syed Naguib al-Attas merujuk makna pendidikan darikonsep
ta’dib, yang mengacu kepada kata adab dan variatifnya. Dari pemikiran
tersebut ia merumuskan definisi pendidik adalah membentuk manusia
dalam menempatkan posisinya yang sesuai dengan susunan masyarakat,
bertingkah lakusecara proposional dan cocok dengan ilmu serta teknologi
yang dikuasainya. Menurut Naguib al-Attas selanjutnya, bahwa
pendidikan islamlebih tepat berorientasi pada ta’dib. Sedangkan tarbiyat
dalam pandangannya mencakup obyek yang lebih luas , bukan saja
terbatas pada pendidikan manusia tetepi juga meliputi dunia hewan.
Sedangkan ta’dib hanyamencakuppengertian pendidikan untuk manusia.
Alasan penyebab manusia (remaja) sebagai makhluk sosial memerlukan
pendidikan
yaitu:
1) . Dalam tatanan kehidupan masyarakat, ada upaya pewarisan nilai
kebudayaan antara generasi tua ke generasi muda, dengan tujuan agar nilai
hidup masyarakat tetap berlanjut dan terpelihara. Dalam hal ini PAI di
masyarakat di harapkan dapat memberikan substansi dalam pembentukan
akhlak
remaja.
2). PAI di masyarakat merupakan agen sosial yang penting setelah sekolah
dalam penanaman nilai, norma serta harapan-harapan dari masyarakat
terhadap
pembentukan
dan
penerapan
akhlak
remaja.

3). PAI di masyarakat merupakan tempat konflik dan solusi dalam
keragaman terutama dari aspek keagamaan. Dengan adanya sinergi antara
pemahaman konsep PAI dari masyarakat dengan media PAI di masyarakat
dapat mengimbangi antara konflik dengan solusi tersebut. Contoh:
Perbedaan agama antara sesama remaja, dengan adanya pemahaman PAI
di masyarakat oleh para remaja diharapkan mereka dapat menghormati
perbedaan tersebut tanpa harus ikut-ikut menyamakan dengan tradisi
agama lain di antara teman sebayanya.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Lingkungan keluarga merupakan media pertama dan utama yang secara
langsung berpengaruh terhadap perilaku dan perkembangan anak didik.
Keluarga adalah wadah yang pertama dan utama dalam pelaksanaan
pendidikan agama Islam.
2. Sekolah adalah lanjutan dari pendidikan keluarga yang mendidik lebih
fokus,teratur dan terarah.
3. Pendidikan masyarakat merupakan pendidikan anak yang ketiga setelah
sekolah. Peran yang dapat dilakukan oleh masyarakat adalah bagaimana
masyarakat bisa memberikan dan menciptakan suasana yang kondusif bagi
anak, remaja dan pemuda untuk tumbuh secara baik.
B. SARAN
Penulis bersedia menerima kritik dan saran yang positif dari pembaca.
Penulis akan menerima kritik dan saran tersebut sebagai bahan
pertimbangan yang memperbaiki makalah ini di kemudian hari. Semoga
makalah berikutnya dapat penulis selesaikan dengan hasil yang lebih baik
lagi.

DAFTAR PUSTAKA

Jalaluddin. 2003. Teologi Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
http_://www.jamaahmuslimin.com/risalah/114/
http_://www.al-shia.com/html/id/books/Pendidikan%20Anak/
http_://wbumuadz.wordpress.com/2007/05/05/pendidikan-anak-dalamislam/